• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (Syam 2007 : 13), bahwa agama adalah sebagai sistem kebudayaan. Sebagai sitem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (Syam 2007 : 13), bahwa agama adalah sebagai sistem kebudayaan. Sebagai sitem"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya di mata Tuhan. Dalam kehidupannya manusia memiliki kebutuhan antara lain rohani, jasmani, material, rasional, dan irasional yang harus dipenuhi. Seperti yang dikatakan Gertz (Syam 2007 : 13), bahwa agama adalah sebagai sistem kebudayaan. Sebagai sitem kebudayaan, agama tidak pernah terpisah dengan masyarakat. Agama tidak hanya seperangkat nilai yang tempatnya di luar manusia, tetapi agama juga merupakan sistem pengetahuan dan sistem simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan (Syam, 2007 : 13). Agama merupakan bagian dari kebudayaan., dimana budaya di Indonesia juga sangat beragam jumlahnya. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan pada kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang memunculkan perilaku tertentu yaitu seperti berdoa, memuja, sembahyang, atau yang semacamnya. Berbeda halnya dengan agama yang mengajarkan manusia untuk bagaimana harus berpikir, bersikap, dan bertindak secara rasional, kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh beberapa masyarakat yang masih kental dengan nuansa budayanya lebih bersifat magis.

Aktivitas manusia sepanjang sejarah mencakup berbagai macam kegiatan, diantaranya “seni” yang didalamnya termasuk unsur tari. Tari merupakan pernyataan budaya, oleh karena itu sifat, gaya, dan fungsi tari selalu tak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang menghasilkannya. Perbedaan sifat dan ragam tari dalam berbagai kebudayaan disebabkan oleh antara lain lingkungan alam,

(2)

perkembangan sejarah, sarana komunikasi dan tempramen manusianya. Kesemuanya itu akan membentuk citra kebudayaan yang khas.

Pada umumnya tari merupakan ekspresi keindahan untuk dinikmati sebagai pengisian batiniah. Menurut para pakar, batasan seni tari pada hakikatnya mengatakan bahwa tari adalah ekspresi perasaan manusia yang diungkapkan lewat gerak ritmis indah yang telah mengalami stilisasi maupun distorsi (Soedarsono, 1992 : 81-86). Ekspresi manusia disini merupakan gejala sebagai tindakan atau aktivitas manusia untuk maksud tertentu.

Tari sebagai hasil kebudayaan yang sarat makna dan nilai dapat disebut sebagai sistem simbol. Sistem simbol ini adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara konvensional digunakan bersama, teratur, dan benar-benar dipelajari, sehingga memberi pengertian hakikat “manusia”, yaitu suatu kerangka yang penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain; kepada lingkungannya, dan pada dirinya sendiri, sekaligus sebagai produk dan ketergantungannya dalam interaksi sosial (Geertz, 1973 : 250). Dalam beberapa upacara agama, tari merupakan salah satu alat untuk melambangkan kegiatan para umat kepada Tuhan. Cara mereka berkomunikasi dengan Tuhan, dan cara mereka menunjukkan kasih sayang kepada Tuhan. Berbagai macam kegiatan keagamaan dapat disimbolkan melalui gerakan-gerakan tari yang dinamis. Gerakan-gerakan tersebut melambangkan aktivitas umat manusia dalam menjalani ibadahnya dan berkomunikasi dengan Tuhan.

Beberapa tarian dari berbagai daerah di Indonesia merupakan tarian yang merupakan bagian dari upacara agama tertentu. Seperti di Bali, tari merupakan

(3)

bagian integral dengan upacara-upacara keagamaan dan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat di Bali. Karena itu beberapa tari-tarian Bali tradisional mempunyai fungsi yang sangat penting dalam upacara dan adat. Seperti tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran yang berasal dari Bali ini, berfungsi sebagai tari upacara penyembuhan dan penolak bala yang di adakan di Desa Ungasan dan Desa Legian, keduanya berada di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Tarian ini merupakan rangkaian dari sebuah upacara yang bertujuan untuk memohon keselamatan bagi penduduk desa (Soenaryo 1989 : 18). Tari Sang Hyang termasuk jenis tarian tradisional yang dilihat dari tingkatan artistik dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Tari Sang Hyang Dedari ditarikan oleh dua orang gadis suci yang didahului dengan menyediakan sesaji. Mula-mula diawali di Jeroan, yaitu di Pura bagian dalam. Setelah kerawuhan baru diberi pakaian tari dan dibawa ke bagian luar Pura untuk menari dan disaksikan oleh orang banyak. Sang Hyang Dedari ditarikan pada saat-saat tertentu, yaitu pada bulan purnama dan malam hari. Tarian ini dapat dikelompokkan ke dalam jenis tari primitif. Unsur-unsur kepercayaan animisme dan totemisme masih terdapat di dalamnya. Tari-tarian ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu (Soenaryo, 1989 : 24).

