• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUNI ASMARANTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUNI ASMARANTO"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

SUSTAINABLE

AGRICULTURE

RUNI ASMARANTO

(2)

ISUE

• Konsep pertanian berkelanjutan (sustainable

agriculture) dalam kebijakan pembangunan

pertanian di Indonesia, sampai saat ini belum

jelas

implementasinya.

Walaupun

asas

keberlanjutan pertanian, secara konseptual telah

diakomodir dalam UU No. 12/1992 tentang

Sistem Budidaya Tanaman, penerapannya di

lapangan masih lemah dan terkesan kontradiktif.

• Kontradiksi ini terlihat pada tingkatan program

pertanian pemerintah.

(3)

• Dalam produksi pangan misalnya, paket teknologi

masih didominasi oleh teknologi revolusi hijau.

Teknologi ini diterapkan lewat program Bimbingan

Massal (BIMAS) Intensifikasi secara sistematis dan

meluas di seluruh Indonesia.

• Program BIMAS pada tataran praktis lapangan

cenderung bertolak-belakang dengan filosofi

pertanian

berkelanjutan.

BIMAS

lebih

mengedepankan

kepentingan

maksimisasi

produksi demi pengamanan kebutuhan pangan

rakyat ketimbang kepentingan perlindungan

(konservasi) lingkungan dan pemberdayaan

petani.

(4)

FAKTA

• Walaupun pemerintah berkepentingan dengan agenda pertanian berkelanjutan, tapi kenyataan di lapangan belum membuktikan adanya kesungguhan pemerintah untuk merealisasikan agenda tersebut.

• Masih terus berlangsungnya kemerosotan kualitas lingkungan tanah dan air akibat berbagai usaha intensifikasi pertanian dengan menggunakan masukan anorganik (pupuk, pestisida dan hormon pengatur tumbuh) dalam jumlah besar.

• Kemerosotan itu antara lain ditunjukkan oleh kerusakan tanah yang serius di lahan pertanian dalam luasan besar.

• Petani tidak disiapkan secara sistematis untuk melakukan langkah-langkah konservasi lingkungan dalam proses produksinya. Bahkan, dalam kegiatan penyuluhan pertanian pun, materi konservasi lingkungan (ekosistem tanah & air) cenderung diabaikan.

(5)

• Pada tingkat kebijakan; belum terlihat suatu

kebijakan atau program yang dirancang secara

terpadu, sistematis, lintas sektoral dan partisipatif

dalam rangka mewujudkan konsep pertanian

berkelanjutan.

Pendekatan-pendekatan

yang

dilakukan, sifatnya masih parsial (tidak sistematis).

• Program nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

atau Integrated Pest Management merupakan

contoh yang representatif untuk menjelaskan

sinyalemen di atas.

(6)

• Awalnya, program PHT (hanya) ditujukan untuk mengendalikan hama wereng coklat yang menyerang tanaman padi di pulau Jawa secara besar-besaran pada tahun 1985. Pada tahun 1986, konsep PHT semakin menemukan bentuknya dengan keluarnya INPRES No. 3/1986. INPRES tersebut, selain berisi larangan terhadap peredaran 57 jenis insektisida organophospat, juga menjadi dasar bagi diselenggarakannya program pelatihan nasional untuk petugas lapangan (PPL dan PHP) serta para petani Pelatihan untuk petani dijalankan lewat

program Sekolah Lapang PHT (SLPHT). Setelah mengikuti SLPHT, diharapkan terjadi perubahan sikap dan perilaku para petani.

• SLPHT juga membuka ruang bagi partisipasi

dan pembangunan kemandirian petani. Petani diharapkan menjadi lebih mandiri dalam mengambil keputusan. Dalam

memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengendalian hama di lahan misalnya, petani didorong mengambil prakarsa dengan mengadakan uji coba

sederhana di lapangan, dan mendiskusikan hasilnya dengan petani lain yang belum mengenal PHT.

