• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak COMMUNITY STRUCTURE OF BIVALVIA LIVING ON MAGROVE OF BONTOLEBANG WATERS OF SELAYAR ARCHIPELAGO REGENCY SOUTH SULAWESI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstrak COMMUNITY STRUCTURE OF BIVALVIA LIVING ON MAGROVE OF BONTOLEBANG WATERS OF SELAYAR ARCHIPELAGO REGENCY SOUTH SULAWESI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

1

STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA DI KAWASAN MANGROVE

PERAIRAN BONTOLEBANG KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

SULAWESI SELATAN

MAGDALENA LITAAY*, DARUSALAM, DODY PRIOSAMBODO

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Hasanuddin

Jl Perintis Kemerdekaan Km 10 Makassar 90245

*Email: [email protected], [email protected] Abstrak

Struktur komunitas organisme bentos digunakan sebagai indikator kualitas lingkungan. Penelitian tentang struktur komunitas bivalvia yang hidup dikawasan mangrove Perairan Pulau Gusung, Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan telah dilakukan pada bulan Pebruari - Maret 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis bivalvia yang hidup dikawasan mangrove Perairan Pulau Gusung, Pengamatan dilakukan pada enam stasiun yang terdiri dari enam substasiun sebagai ulangan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis dengan menggunakan plot ukuran 2 x 2 m. Setiap stasiun dibagi menjadi enam titik pengambilan sampel. Interval titik sampling berjarak 10 m. Pada setiap titik sampling dilakukan enam kali pengambilan sampel bivalvia secara acak sistematis. Analisis indeks ekologi meliputi: keanekaragaman jenis, keseragaman, dominansi dan pola penyebaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis bivalvia yang tergolong dalam 8 famili. Spesies bivalvia didominasi oleh Septifer sp. dengan kepadatan 15,25 ind/m2. Hasil analisis data menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis bivalvia tergolong rendah, berkisar

antara 0,1540-0,6509. Hasil penelitian ini menunujukan terdapat indikasi adanya tekanan ekologi yang berat. Kondisi perairan mangrove perairan Bontolebang dikategorikan tidak stabil.

Kata kunci : Bivalvia laut, biodiversitas, mangrove, struktur komunitas.

COMMUNITY STRUCTURE OF BIVALVIA LIVING ON MAGROVE OF

BONTOLEBANG WATERS OF SELAYAR ARCHIPELAGO REGENCY

SOUTH SULAWESI

MAGDALENA LITAAY*, DARUSALAM, DODY PRIOSAMBODO

Department of Biology, Faculty of Mathhematics and Natural Sciences, Hasanuddin University Jl. Perintis Kemerdeakaan KM 10, Makassar 90245

*Email: [email protected], [email protected] Abstract

Benthic community structure is usually used as environmental indicator. The research about community structure of Bivalvia that living on mangrove area of Gusung Island Waters, Bontolebang Village, Bontoharu District, Selayar Regency, South Sulawesi has been done in February-March 2014. The purpose of this study was to determine the diversity of bivalves that living on mangrove area of Gusung island waters. Observations were made at six stations consisting of six substations as replicates. Sampling was conducted using systematic random plot size of 2 x 2 m. Each station is divided into six sampling points, with interval of 10 m. Systematic randomly sampling were done at each point. Analysis of ecological indices include: diversity, uniformity, dominance and dispersal patterns. The results showed that there are 11 kinds of bivalves belongs to 8 families. Bivalves is dominated by Septifer sp. with density of 15.25 ind/m 2. This study revealed that the bivalve species

diversity is low, ranged from 0.1540 to 0.6509. This result indicates that there is severe ecological pressure. Bontolebang mangrove waters is categorized unstable.

(2)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

2

1. Pendahuluan

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem mangrove antara lain: pelindung pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning

ground) bagi biota perairan (Printrakoan and

Temkin, 2008). Fungsi ekonomis ekosistem mangrove adalah: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Dahuri dkk., 2008).

