KAJIAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR PADA WILAYAH PERTANIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR
DENGAN PENDEKATAN GEOSPASIAL
TESIS
Oleh
AHMADARSELAN 147004006/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
KAJIAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR PADA WILAYAH PERTANIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR
DENGAN PENDEKATAN GEOSPASIAL
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sainsdalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara
Oleh
AHMAD ARSELAN 147004006/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : KAJIAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR PADA
WILAYAH PERTANIAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI ULAR DENGAN PENDEKATAN
GEOSPASIAL Nama Mahasiswa : Ahmad Arselan Nomor Pokok : 147004006
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) Ketua
(Ir. Supriadi, MS) Anggota
Ketua Program Studi,
(Dr. Delvian, SP., MP)
Direktur,
(Prof. Dr. Robert Sibarani, MS)
Tanggal lulus : 13 Juni 2016
Telah diuji pada Tanggal: 13 Juni 2016
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D Anggota : 1. Ir. Supriadi, MS
2. Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MS
PERNYATAAN
Judul Tesis
“KAJIAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR PADAWILAYAH PERTANIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR
DENGAN PENDEKATAN GEOSPASIAL”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Juni 2016 Penulis
Ahmad Arselan
KAJIAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR PADA WILAYAH PERTANIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR
DENGAN PENDEKATAN GEOSPASIAL ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang sangat rawan akan berbagai bencana alam, salah satunya adalah banjir. Banjir pada kawasan pesisir dapat menyebabkan kerusakan tanaman, dan meningkatnya penyakit terhadap tanaman.
Kejadian banjir berpotensi mengganggu ketahanan pangan dengan berkurangnya produksi tanaman pangan karena rusaknya kawasan pertanian dan perikanan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengembangkan kemampuan antisipasi dalam menghadapi bencana banjir agar mengurangi dampak buruk banjir. Penelitian inibersifat deskriptif kuantitatif mencakup analisis potensi kerawanan banjir pada lahan pertanian dan penerapan bentuk antisipasi pada wilayah pertanian yang rawan terkena bencana banjir. pemetaaan sebaran daerah rawan banjir di Daerah Aliran Sungai Ular dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografi dengan metode overlay peta curah hujan, peta geomorfologi, peta penggunaan tanah dan peta kejadian banjir. Berdasarkan hasil penelitian, DAS Ular didominasi oleh kelas kerawanan sedang dengan luas 7.797,16 ha (79,63%). Wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi seluas 1.105,56 ha (11,29%). Untuk tingkat kerawanan rendah pada lahan pertanian adalah seluas 855,96 hektar atau 8,74%, dan tingkat kerawanan Aman pada lahan pertanian adalah seluas 33,30 hektar atau 0,34%.Petani telah menyadari bahwa daerah yang mereka huni dan usahakan adalah daerah rawan banjir. Usaha antisipasi terhadap bencana banjir yang sudah dilakukan oleh petani antara lain: (1) Membangun bendungan dan tanggul disempadan Sungai Ular, (2) pemilihan jenis dan pola tanam, dan (3) menyiapkan dana untuk antisipasi kerugian karena banjir.
Kata Kunci : DAS Ular, Banjir, SIG, Lahan Pertanian, Antisipasi
STUDY OF ANTICIPATING THE FLOOD HAZARD IN AGRICULTURAL AREAS IN ULAR WATERSHED
BY USING GEOSPATIAL APPROACH
ABSTRACT
Indonesia is a country which extremely vulnerable to the natural disasters, one of it is flood hazard. Flood hazard in coastal areas can cause damage in agricultures and increase plant disease. Flood hazard can influence the food security because by reducing the produce of food because of destruction of the agriculture area and fisheries. Therefore, it needs efford to develop the anticipation ability in facing flood hazard to reduce the bad impact of flood. This research is descriptive quantitative include the analysis of the potential vulnerability floodi in agricultural areas and implement the anticipation in agricultural areas the vulnerable of flood hazard. Mapping the distribution of flood hazard area in Ular Watershed by using Geographic Information System technology with overlay method such as rainfall map, geomorphology map, land use map and flooded map. Based on the research results, Ular Watershed dominated by moderate flood vulnerability level on agricultural areas wich area 7,797.16 ha (79,63%). High flood vulnerability level on agricultural areas covering 1,105.56 ha (11.29%). Low flood vulnerability level on agricultural areas which area of 855.96 hectares, (8.74%), and secure flood vulnerability level on agricultural on agricultural areas is an area of 33.30 ha (0.34%). Farmers realized that the area they live for and used is the flood vulnerability hazard areas. Anticipation effords that have been done by the farmers, such as; (1) Build dams and embangment, (2) choosing the type of plants and cropping patterns, and (3) save money to anticipated the impact of flood hazard.
Keywords: Ular Watershed, floods, GIS, Agriculture area, Anticipation
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telahmemberikan berkah dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikanpenulisan tesis ini. Shalawat serta Salam semoga Selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, serta kepada Keluarga, Sahabat dan Pengikutnya yang tetap setia hingga akhir zaman.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyakmemperoleh bantuan moril dan materil serta bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih secara khusus kepada yang terhormat Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.SC., Ph.D dan Ir. Supriadi, MS. Selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MS dan Dr. Delvian, SP., MP selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang bermanfaat bagi penelitian ini.
Penulis juga merasa ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, MS, DAA selaku Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian yang telah memberikan ijin tugas belajar bagi penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Ir. Tunggul Iman Panudju, M.Sc selaku Direktur Irigasi Pertanian yang telah memberikan ijin serta rekomendasi bagi penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2.
3. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana USU dan Bapak Dr. Delvian, SP., MP selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU, yang telah berkenan menerima penulis menjadi mahasiswa di Program Studi PSL.
4. Ibu, Bapak dan adik-adik (Mahrida dan Dian) yang senantiasa selalu mendoakan kebaikan bagi penulis. Istri dan anak-anakku yang tersayang, Arreis Rambe dan Arrasyid Rambe yang telah menjadi semangat bagi penulis
5. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama masa studi.
6. Saudara Muhammad Irsan dan Saudara Anggi Kusumawardani Alumni Geografi UI yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan peta dan tulisan.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Saya berharap Alloh SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan Tesis ini. Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Juni 2016 Penulis
Ahmad Arselan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 1986, merupakan Putra pertama dari tiga orang bersaudara dari Ayahanda Asup Rambe dan Ibu Risnah Nasution. Penulis menikah dengan Rizki Hasanah Pulungan pada tanggal 29 April 2011 dan sudah dikaruniai 2 orang anak yaitu, Aiman Arreis Rambe dan Ahmad Arrasyid Rambe.
Riwayat Pendidikan penulis dimulai dari TK Islam Fatahillah Lenteng Agung, lalu menamatkan Sekolah Dasar dari SD Negeri 12 Petang Lenteng Agung tahun 1998, selanjutnya menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dari SLTP Negeri 166 Jagakarsa tahun 2001, dan menamatkan Sekolah Menengah Umum dari SMU Negeri 49 Jagakarsa tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan di Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 2009.
