• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Gangguan Mental Emosional dengan Hipertensi pada Penduduk Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Gangguan Mental Emosional dengan Hipertensi pada Penduduk Indonesia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Gangguan Mental Emosional dengan

Hipertensi pada Penduduk Indonesia

Association Between Mental Emotional Disorders and Hypertension among Indonesian

Sri Idaiani1* dan Herlina Sri Wahyuni2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta 10560, Indonesia

2Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta, Jl. Limau 2 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12130, Indonesia

*Korespondensi Penulis: sriidaiani@gmail.com

Submitted: 11-11-2015, Revised: 13-09-2015, Accepted: 30-09-2016

Abstrak

Hipertensi banyak dihubungkan dengan stres psikologis yang dialami penderitanya. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang mengalami gangguan mental emosional dengan hipertensi serta berapa besar hubungan antara gangguan mental emosional dengan hipertensi

diantara faktor sosiodemografi lainnya. Sampel diperoleh dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Sampel berumur ≥ 18 tahun keatas sebanyak 651.200 orang. Hipertensi dinilai dengan pengukuran

tekanan darah menggunakan tensimeter digital dan pengakuan mengonsumsi obat antihipertensi

secara rutin. Stres atau gangguan mental emosional (GME) dinilai dengan kuesioner self reporting questionnaire yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Apabila menjawab “ya” minimal 6 butir pertanyaan,

responden dinyatakan mengalami GME. Data dianalisis dengan program SPSS versi 21 dengan

metode complex sample. Hubungan variabel dinilai dengan analisis bivariat dan multivariat dengan

kemaknaan p< 0,05. Persentase penduduk dengan ganguan mental emosional yang mengalami hipertensi 34,4%. Faktor –faktor terbesar yang berhubungan dengan hipertensi adalah umur ≥ 65 tahun (ORsuaian 7,58;95%CI 7,29-7,87),umur 35-–64 tahun (ORsuaian3,06;95%CI 2,98-3,15) status bercerai (ORsuaian1,85 ;95% CI 1,77-1,95), tidak bekerja (ORsuaian1,22 ;95%CI1,18–1,26), gangguan mental emosional (ORsuaian1,10; 95% CI 1,06–1,15). Gangguan mental emosional memiliki hubungan yang tidak terlalu besar terhadap hipertensi pada penelitian ini. Intervensi program hipertensi akan lebih baik

ditujukan untuk orang berusia lanjut dan status perkawinan bercerai.

Kata kunci: hipertensi, gangguan mental emosional, Riskesdas 2013

Abstract

Hypertension is often associated with psychological stress for its sufferer. The aims of this analysis were to undertake how many people with mental emotional disorder have hypertension and to assess association between mental emotional disorder with hypertension besides other characteristics. The data were taken from National Basic Health Research 2013.The samples were 651.200 people 18 years old and above.The samples were identified have hypertension by measurement using digital blood pressure monitor or consume anti hypertension medicine routinely. Stress or mental emotional disorder was assessed by self-reporting questionnaire (SRQ). Samples were categorized have mental emotional disorder if they answered “yes” for ≥ six questions of SRQ. The data were analyzed using SPSS version 21 with complex sample method. The association among variables was assessed by bivariate, multivariate with significance p < 0.05.The percentage of mental emotional people who had hypertension was 34.4%. The main factors associated with hypertension were age ≥ 65 years old (ORadj7,58;95%CI7,29-7,87), 35-64years old (ORadj 3,06;95%CI2,98-3,15) divorced (ORadj1,85;95%CI 1,77-1,95), unemployed (ORadj1,22 ;95%CI1,18-1,26), mental emotional (ORadj 1.10; 95% CI 1,06-1,15) .In this study, mental emotional disorder had weak association with hypertension. Intervention program for hypertension control is better directed to old people and people with divorced status of marriage.

