SUSTAINABLE
AGRICULTURE
RUNI ASMARANTO
ISUE
• Konsep pertanian berkelanjutan (sustainable
agriculture) dalam kebijakan pembangunan
pertanian di Indonesia, sampai saat ini belum
jelas
implementasinya.
Walaupun
asas
keberlanjutan pertanian, secara konseptual telah
diakomodir dalam UU No. 12/1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman, penerapannya di
lapangan masih lemah dan terkesan kontradiktif.
• Kontradiksi ini terlihat pada tingkatan program
pertanian pemerintah.
• Dalam produksi pangan misalnya, paket teknologi
masih didominasi oleh teknologi revolusi hijau.
Teknologi ini diterapkan lewat program Bimbingan
Massal (BIMAS) Intensifikasi secara sistematis dan
meluas di seluruh Indonesia.
• Program BIMAS pada tataran praktis lapangan
cenderung bertolak-belakang dengan filosofi
pertanian
berkelanjutan.
BIMAS
lebih
mengedepankan
kepentingan
maksimisasi
produksi demi pengamanan kebutuhan pangan
rakyat ketimbang kepentingan perlindungan
(konservasi) lingkungan dan pemberdayaan
petani.
FAKTA
• Walaupun pemerintah berkepentingan dengan agenda pertanian berkelanjutan, tapi kenyataan di lapangan belum membuktikan adanya kesungguhan pemerintah untuk merealisasikan agenda tersebut.
• Masih terus berlangsungnya kemerosotan kualitas lingkungan tanah dan air akibat berbagai usaha intensifikasi pertanian dengan menggunakan masukan anorganik (pupuk, pestisida dan hormon pengatur tumbuh) dalam jumlah besar.
• Kemerosotan itu antara lain ditunjukkan oleh kerusakan tanah yang serius di lahan pertanian dalam luasan besar.
• Petani tidak disiapkan secara sistematis untuk melakukan langkah-langkah konservasi lingkungan dalam proses produksinya. Bahkan, dalam kegiatan penyuluhan pertanian pun, materi konservasi lingkungan (ekosistem tanah & air) cenderung diabaikan.
• Pada tingkat kebijakan; belum terlihat suatu
kebijakan atau program yang dirancang secara
terpadu, sistematis, lintas sektoral dan partisipatif
dalam rangka mewujudkan konsep pertanian
berkelanjutan.
Pendekatan-pendekatan
yang
dilakukan, sifatnya masih parsial (tidak sistematis).
• Program nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
atau Integrated Pest Management merupakan
contoh yang representatif untuk menjelaskan
sinyalemen di atas.
• Awalnya, program PHT (hanya) ditujukan untuk mengendalikan hama wereng coklat yang menyerang tanaman padi di pulau Jawa secara besar-besaran pada tahun 1985. Pada tahun 1986, konsep PHT semakin menemukan bentuknya dengan keluarnya INPRES No. 3/1986. INPRES tersebut, selain berisi larangan terhadap peredaran 57 jenis insektisida organophospat, juga menjadi dasar bagi diselenggarakannya program pelatihan nasional untuk petugas lapangan (PPL dan PHP) serta para petani Pelatihan untuk petani dijalankan lewat
program Sekolah Lapang PHT (SLPHT). Setelah mengikuti SLPHT, diharapkan terjadi perubahan sikap dan perilaku para petani.
• SLPHT juga membuka ruang bagi partisipasi
dan pembangunan kemandirian petani. Petani diharapkan menjadi lebih mandiri dalam mengambil keputusan. Dalam
memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengendalian hama di lahan misalnya, petani didorong mengambil prakarsa dengan mengadakan uji coba
sederhana di lapangan, dan mendiskusikan hasilnya dengan petani lain yang belum mengenal PHT.
Kebijakan LISA
(Low-Input Sustainable Agriculture)
• Pada bulan Januari 1988, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) telah mereformasi kebijakan pertaniannya. USDA mengeluarkan kebijakan bersejarah, yaitu Low-input, sustainable
agriculture (LISA). LISA adalah suatu sistem pertanian terpadu
yang merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam suatu rencana manajemen usahatani yang utuh.
• Kombinasi tersebut merupakan suatu kesatuan dari bermacam-macam metode bertani, misalnya: perpaduan antara PHT, kontrol biologis, dan pergiliran tanaman yang berbasiskan tanaman kacang-kacangan (legume). Teknologi atau metode tersebut mencakup suatu kesatuan pendekatan yang pada derajat tertentu menyimpang dari metode pertanian konvensional (teknologi “modern”) yang diadopsi secara meluas.