Pada tahun 2009 penulis pernah bekerja di PT. Reka Spasia Indonesia sebagai Staf Operator GIS. Kemudian pada tahun 2010 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Pengelolaan Air Irigasi, Kementerian Pertanian. Pada tahun 2014 penulis berkesempatan melanjutkan Studi Pasca Sarjana pada Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Geomorfologi ... 7
2.2. Topografi... 9
2.2.1. Ketinggian ... 9
2.2.2.Lereng... 10
2.2.3. Bentuk Medan ... 10
2.3. Aspek Geologi ... 10
2.3.1 Jenis Batuan... 10
2.3.2 Stratigraafi ... 12
2.4. Pola Aliran Sungai ... 13
2.5. Curah Hujan dan Suhu Udara ... 15
2.6. Penggunaan Tanah ... 15
2.7. Bentuk Lahan ... 15
2.8. Kerawanan Banjir ... 18
2.9. Bencana Banjir ... 19
2.9.1. Pengertian Bencana ... 19
2.9.2. Pengertian Banjir ... 20
2.10. Pengaruh Banjir Terhadap Lahan Pertanian ... 23
2.11. Strategi Antisipasi dan Adaptasi Terhadap Bencana Banjir ... 23
BAB III METODE PENELITIAN ... 26
3.1. Tempat dan Waktu ... 26
3.2. Alat dan Bahan ... 26
3.3. Metode Pendekatan... 28
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 28
3.5. Metode Pengolahan Data ... 30
3.6. Analisis Data... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 35
4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 35
4.1.1. Letak Geografis dan Pembagian Wilayah Administrasi ... 35
4.1.2. Lereng... 40
4.1.3. Ketinggian ... 41
4.1.4. Bentuk Medan ... 44
4.1.5.Geomorfologi ... 47
4.1.6.Kondisi Geologi ... 49
4.1.7. Bentuk Lahan ... 51
4.1.8. Curah Hujan ... 53
4.1.9. Penggunaan Tanah ... 55
4.2. Wilayah Pertanian DAS Ular ... 58
4.3. Kejadian Banjir di DAS Ular... 63
BAB V PEMBAHASAN ... 65
5.1. Peta Rawan Banjir DAS Ular. ... 65
5.2. Tingkat Kerawanan Banjir Pada Lahan Pertanian DAS Ular. ... 69
5.3. Antisipasi Terhadap Banjir. ... 72
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 80
6.1. Kesimpulan ... 80
6.2. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
4.1 Jenis – Jenis Plankton dan Klasifikasi ... 19
4.1.1 Kelimpahan Plankton, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Pada Stasiun I ... 20
4.1.2 Nilai Indeks Keanekaragaman (H‟) dan Indeks Keseragaman (E) Plankton Pada Stasiun I ... 21
4.2 Faktor Fisik Kimia Perairan ... 22
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1. Klasifikasi bentuk medan ... 30
3.2. Skoring variabel kerawan bencana banjir ... 32
3.3. Indikator Kerawanan Banjir ... 33
4.1. Luas SUB DAS Pada DAS Ular ... 36
4.2. Wilayah administrasi DAS Ular sampai dengan tingkat Kecamatan ... 37
4.3. Kemiringan Lereng DAS Ular ... 41
4.4. Kelas Ketinggian DAS Ular ... 41
4.5. Bentuk medan DAS Ular ... 45
4.6. Klasifikasi Geomorfologi DAS Ular ... 47
4.7. Jenis Batuan DAS Ular ... 49
4.8. Bentuk Lahan DAS Ular ... 51
4.9. Curah Hujan DAS Ular ... 53
4.10. Penggunaan Tanah Pada DAS Ular... 57
4.11. Wilayah Pertanian Sampai Dengan Tingkat Kecamatan di DAS Ular ... 59
4.12. Wilayah PertanianSampai Dengan Tingkat SUB DAS di DAS Ular ... 60
4.13. Kejadian Banjir di DAS Ular ... 63
5.1. Tingkat Kerawan Banjir DAS Ular ... 65
5.2. Tingkat Kerawan Banjir DAS Ular Pada masing-masing SUB DAS ... 67
5.3. Tingkat Kerawan Banjir Pada Lahan Pertanian DAS Ular ... 70
5.4. Tingkat Kerawan Banjir Pada Lahan Pertanian DAS Ular sampai dengan kecamatan ... 72
5.5. Kegiatan Antisipasi Banjir Berdasarkan Tipologi Wilayah ... 77
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Jenis-jenis pola aliran sungai menurut Lobeck ... 14
3.1. Metode pemetaan wilayah rawan bencana banjir... 31
3.2. Alur Pikir Penelitian ... 34
4.1. Peta Wilayah Administrasi Daerah Aliran Sungai Ular ... 38
4.2. Peta Pembagian Wilayah SUBDAS Ular ... 39
4.3. Peta Wilayah Lereng Daerah Aliran Sungai Ular ... 42
4.4. Peta Wilayah Ketinggian DAS Ular ... 43
4.5. Peta Bentuk Medan Daerah Aliran Sungai Ular ... 46
4.6. Peta Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Ular ... 48
4.7. Peta geologi Daerah Aliran Sungai Ular ... 50
4.8. Peta Bentuk Lahan Daerah Aliran Sungai Ular ... 52
4.9. Peta Ishoyet Curah Hujan DAS Ular ... 54
4.10. Peta Penggunaan Tanah Daerah Aliran Sungai Ular... 56
4.11. Peta Lahan Pertanian Daerah Aliran Sungai Ular ... 61
4.12. Peta Lahan PertanianPada masing – masing SUB DAS di DAS Ular ... 62
4.13. Peta Kejadian Banjir di DAS Ular ... 64
5.1. Peta Rawan Banjir Daerah Aliran Sungai Ular ... 66
5.2. Peta Tingkat Kerawanan Banjir Pada Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai Ular ... 71
5.3. Tanggul yang ada disempadan Sungai Ular ... 76
5.4. Bendungan Sungai Ular ... 76
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1 Kuisioner Penelitian ... 85 2 Dokumentasi Lapangan ... 88
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya Lingkungan merupakan sumberdaya bagi manusia, namun yang terpenting lingkungan juga dapat menjadi bahaya (hazards) bagi manusia.
Kondisi lingkungan akan terus mengalami perubahan, baik itu secara perlahan- lahan maupun secara cepat. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor penyebab dan menimbulkan dampak yang beragam. Perubahan pada salah satu atau lebih komponen lingkungan akan mempengaruhi komponen lingkungan yang lain dengan intensitas yang berbeda. (Rosyidie, 2013)
Indonesia merupakan negara yang sangat rawan akan berbagai bencana alam, seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan bencana gempa bumi serta tsunami. Bencana banjir menimbulkan resiko relatif lebih rendah daripada letusan gunung berapi, gempa bumi maupun tsunami, namun mempunyai frekuensi relatif lebih tinggi, sehingga bisa dikatakan bencana banjir juga menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, dan dampak psikologi.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Di seluruh Indonesia, tercatat ada 5.590 sungai induk dimana 600 diantaranya berpotensi menimbulkan bencana banjir. Daerah rawan banjir tersebut mencapai luasan sekitar 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang terjadi pada daerah rawan tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perubahan tata ruang oleh kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan alam. Kedua, faktor alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan muka air laut, badai dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya pepohonan sebagai tutupan lahan pada daerah hulu, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan saluran, dan sebagainya (Kemen PU, 2010).
Banjir didefinisikan sebagai keadaan dimana aliran atau ketinggian air yang sangat ekstrem terjadi pada sungai, danau, waduk, dan tubuh air lainnya. Air tersebut menggenangi wilayah daratan di luar badan-badan air. Banjir juga dapat terjadi ketika muka air laut mengalami kenaikan yang ekstrem atau di atas daratan pesisir yang disebabkan oleh pasang air laut dan gelombang tinggi. Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang menyebabkan masyarakat kehilangan harta bahkan nyawa serta berpengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat (Smith et al, 1998,dalam Marfai, 2003).