(2)

Pendahuluan

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi merupakan salah satu kondisi yang biasanya mendahului penyakit jantung dan pembuluh darah. 45% kematian terkait penyakit jantung dan pembuluh darah dan 51% kematian akibat stroke disebabkan oleh hipertensi.1 Pada

tahap awal perjalanan hipertensi sering tidak mempunyai gejala walaupun sudah didiagnosis hipertensi, banyak yang tidak segera mencari pengobatan. Pada tahap lanjut, hipertensi akan berkembang menjadi penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal, dan stroke.2

Pada kondisi sudah terjadi penyakit-penyakit yang disebutkan diatas, maka biaya menjadi tinggi. Diantara penyakit tidak menular, beban penyakit jantung dan pembuluh darah adalah tertinggi yaitu 36,7 trilyun USD disusul penyakit pernafasan kronik sebesar 1,57 trilyun USD dan penyakit kanker 1,51 trilyun USD. Angka ini diperoleh berdasarkan perhitungan di negara berkembang dan negara maju, meskipun kejadiannya lebih tinggi di negara berkembang.3,4

Prevalensi hipertensi lebih tinggi di negara dengan penghasilan penduduknya rendah (40%) dibandingkan negara yang penduduknya mempunyai penghasilan tinggi (35%). Prevalensi hipertensi paling tinggi di wilayah Afrika yaitu 46% dan paling rendah di negara di wilayah Amerika yaitu 35%.4,5 Di Indonesia prevalensi

hipertensi menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 adalah 31,7%.6 Riskesdas

tahun 2013 menyebutkan prevalensinya 25,8%.7

Di pulau Jawa prevalensi hipertensi 41,9%, di wilayah perkotaan Indonesia 39,9%, sedangkan di perdesaan 44,1%.8 Hipertensi semakin meningkat

prevalensinya dari tahun ketahun karena jumlah penduduk bertambah, pola hidup tidak sehat,

aktivitas fisik kurang, dan terpapar dengan stres

psikologis. Pola hidup tidak sehat tersebut antara lain adalah diet yang tidak sehat misalnya tinggi gula, lemak dan garam, dan kurang mengonsumsi makanan berserat. Selain itu adalah penggunaan tembakau dan alkohol.2

Stres psikologis merupakan tanda seseorang mengalami suatu kondisi yang memerlukan adaptasi. Dalam batas wajar stres akan menimbulkan dampak positif bagi mental seseorang, tetapi stres yang berkepanjangan akan merusak mekanisme fungsional tubuh. Mekanisme yang mendasarinya adalah adanya perubahan aksis hipothalamo pituitary adrenal

(HPA) yang dipicu oleh stres kronik.9 Seperti yang

telah diketahui, stres menyebabkan pengeluaran hormon adrenalin, yang bila terus menerus diproduksi akan mengaktivasi perubahan aksis HPA. Perubahan ini menyebabkan meningkatnya tekanan darah, meskipun ada beberapa pendapat yang menyatakan hal ini belum pasti.

Berdasarkan prevalensi hipertensi yang cukup tinggi pada penduduk Indonesia serta beban biaya yang besar apabila telah berkembang menjadi komplikasi penyakit jantung dan pembuluh darah, maka akan menarik untuk dilakukan analisis mengenai keterkaitan hipertensi dengan stres psikologik atau gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang mengalami gangguan mental emosional dan hipertensi serta berapa besar hubungan hipertensi diantara faktor

sosiodemografi lainnya dengan gangguan mental

emosional. Metode

Tulisan ini merupakan analisis lanjut data Riskesdas tahun 2013. Riskesdas dilakukan serentak di 33 provinsi di Indonesia dan dirancang untuk mewakili data nasional, provinsi bahkan kabupaten dan kota. Pada prinsipnya Riskesdas adalah sebuah survei di masyarakat yang menilai indikator kesehatan.7 Pemilihan

responden dilakukan menurut kerangka sampel sensus penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS).

Data diperoleh melalui wawancara dan pengukuran di rumah penduduk. Wawancara dilakukan oleh tim yang terdiri dari 3 orang petugas dengan latar belakang pendidikan minimal diploma 3 bidang kesehatan. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai tekanan darah penduduk adalah pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter digital yang khusus dibeli untuk keperluan Riskesdas 2013. Sebelum melakukan survei, petugas mendapatkan pelatihan mengenai wawancara dan pengukuran tekanan darah.7

Sampel berumur 18 tahun keatas, bertempat tinggal pada rumah tangga terpilih pada blok sensus (BS) terpilih. Jumlah seluruh BS sebanyak 11.986 BS, dan jumlah rumah tangga yang dikunjungi sebanyak 294.959 rumah tangga (RT). Total sampel berusia 18

(3)

tahun keatas sebanyak 653.431 orang. Sebanyak 2.231 dikeluarkan karena tidak mempunyai data yang lengkap mengenai identitas, karakteristik atau hasil pengukuran tekanan darah sehingga yang dianalisis hanya sebanyak 651.200 sampel.