Salah satu kelompok fauna avertebrata yang hidup di

ekosistem mangrove adalah Moluska, yang

didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia Nontji (2007). Bivalvia (kerang-kerangan) adalah biota yang biasa hidup menetap di dalam substrat dasar perairan (biota bentik) yang relatif lama sehingga biasa digunakan sebagai bioindikator untuk menduga kualitas perairan dan merupakan salah satu komunitas yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman yang tinggi di dalam komunitas manggambarkan beragamnya komunitas ini (Stowe, 1987).

Salah satu daerah pesisir yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove adalah perairan Pulau Gusung,

Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu,

Kabupaten selayar, Sulawesi Selatan. Disekitar

pulau biasanya digunakan sebagai tempat

memancing terutama yang mengarah ke Laut Sulawesi. Beberapa warga memanfaatkan daerah dipinggir pulau sebagai area tambak beberapa jenis ikan laut yang berkualitas ekspor dan jenis lobster, namun informasi tentang populasi bivalvia di daerah tersebut belum diketahui. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian tentang biodiversitas bivalvia di pulau Gusung, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis bivalvia yang hidup dikawasan mangrove Perairan Pulau Gusung,

Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu,

Kabupaten selayar, Sulawesi Selatan

.

2. Metode

2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2013-Januari 2014, berlokasi di kawasan mangrove perairan Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten selayar, Sulawesi Selatan. Sedangkan analisis data dilakukan di Laboratorium Ilmu Lingkungan dan Kelautan, Jurusan Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Hasanuddin, Makassar.

2.1.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plot berukuran 2 x 2 m, kertas bawah air, kamera bawah air, Global Positioning System (GPS), pinset, fins, bootish, termometer, nampan, pH meter, rol meter, gunting, spidol, tali nilon, isolasi, pensil dan buku identifikasi bivalvia. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel bivalvia, alkohol 70%, formalin 4% kertas label, plastik sampel, tissu gulung dan substrat/sedimen air laut.

2.1.3. Penentuan Stasiun Pengamatan

Sebelum dilakukan pengambilan sampel, terlebih

dahulu dilakukan observasi lokasi untuk

mendapatkan gambaran umum tentang

keanekaragaman, penyebaran dan kepadatan

bivalvia dikawasan mangrove Perairan Pulau Gusung, Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten selayar, Sulawesi Selatan. Setelah observasi di lokasi penelitian, maka dilakukan penentuan titik pengamatan/stasiun yang ditetapkan berdasarkan kondisi perairan topografi habitat sebaran mangrove dan aktifitas masyarakat di pesisir perairan Bontolebang. Sampling dilakukan di enam 6 lokasi (stasiun) dimana tiap lokasi dilakukan 6 replikat sampling secara random.

1. Stasiun I

Stasiun I dengan 1 substasiun terletak di daerah depan kawasan mangrove tepatnya berhadapan dengan kota Benteng atau sebelah timur. Lokasi ini berada tidak jauh dari sekitar pemukiman penduduk, dan sebagai tempat pusatnya kegiatan penambakan udang dan ikan.

2. Stasiun II

Stasiun II dengan 3 substasiun terletak di daerah pinggiran kawasan mangrove tepatnya berhadapan dengan kota benteng atau sebelah timur. Lokasi ini berada kurang lebih 15 meter dari daerah depan kawasan mangrove.

3. Stasiun III

Stasiun III dengan 2 substasiun terletak di daerah tengah kawasan mangrove. Lokasi ini berada kurang lebih 45 meter dari daerah depan kawasan mangrove.

4. Stasiun IV

Stasiun IV dengan 2 substasiun masih terletak di daerah tengah kawasan mangrove dan berada dekat dengan pemukiman warga. Lokasi ini berada kurang lebih 60 meter dari daerah depan kawasan mangrove.

5. Stasiun V

Stasiun V dengan 2 substasiun terletak di daerah pinggiran kawasan belakang mangrove tepatnya di arah barat pulau Bontolebang. Lokasi ini berada kurang lebih 85 meter dari daerah depan kawasan mangrove.

6. Stasiun VI

Stasiun VI dengan 1 substasiun terletak di daerah pinggiran kawasan mangrove tepatnya di belakang

(3)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

3

pulau Bontolebang atau sebelah timur. Lokasi ini berada kurang lebih 100 m dari daerah depan kawasan mangrove dan berdekatan dengan jembatan dan pemukiman penduduk.