Jumlah penduduk yang menjadi korban banjir menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, dan jumlah penduduk yang terkena dampak banjir adalah yang tertinggi dibandingkan dengan jenis sumber bencana lainnya. Hal ini disebabkan karena persebaran permukiman penduduk berada pada wilayah banjir,
serta dimanfaatkan juga sebagai lahan pertanian, sentra industri dan perdagangan.
Data statistik menunjukkan bahwa hampir 60% penduduk bertempat tinggal di wilayah pesisir, dimana wilayah ini merupakan salah satu wilayah yang secara rutin merupakan wilayah genangan banjir, baik yang disebabkan oleh banjir yang berasal dari sungai maupun dari pasang air laut (Hartini et al, 2010).
Banjir di kawasan pesisir adalah suatu peristiwa alam yang akan selalu terjadi terus menerus, karena daerah pesisir merupakan daerah dataran rendah yang selalu tergenang baik oleh pasang air laut maupun hujan. Sementara itu, daerah pesisir juga mengalami perubahan alih fungsi lahan yang cepat menjadi daerah permukiman padat penduduk, daerah pertanian, sentra industri, bahkan pusat pemerintahan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengurangi risiko yang mungkin ditimbulkannya. Penilaian tingkat kerawanan dan risiko suatu wilayah terhadap bencana banjir sebagai bagian dari mitigasi bencana perlu dilakukan dengan mengenali karakteristik fisik dan sosial (Hartini et al, 2010).
Banyaknya fenomena banjir pesisir atau biasa disebut banjir rob kemungkinan merupakan salah satu akibat dari perubahan muka air laut karena pemanasan global (Marfai, 2011a). Banjir Rob adalah genangan air laut yang terjadi pada kawasan pesisir yang posisinya lebih rendah dari air laut rata-rata (mean sea level) (Suryanti dan Marfai, 2008). Naiknya muka air laut (sealevel rise) merupakan salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh
negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia (Kobayashi,2003 dalam Marfai, 2013). Daerah pertanian kawasan pesisir yang terkena pengaruh genangan diantaranya tambak, sawah, dan ladang. Genangan pada kawasan pesisir dapat menyebabkan kerusakan tanaman, hanyutnya ikan di daerah tambak, Penurunan
kualitas dan kuantitas air, khususnya air tanah, dan meningkatnya penyakit terhadap tanaman (Marfai, 2011b).
Menurut data kejadian banjir Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara (2011), lahan pertanian pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ular yang terkena bencana banjir adalah seluas 506 Ha. Lokasi kejadian banjir berada pada Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin (Kabupaten Deli Serdang) seluas 490 Ha, serta Kecamatan Pantai Cermin (Kabupaten Serdang Bedagai) seluas 16 Ha. Kejadian banjir terjadi Pada bulan Januari dan Nopember 2007 di Kecamatan Pantai Labu, pada bulan Agustus 2010 di Kecamatan Beringin, dan pada bulan Juli dan Agustus 2010 di Kecamatan Pantai Cermin.
Upaya mitigasi dan pengendalian banjir sangat diperlukan agar dapat meminimalisir kerugian materi dan korban jiwa yang mungkin terjadi. Untuk dapat melakukan upaya mitigasi dengan baik diperlukan kajian mengenai potensi bencana yang akan terjadi, tingkat kerawanan dan risikonya. Komponen risiko bencana secara umum terdiri dari potensi bahaya dan kerentanannya, dimana kerawanan ditentukan oleh keterpaparanbahaya (hazard exposure) dan kapasitas bertahan (coping capacity) dari masyarakat yang berada di daerah bahaya.
Kerentanan ini akhirnya dipahami sebagai kombinasi antara potensi kerusakan dan kapasitas menghadapi bencana, Jadi, untuk mengkaji risiko dari suatu bahaya diperlukan tiga elemen dasar yaitu peta bahaya, petakerentanan, dan peta risiko.
Sedangkan adaptasi merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya untuk mengurangi risiko (Hartini et al, 2010).
Untuk mengkaji masalah banjir, terlebih dahulu harus dilihat penyebab utamanya, sebelum membuat strategi antisipasinya. Secara teoritis, banjir yang
terjadi dengan intensitas cenderung meningkat merupakan akibat dari curah hujan yang melebihi normalnya, atau sering dikenal dengan curah hujan eksepsional (perkecualian). Bencana banjir yang kejadiannya terus berulang merupakan hasil (resultan) dari kerusakan sistem dalam hal ini adalah daerah aliran sungai (DAS).
Dengan dua pendekatan tersebut, maka rekayasa dan rancang bangun antisipasi, serta minimalisasi resiko banjir dapat dilakukan (Irianto, 2002) .
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Dimana wilayah rawan bencana banjir di wilayah Pertanian DAS Ular ? b. Bagaimana tingkat kerawanan banjir di wilayah Pertanian DAS Ular?
c. Bagaimana antisipasi yang dilakukan masyarakat terhadap banjir di wilayah pertanian DAS Ular ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui wilayah yang rawan bencana banjir di wilayah Pertanian DAS Ular
b. Untuk mengetahui tingkat kerawanan banjir di wilayah Pertanian DAS Ular c. Untuk mengetahui antisipasi yang dilakukan masyarakat terhadap banjir di
wilayah Pertanian DAS Ular.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kajian ilmiah mengenailokasi bencana banjir dan karakteristik fisik wilayah berkaitan dengan fenomena banjir yang terjadi di wilayah pertanian DAS Ular.
b. Menambah pengetahuan tentang perilaku antisipasi masyarakat terhadap banjir di daerah pertanian.
c. Menjadi referensi mengenai wilayah-wilayah rawan bencana banjir untuk optimalisasi perencanaan tata ruang di wilayah kabupaten yang berada di DAS Ular.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi
Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuk muka bumi dan proses - proses yang menghasilkan bentuk muka bumi serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuk muka bumi dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan, melakukan analisis medan dengan pendekatan genetik berdasarkan 4 Aspek, yaitu ; (1) aspek morfologi atau bentuk muka bumi, (2) aspek genesa atauproses geomorfologi dan asal usul pembentukannya, (3) aspek kronologis atauevolusi pembentukan muka bumi, dan (4) aspek lingkungan (Zuidam, 1985).
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan (Landforms) yang membentuk permukaan bumi, baik yang berada di atas maupun di bawah permukaan air laut dan penekanan yang dilakukan pada asal mulabentukan serta perkembangannya dimasa depan (Verstapen, 1983 dalam Ekspedisi Wallacea, 2004).
Pannekoeck (1949), beranggapan bahwa dalam pembahasan geomorfologi
hendaknya faktor genesis yang diutamakan, disertakan bahasan mengenai bentukan asal. Empat aspek informasi yang memegang peranan cukup penting dalam pemetaan geomorfologi, diantarannya;
Morfologi, mencakup relief secara umum, aspek ini meliputi :
o Morfografi, yaitu aspek geomorfologi yang bersifat deskriptif, sepertidataran, bukit, pegunungan dan plato.
o Morfometri, yaitu aspek geomorfologi yang bersifat kuantitatif, sepertiketinggian, lereng dan arah hadapan lereng.
