• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hana Talita Margijanto, Farida Kurniawati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hana Talita Margijanto, Farida Kurniawati"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Sikap terhadap Pendidikan Inklusif dan Strategi

Pengajaran: Studi pada Guru yang Pernah dan Belum Pernah Kontak

Langsung dengan Anak Berkebutuhan Khusus sebelum Mengajar di Sekolah

Dasar Inklusif

Hana Talita Margijanto,

Farida Kurniawati

1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia 2. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: hanatalita@gmail.com

Abstrak

Pengembangan pendidikan inklusif di Jakarta meningkatkan kebutuhan akan penelitian yang meneliti faktor yang berperan dalam keberhasilan pendidikan tersebut. Peneliti tertarik untuk meneliti hubungan sikap guru terhadap pendidikan inklusif dan strategi pengajaran guru di sekolah dasar inklusif pada kelompok guru yang pernah memiliki pengalaman kontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus sebelum mengajar di sekolah inklusif dan yang tidak pernah. Penelitian dilakukan pada 102 guru sekolah dasar inklusif di Jakarta dan Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap guru dan perbedaan strategi pengajaran di antara kedua kelompok guru; namun terdapat hubungan yang signifikan antara sikap guru dan strategi pengajaran. Hal itu menunjukkan bahwa semakin positif sikap guru, semakin banyak strategi pengajaran inklusif yang digunakan guru.

Relationship between Attitude towards Inclusive Education and Teaching Strategy: A Study in Teachers with and without Direct Contact With Special Needs Children before

Teaching in Inclusive Primary School Abstract

The development of inclusive education in Jakarta raises the need to study factors related to its success. This research aims to study the relationship between teachers‟ attitude towards inclusive education and teaching strategies among inclusive primary school teachers. Furthermore, this research also investigates the role of prior contact with special education need (SEN) students and its effect on both attitude and teaching strategies. The study was done to 102 primary school teachers across Jakarta and Depok. The result shows no significant difference on attitude and teaching strategies among teachers who had prior contact with SEN students and teachers who hadn‟t. However, significant correlation was found between teachers‟ attitude towards inclusive education and teaching strategies, which indicates increased attitude is followed by increased number of inclusive teaching strategies used.

Keywords: inclusive education, primary school, prior contact with SEN students, teaching strategies, teachers’ attitude

(2)

Pendahuluan

Education is a human rights issue and person with disabilites should be part of schools, which should modify their operations to include all students (Karagiannis, Stainback & Stainback, dalam Stainback & Stainback, 1997). Pernyataan tersebut adalah salah satu pandangan tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK). Seperti layaknya anak-anak yang lain, ABK juga berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan mereka harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka, dari segi strategi mengajar, materi belajar, sarana prasarana belajar, dan sistem evaluasi. Pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka tersebut tercermin dalam pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif adalah the practice of including everyone— irrespective of talent, disability, socioeconomic background or cultural origin—in supportive maintreasm schools and classrooms where all student needs are met (Karagiannis, Stainback dan Stainback, 1996, p. 3).

Pendidikan inklusif menjadi model pendidikan yang lebih baik karena memisahkan siswa berkebutuhan khusus secara akademis dan sosial akan berdampak buruk bagi siswa, seperti tidak merasakan kebebasan dan kompetensi tertentu (Karagiannis, Stainback & Stainback, dalam Stainback & Stainback 1996). Sekolah inklusif memberikan kesempatan pada setiap siswa berkebutuhan khusus untuk mempersiapkan diri untuk kehidupan komunitas, dan mempersiapkan anak reguler untuk memiliki sikap yang positif terhadap anak berkebutuhan khusus (Karagiannis, Stainback & Stainback, dalam Stainback & Stainback, 1996).

Keberhasilan pendidikan inklusif ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kepala sekolah, filosofi sekolah, iklim sekolah, support system dan metode pengajaran yang efektif (Schaffner & Bushwell, dalam Stainback & Stainback, 1996). Selain itu, guru juga menjadi pihak yang berperan besar dalam pendidikan inklusif. Guru adalah figur yang bertemu dengan siswa secara langsung di kelas sehingga sikap guru terhadap anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusif juga merupakan faktor yang penting agar pendidikan inklusif ini berhasil (Avramidis & Norwich 2002; Mangunsong, 2009).

(3)

yang evaluatif. Terdapat tiga kategori respon: kognisi, afeksi, dan konasi. Respon kognisi merefleksikan persepsi dan pikiran tentang objek sikap, sementara afeksi mengacu pada perasaan tentang objek tersebut. Respon konatif adalah intensi berperilaku terhadap objek sikap.