(7)

Kebijakan LISA

(Low-Input Sustainable Agriculture)

• Pada bulan Januari 1988, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) telah mereformasi kebijakan pertaniannya. USDA mengeluarkan kebijakan bersejarah, yaitu Low-input, sustainable

agriculture (LISA). LISA adalah suatu sistem pertanian terpadu

yang merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam suatu rencana manajemen usahatani yang utuh.

• Kombinasi tersebut merupakan suatu kesatuan dari bermacam-macam metode bertani, misalnya: perpaduan antara PHT, kontrol biologis, dan pergiliran tanaman yang berbasiskan tanaman kacang-kacangan (legume). Teknologi atau metode tersebut mencakup suatu kesatuan pendekatan yang pada derajat tertentu menyimpang dari metode pertanian konvensional (teknologi “modern”) yang diadopsi secara meluas.

(8)

• Kebijakan LISA dilatarbelakangi oleh situasi yang dialami petani Amerika pada dekade 1980-an. Petani menghadapi tekanan

finansial akibat penurunan dalam hal jumlah ekspor produk pertanian, harga komoditi, dan nilai tanah.

• Solusi tradisional dengan cara memacu produksi, malah makin menjatuhkan harga komoditi pertanian. Petani juga berada di bawah tekanan publik untuk mengurangi polusi akibat

penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta mengurangi erosi (lahan).

• LISA, secara sederhana, dimaksudkan untuk memenuhi dua

kepentingan petani yaitu: produksi dan konservasi. Pendekatan konvensional dengan teknologi modern cenderung

mengabaikan faktor konservasi sumberdaya atau proteksi lingkungan. Walaupun merupakan sesuatu yang penting dan

dibutuhkan, konservasi bagi petani cenderung dianggap sebagai beban atau pembatas maksimisasi keuntungan.

(9)

• Pemerintah AS lalu menyediakan bantuan teknis dan

finansial untuk mendukung kepentingan tersebut.

• Kebijakan LISA, secara konseptual mempunyai dua

tujuan utama yaitu: (1)

memperbesar pendapatan

(petani)

serta (2)

memelihara lingkungan melalui

pembangunan suatu sistem atau praktek pertanian

terpadu

.

• Tujuan yang lebih mendasar dari LISA adalah

Penyediaan pangan dan hasil pertanian lain secara

berkelimpahan

lewat

cara-cara

yang

tidak

membahayakan manusia dan lingkungan serta

menciptakan

keberlanjutan

pertanian

demi

kelangsungan hidup generasi mendatang.

(10)
(11)

• Secara teknologis, sistem pertanian LISA berpotensi

mengurangi ketergantungan petani

pada pembelian

berbagai input eksternal pertanian sehingga dapat

memperbesar keuntungan petani.

• Bahkan, dari sudut penambahan lapangan kerja dan

diversifikasi

usaha,

LISA

diyakini

berpotensi

membangkitkan kekuatan vital untuk menghidupkan

kembali daerah pedesaan.

• Sistem LISA diyakini dapat membawa dampak yang

menguntungkan

masyarakat,

seperti:

pengurangan

kerusakan lingkungan akibat erosi tanah dan pencemaran

bahan kimia terhadap air, tanah dan udara, pengurangan

beban pajak konsumen dalam program bantuan harga dari

pemerintah federal, penghematan bahan bakar fosil

(minyak bumi), serta pemeliharaan keberlanjutan pertanian

bagi generasi di masa depan.

(12)

Namun LISA juga diperkirakan mempunyai dampak

negatif yg berlawanan dengan keuntungan di atas,

yaitu:

(1) kenaikan harga beberapa bahan pangan,

ketidak-seimbangan dalam perdagangan internasional

(ekspor-impor)

,

(2) penurunan pendapatan dari perusahaan produsen

bahan kimia sintetis seperti pestisida dan pupuk

anorganik

,

serta

(3) ketimpangan

produksi

dan

pendapatan

antarkawasan

.

(13)

• Program-progam LISA dilaksanakan dengan pendekatan yang multidisiplin, regional dan lintas sektoral, dengan melibatkan organisasi-organisasi publik dan swasta serta para petani.