Morfogenesis, mencakup aspek asal pembentukan bentuk muka bumi sertaproses-proses yang bekeja pada bentuk muka bumi tersebut, aspek inimeliputi ;
Morfostruktur pasif, yaitu aspek yang mengenali litologi (Jenis dan sifat batuan yang berhubungan dengan proses denudasi), seperti hogback, mesa, cuesta dan dome.
Morfostruktur aktif yaitu aspek yang berupa tenaga endogen (termasuk vulkanisme dan tektonisme) yang menghasilkan lipatan dan patahan, seperti gunung api, punggungan antiklin dan singkapan patahan
Morfodinamis, yaitu aspek yang berupa tenaga eksogen (berhubungan dengan pengerjaan oleh air, angin dan es), seperti dunes, teras sungai dan tanggul pantai.
Morfokronologi, adalah aspek yang berhubungan dengan unsur-unsur relative dan absolute dari berbagai bentuk permukaan bumi tersebut.
Morfokronologi mempelajari urutan bentukan yang ada di permukaan bumi sebagai produk dari proses geomorfologis. Adanya perbedaan urutan pembantukan secara alami maka terdapat urutan umur dari bentukan paling awal yang merupakan bentukan paling tua dan bentukan paling akhir merupakan bentukan termuda.
Morfo-arrangement, adalah aspek yang mencakup susunan keruangan serta hubungan berbagai bentuk muka bumi dengan proses yang bekerja satu sama lain. Morfo-arrangement menjadi penting dalam geomorfologi karena bentuk muka bumi ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: topografi, batuan,
iklim, vegetasi, organisme dan waktu. Adanya berbagai faktor-faktor tersebut, maka akan ditemukan adanya kaitan antara satu dengan yang lainnya.
2.2. Topografi 2.2.1. Ketinggian
Sandy (1985) menyatakan bahwa berdasarkan pada dampak aliran air, permukaan bumi dapat digolongkan atas wilayah endapan dan wilayah kikisan.
Wilayah endapan, merupakan bagian muka bumi yang rendah dengan ketinggian hanya beberapa meter dari permukaan laut, bahkan terdapat bagian yang lebih rendah dari permukaan laut. Reliefnya datar dan hampir tidak berlereng sehingga air hampir tidak mengalir di wilayah ini. Aliran air di wilayah ini sangat rendah, daya angkut yang ada juga sangat rendah sehingga bahan-bahan endapan yang diangkut oleh air terpaksa diendapkan. Maka pada wilayah ini timbul endapan- endapan seperti delta, tanggul sungai, tanggul pantai, beting dan gosong.
Wilayah kikisan, merupakan bagian muka bumi yang secara menyeluruh mempunyai lereng yang menyingirkan air untuk mengikisnya ke bagian yang lebih rendah dari permukaan air, yaitu pada wilayah yang datar dan hampirtidak berlereng, sehingga hampir tidak ada aliran air. Penggolongan ini berdasarkan kemungkinan dampak dari air sebagai unsur paling menentukan terhadap kualitas muka bumi.
2.2.2. Lereng
Lereng adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dengan bidang horizontal. Nilai dari lereng merupakan perbedaan jarak vertikal untuk setiap jarak horizontal dalam satuan yang sama. Klasifikasi lereng menurut Desaunettes (1977) menekankanpada kemampuan air untuk mengikis danmenghanyutkan serta melongsorkan tanah.
2.2.3. Bentuk Medan
Bentuk medan merupakan hasil kerja dari aspek morfometri, yaitu ketinggian dan lereng, yang membentuk suatu aspek morfografi, kedua aspek ini dikenal sebagai relief. Wilayah bentuk medan biasanya dinyatakan sebagai suatu pengertian bentuk kuantitatif dengan melihat perbandingan antara kelas lereng dengan beda tinggi (Desaunettes, 1977). Pembagian bentuk medan menurut Desaunettes antara lain; datar, landai, bergelombang, berbukit kecil, berbukit- bukit kecil, berbukit, dan bergelombang.
Sandy (1985) mengemukakan bahwa wilayah ketinggian telah mengandung pengertian sebagai wilayah bentuk medan yang dibagi menjadi:
wilayah rendah, wilayah pertengahan, wilayah pegunungan dan wilayah pegunungan tinggi.
2.3. Aspek Geologi 2.3.1. Jenis Batuan
Dari jenisnya, batuan-batuan dapat digolongkan menjadi 3 jenis golongan, yaitu: batuan beku (igneous rocks), batuan sedimen (sedimentary rocks), dan batuan metamorfosa/malihan (metamorphic rocks). Batuan-batuan tersebut
berbeda-beda materi penyusunnya dan berbeda pula prosesterbentuknya (Noor, 2005).
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari satu atau beberapa mineral dan terbentuk akibat pembekuan dari magma. Berdasarkan teksturnya batuan beku ini bisa dibedakan lagi menjadi batuan beku plutonik dan vulkanik. Perbedaan antara keduanya bisa dilihat dari besar mineral penyusun batuannya. Batuan beku plutonik umumnya terbentuk dari pembekuan magma yang relatif lebih lambat sehingga mineral-mineral penyusunnya relatif besar. Contoh batuan beku plutonik ini seperti gabro, diorite, dan granit (yang sering dijadikan hiasan rumah).
Sedangkan batuan beku vulkanik umumnya terbentuk dari pembekuan magma yang sangat cepat (misalnya akibat letusan gunung api) sehingga mineral penyusunnya lebih kecil. Contohnya adalah basalt, andesit (yang sering dijadikan pondasi rumah), dan dacite.
Batuan sedimen atau sering disebut sedimentary rocks adalah batuan yang terbentuk akibat proses pembatuan atau lithifikasi dari hasil proses pelapukan dan erosi yang kemudian tertransportasi dan seterusnya terendapkan. Batuan sedimen ini bisa digolongkan lagi menjadi beberapa bagian diantaranya batuan sedimen klastik, batuan sedimen kimia, dan batuan sedimen organik. Batuan sedimen klastik terbentuk melalui proses pengendapan dari material-material yang mengalami proses transportasi. Besar butir dari batuan sedimen klastik bervariasi dari mulai ukuran lempung sampai ukuran bongkah. Biasanya batuan tersebut menjadi batuan penyimpan hidrokarbon (reservoir rocks) atau bisa juga menjadi batuan induk sebagai penghasil hidrokarbon (source rocks), contohnya batu konglomerat, batu pasir dan batu lempung. Batuan sedimen kimia terbentuk
melalui proses presipitasi dari larutan. Biasanya batuan tersebut menjadi batuan pelindung (seal rocks) hidrokarbon dari migrasi,contohnya anhidrit dan batu garam (salt). Batuan sedimen organik terbentuk dari gabungan sisa-sisa makhluk hidup. Batuan ini biasanya menjadi batuan induk (source) atau batuan penyimpan (reservoir), contohnya adalah batu gamping terumbu.
Batuan metamorf atau batuan malihan adalah batuan yang terbentuk akibat proses perubahan temperature dan/atau tekanan dari batuan yang telah ada sebelumnya. Akibat bertambahnya temperature dan/atau tekanan, batuan sebelumnya akan berubah tekstur dan strukturnya sehingga membentuk batuan baru dengan tekstur dan struktur yang baru pula. Contoh batuan tersebut adalah batu sabak atau slate yang merupakan perubahan batu lempung. Batu marmer yang merupakan perubahan dari batu gamping. Batu kuarsit yang merupakan perubahan dari batu pasir. Apabila semua batuan-batuan yang sebelumnya terpanaskan dan meleleh maka akan membentuk magma yang kemudian mengalami proses pendinginan kembali dan menjadi batuan-batuan baru lagi.
