• Tidak ada hasil yang ditemukan

Community Structure of Macrozoobenthos in Seagrass Bed of Bone Batang Island South Sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Community Structure of Macrozoobenthos in Seagrass Bed of Bone Batang Island South Sulawesi"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

SULAWESI SELATAN

 

 

DODY PRIOSAMBODO

 

 

 

 

 

 

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 23 September 2011

(3)

ABSTRACT

DODYPRIOSAMBODO. Community Structure of Macrozoobenthos in Seagrass Bed of Bone Batang Island South Sulawesi. Under direction of NEVIATY PUTRI ZAMANIand KAREN VON JUTERZENKA.

Research about Community Structure of Macrozoobenthos in seagrass bed has been done in Bone Batang island. The aim of this research was to investigated the interaction among benthic species and seagrass in seagrass bed as their habitat. A plastic foil (4 x 3 m) were used to collect macrozoobenthos samples. Two types of station were determined. First, seagrass bed as the main station and bare sand (unvegetated area or “blow out”) as control station. Densities of macrozoobenthos from seagrass station and bare sand as control were then compared. Result showed that the highest density of macrozoobenthos collected by plastic foil method, dominated by alpheid shrimp Alpheus macellarius (2.82

individu/m2) in seagrass station and small bivalve Antigona reticulata 1.75

individu/m2) in control station. Bray-Curtis Similarity Index and n-MDS analysis

for seagrass community structure among station showed, that all stations tend to have similar seagrass species composition. In contrast with the mention above, macrozoobenthos fauna from all stations showed different species composition. Correlation Analysis using Pearson Product Moment for macrozoobenthos community structure showed that there is no correlation between seagrass density and macrozoobenthos density (r = 0.302). It has been concluded that interaction among benthic species and seagrass as their habitat were influenced by environmental factors rather than direct interaction between seagrass and macrozoobenthos.

Keyword: community structure, macrozoobenthos, seagrass bed, plastic foil

method, Spermonde Archipelago, Indonesia.

(4)

RINGKASAN

DODY PRIOSAMBODO. Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan. Dibimbing Oleh: NEVIATY PUTRI ZAMANI dan KAREN VON JUTERZENKA.

Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbiji (Spermatophyta) yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut. Tumbuhnya lamun di dalam kolom air, menarik berbagai jenis organisme laut untuk memijah, berlindung, mencari makan dan menetap. Interaksi timbal balik yang terjadi di dalam komunitas lamun, membentuk ekosistem kompleks, yang menjadikan padang lamun sebagai habitat penting bagi berbagai jenis biota laut. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian tentang struktur komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang, sebuah pulau kecil tak berpenghuni di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji interaksi ekologi antara komunitas lamun, makrozoobentos dan faktor lingkungan yang mempengaruhi interaksi kedua komunitas tersebut. Dari penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi ekologi serta pemahaman yang lebih baik, mengenai struktur komunitas makrozoobentos di daerah lamun, khususnya yang berada di wilayah tropis seperti Indonesia. Riset dilakukan dengan menetapkan 16 titik sampling di perairan sekitar Pulau Bone Batang sebagai stasiun penelitian. Delapan stasiun pertama (1-8), ditetapkan sebagai stasiun utama. Selanjutnya, delapan stasiun berikutnya (9-16) ditetapkan sebagai kontrol. Pengambilan data struktur komunitas lamun dilakukan menggunakan sediment corer, berdiameter 15,7 cm dengan tinggi 25 cm. Data penutupan lamun diestimasi dengan frame kuadran PVC berukuran 0,5 x 0,5 m. Selanjutnya, untuk makrozoobentos, pengambilan data dilakukan dengan terpal plastik berukuran 4 x 3 m. Terpal plastik ini ditempatkan di stasiun lamun dan stasiun kontrol selama 2 x 24 jam. Sampel makrozoobentos yang terkoleksi, kemudian dianalisis lebih lanjut di laboratorium SPICE-PPTK UNHAS. Dari hasil penelitian terhadap komunitas lamun di Pulau Bone Batang, diperoleh 7 jenis lamun dari dua suku dan lima marga. Suku Cymodoceaceae, mencakup jenis-jenis: Cymodocea rotundata,

Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium. Sedangkan Hydrocharitaceae

meliputi: Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Halophila minor. Spesies lamun Syringodium isoetifolium, teramati secara visual di stasiun 8, akan tetapi tidak tersampling oleh sediment corer. Spesies lamun di Pulau Bone Batang, tumbuh bersama-sama membentuk komunitas campuran. Thalassia hemprichii

(5)

sebaran yang berbeda di tiap-tiap stasiun. Stasiun 1, 3, 7 dan 8 dicirikan oleh jenis lamun Thalassia hemprichii yang tumbuh dominan. Selanjutnya, untuk stasiun 2, 5 dan 6 dicirikan oleh jenis lamun Cymodocea rotundata. Berdasakan nilai korelasi yang tertera pada tabel konstribusi stasiun (Lampiran 4 dan 5), dapat diketahui bahwa stasiun 1, 8, 14 dan 16, sangat dipengaruhi oleh kondisi substrat yang terdiri dari pasir, kerikil dan kandungan bahan organik dalam substrat serta salinitas. Selanjutnya, stasiun 5, 6, 7, 12 dan 16, sangat dipengaruhi oleh lempung, pergerakan air/arus (hidrodinamika), suhu dan kedalaman. Dari hasil sampling menggunakan terpal plastik, diperoleh jumlah total makrozoobentos sebanyak 273 spesies. Sebanyak 208 jenis diantaranya ditemukan di daerah lamun. Sedangkan di daerah kontrol (tanpa vegetasi lamun) hanya ditemukan 183 spesies. Dari 208 spesies makrozoobentos yang ditemukan di daerah lamun, sebanyak 144 spesies diantaranya telah teridentifikasi dan 64 spesies sisanya tidak teridentifikasi. Untuk makrozoobentos dari daerah kontrol (tanpa vegetasi lamun), sebanyak 139 spesies diantaranya telah berhasil diidentifikasi dan 42 spesies lainnya tidak dapat diidentifikasi. Kelompok taksa yang sulit diidentifikasi terdiri dari: Polychaeta ( 88 - 95%), kepiting (69 – 77%) dan bintang mengular (25 – 40%). Komposisi jenis makrozoobentos di Pulau Bone Batang didominasi oleh Kerang (Bivalvia) dengan jumlah spesies berkisar antara 41-50 jenis (24%), dari keseluruhan spesies makrozoobentos yang ditemukan. Keong (Gastropoda) menempati posisi berikutnya dengan jumlah spesies 37-45 jenis (22%), Polychaeta memiliki jumlah spesies antara 24-40 jenis (19%), kepiting dengan jumlah spesies antara 29-31 jenis (16 %) dan udang dengan jumlah spesies berkisar antara 17-23 jenis (13%). Kepadatan jenis makrozoobentos tertinggi di daerah lamun ditemukan pada jenis udang Alpheus macellarius dengan rata-rata kepadatan individu sebesar 2,82 individu/m2. Hasil sampling dengan terpal plastik berukuran 4 x 3 m, menunjukkan bahwa stasiun kontrol didominasi oleh Antigona reticulata dengan nilai rata-rata kepadatan individu sebesar 1,75 individu/m2 dan kerang Tellina

virgata (1,18 individu/m2). Indeks kesamaan Bray-Curtis dari seluruh stasiun

berkisar antara 22,49 % hingga 49,84 %. Dengan demikian, seluruh stasiun penelitian memiliki nilai indeks kesamaan di bawah 50 % (rendah). Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing stasiun, memiliki struktur dan komposisi jenis makrozoobentos yang berbeda. Menurut Hemminga dan Duarte (2000), selain faktor lingkungan, usia padang lamun juga menentukan komposisi jenis makrozoobentos. Padang lamun yang lebih tua, umumnya memiliki keragaman biota yang lebih tinggi. Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment,

(6)

lamun dan stasiun kontrol (tanpa vegetasi lamun), tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat dari sebaran stasiun kontrol yang lebih dekat dengan stasiun utama sehingga membentuk satu kelompok yang besar (Gambar 37). Komposisi dan jenis lamun di tiap-tiap stasiun, umumnya tidak jauh berbeda. Jenis lamun tertentu, seperti Halophila (spesies perintis) dan Enhalus (Spesies klimaks) memiliki daerah sebaran yang lebih terbatas. Komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang cenderung didominasi oleh kelompok Bivalvia, Crustacea dan Polychaeta berukuran kecil. Makrozoobentos bernilai ekonomis seperti teripang pasir, sudah sulit ditemukan, sebuah kondisi yang mengindikasikan adanya tingkat eksploitasi yang berlebihan. Dilihat dari komposisi kelompok taksa, struktur komunitas makrozoobentos di daerah lamun dan daerah kontrol (tanpa lamun) juga tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok. Kondisi lingkungan dari masing-masing stasiun yang diukur di Pulau Bone Batang relatif sama, sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap struktur komunitas makrozoobentos di tiap-tiap stasiun. Tidak adanya hubungan korelasi yang kuat antara kepadatan makrozoobentos dengan kerapatan lamun menunjukkan adanya suatu mekanisme lain terkait interaksi antara makrozoobentos dengan komunitas lamun. Disarankan untuk meneliti parameter fisik-kimia-biologi secara lebih mendalam untuk memperjelas interaksi ini, terutama terkait siklus nutrien dan hidrodinamika yang ada di daerah lamun.

