• Tidak ada hasil yang ditemukan

p-issn: e-issn: Vol. 12, No. 3,.Januari 2022 Implementasi Perda Provinsi NTB Nomor 2 Tahun 2016 Tentanng Pariwisata Halal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "p-issn: e-issn: Vol. 12, No. 3,.Januari 2022 Implementasi Perda Provinsi NTB Nomor 2 Tahun 2016 Tentanng Pariwisata Halal"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah | 147 Implementasi Perda Provinsi NTB Nomor 2 Tahun 2016

Tentanng Pariwisata Halal

Saepuddin

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAI Hamzanwadi NW Lombok Timur

Email:[email protected]

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahuikonsep Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal. Pembahasan kasus ini menggunakan efektif itas hukum dalam hal ini sejauh mana penerapan regulasi efektifdan tidak.Adapun metode yang digunakan yakni deskriptif analitis dengan menekankan perspektif hukum empiris.Sumber data penelitian ini ada dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primerdiperoleh melalui observasi, wawancara, dandokumentasi di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan.Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara kualitatif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, Perda pariwisata halal merupakan landasan dalam menjalankan segala bentuk penyelenggaraan pariwisata halal di NTB.Secara konsep Perda tersebut bertujuan memberikan pelayanan yang cukup dalam sektor pariwisata, baik dalam sektor industri dan akomodasi, serta menyediakan makanan dan minuman yang halal (sertifikasi DSN-MUI). Kedua, implementasi Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal di destinasi wisata Senggigi bisa dikatakan belum berjalan dengan efektif dan maksimal, karena terjadi kesenjangan antara konsepsi pariwisata halal dalam Perda dengan penyelenggara pariwisata halal atau para pelaku bisnis di lapangan.

Kata Kunci:PerdaProvinsi,Pariwisata Halal, Wisata Lombok-NTB Abstract:

This study aims to analyze and determine the concept of Regional Regulation Number 2 of 2016 concerning Halal Tourism. The discussion of this case uses the effectiveness of the law in this case the extent to which the application of regulations is effective and not. The method used is descriptive analytical by emphasizing an empirical legal perspective. There are two sources of data in this research, namely primary data and secondary data. Primary data obtained through observation, interviews, and documentation in the field. While secondary data was obtained through library research. Furthermore, the data was analyzed qualitatively. The results of this study indicate that, firstly, the regional regulation on halal tourism is the basis for implementing all forms of halal tourism in NTB. Conceptually, the regulation aims to provide adequate services in the tourism sector, both in the industrial and accommodation sectors, as well as providing affordable food and beverages. halal (DSN-MUI certification). Second, the implementation of the Regional Regulation of the Province of West Nusa Tenggara No. 2 of 2016 concerning Halal Tourism in the tourist destination of Senggigi, it can be said that it has not run effectively and optimally, because there is a gap between the conception of halal tourism in the Regional Regulation and the organizers of halal tourism or business people in the field.

Keywords: Provincial Regulation, Halal Tourism, Lombok-NTB Tourism

(2)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 148 Pendahuluan

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tidak terlepas dari adanya kristalisasi ide-ide demokrasi dari berbagai komponen bangsa dan perjalanan kehidupan kenegaraan.

Amandemen atas UUD 1945 adalah suatu pergumulan pemikiran kenegaraan yang konstruktif dan objektif. (Udiyo Basuki,“ Vol.

1:1 (Januari, 2015). KC. Wheare menyatakan bahwa, suatu konstitusi diubah hanya dengan pertimbangan yang matang. Salah satu alasan amandemen UUD 1945 adalah rumusan tentang semangat penyelenggaraan negara, belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar terutama tentang otonomi daerah. (Pataniari Siahaan, 1- 3, 2013)

Otonomi daerah mengandung makna sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, akan tetapi bukan sebuah kemerdekaan dalam arti terlepas dari bingkai kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada pengertian lain, otonomi daerah juga dipandang sebagai suatu hak untuk mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak itu sumbernya dari desentralisasi, dekonstrasi, dan tugas pembantuan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat sebagai refleksi komitmen bersama yang harus senantiasa dijadikan sebagai landasan utama pelaksanaan pemerintahan. (Ady Soejoto,Waspodo Tjipto

Subroto dan Suyanto, 4-5,Vol. 5: 3 (Juni, 2015)

Pelaksanaan otonomi daerah berkaitan erat dengan kewenangan pemerintah daerah dalam membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Kewenangan tersebut merupakan atribusi dan delegasi dari pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. (Putera Astomo, 5-7,Vol. 11:3 (September, 2014). Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, daerah-daerah memperoleh kewenangan yang cukup luas untuk membentuk peraturan-peraturan daerah secara otonom, baik yang berkaitan dengan kebijakan fiskal maupun tatanan hidup masyarakat lokal. Di samping itu, keberadaan Perda merupakan implmentasi sistem representasi dalam perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan daerah. Peraturan Daerah merupakan peraturan dengan urutan terendah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah. Muatan dan pembuatannya tidak menyimpang dari sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Enny Nurbaningsih, “138, (2011)

Perda seringkali mengesampingkan masalah teknis yuridis formal, yang menegaskan kedudukan Perda, sehingga

(3)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 149 Perda dalam tataran implementasi sering

menimbulkan permasalahan, misalnya inkonsistensi atau disharmoni dan over regulasi. Richard Susskind menyebutkan hyper-regulations atau obesitas hukum dan over regulation. (Bayu Dwi Anggono,7, Vol.