Konsep struktural seperti yang dikemukakan Rasser yang mengaitkan 3 unsur, yaitu mitos, upacara, dan masyarakat menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain. Ditinjau dari fungsinya, jenis tari Bali secara umum dapat digolongkan atas 3 golongan, yaitu (Soenaryo, 1989 : 6) :

1. Seni Tari Wali (Sacred, religious dance) dilakukan di Pura-Pura atau yang berkaitan dengan upacara agama.

(4)

2. Seni Tari Bebali (ceremonial dance) dilakukan untuk pengiring upacara dan upakara baik di Pura maupun diluar Pura. Jenis ini umumnya mempunyai lakon.

3. Seni Tari Balih-Balihan (secular dance) berfungsi sebagai tontonan atau hiburan.

Pada masyarakat daerah Jambi suatu Propinsi di Sumatra terdapat suatu kelompok masyarakat yang memiliki kegiatan upacara keagamaan yang sering digelar seperti upacara khitanan, kenduri, pemberian nama anak, dan syukuran anak. Dalam upacara adat tersebut selalu diiringi oleh kesenian tari yang mendukung lengkapnya upacara tersebut. Tari Asyik Nyambai merupakan tarian penolak bala masyarakat di Jambi. Masyarakat Batanghari percaya bahwa tarian ini merupakan upacara penolak bala yang ampuh jika masyarakat setempat sedang terkena musibah. Di dukung dengan dukun yang ikut menari-nari di tengah upacara berlangsung sambil mengucap mantra-mantra untuk memanggil roh halus terdapat beberapa penari pendukung yang gerakannya terlihat lebih dinamis dibanding sang dukun yang hanya bergerak sesuai dengan tuntunan roh-roh halus yang memang sengaja dipanggilnya untuk membantu sang dukun dalam upacara menolak bala tersebut (Parani 2004 : 214).

Di Surakarta terdapat satu tarian yang sangat terkenal keramat dan tidak dapat sembarangan dipentaskan. Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang hanya ditarikan pada saat tertentu. Menurut Gusti Mung, tarian ini merupakan ciptaan dari Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari yang khusus diciptakan untuk Panembahan Senopati yang melambangkan cinta birahi Kangjeng Ratu Kidul

(5)

kepada Panembahan Senopati. Oleh karena itu, tarian ini tidak dapat ditarikan atau dipersembahkan untuk sembarang orang. Dalam waktu satu tahun, Bedhaya Ketawang hanya ditampilkan satu kali dan hanya di depan Sinuhun Sultan Agung saja, yaitu pada saat peringatan ulang tahun kenaikan tahta Sri Susuhunan. Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan adat upacara (ceremony), sakral, religius, dan tarian percintaan atau tarian perkawinan (Hadiwidjojo 1978 : 12). Pergelaran Bedhaya Ketawang ini belum ada yang dapat memprediksikan kapan awal mulanya tarian ini diadakan. Aslinya, pergelaran ini berlangsung selama dua setengah jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi hanya satu setengah jam saja.

Banyak peraturan-peraturan yang harus ditaati untuk melakukan pergelaran ini, baik bagi para penontonnya, maupun bagi para penarinya. Para penonton yang merupakan kerabat Sinuhun diharuskan untuk mensucikan diri lahir dan bathin sebelum menyaksikan tarian ini. Walaupun dirasa sangat berat dan menyusahkan, namun segala sesuatu peraturan tetap dilaksanakan berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian mereka pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khudus itu. Hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa Bedhaya Ketawang ini merupakan suatu pusaka yang suci. Bagi para penarinya, ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat kepercayaan, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul. Karena itu, mereka juga harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan, maupun pada waktu pergelarannya.

(6)

Proses sakralisasi untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya dengan sangat teliti. Jika ada yang merasa akan menghadapi halangan bulanan (bagi perempuan), sebaiknya jangan sekali-sekali mencoba menonton atau mendaftarkan diri menjadi penari Bedhaya Ketawang ini. Karena jika peraturan-peraturan yang telah dipercaya secara turun temurun dan disepakati antara Kangjeng Rartu Kidul dan Panembahan Senopati dilanggar oleh para keturunannya, maka Kangjeng Ratu Kidul yang dipercaya sebagai ratu makhluk halus seluruh Pulau Jawa akan marah. Menurut Sinuhun Paku Buwono X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, tetapi selalu dapat dielakkan oleh Sinuhun. Maka Kangjeng Ratu Kidul lalu memohon agar Sinuhun menetap saja di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, ialah singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan. Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai “sangkan paran” (mencari sesuatu yang gaib). Namun begitu beliau masih mau memperistri Kangjeng Ratu Kidul, secara turun temurun. Yang berarti, siapa saja keturunannya yang bertahta di Pulau Jawa akan mengikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada detik peresmian kenaikan tahtanya. Untuk membalas rasa terimakasihnya Kangjeng Ratu Kidul kepada Sinuhun karena telah menerimanya sebagai istri, Kangjeng Ratu Kidul bersedia untuk datang ke daratan untuk mengajarkan kepada para penari kesayangan Sinuhun tarian Bedhaya Ketawang. Kangjeng Ratu Kidul memberikan pelajaran