Selain sikap, Schaffner dan Bushwell (dalam Stainback & Stainback, 1997) mengungkap faktor pendekatan pengajaran efektif sebagai faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan pendidikan inklusif. Pendekatan one-size-fits-all tidak dapat digunakan di pendidikan inklusif. Untuk mendidik siswa dengan kebutuhan yang berbeda-beda, dibutuhkan pendekatan yang memperhatikan kebutuhan setiap anak. Sekolah perlu menggunakan strategi pengajaran di kelas yang mampu memfasilitasi setiap kebutuhan tersebut. Strategi pengajaran mengacu kepada variasi metode pengajaran yang digunakan guru di kelas untuk memfasilitasi pengajaran dan pembelajaran di kelas (Choate, 2000). Adapun beberapa strategi yang dipakai untuk pembelajaran dalam kelas inklusif, antara lain mengorganisasikan kegiatan, pembelajaran kooperatif, pengajaran yang dimediasi rekan sebaya, pengajaran strategi, pengajaran langsung dan teknologi yang meningkatkan pengajaran. Strategi ini dapat dikembangkan oleh guru dan digunakan sesuai dengan kebutuhan setiap siswa di kelas tersebut. Sejumlah faktor telah ditemukan berperan dalam keputusan guru untuk mengimplementasikan strategi pengajaran khusus tersebut di kelas inklusif. Dalam riviu yang dilakukan Scott, Vitale dan Masten (1998), karakteristik guru, pelatihan guru dan dukungan sekolah ditemukan mempengaruhi implementasi strategi pengajaran.

Selanjutnya, karakteristik lain dari guru yang juga dapat mempengaruhi keberhasilan pendidikan inklusif adalah pengalaman kontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus. Leyser, Kapperman, dan Keller (1994) menguji korelasi beberapa variabel latar belakang guru dan sikap mereka terhadap pendidikan inklusif. Salah satu variabel tersebut adalah pengalaman kontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus. Guru yang banyak memiliki pengalaman kontak dengan anak berkebutuhan khusus memiliki skor sikap yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru lebih sedikit kontak langsung (Leyser, Kapperman dan Keller, 1994).

Mengacu pada theory of planned behavior yang dijelaskan oleh Ajzen (2005), sikap adalah salah satu komponen yang membentuk intensi berperilaku, yang kemudian dalam waktu yang

(4)

tepat dapat memunculkan perilaku yang nyata. Menurutnya, sikap menjadi salah satu prediktor munculnya perilaku. Dalam teori yang sama, salah satu faktor yang melatarbelakangi terbentuknya sikap adalah pengalaman kontak langsung dengan objek sikap tersebut. Kontak menjadi faktor yang diduga berpengaruh terhadap pembentukan sikap tersebut dan pada akhirnya pada perilaku yang ditunjukkan individu. Oleh karena itu, peneliti menduga kontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus berperan dalam pembentukan sikap guru terhadap pendidikan mereka dan selanjutnya berhubungan kuat dengan implementasi strategi pengajaran guru di kelas.

Bender, Vail, dan Scott (1995) telah mengungkap hubungan yang positif antara sikap dengan penggunaan strategi pengajaran inklusif yang efektif. Namun, peneliti belum banyak menemukan literatur lain yang mendukung temuan ini. Penelitian sebelumnya banyak membahas sikap dan strategi pengajaran secara terpisah (Gyimah, 2011; Leyser, Kapperman & Keller, 2006; Rakap & Kaczmarek, 2010). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara sikap guru dan strategi pengajaran guru di sekolah dasar inklusif. Selanjutnya, peneliti juga ingin melihat peran pengalaman kontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus sebelum mengajar di sekolah inklusif terhadap sikap dan strategi pengajaran. Populasi guru sekolah dasar dipilih karena menurut Erikson (dalam Papalia, Feldman & Olds, 2009) siswa sekolah dasar yang berusia 5-12 tahun tersebut berada dalam tahap industry vs inferiority. Tugas perkembangan anak pada tahap tersebut adalah kompetensi. Guru sebagai pihak yang cukup sering berhubungan langsung dengan siswa di sekolah menjadi pihak yang berpengaruh pula dalam perkembangan perasaan kompetensi siswa, termasuk siswa berkebutuhan khusus. Sikap guru yang positif terhadap pendidikan inklusif menjadi karakteristik yang penting dalam membangun kompetensi siswa. Penggunaan strategi pengajaran yang inklusif juga mendukung kompetensi tersebut. Oleh karena itu, baik sikap maupun strategi pengajaran guru akan memprediksi keberhasilan siswa di jenjang pendidikan berikutnya.

Tinjauan Teoritis

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi sikap Ajzen (2005), yaitu sikap adalah disposisi untuk memberikan respon setuju atau tidak setuju terhadap sebuah objek, individu, institusi, atau peristiwa. Karena objek penelitian ini adalah pendidikan inklusif, sikap terhadap

(5)

pendidikan inklusif adalah disposisi untuk memberikan respon setuju atau tidak setuju terhadap pendidikan inklusif.