9: 4(April, 2016). Akibatnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), untuk menghapus 3.000 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah tanpa melalui kajian dan peradilan. Tindakan pemerintah mencabut Perda tanpa melalui peradilan menimbulkan dualisme pengujian, yaitu pengujian yang dilakukan oleh pemerintah pusat (executive review) dan pengujian oleh Mahkamah Agung. Istilah Siti Fatimah, dualisme pengujian tersebut merupakan proliferasi kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, namun Siti Fatimah juga mengakui bahwa proliferasi menimbulkan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum bagi warga negara dan penyelenggaraan kehidupan bernegara. (Siti Fatimah,50, (2014). Menyadari untuk memastikan terwujudnya kepastian hukum, maka melalui Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan pengawal demokrasi dalam pengujian undang-undang harus melalui putusan konstitusional dalam membatalkan Perda. (JimlyAsshiddiqie dan Ahmad Fadlil Sumadi,27,2016).

Pasca putusan tersebut, pemerintah terus melakukan upaya perbaikan yang cocok untuk memberikan konsep ideal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Prinsipnya tidak boleh terjadi tumpang tindih urusan pembagian kewenangan dan semua urusan pemerintah wajib terbagi. Selain itu, pemerintah pusat perlu memastikan tidak terlalu longgar atau terlalu ketat dalam memberikan urusan kepada pemerintahan daerah. Otonomi tanpa pengawasan jelas tidak sesuai dengan kehendak pendiri negara, akan tetapi pengawasan yang berlebihan dalam penyelenggaraan urusan daerah juga merupakan hal yang tidak diharapkan.

Salah satu penyelenggaraan urusan daerah adalah desentralisasi bidang kepariwisataan. Desentralisasi kepariwisataan adalah urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan dalam urusan pemerintahan. Salah satu urusan pemerintahan tersebut meliputi penyerahan urusan pemerintah pusat ke daerah untuk menentukan sumber-sumber daya tarik wisata, kawasan strategis pariwisata, dan destinasi pariwisata. Ruang lingkup Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal meliputi; Destinasi, Pemasaran, Promosi, Industri, Kelembagaan, Pembinaan, Pengawasan dan Pembiayaan.

(4)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 150 Dalam kaitan itu, kiranya penting

mengkaji eksistensi Pariwisata halal di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebagaimana Pariwisata Halal merupakan kegiatan kunjungan wisata dengan destinasi dan industri pariwisata yang menyiapkan fasilitas produk, pelayanan, dan pengelolaan pariwisata yang memenuhi standar syari’ah.

Kemudian pada pasal lainnya, mewajibkan kepada pelaku industri pariwisata konvensional untuk menyediakan arah kiblat di kamar hotel, informasi masjid terdekat, tempat ibadah bagi wisatawan dan karyawan muslim, keterangan tentang produk halal dan tidak halal, tempat berwudhu yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, sarana pendukung untuk melaksanakan sholat, tempat yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, serta memudahkan untuk bersuci.

Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki kekayaan alam dan budaya yang sangat bervariasi dan prospek bagi pengembangan kepariwisataan. Keberadaan geografis yang letaknya berdekatan dengan Bali sebagai barometer pariwisata Indonesia, ini menciptakan dan memberikan keuntungan tersendiri dalam distribusi wisatawan mancanegara, karena Provinsi NTB dianggap menjadi daerah tujuan wisata alternatif setelah bali. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Provinsi Bali pada tahun 2017 sebanyak 5.697.739 orang,

sementara pada tahun 2017 Nusa Tenggara Barat sebanyak 4.500.300 orang.

Peningkatan kunjungan wisatawan tersebut menurut Burhan Bungin disebabkan oleh brand yang dilihat wisatawan sehingga merangsang pembelian. (Burhan Bungin, 1-5, 2015).

Pariwisata Halal Nusa Tenggara Barat diakui dan mendapatkan penghargaan berupa World’s Best Halal Beach Resort, World’s Best Halal Honeymoon Destination dan World’s Best Halal Tourism Website. (Abdul Kadir Jaelani, 13, Vol.5:1 (April, 2018).

Dengan potensi destinasi pesona keindahan alam, keunikan budaya yang dimiliki serta penghargaan-penghargaan yang di raih, seharusnya Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki prasyarat menjadi sebuah provinsi maju, makmur dan sejahtra (Masyarakat), karena Richard A. Posner mengemukan bahwa peningkatan kunjungan akan mendekatkan Wealth Maximation (Kesejahtraan). Peningkatan kunjungan juga berdampak kepada efisiensi dan nilai ekonomi. Efisiensi berarti kemampuan membeli dan memenuhi barang dan jasa, sedangkan nilai didefinisikan sebagai kemampuan membayar, nilai ini berubah menjadi fungsi memenuhi distribusi pendapatan dan kesejahtraan dalam masyarakat. (Richard A.Posner, 6-7, 1993).