2.3.2. Stratigrafi
Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti gambaran atau urut-urutan lapisan. Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi (Noor, 2005).
2.4. Pola Aliran Sungai
Menurut Lobeck (1939), aliran sungai dapat dikaji dalam beberapa aspek, yaitu menurut genetiknya seperti sungai konsekuen, resekuen dan insekuen.
Sedangkan menurut pola alirannya, seperti pola dendritik, rektangular, trellis,radial dan anular.
Dikenal beberapa aliran sungai yang kesemuanya banyak dikendalikan oleh struktur – struktur batuan dasarnya, kekerasan batuan dan sebagainya. Pola aliran sungai menurut Lobeck (1939), antara lain :
a. Pola Aliran dendritik mirip sebuah gambaran batang pohon dengan cabang-
cabangnya, mengalir kesemua arah dan akhirnya menyatu di induk sungai.
Terdapat pada daerah dengan struktur batuan yang homogeny (granit) ataulapisan sedimen horizontal.
b. Pola Aliran Rektangular dibentuk oleh cabang– cabang sungai yang berbelok,
berliku-liku, dan menyambung secara membentuk sudut–sudut tegak lurus.Banyak dikendalikan oleh pola kekar dan sesar yang juga berpola berpotongan secara tegak lurus. Dapat terbentuk pada batuan kristalin batuan keras berlapis horizontal.
c. Pola Aliran Trellis berbentuk mirip panjang-panjang atau pola trali pagar.
Polaini merupakan ciri dari sungai yang berada pada batu terlipat dan miring kuat.Sungai–sungai yang lebih besar cenderung mengikuti singkapan dari batuan lunak dan lurus (Subsekuen). Cabang–cabang sungainya yang masuk dari kiri kanannya adalah berjenis obsekuen dan resekuen. Induk sungai yang memotong arah struktur mungkin karena superposisi.
d. Pola Aliran Radial terjadi dari banyak sungai jenis konsekuen yang
sentripugal dari suatu puncak, misalnya pegunungan kubah atau gunung api muda. Cekungan struktural dapat pula membentuk pola aliran radial sentripetal ketengah.
e. Pola Aliran Anular merupakan aliran yang terbentuk pada daerah
kubahstruktural yang telah terkikis dewasa sehingga sungai–sungai besarnya mengalir melingkar mengikuri struktur dan batuan yang lunak. Sungai–sungai ini jenis Subsekuen. Pola aliran anular dengan demikian merupakan variasi daripola aliran trellis.
Gambar 2.1. Jenis-jenis pola aliran sungai menurut Lobeck
2.5. Curah Hujan dan Suhu Udara
Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan berperan menentukan proses sistem hidrologi dalam suatu kawasan, bagaimana karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rata-rata hujan pada suatu kawasan dengan berbagai model penghitungan rata-rata curah hujan. Intensitas curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam satuan waktu mm/jam. Jadi intensitas hujan berarti jumlah presipitasi atau curah hujan dalam waktu relatif singkat (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
2.6. Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah di suatu wilayah mencerminkan tingkat dan orientasikehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Sandy (1985) menyatakan bahwa penggunaan tanah merupakan indikator dari aktivitas masyarakat disuatu tempat. Penggunaan tanah pada hakekatnya merupakan perpaduan dari faktor sejarah,fisik, sosial budaya, dan faktor ekonomi terutama letak. Sandy (1985) juga mengungkapkan adanya perbedaan penggunaan tanah yang terdapat di propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Barat, walaupun ketiga propinsi ini memiliki sifat fisik yang bersamaan yaitu ada pengaruh vulkanik, ada dataran rendah yang luas dan ada air yang cukup.
2.7. Bentukan Lahan
Bentuklahan (landform) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan masing-masing dari setiap satu kenampakan dari kenampakan secara menyeluruh dan sinambung (multitudineous features) yang secara bersama-sama
membentuk permukaan bumi. Hal ini mencakup semua kenampakan yang luas, seperti dataran, plato, gunung dan kenampakan-kenampakan kecil seperti bukit, lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial (Desaunettes, 1977).
Bentuklahan adalah kenampakan tertentu di setiap muka bumi yang terjadi akibat hasil pengerjaan dan proses utama pada lapisan utama kerak bumi. Kedua proses ini adalah proses endogen (berasal dari dalam) dan proses eksogen (berasal dari luar). Perbedaan intensitas, kecepatan jenis, dan lamanya salah satu atau kedua proses tersebut yang bekerja pada suatu daerah menyebabkan kenampakan bentuk lahan di suatu daerah dengan daerah lain umumnya berbeda(Verstapen, 1983 dalam Ekspedisi Wallacea, 2004).
Semenjak tahun 70-an sistem klasifikasi lahan telah dikembangkan di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Catalogue of Landform for Indonesia yang disusun oleh Desaunettes (1977). Pada sistem ini klasifikasi lahan dilakukan melalui analisis bentuk lahan (landform). Sedangkan untuk mengidentifikasi dan menlakukan delineasi satuan lahannya (land unit) dilakukan dengan menginterpretasi foto udara. Selanjutnya suatu sistem fisiografi dapatdibedakan lagi menjadi kategori yang lebih rendah.
Klasifikasi yang biasa digunakan di Indonesia adalah klasifikasi bentuklahan yang di kembangkan oleh International Institute For Aerospace Survey And Earth Sciences (ITC), dengan kombinasi metode Desunettes (1987) dan metode Selby (1985). Metode ITC mengkelasifikasikan bentuklahan berdasarkan pada bentukan asal (morfogenesis), aspek bentuklahan (morfologi), proses-proses geomorfologi, dan litologi (Verstappen dan Zuidam,1975) yang juga terkandung dalam metode Selby dan Desunettes (Bakosurtanal, 2003).
Pengelompokan bentuk-bentuklahan utama diuraikan berikut ini :
1. Bentuklahan asal proses vulkanik, merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain: kerucut gunungapi, madan lava, kawah, dan kaldera.
2. Bentuklahan asal proses struktural, merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh- contoh untuk bentuklahan asal struktural.
3. Bentuklahan asal fluvial, merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan ini.
4. Bentuklahan asal proses karst, merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu gamping dan dolomite, karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa karst, dan logva, merupakan contoh-contoh bentuklahan ini.
5. Bentuklahan Pantai, adalah zona pertemuan antara daratan dan lautan dimana proses perkembangan bentang lahannya pada zona ini sangat dinamis. Hal ini dikarenakan proses-proses geomorfik dari daratan dan lautan bergabung di dalamnya. Kekuatan-kekuatan angin, gelombang, arus sepanjang pantai, arus pasang surut serta suplai sedimen dari daratan melalui muara sungai bergabung menghasilkan bentang-bentang lahan pantai dengan tingkat perkembangan dan perubahan yang relatif cepat.