• Petani, para pakar dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga konsultansi/pelayanan, organisasi non pemerintah serta para birokrat dari lembaga pemerintahan, bekerja sama secara penuh dalam kerja-kerja tim secara multidisiplin.

• Dalam program LISA, para

petani dilibatkan secara penuh mulai dari perumusan tujuan serta prioritas, perencanaan program, pengembangan teknologi sampai proses evaluasinya.

(14)

• Pada awalnya, prioritas program ditekankan pada penyediaan informasi yang lengkap dan siap pakai mengenai pertanian berkelanjutan bagi petani. Informasi tersebut antara lain berasal dari penelitian yang telah dan sedang berlangsung. Selain itu, program LISA mendapat sokongan dana yang besar dari pemerintah AS. Petani yang menerapkan LISA juga diberi insentif (subsidi) oleh pemerintah AS. Besarnya insentif

utamanya diperhitungkan dari tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani. Pertimbangan lain untuk pemberian insentif adalah: resiko kerugian finansial akibat kegagalan produksi, bahaya pencemaran lingkungan dan resiko gangguan

kesehatan pada petani.

• Pada saat digulirkan pada tahun 1988, LISA segera direspon oleh petani AS. Sampai saat ini, jumlah petani yang

menerapkan sistem pertanian LISA di AS semakin banyak. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan LISA di AS semakin

(15)

• Kebijakan LISA di AS menunjukkan adanya suatu kesadaran baru yang tidak lagi melihat pencapaian tingkat produksi tertentu

sebagai satu-satunya tujuan. Implikasi tujuan ini terhadap faktor lain seperti lingkungan (ekologi), sosial-budaya, ekonomi dan

politik menjadi sama pentingnya dengan tujuan itu sendiri.

• Berbagai kajian dan penelitian baik yang sifatnya teoritis

maupun empiris dilakukan secara intensif (secara serius). Petani serta semua pihak yang berkepentingan dilibatkan secara penuh. Berbagai akses, fasilitas, insentif dan jaminan disediakan bagi

petani. Kajian sementara menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan sangat menjanjikan, mengingat banyak

keuntungan yang bisa diraih dari sistem tersebut, baik secara ekonomis, sosiologis maupun ekologis

(16)

Sustainable Agriculture

in INDONESIA

• Pembangunan sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia mensyaratkan dimilikinya paradigma atau cara pandang baru dari para pengambil kebijakan. • Sektor pertanian dalam paradigma baru itu perlu dilihat sebagai suatu sistem

yang integral. Seluruh komponen sistem, idealnya harus diuntungkan atau berkembang secara proporsional. Kondisi ini, tidak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kebijakan pembangunan pertanian secara total yang mengacu pada konsep pertanian berkelanjutan. Sebelum reformasi tersebut dapat dijalankan, pemerintah masih harus membenahi masalah besar yang belum terjawab tuntas pada masa Orde Baru yaitu: ketidakseimbangan

antara faktor-faktor produksi: tanah (land), tenaga kerja (labor) dan modal (capital). Pembenahan ini perlu karena usaha tani yang berkelanjutan biasanya menempuh strategi diversifikasi usahatani dan padat karya. Agar usahatani tersebut layak secara ekonomis dibutuhkan tingkat pemilikan modal dan

tanah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan reformasi di bidang pertanahan

(land reform) dan permodalan (capital reform), agar petani memperoleh kemudahan dan akses memperoleh modal. Faktor lain yang perlu disiapkan untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan adalah kesiapan petani.

(17)

• Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah suatu model pendidikan yang bisa memekarkan kesadaran kritis mereka. Tujuannya adalah agar petani

dapat mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang diberikan kepada mereka, misalnya dalam hal teknologi.

• Sistem pertanian berkelanjutan juga mensyaratkan adanya layanan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat diakses dengan mudah oleh petani.