Di samping itu, Provinsi NTB juga masih tergolong dalam provinsi tertinggal,

(5)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 151 sebagaimana terlihat dalam Keputusan

Presiden No. 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015- 2019. Selain sebagai daerah tertinggal, data Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Tahun 2017 juga mengungkap bahwa PAD Provinsi NTB masih di bawah rata-rata nasional sebesar Rp. 2.000 miliar yaitu sebesar Rp. 1.450 miliar. Padahal Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 menyatakan bahwa sektor pariwisata dan pangan merupakan sektor unggulan pendapatan daerah Provinsi NTB. Posisi tersebut seolah-olah memperkuat pernyataan Ali Bin Dachlan yang menyatakan bahwa pengaturan pariwisata halal hanya untuk pragmatisme kekuasaan dan politik. (Ali Bin Dachlan, Mataram NTB, Kamis 25/01/2018).

Berdasarkan potret permasalahan tersebut, penulis tertarikuntuk menganalisis lebih lanjut terkait bagaimana konsep Peraturan Daerah Provinsi-NTB No.2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal. Untuk mendapatkan fokus yang memadai, dalam hal ini objek penelitian utama adalah destinasi wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Penulis mengambil destinasi wisata Senggigi sebagai objek penelitian, karena realitas wisata Senggigi bertentangan dengan konsep halal dalam syari’ah, dalam arti bahwa realitas wisata di Senggigi dekat dengan

prostitusi, minuman keras, dan hal semacamnya. Dengan demikian, menjadi menarik untuk menelaah bagaimana perjumpaan Perda pariwisata halal dengan realitas wisata Senggigi. Selain itu, wisata Senggigijugacukup banyakdiminati oleh wisataawan mancanegara dan wisatawan nusantaraselainwisatagili trawangan, gili meno, gili air dan kute mandalika. Kemudian penelitian ini mengurai lebih jauh terkait dengan bagaimana implementasi Peraturan Daerah Provinsi-NTB No. 2 tahun 2016 tentang pariwisata halal kawasan wisata Senggigi.

Analisis KonsepPerda tentang Pariwisata Halal

Maksud pengaturan Pariwisata Halal dalam Peraturan Daerah adalah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan pelayanan kepada wisatawan agar dapat menikmati kunjungan wisata dengan aman, halal dan juga dapat memperoleh kemudahan bagi wisatawan dan pengelola dalam kegiatan kepariwisataan. Adapuntujuan pengaturan pariwisata halal yaitusebagai pedoman bagi pengelola pariwisata dalam memberikan pelayanan pariwisata halal kepada wisatawan.

Penyelenggaraan pariwisata halal iniberdasarkan empat asas yakni, transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipatif. (Lihat

(6)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 152 Pasal 4,Ketentuan umum, Perda Provinsi

NTB tentang pariwisata halal)

Berdasarkan regulasi Perda Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 2 Tahun 2016 tentangpariwisata halal, Pariwisata Halal merupakan sebuah proses pengintegrasian nilai-nilai syari’ah kedalam seluruh aspek kegiatan wisata. Nilai syari’at Islam sebagai suatu kepercayaan dan keyakinan yang dianut masyarakat NTB menjadi acuan dasar dalam membangun kegiatan pariwisata halal. (Lihat Perda Provinsi NTB tentang pariwisata halal, pada bagian menimbang, alenia d) Di samping itu, pariwisata halal mempertimbangkan nilai-nilai atau norma- norma dasar masyarakat muslim yang ada di daerah NTB sebagai acuan dasar dalam pembuatan konsep regulasi Perda pariwisata halal yang kemudian dijadikan sebagai bahan pelayanan penyajian di berbagai sektor industri dan akomodasi. (Suherlan, Ade, 63, Vol. 1:1 (Maret, 2015).

Konsep Perda pariwisata halal juga merupakan aktualisasi dari konsep ke- Islaman, dimana nilai-nilai Islam menjadi tolak ukur utama, baik dalam penyediaan fasilitas ibadah maupun peneyediaan makanan atau minuman halal. Hal ini akan menjadi tolak ukur dalam pengimplementasian Perda pariwisata halal di berbagai sektor destinasi wisata.

Hal yang fundamental dari pariwisata halal adalahpemahaman makna halal disegala

aspek kegiatan wisata, baik dalam sektor pelayanan di perhotelan, restoran, cafe, villa, pondok wisata, dan Spa.Parawisata halal jugamemperhatikanpemenuhan kebutuhan di setiap makanan atau minuman (sertifikasi halal DSN-MUI) hingga fasilitas dan sampai penyedia jasa. (Lihat Pasal 11, 12, 13, 14, Bab V bagian industri pariwisata konvensional dan syari’ah, Perda Provinsi NTB tentang Pariwisata Halal)