(7)

tari ini secara langsung datang ke daratan setiap hari Anggarakasih (“anggara” adalah bahasa kawi untuk hari Selasa, “kasih” berarti Kliwon).

Sampai saat ini, khusus untuk latihan tari Bedhaya Ketawang hanya dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon saja, karena dipercaya pada hari itu Kangjeng Ratu datang khusus untuk memberikan pelajaran tarian sakral ini secara langsung kepada para penari. Tarian ini semakin terasa khudusnya karena diiringi oleh gendhing. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang ini disebut juga Gendhing Ketawang Gedhe. Selain itu, ada juga alat musik rebab, gender, gambang, dan suling sebagai alat musik tambahan dalam tarian ini yang dipakai pada beberapa bagian dalam tarian ini. Tarian ini tidak seperti tarian-tarian pada umumnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedangkan Beliau duduk disebelah kanan mereka (meng-kanan-kan).

Dalam perkembangannya di jaman yang semakin maju seperti sekarang ini, Bedhaya Ketawang pun tidak luput dari dampak perkembangan jaman. Seperti halnya kebudayaan-kebudayaan sakral yang lain, Bedhaya Ketawang semakin mengikuti perkembangan jaman, dimana sebuah tarian sakral ini telah mengalami penyesuaian dalam beberapa hal, yaitu dari segi lama pementasan, orang-orang yang dapat menyaksikan pertunjukkan ini, dan segala macam urutan dan aturan-aturan sebelum dan pada saat pementasan tari Bedhaya Ketawang ini. Namun hal ini tidak mengurangi sifat kesakralan dan kesucian tarian ini. Pihak Keraton yang pada akhirnya mengubah hal-hal yang telah menjadi ketentuan mutlak dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang selalu mempertimbangkan agar kepentingan kepercayaan yang telah mendarah daging dalam lingkungan Keraton, atau

(8)

masyarakat Jawa pada umumnya dan kepentingan pariwisata dapat sama-sama seimbang. Hal ini dilakukan agar pusaka Keraton tari Bedhaya Ketawang ini juga dapat dilestarikan dan dijaga keberadaannya, karena merupakan hal yang sangat penting sifatnya baik bagi Keraton Surakarta, masyarakat Jawa pada umumnya, maupun sebagai salah satu kebudayaan yang unik yg dimiliki Indonesia.

Sangat terlihat keunikan dari tarian ini, sehingga Penulis merasa perlu mengangkat tarian ini untuk menjadi sebuah tulisan agar dapat bermanfaat baik untuk pribadi, maupun untuk kelanjutan keberadaan tari Bedhaya Ketawang yang hanya ada di dalam Keraton Surakarta ini. Sebelumnya seperti yang Penulis temui di perpustakaan Sasana Pustaka (perpustakaan dalam Keraton Surakarta) sudah mulai ada yang menulis tentang tarian Bedhaya Ketawang ini, namun banyak yang mengulas dari segi pakaian, gerakan, atau gendhing nya yang kebanyakan diteliti oleh mahasiswa Seni Tari. Disini Penulis mencoba melihat dari sisi Antropologi. Seperti yang kita ketahui, karena kesakralan tarian tersebut, maka tidak banyak orang dapat mempelajari tarian tersebut. Kesucian tarian ini pun sangat di jaga oleh pihak Keraton Surakarta, dengan cara tidak mempertunjukannya pada sembarang tempat dan waktu. Dari situlah dapat dilihat bahwa semakin sering dibahasnya tarian ini kepada masyarakat yang lebih luas lagi, maka akan semakin bertahan tarian ini sebagai kebudayaan yang unik yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia.

(9)

1. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, terlihat beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang kesenian tari yang di anggap sakral bagi masyarakat Jogjakarta pada umumnya, dan abdi dalem Keraton pada khususnya, yaitu tari Bedhaya Ketawang. Setelah melihat latar belakang di atas, dapat dilihat terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk dibahas, yaitu :

1. Bagaimana hubungan antara mitos dan simbol dalam tari Bedhaya Ketawang?

2. Apa fungsi tari Bedhaya Ketawang bagi Keraton Surakarta dalam konteks jaman sekarang?

1. 3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Teoretis

1. Untuk mengetahui mitos-mitos yang berhubungan dengan Bedhaya Ketawang dan memahami arti dan lambang yang ada dalam keseluruhan tari Bedhaya Ketawang guna memahami dan mengetahui tari sakral Bedhaya Ketawang ini.