• Kebijakan LISA dilatarbelakangi oleh situasi yang dialami petani Amerika pada dekade 1980-an. Petani menghadapi tekanan
finansial akibat penurunan dalam hal jumlah ekspor produk pertanian, harga komoditi, dan nilai tanah.
• Solusi tradisional dengan cara memacu produksi, malah makin menjatuhkan harga komoditi pertanian. Petani juga berada di bawah tekanan publik untuk mengurangi polusi akibat
penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta mengurangi erosi (lahan).
• LISA, secara sederhana, dimaksudkan untuk memenuhi dua
kepentingan petani yaitu: produksi dan konservasi. Pendekatan konvensional dengan teknologi modern cenderung
mengabaikan faktor konservasi sumberdaya atau proteksi lingkungan. Walaupun merupakan sesuatu yang penting dan
dibutuhkan, konservasi bagi petani cenderung dianggap sebagai beban atau pembatas maksimisasi keuntungan.
• Pemerintah AS lalu menyediakan bantuan teknis dan
finansial untuk mendukung kepentingan tersebut.
• Kebijakan LISA, secara konseptual mempunyai dua
tujuan utama yaitu: (1)
memperbesar pendapatan
(petani)
serta (2)
memelihara lingkungan melalui
pembangunan suatu sistem atau praktek pertanian
terpadu
.
• Tujuan yang lebih mendasar dari LISA adalah
Penyediaan pangan dan hasil pertanian lain secara
berkelimpahan
lewat
cara-cara
yang
tidak
membahayakan manusia dan lingkungan serta
menciptakan
keberlanjutan
pertanian
demi
kelangsungan hidup generasi mendatang.
• Secara teknologis, sistem pertanian LISA berpotensi
mengurangi ketergantungan petani
pada pembelian
berbagai input eksternal pertanian sehingga dapat
memperbesar keuntungan petani.
• Bahkan, dari sudut penambahan lapangan kerja dan
diversifikasi
usaha,
LISA
diyakini
berpotensi
membangkitkan kekuatan vital untuk menghidupkan
kembali daerah pedesaan.
• Sistem LISA diyakini dapat membawa dampak yang
menguntungkan
masyarakat,
seperti:
pengurangan
kerusakan lingkungan akibat erosi tanah dan pencemaran
bahan kimia terhadap air, tanah dan udara, pengurangan
beban pajak konsumen dalam program bantuan harga dari
pemerintah federal, penghematan bahan bakar fosil
(minyak bumi), serta pemeliharaan keberlanjutan pertanian
bagi generasi di masa depan.
Namun LISA juga diperkirakan mempunyai dampak
negatif yg berlawanan dengan keuntungan di atas,
yaitu:
(1) kenaikan harga beberapa bahan pangan,
ketidak-seimbangan dalam perdagangan internasional
(ekspor-impor)
,
(2) penurunan pendapatan dari perusahaan produsen
bahan kimia sintetis seperti pestisida dan pupuk
anorganik
,
serta
(3) ketimpangan
produksi
dan
pendapatan
antarkawasan
.
• Program-progam LISA dilaksanakan dengan pendekatan yang multidisiplin, regional dan lintas sektoral, dengan melibatkan organisasi-organisasi publik dan swasta serta para petani.
• Petani, para pakar dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga konsultansi/pelayanan, organisasi non pemerintah serta para birokrat dari lembaga pemerintahan, bekerja sama secara penuh dalam kerja-kerja tim secara multidisiplin.
• Dalam program LISA, para
petani dilibatkan secara penuh mulai dari perumusan tujuan serta prioritas, perencanaan program, pengembangan teknologi sampai proses evaluasinya.
• Pada awalnya, prioritas program ditekankan pada penyediaan informasi yang lengkap dan siap pakai mengenai pertanian berkelanjutan bagi petani. Informasi tersebut antara lain berasal dari penelitian yang telah dan sedang berlangsung. Selain itu, program LISA mendapat sokongan dana yang besar dari pemerintah AS. Petani yang menerapkan LISA juga diberi insentif (subsidi) oleh pemerintah AS. Besarnya insentif
utamanya diperhitungkan dari tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani. Pertimbangan lain untuk pemberian insentif adalah: resiko kerugian finansial akibat kegagalan produksi, bahaya pencemaran lingkungan dan resiko gangguan
kesehatan pada petani.