Tolak ukur baik tidaknya konsep wisata halal yang diterapkan pada setiap sektor destinasi di kawasan wisata NTB, tidak bisa dilihat dari pencapaiaan dan geliat pariwisata secara umum. Misalnya, pada tahun 2016 lalu, Provinsi NTB memenangkan tiga pernghargaan, yakni penghargaan World's Best Halal Honeymoon Destination, World's Best Halal Tourism Destination dan World Halal Travel Summit. (Abdul Kadir Jaelani, 13, Vol.5:1 (April, 2018). Pencapaian itu adalah sebuah prestasi, namun tidak dapat dijadikan sebagai faktor utama dalam memandang kesuksesan NTB pada sektor pariwisata halal. Sebab, kesuksesan wisata itu dibangun oleh sinergi antar tiga pilar, yaitu pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat.Ketiga elemen harus menjalankan fungsinya masing-masing.Pemerintah adalah pembuat kebijakan, pelaku bisnis sebagai orang yang mengembangkan wisata, dan masyarakat sebagai pendukung kegiatan

(7)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 153 pariwisata.Namun, ketiga elemen ini tidak

bersinergi sebagaimana mestinya di lapangan.

Penghargaan tersebut seharusnya lebih meningkatkan dampak wisata bagi kemaslahatan dan incomemasyarakat setempat.

Analisis Implementasi Perda Pariwisata Halal di Daerah Wisata Senggigi

Secara umum, istilah implementasi dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu pelaksanaan atau penerapan. Adapunsecara khusus, istilah implementasi yaitu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementaraitu, definisi implementasi adalah sebuah rangkaian proses mengenai aktualisasi ide-ide yang dilakukan oleh manusia atas kepentingan-kepentingan khususnya. Ide-ide tersebut diwujudkan dalam konsep, kebijakan, serta inovasi yang diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan sehingga dihasilkan implikasi yang berwujud ilmu pengetahuan, keterampilandan tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang. Setelah mengalami proses implementasi, objek-objek yang dikenai tersebut akan membentuk jaringan pengaruh yang bukan saja mengubah salah satu unsur, tetapi juga mengubah keseluruhan unsur, baik secara perlahan maupun menyeluruh.

Pengertian implementasi secara sederhana adalah sebuah pelaksanaan atau

penerapan.Implementasi juga

bisadimaknaisuatu proses yang dilakukan dalam rangka evaluasi atas aspek-aspek yang dikenainya. Implementasi dalam hal ini adalah penerapan kebijakan yang menghubungkan antara tujuan-tujuan yang direncanakan dalam keberlangsungan sebuah kebijakan dengan realisasi yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan. Sejalan dengan maksud implementasi di atas, makaPeraturan Daerah, Provinsi Nusa Tenggara Barat No.2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal diNusa Tenggara Barat, menerapkan sebuah konsep dan mengimplementasikannya pada setiap sektor destinasi wisata NTB.Hal itu bertujuan agar mendapatkan sebuah kebijakan pemerintah dalam misi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Implementasi Perda pariwisata halal di NTB diterbitkansejak tanggal 21Juni2016.

Dalam implementasi Perda pariwisata halal tersebut, sampai sejauh ini, penulis menemukan banyak ketidaksesuaian antara konsep Perda pariwisata halal dengan praktik di setiap destinasi usaha dan wisata, terutama di wisata Senggigi. Pada konteks tertentu, pelaku usaha yang ada di lokasi destinasi, memiliki kecendrunganuntuk mempraktikkan bebas usaha, dalam artian lebih mengejar kepentingan pribadi atau bisnis ketimbang mantaati regulasi Perda wisata halal. Kasus inimisalnya bisaditemukanpadasektor perhotelan, restoran,cafe, dan Spa. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa konsep

(8)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 154 regulasi Perda pariwisata halal dapat

dikatakan tidak berjalan secara efektif dan maksimal.

Diantara contoh kasus yang menunjukkan tidak efektifnya regulasi wisata halal di lapangan sebagai berikut:Pertama, Implementasi Perda pariwisata halal di daerah wisata senggigi, baik di sektor Perhotelan syari’ah dan konvensional masih belum berjalan dengan efektif dan maksimal. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beberapa orang informan, yakni Iqbal Rizki dan Mukhlis. Menurut mereka, bahwa dalam aspek penyediaan pelayanan di sektor hotel syari’ah masih belum memenuhi standar syari’ah, baik dalam hal penyediaan makanan, minuman dan tempat. Dalam pengertian bahwatidak semua menu makanan halal, ada juga tersedia menu makanan yang tidak halal.Demikian pula dengan tempat, tidak ketatnya regulasi soal menginap di hotel

denganpasangan yang

sahdanmemilikibuktisuratpernikahan. Jadi, masih banyak wisatawan yang diperbolehkan menginap sekamar tanpa ikatan pernikahan yang sah secara islami. Misalnya hal ini terjadi di hotel syari’ah seperti hotel Svarga Resort, dan Jayakarta.