2. Untuk mengetahui fungsi tari Bedhaya Ketawang agar dapat melestarikan dan mempertahankan tarian sakral dalam Keraton Surakarta ini sebagai kebudayaan Indonesia.

1.3.2. Tujuan Praktis

1. Memberikan pengertian secara mendalam adanya hubungan tari Bedhaya Ketawang dengan unsur-unsur mistis yang selama ini dipercayai oleh masyarakat.

(10)

2. Memberikan gambaran kepada masyarakat umum tentang tarian Bedhaya Ketawang yang selama ini dianggap mistis oleh masyarakat.

1. 4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat merupakan sumbangan pemikiran terhadap penentu kebijaksanaan, khususnya dalam bidang kebudayaan sebagai bahan pertimbangan untuk upaya pembinaan dan pelestarian budaya, dalam hal ini tari Bedhaya Ketawang.

Uraian tentang Bedhaya Ketawang ini adalah salah satu usaha pencatatan data yang masih dapat diketemukan. Semakin sulitnya pengetahuan dan data-data tertulis mengenai tarian ini antara lain disebabkan karena pencatatan tentang Bedhaya Ketawang yang dipandang sangat suci ini masih selalu dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dikerjakan oleh sembarang orang. Atas dasar hal ini maka muncul ketakutan akan kepunahan tarian sakral yang memang jarang ditemukan ini. Selain itu, memang sudah banyak jenis-jenis tarian bedhaya lainnya yang sengaja diciptakan oleh generasi-generasi muda untuk mempermudah dalam segala hal, baik dalam hal gerakan, musik, pakaian, aturan-aturan dalam tarian yang secara sengaja menghilangkan unsur kesakralannya.

1. 5. Kerangka Teori, Konsep, dan Model Penelitian

1. 5. 1. Kerangka Teori

Sehubungan dengan fokus penelitian yang telah diuraikan di atas, mengacu pada beberapa teori yang nantinya akan mampu melingkup keseluruhan

(11)

dari permasalahan di atas. Dalam hubungannya dengan tari Bedhaya Ketawang ini maka tidak bisa dilepaskan antara mitologi yang melatarbelakangi tarian, proses tarian, dan masyarakat itu sendiri sebagai pendukung tarian tersebut. Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas maka sesuai perumusan masalah akan mengacu pada penerapan teori fungsional oleh Bronislaw Malinowski, terutama mengaitkan hubungan yang terjadi berkenaan dengan tari Bedhaya Ketawang tersebut.

Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture”. Inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan misalnya, terjadi karena manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan.

Dengan faham itu, seorang peneliti dapat menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Oleh karena penelitian yang dilakukan ini mengacu pada aspek-aspek yang berhubungan secara fungsional, maka dalam hal ini dipergunakan pendekatan yang bersifat fungsional, yaitu suatu pendekatan yang melihat kegunaan dari suatu fenomena budaya didalam kehidupan masyarakat. Dalam tulisan ini, Bedhaya Ketawang merupakan sebuah fenomena dalam masyarakat Jawa, khususnya dalam Keraton Surakarta. Dalam rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan

(12)

atau peringatan kenaikan tahta Raja, Bedhaya Ketawang sangat penting sifatnya, karena merupakan sebuah lambang legitimasi seorang Raja dalam Keraton Surakarta untuk menduduki tahta kerajaan.

Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan (religius emotion). Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba religi merupakan suatu getaran yang menggetarkan jiwa manusia. Proses-proses fisiologi serta psikologi yang terjadi bila seseorang dihinggapi emosi keagamaan tadi belum dianalisa. Rudolf Otto malah menghindari suatu analisa, dengan suatu uraian yang mendalam bahwa emosi yang merupakan sikap kagum (terpesona) terhadap hal yang gaib serta keramat itu. Pada hakekatnya tak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena berada di luar jangkauan kemampuannya. Soderblom hanya menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap “takut bercampur percaya“ kepada hal yang gaib serta keramat. Komponen emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen utama dari gejala religi, yang membedakan suatu sistem religi dari sistem sosial budaya yang lain dalam masyarakat manusia (Koentjaraningrat 1987 : 80).