Pengukuran tekanan darah dilakukan sebanyak dua kali. Tiga puluh menit sebelumnya

tidak diperbolehkan melakukan aktivitas fisik

atau makan. Sepuluh menit sebelum pengukuran diminta menenangkan diri dan bersikap santai sebelum dilakukan pengukuran. Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam posisi duduk dan manset diletakkan pada lengan kiri. Setiap hasil pengukuran sistolik/diastolik dicatat pada formulir yang disediakan. Jarak pengukuran tekanan darah pertama dan kedua adalah 2–3 menit. Pengukuran ketiga dilakukan apabila terdapat selisih hasil kedua pengukuran sistolik/

diastolik ≥ 10 mmHg.7 Diagnosis hipertensi

ditetapkan apabila rata-rata tekanan sistolik ≥ 140 mm Hg atau rata-rata tekanan darah diastolik ≥

90 mm Hg untuk orang berusia 18 tahun keatas.10

Stres psikologis dinyatakan sebagai gangguan mental emosional, yaitu suatu istilah yang digunakan sejak survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 untuk menilai status mental penduduk. Instrumen yang digunakan untuk menilai gangguan mental emosional adalah self reporting questionnaire yang terdiri dari 20 butir pertanyaan (SRQ-20). Kuesioner ini direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) untuk digunakan di negara berkembang.11Alat ini mudah digunakan

oleh karena hanya memerlukan jawaban “ya“ atau “tidak”. Sampel diindikasikan mengalami gangguan mental emosional apabila menjawab “ya” paling sedikit 6 butir pertanyaan. Nilai batas pisah ini ditetapkan sesuai penelitian sebelumnya yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.12

Untuk keperluan analisis dilakukan beberapa pengelompokan. Kelompok umur dibagi menjadi umur muda (18-34 tahun), sedang

(35-64 tahun), dan tua (≥ 65 tahun). Pendidikan

rendah yaitu yang tidak pernah sekolah, tidak tamat sekolah dasar sampai dengan tamat sekolah menengah pertama atau yang sederajat. Pendidikan sedang apabila menamatkan sekolah menengah atas atau yang sederajat. Dikategorikan pendidikan tinggi apabila pernah menempuh pendidikan tinggi setingkat universitas atau akademi. Pegawai negeri sipil, BUMN, TNI,

Polri, pekerja swasta, dan pekerja tetap lainnya termasuk pensiunan yang mendapatkan uang pensiun setiap bulan dikelompokkan pegawai. Pada saat analisis data, yang sedang menjalani pendidikan sekolah digabung kedalam kelompok pegawai dengan asumsi mempunayai kemapanan yang sama. Pekerjaan non-pegawai adalah pekerjaan selain yang disebutkan diatas, yaitu petani, nelayan, buruh, atau pekerjaan tidak tetap lainnya. Tidak bekerja adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan pada sebagian besar aktivitas hariannya termasuk ibu rumah tangga. Status perkawinan dikelompokkan menjadi kawin, tidak kawin dan bercerai hidup atau mati. Tingkat ekonomi keluarga dibagi menjadi kuintil. Kelompok kuintil tertinggi adalah 5 dan terendah adalah 1. Kuintil 1–3 digolongkan ke dalam kelompok ekonomi rendah, sedangkan kuintil 4 dan 5 digolongkan ke dalam kelompok ekonomi tinggi.

Pengolahan data menggunakan komputer dengan program statistik SPSS versi 21. Analisis yang digunakan adalah bivariat dan multivariat dengan metode complex sample oleh karena dataset berasal dari data hasil survei kesehatan nasional. Batas kemaknaan ditetapkan untuk menilai hubungan variabel adalah < 0,05 dengan confidence interval 95%.

Hasil

Sebaran karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel 1.

Berdasarkan karakteristik sampel yang dianalisis, terbanyak dengan pendidikan rendah, non pegawai (bekerja pada sektor informal), berstatus kawin, dan tidak mengalami hipertensi. Kurang dari 8% sampel dengan latar belakang pendidikan tinggi, usia lebih dari 65 tahun, dan mempunyai status perkawinan bercerai mati dan hidup.