Terlepas dari itu, padasektorperhotelan konvensional juga ketersediaan fasilitas belumterpenuhi. Fasilitas ibadah di beberapa hotel juga tidak tersedia, misalnya di Hotel Bintang Senggigi, dan Aruna. Artinya

bahwakonsep regulasi Perda pariwisata halal belum berjalan efektif. Sementara itu, beberapa perhotelan yang memiliki fasilitas ibadah, namun tidak terawat, yakni berdebu, usang dan lapuk, sepertiyang terjadi di hotel Svarga resort Jayakarta, dan Bintang Senggigi. Hal itu menunjukkan, bahwa fasilitas ibadah di sebagaian perhotelan di wisata senggigi sebagai formalitas saja, dalam upaya pemenuhan konsep regulasi Perda pariwisata halal. Hal ini dikuatkan oleh Abdul Aziz, salah seorang informan yang peneliti wawancarai, ia menyatakan bahwa fasilitas ibadah di setiap sektor destinasi bisa dikatakan sebagai pajangan saja, namun tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Kedua, Menurut informan, Syahrul menyatakan, bahwa implementasi Perda pariwisata halal di destinasi wisata sengggibaik disektor restoran maupun café masih bebasdalam penyediaan makanan dan minuman yang tidak halal (sertifikasi-MUI).

Sebagai contoh kasus yakni, Happy cafe dan retoran, Marina cafe dan restoran, Sahara cafe dan restoran, Alberto cafe dan restoran, Banana cafe dan restoran, Cafe wayan, Angles cafe,bahkan di sebagianbesar area destinasi wisata Senggigi.1Dengan demikian, Perda pariwisata halal mengalami inkonsistensi di lapangan.Dikatakan juga oleh informan yakni Firdaus, bahwa di setiap

1Wawancara Dengan Syarul, Sekuriti Restoran dan Cafe di kawasan Senggigi, Sandik, BatuLayar-NTB, Tanggal 21 Januari 2019.

(9)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 155 destinasi usaha restoran maupun cafe masih

bebas dalam mengkonsumsi minuman keras, makanan tidak halal, dan melakukan praktik perjudian. (Wawancara Dengan Firdaus, BatuLayar-NTB, Tanggal 26 Januari 2019.

Selain itu, informan Imam Sanusi menyatakan, bahwa praktikdi berbagai sektor restoran dan cafe bebas prostitusi. Sebabnya, karena pengawasan dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum tidak terlalu ketat. Di samping itu, pertikaian dan perkelahian di sektor restoran dan cafe rentan terjadi, hal tersebut di akibatkan karena perjudian yang tidak terkontrol.Seharusnya pengawasan dari pihak pemerintah danpenegak hukum lebih aktif dalam melihat penomena itu.

Sebagaimana diungkapkan oleh informan yakni Hirwan, bahwa pihak penegak hukum atau aparat kepolisianserta aparat pemerintah, melakukan penyimpangan juga, dalam arti mengikuti arus wisatawan di tempat pesta (party), baik di restoran cafe, maupun bar yang ada di wisata Senggigi. Ini artinya sinergi antara struktural hukum tidak terjalin.

(Wawancara Dengan Hirwan, BatuLayar-NTB, Tanggal 21 Januari 2019.

Ketiga, sebagaimana diungkapkan informan yakni Melinda Femi, bahwa implementasi Perda pariwisata halal di wisata senggigi pada sektor usaha Spa mengalami demikan. Dalam maksud ini, pelayanan kariawan cendrung bebas dan tidak mengikuti konsep regulasi Perda pariwisata halal.

Seperti, mayoritas dari usaha Spa menyediakan pelayanan pijit plus-plus, pelayanan sesuai permintaan pelanggan artinya tidak ada batasan dalam pelayanan.Sebagaimana di atur dalam regulasi Perda pariwisata halal, kariawan wanita khusus melayani wanita dan kariwawan pria menangani pria. Kasus ini adadi Svarga Resort, Lemonggras Spa, Liliy Spa, dan Royal Spa. Meninjau hal itu, konsep regulasi Perda pariwisata halal bisa dikatakan gagal dalam implementasinya. Faktornya, para pelaku usaha Spa lebih mengejar kebutuhan pasar atau lebih mencari keuntungan bisnis secara privat dari pada menjalankan konsep regulasi Perda pariwisata. Data-data tersebut menunjukkan implementasi Perda pariwisata halal harus di tinjau ulang.

Sejak ditetapkannya pelaksanaan Perda PariwisataHalal, sampai sejauh inipelaku usaha di setiap wisata halalmenghadapi tantanganyangberat untukmenjalankanperaturan. Mengingat pelaku usaha harus mengikuti aturan sebagai formalitas. Namun di sisi lain regulasi tersebut ternyata tidak menjadi acuan pelaku usaha, baik pelaku usaha perhotelan, restoran, café, bar dan Spa.

Keempat, Masyarakat di daerah wisata senggigi, Sebagaimana di sebutkan dalam regulasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pariwisata Halal, bahwa eksistensi dari adanya pariwisata halal adalah

(10)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 156 untuk memepercepat perkembanagan

ekonomi dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, kemudian untuk kesejahtraan masyarakat NTB.