2.1.4. Metode pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara acak

sistematis dengan menggunakan plot ukuran 2 x 2 m. Sampel bivalvia yang berada di dalam plot diambil secara acak. Sampel bivalvia yang sudah diambil kemudian dimasukkan kedalam kantong sampel yang telah diberi kertas label. Kemudian sampel bivalvia diawetkan dengan menggunakan alkohol 70 % dan formalin 4 %. Selanjutnya sampel difoto untuk didokumentasikan dan sampel dibawa ke Laboratorium untuk di identifikasi. Identifikasi species berdasarkan karakter organisme disesuaikan dengan referensi (Dharma, 1992 dan 2007)

2.2. Metode Analisis Data

Data individu bivalvia yang diiperoleh kemudian dihitung dengan menggunakan rumus kepadatan mutlak, kepadatan relatif, indeks keanekaragaman (indeks Shanon-Wiener), indeks keseragaman, indeks dominansi (indeks Simpson) dan indeks penyebaran Morisita.

a.Kepadatan Mutlak

Kepadatan dinyatakan sebagai jumlah individu per luas daerah. Kepadatan mutlak adalah jumlah individu (spesies) per satuan luas. Tujuan dari perhitungan kepadatan mutlak adalah untuk menghitung jumlah spesies dalam satuan luas tertentu yang ditemukan di stasiun tertentu. Kepadatan masing-masing jenis pada setiap stasiun dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1993) sebagai berikut:

Di = ni/A

Di mana :

Di = Kepadatan jenis (individu/m2)

Ni = Jumlah total individu untuk jenis (i)

A = Luas plot yang disampling ( m2)

2.2.1.Kepadatan Relatif (RDi)

Kepadatan relatif adalah perbandingan antara jumlah individu jenis dan jumlah total individu seluruh jenis (Odum, 1994). Tujuannya adalah untuk menghitung persentase kepadatan per jenis (spesies) dari total jumlah seluruh jenis (spesies) yang ditemukan di stasiun tertentu. 𝑅𝐷𝑖= 𝑛𝑖 ∑ 𝑛𝑖 𝑥 100 % Dimana :

RDi = Kepadatan relatif jenis (%)

Ni = Jumlah total species (i)

∑ni = Jumlah total individu seluruh jenis b.Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis adalah banyaknya spesies atau genera yang ada di dalam suatu ekosistem jumlah jenis organisme yang ditemukan dalam suatu perairan. Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Indeks keanekaragaman jenis dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Bengen, 2000): 𝐻′= − ∑ [𝑛𝑖 𝑁] 𝑙𝑜𝑔 [ 𝑛𝑖 𝑁] Dimana :

H’ = indeks keanekaragaman/indeks

Shanon-Wiener

ni = jumlah individu tiap jenis

N = Jumlah total Individu

Menurut Brower et al. (1990) Indeks

keanekaragaman Shanon-Wiener bertoleransi 0 - ∞ dengan keriteria sebagai berikut :

1. Jika H’ < 2 : keanekaragaman genera atau jenis

rendah, kestabilan komunitas komunitas

rendah dan keadaan perairan telah tercemar.

2. Jika 2 < H’ < 3 : keanekaragaman genera atau

jenis sedang, penyebaran individu sedang kestabilan komunitas sedang.

3. Jika H’ > 3 : keanekaragaman genera atau jenis

tinggi, penyebaran individu tiap genera atau jenis tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairan belum tercemar.

c.Indeks Keseragaman

Keseragaman menunjukkan komposisi individu dari spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Clark, 1974). Keseimbangan penyebaran suatu spesies dalam komunitas dapat diketahui dari Indeks keseragaman (Brower et al, 1998) yang dinyatakan sebagai :

( E’ ) = H’/H’ Max

Dimana :

E = Indeks keseragaman/Indeks Evenest

H’ = Indeks Keanekaragaman

Shannon-Wiener

H’max = Log2S

S = Jumlah Jenis

Krebs (1985) menyatakan bahwa kategori penilaian

tingkat keseragaman berdasarkan Indeks

Keseragaman (E = Equitabilitas) adalah sebagai berikut :

0 < E ≤ 0,5 = Komunitas Tertekan 0,5 < E ≤ 0,75 = Komunitas Labil 0,75 < E ≤ 1 = Komunitas Stabil d.Indeks Dominansi

Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominansi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara

(4)

bersama-Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

4

sama maka nilai indeks dominansi akan rendah. Dominansi dari suatu spesies dalam komunitas dapat diketahui dari hasil analisis dengan menggunakan indeks dominansi Simpson yang dinyatakan Odum (1993).