Dalam theory of planned behavior yang dikemukakan Ajzen (2005), sikap adalah salah satu dari tiga faktor yang dapat memprediksi intensi berprilaku. Faktor kedua adalah perceived behavioral control dan subjective norm. Perceived behavioral control mengacu kepada penilaian individu terhadap kemampuan dirinya untuk melakukan sebuah perilaku, sementara subjective norm

adalah tekanan dari lingkungan individu untuk melakukan perilaku tertentu. Ketiga faktor ini memprediksi intensi dan kemudian pada waktu yang tepat akan menghasilkan perilaku tertentu.

Terdapat tiga komponen sikap menurut Ajzen (2005). Komponen yang pertama adalah respon kognitif. Komponen ini merefleksikan persepsi terhadap dan pikiran tentang objek sikap (Ajzen, 2005, p. 4). Komponen kognitif yang bersifat verbal meliputi belief seseorang yang diekspresikan, sedangkan yang bersifat non verbal berupa persepsi terhadap objek sikap. Dalam konteks pendidikan inklusif, komponen kognitif guru meliputi belief guru tentang pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif (Mahat, 2008).

Komponen yang kedua adalah respon afektif. Komponen afektif verbal didefinisikan sebagai ekspresi perasaan individu tentang objek sikap, sementara respon afektif non-verbal adalah berupa reaksi fisiologis terhadap objek sikap. Komponen afektif di konteks pendidikan inklusif termasuk perasaan guru terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus.

Komponen terakhir adalah respon konatif. Respon konatif adalah intensi perilaku, kecenderungan bertindak dan tindakan terhadap objek sikap. Komponen konatif yang bersifat verbal antara lain meliputi perkataan, tindakan,dan perilaku individu. Sementara itu, komponen konatif yang bersifat non verbal mengacu pada tindakan lain yang mendukung tindakan utama terhadap objek sikap. Dalam konteks pendidikan inklusif, komponen konatif dapat berupa kemauan guru untuk melakukan tindakan terhadap anak berkebutuhan khusus atau tindakan lain yang mendukung keberhasilan pendidikan inklusif.

(6)

Sikap guru terhadap pendidikan inklusif dapat diukur dengan metode lapor diri dalam bentuk kuesioner. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur Multdimentional Attitudes Towards Inclusive Education (MATIES) yang dikonstruksi oleh Mahat (2008). Alat ukur ini dibuat untuk mengukur ketiga komponen sikap yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Alat ukur ini berjumlah 18 item dengan 6 item untuk tiap komponen.

Alat ukur ini tepat digunakan oleh peneliti karena memiliki tingkat reliabilitas yang baik. Ketiga sub-skala MATIES, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif memiliki konsistensi internal masing-masing senilai 0.77, 0.78 dan 0.91. Menurut Kaplan dan Sacuzzo (2005), nilai indeks reliabilitas di atas 0,70 sudah dianggap baik untuk jenis penelitian dasar.

Selanjutnya, strategi pengajaran mengacu pada kegiatan pengajaran inklusif yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap siswa di kelas agar tujuan pendidikan inklusif tercapai. Definisi ini disimpulkan dari beberapa pendapat tokoh tentang strategi pengajaran yang inklusif, antara lain dari definisi yang diungkapkan Glacer, yaitu “Instructional adaptations require

teachers to implement alternative teaching actions such as modifying materials, assignments, testing procedures, and grading criteria or varying presentation styles, group sizes, and feedback techniques in order to enhance the success of students with disabilities in general classroom settings.” (Glacer, dalam Scott et. al. 1998).

Menurut Choate (2004), terdapat enam strategi pengajaran yang dapat digunakan guru dalam kelas yang inklusif. Pertama, S\strategi mengorganisasikan kegiatan mengacu pada kegiatan yang memudahkan peserta didik untuk mengakses konten pelajaran. Terdapat empat tipe pengorganisasian kegiatan: Pertama, self organizing activites, yaitu kegiatan membuat daftar cek atau kegiatan rutin yang bertujuan untuk membantu siswa mengorganisasikan diri mereka sendiri. Tipe kedua adalah graphic organizers, yang meliputi alat bantu visual seperti diagram, flow chart

atau concept webs. Berikutnya adalah panduan belajar, yaitu pertanyaan kunci atau partial outline yang digunakan siswa unuk memahami konsep dan materi. Tipe terakhir adalah advance organizers, yaitu panduan yang diberikan guru sebagai gambaran awal tentang sebuah materi yang baru.