(7)

                 

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(8)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI

DAERAH PADANG LAMUN PULAU BONE BATANG

SULAWESI SELATAN

DODY PRIOSAMBODO

     

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

 

         

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(9)
(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan

Nama : Dody Priosambodo

NRP : C 551070031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Karen von Juterzenka, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr.

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya jualah sehingga tesis dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bio-ekologi makrozoobentos di daerah lamun tropis menggunakan metode sampling alternatif dengan terpal plastik (plastic foil). Dari penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih detail tentang hubungan keterkaitan/interaksi antara makrozoobentos dengan padang lamun dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi ilmiah bagi pihak-pihak terkait, khususnya dalam upaya pengelolaan dan perlindungan (konservasi) sumberdaya hayati pesisir Indonesia.

Bogor, 23 September 2011

Dody Priosambodo

(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak- pihak yang telah mendukung penyusunan tesis ini.

1. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing dan

Ketua PS Ilmu Kelautan IPB, yang secara aktif berperan dalam membimbing penulis. Beliau memberikan pemahaman tentang sistematika berpikir ilmiah yang baik dan mengoreksi sistematika penulisan dari tesis ini. Selain itu, beliau juga memberikan pengajaran Biologi Laut secara mendalam, sehingga mempermudah pemahaman penulis saat menyusun tesis ini.

2. Dr. Karen von Juterzenka, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang

telah banyak memberikan pemahaman, masukan dan saran yang berharga dalam penyusunan tesis ini, terutama berkaitan dengan sistematika/taksonomi hewan bentik, Ekologi Invertebrata dan interpretasi statistika yang rumit.

3. Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.S., selaku penguji luar komisi pada ujian tahap

akhir penyelesaian studi, yang banyak memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan tesis ini.

4. Dominik Kneer, selaku rekan utama penulis dalam program SPICE. Terima

kasih yang tak terhingga untuk semua bantuan dan dukungan, baik selama melakukan kegiatan sampling di lapangan maupun saat menganalisis sampel di Laboratorium. Terima kasih pula untuk dukungan referensi, diskusi dan masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

5. Pak Saido dan Pak Ridwan (P. Barranglompo) yang selalu membantu dan

menjaga penulis dengan sangat baik, selama kegiatan sampling di lapangan.

6. Prof. Dr. Harald Asmus selaku Ketua Tim Seagrass SPICE dari Department

of Coastal Ecology, Alfred Wegener Institut (AWI) Wadden Sea Station, Sylt, Germany, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk mengikuti Program SPICE, sekaligus memberikan pemahaman kepada penulis tentang Ekologi Laut, khususnya tentang Ekosistem Lamun.

7. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., Dr. Magdalena Litaay, M.Sc.,

(13)

8. Prof. Dr. Ir. Sudirman M.S.,selaku Ketua Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Selatan atas motivasi dan dukungan yang diberikan selama studi.

9. Bapak Drs. Willem Moka, M.Sc., selaku Kepala Lab. Ilmu Lingkungan dan Kelautan, Jurusan Biologi FMIPA UNHAS, atas segala motivasi, dukungan dan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

10.Prof. Dr. Hj. Dirayah R. Hussain, DEA, Drs. Karunia Alie, M.Si dan Dr.

Eddy Soekendarsih, M.Sc.,selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA UNHAS,

atas segala dukungan yang diberikan selama penulis menempuh studi.

11.Rekan-rekan dari Tim SPICE Jerman: Sven Blankenhorn, Maximilian Schultz, Claudia Pogoreutz, Andrea Baurle, Patrick Polte, Anita

Wietuchter, Sabine Schrunder, Leyla Knittweis dan Ha Trieu Hung Liu,

atas kebersamaannya selama mengikuti Program SPICE (Science for The

Protection of Indonesian Coastal Ecosystems).

12.Bapak dan Ibu dari Tim Seagrass PPTK/FIKP UNHAS: Ibu Inayah, Ibu Rohani, Pak Khairul Amri, Pak Supriadi, Ibu Nadiarti, Ibu Yayu, Pak

Mahatma, Pak Ipul, Pak Piu, Ibu Citra, Ibu Elmi, Ibu Ocha’, Pak Banda,

Pak Ahmad Bahar dan Pak Icalatas diskusi dan masukannya yang berharga.

13. Teman-teman dari Tim SPICE Indonesia: Amrullah Saleh, Sayuri Sarinita, Atto’, Edow, Linda, Enab, Ucu’, Tiwi Hinta, Iman Sudrajat, Lia, Radhiyah

‘Dion’ Ruhon, Idris, Nurul, Mogey, Masdar, Arif, Gusti, Ade Rachmi, Lina,

Ittonk, Fatimah Yusrat Patongai, Kurni, Rio Ahmad, Udjo dan Acci’.

14.Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan 2007 (Mochammad Tri Hartanto, Andri Purwandani, Eko Effendi, Sabhan Fachruddin, Khalid

Ibrahim Abdallah, Ranalse Patiung, Rahmadani Mustafa, Dwince Chrisye

Valerie Isabella, Ira) atas segala dukungan, persaudaraan dan persahabatan

yang indah selama menempuh studi di IPB.

15.Dr. Iswari Subekti, M.Sc. dan pihak COREMAP (Coral Reef Rehabilitation

and Management Program) atas bantuan biaya penulisan tesis yang diberikan

kepada penulis.

16.DIKTI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh

studi melalui Program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Tahun 2007.

17.Ibunda Suri dan seluruh rekan-rekan di PTD yang telah menjadi pengganti

(14)

18.Istri tercinta, dr. Muthmainnah MM yang terus memberikan motivasi dan dukungan tak terhingga kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha. 19.Kedua Orang Tua (Bapak Drs. M. Suparyo dan Ibu M. Sulami) serta

adik-adikku yang selalu memberikan dukungan tak terhingga kepada penulis.

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 5 Mei 1976 sebagai anak sulung dari pasangan Drs. M. Suparyo dan M. Sulami. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin hingga lulus tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister pada Program Studi Ilmu Kelautan (dengan Pilihan Mayor: Biologi Laut), di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, diperoleh tahun 2007 dengan pembiayaan dari beasiswa BPPS DIKTI. Sejak tahun 2001, penulis bekerja sebagai pengajar bidang Ekologi dan Biologi Laut, di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin.

Selama mengikuti program S-2, penulis mendapat kesempatan mengikuti kegiatan SPICE II (Science for The Protection of Indonesian Coastal Ecosystems II) di Kepulauan Spermonde, yang merupakan program kerjasama riset antara pemerintah Jerman dengan pemerintah Indonesia di bidang ekosistem pesisir dan laut. Penulis juga berkesempatan untuk mengikuti pendidikan tambahan “Summer

School on Ecology of Changing Sandy Coast within the Hemholtz Graduate

School POLMAR in Wadden Sea Station-Sylt Island, Germany”selama satu bulan

dengan sponsor penuh dari Department of Coastal Ecology-Alfred Wegener

Institutefor Polar and Marine Research (AWI).

Beberapa publikasi ilmiah yang melibatkan penulis selama mengikuti program S-2 diantaranya adalah: A Comparison of Three Methods for Estimating

Macrozoobenthos Diversity and Abundance in a Tropical Seagrass Meadow yang

disajikan saat pertemuan ilmiah Benthic Ecology Meeting 2010 di University of North Carolina, Wilmington, NC-USA pada tanggal 10-13 Maret 2010 (BEM 2010 Abstract: page 102 : 1-223). Karya ilmiah lainnya berjudul The Biology of Burrowing Crustaceans in Seagrass Meadows of the Spermonde Archipelago,

Indonesia, disajikan dalam World Seagrass Conference pada tanggal 21-25

(16)

DAFTAR ISI

2.1.2 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun ... 6

2.1.3 Tipe Habitat Lamun ... 8

2.2 Bio-ekologi Makrozoobentos ... 9

2.3 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 11

2.3.1 Kepulauan Spermonde ... 11

2.3.2 Pulau Bone Batang ... 13

3 METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Waktu dan Tempat... 17

3.1.1 Waktu Penelitian ... 17

3.1.2 Tempat Penelitian ... 17

3.1.3 Pembagian Stasiun Penelitian ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 22

3.2.1 Alat ... 22

3.2.2 Bahan ... 22

3.3 Metode Pengambilan Data (Sampling)... 22

3.3.1 Struktur Komunitas Lamun ... 22

3.3.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos ... 24

3.4 Parameter Lingkungan ... 28

3.4.1 Analisis Struktur Sedimen ... 28

3.4.2 Pengukuran Paparan Ombak dan Gelombang ... 29

3.4.3 Pengukuran Kedalaman Kolom Air dan Sedimen ... 31

3.5 Identifikasi Sampel ... 32

3.6 Analisis Data... 32

3.6.1 Analisis Struktur Komunitas Lamun ... 32

3.6.2 Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos ... 36

(17)