𝑪 = ∑ (𝒏𝒊

𝑵)

2

Dimana :

C = Indeks dominansi/Indeks Simpson

ni = jumlah tiap jenis

N = jumlah total individu seluruh jenis

Menurut Odum (1994) nilai dominansi (C) berkisar antara 0 – 1 dengan keriteria sebagai berikut :

1. C = ∞ 0 ; berarti tidak ada jenis yang

mendominasi atau komunitas stabil

2. C = ∞ 1 ; berarti ada dominansi dari jenis

tertentu atau komunitas dalam keadaan tidak stabil.

e. Pola Penyebaran

Pola penyebaran adalah pola pergerakan individu ke dalam atau ke luar dari populasi dalam suatu komunitas tertentu. Untuk mengetahui bagaimana pola penyebaran jenis, khususnya gastropoda di daerah padang lamun, maka digunakan Indeks Penyebaran Morisita (Brower et al, 1998) :

𝐼𝑑 = 𝑛 ∑ 𝑥

2− 𝑁

𝑁 (𝑁 − 1) Dimana :

Id = indeks penyebaran morisita

n = jumlah total plot dalam satu stasiun

N = jumlah tiap jenis

x2 = jumlah individu setiap plot

Terdistribusi :

- Seragam apabila Id < 1, 0

- Acak apabila Id = 1, 0

- Mengelompok apabila Id > 1,0

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Komposisi Jenis dan Kepadatan

Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian, ditemukan 8 famili bivalvia yang terdiri dari 11 spesies dengan jumlah seluruh jenis bivalvia sebanyak 277 individu, dimana spesies dominan adalah Septifer sp. (Tabel 1). Persentase kepadatan relatif jenis bivalvia ini tertinggi ditemukan pada Stasiun I dan II sebanyak 75,30 % dan 66.07 %. Sedangkan kepadatan relative terendah terdapat pada stasiun III yakni 2,04 % yang

diperlihatkan oleh Anadara hulshoft dan Calistra

erycina. Spesies dan kerapatan mangrove mempengaruhi keberadaan dan kepadatan bivalvia. Vonk et al, (2008) melaporkan bahwa populasi dan

jumlah spesies makrozoobentos, khususnya

bivalvia, lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki kerapatan mangrove yang tinggi. Populasi dan kelimpahan invertebrata akan menurun seiring dengan berkurangnya kerapatan tegakan mangrove.

Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Nilai Indeks Keseragaman untuk masing-masing jenis bivalvia dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan Nilai Indeks

Dominansi pada Tabel 3. Nilai indeks

keanekaragaman berkisar antara 0.1540 – 0.6509 (lebih kecil dari dua), menunjukan keanekaragaman

rendah. Keseragaman menunjukan konposisi

individu dari spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Keseimbangan penyebaran suatua species dalam komunitas dapat diketahui dari indeks keseragaman (Brower et al. 1990). Nilai indeks keseragaman bivalvia berkisar antara 0.1430-0.6250, dimana nilai tersebut menunjukkan perairan pada kondisi tidak stabil (Odum, 1994).

Nilai indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan kondisi ekosistem relative stabil. Rendahnya nilai keseragaman rendah didukung oleh kenyataan bahwa ada species yang terdapat dalam jumlah yang relatih banyak disbanding jenis lainnya.

Dominansi species tertentu disebabkan karena faktor-faktor lingkungan yang relatif tidak seragam. Nilai Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis yang dominan. Pada penelitian ini nilai Indeks dominansi berkisar antara 0.0004-0.8313 dimana tertinggi pada stasiun V (0.8313). Nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan bahwa habitat memiliki kekayaan jenis yang rendah dengan sebaran tidak merata (Fitriana, 2006).