• Pada saat digulirkan pada tahun 1988, LISA segera direspon oleh petani AS. Sampai saat ini, jumlah petani yang
menerapkan sistem pertanian LISA di AS semakin banyak. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan LISA di AS semakin
• Kebijakan LISA di AS menunjukkan adanya suatu kesadaran baru yang tidak lagi melihat pencapaian tingkat produksi tertentu
sebagai satu-satunya tujuan. Implikasi tujuan ini terhadap faktor lain seperti lingkungan (ekologi), sosial-budaya, ekonomi dan
politik menjadi sama pentingnya dengan tujuan itu sendiri.
• Berbagai kajian dan penelitian baik yang sifatnya teoritis
maupun empiris dilakukan secara intensif (secara serius). Petani serta semua pihak yang berkepentingan dilibatkan secara penuh. Berbagai akses, fasilitas, insentif dan jaminan disediakan bagi
petani. Kajian sementara menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan sangat menjanjikan, mengingat banyak
keuntungan yang bisa diraih dari sistem tersebut, baik secara ekonomis, sosiologis maupun ekologis
Sustainable Agriculture
in INDONESIA
• Pembangunan sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia mensyaratkan dimilikinya paradigma atau cara pandang baru dari para pengambil kebijakan. • Sektor pertanian dalam paradigma baru itu perlu dilihat sebagai suatu sistem
yang integral. Seluruh komponen sistem, idealnya harus diuntungkan atau berkembang secara proporsional. Kondisi ini, tidak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kebijakan pembangunan pertanian secara total yang mengacu pada konsep pertanian berkelanjutan. Sebelum reformasi tersebut dapat dijalankan, pemerintah masih harus membenahi masalah besar yang belum terjawab tuntas pada masa Orde Baru yaitu: ketidakseimbangan
antara faktor-faktor produksi: tanah (land), tenaga kerja (labor) dan modal (capital). Pembenahan ini perlu karena usaha tani yang berkelanjutan biasanya menempuh strategi diversifikasi usahatani dan padat karya. Agar usahatani tersebut layak secara ekonomis dibutuhkan tingkat pemilikan modal dan
tanah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan reformasi di bidang pertanahan
(land reform) dan permodalan (capital reform), agar petani memperoleh kemudahan dan akses memperoleh modal. Faktor lain yang perlu disiapkan untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan adalah kesiapan petani.
• Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah suatu model pendidikan yang bisa memekarkan kesadaran kritis mereka. Tujuannya adalah agar petani
dapat mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang diberikan kepada mereka, misalnya dalam hal teknologi.
• Sistem pertanian berkelanjutan juga mensyaratkan adanya layanan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat diakses dengan mudah oleh petani.
• Dari pihak pemerintah, dituntut kemauan politiknya untuk mereformasi kebijakan, pendekatan serta metodologi pembangunannya selama ini. Misalnya, untuk mengurangi segala macam peraturan (regulasi) dan
pengendalian yang cenderung berlebihan serta membelenggu kebebasan dan mengingkari hak-hak petani. Dukungan berupa insentif (misalnya
asuransi), juga perlu dipertimbangkan untuk diberikan pada petani. Kelembagaan petani juga perlu diperkuat dengan jalan memberi petani • Perlu disadari bahwa agenda pertanian berkelanjutan hanyalah salah satu
dari sekian banyak agenda reformasi sektor pertanian yang perlu
diperjuangkan. Masih banyak masalah-masalah petani yang belum terjawab. Semua masalah itu, berakar dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak memihak petani. Petani dibiarkan berjuang sendiri untuk menggapai hak-haknya.
Pengelolaan SDA untuk Pertanian Berkelanjutan
• Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting
dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia maka
produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa
sumberdaya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan
pertanian khususnya pertanian beririgasi.
• Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) secara
sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara,
memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan
kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan.
• Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya
pertanian seperti air dan tanah perlu dimanfaatkan
TANTANGAN
• Kebutuhan akan sumberdaya air dan tanah
cenderung meningkat akibat pertambahan
jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup,
sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga
semakin tajam baik antara sektor pertanian
dengan sektor non-pertanian maupun antar
pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri.
Beranjak dari permasalahan tersebut selanjutnya
diketengahkan langkah-langkah kebijaksanaan
yang kiranya perlu ditempuh dalam pengelolaan
sumberdaya air guna mendukung pertanian
bekelanjutan.