2.8. Kerawanan Banjir
Daerah rawan banjir adalah daerah yang mudah atau mempunyai kecenderungan untuk terlanda banjir. Daerah tersebut dapat diidentikasi dengan menggunakan pendekatan geomorfologi khususnya aspek morfogenesa, karena kenampakan seperti teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan delta yang merupakan bentukan banjir yang berulang-ulang yang merupakan bentuk lahan detil yang mempunyai topografi datar (Dibyosaputro, 1984dalam Taofiqurohman 2012). Kawasan rawan banjir merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir sesuai karakteristik penyebab banjir. Menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo (2008), kawasan banjir tersebut dapat dikategorikan menjadi empat tipologi sebagai berikut :
a. Daerah Pantai
Daerah pantai merupakan daerah yang rawan banjir karena daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya sungai yang biasanya mempunyai permasalahan penyumbatan muara.
b. Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area)
Daerah dataran banjir (floodplain area) adalah daerah di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal. Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat Subur sehingga merupakan daerah pengembangan (pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan perekonomian, perdagangan, industri, dll.
c. Daerah Sempadan Sungai
Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan tetapi, di daerah perkotaan yang padat penduduk, daerah sempadan sungai sering dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta benda.
d. Daerah Cekungan
Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah rawan banjir.
2.9. Bencana Banjir 2.9.1. Pengerteian Bencana
Berdasarkan UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, disebabkan oleh faktor alam dan non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologi.
Definisi bencana seperti dipaparkan di atas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
1. Terjadinya peristiwa atau gangguan terhadap masyarakat.
2. Peristiwa atau gangguan tersebut membahayakan kehidupan dan fungsi dari masyarakat.
3. Mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk
Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PB, 2002) dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia bahwa tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila „bahaya‟ terjadi pada
„kondisi rentan‟. Di samping itu bahaya (Hazard) adalah suatu fenomena alam atau buatan dan mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda hingga kerusakan lingkungan.
Dalam pengelolaan manajemen mitigasi bencana, salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan risiko bencana. Pemetaan ini meliputi pemetaan ancaman (hazard), pemetaan kerentanan, dan pemetaan kapasitas dari suatu daerah yang mempunyai potensi bencana (Arief et al, 2012).
2.9.2. Pengertian Banjir
Dalam istilah teknis, banjir adalah air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai, dan dengan demikian aliran sungai tersebut akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya (Asdak, 2004).
Terdapat banyak jenis banjir, sebagai contoh banjir bandang, banjir sungai, banjir estuaria, banjir pantai, banjir dari danau, banjir dari kanal atau saluran air dan banjir akibat luapan air tanah (De Bruijn, 2009).
Secara umum penyebab banjir dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir disebabkan olehtindakan manusia (Kodoatie, 2002).
Banjir disebabkan oleh faktor alam, seperti:
1. Curah hujan: Pada musim hujan, curah hujan tinggi dapat mengakibatkanbanjir di sungai dan bila melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan.
2. Pengaruh fisiografi: Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan Daerah Aliran Sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, material dasar sungai), lokasi sungai merupakan hal- hal yang mempengaruhi terjadinya banjir.
3. Erosi dan sedimentasi: Erosi di daerah pengaliran sungai berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran sehingga timbul genangan dan banjir.
4. Kapasitas sungai: Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan yang berasal dari erosi DAS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan serta sedimentasi di sungai karena tidak adanya vegetasi penutup dan adanya penggunaan tanah tidak tepat.
5. Kapasitas drainase yang tidak memadai: Kapasitas drainase tidak memadai di suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya banjir.
6. Pengaruh air pasang: Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadinya aliran balik (backwater). Fenomena genangan air pasang juga rentan terjadi di daerah pesisir sepanjang tahun baik musim hujan maupun di musim kemarau.
Banjir disebabkan oleh faktor manusia, seperti:
1. Perubahan kondisi Daerah Aliran Sungai: Perubahan daerah aliran sungai seperti pengundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota dan perubahan tata guna lainnya dapat memperburuk masalah banjir karena aliran banjir.
2. Wilayah kumuh: Masalah wilayah kumuh dikenal sebagai faktor penting terhadap masalah banjir daerah perkotaan. Perumahan kumuh yang terdapat di sepanjang sungai, dapat menjadi penghambat aliran.
3. Sampah: Fenomena disiplin masyarakat yang kurang baik dengan membuang sampah tidak pada tempatnya dapat menyebabkan banjir.
4. Drainase lahan: Drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air yang tinggi.
5. Bendung dan bangunan air: Bendung dan bangunan lain seperti pilar jembatan dapat meningkatkan elevasi muka air banjir karena efek aliran balik (back water).
6. Kerusakan bangunan pengendali banjir: Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.
7. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat: Beberapa system pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat menambah kerusakan selama banjir- banjir besar.
2.10. Pengaruh Banjir Terhadap Lahan Pertanian
Kajian mengenai pengaruh banjir pada produksi pangan telah banyak dilakukanantara lain oleh seperti dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Octavina et.al 2002, dan KLH et.al 2009. Dalam kedua penelitian ini disebutkan bahwa banjir merupakan salah satu penyebab kegagalan panen tanaman pangan yang banyak terjadi di Indonesia. Octavina et.al (2002) mengemukakan dampak atau tingkat kerusakan tanaman pertanian khususnya padi sangat ditentukan oleh lama genangan banjir, genangan banjir yang melebihi 3 minggu akan menyebabkan tanaman puso.
Sementara itu,KLH et.al (2009) melakukan melakukan kajian mengenai risiko dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang salah satunya menyoroti masalah banjir di Pulau Lombok. Dalam kajian ini disebutkan bahwa frekuensi dan kuantitas curah hujan yang berlebihan pada masa menjelang panen (padi berumur 95 - 110 hari) , maka kualitas dan kuantitas panen akan menurun terlebih apabila frekuensi dan curah hujan yang besar disertai angin kencang akan mengakibatkan batang padi menjadi rebah. Dengan kata lain, kondisi ekstrim basah pada masa menjelang panen akan menyebabkan penurunan hasil panen yang didapat.
2.11. Strategi Antisipasi dan Adaptasi Terhadap Bencana Banjir
Menurut Irianto (2002) Pendekatan mekanisme fisik perlu digunakan dalam antsipasi banjir karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan model lainnya antara lain: (1) dapat menjelaskan secara kuantitatif hubungan sebab-akibat dengan proses fisik yang berlaku secara universal (2) hasilnya dapat
diaplikasikan pada DAS lain dengan melakukan adaptasi parameter. Dengan demikian tidak diperlukan penelitian yang detail untuk penanganan banjir dan genangan di daerah lain.Pengalaman menunjukkan, antisipasi banjir dan genangan yang dilakukan pemerintah saja, selama ini tidak cukup tanpa didukung peran masyarakat. Sebaliknya, masyarakat sendiri tidak mampu mengatasi persoalan banjir dan genangan. Diperlukan perencanaan yang utuh dan transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat, LSM, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian agar dapat diperoleh masukan yang komprehensip (Kementan, 2011).
Strategi adaptasi merupakan upaya penyesuaian kegiatan dan teknologi dengan kondisi iklim yang disebabkan oleh fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global. Strategi dan kebijakan umum penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap pertanian adalah memposisikan program aksi adaptasi pada Sub sector tanaman pangan dan hortikultura sebagai prioritas utama agar peningkatan produksi dan ketahanan pangan nasional dapat dipertahankan.
Strategi adaptasi perubahan iklim perlu didasarkan pada beberapa kajian,antara lain: (a) identifikasi dampak dan tingkat kerentanan sektor pertanian (sumberdaya dan sistem produksi), (b) identifikasi karakteristik dan potensi sumberdaya lahan dan air, (c) identifikasi kesiapan teknologi dan model usahatani (SUT) adaptif.