Pola sebaran bivalvia memperlihatkan pola

penyebaran mengelompok (Statsiun 1 dan 2, nilai Id > 1) sedangkan pola sebaran seragam ditemukan pada statiun lainnya (nilai Id < 1). Penyebaran mengelompok yang diperlihatkan pada statiun 1 dan 2 dimungkinkan karena pada kedua statiun ini terdapat dua jenis bivalvia yang dominan dan tidak terdapat jenis lainnya. Sedangkan jumlah jenis pada stasiun lainnya lebih beragam.

(5)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

5

Tabel 4. Kepadatan Mutlak (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Jenis Bivalvia masing-masing Stasiun Penelitian

dikawasan mangrove Perairan Pulau Gusung, Desa Bontolebang

NO NAMA SPESIES Kepadatan Mutlak (Ind/m2) Kepadatan Relatif (%)

STASIUN STASIUN I II III IV V VI I II III IV V VI 1 Septifer sp. 15.25 9.25 1.25 0 0 0 75.30 66.07 10.20 0 0 0 2 Placuna phippium 5.00 4.75 1.50 0 0 0 24.69 33.92 12.24 0 0 0 3 Anadara granosa 0 0 8.25 7.75 0.25 0 0 0 67.34 91.2 4.00 0 4 Siliqua radiata 0 0 0.75 0 0 0 0 0 6.12 0 0 0 5 Callista erycina 0 0 0.25 0.50 0.25 0.75 0 0 2.04 5.88 4.00 9.37 6 Pseudodon sp. 0 0 0 0.25 0 0 0 0 0 2.94 0 0 7 Pinctada maxima 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 32.00 50.00 8 Callista lilacina 0 0 0 0 0.75 0.5 0 0 0 0 12.00 6.25 9 Gari elongata 0 0 0 0 2.25 0.25 0 0 0 0 36.00 28.1 10 Marcia opima 0 0 0 0 0.75 0.5 0 0 0 0 12.00 6.25 11 Anadara hulshof 0 0 0,25 0 0 0 0 0 2.04 0 0 0 Total 20.25 14 12,25 8.5 6.25 6 100 100 100 100 100 100

Tabel 2. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Nilai Indeks Keseragaman.

No Stasiun Nilai Indeks

Keanekaragaman Nilai Indeks Keseragaman 1 I 0.2427 0.2331 2 II 0.2782 0.2671 3 III 0.4717 0.4530 4 IV 0.1540 0.1479 5 V 0.6509 0.6250 6 VI 0.5524 0.5304

Tabel 3. Indeks Dominansi (C) Bivalvia masing-masing Stasiun Pengamatan.

No Spesies Indeks Dominansi

St. I St. II St. III St. IV St. V St. VI 1 Septifer sp. 0.5671 0.4365 0.0104 0 0 0 2 Placuna ephippium 0.0610 0.1151 0.0150 0 0 0 3 Anadara granosa 0 0 0.4536 0.8313 0.0016 0 4 Siliqua radiata 0 0 0.0037 0 0 0 5 Callista erycina 0 0 0.0004 0.0035 0.0016 0.0088 6 Pseudodon sp. 0 0 0 0.0009 0 0 7 Pinctada maxima 0 0 0 0 0.1024 0.2500 8 Callista lilacina 0 0 0 0 0.0144 0.0039 9 Gari elongata 0 0 0 0 0.1296 0.0791 10 Marcia opima 0 0 0 0 0.0144 0.0039 11 Anadara hulshof 0 0 0.0004 0 0 0 Total 0.6281 0.5516 0.4835 0.8357 0.264 0.3457

(6)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

6

Tabel 4. Pola Penyebaran (Id) bivalvia di tiap stasiun pengamatan

NO NAMA SPESIES POLA PENYEBARAN (Id)