Permasalahan sumberdaya air :
1.
Adanya Gejala Krisis Air
• Gejala krisis air rupanya sudah mulai nampak dewasa ini. Krisis air dapat diukur dari Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara
penggunaan dan ketersediaan air. Semakin tinggi angka IPA semakin memprihatinkan ketersediaan air di suatu wilayah. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75–1,0 maka dikatakan
keadaan “kritis”. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan “sangat kritis” atau defisit air, sedangkan jika IPA -nya berkisar
antara 0,30 – 0,60 tergolong “normal” dari segi ketersediaan air . • Pada tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah
termasuk kategori “sangat kritis” karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di
daerah-daerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur ( dengan IPA
sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 (Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997).
• Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak
terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah
terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif
tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak
pernah bertambah (WARUNG JAMU)
• Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan
irigasi yang masih rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam
upaya menurunkan IPA.
Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di
berbagai negara Asia kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari DAM sampai ke Saluran primer; 15% hilang dalam perjalanannya dari Saluran primer ke Saluran sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal.
Diperkirakan tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan Nusyirwan, 1997).
• Sebagai akibat dari persaingan dalam pemanfaatan
air akan semakin tajam pada masa-masa mendatang,
maka dapat diantisipasi bahwa air terlebih lagi air
bersih (air minum) relatif semakin langka dan
karenanya akan menjadi economic good.
• Suatu saat mungkin akan terjadi suatu situasi dimana
kalau si pengguna tidak punya uang untuk membayar
air yang dibutuhkannya maka ia tidak akan
mendapatkan air (“no money no water”).
• Dengan demikian maka orang akan terpaksa harus
berhati-hati dan hemat dalam menggunakan air
termasuk air untuk irigasi. Dengan kata lain, gejala
krisis air menuntut pengelolaan sumberdaya air yang
2.
Degradasi Sumberdaya Air
• Keluhan disertai protes oleh masyarakat tentang adanya
pencemaran air di beberapa tempat sebagai akibat
adanya limbah industri termasuk dari industri pariwisata
(hotel dan restoran).
• Kecenderungan menurunnya
kualitas air akan meningkat
seiring dengan meningkatnya
perkembangan industri yang
mengeluarkan limbah,
pertumbuhan perumahan
secara eksponensial dan
pertambahan penggunaan
• Intrusi air laut juga telah terjadi di beberapa tempat karena
eksploitasi yang berlebihan terhadap air tanah.
• Pembabatan hutan dengan semena-mena tanpa kendali
mengakibatkan berkurangnya kuantitas air dan tidak jarang
menimbulkan banjir terutama pada musim penghujan.
• Air tanah dan air permukaan mulai terkontaminasi zat-zat
kimia yang mengandung racun akibat limbah industri,
limbahan dari saluran irigasi yang mengandung pestisida
maupun limbah domestik.
• Degradasi sumberdaya air dapat berpengaruh negatif
terhadap kesehatan masyarakat.
Air irigasi yang tercemar
juga dapat
berakibat buruk terhadap hasil panen
, sehingga
secara keseluruhan tercemarnya sumberdaya air dapat
3. Konflik Akibat Persaingan yang Semakin Tajam antar
Pengguna Air
• Meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah
penduduk serta pembangunan di segala bidang
menuntut terpenuhinya kebutuhan akan air yang terus
meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
• Persaingan yang menjurus ke arah konflik kepentingan
dalam pemanfaatan air antara berbagai sektor terutama
antara sektor pertanian dan non- petanian cenderung
meningkat di masa-masa mendatang.
• Hal ini dapat dipahami karena air yang sebelumnya
dimanfaatkan lebih banyak untuk pertanian, sekarang
dan di masa-masa mendatang harus dialokasikan juga ke
sektor non-pertanian.
• Sebenarnya
konflik akibat persaingan dalam
pemanfaatan air sudah sering terjadi di
kalangan petani padi sawah
, terutama di
tempat-tempat yang langka air,
• Konflik antar petani dalam
pemanfaatan air irigasi, biasanya
terjadi antara kelompok petani
hulu dan kelompok petani hilir,
namun pada umumnya tidak
berkepanjangan
dan
tidak
sampai menimbulkan bentrokan
fisik.