Namun dari sekian misi pemerintah tersebut tersendat oleh kurangnya dukungan masyarakat, karena masyarakat memandang pariwisata halal dengan sebelah mata, dalam maksud ini, banyak masyarakat mengklaim negatif pariwisata halal. Maraknya presepsi itu sejak pasca gempa 2018 lalu, seperti pariwisata halal adalah pembawa bencana, pariwisata halal yaitu pragmatisme politik dan kekuasaan, pariwisata halal sama dengan pariwisata haram. Presepsi-presepsi ini muncul karena masyarakat melihat praktik di berbagai aspek pariwisata halal di destinasi wisata Senggigi, gili trawangan, gili meno dan gili air penuh dengan penyimpangan nilai-nilai syari’ah seperti, minuman keras, perjudian, prostitusi, dan bebas party (pesta).

Sebagaimana dikatakana oleh informan yakni, Hirwan, Imam sanusi, Firdaus, Jalaluddin, Muhammad saleh, Fauzan azima, dan Jumaidi. (Wawancara dengan Hidayah, Ria, Firdaus, Jalaluddin, Muhammad saleh, Fauzan azima, dan Jumaidi, Batu Layar-NTB, Tanggal 21 Januari 2019.

Di samping itu, menurut imforman Fahmi dan Abdul Aziz sebagai masyarakat senggigi menyatakan, bahwa dampak prekonomian dari adanya pariwisata halal dan sebelum adanya pariwisata halal tidak ada

perubahan, dalam arti kata masih seperti sedia kala. Itu artinya dampak pariwisata halal selama ini untuk prekonomian masyarakat bisa dikatakan hanya panorama. Seharusnya apa yang diungkapkan oleh pemerintah pada forum-forum pertemuan, seperti pariwisata yang dimiliki NTB ini akan memberantas kemiskinan dan mensejahtrakan rakyat benar- benar mampu direalisasikan. Hal ini dibuktikan juga oleh data pemerintah pusat bahwa sebagaimana NTB tercatat atau tergolong daerah miskin dan tertinggal. (Lihat Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 131 Tahun 2015, tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019)

Sementara itu, aspek pasar pariwisata halal di kawasan wisata senggigi dominan dikuasai oleh orang luar wilayah senggigi seperti, oirang-orang dari luar daerah seperti, jawa, surabaya, sulawesi, kalimantan, dan bali. Bahkan bnyak dari luar negeri. Hal ini menandakan persaiangan bakat adalah faktor di lapangan sehingga dampak pariwisata tidak terasa bagi masyarakat, terutama senggigi.

Di sampingitu, diakibatkan oleh bakat yang minim, trutama dalam berbahasa, baik dalam berbahasa inggris, begitu pula pada bakat skill lainnyasepertimenjadikariawan di sektorperhotelan, Villa, restoran, danlainnya.

Kendala-kendala ini Pemerintah seharusnya betul-betul diperhatikan dengan mengadakan pelatihan dan pembinaan supaya masyarakat setempat menjadi bisa atau kreatif, dan

(11)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 157 akhirnya bisa menikmati lapangan pekerjaan

di sektor pariwisata, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Kemudian secarasosiologis, kehidupan beragama di Senggigi, Kabupaten Lombok Baratsemakin tidak membaik,yangditandai dengan kurangnya kesadaranmelaksanakan ibadahkeagamaan, meskipun meningkatnya pembangunan saranaperibadatan di lokasi tersebut. Dalam artian, keberadaan pariwisata dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi, di lain sisi masyarakat juga terkontaminasi oleh arus kehidupan wisatawan.

Fenomena di atas memperlihatkan regulasi Perda Provinsi NTB No.2 Tahun 2016 tentang pariwisata halal tidak berjalan efektif dan maksimal.Dalam hal ini, Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto mengemukakan, sebuah regulasi Perda utamanya lebih meninjau bagaimana substansi hukum, supaya relevansinya betul- betul sesuai dengan target yang dimisikan, sehingga aturan itu betul-betul hidup dengan keadaan lingkungan dan sosial, di samping itu juga implementasi dari substansi hukum berjalan seimbang di lapangan. (Soerjono Soekanto, dalam bukunya Lawrence M.

Friedman, 5, 2007).

Dari persepketif yang dikemukan Lawrence M. Friedman, sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, ia mengemukakan bahwa dalam menerapkan sebuah aturan atau regulasi perlu juga melihat bagaimana kultur

lingkungan dan sosial, karena itu yang akan menentukan regulasi tersebut betul- betulefesian. Kultur hukum/regulasi adalah suasana pemikiran sosialataupunpelakuusaha dan kekuatanitu yangakan menentukan bagaimana regulasi/hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Artinya budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran pelakuusaha/masyarakat. Semakin

tinggi kesadaran hukum

pelakuusaha/masyarakat maka akan tercipta regulasi/hukum yang baik. Secara sederhana, tingkat kepatuhan pelaku usaha/masyarakat terhadap hukum adalah salah satu indikator keberhasilan pemerintah dalam menerapkan regulasi/hukum yang dibuat dan tidak terjadi inkonsistensi di lapangan.

Demikian jugaSatjipto Rahardjo mengemukakan dalam bukunya “Hukum Progresif” yang dimana Kesempurnaan suatu aturan atau hukum harus berhasil menjawab tantangan dimana hukum tersebut hidup, bentuk dari jawabannya adalah keadilan, kesejahteraan, dan kepedulian kepada masyarakat, dalam kata lain hukum bukan untuk hukum itu sendiri, melainkan hukum itu ada untuk masyarakat. (Soerjono Soekanto, 5, 2007).