Daya adaptasi terhadap bencana banjir adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari bencana banjir dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Adaptasi dapat dilakukan perseorangan maupun secara berkelompok dalam cakupan wilayah tertentu dan merupakan hasil kolaborasi antara pengalaman dan pengetahuan teknis. Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat
dapat diwujudkan dalam bentuk pengetahuan mengenai langkah-langkah yang dilakukan apabila terjadi banjir (contoh: panen lebih awal) serta infrastruktur penahan banjir, contoh: pembuatan tanggul/bendung atau modifikasi bentuk pola pertanian, contoh: pembuatan guludan I pertanian sistim surjan(Wajih, 2009).
Penerapan bentuk adaptasi tersebut biasanya terkait dengan kebutuhan dan kondisi para petani, semakin buruk kondisi petani, semakin besar kemungkinan mereka menerapkan pola adaptasi. Faktor-faktor yang menpengaruhi kemampuan adaptif masyarakat, yaitu: (a) keadaan sumber daya alam di daerah tersebut; (b) sistem penghidupan dan kesempatan pada tingkat lokal; (c) kesempatan mendatangkan pendapatan di daerah sekitar; (d) infrastruktur, layanan, dan fasilitas fisik dasar (misalnya jalan, perumahan, dan air minum) pada tingkat lokal; (e) kepekaan sosio-ekonomi dan gender di daerah tersebut; (f) akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan, serta (g) keberadaan jejaring sosial dalam masyarakat maupun dengan pemerintah dan organisasi sektor formal seperti bank, badan pemerintah, dan organisasi relawan (Wajih, 2009).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Secara umum penelitian dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ular yang berada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun. Namun secara khusus difokuskan pada wilayah pertanian yang berada di DAS Ular. Penelitian ini direncanakan dilaksanakan selama empat bulan, terhitung mulai dari bulan Desember Tahun 2015 sampai dengan bulan Maret Tahun 2016.
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak.
Perangkat keras yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perangkat Global Positioning System (GPS) digunakan untuk memberikan referensi geografis lokasi pengamatan.
2. Perangkat Komputer digunakan untuk mengolah, menganalisis data dan menyajikan hasil analisis data berupa peta.
3. Kamera Digital digunakan untuk dokumentasi kondisi aktual dilapangan.
4. Tape recorder/sejenisnya digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan dengan narasumber.
5. Alat tulis digunakan untuk mencatat data maupun hasil wawancara.
6. Printer digunakan untuk mencetak data dan peta.
Perangkat lunak yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. DNR Garmin versi 5.4.1 digunakan untuk menginput dan mengkonversi data spasial dari perangkat GPS ke dalam format shapefile, sehingga data yang dihasilkan kompatibel dengan Arc GIS.
2. Global Mapper digunakan untuk mengolah data DigitalElevation Model (DEM)/SRTM dan mengkonversinya ke dalam format raster ASCII, sehingga dapat dianalisis lebih lanjut oleh perangkat lunak Arc GIS. menjadi data kemiringan.
3. Arc GIS (ESRI), digunakan untuk menginput, mengolah, melakukan analisis dan menyajikan hasil analisis data dalam bentuk peta.
4. Microsoft Excel 2007 digunakan untuk melakukan perhitungan data tabular.
5. Microsoft Office 2007 digunakan untuk menyajikan laporan hasil penelitian.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa peta dasar dan peta tematik dengan liputan keseluruhan DAS Ular, diantaranya;
1. Peta Digital Rupabumi Sumatera yang meliputi DAS Ular.
2. Peta Administrasi Kabupaten/Kota 3. Peta Wilayah DAS Ular
4. Citra Digital Elevation Model (DEM)/SRTM 5. Peta Tutupan Lahan dan Lahan Sawah 6. Peta Geologi
7. Peta Bentuk Lahan
8. Data Klimatologi (Curah Hujan) 9. Peta Kejadian Banjir
3.3. Metode Pendekatan
Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, dimana hasil penelitian memberikan gambaran keruangan mengenai wilayah rawan bencana banjir yang terjadi pada kawasaan pertanian di DAS Ular berdasarkan komponen-komponen lingkungan yang terukur secara kuantitatif, dan bagaimana petani di lokasi Banjir melakukan adaptasi terhadap datangnya bencana banjir.
Penelitian ini menggunakan pendekatan wilayah ekologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Yang proses analisis dan penyajiannya dilakukan secara spasial dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Hal ini berarti bahwa hasil-hasil dalam penelitian ini memiliki referensi geografis dan penyajiannya menggunakan alat peraga berupa peta.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer dengan proses pengumpulan sebagai berikut :
A. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Peta Dasar, Peta Tematik dan data klimatologi (Curah Hujan) yang diperoleh dari instansi – instansi Pemerintah yang memiliki data tersebut, diantaranya :
1. Peta Administrasi Kabupaten/Kota dari Bapeda Kabupaten/Kota.
2. Peta Digital Rupabumi Sumatera yang meliputi DAS Ular diperoleh dari BIG.
3. Peta Batas DAS ULAR diperoleh dari BPDAS Wampu Sei Ular.
4. Citra Digital Elevation Model (DEM)/SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) diperoleh dari http://www.srtm.csi.cgiar.org.
5. Peta Geologi diperoleh dari DISTAMBEN SUMUT.
6. Peta Bentuk Lahan diperoleh dari DISTAMBEN SUMUT.
7. Peta Tutupan Lahan dan Peta Lahan Sawah diolah dari Citra Landsat 8 tahun 2013 yang diperoleh dari BAPPEDA SUMUT.
8. Data Klimatologi (Curah Hujan) diperoleh dari BMKG – Stasiun Klimatologi Sampali.
9. Peta Kejadian Banjir diperoleh dari Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara.
B. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini antara lain :
1. Survey lapang bertujuan untuk verifikasi dan validasi data lapangan yang diperoleh dari data sekunder yang didapat sebelumnya. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan ploting koordinat lokasi kejadian banjir. Survei yang dilakukan ditekankan kepada observasi dan pengukuran terhadap variable yang digunakan untuk analisis karakterisrik banjir di wilayah Iahan pertanian pada wilayah penelitian.
2. Wawancara dengan penduduk di wilayah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui antisipasi yang dilakukan terhadap bencana banjir. Pengambilan sampel untuk wawancara pada penelitian ini dengan teknik Non Propability Sampling, alasan menggunakan teknik pengambilan sampel ini adalah jumlah kejadian banjir, pola, dan distribusi tidak diketahui secara pasti serta kondisi ekosistem terutama masyarakat petani yang heterogen, sehingga tidak tepat apabila dilakukan dengan cara acak (random). Teknik yang digunakan adalah Purposif Random Samplingdimana kriteria yang menjadi sample adalah Ketua Kelompok Tani dari wilayah lahan pertanian yang terkena bencana banjir.
3.5. Metode Pengolahan Data
Data dalam bentuk data tabuler maupun spasial diolah dengan menggunakan software yang ada sehingga menghasilkan peta yang dibutuhkan dalam penelitian. Adapun data tersebut yang akan diolah diantaranya :
A. Deskripsi Geografis Lokasi Penelitian
1. Dengan menggunakan Software Global Mapper mengolah Citra Digital Elevation Model (DEM)/SRTM menjadi data Wilayah Ketinggian dan Wilayah
Kelerengan.