• Akibat persaingan yang semakin tajam dalam pemanfaatan air maka di masa yang akan datang konflik akan timbul bukan saja antar petani tetapi juga antara kelompok petani melawan
kelompok bukan petani.
• Kasus petani-petani di Desa Penebel ,Bali yang memprotes keras pengambilan air di Yeh Gembrong oleh Pemda Tabanan untuk kebutuhan air minum sekitar tahun 1990-an, adalah satu contoh nyata akibat persaingan pemanfaatan air. Demikian juga halnya kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yaitu pengusiran
petugas PDAM oleh 300 orang petani bersama penduduk di tiga kampung sekitar Daerah Irigasi Ciherang. Petani-petani marah
karena petugas PDAM menggali pipa air di Daerah Irigasi Ciherang untuk menyadap air di bagian hulu Sungai Cisangkuy yang juga
merupakan sumber air bagi petani Ciherang (Kurnia, G. dkk., 1996).
• Masih banyak konflik pemanfaatan air yang juga terjadi di daerah-daerah lain seperti pernah diberitakan oleh berbagai media masa.
4. Menyusutnya Lahan Pertanian Beririgasi Akibat Alih Fungsi
• Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menuntut pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah. Misalnya selama kurun waktu 1984-1990 di Jawa Barat telah terjadi alih fungsi lahan sawah untuk non-pertanian seluas 27.768 ha atau rata-rata 5.554 ha per tahun. Selanjutnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).
• Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020
diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000 ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. • Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar
kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga
pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya. Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian merupakan proses yang
bersifat irreversible atau tidak dapat balik.
• Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik
masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto. 1996).
• Selain dari pada itu yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai penghasil makanan pokok dan pelestarian lingkungan ( flood
control and environment preservation).
• Banjir yang terjadi di beberapa kota besar di Jepang seperti Ichikawa di Propinsi Chiba, Soka di Propinsi Saitama dan Ueno di Propinsi Mie menurut Nagata (1991) disebabkan karena menciutnya areal
persawahan di sekitar kota-kota tersebut.
• Pemerintah setempat telah berusaha keras menanggulangi masalah banjir itu melalui berbagai program, diantaranya program drainase, dan program pemberian subsidi untuk memperlambat proses alih fungsi sawah beririgasi. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996).
5. Kurang Jelasnya Ketentuan Hak Penguasaan Air
• Pemerintah memang sebenarnya telah menetapkan susunan prioritas penggunaan air dengan urutan kepentingan sebagai berikut: (1) air minum, rumah tangga, pertahanan / keamanan , peribadatan, dan usaha perkotaan; (2) pertanian dalam arti luas yaitu termasuk peternakan, perkebunan dan perikanan; dan (3) ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas dan rekreasi. Akan tetapi pada kenyataannya , urutan prioritas yang kedua yakni
pertanian, sering dikalahkan oleh urutan prioritas ketiga seperti misalnya untuk kebutuhan pembangunan industri. Dalam hal seperti ini, keberlanjutan pertanian di hilir sungai bisa terancam
akibat pemberian izin oleh pemerintah atas pengambilan air di hulu sungai untuk keperluan industri yang tidak jarang menimbulkan
pencemaran sungai. Perangkat peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini rupanya belum secara tegas dan eksplisit memberikan jaminan kepastian hukum dalam memperoleh hak guna air kepada petani yang sudah berlangsung secara turun temurun.
• Para petani yang sudah berabad-abad memanfaatkan
air sungai untuk keperluan irigasi ada dalam posisi
yang lemah.
• Jika ada pendatang baru seperti misalnya PDAM atau
bahkan pengusaha air minum kemasan yang
mengambil air di hulu sungai,maka terpaksa harus
mengalah dengan resiko mengalami gagal panen
atau tidak bisa melanjutkan usahataninya karena
kekurangan air.
Jika ini terus berlanjut dan meluas maka keberlanjutan pertanian
• Tidak jelasnya hak penguasaan air yang dimiliki oleh
para pengguna air khususnya air di sepanjang sungai
dapat memicu konflik antar pemanfaat air seperti
kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya.
• Oleh sebab itu, pengaturan alokasi air sungai yang
jelas dan adil kepada para pengguna (pertanian,
pemukiman, industri, dll) perlu diupayakan melalui
perangkat peraturan dan perundangundangan.
Mengingat air berfungsi sosial dan harus digunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka
hak-hak masyarakat setempat atas sumberdaya air yang
ada perlu dilindungi. Sementara itu, kepentingan
masyarakat luas untuk mendapatkan air besih juga
harus diperhatikan.