Dari Tabel 2 terlihat umur tua mempunyai hubungan lebih besar terhadap hipertensi dibandingkan dengan umur muda disamping faktor tidak memiliki pekerjaan dan berstatus cerai. Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko mengalami hipertensi yang lebih sedikit dibandingkan perempuan demikian pula dengan status ekonomi rendah memiliki risiko mengalami hipertensi lebih tinggi dibandingkan status ekonomi tinggi.

(4)

Tempat tinggal di perdesaan tidak memiliki risiko yang berbeda dengan perkotaan karena odds ratio (OR) mendekati 1. Sampel yang mengalami gangguan mental emosional dan juga hipertensi sebesar 34,4%. Gangguan mental emosional mempunyai risiko yang tidak terlalu besar terhadap hipertensi pada analisis ini. Di bawah ini dipaparkan hasil analisis multivariat.

Berdasarkan hasil analisis yang dipaparkan

pada tabel 3, terlihat bahwa umur ≥ 65 tahun

mempunyai peluang mengalami hipertensi yang cukup tinggi dibandingkan umur yang lebih muda. Status perkawinan bercerai merupakan faktor ke-2 terbesar setelah faktor umur tua dibandingkan sampel yang kawin dan belum

kawin. Non pegawai sebaliknya menjadi bukan kelompok yang mempunyai risiko mengalami hipertensi. Gangguan mental emosional ti-dak mempunyai hubungan yang kuat untuk mengalami hipertensi setelah dikontrol dengan variabel lain.

Pembahasan

Hasil analisis ini sejalan dengan sebagian hasil penelitian sebelumnya di negara lain yang menyebutkan bahwa tidak selalu terdapat hubungan stres psikologis dengan kejadian hipertensi, meskipun sebagian penelitian menyebutkan hasil yang sebaliknya.13,14

Perbedaan ini dapat disebabkan jenis stres yang

Karakteristik n= 651.200 % 95% CI %

atas bawah SE

Kelompok Umur (tahun )

Umur muda ( 18 – 34 ) 232,022 43,5 43,3 - 43,8 0,1 Umur sedang ( 35 – 64) 369.251 49,9 49,7 - 50,3 0,1 Umur tua (≥ 65) 49.927 6,5 6,4 - 6,6 0,1 Jenis Kelamin Laki-laki 312.726 49,8 49,7 - 50,0 0,1 Perempuan 338.474 50,2 50,0 - 50,3 0,1 Pendidikan Pendidikan tinggi 50.008 7,1 6,8 - 7,3 0,1 Pendidikan sedang 168.270 27,3 26,9 - 27,6 0,2 Pendidikan rendah 432.922 65,7 65,2 - 66,1 0,2 Pekerjaan Pegawai / sekolah 104.015 17,6 17,3 - 17,9 0,1 Non pegawai 340.056 50,1 49,8 - 50,4 0,2 Tidak bekerja 207.129 32,3 32,1 - 32,6 0,1 Status Perkawinan Belum Kawin 108.097 18,2 18,0 - 18,5 0,1 Kawin 491.425 74,5 74,3 - 74,7 0,1 Cerai 51.678 7,3 7,2 - 7,4 0,1 Tempat tinggal Perkotaan 300.680 51,1 50,8 - 51,4 0,2 Perdesaan 350.520 48,9 48,6 - 49,2 0,2 Status ekonomi Tinggi 273.872 45,2 44,7 - 45,7 0,3 Rendah 377.328 54,8 54,3 - 55,3 0,3 Hipertensi Tidak 470.372 74,5 74,2 - 74,7 0,1 Ya 180.828 25,5 25,3 - 25,8 0,1

Gangguan mental emosional

Tidak 615.857 94,0 93,8 - 94,2 0,1

Ya 35.343 6,0 5,8 - 6,2 0,1

(5)

dinilai, yaitu jenis stres kronik yang mempunyai hubungan dengan hipertensi. Pada Riskesdas 2013, kronisitas tidak dinilai oleh karena SRQ-20 merupakan alat ukur stres atau gangguan mental emosional yang mencerminkan kondisi mental seseorang dalam waktu 30 hari terakhir. Dengan batasan ini, kondisi yang dinilai pada saat wawancara kemungkinan merupakan kondisi yang baru terjadi tetapi juga dapat merupakan kondisi yang sudah terjadi lama sebelumnya.