(7)

Strategi yang kedua adalah strategi kelompok pembelajaran kooperatif, yaitu pengelompokan dua hingga lima siswa yang memudahkan pembelajaran aktif, mendorong interaksi sosial, dan membangun keterampilan sosial bagi sebagian besar siswa, terutama siswa berkebutuhan khusus. Kelompok ini perlu dibentuk dengan struktur yang sistematis, dengan anggota yang heterogen, menghadirkan reward individual maupun kelompok, serta dengan peran tertentu bagi tiap-tiap anggota kelompok.

Ketiga, guru dapat menggunakan strategi pengajaran yang dimediasi rekan sebaya, yang mencakup peer tutoring, yaitu tutorial sebaya; cross age tutoring, yaitu tutorial yang diberikan oleh tutor yang lebih tua; dan reverse-role tutoring, yaitu siswa yang sedang berjuang menjadi tutor bagi yang lebih muda atau kurang mampu.

Berikutnya, terdapat pembelajaran strategi, yang mengacu pada pengajaran tentang bagaimana cara belajar sehingga siswa dapat mandiri dalam belajar di sekolah. Selanjutnya terdapat strategi pengajaran langsung, yaitu pengajaran konten dasar keterampilan. Keterampilan ini berupa keterampilan sehari-hari yang diperlukan siswa dalam kehidupannya. Terakhir, strategi pengajaran juga dapat difasilitasi oleh teknologi, seperti dalam computer assisted teaching

(CAT). Materi pengajaran dapat diberikan melalui komputer yang memudahkan siswa.

Strategi pengajaran dapat diukur dengan metode observasi dan metode lapor diri dengan kuesioner. Peneliti menggunakan alat ukur lapor diri yaitu Bender Classroom Structure Questionnaire (BCSQ) yang dibuat pada tahun 1992 (Bender, 1992). Pengembangan alat ukur ini didasari oleh perubahan sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus yang tidak lagi dipisahkan di sekolah khusus namun digabung dengan anak-anak normal. Dengan penggabungan ini, muncul kebutuhan untuk mengevaluasi strategi pengajaran yang dapat meringankan masalah belajar anak berkebutuhan khusus kedepannya.

Alat ukur ini memiliki 40 item dengan dua subskala. Alat ukur ini digunakan karena memiliki nilai konsistensi internal yang baik: kedua subskala dan alat ukur keseluruhan memiliki nilai reliabilitas di antara 0.74-0.88. Menurut Kaplan dan Sacuzzo (2005), nilai indeks reliabilitas di atas 0.70 sudah dianggap baik untuk jenis penelitian dasar.

(8)

Berdasarkan Leyser, Kapperman dan Keller (1994), kontak didefinisikan sebagai pengalaman guru bertemu dengan ABK. Hasil dari penelitian tersebut adalah guru yang memiliki pengalaman yang lebih banyak bertemu dengan ABK memiliki sikap yang lebih positif. Jika ditinjau dari

theory of planned behavior (Ajzen, 2005) sikap terbentuk dari belief yang dimiliki seorang individu. Belief terhadap sebuah objek terbentuk ketika seseorang mengasosiasikan objek tersebut dengan atribut tertentu. Ketika individu mengasosiasikan objek dengan atribut yang bersifat positif, maka dengan cara bersamaan individu tersebut memiliki sikap yang positif pula terhadap objek tersebut. Belief tersebut dapat terbentuk dari observasi langsung, kesimpulan pribadi atau dari informasi yang didapatkan dari sumber luar diri seperti televisi atau perkataan orang lain. Berdasarkan pemaparan tersebut, kontak memiliki peran yang penting dalam pembentukan sikap individu. Oleh karena itu, guru yang memiliki pengalaman kontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah inklusif memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk sikap terhadap ABK dibandingkan dengan guru yang belum pernah.

Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan:

1. “Apakah terdapat hubungan antara sikap terhadap pendididikan inklusif dan strategi pengajaran pada guru yang pernah berkontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif?”

2. “Apakah terdapat hubungan antara sikap terhadap pendidikan inklusif dan strategi pengajaran pada guru yang belum pernah berkontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif?”

3. “Apakah terdapat perbedaan sikap terhadap pendidikan inklusif pada guru yang pernah dan belum pernah kontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif?”

4. “Apakah terdapat perbedaan strategi pengajaran pada guru yang pernah dan belum pernah berkontak langsung dengan anak berkebutuhan khusus sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif” ?

(9)

Metode Penelitian

Kumar (1999) menyatakan adanya tiga desain penelitian, berdasarkan number of contact, reference period dan nature of investigation. Berdasarkan number of contacts, penelitian ini tergolong penelitian cross-sectional karena kontak dengan responden hanya dilakukan sekali saat pengambilan data. Berdasarkan reference period, penelitian ini tergolong penelitian restrospektif, karena penelitian ini mengaji fenomena yang sudah lampau. Terakhir, berdasarkan nature of investigation, penelitian ini adalah penelitian non experimental karena tidak dilakukan randomisasi dan kontrol untuk tiap variabel tidak dilakukan dengan ketat.