2. Melakukan tumpang susun Peta Wilayah Ketinggian dengan Peta Lereng guna menghasilkan Peta Bentuk Medan seperti pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Klasifikasi bentuk medan
Kelas Bentuk Medan Kelas Lereng Kelas Ketinggian
Dataran rendah 0 – 2 % < 100 m
Landai < 15 % < 500 m
Dataran Tinggi < 15 % 501 – 1000 m
Bergunung landai 0 – 2 % > 1000 m
Bergelombang >.2 % < 100 m
Bergelombang 15 – 40 % < 500 m
Bergunung agak curam 2 – 15 % > 1000 m
Berbukit curam >15 % 501 – 1000 m
Bergunung curam 15 – 40 % >1000 m
Berbukit terjal > 40 % 100 – 500 m
Bergunung terjal > 40 % > 1000 m
Sumber: Sandy. 1993
B. Wilayah Rawan Bencana Banjir
Melakukan tumpang susun peta curah hujan dengan peta kelerengan, peta penggunaan tanah dan peta kejadian banjir. Proses tumpang susun dilakukan dengan penjumlahan antar skor dari masing-masing peta/input. Secara konseptual, data yang dibutuhkan untuk pengolahan dan analisis wilayah rawan bencana banjir adalah sebagai berikut ;
Gambar 3.1. Metode pemetaan wilayah rawan bencana banjir
Verifikasi Lapang Peta Curah
Hujan
Peta Geomorfologi
Peta Penggunaan Tanah
Peta Kejadian Banjir
Tumpang Susun Skoring
Peta Rawan Bencana Banjir
3.6. Analisis Data
Ditinjau dari metode analisis data pada penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, dengan mengukur pola dan dinamika kejadian banjir dan melihat karakteristik keruangannya. Pengamatan akan dilakukan pada wilayah penelitian yang sesuai yaitu penggunaan tanah sawah/tambak dengan memperhatikan karakteristik fisik yang diasosiasikan menjadi bentuk lahan.
Analisis wilayah rawan bencana banjir dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap variabel yang berpengaruh terhadap banjir. Proses tumpang susun dari data yang sudah ditentukan skornya kemudian diklasifikasikan menjadi tingkat kerawanan banjir, dapat dilihat pada tabel. 3.2 di bawah ini.
Tabel 3.2 Skoring variabel kerawan bencana banjir
NO Variabel Kategori Skor
1 Curah Hujan 3000 – 3500 mm per tahun 4
2500 – 3000 mm per tahun 3
2000 – 2500 mm per tahun 2
1500 – 2000 mm per tahun 1
2 Geomorfologi (Lereng dan Kontur)
< 2 % dan h < 100 m 2
< 2% dan h > 100 m 1
> 2% dan h > 100 m 0
3 Penggunaan Tanah Pemukiman 5
Sawah, Tambak, Kebun, dan Perkebunan 4
Ladang/Tegalan 3
Semak Belukar, Tanah Kosong 2
Hutan (Primer dan Sekunder) 1
4 Kejadian Banjir Sering Banjir (3 – 4 Kali Kejadian) 2 Rawan Genangan (1 – 2 Kali Kejadian) 1
Tidak ada banjir 0
Sumber: Hartini et al. 2010
Hasil integrasi data curah hujan harian, kelerengan dan ketinggian, penggunaan tanah, dan kejadian banjir menjadi peta sintesis rawan banjir.
Berdasarkan sebaran nilai Skor yang dinilai, maka kelas rawan banjir diklasifikasikan menjadi Empat tingkat kerawan seperti pada tabel 3.3, yaitu:
Tabel 3.3. Indikator kerawanan banjir No Jumlah Nilai Skor Tingkat Kerawanan
1 2 – 4 Aman
2 5 – 7 Rendah
3 8 – 10 Sedang
4 11 – 13 Tinggi
Sumber: Hartini et al. 2010
Data mengenai kegiatan antisipasi diperoleh dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan penduduk di daerah penelitian. Antisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk pengetahuan mengenai langkah- langkah yang dilakukan apabila terjadi banjir terutama perlakuan terhadap lahan sawah yang terkena banjir. Berikut dapat dilihat alur pikir penelitian ini pada Gambar.3.2.
Gambar 3.2. Alur Pikir Penelitian
Geomorfologi
Topografi
Bentuk Lahan
DAS ULAR
Karakteristik Wilayah
Wilayah Rawan Banjir
Curah Hujan
Lereng dan Ketinggian
Penggunaan Tanah
Kejadian Banjir
Wilayah Pertanian Rawan Banjir
Peta Lahan Sawah
Antisipasi Bencana Banjir Pada
Wilayah Pertanian
BAB IV
HASIL PENELITIAN vvvvv
4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
4.1.1. Letak Geografis dan Pembagian Wilayah Administrasi
Secara Geografis DAS Ular berapa pada 02° 53‟ 35” – 03° 40‟ 35” LU dan 98° 35‟ 02” – 99° 03‟ 10” BT. Secara Administratif, wilayah DAS Ular meliputi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Deli Serdang. Panjang Keseluruhan Sungai Ular adalah sekitar 31,65 Km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Ular meliputi wilayah seluas kurang lebih 130.814,82 hektar (1.308,15 Km2). Gambaran Spasial wilayah Administratif DAS Ular dapat dilihat pada gambar 4.1. Peta Wilayah Administrasi Daerah Aliran Sungai Ular.
Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta, dapat diketahui bahwa Kabupaten Simalungun mencakup 46,31 % wilayah DAS Ular seluas 60.575,04 hektar. Dengan cakupan wilayah tersebut, Kabupaten Simalungun merupakan kabupaten dengan proporsi wilayah terluas di DAS Ular meliputi 6 Kecamatan, yaitu; Kecamatan Dolok Silau, Kecamatan Pematang Silimahut, Kecamatan Purba, Kecamatan Raya, Kecamatan SilauKahean, dan Kecamatan Silimakuta.
Kabupaten Serdang Bedagai mencakup 27,03 % wilayah DAS Ular seluas 35.360,57 hektar. Kabupaten Serdang Bedagai menjadi yang terluas kedua secara administratif pada DAS Ular dengan mencakup 8 Kecamatan, yaitu; Kecamatan Bintang Bayu, Kecamatan Dolok Masihul, Kecamatan Kotarih, Kecamatan Pantai
Cermin, Kecamatan Pegajahan, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Serba Jadi, dan Kecamatan Silinda.
Kabupaten Deli Serdang mencakup 26,66 % wilayah DAS Ular seluas 34.879,21 hektar. Kabupaten Deli Serdang menjadi menjadi Kabupaten dengan proporsi terkecil secara administratif pada DAS Ular meliputi 8 Kecamatan, yaitu;
Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Beringin, Kecamatan Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Pagar Merbau, Kecamatan Pantai Labu, dan Kecamatan STM Hulu.
Luas masing – masing Sub DAS pada DAS Ular dapat dilihat pada Tabel 4.1. Sedangkan cakupan Wilayah administrasi sampai dengan tingkat Kecamatan yang ada di Wilayah DAS Ular dapat dilihat pada Tabel 4.2, dan pembagian wilayah Sub DAS Ular dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Tabel 4.1. Luas Sub DAS pada DAS Ular
No Sub DAS Luas (Ha) Persentase (%)
1 Sda Bah Banai 13.018,98 9,95
2 Sda Bah Karai 56.264,88 43,01
3 Sda Buaya 30.032,17 22,96
4 Sdas Ular Hilir 31.498,79 24,08
Luas DAS Ular 130.814,82 100,00