• Dari pihak pemerintah, dituntut kemauan politiknya untuk mereformasi kebijakan, pendekatan serta metodologi pembangunannya selama ini. Misalnya, untuk mengurangi segala macam peraturan (regulasi) dan

pengendalian yang cenderung berlebihan serta membelenggu kebebasan dan mengingkari hak-hak petani. Dukungan berupa insentif (misalnya

asuransi), juga perlu dipertimbangkan untuk diberikan pada petani. Kelembagaan petani juga perlu diperkuat dengan jalan memberi petani • Perlu disadari bahwa agenda pertanian berkelanjutan hanyalah salah satu

dari sekian banyak agenda reformasi sektor pertanian yang perlu

diperjuangkan. Masih banyak masalah-masalah petani yang belum terjawab. Semua masalah itu, berakar dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak memihak petani. Petani dibiarkan berjuang sendiri untuk menggapai hak-haknya.

(18)

Pengelolaan SDA untuk Pertanian Berkelanjutan

• Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting

dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia maka

produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa

sumberdaya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan

pertanian khususnya pertanian beririgasi.

• Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) secara

sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara,

memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan

kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi pangan.

• Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya

pertanian seperti air dan tanah perlu dimanfaatkan

(19)

TANTANGAN

• Kebutuhan akan sumberdaya air dan tanah

cenderung meningkat akibat pertambahan

jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup,

sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga

semakin tajam baik antara sektor pertanian

dengan sektor non-pertanian maupun antar

pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri.

Beranjak dari permasalahan tersebut selanjutnya

diketengahkan langkah-langkah kebijaksanaan

yang kiranya perlu ditempuh dalam pengelolaan

sumberdaya air guna mendukung pertanian

bekelanjutan.

(20)

Permasalahan sumberdaya air :

1.

Adanya Gejala Krisis Air

• Gejala krisis air rupanya sudah mulai nampak dewasa ini. Krisis air dapat diukur dari Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara

penggunaan dan ketersediaan air. Semakin tinggi angka IPA semakin memprihatinkan ketersediaan air di suatu wilayah. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75–1,0 maka dikatakan

keadaan “kritis”. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan “sangat kritis” atau defisit air, sedangkan jika IPA -nya berkisar

antara 0,30 – 0,60 tergolong “normal” dari segi ketersediaan air . • Pada tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah

termasuk kategori “sangat kritis” karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di

daerah-daerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur ( dengan IPA

sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 (Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997).

(21)

• Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak

terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah

terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif

tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak

pernah bertambah (WARUNG JAMU)

• Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan

irigasi yang masih rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam

upaya menurunkan IPA.

 Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di

berbagai negara Asia kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari DAM sampai ke Saluran primer; 15% hilang dalam perjalanannya dari Saluran primer ke Saluran sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal.

Diperkirakan tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan Nusyirwan, 1997).

(22)

• Sebagai akibat dari persaingan dalam pemanfaatan

air akan semakin tajam pada masa-masa mendatang,

maka dapat diantisipasi bahwa air terlebih lagi air

bersih (air minum) relatif semakin langka dan

karenanya akan menjadi economic good.

• Suatu saat mungkin akan terjadi suatu situasi dimana

kalau si pengguna tidak punya uang untuk membayar

air yang dibutuhkannya maka ia tidak akan

mendapatkan air (“no money no water”).

• Dengan demikian maka orang akan terpaksa harus

berhati-hati dan hemat dalam menggunakan air

termasuk air untuk irigasi. Dengan kata lain, gejala

krisis air menuntut pengelolaan sumberdaya air yang

(23)

2.

Degradasi Sumberdaya Air

• Keluhan disertai protes oleh masyarakat tentang adanya

pencemaran air di beberapa tempat sebagai akibat

adanya limbah industri termasuk dari industri pariwisata

(hotel dan restoran).

• Kecenderungan menurunnya

kualitas air akan meningkat

seiring dengan meningkatnya

perkembangan industri yang

mengeluarkan limbah,

pertumbuhan perumahan

secara eksponensial dan

pertambahan penggunaan

(24)

• Intrusi air laut juga telah terjadi di beberapa tempat karena

eksploitasi yang berlebihan terhadap air tanah.

• Pembabatan hutan dengan semena-mena tanpa kendali

mengakibatkan berkurangnya kuantitas air dan tidak jarang

menimbulkan banjir terutama pada musim penghujan.