Geertz berpendapat bahwa simbol-simbol keramat tertentu memuat makna dari hakikat dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup dimasyarakatnya. Simbol-simbol keagamaan macam begitu mampu untuk menggiring bagaimana seseorang merasa cocok untuk melihat, merasa, berfikir, dan bertindak. Betul bahwa orang tidak hanya mempercayai apa yang dapat dilihat saja. Akan tetapi seseorang seringkali juga hanya akan melihat apa yang

(13)

selama ini telah dia percayai. Bilamana kecocokan itu diberlakukan, diperteguh dan diulang-ulang dalam berbagai bentuk upacara bagi para warganya. Simbol dalam tari Bedhaya Ketawang memiliki arti yang sangat penting. Mulai dari ritual yang dijalankan, gerakan-gerakan penari, sindhenan yang dinyanyikan dalam iringan tari tersebut, busana penari, sampai riasan wajahnya memiliki makna yang mendalam dan sangat menarik untuk dipelajari.

Analisis A. Van Gennep, (dalam buku Koentjaraningrat 1987 : 74) mengenai ritus peralihan dan upacara pengukuhan. Mengenai hal itu, Van Gennep berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu. Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan dalam masyarakat.

Seperti halnya dalam upacara peringatan pengukuhan Raja Keraton Surakarta Hadiningrat yang dilaksanakan pada 1 Suro Je 1942 (18 Juli 2009) kemarin. Dalam upacara tersebut juga digelar pagelaran tari Bedhaya Ketawang yang selalu disertakan dalam setiap upacara tahunan ini. Maksud dipagelarkannya tarian Bedhaya Ketawang ini adalah untuk menjaga kelestarian dari tarian sakral ini agar tidak punah begitu saja.

Mengingat sudah semakin menjauhnya perhatian masyarakat dengan kebudayaan asli yang hidup dalam Keraton Surakarta ini maka sewajarnya pihak

(14)

Keraton bertanggung jawab untuk tetap melestarikan dan mengingatkan kepada masyarakat umum bahwa Keraton Surakarta memiliki tarian sakral yang sangat dihormati dan harus dijaga keberadaannya dan kemudian akan diserahkan kepada masyarakat itu sendiri untuk meneruskan pelestarian budaya ini.

W. Robertson Smith (Koentjaraningrat 1987 : 67) memiliki teori tentang upacara bersaji. Dalam ceramah-ceramah Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Dalam kasus ini hanya gagasan pertama dan kedua saja yang dapat dikorelasikan denganpermasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Gagasan yang pertama mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Yang menarik perhatian Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya saja yang berubah. Gagasan yang kedua yang dikemukakan Smith adalah bahwa upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada yang menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada Dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi hanya karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah sebuah suatu kewajiban.

(15)

Dari kedua gagasan yang dikemukakan oleh Smith tadi terlihat jelas dalam upacara persiapan sebelum tarian sakral Bedhaya Ketawang dimulai. Bagi para penarinya, mereka diwajibkan untuk menjalani ritual-ritual yang memang sudah ada sejak turun temurun. Namun belum tentu para penari yang menjalani ritual tersebut sungguh-sungguh menjalaninya penuh dengan keyakinan. Mereka hanya menjalani karena melihat para sesepuhnya melakukan ritual-ritual tersebut dan mengajarkan untuk melakukannya sebelum menarikan tari Bedhaya Ketawang itu agar diberi keselamatan dalam menarikannya.

Seperti yang di singgung di atas, menurut Emille Durkheim (Koentjaraningrat 1987 : 93) dalam membahas religi beranggapan bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat pengaruh rasa kesatuan sebagai masyarakatnya. Pandangan Emille Durkheim mengenai emosi keagamaan masyarakat ditulis dalam karangannya berjudul Les Formes Elementaires De La Vie Religius.

Pada masyarakat yang mempercayainya dan para penghuni Keraton serta penarinya itu sendiri pun sangat merasakan suatu perbedaan antara tarian Bedhaya Ketawang yang sangat sakral ini dengan tarian bedhaya lainnya yang tidak memiliki sifat sakral. Getaran tersebut sangat dirasakan pada saat tarian itu berlangsung selama 1 setengah jam pada upacara peringatan hari pengukuhan Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dapat dirasakan melalui gerakan para penari, musik pengiring yang mengalun sangat lembut dan arti dari syair yang dinyanyikan oleh para sindhen. Sistem kepercayaan dalam suatu religi

(16)

seperti yang dikatakan Emille Durkheim mempunyai pengaruh terhadap perkembangan antropologi aliran Leiden di Negeri Belanda. Pada prinsipnya berpangkal pada emosi keagamaan, tetapi sebaliknya emosi keagamaan juga bisa berpengaruh oleh sistem kepercayaan dalam suatu religi itu juga bersifat timbal balik. Emille Durkheim berpendapat bahwa adat istiadat dalam setiap kebudayaan itu merupakan penjelmaan dari faham-faham kolektif yang hidup dalam masyarakat juga adalah penjelmaan dari faham kolektif tadi (Koentjaraningrat 1972 : 270-271).