St. I St. II St. III St. IV St. V St. VI 1 Septifer sp. 1.32 0.80 0.11 0 0 0 2 Placuna ephippium 0.43 0.41 0.12 0 0 0 3 Anadara granosa 0 0 0.11 0.67 0.02 0 4 Siliqua radiata 0 0 0.06 0 0 0 5 Calilista erycina 0 0 0.02 0.04 0.02 0.06 6 Pseudodon sp. 0 0 0 0.02 0 0 7 Pinctada maxima 0 0 0 0 0.17 0.34 8 Calilista lilacina 0 0 0 0 0.06 0.04 9 Gari elongata 0 0 0 0 0.19 0.19 10 Marcia opima 0 0 0 0 0.06 0.04 11 Anadara hulshof 0 0 0.02 0 0 0 Total 1.75 1.21 0.44 0.73 0.52 0.67 Parameter Lingkungan.

Parameter lingkungan yang diamati yakni suhu, pH, salinitas, karakteristik substrat diamati pada studi ini. Hasil pengamatan parameter lingkungan ini tertera pada Tabel 5. Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam pertumbuhan dan perkembangan moluska (Odum, 1993). Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekosistem pesisir karena suhu merupakan faktor pembatas (Priosambodo, 2011) bagi beberapa fungsi fisiologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan, kecepatan renang, perkembangan embrio dan kecepatan metabolisme. Suhu juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan organisme parasit dan penyakit. Hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian menunjukkan kisaran yang sama yaitu 31

– 38 °C (Tabel 5). Kisaran ini masih layak untuk

kehidupan hewan moluska khususnya bivalvia yang pada umumnya dapat hidup pada kisaran suhu yang luas. Hal ini disebabkan bentuk morfologi dari bivalvia yang pada umumnya memiliki cangkang sehingga dapat bertahan sampai pada suhu tertentu yang cukup tinggi.

Seperti tertera pada Tabel 5, hasil pengukuran parameter lingkungan menunjukkan kisaran pH antara 8 - 9. Menurut Nybakken (1992), bahwa umumnya pH air laut sedikit basa, bervariasi antara 7,5 – 8,4. Pennak (1978) dalam Wijayanti (2007)

menyebutkan bahwa pH yang mendukung

kehidupan Mollusca berkisar antara 5,7 – 8,4, sedangkan Marrison dalam Hart dan Fuller (1974)

mengatakan bivalvia hidup pada batas kisaran pH 5,8 - 8,3. Nilai pH < 5 dan > 9 menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan organisme makrobenthos (Hynes, 1978 dalam Wijayanti 2007). Selanjutnya Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Kisaran pH perairan pada penelitian ini masih ditolerir oleh bivalvia.

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya kandungan garam-garam terlarut yang

menyusun suatu perairan (Nontji, 2007).

Berdasarkan hasil dari pengukuran parameter lingkungan di mangrove Desa Bontolebang, diketahui bahwa kisaran salinitas dari masing-masing stasiun tidak jauh berbeda yaitu sekitar 27,0 – 38,0‰ (Tabel 5). Nilai salinitas ini masih layak bagi kelangsungan hidup makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vonk et al (2008), bahwa kisaran salinitas bagi kehidupan makrozoobentos adalah berkisar 25 – 40‰.

Tipe subsrtat penting terutama bagi organisme yang hidup sesil. Mangrove tumbuh baik pada substrat pasir sampai lumpur. Akar mangrove merupakan perangkap sedimen yang baik. Pada penelitian ini, tipe substrat pada stasiun I, II, VI secara umum adalah berpasir dan stasiun III, IV dan V yaitu lumpur berpasir (Tabel 5).

(7)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

7

Tabel 5. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan setiap Stasiun Penelitian di Gusung Desa Bontolebang, Kabupaten Kepulauan Selayar (Ket : B = Berpasir dan LB = Lumpur berpasir).

No Parameter lingkungan Stasiun I II III IV V VI 1 Suhu (°C) 34 35,3 37,4 38 33 31 2 pH 8 9 9 8 9 9 3 Salinitas( ‰) 38 29 31 29 30 27 4 Karakteristik substrat B B LB LB LB B

4. Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa di kawasan Mangrove Pantai Bontolebang terdapat 8 famili dan 11 jenis bivalvia dimana didominasi oleh Septifer sp. dengan kepadatan

15,25 ind/m2. Indeks keanekaragaman jenis berkisar

antara 0,1540-0,6509. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis bivalvia tergolong rendah, sebagai indikasi adanya tekanan ekologi yang berat.