3.6.4 Sebaran Spasial Makrozoobentos dan Asosiasinya

dengan Karakteristik Habitat ... 40

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42

4.2 Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun ... 43

4.2.1 Suhu ... 43

4.2.2 Salinitas ... 43

4.2.3 Paparan Ombak dan Gelombang ... 44

4.2.4 Kedalaman Kolom Air ... 48

4.2.5 Ketebalan Substrat Berpasir ... 49

4.2.6 Karakteristik Substrat/Sedimen ... 50

4.2.7 Kandungan Bahan Organik Substrat ... 52

4.3 Sebaran Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun ... 54

4.4 Analisis Struktur Komunitas Lamun ... 56

4.4.1 Komposisi Jenis Lamun ... 56

4.4.2 Kerapatan dan Kerapatan Relatif ... 60

4.4.3 Frekuensi dan Frekuensi Relatif ... 61

4.4.4 Penutupan dan Penutupan Relatif ... 63

4.4.5 Biomassa dan Biomassa Relatif ... 65

4.4.6 Indeks Nilai Penting (INP) ... 66

4.4.7 Indeks Kesamaan Jenis Komunitas ... 69

4.4.8 Sebaran Spasial Komunitas Lamun ... 71

4.5 Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos... 74

4.5.1 Komposisi Jenis Makrozoobentos ... 74

4.5.2 Jumlah Spesies Makrozoobentos ... 80

4.5.3 Kepadatan Makrozoobentos ... 81

4.5.4 Kelimpahan Makrozoobentos ... 83

4.5.5 Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos ... 85

4.5.6 Indeks Keseragaman Makrozoobentos ... 86

4.5.7 Indeks Dominansi Makrozoobentos ... 87

4.5.8 Indeks Kesamaan Jenis Makrozoobentos ... 88

4.5.9 Analisis Korelasi Kerapatan Lamun dengan Kepadatan Makrozoobentos ... 90

4.5.10 Sebaran Spasial Makrozoobentos dan Asosiasinya dengan Karakteristik Habitat ... 91

KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

4.6 Kesimpulan ... 96

4.7 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter Lingkungan Pulau Bone Batang ... 16

2. Rujukan Identifikasi Sampel ... 32

3. Parameter Lingkungan di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang (Stasiun Utama)... 47

4. Parameter Lingkungan di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang (Stasiun Kontrol) ... 47

5. Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bone Batang ... 56

6. Kisaran Kerapatan Jenis Lamun ... 58

7. Kerapatan Jenis Lamun (tegakan/m2) di Pulau Bone Batang ... 59

8. Kerapatan Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 59

9. Frekuensi Jenis Lamun di Pulau Bone Batang ... 62

10. Frekuensi Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 62

11. Penutupan Jenis Lamun (%/m2) di Pulau Bone Batang ... 64

12. Penutupan Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 64

13. Biomassa Jenis Lamun (gr AFDW/m2) di Pulau Bone Batang ... 67

14. Biomassa Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 67

15. Indeks Nilai Penting Komunitas Lamun di Pulau Bone Batang ... 68

16. Kepadatan Makrozoobentos di Stasiun Utama (individu/m2). ... 81

17. Kepadatan Makrozoobentos di Stasiun Kontrol (individu/m2). ... 82

18. Kepadatan Relatif Makrozoobentos di Stasiun Utama (%). ... 83

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Kepulauan Spermonde ... 11

2. Peta Lokasi Penelitian ... 18

3. Pembagian Stasiun Penelitian di Pulau Bone Batang ... 19

4. Stasiun utama (lamun) dan kontrol (tanpa lamun) ... 20

5. Sampling Lamun dengan Sediment Corer ... 23

6. Analisis Sampel Biomassa Lamun ... 23

7. Estimasi Penutupan Lamun ... 24

8. Skema Terpal Plastik yang digunakan dalam Penelitian ... 26

9. Analisis Struktur Sedimen ... 28

10. Pembuatan Bola Gypsum ... 30

11. Bola Gypsum Sebelum dan Sesudah di Pasang Selama 72 Jam ... 31

12. Pengukuran Ketebalan dan Kedalaman Sedimen ... 31

13. Standar Penutupan Lamun Seagrass Watch ... 34

14. Rataan Terumbu Karang Pulau Bone Batang ... 42

15. Persentase Pelarutan Bola Gypsum dalam Kolom Air (%) ... 45

16. Kedalaman Kolom Air Saat Pengambilan Sampel (%). ... 48

17. Karakteristik Substrat pada Tiap-Tiap Stasiun di Pulau Bone Batang ... 52

18. Kandungan Bahan Organik Dalam Sedimen. ... 54

19. Analisis Komponen Utama (PCA) Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Padang Lamun di Pulau Bone Batang... 55

20. Analisis Komponen Utama (PCA) Sebaran Stasiun Utama dan Stasiun Kontrol di Pulau Bone Batang. ... 56

21. Kesamaan Jenis Lamun di Pulau Bone Batang Berdasarkan Analisis Non-metric Multidimensional Scaling (nMDS) ... 69

22. Sebaran Spasial Spesies Lamun di Pulau Bone Batang Berdasarkan Hasil Analisis Korespondensi ... 71

23. Jumlah Total Spesies Makrozoobentos di Pulau Bone Batang ... 74

(20)

25. Persentase Kelompok Taksa Makrozoobentos yang Tidak Teridentifikasi Dari Seluruh Stasiun Penelitian di Pulau Bone Batang .. 76

26. Jumlah Total Jenis Makrozoobentos Berdasarkan Kelompok Taksa Dari seluruh stasiun penelitian di Pulau Bone Batang Penelitian ... 77 27. Persentase Jenis Makrozoobentos Berdasarkan Kelompok Taksa

Dari Seluruh Stasiun Penelitian di Pulau Bone Batang ... 79 28. Jumlah Spesies Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun

di Pulau Bone Batang ... 80 29. Kelimpahan Jenis Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun

Di Pulau Bone Batang ... 84 30. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos Dari Masing-Masing

Stasiun Di Pulau Bone Batang ... 85 31. Keseragaman Jenis Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun

Di Pulau Bone Batang ... 86 32. Dominansi Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun Penelitian

Di Pulau Bone Batang ... 87 33. Kesamaan Jenis Makrozoobentos Di Pulau Bone Batang Berdasarkan

Analisis Kluster Hierarki yang Disampling Menggunakan Terpal Plastik (Plastic Foil) ... 88 34. Jenis-Jenis Makrozoobentos yang di Sampling Menggunakan Terpal

Plastik (Plastic Foil) di Daerah Lamun Pulau Bone Batang ... 89

35. Scatterplot Hasil Analisis Pearson Product Moment Antara Kerapatan

Lamun Dengan Kepadatan Makrozoobentos Di Pulau Bone Batang ... 90 36. Sebaran Spasial Makrozoobentos yang Disampling Dengan Terpal

Plastik (Plastic Foil) Di Pulau Bone Batang ... 91 37. Sebaran Spasial Stasiun yang Menjadi Lokasi Sampling

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Matriks Waktu Penelitian... 106

2. Koordinat GPS Posisi Stasiun Penelitian ... 107

3. Alat dan Bahan ... 108

4. Klasifikasi Kelas Ukuran Butiran Sedimen menurut Skala Wenworth .... 110

5. Hasil Analisis Struktur Sedimen ... 111

6. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) ... 112

7. Daftar Spesies Makrozoobentos... 113

8. Rata-Rata Kepadatan Jenis Makrozoobentos ... 123

(22)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbiji (Spermatophyta)

yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut (Fortes 1990; Waycott

2004). Lamun umumnya tersebar di daerah perairan dangkal zona intertidal yang

dipengaruhi pasang surut hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m (den

Hartog 1970; Hemminga dan Duarte 2000; Waycott et al. 2004).

Vonk (2010) menyatakan bahwa tumbuhnya lamun di dalam kolom air,

menarik berbagai jenis organisme laut untuk memijah, berlindung, mencari makan

dan menetap. Interaksi timbal balik yang terjadi di dalam komunitas lamun ini,

menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kompleks yang menjadikan padang

lamun sebagai habitat penting bagi berbagai jenis biota laut.

Kelompok fauna yang ditemukan berasosiasi dengan lamun umumnya

didominasi oleh sponges (Porifera), teripang, bulu babi, bulu hati, bintang laut,

bintang mengular (Echinodermata), kerang, keong (Moluska), udang, kepiting

(Arthropoda) dan ikan (De Wilde et al. 1989; Zieman 1989; Erftemeijer et al.

1993; Sarinita dan Priosambodo 2006; Vonk et al. 2008). Beberapa jenis kerang,

teripang, udang dan ikan yang berasal dari padang lamun ini memiliki nilai

ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat (Tomascik et al. 1997).

Komunitas lamun memiliki fungsi ekologis yang penting di daerah pesisir.

Struktur akar lamun yang rumit di dasar perairan, membantu menstabilkan

substrat dan mengurangi kekeruhan. Tegakan daun lamun yang rapat berperan

penting mengurangi energi gelombang, mengendapkan partikel organik dan

nutrien serta menjadi tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut.

Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik

substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar

terhadap struktur komunitas dan pola penyebaran/distribusi lamun beserta hewan

laut yang berasosiasi dengan tumbuhan laut tersebut (Hemminga & Duarte 2000).