Populasi penelitian ini adalah guru sekolah dasar inklusif. Guru sekolah dasar inklusif adalah guru yang mengajar di sekolah dasar negeri maupun swasta yang memiliki status inklusi. Penelitian ini melibatkan 102 guru sekolah dasar inklusif. Pengambilan data dilakukan dengan metode kuesioner.

Ada dua instrumen penelitian berbentuk kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini:

a)Alat ukur sikap guru terhadap pendidikan inklusif yang diadaptasi dari Multidimentional Attitude Towards Inclusive Education Scale (MATIES) oleh Mahat (2005) dan kemudian diberi nama MATIES Versi Indonesia (MATIES_VI).

b)Alat ukur strategi pengajaran yang diadaptasi dari Bender Classroom Structure Questionnaire (BCSQ) oleh Bender (1992) dan kemudian diberi nama BCSQ Versi Indonesia (BCSQ_VI)

Alat ukur MATIES_VI mengukur komponen sikap kognitif, afektif dan konatif. Berikut adalah tabel hasil uji reliabilitas dan validitas alat ukur

Tabel 1

Komponen Koefisien Reliabilitas Koefisien Validitas

Kognitif .77 .26 - .64

Afektif .80 .33 - .71

(10)

Selanjutnya, alat ukur BCSQ_VI mengukur dapat menghasil tiga skor, yaitu strategi individual, kognitif dan total strategi. Hasil uji reliabilitas dan validitas alat ukur adalah sebagai berikut, Tabel 2

Komponen Koefisien Reliabilitas Koefisien Validitas

Individu .86 .11-.59

Kognitif .78 .51-.53

Total skor BCSQ .73 .04-.59

Hasil Penelitian

Berikut adalah data demografis responden Tabel 3 Karakteristik Jumlah % Jenis kelamin Laki-laki 21 20.5 Perempuan 81 79.5 Usia ≤ 30 tahun 32 31.4 31-40 tahun 28 27.5 41-50 tahun 16 15.7 ≥ 51 tahun 25 25.5 Tidak Mengisi 1 0.98 Pendidikan

SLTA dan Diploma 6 5.8

S1 91 89.2

S2 2 1.96

Jenis Sekolah

Negeri 53 52

(11)

Pengalaman Mengajar 11-20 tahun 13 12.7 21-30 tahun 12 11.7 ≥ 30 tahun 16 15.7 Tidak Menjawab 2 1.9 Pengalaman Kontak Ya 51 50 Tidak 51 50

Untuk menjawab pertanyaan pertama, hasil olah data menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara komponen kognitif dan komponen strategi individual (r (51)= .45,

p<.01) yang berarti semakin positif sikap kognitif maka semakin banyak strategi pengajaran individual yang dipakai. Hal serupa juga ditemukan pada komponen kognitif dan total strategi (r

(51)= .36, p<.01) yang mengindikasikan bahwa semakin positif komponen kognitif maka semakin banyak strategi pengajaran total yang digunakan.

Hubungan positif juga terlihat pada komponen afektif dan komponen strategi individual dengan hasil r (51)= .28, p<.05, yang mengindikasikan bahwa semakin positif komponen afektif maka semakin banyak strategi individual yang digunakan guru. Hal serupa terlihat pada komponen afektif dan komponen strategi kognitif. Terdapat hubungan yang positif antara komponen afektif dan strategi kognitif dengan r (51)= .32, p<.05, yang berarti semakin positif komponen afektif maka semakin banyak strategi kognitif yang digunakan guru.

Selanjutnya, pada komponen konatif dan komponen strategi individual, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara kedua komponen tersebut dengan r

(51)= .58, p<.01. Hal ini berarti bahwa semakin positif komponen konatif maka semakin banyak strategi individual yang digunakan guru. Pada komponen konatif dan komponen strategi kognitif, ditemukan hubungan yang positif dan signifikan dengan r (51)= .54, p<.01. Hal ini menandakan bahwa peningkatan sikap komponen konatif diiringi dengan penggunaan strategi kognitif yang lebih banyak. Selain itu, juga terdapat hubungan yang positif antara komponen konatif dan total strategi, r (51)= .58, p<.01. Hal ini berarti bahwa semakin positif komponen konatif guru maka semakin banyak strategi pengajaran total yang diterapkan. Hasil dapat dilihat pada tabel 4.