Emille Durkheim juga amat mementingkan hubungan komunitas keagamaan dan emosi keagamaan. Malahan menganggap sumber dari emosi keagamaan itu adalah sentimen keagamaan. Maka dari pada itu setiap aktivitas religi akan nampak unsur-unsur pokok yang terkandung, yaitu emosi keagamaan sebagai sumber pusat, sistem kepercayaan sebagai pedoman, dan sistem upacara serta kelompok keagamaan sebagai pendukungnya adalah merupakan dasarnya (Koentjaraningrat 1972 : 271-272). Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di atas, maka Penulis berusaha menulis tentang Bedhaya Ketawang sesuai dengan acuan teori-teori tersebut.

1.5.2. Pembahasan Konsep

Untuk mempertegas pokok-pokok pembahasan dari masalah yang diajukan, maka akan dijelaskan beberapa konsep yang dianggap relevan dalam penelitian ini. Adapun konsep yang penting dari komponen tersebut adalah :

Bedhaya Ketawang secara etimologis terdiri dari dua kata, yaitu bedhaya dan ketawang. Menurut W. J. S Poerwadarminto (1976: 105) dalam kamus

(17)

Bahasa Indonesia disebutkan : bedhaya adalah penari wanita di Istana. Sedangkan kata ketawang adalah nama gendhingnya. Ketawang diduga berasal dari kata tawang yang artinya langit. Jadi, Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian sakral yang ditarikan oleh penari Keraton dengan diiringi gendhing yang bernama ketawang.

Keraton Surakarta adalah istana Raja atau tempat kediaman keluarga Raja-raja Surakarta Hadiningrat, sekaligus menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Kerajaan tersebut. Dalam hal ini, Keraton Surakarta sangat erat kaitannya dengan Bedhaya Ketawang. Keraton Surakarta menjadi tempat bernaungnya seluruh kebudayaan dan adat istiadat di Pulau Jawa, termasuk juga Bedhaya Ketawang, yang merupakan sebuah hasil karya seni yang bersifat sakral.

Fungsi adalah menyangkut pengertian mengenai suatu struktur yang terdiri dari suatu jaringan hubungan antara entitas-entitas hubungan antara mitos dan efeknya terhadap keyakinan, adat dan pranata pada solidaritas masyarakat untuk berlangsungnya secara berintergrasi dari suatu sistem sosial tertentu (Koentjaraningrat 1987 : 177). Fungsi Bedhaya Ketawang disini akan dijelaskan, dimana fungsi pada jaman dahulu dan pada jaman sekarang sudah mengalami pergeseran fungsi, namun tidak mengurangi nilai sakral sebuah tarian tersebut.

Upacara adalah suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka mempertingati peristiwa-peristiwa dengan ketentuan adat yang bersangkutan. Setiap upacara keagamaan biasanya berkaitan erat dengan kepercayaan yang ada dibelakangnya. Kepercayaan adalah suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam, yang

(18)

disebabkan oleh sikap kagum terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat (Koentjaraningrat 1987 : 66). Upacara Tingalan Dalem Jumenengan merupakan sebuah rangkaian upacara yang wajib dilaksanakan setiap satu tahun sekali untuk memperingati hari kenaikan tahta sang Raja. Dalam rangkaian upacara tersebut, Bedhaya Ketawang merupaka sebuah puncak acara yang wajib dipagelarkan untuk melegitimasi gelar seorang Raja.

Simbol dalam kamus Bahasa Indonesia artinya lambang. Dalam tari Bedhaya Ketawang banyak sekali simbol-simbol yang mempunyai banyak arti. Mulai dari gerakannya, pakaiannya, musiknya, sampai pada proses sebelum dan sesudah melakukan tarian tersebut.

Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005 : 749). Mitos dalam tari Bedhaya Ketawang yang sangat kental dengan hal gaib disebabkan karena dipercaya bahwa tarian ini merupakan ciptaan dari Kangjeng Ratu Kidul, yang merupakan Ratu dari segala makhluk gaib yang terdapat di Pulau Jawa. Cerita tersebut telah dipercaya secara turun temurun oleh seluruh masyarakat Jawa, bahkan setelah meluas sampai kepada kalangan umum.

Sakral adalah supernatural yang luar biasa, mengesankan dan penting; abadi yang penuh dengan subtansi dan relitas; keteraturan dan kesempurnaan (cosmos), rumah para leluhur, pahlawan dan para Dewa. (Pals 2001:275). Sakral erat kaitanya dengan profan. Oposisi ini sering ditunjukan sebagai oposisi antara yang

(19)

nyata dan tidak (palsu). Dengan demikian, kesakralan selalu memanisfestasikan dirinya sebagai sebuahh realitas yang secara keseluruhannya dari realitas-realitas alami. (Eliade 2002:2-8 dan 213).