• Air tanah dan air permukaan mulai terkontaminasi zat-zat

kimia yang mengandung racun akibat limbah industri,

limbahan dari saluran irigasi yang mengandung pestisida

maupun limbah domestik.

• Degradasi sumberdaya air dapat berpengaruh negatif

terhadap kesehatan masyarakat.

Air irigasi yang tercemar

juga dapat

berakibat buruk terhadap hasil panen

, sehingga

secara keseluruhan tercemarnya sumberdaya air dapat

(25)

3. Konflik Akibat Persaingan yang Semakin Tajam antar

Pengguna Air

• Meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah

penduduk serta pembangunan di segala bidang

menuntut terpenuhinya kebutuhan akan air yang terus

meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

• Persaingan yang menjurus ke arah konflik kepentingan

dalam pemanfaatan air antara berbagai sektor terutama

antara sektor pertanian dan non- petanian cenderung

meningkat di masa-masa mendatang.

• Hal ini dapat dipahami karena air yang sebelumnya

dimanfaatkan lebih banyak untuk pertanian, sekarang

dan di masa-masa mendatang harus dialokasikan juga ke

sektor non-pertanian.

(26)

• Sebenarnya

konflik akibat persaingan dalam

pemanfaatan air sudah sering terjadi di

kalangan petani padi sawah

, terutama di

tempat-tempat yang langka air,

• Konflik antar petani dalam

pemanfaatan air irigasi, biasanya

terjadi antara kelompok petani

hulu dan kelompok petani hilir,

namun pada umumnya tidak

berkepanjangan

dan

tidak

sampai menimbulkan bentrokan

fisik.

(27)

• Akibat persaingan yang semakin tajam dalam pemanfaatan air maka di masa yang akan datang konflik akan timbul bukan saja antar petani tetapi juga antara kelompok petani melawan

kelompok bukan petani.

• Kasus petani-petani di Desa Penebel ,Bali yang memprotes keras pengambilan air di Yeh Gembrong oleh Pemda Tabanan untuk kebutuhan air minum sekitar tahun 1990-an, adalah satu contoh nyata akibat persaingan pemanfaatan air. Demikian juga halnya kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yaitu pengusiran

petugas PDAM oleh 300 orang petani bersama penduduk di tiga kampung sekitar Daerah Irigasi Ciherang. Petani-petani marah

karena petugas PDAM menggali pipa air di Daerah Irigasi Ciherang untuk menyadap air di bagian hulu Sungai Cisangkuy yang juga

merupakan sumber air bagi petani Ciherang (Kurnia, G. dkk., 1996).

• Masih banyak konflik pemanfaatan air yang juga terjadi di daerah-daerah lain seperti pernah diberitakan oleh berbagai media masa.

(28)

4. Menyusutnya Lahan Pertanian Beririgasi Akibat Alih Fungsi

• Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menuntut pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah. Misalnya selama kurun waktu 1984-1990 di Jawa Barat telah terjadi alih fungsi lahan sawah untuk non-pertanian seluas 27.768 ha atau rata-rata 5.554 ha per tahun. Selanjutnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).

(29)

• Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020

diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000 ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. • Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar

kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga

pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya. Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian merupakan proses yang

bersifat irreversible atau tidak dapat balik.

• Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik

masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto. 1996).

(30)

• Selain dari pada itu yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai penghasil makanan pokok dan pelestarian lingkungan ( flood

control and environment preservation).

• Banjir yang terjadi di beberapa kota besar di Jepang seperti Ichikawa di Propinsi Chiba, Soka di Propinsi Saitama dan Ueno di Propinsi Mie menurut Nagata (1991) disebabkan karena menciutnya areal

persawahan di sekitar kota-kota tersebut.

• Pemerintah setempat telah berusaha keras menanggulangi masalah banjir itu melalui berbagai program, diantaranya program drainase, dan program pemberian subsidi untuk memperlambat proses alih fungsi sawah beririgasi. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan

sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996).