Hasil analisis menunjukkan OR gangguan mental emosional terhadap hipertensi 1,11 (95% CI 1,06-1,15) yang berarti memperlihatkan adanya hubungan, meskipun tidak terlalu besar. Hasil ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang juga memperlihatkan OR yang

berkisar 1,2.15

Faktor pekerjaan adalah faktor yang penting terhadap hipertensi. Pekerja yang mengalami stres baik umum atau stres khusus di tempat kerja akan lebih berisiko mengalami hipertensi dibandingkan yang tidak stres. Pada perempuan faktor stres di tempat kerja lebih banyak terjadi, sedangkan pada laki-laki stres di tempat kerja hanya kadang-kadang terjadi.15

Gambaran faktor risiko yang berhu-bungan dengan hipertensi banyak memiliki kemiripan dengan faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan mental emosional yaitu selalu lebih tinggi pada kelompok umur tua, pendidikan rendah, status perkawinan bercerai, tidak bekerja, dan perempuan. Perbedaannya adalah status

Hipertensi ORkasar 95%CI Nilai p Ya n= 180.828 (%) Tidak n= 470.372 (%) bawah atas

Kelompok Umur (tahun)

Umur muda (18-34) 12,2 87,8 Referens 0,001

Umur sedang (35-64) 33,4 66,6 3,45 3,37 - 3,53 Umur tua (≥65) 41,7 58,3 10,27 10,27 - 9,91 Jenis kelamin Perempuan 30,4 69,6 Referens - 0,001 Laki-laki 24,9 75,1 0,74 0,72 - 0,75 Pendidikan

Pendidikan tinggi 24,4 75,6 Referens 0,001

Pendidikan sedang 20,9 79,1 0,80 0,77 - 0,84 Pendidikan rendah 30,8 69,2 1,42 1,36 - 1,49 Pekerjaan Pegawai/sekolah 20,8 79,2 Referens 0,001 Non-pegawai 26,7 73,3 1,44 1,40 - 1,49 Tidak bekerja 33,1 66,9 1,91 1,85 - 1,97 Status perkawinan

Belum kawin 11,9 88,1 Referens 0,001

Kawin 29,1 70,9 2,98 2,88 - 3,09 Cerai 48,4 51,6 7,63 7,30 - 7,97 Tempat tinggal Perkotaan 28,9 71,1 Referens 0,008 Perdesaan 26,8 73,2 0,97 0,94 - 0,99 Sosial ekonomi Tinggi 27,9 72,1 Referens 0,001 Rendah 27,6 72,4 1,04 1,02 - 1,06

Gangguan mental emosional

Tidak 27,4 72,6 Referens 0,001

Ya 34,4 65,6 1,33 1,28 1,38

Tabel 2. Analisis Bivariat Hubungan Gangguan Mental Emosional, Karakteristik Sampel dengan Hipertensi, Riskesdas 2013

(6)

ekonomi rendah tidak mempunyai risiko menjadi hipertensi dibandingkan dengan yang berasal dari kelompok status ekonomi tinggi.

Pada status perkawinan didapatkan perbedaan OR yang cukup tinggi antara analisis bivariat dan multivariat. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh faktor umur. Melalui analisis khusus yang memisahkan umur < 65 tahun dan

≥ 65 tahun diperoleh hasil yang berbeda. Pada

kelompok umur < 65 tahun pengaruh faktor bercerai terhadap hipertensi ditunjukkan dengan OR kasar 5,35; 95% CI 5,10–5,61, OR kasar kawin 2,79; 95% CI 2,69–2,89. Sebaliknya

pada kelompok umur ≥ 65 tahun dengan status

bercerai OR kasar 1,33; 95% CI 1,05–1,69 dan status kawin OR kasar 0,86; 95%CI 0,68–1,09). Faktor umur merupakan perancu untuk status perkawinan.