Kekurangan-kekurangan dalam proses implementasi mestinya menjadi pekerjaan rumah bagi pihak pemerintah baik Pemerintah Provinsi maupun Pusat. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan evaluasi bagi

(12)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 158 pemerintah dan seluruh stakeholder yang

terkait, demi kelangsungan masa depan pariwisata halal di Lombok, NTB.

Menurut peneliti, inkonsistensi Perda pariwisata halal yang terjadi di destinasi wisata senggigidiakibatkan perbedaan presepsi antara pihak pemerintah, penegak hukum (polisi), dan masyarakat, sebagaimana penulis paparkan di awal bahwa bentuk perbedaan prespsi tersebut, pihak polisi juga melakukan penyimpangan di lapangan, demikian pula pihak pemerintah dalam melakukan pengawasan tidak serius dilaksanakan, serta preasepsi negatif dari masyarakat tentang pariwisata halal.

Seharusnya antara tiga pilar tersebut saling mendukung atau tetap menjalin kerjsama dalam menjalankan sebuah program, agar tercapainya misi yang optimal.

Masalah lain dari implementasian Perda pariwata halal, yakni belum meratanya diseluruh wilayah wisata di Lombok.

Misalnya, di Lombok Timur, kawasan wisata Sembalun, lereng gunung rinjani, belum ada pemberlakuan Perda pariwisata halal. Dalam hal ini, peneliti sempat mewawancarai tokoh Masyarakat, atas nama Abduh. Ia menyatakan bahwa:

“Belum ada sosialisasi dari pemrintah terkait praktik pariwisata halal, gaung wisata halal memang sedikit akrab terdengar di masyarakat. Namun dalam penyelanggaraanya di Destinasi

wisata Sembalun belum terlakasana”.

(Wawancara dengan Abduh, SembalunLawang-Kabupaten Lombok Timur-NTB, Tanggal 17 Januari 2019) Wawancara juga dengan salah seorang TNI atas nama Abdurrahim yang bertugas di Sembalun, ia menjelaskan bahwa:

“Wisata Sembalun, cukup masyarakat mempraktikkan konsep wisata berbasis kearifan lokal saja ketimbang wisata halal, karena bagi masyarakat setempat pariwisata halal sesuatu yang sangat sensitif dan itu identik dengan budaya impor dari barat seperti sebagian di pahami oleh masyarakat”.

(Wawancara dengan Abdurrahim, Batu Nampar, Jerowaru, Lotim, Tanggal 17 Januari 2019)

Dengan demikian, menurut penulis, masyarakat Sembalun sangat konsen terhadap penyelenggaraan Pariwisata dengan tetap memperhatikan lingkungan sosial dan kearifan lokalserta senantiasa mengontrol perilkau-perilaku wisatawan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, karena itu tanggung jawab bersama.

Dari paparan di atas, makaPemerintah Provinsi NTB harus mengoptimalkan implementasi Perda yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka diharapkan konsep pariwisata halal benar- benar mampu dipraktikkan di setiap

(13)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 159 destinasi, dan juga mampu menjadi

penyangga kemandirian ekonomi masyarakat sekitar wisata, umumnya masyarakat NTB.Catatan-catatan tentang kurang optimalnya implementasi Perda harus segera dicarikan solusi, agar ke depan pariwisata halal benar-benar matang secara konsep tual maupun praktik dilapangan

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan, yakni:

Pertama, Regulasi Perda pariwisata halal merupakan landasan dalam menajalankan segala bentuk peraturan disetiap destinasi wisata NTB. Konsep Perda tersebut bertujuan memberikan pelayanan yang cukup dalam sektor pariwisata, baik dalam sektor industri dan akomodasi, serta menyediakan makanan atau minuman yang halal dan fasilitas ibadah yang cukup.

Di samping itu, konsep pariwisata halal adalah sebuah proses pengintegrasian nilai-nilai syari’ah kedalam seluruh aspek kegiatan wisata. Baik dalam pemenuhan kebutuhan dan pelayanan, seperti fasilitas ibadah dan peneyediaan makanan, minuman halal dan tidak halal serta pelayanan yang sesuai dengan standar DSN-MUI.

Kedua,Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal di

destinasi wisata Senggigi tidak berjalan dengan baik dan maksimal (inkonsistensi).

Halini disebabkan karena para pelaku usaha (Perhotelan, Restoran, Cafe dan Spa) lebih mementingkan bisnis atau kebutuhan privat daripada menjalankan konsep regulasi Perda sebagaimana mestinya. Di samping itu, dampak pariwsiata halal bagi masyarakat setempat belum dirasakan sepenuhnya, baik dari segi lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan.

Kekurangan-kekurangan dalam proses implementasi mestinya menjadi pekerjaan rumah bagi pihak pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pusat. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan evaluasi demi kelangsungan masa depan pariwisata halal di Lombok, NTB.