Lamun di Indonesia, umumnya tumbuh membentuk komunitas campuran

(multispesifik), terdiri dari beberapa spesies lamun yang berbeda, dengan pola

cenderung mengelompok (patchy) yang diselingi oleh substrat berpasir yang

(23)

Penelitian tentang struktur komunitas lamun beserta biota laut yang

berasosiasi telah banyak dilakukan di Indonesia dan terus menunjukkan

peningkatan dalam satu dekade terakhir ini (Tomascik 1997). Namun, penelitian

biota asosiasi yang dilakukan di daerah lamun ini, umumnya hanya mencakup

spesies-spesies yang hidup di atas permukaan substrat saja (epifauna). Adapun

jenis-jenis biota asosiasi yang hidup di dalam substrat (infauna), belum banyak

diteliti, sehingga informasi tentang struktur komunitas biota asosiasi infauna ini

masih sedikit diketahui (Vonk 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang struktur

komunitas lamun beserta biota asosiasinya, baik yang mencakup spesies-spesies

makrozoobentos yang hidup di permukaan substrat (epifauna) maupun

spesies-spesies makrozoobentos yang hidup di dalam substrat (infauna).

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik habitat lamun terutama ditentukan oleh kondisi geomorfologi

dan topografi dasar perairan di mana komunitas lamun tersebut tumbuh.

Perbedaan kedalaman, arus, pasang surut dan faktor alam lainnya, menyebabkan

timbulnya habitat lamun dengan karakteristik lingkungan yang khas. Beberapa

contoh tipe habitat lamun tersebut adalah: habitat lamun dengan substrat berpasir,

berbatu atau pecahan karang (rubble). Adanya variasi habitat, mendorong biota

yang hidup beasosiasi dengan lamun untuk beradaptasi lebih jauh, sehingga

terbentuk cara hidup yang unik di antara berbagai jenis biota asosiasi.

Berdasarkan cara hidupnya, Hemminga dan Duarte (2000), membagi

organisme yang berasosiasi dengan lamun menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Infauna: kelompok hewan yang hidup di dalam sedimen seperti berbagai

jenis udang, kepiting, cacing laut, sipunculida, ikan Goby dan lain-lain.

2. Epifauna: kelompok hewan yang hidup di permukaan sedimen serta di

antara kanopi lamun seperti teripang, sponges, anemon dan lili laut.

3. Epibentik: kelompok hewan berukuran besar yang bergerak bebas di

antara berbagai jenis kanopi lamun seperti berbagai jenis ikan.

Kelompok makrozobentos infauna yang hidup meliang di dalam substrat

(24)

(Gastropoda), udang dan kepiting (Malacostraca), bulu hati (Echinodermata) dan

ikan gobi (Actinopterygii). Organisme epifauna yang umum ditemukan di daerah

lamun meliputi jenis-jenis: kerang (Bivalvia), keong (Gastropoda), sponges

(Porifera), bulu babi, bintang laut, bintang mengular (Echinodermata) dan anemon

(Anthozoa). Jenis hewan epibentik yang umum ditemukan di daerah lamun

diantaranya adalah kelompok ikan (Actinopterygii).

Penelitian bio-ekologi makrozoobentos di Indonesia (Hadijah 2000;

Matsuura et al. 2000; Irawan 2003; Vonk 2008), umumnya hanya mencakup

spesies-spesies permukaan (epifauna) yang populasinya diestimasi menggunakan

transek atau plot. Sedangkan untuk populasi makrozoobentos yang hidup di dalam

substrat, estimasi dilakukan menggunakan sediment core. Kedua metode ini

diketahui memiliki keterbatasan dalam menjangkau organisme bentos yang hidup

jauh di dalam substrat. Hal ini menyebabkan informasi ekologi yang diperoleh,

masih memiliki kekurangan dan belum menggambarkan struktur komunitas

makrozoobentos secara keseluruhan (Eleftheriou dan McIntyre 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang struktur

komunitas makrozoobentos di daerah padang lamun Pulau Bone Batang. Pada

penelitian ini, terpal plastik (plastic foil) dipilih sebagai alat yang digunakan untuk

mengambil contoh sampel makrozoobentos (Kneer, Priosambodo, Asmus 2010a).

Terpal plastik memiliki kelebihan dibandingkan dengan sediment core,

dalam menyampling organisme infauna yang hidup membenamkan diri jauh di

dalam sedimen. Luasan area sampling yang diteliti juga lebih luas, dibandingkan

dengan metode lain. Dengan demikian, diharapkan bahwa kelompok organisme

makrozoobentos yang memiliki populasi sedikit (kurang umum/uncommon) atau

sulit diamati seperti udang-udangan, ikan Goby atau bulu hati (heart urchin) dapat

tersampling dan terwakili dengan baik dalam analisis struktur komunitas.

Beberapa informasi ekologi yang ingin diketahui dalam penelitian ini, meliputi:

1. Struktur komunitas lamun di Pulau Bone Batang meliputi: komposisi

jenis, dominansi, pola sebaran, keanekaragaman jenis, keseragaman dan

kesamaan jenis lamun dari tiap-tiap stasiun.

2. Struktur komunitas makrozoobentos, seperti: komposisi jenis, dominansi

(25)

3. Karakteristik habitat lamun dan makrozoobentos di Pulau Bone Batang

mencakup: suhu, karakteristik substrat, kandungan bahan organik dalam

substrat, paparan ombak dan gelombang laut (exposure), kedalaman dan

ketebalan sedimen.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas makrozoobentos

di daerah padang lamun Pulau Bone Batang, Sulawesi Selatan. Beberapa

informasi ekologi seperti komposisi jenis, kepadatan, frekuensi, penutupan dan

biomassa, dianalisis untuk memahami interaksi antara jenis lamun dan

makrozoobentos dalam komunitas dengan lingkungan sekitarnya. Dari penelitian

ini, diharapkan dapat diperoleh informasi ekologi serta pemahaman yang lebih

baik tentang struktur komunitas makrozoobentos di daerah lamun, khususnya

yang berada di wilayah tropis seperti Indonesia.

(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lamun

2.1.1 Bio-ekologi Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk

hidup di laut (Fortes 1990). Vegetasi laut ini tumbuh di perairan dangkal zona

intertidal hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m (den Hartog 1970;

Fortes 1990; Hemminga dan Duarte 2000; Romimohtarto dan Juwana 2001).

Sekitar 60 jenis lamun diketahui tersebar di seluruh dunia (Short dan Coles

2003). Jenis lamun tersebut dikelompokkan ke dalam enam suku dan 12 genera.

Tujuh genera diantaranya tersebar di daerah tropis dan lima genera tersebar di

daerah temperata (den Hartog dan Kuo 2006). Keseluruhan genera lamun tropis,

dapat ditemukan di wilayah Indo-Pasifik Barat yang menjadikan wilayah ini

memiliki keanekaragaman jenis lamun tertinggi di dunia.

Di wilayah tropis seperti Indonesia, jenis-jenis lamun umumnya tumbuh

bersama, membentuk komunitas campuran (mixed meadows) yang terdiri dari 2 -

8 spesies (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et al. 1997; Waycott et al. 2004; Vonk

2008). Sedangkan di daerah temperata, padang lamun seringkali hanya didominasi

oleh satu spesies tunggal saja (monospesifik). Beberapa daerah seperti Bali dan

Nusa Tenggara, memiliki komunitas lamun monospesifik yang hanya ditumbuhi

oleh satu jenis lamun saja, yaitu: Thalassodendron ciliatum. Lamun ini tumbuh di

daerah bersubstrat karang dengan aliran arus yang kuat (Tomascik et al 1997).

Total keseluruhan jenis lamun yang ditemukan di Indonesia saat ini berjumlah 12

hingga 13 spesies (Fortes 1990; Verheij 1993; Kiswara 1996; Priosambodo 2007).

Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal, membentuk suatu

habitat yang menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis organisme laut. Menurut

Hemminga dan Duarte (2000), struktur tiga dimensi yang dibentuk oleh kanopi,

rhizoma dan akar lamun menjadi tempat berlindung dan melekat bagi berbagai

jenis hewan dan tumbuhan laut. Daun dan kanopi lamun, kerap ditumbuhi alga

epifit yang memproduksi bahan organik dan menjadi salah satu sumber energi

dalam rantai makanan. Struktur tiga dimensi ini memiliki kemampuan untuk

(27)

serta menghalangi paparan cahaya matahari yang kuat, sehingga menciptakan

lingkungan yang ideal bagi organisme laut untuk tumbuh dan berkembang.

Padang lamun merupakan salah satu komunitas terpenting yang mendukung

kehidupan berbagai organisme di laut. Lamun menghasilkan makanan bagi penyu,

ikan, bulu babi, dan mamalia laut seperti dugong (sapi laut), yang saat ini

dikategorikan IUCN dalam daftar merah karena terancam punah. Padang lamun

juga menjadi tempat mencari makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan

anak bagi banyak jenis ikan, udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi.

Selain itu secara fisik lamun juga mampu menstabilkan substrat (sedimen),

menahan ombak dan menyerap bahan pencemar (Fortes 1990; Asmus et al. 2006).

Bersama dengan terumbu karang dan hutan mangrove, lamun membentuk

habitat yang saling berhubungan dengan produktifitas yang sangat tinggi di laut.

Degradasi dan kehilangan padang lamun ini akan menyebabkan kerusakan bagi

ekosistem di laut secara keseluruhan, dan dari sisi ekonomi, dapat menimbulkan

kerugian yang besar bagi manusia (Fortes 1990; Short dan Coles 2003).