Stres psikologis dapat terjadi dalam berbagai konteks. Berbagai penelitian meng-hubungkan stres di tempat kerja, stres terhadap lingkungan bahkan ada yang menggabungkan

stres psikologis dengan stres fisik dalam kaitannya

dengan hipertensi.15-17 Stres yang berhubungan

dengan pekerjaan juga ditanggapi dengan cara yang berbeda antar individu. Pada laki-laki tidak selalu konsisten.15 Terdapat penelitian yang

menyebutkan ada perbedaan menyikapi stres pekerjaan antara penduduk lokal dibandingkan imigran.18 Ada yang mengidentifikasi stres

psikososial melalui kemudahan mengakses kendaraan dan mendapatkan trasportasi umum. Pada daerah terpencil, orang akan lebih berisiko mengalami tekanan darah tinggi apabila kesulitan mengakses kendaraan atau jalan besar.16

OR suaian

95%CI

Nilai p

atas bawah

Kelompok Umur (tahun)

Umur muda (15-34) Referens 0,001

Umur sedang (35-64) 3,06 2,98 - 3,15 Umur tua (≥65) 7,58 7,29 - 7,87 Jenis kelamin Perempuan Referens 0,001 Laki-laki 0,87 0,85 0,88 Pendidikan

Pendidikan tinggi Referens 0,001

Pendidikan sedang 0,94 0,89 - 0,98 Pendidikan rendah 1,17 1,11 - 1,22 Pekerjaan Pegawai/sekolah Referens 0,001 Non-pegawai 0,94 0,91 - 0,97 Tidak bekerja 1,22 1,18 - 1,26 Status perkawinan

Belum kawin Referens 0,001

Kawin 1,30 1,24 - 1,35 Cerai 1,86 1,77 - 1,95 Tempat Tinggal Perkotaan 0,001 Perdesaan 0,90 0,88 - 0,93 Status ekonomi Tinggi Referens 0,001 Rendah 0,92 0,90 - 0,95

Gangguan mental emosional

Tidak Referens 0,001

Ya 1,10 1,06 - 1,15

(7)

Keterbatasan penelitian ini adalah alat ukur stres yang tidak dapat membedakan stres kronik atu akut dan juga tidak dapat membedakan sumber stres yaitu berasal dari pekerjaan, atau lingkungan

atau bahkan penyakit fisik lain yang diderita.

Faktor lain adalah belum mengikutsertakan faktor-faktor risiko lainnya misalnya dislipidemi, obesitas, konsumsi gula, garam, dan aktivitas

fisik dalam penilaian.

Kelompok orang dengan tingkat ekonomi tinggi juga lebih tinggi risikonya mengalami hipertensi dibandingkan dengan ekonomi rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa ada faktor lain yang turut berperan misalnya pola makan dan

kurang aktivitas fisik oleh karena secara umum

hipertensi lebih tinggi pada kalangan ekonomi rendah. Perceraian lebih mempunyai pengaruh yang besar pada kelompok umur < 65 tahun.

Disarankan agar stres ditanggulangi sehingga tidak berkembang menjadi lebih parah. Cara penanggulangan stres antara lain manajemen stres misalnya dengan cara melakukan sejenis relaksasi dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan tingginya risiko mengalami hipertensi pada kelompok umur lebih tua atau sama dengan 65 tahun diharapkan program pengendalian hipertensi lebih banyak diarahkan pada kelompok ini.

Kesimpulan

Melalui analisis ini terlihat bahwa meskipun ada hubungan antara stres atau gangguan mental emosional terhadap hipertensi yang dinilai melalui pengukuran tekanan darah serta sedang mengomsumsi obat anti hipertensi, tetapi hubungannya sangat kecil yaitu OR mendekati 1. Hal ini mengarahkan bahwa kemungkinan stres kronik yang lebih berperan terhadap terjadinya hipertensi.

Ucapan Terima Kasih

Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan yang memberi dukungan dan kesempatan untuk menganalisis data Riskesdas 2013.

Daftar Pustaka

1. Cause of death [Internet]. 2008 [cited 20 Agustus 2015]. Available from:http://www.who.int/

healthinfo/global_burden_disease/cod_2008_ sources_methods.pdf.

2. World Health Organization. A global brief on hypertension 2013. Geneve; 2013.

3. Lim S, Vos T, Flaxman A, Danaei G. comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable to 67 risk factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990-2010 : a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet. 2012;380 (9859):2224–60. 4. World Health Organization. Global status report

on noncommunicable diseases 2010. Geneve; 2011 [cited 2015 August 20].

5. Global Health Observatory Data Repository. [Internet]. 2008 [cited August 20 2015]. Available from: http://apps.who.int/gho/data/view.main. 6. Departemen Kesehatan RI. Laporan Riskesdas

2007.Jakarta:Badan Litbangkes Kemenkes RI; 2009.

7. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2013.

8. Setiawan, Z. Prevelensi dan determinan hipertensi di Pulau Jawa tahun 2004. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2006; I(2):57– 61.

9. Widmaier E, Raff H, Strang K. Vander’s human physiology: the mechanisms of body function.10 th ed. New York:McGraw-Hill; 2006.

10. Textor SC. The new hypertension guidelines from JNC 7, Mayo Clin Proc.2003;78:1078–81. 11. A user’s guide to the self report questionnaire.

Geneve: Division of Mental Health WHO; 1994. 12. Hartono IG. Psychiatric morbidity among

patients attending the Bangetayu community health centre in Indonesia [Thesis]. Perth: University of Western Australia; 1995.

13. Sparrenberger F, Cichelero FT, Ascoli AM, Fonseca FP, Weiss G, Berwanger O, et al. Does psychosocial stress cause hypertension? A systematic review of observational studies. J Hum Hypertens. 2009; 23:12–19.

14. Agyei B, Nicolaou M, Boateng L, Dijkshoorn H, van den Born BJ, Agyemang C. Relationship between psychosocial stress and hypertension among Ghanaians in Amsterdam, the Netherlands – the GHAIA study. BMC Public Health. 2014;14:692.

15. Hu B, Liu X,Yin S, Fan H, Feng F, Yuan J. Effects of psychological stress on hypertension in middle aged Chinese: A cross sectional study. Plos One 2015;10(6): e0129163. X Epub June 4,2015.

16. Hamano T, Kimura Y, Takeda M, Yamasaki M, Isomura M, Nabika T, Shiwaku K. Effect of environmental and lifestyle factors on hypertension: Shimane COHRE study. Plos one

(8)

2012;7(11) e49122. Epub November 9; 2012. 17. Grimsrud A, Stein DJ, Seedat S, Williams D,

Myer L. The Association between hypertension and depression andanxiety disorders: Results from a nationally representative sample of South African Adults. Plos one. 2009;4(5) e5552. Epub

May 14,2009.

18. Olesen K, Carneiro IG, Jørgensen MB. Associations between psychosocial work environment and hypertension among non-Western immigrant and Danish cleaners. Int Arch Occup Environ Health. 2012;85:829–35.

Gambar

Tabel 1. Sebaran Sampel Berdasarkan Karakteristik, Riskesdas 2013
Tabel 2. Analisis Bivariat Hubungan Gangguan Mental Emosional, Karakteristik Sampel dengan Hipertensi,  Riskesdas  2013
Tabel 3. Analisis Multivariat Hubungan Gangguan Mental Emosional dengan Hipertensi, Riskesdas 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pada Gambar 6 merupakan hasil dari perhitungan software RoboAnalyzer untuk jari iempol, yaitu jari tangan robot dengan 3 link denganperhitungan berdasar posisi inisial yang

solusi sama dengan jumlah sumber daya pembatas awal yang ada. e) Variabel Slack, adalah variabel yang ditambahkan ke model matematik kendala untuk mengkonversikan

Hasil karakterisasi asam humat hasil ekstraksi cair-cair tanah gambut fibrik dan hemik dengan menggunakan FTIR menunjukkan adanya kesamaan gugus fungsi dengan asam

Tema yang dipergunakan untuk sanggar pelatihan seni tari balet ini adalah arsitektur kontemporer, yang melatarbelakangi pemilihan tema arsitektur kontemporer dikarenakan

siswa pada mata kuliah Psikologi perkembangan, setelah diadakan penelitian ditemukan perbedaan bahwa hasil belajar mahasiswa yang diajar menggunakan model

Guru meminta semua peserta didik untuk menutup ungkapan Arab, lalu meminta beberapa orang peserta didik satu per satu, untuk membaca gambar secara berurutan, tanpa

Jika Anda sanggup memahami program kali ini, maka Anda bisa memanfaatkannya untuk membuat aplikasi yang mampu mem-parse masukan dari QLineEdit menjadi isi dari berkas teks..

Di era sekarang, selang perjalanan waktu dan perubahan-perbahan zaman, candi-candi sudah tidak berfungsi sebagaimana fungsinya terdahulu, walaupun beberapa komunitas