Kondisi perairan daerah mangrove perairan Bontolebang tergolong tidak stabil.

4.2 Saran

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang sebaran ekosistem mangrove di perairan Bontolebang terhadap sebaran organisme yang hidup di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen D. G., 2000. Indeks Keanekaragaman

Jenis. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya

Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Brower, J. S., J. H. Zar and N. O., Ende, 1990. Field

and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition.

Brown.

Brower, J. S., J. H. Zar 1998, 1998. Field and

Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. Brown.

Clark, 1974. Ecology: Indeks of Organism

Biodiversity. Harper and Row Publishers. New York

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu.

2008. Pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita,

Jakarta.

Dharma, B., 1992. Siput dan Kerang Indonesia

(Indonesia Shells II). Verlag Christa

hemmen. Wiesbaden.

Dharma, B . 2005. Recent and Fossil. Indonesian Shells. Conchbook. Germany. 424 p. Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas air. Managemen

Sumberdaya Perairan. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 259 hal

Fitriana. Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan.

Fakultas Pertanian. Universitas

Lampung (UNILA). Bandar Lampung Hart, Jr.C.W. and S. L. H. Fuller. 1974. Pollution

Ecology of Freswater Invertebrates. Academic Press. New York

Krebs, C. J., 1985. Ecology: indeks of organism

biodiversity. Harper and Row Publishers. New York.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu

Pendekatan Ekologis. Alih bahasa

oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT.

(8)

Litaay dkk, 2014. Makalah disampaikan pada Semnas MIPA, Bandung 18 Oktober 2014

8

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia.

Odum, E. P., 1993. Dasar-dasar Ekologi Edisi

Ketiga. Gajah Mada University Press.

Jogjakarta.

Printrakoan and Temkin, I. 2008. Comparative ecology of two parapatric populations

of Isognomon (Bivalvia =

Isognomonidae) of Kungkrabaen Bay, Thailand. The Raffles Bullettin of

Zoology. Supplement No.18: 75-94.

Priosambodo, D., 2011. Struktur Komunitas

Makrozoobentos di daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan. Thesis. Sekolah Pasca

Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Stowe, K. 1987. Essentials of Ocean Science. John Wiley and Sons. Canada. 353 p. Vonk, J. A., D. Kneer, J. Stapel, and H. Asmus,

2008. Shrimp burrow in tropical seagrass meadow: an important sink for litter. Estuarine Coast.Shelf.Sci.

79: 79.

Wijayanti, 2007. Kajian kualitas perairan di pantai kota Banda Lampung berdasarkan komunitas hewan makrobenthos. Thesis Magister. Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. IPB Bogor. 89 hal.

Gambar

Tabel 4.    Kepadatan  Mutlak  (Individu/m 2 )  dan  Kepadatan  Relatif  (%)  Jenis  Bivalvia  masing-masing  Stasiun  Penelitian  dikawasan mangrove Perairan Pulau Gusung, Desa Bontolebang
Tabel 4. Pola Penyebaran (Id) bivalvia di tiap stasiun pengamatan
Tabel 5.   Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan setiap Stasiun Penelitian di Gusung Desa Bontolebang,   Kabupaten Kepulauan Selayar ( Ket : B = Berpasir dan LB = Lumpur berpasir).

Referensi

Dokumen terkait

isoetofolium yang pada dua stasiun penelitian sama-sama menunjukkan pola sebaran mengelompok, pola penyebaran ini dapat mengakibatkan kemungkinan spesies ini tidak

Dari kedua stasiun penelitian, kedalaman air paling rendah terdapat pada perairan Desa Waleo (1-9 m) dengan total jumlah nudibranchia yang ditemukan adalah sebanyak

Kondisi yang sama juga terlihat pada kekayaan spesies ikan karang berdasarkan jenis dan bentuk terumbu buatan dimana jumlah spesies cenderung meningkat dengan