(12)

Tabel 4

Strategi Pengajaran

Sikap Strategi Individual Strategi Kognitif Total

Kognitif .45** .22 .36**

Afektif .28* .32* .25

Konatif .58** .54** .58**

Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, secara umum terdapat hubungan yang positif dan signifikan pada semua komponen sikap dan strategi pengajaran pada guru yang belum pernah kontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif. Komponen sikap kognitif berhubungan secara positif dengan komponen strategi individual, r

(51)= .36, p<.01. Hal ini menunjukkan bahwa semakin positif sikap kognitif maka semakin banyak strategi individual yang digunakan guru. Selanjutnya, komponen kognitif juga berhubungan dengan total strategi r (51)= .37, p<.01, yang mengindikasikan bahwa peningkatan komponen kognitif akan diiringi dengan peningkatan penggunaan strategi pengajaran total.

Terdapat pula hubungan yang positif antara komponen afektif dan komponen strategi individual dengan hasil r (51)= .43, p<.01. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin positif komponen afektif, maka semakin banyak strategi individual yang diterapkan. Hal serupa juga terjadi pada hubungan antara komponen afektif dari sikap dan komponen kognitif dari strategi pengajaran. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif pada hubungan antara kedua komponen tersebut, r (51)= .44, p<.01, atau dengan kata lain semakin positif komponen afektif guru maka semakin banyak strategi kognitif yang digunakan oleh guru tersebut. Selain itu, komponen afektif juga berkorelasi dengan total strategi r (51)= .51, p<.01, yaitu terdapat hubungan yang positif antara komponen afektif dan total strategi, yang berarti semakin positif komponen afektif guru maka semakin banyak strategi pengajaran efektif yang dilakukan.

Pada hubungan antara komponen konatif dari sikap dan strategi individu, ditemukan juga hubungan yang positif antara kedua komponen tersebut, dengan hasil r (51)= .45, p<.01, yang dapat diartikan dengan semakin positif komponen konatif guru maka semakin banyak strategi individual yang digunakan guru. Hal serupa juga ditemukan dengan adanya hubungan yang positif antara komponen konatif dan strategi kognitif, r (51)= .52, p<.01. Dengan kata lain,

(13)

semakin positif komponen konatif maka semakin banyak strategi kognitif yang diterapkan guru di kelas. Kemudian, penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif antara komponen konatif dan total strategi dengan r (51)= .54, p<.01, yang berarti semakin positif sikap komponen konatif maka semakin banyak jumlah strategi pengajaran efektif yang diberikan guru kepada siswa. Hasil selengkapnya dapat dilihat di tabel 5

Tabel 5

Sikap

Strategi Pengajaran

Individual Kognitif Total

Kognitif .36** .26 .37**

Afektif .43** .44** .51**

Konatif .45** .53** .54**

Hasil olah data untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap pendidikan inklusif antara guru yang pernah dan belum pernah kontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif. Hasil olah data dapat dilihat di tabel 6

Tabel 6

Tidak pernah kontak Pernah kontak

Komponen N M(SD) N M(SD) P

Kognitif 51 27.2 (5.1) 51 28.08(4.9) t= -.88 Sig=0.38

Afektif 51 27.22(5.4) 51 28.67(5.3) t= -1.34 Sig=0.18

Konatif 51 30.45(4.4) 51 29.41(4) t= -1.24 Sig=0.22

Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan keempat, hasil olah data tidak membuktikan adanya perbedaan yang signfikan pada setiap komponen strategi pengajaran antara guru yang pernah dan belum pernah kontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif. Hasil olah data dijabarkan pada tabel 7.

(14)

Tabel 7

Tidak pernah kontak Pernah kontak

Komponen N M(SD) N M(SD) p

Strategi Individual 51 37.73(4.90) 51 38.84(4.79) t= -1.64 Sig=0.24

Strategi Kognitif 51 35.06(4.82) 51 35.39(3.07) t= -.39 Sig=0.69

Total Strategi 51 122.71(12.99) 51 125(12.05) t= -.92 Sig=0.35

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum adanya hubungan yang signifikan antara sikap terhadap pendidikan inklusif dan strategi pengajaran pada kedua kelompok guru. Hasil olah statistik menunjukkan hubungan yang signifikan pada semua dimensi sikap dan strategi pengajaran. Temuan ini mendukung penelitian Bender, Vail, dan Scott (1995) yang juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dan strategi pengajaran. Namun, yang menarik adalah pada hubungan komponen kognitif pada sikap dan strategi kognitif pada strategi pengajaran; koefisien korelasinya tidak signifikan pada kedua kelompok. Hal itu mungkin dapat dijelaskan oleh karakteristik alat ukur yang digunakan. Alat ukur MATIES yang dikembangkan oleh Mahat (2008) didasari oleh teori Ajzen (2005). Dalam teori tersebut, komponen kognitif diartikan sebagai persepsi dan belief seseorang tentang objek sikap. Oleh karena itu, dalam komponen kognitif tidak terdapat muatan pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif seperti yang ditemukan pada teori yang lain. Hal ini bisa mengakibatkan komponen ini tidak berhubungan dengan strategi kognitif. Penelitian ini juga memberikan hasil yaitu tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada setiap komponen sikap antara kedua kelompok. Hal ini dapat dijelaskan oleh beberapa alasan. Pertama, responden dalam penelitian ini lebih banyak berjenis kelamin perempuan. Menurut Leyser dkk. (1994), guru perempuan memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan guru laki-laki. Jumlah responden penelitian ini yang lebih banyak berjenis kelamin perempuan dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.