(31)

5. Kurang Jelasnya Ketentuan Hak Penguasaan Air

• Pemerintah memang sebenarnya telah menetapkan susunan prioritas penggunaan air dengan urutan kepentingan sebagai berikut: (1) air minum, rumah tangga, pertahanan / keamanan , peribadatan, dan usaha perkotaan; (2) pertanian dalam arti luas yaitu termasuk peternakan, perkebunan dan perikanan; dan (3) ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas dan rekreasi. Akan tetapi pada kenyataannya , urutan prioritas yang kedua yakni

pertanian, sering dikalahkan oleh urutan prioritas ketiga seperti misalnya untuk kebutuhan pembangunan industri. Dalam hal seperti ini, keberlanjutan pertanian di hilir sungai bisa terancam

akibat pemberian izin oleh pemerintah atas pengambilan air di hulu sungai untuk keperluan industri yang tidak jarang menimbulkan

pencemaran sungai. Perangkat peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini rupanya belum secara tegas dan eksplisit memberikan jaminan kepastian hukum dalam memperoleh hak guna air kepada petani yang sudah berlangsung secara turun temurun.

(32)

• Para petani yang sudah berabad-abad memanfaatkan

air sungai untuk keperluan irigasi ada dalam posisi

yang lemah.

• Jika ada pendatang baru seperti misalnya PDAM atau

bahkan pengusaha air minum kemasan yang

mengambil air di hulu sungai,maka terpaksa harus

mengalah dengan resiko mengalami gagal panen

atau tidak bisa melanjutkan usahataninya karena

kekurangan air.

Jika ini terus berlanjut dan meluas maka keberlanjutan pertanian

(33)

• Tidak jelasnya hak penguasaan air yang dimiliki oleh

para pengguna air khususnya air di sepanjang sungai

dapat memicu konflik antar pemanfaat air seperti

kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya.

• Oleh sebab itu, pengaturan alokasi air sungai yang

jelas dan adil kepada para pengguna (pertanian,

pemukiman, industri, dll) perlu diupayakan melalui

perangkat peraturan dan perundangundangan.

Mengingat air berfungsi sosial dan harus digunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka

hak-hak masyarakat setempat atas sumberdaya air yang

ada perlu dilindungi. Sementara itu, kepentingan

masyarakat luas untuk mendapatkan air besih juga

harus diperhatikan.

(34)

6. Lemahnya Koordinasi antar Instansi dalam Menangani

Sumberdaya Air

• Dalam menangani sumberdaya air di Indonesia ternyata

banyak instansi yang terlibat. Dalam kabinet pemerintahan

terdahulu, instansi yang terlibat adalah: Depertemen

Pekerjaan Umum ( DPU ); Depertemen Pertanian;

Departemen Kehutanan; Departemen Kesehatan;

Departemen Pertambangan; Departemen Pariwisata, Pos

dan Telekomunikasi; Departemen Perhubungan; dan

Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup.

Masing-masing departemen merencanakan dan melaksanakan

kegiatannya sendiri secara parsial dan sektoral , hampir

tidak ada koordinasi antara satu dengan lainnya. Akibatnya,

kegiatan sering tumpang tindih dan bahkan ada kalanya

tidak saling mendukung. (Martius, 1997; dan Mahar,

1999).

(35)

• Seperti dicontohkan oleh Mahar (1999),

perencanaan pengelolaan sungai oleh DPU

tidak

sinkron

dengan

perencanaan

pengelolaan daerah tangkapan (catchment

area) yang dilakukan oleh Departemen

Kehutanan, sehingga tidak mustahil bahwa

Daerah

Aliran

Sungai

(DAS)

yang

seharusnya

perlu

segera

diberikan

penanganan

khusus,

justru

terjadi

sebaliknya karena pengelolaannya masih

parsial.

(36)

7. Kelemahan dalam Kebijaksanaan Sumberdaya Air

• Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan dan

pengelolaan sumberdaya air di Indonesia selama ini masih mengandung beberapa kelemahan. Antara lain: (1) masih

berorientasi pada segi penyediaan (supply-side management);

(2) lebih menekankan pada pengembangan satu sistem irigasi dan kurang memperhatikan keterkaitan hidrologis antar sistem dalam satu sungai; (3) lebih berorientasi pada pengembangan

jaringan utama sistem irigasi; dan (4) arena pengelolaan air ada

pada tingkat sistem irigasi bukan pada tingkat sungai.

