4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI SAGU
Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati sagu merupakan hasil ekstraksi dari empulur batang sagu dengan bantuan air secara mekanis maupun tradisional. Pati berbentuk butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Pada dasarnya pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α-glukosa.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya (Haryato dan Pangloli, 1992).
Karakteristik pati sagu (Metroxylon sp.) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Pati Sagu
Karakterisasi Komposisi (%) Kadar Pati
§ Amilosa
§ Amilopektin Kadar Serat Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein
82,13 27,75 72,25 0,01 5,76 0,12 0,36 0,38 Sumber : Hartoto et al. (2005)
Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam, umumnya berbentuk bola atau elips. Pati sagu berbentuk elips (prolate ellipsoidal), mirip pati kentang dengan ukuran 5-80 μm dan relatif lebih besar daripada pati serealia. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan sekitar 73%
amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cendrung meresap air lebih banyak atau higroskopis (Wirakartakusumah et al., 1986).
5 Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut dengan amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin memiliki cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5%
dari berat total (Winarno, 1997).
B. SIRUP DEKSTRIN
Likuifikasi yaitu proses hidrolisis pati secara parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dengan menggunakan enzim α-amilase. Tahap likuifikasi dilakukan hingga cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan dengan larutan iodium. Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan alfa limit dekstrin. Enzim α- amilase merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan α- 1,4 glikosidik pada amilosa, amilopektin dan glikogen. Ikatan α-1,6 glikosidik tidak dapat di putus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Nikolov dan Rielly di dalam Dordick, 1991). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, B. Licheniformis, Aspergillus oryzae, dan Aspergillus niger. Nilai pH optimum untuk aktivitas enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60oC. Jika suhu semakin ditingkatkan maka pH optimum pun semakin meningkat sampai sekitar tujuh (Tjokroadikoesomo, 1986).
Pada likuifikasi pati biasanya α-amilase yang digunakan adalah yang memiliki aktivitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0.5-0.6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering (Chaplin dan Buckle, 1990). Enzim α- amilase komersial dibuat oleh Novo industri AS. Antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion dan ekuivalen dekstrosa. Dosis α-amilase yang biasa digunakan 0.5-0.6 kg Termamyl 102 /ton pati kering. Satu kNU (kilo NOVO α-amilase Unit) adalah jumlah enzim yang
6 dapat menghidrolisis 5,26 pati (gram standar) per jam suhu 37oC, pH 5,6 pada kondisi standar (Kearsley dan Dzeidzic, 1995).
C. Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus
Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik.
Produk metabolik utama adalah etanol, CO2 dan air sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0-4,6 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas, apabila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan makin meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura di dalam Delwegg, 1983).
Saccharomyces cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC (Frazier dan Westhoff, 1978). pH pertumbuhan khamir yang baik antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Pada pH tinggi maka lag phase akan berkurang dan aktivitas fermentasi akan naik (Prescott dan Dunn, 1959). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Mikroba (Stanburry dan Whitaker, 1984).
Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia dan efisien penggunaannya. Substrat yang digunakan harus dapat difermentasi.
7 Pemilihan substrat harus memperhitungkan jumlah karbon yang tersedia di dalamnya. Karbohidrat merupakan sumber energi tradisional dalam industri fermentasi. Glukosa dan sukrosa jarang digunakan sebagai satu-satunya sumber karbon karena mahal harganya. Beberapa proses fermentasi dalam skala besar menggunakan garam amonium, urea, atau gas amonia sebagai sumber nitrogen (Fardiaz, 1988).