(15)

Kesimpulan

Pertama, hasil olah data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap guru dan komponen strategi individual pada guru yang pernah berkontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah inklusif. Kemudian, terdapat juga hubungan yang signifikan antara komponen kognitif dan komponen total strategi pengajaran pada kelompok yang sama. Hasil olah data juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara komponen afektif dan komponen strategi individual dan strategi kognitif. Selanjutnya, terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan strategi individual, strategi kognitif dan total strategi pada kelompok guru yang pernah berkontak langsung dengan ABK.

Kedua, hasil olah data juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara komponen kognitif dan strategi individual serta total strategi pada guru yang belum pernah berkontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif. Kemudian, terdapat hubungan yang signifikan antara komponen afektif sikap dan setiap komponen strategi pengajaran. Selanjutnya, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan setiap komponen strategi pengajaran pada guru yang belum pernah berkontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif.

Ketiga, tidak terdapat perbedaan sikap guru yang signifikan antara guru yang pernah dan belum pernah memiliki pengalaman kontak langsung dengan ABK sebelum mengajar di sekolah dasar inklusif, baik pada komponen kognitif, afektif maupun konatif. Kemudia, hasil serupa juga terlihat pada hasil olah data terhadap setiap komponen strategi pengajaran. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada komponen strategi individual, strategi kognitif, dan total strategi.

Saran

Pada penelitian berikutnya, peneliti menganjurkan peneliti berikutnya untuk dapat melakukan wawancara lanjutan yang lebih detail pada partisipan uji keterbacaan untuk mencari tahu pemahaman guru terhadap setiap item alat ukur. Selanjutnya, dalam proses pelaksanaan penelitian, sebaiknya peneliti melakukan pengambilan data secara serentak dan tidak

(16)

meninggalkan kuesioner tanpa melakukan pemantauan. Hal itu dapat mengantisipasi kesalahan pemahaman responden pada setiap item.

Berikutnya, untuk mengukur konstruk kontak, peneliti dapat menggunakan skala yang berbeda, yaitu dengan mengukur frekuensi kontak langsung dengan rentang yang lebih banyak, seperti „banyak‟, „sedikit‟ dan „tidak pernah‟. Selain itu, peneliti juga dapat menggunakan alat ukur lain yang mengukur kualitas kontak.

Selain itu, dalam mengukur strategi pengajaran dan mencegah alat ukur yang memiliki social desirability yang tinggi, peneliti berikutnya dapat memilih alat ukur lain selain model lapor diri, seperti observasi natural di kelas. Observasi akan menjadi alat yang sangat tepat untuk mengetahui strategi pengajaran yang digunakan guru secara lebih akurat.

Daftar Referensi

Ajzen, I. (2005).Attitudes, personality and behavior(10th Ed.). Berkshire: Open University Press Avramidis, E. & Norwich, B. (2002). Teachers‟ attitude towards integration/inclusion: a review

of literature. Eur. J. Of. Special Education. 17, 129–147. doi: 10.1080/08856250210129056

Bender, W.N. (1992). The bender classroom structure questionnaire: A tool for placement decisions and evaluation of mainstream learning environment. Intervention in School and Clinic. 27, 307-312. doi: 10.1177/105345129202700509

Bender, W. N., Vail, C.O., & Scott, K. (1995). Teacher attitudes towards increased mainstreaming: implementing effective instruction for students with learning disabilities.

Journal of Learning Disability. 28, 87. doi: 10.1177/002221949502800203

Bender, W. N. & Ukeje, I. C. (1989). Instructional strategies in mainstream classroom: Prediction of the strategies teachers select. Remedial and Special Education. 10, 23. doi: 10.1177/074193258901000206

Carroll, A., Forlin, C. & Jobling, A. (2003). The impact of teacher training in special education on the attitudes of Australian preservice general educators towards people with disabilities. Teacher Education Quarterly, 30, 65-79.