2.1.2 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun

Lamun membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk tumbuh dan

berkembang. Penyebaran lamun di perairan seluruh dunia juga sangat dipengaruhi

oleh faktor lingkungan. Beberapa parameter lingkungan yang menjadi faktor

pembatas bagi pertumbuhan lamun dan perkembangan lamun diantaranya adalah:

a. Cahaya

Intensitas cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat vital

bagi lamun untuk berfotosintesis. Intensitas cahaya ini sangat dipengaruhi oleh

kedalaman dan tingkat kekeruhan air. Menurut Duarte (1991) dalam Short dan

Coles (2003), kebutuhan minimum intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh lamun

untuk tumbuh adalah sebesar 10-20 % dari intensitas cahaya di permukaan air.

b. Kedalaman

Kedalaman perairan berhubungan erat dengan intensitas cahaya dan

tekanan dalam kolom air. Intensitas cahaya matahari akan semakin menurun

seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sedangkan tekanan dalam kolom air

akan semakin meningkat. Sebagian besar jenis lamun hidup di daerah perairan

(28)

Halophila, diketahui, dapat tumbuh di perairan yang sangat jernih seperti di Great

Barrier Reef Australia hingga kedalaman 58 meter di bawah permukaan laut. Jenis

lamun berukuran besar seperti Thalassia, Halodule, Enhalus dan Cymodocea

lebih menyukai daerah perairan yang dangkal (Short dan Coles 2003).

c. Pasang Surut dan Paparan Ombak/Gelombang (Exposure)

Sebagian besar jenis lamun yang tumbuh di perairan dangkal, sangat

dipengaruhi oleh pasang surut perairan. Saat surut terendah, daun lamun akan

rebah, mengalami kekeringan dan terbakar oleh intensitas cahaya matahari yang

tinggi. Sedangkan saat musim gelombang/ombak yang besar, kebanyakan daun

lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya (Short dan Coles 2003).

Di Kepulauan Spermonde, pasang tertinggi dan surut terendah setiap tahun terjadi

pada bulan Agustus-Desember (Erftemeijer dan Herman 1994).

Pasang surut dan paparan ombak/gelombang sangat berpengaruh bagi

komunitas lamun yang tumbuh di daerah perairan yang dangkal. Arus pasang

surut yang kuat, dapat menarik sedimen atau pasir keluar menjauh dari pantai,

sehingga akan menimbun daun lamun yang tumbuh di dasar perairan. Pulau kecil

seperti Bone Batang, umumnya memiliki perbedaan pasang surut yang kecil.

d. Salinitas

Besaran salinitas dipengaruhi oleh kandungan garam dalam air laut dan

suplai air tawar, baik oleh air hujan maupun oleh masukan (input) dari sungai.

Beberapa jenis lamun seperti Ruppia, memiliki kisaran toleransi yang besar

terhadap salinitas. Sedangkan, jenis lamun lainnya cenderung memiliki kisaran

salinitas yang sempit. Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gagalnya

proses perkecambahan lamun, terganggunya konsentrasi cairan osmosis dalam sel,

terhentinya proses reproduksi dan berkurangnya daya tahan terhadap penyakit.

e. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan penyebaran lamun. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengganggu

terjadinya fotosintesis, terhambatnya proses pembungaan dan perkecambahan biji.

Kenaikan suhu juga dapat memicu terjadinya kenaikan laju respirasi yang

(29)

dalam sel (Hemminga dan Duarte 2000; Short dan Coles 2003; Waycott et al

2004).

2.1.3 Tipe Habitat Lamun

Karakteristik habitat lamun terutama ditentukan oleh kondisi geomorfologi

dasar perairan, di mana komunitas lamun tersebut tumbuh. Berdasarkan faktor

lingkungan yang mempengaruhinya, Waycott et al. (2004), membagi daerah

tempat tumbuhnya lamun menjadi enam tipe habitat, yaitu: intertidal, subtidal,

rataan terumbu, perairan dalam, pantai daratan utama dan daerah muara

sungai/estuaria/mangrove.

Tipe habitat intertidal umumnya menempati daerah perairan dangkal di

pantai yang landai dan berhadapan dengan laut terbuka (seaward). Habitat ini

sangat dipengaruhi oleh dinamika pasang surut, perubahan suhu dan intensitas

cahaya yang tinggi. Substrat didominasi oleh pasir atau pecahan karang. Daerah

yang lebih dekat dengan tepi daratan umumnya lebih terlindung (sheltered).

Sedangkan daerah intertidal yang berbatasan dengan rataan terumbu (reef flat),

lebih terpapar (exposed) oleh gelombang pecah yang datang dari arah luar. Saat

surut terendah, dasar perairan di daerah intertidal akan muncul ke permukaan dan

mengalami kekeringan selama beberapa jam.

Tipe habitat subtidal terletak di daerah pantai yang sempit dan curam serta

berhadapan dengan daratan utama (leeward). Habitat ini selalu tergenang

sepanjang tahun dan tidak pernah kering, meskipun daerah pantai mengalami

surut terendah. Kondisi lingkungan di daerah subtidal umumnya lebih stabil.

Tipe habitat rataan terumbu dicirikan oleh paparan energi gelombang yang

tinggi, dominasi substrat keras dan pecahan karang, kurangnya endapan sedimen

dan kurangnya kandungan bahan organik (nutrien) dalam sedimen. Beberapa jenis

karang keras dari marga Porites dan Acropora sering ditemukan di antara tegakan

lamun. Tipe habitat lamun ini umumnya terletak cukup jauh dari tepi pantai dan

lebih dekat dengan lereng (slope) yang berbatasan dengan perairan dalam.

Tipe habitat perairan dalam didefenisikan sebagai dasar perairan yang

ditumbuhi oleh lamun pada kedalaman lebih dari 15 meter di bawah permukaan

laut. Kondisi perairan yang dalam menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya

(30)

tumbuh dan berkembang. Jenis lamun yang tumbuh di habitat perairan dalam

umumnya didominasi oleh jenis lamun berukuran kecil dari marga Halophila.

Tipe habitat pantai daratan utama umumnya didominasi oleh substrat

berpasir atau pasir lumpur dengan topografi yang dangkal. Kondisi lingkungan di

habitat ini banyak dipengaruhi oleh daratan didekatnya seperti input partikel

organik yang tinggi, perubahan salinitas dan temperatur. Jenis lamun berukuran

besar seperti Enhalus, Thalassia dan Cymodocea banyak ditemukan di habitat ini.

Tipe habitat muara sungai/estuaria ditandai oleh input air tawar, lumpur

dan partikel organik dari daratan dalam jumlah yang sangat besar. Kondisi

substrat di habitat ini sebagian besar didominasi oleh lumpur. Perubahan suhu dan

salinitas tergolong tinggi sepanjang tahun. Kandungan oksigen dalam sedimen

umumnya lebih rendah dibandingkan tipe habitat lainnya. Jenis lamun yang

tumbuh di habitat ini didominasi oleh marga Cymodocea, Enhalus, Halodule dan

Thalassia.

2.2 Bio-ekologi Makrozoobentos

Organisme bentos (bentik) adalah seluruh organisme (hewan dan

tumbuhan) yang hidup di dasar perairan meliputi: permukaan dasar dan di dalam

substrat (Khouw 2009). Lind (1979) dalam Khouw (2009), mendefenisikan bentos

sebagai semua organisme (melata, menetap, menempel, memendam maupun

meliang) yang hidup di lumpur, pasir, kerikil, batu, maupun sampah organik yang

berada di dasar perairan. Organisme bentos memiliki peran penting dalam studi

ekologi dan seringkali digunakan sebagai indikator untuk menilai perubahan yang

terjadi di lingkungan perairan (Hellawel 1986 dalam Khouw 2009).

Secara umum, organisme bentos dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

fitobentos (tumbuhan) dan zoobentos (hewan). Hutchinson (1976) dalam Khouw

(2009), membagi organisme bentos menjadi 2 berdasarkan ukurannya, yaitu:

mikrobentos dan makrobentos. Sedangkan berdasarkan pengelompokan terbaru,

Gray dan Elliot (2009), membagi makrozoobentos menjadi beberapa kelompok

(kategori) berdasarkan ukuran mata saringan yang digunakan untuk menyaring

organisme tersebut, yaitu: mikrofauna (< 63 µm), meiofauna (63 - 500 µm),

(31)

Gray dan Elliot (2009) juga membagi organisme bentos berdasarkan

kategori taksanya, yaitu: mikrofauna (Ciliata, Rotifera dan Sarcodina), meiofauna

(Nematoda, Oligocaheta, Gastrotricha), makrofauna (Polychaeta, Amphipoda,

Bivalvia) dan megafauna (Echinodermata, Decapoda). Berdasarkan uraian di atas,

makrozoobentos dapat didefenisikan sebagai seluruh hewan yang hidup di dasar

perairan (permukaan dan di dalam substrat/sedimen) dan dapat tersaring pada

mata saringan > 500 µm (Gray dan Elliot 2009).