Daftar Putakata

Nizam Ismail, Hairul, Islamic Tourism: the Inpacts To Malaysia’s Tourism Industry, dalam International Conference of Tourism Development ICTD, 2013

BadanPerencanaanPembangunanDaerahKab upatenLombokBarat, (Kabupaten Lombok Barat: Op.Cit, 2017.

Bappenas,Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara Barat,Jakarta: Bappenas, 2013.

Bungin, Burhan, Komunikasi Pariwisata:Pemasaran dan Brand Destinasi, Jakarta: Kencana: 2015.

JimlyAsshiddiqie dan Ahmad Fadlil Sumadi,“Putusan Monumental

(14)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 160

Menjawab Problematika

Kenegaraan”, Malang: Setara Press 2016.

PeraturanDaerahProvinsiNusaTenggaraBarat Nomor1Tahun2014tentang

PerubahanatasPeraturanDaerahNomor 3Tahun2008tentang Rencana Pembangunan Jangka PanjangDaerah Provinsi Nusa TenggaraBarat Tahun 2005-2025.

Posner, Richard A,The Problem of Jurisprudence, United State of America, Harvard University Press, 1993.

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/201 5 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PeraturanDaerahProvinsiNusaTenggaraBarat

Nomor2Tahun 2016

tentangPariwisataHalal.

Siahaan, Pataniari, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta:

Konstitusi Press, 2013.

Undang-UndangNomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahanDaerah.

Astomo, Putera, Pembentukan Undang- Undang dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional di Era Demokrasi, Jurnal Konstitusi,Vol.11, No.3 September, 2014.

Basuki, Udiyo, Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Amanat Reformasi dan Demokrasi, Jurnal Panggung Hukum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia, Vol.1 No.1 Januari,2015, pp. 1.

Dwi Anggono, Bayu, The Politics of Law On The Formation of Responsive, Participative and Populist Legislation, International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 9, Issue 4,April, 2016.

Fatimah, Siti,“Proliferasi Kekuasaan Kehakiman SetelahPerubahanUUD 1945”

Disertasi,ProgramDoktorIlmuHukum ProgramPascasarjanaFakultasHukum UniversitasIslam

Indonesia,Yogyakarta:2014.

___________,“Pengembangan Destinasi Pariwisata Halal pada Era Otonomi Luas di Provinsi Nusa Tenggara Barat”, Jurnal Pariwisata, Vol.V, No.1, April Tahun 2018.

Gilang Widagdyo, Kurniawan, “Analisis Pasar Pariwisata Halal Indonesia”,The Journal of Tauhidinomics, Vol. 1 No. 1, 2015.

Murdoko, “Konfigurasi Pembentukan Peraturan Daerah Khusus Bernuansa Agama dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018.

Nurbaningsih,Enny,“Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan DaerahDalamPeraturanDaerah(StudiP eriode EraOtonomiSeluas- Luasnya)”,Disertasi,ProgramDoktorP ascasarjana,Fakultas Hukum UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta: 2011.

Soejoto,Waspodo Ady, Tjipto Subroto dan SuyantoFiscal Decentralization in Promoting Indonesia Human Development, International Journal of Economic and Financial Issues”,

(15)

Al-Watsiqah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah

| 161 Vol.5, Issue 3, 2015.

Suherlan, Ade,Persepsi Masyarakat Jakarta Terhadap Islamic Tourism, dalam The Journal of Tauhidinomics. Vol.

1. No. 1.2015, pp. 63. 2015.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat, “Angka Kunjungan Wisatawan ke Nusa Tenggara

Barat”,http://www.disbudpar.ntbprov.

go.id/angka-kunjungan-wisatawan- ke-ntb/, diakses pada Tanggal 16 Januari, 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi NTB 2019-2023, Biro Bina Administrasi Pengendalian Pembangunan dan LPBJP Sekretariat Daerah Provinsi

Dengan demikian, renstra ini akan menjadi “jembatan” yang akan mengantar FKIK Untad meraih mimpi tersebut melalui beberapa tahapan, antara lain : peningkatan

Gambar 5.3 di atas adalah gambar yang menunjukkan profil kecepatan udara hasil penelitian dengan temperatur Pelat dan temperatur fluida pada daerah arus bebas

Berdasarkan amanah Undang-undang tersebut, maka Pemerintah Provinsi NTB membentuk BPBD Provinsi NTB dengan Perda Provinsi NTB Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Tata cara Pembangunan Rumah dengan Struktur Tahan Gempa (RTG) ini disusun dengan memperhatikan kaidah teknis dan aturan yang berlaku untuk menjadi acuan perencanaan pembangunan

Inti dari MoU tersebut antara lain: bekerjasama tentang pembangunan obyek wisata religi, sumber dana dari pemerintah kabupaten, tata ruang perencanaan obyek wisata

Berdasarkan hasil pengolahan data untuk variabel pengaruh inovasi produk terhadap keputusan pembelian menghasilkan penolakan Ho, artinya dapat dinyatakan bahwa

The Relationship Between Mobile Service Quality, Perceived Technology Compatibility, and Users’ Perceived Playfulness in the Context of Mobile Information and