Prosesi adalah berlangsungnya suatu peristiwa dalam ruang waktu (Kamus Antropologi). Prosesi yang dimaksud disini adalah suatu persiapan tari Bedhaya Ketawang mulai dari latihan, persiapan sebelum pementasan, hingga pada saat pementasan yang berada dalam sebuah rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan sesuai dengan ketentuan yang dipercaya secara turun temurun oleh Sri Sultan dan masyarakat Keraton.

1. 5. 3. Model Penelitian

FUNGSI

TARI BEDHAYA KETAWANG

MITOS SIMBOL NEGARA IDENTITAS BUDAYA Pelestarian Budaya KERATON SURAKARTA Peringatan Kenaikan Tahta Raja

(20)

Penjelasan :

Dalam tarian Bedhaya Ketawang terdapat unsur mitos yang tergambar melalui simbol-simbol yang ada dalam tarian mistis tersebut. Antara simbol-simbol dan mitologi dalam tarian ini masing-masing memberikan dampak yang saling berkaitan. Banyak makna yang dapat diartikan dalam tarian ini melalui simbol-simbol seperti jumlah penari, pakaian, alat musik, dan arti dari nyanyian yang mengiringi tarian Bedhaya Ketawang tersebut yang pada akhirnya menjadi sebuah cerita atau mitos dalam lingkungan Keraton, dan pada masyarakat luas yang pernah melihat tarian Bedhaya Ketawang secara langsung. Keseluruhan dari rangkaian upacara pergelaran tari Bedhaya Ketawang ini diadakan secara rutin setahun sekali dalam rangkaian upacara Tingalandalem jumenengan, dimana upacara tersebut merupakan ulang tahun pengukuhan Raja Keraton. Maksudnya adalah melestarikan budaya dalam Keraton Surakarta agar budaya asli Keraton ini tidak hilang begitu saja. Seiring dengan berkembangnya jaman, maka tarian ini pun mengalami perkembangan dan ada sedikit perubahan, hal ini dimaksud agar tari Bedhaya Ketawang dapat terus terlihat eksistensinya dengan tidak mengurangi nilai sejarah kesakralan dan kesucian tarian ini. Karena fungsi tari Bedhaya Ketawang merupakan sebuah identitas bangsa, khususnya dalam budaya Jawa.

1. 6. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1. 6. 1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak di kota Solo, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan disini karena tarian sakral Bedhaya Ketawang ini merupakan hasil karya dari Raja pertama Keraton Surakarta, yang kemudian tari Bedhaya Ketawang sekarang telah menjadi benda pusaka milik Keraton Surakarta. Bedhaya Ketawang bukan hanya sekedar sebagai sebuah benda pusaka milik Keraton Surakarta, melainkan merupakan sebuah lambang atau simbol bagi Keraton Surakarta dalam bidang seni budaya dan tari. Selain itu, Bedhaya Ketawang juga merupakan salah satu proses upacara sakralisasi kenaikan tahta seorang Raja atau pada upacara peringatan kenaikan tahta Raja. Bedhaya

(21)

Ketawang hanya dimiliki oleh Keraton Surakarta saja, tidak ada pada keraton-keraton yang lain.

Penelitian dilakukan di Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di jamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini mengitari sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar

(22)

tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.

1. 6. 2. Penentuan Informan

Pada penelitian ini diperlukan adanya informan. Mereka yang akan termasuk informan berdasarkan kedekatan dan seberapa mengertinya informan tentang permasalahan yang menjadi tujuan utama dalam penelitian ini. Jumlah informan yang ditemui di lapangan berjumlah 12 orang, meliputi pelatih tari Bedhaya Ketawang, sekaligus anak dari PB XII yang menjadi informan utama dalam penelitian ini. Setelah itu kemudian muncul informan selanjutnya yaitu petugas Sasana Pustaka (perpustakaan Keraton Surakarta) yang ditunjuk langsung oleh informan utama bilamana penulis membutuhkan data-data yang masih belum didapat melalui wawancara bersama informan utama. Setelah itu barulah informan berikutnya didapat setelah penulis bertemu langsung dengan para penari Bedhaya Ketawang. Selain itu staf ahli Keraton Surakarta juga turut membantu dalam memberikan informasi yang belum didapat oleh penulis.