Hemminga dan Duarte (2000), membagi kelompok organisme yang hidup di

daerah lamun menjadi 3 kategori, yaitu: (1). Infauna: kelompok hewan yang hidup

di dalam sedimen. (2). Epifauna: kelompok hewan yang hidup di permukaan

sedimen serta di antara kanopi lamun dan (3). Epibentik: kelompok hewan

berukuran besar yang dapat bergerak bebas di antara kanopi lamun seperti

berbagai jenis ikan. Jenis hewan vertebrata primitif seperti Lancelet/Brachistoma

(Amphioxus) juga ditemukan hidup di permukaan sedimen di padang lamun.

Makrozoobentos memiliki peran penting dalam ekosistem padang lamun.

Fase larva dari makrozoobentos menjadi sumber makanan bagi sebagian besar

organisme yang hidup di daerah lamun. Hewan bentos infauna membuat liang

(bioturbasi) yang meningkatkan kadar oksigen di dalam sedimen/substrat. Selain

itu, berbagai jenis Bivalvia yang menyaring makanan dari air laut, berperan

penting dalam mengontrol populasi mikroorganisme seperti jenis-jenis protozoa

dan dinoflagellata yang berpotensi meracuni perairan, jika terdapat dalam jumlah

yang berlebihan (blooming). Bivalvia juga diketahui mampu mengakumulasi

logam berat. Keong Triton, Charonia tritonis berperan penting dalam mengontrol

populasi bintang laut berduri Acanthaster planci yang sering memangsa polip

terumbu karang dan dapat menyebabkan kematian karang dalam area yang luas.

Beberapa jenis makrozoobentos memiliki nilai ekonomi yang penting.

Teripang merupakan komoditas utama hasil laut yang dicari oleh nelayan untuk

memenuhi pasar ekspor, terutama ke China, Taiwan, Jepang dan Hong Kong.

Kima (Tridacnidae) banyak dikumpulkan oleh nelayan untuk dikonsumsi. Selain

itu, kima Tridacna spp. juga diekspor sebagai biota hias akuarium. Cangkang

kima dan jenis kerang lainnya, diolah menjadi bahan baku pembuatan teraso/ubin,

(32)

Kerang hijau Perna viridis, banyak dikonsumsi masyarakat di kota-kota besar

seperti Jakarta. Lola, Trochus niloticus banyak diincar kalangan industri sebagai

bahan baku pembuatan kancing berkualitas tinggi. Sedangkan Keong Macan

Babylonia spirata, gemar dikonsumsi oleh masyarakat pesisir di Pelabuhan Ratu.

2.3 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

2.3.1 Kepulauan Spermonde

Spermonde merupakan gugusan kepulauan yang terletak di Selat

Makassar, sebelah barat Propinsi Sulawesi Selatan. Iklim dan dinamika

oseanografi di Kepulauan Spermonde, sebagian besar dipengaruhi oleh angin

muson (monsoon) dari arah barat daya yang kuat yang membawa uap air dalam

jumlah besar dan menyebabkan terjadinya musim hujan pada bulan

November-Maret (Moll 1983; Verheij 1993; Erftemeijer dan Herman 1994).

Gambar 1 Peta Kepulauan Spermonde (Sumber: Moll 1983).

Kepulauan Spermonde terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde

(Spermonde shelf) yang terletak di Pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat

(33)

lebih 300 km dengan luas 16.000 km2. Sebanyak 120 pulau dengan kisaran luas

antara 2 ha (Pulau Bone Batang) – 3.328,20 ha (Pulau Tanakeke) dapat ditemukan

di daerah ini. Secara administratif, Kepulauan Spermonde termasuk terbagi dalam

5 wilayah Kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene

Kepulauan (Pangkep), Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar dan Kota Makassar.

De Klerk (1983) dalam Renema et al. (2001), membagi Kepulauan Spermonde

menjadi empat zona ekologi yang membentang dari utara ke selatan berdasarkan

karakteristik substrat dasar perairan, input sedimen, bahan organik serta input air

tawar dari daratan utama (Moll 1983; Hoeksema dan Moka 1989; Verheij 1993).

  Zona pertama atau zona bagian dalam, merupakan zona terdekat dari pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut rata-rata 10 m dan

substrat dasar yang didominasi oleh pasir berlumpur. Zona kedua berjarak kurang

lebih 5 km dari daratan Sulawesi, mempunyai kedalaman laut rata-rata 30 m dan

banyak dijumpai Pulau Karang. Zona ketiga dimulai pada jarak 12,5 km dari

pantai Sulawesi dengan kedalaman laut antara 20-50 m. Di bagian zona ini

banyak dijumpai wilayah terumbu karang yang masih tenggelam (patch reef).

Zona keempat atau zona terluar merupakan terumbu penghalang (barrier reef

zone) dan berjarak 30 km hingga 70 km dari daratan utama Sulawesi. Di sisi timur

pulau-pulau karang ini kedalaman lautnya berkisar antara 40-50 m, sedangkan

pada sisi barat, kedalaman lautnya dapat mencapai lebih dari 100 m (Moll 1983).

Kepulauan Spermonde merupakan salah satu kawasan dengan keragaman

ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi di Indonesia. Namun

sebagian besar ekosistem tersebut dalam kondisi terancam, akibat pemanfaatan

sumberdaya alam yang melampaui daya dukung lingkungan serta menggunakan

cara-cara yang merusak seperti bom, bius, eksploitasi karang/ikan hias yang

berlebihan dan lain-lain (Tomascik et al. 1997).

Letak Kepulauan Spermonde yang strategis (dekat dengan kota Makassar)

menyebabkan besarnya jumlah populasi penduduk yang mendiami gugusan

pulau-pulau kecil ini. Hal tersebut menimbulkan tekanan yang tinggi terhadap kondisi

ekologi dan daya dukung lingkungan terutama ekosistem bahari yang ada di

(34)

akibat penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) atau bersifat merusak

seperti penggunaan bom dan racun sianida (Kneer 2006).

Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1980-an

menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis biota laut di Kepulauan Spermonde

tergolong cukup tinggi. Tidak kurang dari 224-262 jenis terumbu karang (Moll,

1983; Verheij 1993), 199 jenis makroalgae (Verheij 1993), 151 jenis sponges (de

Voogd 2006), 2 spesies penyu dan 1 spesies mamalia laut (Dugong dugon) yang

tergolong langka dapat ditemukan di wilayah ini.

Penemuan populasi lamun sendok Halophila spinulosa untuk pertama

kalinya (Schauerte 2005; Priosambodo 2007) di Teluk Laikang Kabupaten

Takalar dan penemuan spesies lamun baru Halophila sulawesii di perairan sekitar

Pulau Samalona (Kuo 2007), menambah daftar jenis lamun di Kepulauan

Spermonde menjadi 12 spesies. Hal ini mengindikasikan tingginya keragaman

jenis lamun di Kepulauan Spermonde. Namun, informasi tentang jenis biota laut

yang hidup berasosiasi dengan padang lamun seperti: Moluska, Echinodermata

dan invertebrata lainnya hingga saat ini masih belum banyak diketahui.

2.3.2 Pulau Bone Batang

Pulau Bone Batang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan, kurang lebih

12 km arah barat daya Kota Makassar. Sebagian besar pulau terbentuk dari

hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh karang tepi. Pulau Bone Batang

merupakan pulau kosong yang tidak dihuni oleh penduduk, tanpa vegetasi dan

nyaris tenggelam saat pasang tertinggi sehingga hampir tampak seperti gosong

(“sand bank”). Nama Bone Batang berasal dari 2 kata dalam bahasa Makassar,

yaitu: “bone” berarti pasir dan “battang” yang berarti perut. Secara harfiah, Bone

Batang diartikan sebagai “tempat yang baik untuk beristirahat dan makan”

(Massang dalam Kneer 2006) yang menunjukkan bahwa pulau ini telah lama

menjadi tempat mencari hewan laut untuk kebutuhan konsumsi atau dijual sebagai

ikan hias, kerajinan tangan dan ornamen hias akuarium (Kneer 2006).

Pulau Bone Batang memanjang dari arah utara-selatan dengan luas sekitar

1,80 ha. Rataan terumbunya diperkirakan memiliki luas sekitar 98,02 ha. Luas

(35)

yang dangkal berada di sisi barat dan selatan. Sedangkan rataan terumbu di sisi

timur tergolong sempit dengan topografi yang curam dan dalam.

Padang lamun yang luas dapat ditemukan di sisi barat dan selatan Bone

Batang yang didominasi oleh substrat berpasir. Sedangkan komunitas lamun di

sisi utara yang didominasi substrat pecahan karang, memiliki kepadatan yang

rendah (Kneer 2006). Komunitas lamun di Pulau Bone Batang tergolong

komunitas campuran yang terdiri dari spesies pionir: Cymodocea rotundata,

Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan species

klimaks: Thalassia hemprichii yang diselingi oleh Enhalus acoroides. Kedua

spesies klimaks tersebut tumbuh mengelompok dengan kepadatan rendah dan

menyebar secara acak (Kneer 2006; Vonk 2008; Wiethüchter 2009; Vonk 2010).

Jenis lamun Enhalus acoroides, banyak ditemukan di bagian tepi terluar

padang lamun yang curam dan dalam terutama di sisi timur dan selatan. Hal ini

diduga terkait dengan kondisi substrat dan ketersediaan air yang tetap

menggenangi daerah di sekitar Enhalus tersebut saat surut terendah (Kneer 2006).

Komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang tergolong unik jika

dibandingkan dengan Pulau Barrang Lompo (pulau tetangga yang terdekat dari

Bone Batang) dan perairan Puntondo di Teluk Laikang yang menjadi bagian dari

daratan utama Pulau Sulawesi (Kneer 2006). Komunitas makrozoobentos di Pulau

Bone Batang juga berbeda dengan komunitas makrozoobentos di Kepulauan

Spermonde pada umumnya. Bintang laut Protoreaster nodusus, bulu babi

Diadema setosum dan beberapa jenis teripang seperti Holothuria atra dan Synapta

maculata merupakan jenis makrozoobentos yang umum ditemukan di padang

lamun Kepulauan Spermonde (Priosambodo et al. 2006; Litaay et al. 2006).

Di padang lamun Puntondo Teluk Laikang, teripang dari familia

Synaptidae merupakan jenis makrozoobentos yang dominan. Sedangkan di

padang lamun Pulau Barrang Lompo, jenis makrozoobentos didominasi oleh jenis

kerang Modiolus micropterus (Priosambodo et al. 2006), bintang laut

Protoreaster nodosus, bulu babi Diadema setosum, jenis udang Alpheus

macellarius, Coralianassa coutierei dan Glypturus armatus (Kneer 2006).

Makrozoobentos utama di daerah padang lamun Pulau Bone Batang adalah: bulu

(36)

muricata, Pinna bicolor (Wiethüchter 2009), udang Alpheus macellarius, Neaxius

acanthus dan Coralianassa coutierei (Kneer 2006; Kneer et al. 2010b; 2010c;

2010d).

Pulau Bone Batang hampir setiap hari dikunjungi oleh nelayan untuk

berbagai aktifitas. Umumnya melakukan kegiatan penangkapan ikan, moluska

serta jenis invertebrata lainnya untuk konsumsi rumah tangga atau untuk dijual

sebagai hewan hias akuarium (ornamental fish). Pasir pulau juga diambil sebagai

bahan bangunan. Sebagian besar nelayan, berasal dari pulau Barranglompo yang

berpenduduk padat (Kneer 2006). Penangkapan ikan dengan bom dan zat bius

ditemukan beberapa kali selama penelitian berlangsung.

Bone Batang tergolong pulau yang dinamis dan mudah berubah bentuk,

terutama di sisi timur, utara dan selatan. Penumpukan sedimen pasir halus banyak

terjadi di sisi selatan pulau. Arus di sisi selatan tergolong cukup kuat untuk

memindahkan pasir, terutama saat angin muson utara-selatan bertiup kencang.

Pergerakan pasir ini cukup berpengaruh terhadap luasan padang lamun yang ada

di sekeliling pulau (Stapel et al 1996;Kneer 2006).

Berdasarkan klasifikasi ukuran diameter butiran sedimen dengan skala

Wenworth, Wiethüchter (2009) menyatakan bahwa karakteristik sedimen di sisi

timur Pulau Bone Batang didominasi oleh kerikil (gravel: >2 mm) sebesar 78%,

pasir (sand: 0,00625 mm-2 mm) sebesar 22 % dan lumpur/lanau/lempung (

silt-clay: <60 µm) sebesar 2-3% dari total berat sedimen. Pada sisi tenggara, butiran

sedimen yang ditemukan cenderung lebih halus dengan komposisi: kerikil sebesar

38%, pasir 38% dan lumpur/lanau/lempung sekitar 2-3% dari total berat sedimen.

Kondisi surut terendah di Pulau Bone Batang terjadi sekitar bulan

September hingga bulan November setiap tahun (Stapel 1997; Kneer 2006). Hal

ini menyebabkan sebagian besar lamun yang berada di perairan dangkal

mengalami kematian massal akibat terpapar cahaya matahari dengan intensitas

yang tinggi saat tengah hari. Dalam kondisi terik, hewan bentik seperti bintang

laut, akan bermigrasi menuju kolam-kolam kecil yang masih terisi air. Sebagian

hewan bentik akan bernaung di bawah batu-batu karang. Jenis bulu babi tertentu

seperti Tripneustes gratilla, akan menutupi tubuhnya dengan serasah dan daun

(37)

Dari studi yang dilakukan di daerah lamun Pulau Bone Batang, Samawi

(2001), melaporkan hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan (Tabel 1).

Dari hasil pengukuran tersebut, disimpulkan tidak ada perbedaan faktor

lingkungan yang terlalu besar, dari masing-masing stasiun (utara, barat, selatan

dan timur) di sekitar Pulau Bone Batang.

Tabel 1 Parameter Lingkungan Pulau Bone Batang (Samawi 2001)

No Parameter Lingkungan

Stasiun

Utara Barat Selatan Timur

1 Suhu (⁰C) 29,0 - 31,5 29,5 - 31,2 29,0 - 30,8 29,0 - 31,2 2 Salinitas (o/oo) 30,3 - 31,2 30,0 – 31,0 30,7 - 31,7 30,7 – 31,0

3 pH 8,1 - 8,2 8,0 - 8,1 8,1 - 8,2 7,9 - 8,2

4 Kecepatan Arus

(m/det) 0,005 - 0,007 0,017 - 0,025 0,050 - 0,054 0,021 - 0,028

5 Ammonium

(ppm) 0,0010 - 0,0012 0,0008 - 0,0013 0,0008 0,0010 - 0,0013 6 Nitrat (ppm) 0,46 - 0,47 0,43 - 0,58 0,51- 0,85 0,53 - 0,60 7 Fosfat (ppm) 0,046 - 0,053 0,045 - 0,050 0,052 - 0,054 0,046 - 0,050

(38)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

3.1.1 Waktu Penelitian

Penelitian struktur komunitas makrozoobentos ini dilakukan selama 2 tahun

(2009-2011) dengan uraian tahapan kegiatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.1.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Pulau Bone Batang, Kecamatan Ujung Tanah

Kotamadya Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau Bone Batang terletak di pantai

barat Sulawesi Selatan kurang lebih 12 km arah barat daya kota Makassar.

Sebagian besar pulau terbentuk dari hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh

karang tepi (Kneer 2006; Vonk 2008). Pulau Bone Batang merupakan pulau

kosong yang tidak dihuni oleh penduduk, tanpa vegetasi dan nyaris tenggelam

saat pasang tertinggi sehingga hampir tampak seperti gosong (“sand bank”). Bone

Batang memanjang dari arah utara-selatan dengan luas sekitar 1,80 ha. Area

rataan terumbu diperkirakan mencapai luas sekitar 98,02 ha.

Sebagian besar rataan terumbu yang dangkal di Pulau Bone Batang,

terdapat di sisi barat dan selatan. Sebaliknya, rataan terumbu di sisi timur

tergolong sempit dengan topografi yang curam dan dalam. Sedimen pasir dalam

volume yang besar menumpuk di sisi utara dan selatan. Pergerakan sedimen ini

sangat dinamis mengikuti pola arus dan gelombang sehingga sangat berpengaruh

terhadap habitat lamun di sekitarnya. Akibat penambangan pasir secara ilegal

yang dilakukan oleh nelayan dari pulau-pulau di sekitarnya, luasan Pulau Bone

Batang terus menyusut. Pengamatan terakhir yang dilakukan pada bulan Agustus

2010 menunjukkan, bahwa pulau ini telah tenggelam saat pasang tertinggi.

Bone Batang termasuk salah satu pulau pasir kecil tanpa vegetasi, dengan

rataan terumbu dan hamparan padang lamun yang luas. Berdasarkan zona ekologi

yang ditetapkan oleh Hutchinson (1945) dalam Moll (1993), Bone Batang terletak

di zona ketiga atau zona tengah bagian luar dari Kepulauan Spermonde. Pengaruh

daratan utama (Sulawesi) terhadap kondisi perairan di Pulau Bone Batang relatif

kecil, yang ditandai dengan rendahnya kandungan bahan organik dan partikel

(39)

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Moll 1983).

Pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde (termasuk Bone Batang)

memiliki bentuk yang khas. Rataan terumbu yang dangkal dan luas umumnya

dapat ditemukan di sisi barat dan selatan. Sebaliknya, rataan terumbu di sisi timur,

tergolong curam dan dalam. Pulau-pulau ini terbentuk dari hasil endapan material

kalsium karbonat. Iklim tergolong tropis yang mendapat pengaruh dari angin

Muson. Pada bulan Mei-Oktober, angin yang banyak membawa hujan bergerak

dari arah barat daya. Sedangkan bulan November-April, angin yang menimbulkan

gelombang besar bergerak dari arah tenggara (Erftemeijer dan Herman 1994).

3.1.3 Pembagian Stasiun Penelitian

Pada penelitian ini, daerah sampling dibagi menjadi 16 stasiun berdasarkan

tipe habitat lamun yang terdapat di Pulau Bone Batang (Gambar 3). Waycott et al.

(2004), membagi habitat lamun di daerah Indo-Pasifik Barat (termasuk Indonesia)

menjadi 6 tipe habitat, berdasarkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya,

yaitu: daerah intertidal, subtidal, rataan terumbu karang, perairan dalam, muara

sungai dan pantai daratan utama. Tiga tipe habitat lamun pertama, yaitu: intertidal,

(40)

Sedangkan tipe habitat lamun di perairan dalam (dengan kedalaman lebih dari 15

m), belum dapat dipastikan keberadaannya.