(17)

Choate, J. S. (2000). Successful inclusive teaching: Proven ways to detect and correct special needs. Boston: Allyn and Bacon

Direktorat Pembinaan Luar Biasa, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Model Pembelajaran dan Pendidikan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

DKI Terus Kembangkan Sekolah Inklusi. (2012, September). Diunduh dari www.jakarta.go.id Foreman, P. (2011). Inclusion in Action . Melbourne: Cengage Learning Australia Limited Gyimah, E. K., (2011). Teachers‟ use of instructional strategies in primary schools in Ghana:

implication to inclusive education. Education Research Journal. 1, 46-52. Diunduh dari http://www.resjournals.com/ERJ

Hallahan, D.P., & Kauffman, J.M. (2005). Exceptional learners: Introduction to special education (Vol. 10). Boston: Pearson

Janney, R. E.,Snell, M. E.,Beers, M. K, & Raynes, M. (1995). Integrating students with moderate and severe disabilities into general education classes. Exceptional Children. 61, 425. Diunduh dari http://connection.ebscohost.com/

Jenkinsen, J. C. (1997). Mainstream or special: Educating students with disabilities. New York: Routledge

Kaplan, R. M. & Sacuzzo, D. P. (2005). Psychological testing: principles, applications and issues. Belmont: Wadsworth

Kumar, R. (1999). Research methodology: A step by step guide for beginners. London: Sage Publications

Leyser, Y., Kepperman, G., & Keller, R. (1994). Teacher attitudes towards mainstreaming: a cross-cultural study in six nations. European Journal of Special Needs Education. 9, 1-15. doi:10.1080/0885625940090101

Loreman, T., Forlin, C. & Sharma, U. (2007). An international comparison of pre-service teacher attitudes towards inclusive education. Disability Student Quarterly. 27, 9. Diakses dari http://dsq-sds.org/article/view/53/53

(18)

Mahat, M. (2008). The development of a psychometrically-sound instrument to measure teachers‟ multidimensional attititudes toward inclusive education. International Journal of Special Education. 23, 82-92. Diunduh dari http://eric.ed.gov/?id=EJ814377

Ma‟rat. (1982). Sikap manusia perubahan serta pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia Nunnaly, J.C. & Bernstein, I. H. (1994). Psychometrics Theory. New York: McGraw-Hill

Oskamp, S. & Schultz, P.W. (2005). Attittudes and opinions. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers

Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development. New York: McGraw Hill

Parasuram, K. (2006) Variables that affect teachers‟ attitudes towards disability and inclusive education in Mumbai, India. Disability & Society. 21, 231-242. doi: 10.1080/ 09687590600617352

Rakap, S. & Kaczmarek, L. (2010). Teachers‟ attitudes towards inclusion in Turkey. European Journal of Special Needs Education, 25, 59-75, doi: 10.1080/08856250903450848

Scott, B.J., Vitale, M.R., & Masten, W.G. (1998). Implementing instructional adaptations for students with disabilities in inclusive classrooms. Remedial and Special Education. 19, 106-119. doi: 10.1177/074193259801900205

Sekolah Inklusi Belum Maksimal. (2014, Februari). Diunduh dari www.jpnn.com

Stainback, S. & Stainback, W. (Ed). 1997. Inclusion: A guide for educators. Baltimore: Paul H. Brookes Publishing Co.

Yellin, et al. (2003). I'm not sure I can handle the kids, especially, the, uh, you know special ed kids. Action in Teacher Education, 25, 14-19, doi: 10.1080/01626620.2003.10463288

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka pemberdayaan pemuda yang tergabung dalam organisasi karang taruna Bimantara, maka kegiatan ini dirancang dengan memberikan penyuluhan tentang Covid-19 dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi atau keberadaan kursus calon pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sinjai Timur memiliki peran penting, yaitu:

Hasil analisis CHAID memberikan masukan bahwa merek facial wash yang sudah ada dapat meningkatkan kepuasan user-nya dengan cara memperbaiki kemampuan facial wash untuk

Berdasarkan informasi yang diperoleh dalam analisis sistem, maka analisis sistem akan menawarkan berbagai alternatif desain secara garis besar sistem informasi akuntansi

Menimbang, mengenai petitum keempat yaitu : menyatakan secara hukum Para Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi kepada Penggugat karena tidak

merupakan simbol pancaran cahaya suci, bibit yang unggul menjaga kelestarian lingkungan, keteguhan hati dan keiklasan. Proses pembuatannya yang dilaksanakan oleh

suomalaiseen yhteiskuntaan, on suomalaisten instituutioiden sopeuduttava maahanmuuttajaan. Pro gradu -tutkielmassani tarkastelen lastensuojelun sosiaalityöntekijöiden

Berdasar- kan hasil pertumbuhan dan perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada permukaan media sabouroud dextrose agar dapat diten- tukan bahwa Konsentrasi Bunuh