1. 6. 3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, sebagai berikut :

1. Teknik Pengumpulan Data Observasi Partisipasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung untuk memperoleh data yang mendekati

(23)

kenyataan dan akurat dalam penelitian. Disini ditekankan pada partisipasi aktif penelitian di masyarakat. Dengan demikian akan memungkinkan penelitian untuk mengamati dan mencatat kejadian sehari-hari atau kejadian-kejadian tertentu untuk memperoleh pemahaman secara langsung tentang berbagai aktivitas ataupun kejadian sesungguhnya.

Observasi partisipasi dilakukan dengan terlibat langsung dalam peristiwa dan kehidupan sosial budaya masyarakat Keraton. Dalam hal ini, peneliti tinggal beberapa waktu di lingkungan Keraton, namun keberadaan peneliti dalam hal ini menekankan pada pengalaman sebagai orang luar (outsider experience) dan sekaligus pengalaman sebagai orang dalam (insider experience) dengan melibatkan segala emosi dan perasaan untuk mendapatkan data lebih mendalam (Spradley 1980).

Wawancara

Metode wawancara digunakan untuk mendapat keterangan atau informasi lisan, di sampaikan, dilakukan pencatatan baik tertulis maupun melalui ingatan. Wawancara mendalam di arahkan kepada informan kunci, yaitu orang yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam mengenai tari Bedhaya Ketawang ini.

Di samping wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap informan yang terpilih dan dianggap mampu memberikan

(24)

informasi secara mendalam. Peneliti juga melakukan wawancara bebas sambil lalu terhadap beberapa informan yang dijumpai secara kebetulan dalam setiap kesempatan di tempat penelitian. Kedua wawancara itu dilakukan secara berulang-ulang sehinga dapat terkumpul data sesuai dengan data yang dibutuhkan.

2. Studi Kepustakaan

Metode ini digunakan untuk mengetahui atau memperoleh data yang berkaitan dengan teori yang mendukung penelitian. Oleh karena itu, metode kepustakaan penting artinya untuk melengkapi data dari lapangan. Metode ini dipelajari sebagai metode untuk memperoleh konsep-konsep dan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas untuk mendapatkan informasi dan data sekunder dari permasalahan yang ada di tempat penelitian. Usaha untuk memperoleh konsep dan teori baik melalui kepustakaan maupun di luar kepustakaan adalah membaca buku-buku teori yang ada pada buku-buku ilmu sosial.

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode yang dipergunakan untuk mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-hal atau variable. Data tersebut bisa berupa catatan, transkrip, prasasti, surat kabar, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Bentuk dokumen sebagai hasil pendokumentasian dalam penelitian ini, yakni berupa sebuah rekaman video pertunjukkan tari Bedhaya Ketawang, sebuah rekaman digital audio recorder berisi rekaman wawancara dengan para informan yang berhubungan dengan

(25)

tarian Bedhaya Ketawang, kumpulan foto-foto rentetan kegiatan tari Bedhaya Ketawang.

1. 6. 4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretatif kualitatif, yakni memakai ide-ide konsep, pengetahuan yang ada di dalam kehidupan masyarakat bersangkutan, berkaitan dengan sudut pandang mereka tentang dunia mereka. Hasil data yang terkumpul baik melalui observasi atau pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan tersebut disusun serta dikelompokkan ke dalam kategori-kategori tertentu dengan mengacu pada pokok-pokok bahasan yang telah ditetapkan. Menganalisis data dilakukan peneliti sepanjang berlangsungnya penelitian, mulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data terjadi satu laporan penelitian, kemudian meng-edit nya dan di analisis sesuai kerangka pikiran yang dipakai.

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi dibutuhkan oleh semua karyawan termasuk karyawan di PT PLN (Persero) APJ Surakarta, dalam melakukan pekerjaan dan kewajibannya karyawan diharapkan mempunyai semangat

Kerjasama Indonesia dan Jepang Melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dalam Bidang Ekspor Kopi.. Japan - Indonesia 20/21 Market Access Workshop: Food

Dokumen Laporan Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan IUPHHK-HTI PT Sumalindo Hutani Jaya II untuk semester II (Juli - Desember 2015) dan semester I

Wujud Tanda Kebahasaan yang berupa Ikon, Indeks, dan Simbol serta maknanya dalam Roman Une Fille Dans La Ville Karya Flore Vasseur. Peirce membedakan hubungan antartanda

Laporan – laporan yang harus diselesaikan dalam satu hari penjualan di antaranya laporan penerimaan kas, laporan penjualan untuk makanan dan minuman dari semua restoran dan bar

Rencana Umum Energi Daerah Kabupaten Indragiri Hilir disusun dengan arah kebijakan dan strategi energi daerah, baik dalam jangka panjang maupun jangka menengah, dalam

Rumah makan yang telah didirikan sejak 4 April 2002 dapat dikatakan kurang strategis karena tidak terletak didepan jalan raya.Namun hal tersebut tidak menjadi masalah besar bagi