• Ciri-ciri dari supply-side management seperti dikemukakan oleh Osmet (1996) antara lain: air diperlakukan sebagai sumberdaya yang ketersediannya tidak terbatas; peran pemerintah sangat

dominan dengan fungsi utama menyediakan air kepada pengguna dengan biaya yang relatif rendah dan bahkan gratis seperti dalam bidang irigasi; lebih menekankan pada pengembangan sarana dan prasarana fisik dengan perhatian utama terpusat pada efisiensi teknis.

(37)

• Memang pendekatan pada sisi persediaan seperti ini telah

berhasil dalam meningkatkan produksi pangan namun tidak

luput

dari

kelemahan.

Yaitu,

mengakibatkan

Ketergantungan petani kepada pemerintah menjadi begitu

kuat. Jika ada keperluan perbaikan jaringan irigasi petani

cenderung bersikap menunggu saja dan berharap agar

pemerintah segera turun tangan.

• Implikasi dari kebijaksanaan yang berorientasi pada

pembangunan satu sistem irigasi tanpa memperhatikan

keterkaitan hidrologis adalah bahwa alokasi air yang

sebelumnya tidak bermasalah akhirnya bisa jadi

bermasalah jika tiba-tiba di hilir terganggu karena ada

bendung baru yang dibangun di hulu sungai.

(38)

• Selanjutnya, kebijaksanaan yang diorentasikan pada

pembangunan jaringan utama dalam arti membangun atau

memperbaiki bangunan pengambilan permanen (bendung) dan saluran utama, dalam banyak kasus dapat menyulut konflik antar kelompok petani hilir dan hulu. Kebijaksanaan seperti ini

menciptakan timbulnya rasa ketidakadilan di kalangan para petani. Sebab, yang lebih menikmati bertambahnya

ketersediaan air pada sistem irigasi yang bersangkutan adalah petani yang sawahnya paling dekat dengan sumber air.

• Pada umumnya sistem irigasi di hilir sungai cenderung kekurangan air terutama pada musim kemarau, sedangkan yang di hulu mendapat air secara berlebihan dan

umumnya boros menggunakan air. Tanpa pengorganisasian pola alokasi air yang baik antar sistem irigasi di sepanjang sungai maka sistem irigasi yang ada di hilir

cenderung senantiasa kekurangan air dan akhirnya bisa mengancam pertanian yang berkelanjutan.

(39)

MARI KITA DISKUSIKAN

(40)

Referensi

Dokumen terkait

Program baru ini akan mengurniakan Ijazah Sarjana Muda Syariah dan Undang-Undang ( Bachelor in Shariah and Law atau ringkasnya B.ShL). Program baru ini

72 baik tidak merespo n dengan baik akan berdamp ak pada lingkung an ng peran masyarak at manapun T4 (Penanga nan dan Pengelol aan Sampah Belum Optimal) Respon

Hasil penelitian di kabupaten Pemalang menunjukkan (1) perkembangan penerimaan retribusi pasar daerah di Kabupaten Pemalang sudah efektif, mencapai efisiensi dan mengalami

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

TOPSTAR FASHION (D&C BRIGHTSPORT CENTRE) BUKA DIGI STORE EXPRESS LABUAN (LEDDER ENTERPRISE) BUKA.. STREETWISE FASHION STORE

Kepekaan pernafasan Dibawah kondisi normal untuk penggunaan yang dimaksud, bahan ini diharapkan tidak berbahaya bagi penghirupan. Gangguan kesehatan tidak diketahui atau

1. Melakukan evaluasi terhadap penentuan target pembuatan materi untuk diunggah ke media sosial sebagai angka denumerator perhitungan capaian indikator. Melakukan

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan proses, yaitu: penyiapan data fragmen metagenom, ekstraksi fitur fragmen dengan k-mers, pemodelan biplot,