6. Lemahnya Koordinasi antar Instansi dalam Menangani
Sumberdaya Air
• Dalam menangani sumberdaya air di Indonesia ternyata
banyak instansi yang terlibat. Dalam kabinet pemerintahan
terdahulu, instansi yang terlibat adalah: Depertemen
Pekerjaan Umum ( DPU ); Depertemen Pertanian;
Departemen Kehutanan; Departemen Kesehatan;
Departemen Pertambangan; Departemen Pariwisata, Pos
dan Telekomunikasi; Departemen Perhubungan; dan
Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup.
Masing-masing departemen merencanakan dan melaksanakan
kegiatannya sendiri secara parsial dan sektoral , hampir
tidak ada koordinasi antara satu dengan lainnya. Akibatnya,
kegiatan sering tumpang tindih dan bahkan ada kalanya
tidak saling mendukung. (Martius, 1997; dan Mahar,
1999).
• Seperti dicontohkan oleh Mahar (1999),
perencanaan pengelolaan sungai oleh DPU
tidak
sinkron
dengan
perencanaan
pengelolaan daerah tangkapan (catchment
area) yang dilakukan oleh Departemen
Kehutanan, sehingga tidak mustahil bahwa
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
yang
seharusnya
perlu
segera
diberikan
penanganan
khusus,
justru
terjadi
sebaliknya karena pengelolaannya masih
parsial.
7. Kelemahan dalam Kebijaksanaan Sumberdaya Air
• Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan dan
pengelolaan sumberdaya air di Indonesia selama ini masih mengandung beberapa kelemahan. Antara lain: (1) masih
berorientasi pada segi penyediaan (supply-side management);
(2) lebih menekankan pada pengembangan satu sistem irigasi dan kurang memperhatikan keterkaitan hidrologis antar sistem dalam satu sungai; (3) lebih berorientasi pada pengembangan
jaringan utama sistem irigasi; dan (4) arena pengelolaan air ada
pada tingkat sistem irigasi bukan pada tingkat sungai.
• Ciri-ciri dari supply-side management seperti dikemukakan oleh Osmet (1996) antara lain: air diperlakukan sebagai sumberdaya yang ketersediannya tidak terbatas; peran pemerintah sangat
dominan dengan fungsi utama menyediakan air kepada pengguna dengan biaya yang relatif rendah dan bahkan gratis seperti dalam bidang irigasi; lebih menekankan pada pengembangan sarana dan prasarana fisik dengan perhatian utama terpusat pada efisiensi teknis.
• Memang pendekatan pada sisi persediaan seperti ini telah
berhasil dalam meningkatkan produksi pangan namun tidak
luput
dari
kelemahan.
Yaitu,
mengakibatkan
Ketergantungan petani kepada pemerintah menjadi begitu
kuat. Jika ada keperluan perbaikan jaringan irigasi petani
cenderung bersikap menunggu saja dan berharap agar
pemerintah segera turun tangan.
• Implikasi dari kebijaksanaan yang berorientasi pada
pembangunan satu sistem irigasi tanpa memperhatikan
keterkaitan hidrologis adalah bahwa alokasi air yang
sebelumnya tidak bermasalah akhirnya bisa jadi
bermasalah jika tiba-tiba di hilir terganggu karena ada
bendung baru yang dibangun di hulu sungai.
• Selanjutnya, kebijaksanaan yang diorentasikan pada
pembangunan jaringan utama dalam arti membangun atau
memperbaiki bangunan pengambilan permanen (bendung) dan saluran utama, dalam banyak kasus dapat menyulut konflik antar kelompok petani hilir dan hulu. Kebijaksanaan seperti ini
menciptakan timbulnya rasa ketidakadilan di kalangan para petani. Sebab, yang lebih menikmati bertambahnya
ketersediaan air pada sistem irigasi yang bersangkutan adalah petani yang sawahnya paling dekat dengan sumber air.
• Pada umumnya sistem irigasi di hilir sungai cenderung kekurangan air terutama pada musim kemarau, sedangkan yang di hulu mendapat air secara berlebihan dan
umumnya boros menggunakan air. Tanpa pengorganisasian pola alokasi air yang baik antar sistem irigasi di sepanjang sungai maka sistem irigasi yang ada di hilir
cenderung senantiasa kekurangan air dan akhirnya bisa mengancam pertanian yang berkelanjutan.