Gambar 3 Pembagianstasiun penelitian di Pulau Bone Batang.

Penempatan lokasi stasiun dilakukan secara selektif berdasarkan hasil

observasi awal. Observasi awal secara umum dilakukan melalui pengamatan

visual dengan mengelilingi pulau menggunakan speedboat pada kecepatan rendah.

Kegiatan observasi yang lebih detail, dilakukan dengan cara snorkelling di daerah

lamun dan rataan terumbu di sekitar pulau. Hasil observasi awal menunjukkan

adanya beberapa tipe habitat lamun di Pulau Bone Batang.

Lamun di Pulau Bone Batang umumnya tumbuh mengelompok (patchy),

didominasi oleh komunitas campuran yang terdiri dari beberapa spesies. Vegetasi

lamun yang tumbuh, tidak membentuk suatu hamparan yang utuh, karena banyak

diselingi oleh daerah kosong (bare area) yang tidak ditumbuhi lamun. Daerah ini

umumnya berbentuk seperti lubang-lubang besar yang didominasi substrat kerikil

atau pasir kasar. Lubang ini sedikit lebih dalam dibandingkan dengan daerah di

sekelilingnya yang ditumbuhi oleh lamun dan dikenal dengan sebutan “blow-out.

(41)

Gambar 4 Stasiun utama (lamun) dan kontrol (tanpa lamun)

Berdasarkan hasil observasi awal, ditetapkan 16 lokasi atau titik sebagai

stasiun. Delapan stasiun pertama (stasiun 1-8) diputuskan menjadi stasiun utama

yang ditempatkan pada tipe habitat yang ditumbuhi lamun. Selanjutnya, delapan

stasiun berikutnya (stasiun 9-16) difungsikan sebagai stasiun kontrol yang

ditempatkan di daerah kosong (bare area) yang tidak ditumbuhi lamun, di sekitar

stasiun utama. Karakteristik dari masing-masing stasiun diuraikan sebagai berikut:

Stasiun 1 ditempatkan di habitat lamun yang tumbuh di sekitar komunitas

terumbu karang (reef). Substrat di sisi barat Pulau Bone Batang ini sebagian besar

didominasi oleh karang keras. Ketebalan substrat berpasir umumnya jarang

melebihi 1 meter. Stasiun 9 (kontrol) ditempatkan di daerah kosong tanpa lamun

tidak jauh dari stasiun 1 (Gambar 3).

Stasiun 2 terletak di habitat lamun daerah intertidal di sisi barat pulau. Posisi

stasiun ini berada tidak jauh dari tepi pantai (Gambar 3). Sebuah cekungan kecil

memanjang yang menyerupai kolam (tide pool) ditemukan di stasiun ini. Titik ini

didominasi oleh substrat berpasir dengan ketebalan sedimen lebih dari 1 meter.

(42)

permukaan selama beberapa jam. Stasiun 10 (kontrol) berada di daerah kosong

tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 2.

Stasiun 3 berposisi di sisi timur pulau Bone Batang. Habitat lamun di daerah

ini tergolong tipe habitat intertidal yang akan terekspose saat surut rendah. Stasiun

ini tergolong labil karena pergerakan sedimen yang aktif sepanjang tahun.

Sebagian komunitas lamun yang ada tidak akan bertahan lama, karena tertimbun

oleh material pasir yang bergerak akibat terbawa arus dan gelombang. Stasiun 11

(kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 3.

Stasiun 4 dicirikan oleh topografinya yang sangat curam. Habitat lamun

termasuk tipe subtidal yang selalu berada di dalam kolom air sepanjang tahun.

Daerah ini tidak pernah terekspose ke permukaan, meskipun terjadi surut terendah

sekalipun. Ciri yang sangat khas dari stasiun ini adalah banyaknya kerang kapak

Pinna bicolor berukuran besar yang tumbuh di dasar substrat. Stasiun 12 (kontrol)

berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 4 (Gambar 3).

Stasiun 5 berada di ujung utara Pulau Bone Batang. Daerah ini dicirikan

oleh pasang surut yang tinggi dengan arus gelombang yang kuat. Habitat lamun

tergolong tipe intertidal yang akan terekspose ke permukaan saat surut terendah.

Substrat didominasi oleh pasir dengan proporsi kerikil dan pecahan karang

(rubble) yang cukup besar. Spesies lamun didominasi oleh Halodule uninervis

dengan kerapatan yang tinggi. Stasiun 13 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa

lamun tidak jauh dari stasiun 5 (Gambar 3).

Stasiun 6 terletak di ujung selatan Pulau Bone Batang. Area ini sangat

landai dan dangkal dengan hamparan substrat berpasir yang luas. Tipe habitat

lamun termasuk tipe intertidal yang akan terekspose saat surut terendah. Stasiun

14 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 6.

Stasiun 7 berada di sisi barat Pulau Bone Batang. Daerah di sekitar stasiun

ini didominasi oleh suatu gundukan atau akumulasi pasir dengan volume yang

sangat besar. Kumpulan pasir ini sifatnya labil dan dinamis, berubah-ubah bentuk

mengikuti arus dan gelombang musiman yang juga berubah sepanjang tahun.

Posisi stasiun, berada di daerah lamun yang landai, dengan habitat lamun

tergolong tipe intertidal. Stasiun 15 (kontrol) terletak di daerah kosong tanpa

(43)

Stasiun 8 berada di sisi tenggara Pulau Bone Batang. Topografi daerah ini

termasuk curam dan dalam. Tipe habitat lamun tergolong subtidal yang akan

selalu berada di bawah permukaan air sepanjang tahun. Substrat stasiun ini

didominasi oleh pasir dengan ukuran butiran yang lebih halus dibandingkan

dengan stasiun lainnya. Ciri khas dari stasiun ini adalah dominannya tegakan

lamun dari jenis Enhalus acoroides. Stasiun 16 (kontrol) terletak di daerah kosong

tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 8 (Gambar 3).

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada daftar alat

dan bahan yang tertera pada Lampiran 3.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan bahan habis untuk

mengawetkan sampel dan membuat bola gypsum, untuk mengestimasi kekuatan

paparan ombak/gelombang (exposure). Bahan yang digunakan, dapat dilihat pada

daftar alat dan bahan sebagaimana tertera pada Lampiran 3.

3.3 Metode Pengambilan Data (Sampling)

3.3.1 Struktur Komunitas Lamun

a. Kepadatan dan Biomassa lamun

Pengambilan data kepadatan dan biomassa lamun, dilakukan menggunakan

sediment corer dengan diameter 15,7 cm dan tinggi 25 cm (Gambar 5). Sampel

lamun beserta sedimen yang diambil dari lapangan, kemudian dipindahkan dari

kantong plastik ke sebuah baki plastik. Sebanyak 2 sendok makan sampel

sedimen, diambil dari tengah-tengah sedimen yang ada di atas baki, untuk

keperluan analisis struktur sedimen lebih lanjut. Setelah itu, sampel lamun dan

makrozoobentos, kemudian disortir menggunakan saringan dengan ukuran mata

saring 1 mm, di dalam ember berisi air laut. Sampel makrozoobentos dan lamun

yang ditemukan, disimpan dalam botol sampel terpisah. Sisa sedimen yang masih

terdapat di atas saringan, diletakkan di atas baki plastik dan disortir kembali untuk

Gambar

Gambar 1  Peta Kepulauan Spermonde (Sumber: Moll 1983).
Gambar 2  Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Moll 1983).
Gambar 3  Pembagian stasiun penelitian di Pulau Bone Batang.
Gambar 4  Stasiun utama (lamun) dan kontrol (tanpa lamun)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel penelitian dengan inventarisasi sumberdaya berupa ekosistem alami yang tersedia di Pulau Liukang Loe antara lain terumbu karang dan pantai berpasir, analisis

Kepadatan perifiton tertinggi terdapat di stasiun ini berkisar 8413-34261 ind cm¯². Kepadatan perifiton bergantung pada jenis lamun, kondisi lingkungan dan tipe habitat. Stasiun

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat Memberikan informasi ilmiah tentang kondisi ekosistem lamun dan keberadaan ikan karang di perairan Pulau Pasi Kabupaten

isoetofolium yang pada dua stasiun penelitian sama-sama menunjukkan pola sebaran mengelompok, pola penyebaran ini dapat mengakibatkan kemungkinan spesies ini tidak

Pada semua lokasi pengamatan Indeks Keseragaman berkisar 0.303- 0.365, yang berarti komunitas pada kondisi tertekan dan Indeks Dominasi tertinggi ditemukan pada Stasiun

Walaupun stasiun Pintu Kota dan Mawali terletak di sebelah barat Pulau Lembeh dan berdekatan dengan sumber polutan (terutama bahan organik) yang berasal dari

Jenis manfaat yang diidentifikasi dan dikuantifikasi dari ekosistem terumbu karang di Perairan Desa Mattiro Deceng Pulau Badi adalah manfaat langsung dan manfaat

Berdasarkan pengamatan struktur komunitas padang lamun di Desa Berakit, diperoleh jenis lamun yang ditemukan merupakan jenis lamun yang biasanya dijadikan habitat oleh