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus merupakan galur khamir yang biasa digunakan untuk pembuatan minuman keras (wine) dan mampu menghasilkan rendemen alkohol tinggi (Frazier dan Westhoff, 1978). Pada awal klasifikasi, khamir diklasifikasikan berdasarkan kemampuan fermentasi dan morfologi selnya. Nama Saccharomyces cerevisiae digunakan untuk khamir dari industri bir di Jerman dan Inggris, sedangkan nama Saccharomyces ellipsoideus merupakan jenis khamir anggur yang mempunyai bentuk ellipsoidal. Pada klasifikasi ulang ditemukan bahwa perbedaan morfologi saja, tidak cukup untuk membedakan dua spesies khamir, sehingga nama khamir anggur menjadi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus (Campbell di dalam Priest dan Campbell, 1999). Perbedaan morfologi Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus (A) dan Saccharomyces cerevisiae (B) (Pelczar dan Chan, 1986)
D. FERMENTASI
Menurut Prescot dan Dunn (1981), etanol dapat diproduksi dari gula melalui fermentasi pada kondisi tertentu. Sedangkan pati dan karbohidrat lainnya dapat dihidrolisa menjadi gula kemudian difermentasi untuk membentuk etanol yang merupakan nama kimia untuk alkohol dengan rumus kimia C2H5OH.
8 Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.
Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembang-biakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton nitrat, atau urea tergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama untuk pembentukan alkohol dari gula.
Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi berlangsung secara aerob. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Alkohol yang terbentuk akan menekan fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume.
Terhalangnya proses fermentasi, juga dipengaruhi suhu proses dan jenis khamir yang digunakan (Prescot dan Dunn, 1981).
Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik selanjutnya digantikan proses fermentasi pada kondisi anaerobik karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada resprasi jauh lebih besar dibandingkan pada proses fermentasi. (Barnett et al., 2000). Bila terdapat udara pada proses fermentasi maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula menjadi sel, karbondioksida, dan air.
Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC. Sedangkan pH optimum 4-5. Batas minimal aw untuk khamir biasa adalah 1.88-1.92. Menurut Casida (1968) pH pertumbuhan khamir yang baik adalah pada rentang 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Nilai pH pertumbuhan behubungan positif dengan pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi maka fase lag akan lebih singkat dan aktivitas fermentasi akan meningkat. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga tergantung pada konsentrasi gula dan etanol. Nilai pH dapat
9 diturunkan menggunakan asam sitrat, sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat.
Paturau (1991) menyatakan bahwa fermentasi etanol memakan waktu 30- 72 jam. Prescot dan Dunn (1981) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol adalah 3-7 hari. Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa proses pemecahan gula menjadi etanol dan CO2 dilakukan oleh sel khamir. Secara teoritis konversi molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac sebagai berikut
C6H12O6 à 2C2H5OH + 2CO2
(gula) (etanol) (karbondioksida)
Berdasarkan persamaan Gay Lussac dapat dijelaskan bahwa 51.1% gula diubah menjadi etanol dan 49.9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini kebanyakan tidak dapat dicapai karena adanya hasil sampingan. Pada kenyataanya hanya 90-95% dari nilai ini yang dapat dicapai. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam fermentasi tergantung pada jenis khamir yang dipakai dan kadar gula. Sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh suhu, aerasi, kadar gula dan keasaman (Underkofler dan Hickey, 1954). Produk samping yang dihasilkan antara lain asam piruvat dan asam laktat.
Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden Meyerhoff-Parnas (Gambar 3) yang merupakan reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor aseptor fosfat, reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi, reaksi oksidasi- reduksi dan reaksi dekarboksilasi. Gukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian dirubah menjadi fruktosa-1.6-di-P kemudian dipecah mencadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan gliseraldehida-3- P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserol fosfat kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder.
Gliseraldehid-3-P tereduksi membentuk asam 1.3-difosfogliserat kemudian mengalami difosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dan akseptor fosfat ADP membentuk ATP.
Gambar 3. Embden Selanjutnya, 3-P
terbentuk asam fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi gliseraldehid
gliseraldehid
1,3-bifosfo gliserat
3-fosfo gliserat 2-fosfo gliserat fosfo enol piruvat
piruvat
piruvat
dekarboksilase
Embden Meyerhoff-Parnas Pathway (Diwan, 2007
P-asam gliserat membentuk 2-P-asam gliserat kemudian terbentuk asam fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi
Glukosa
glukosa-6-fosfat fruktosa-6-fosfat
fruktosa-1,6-bifosfat
gliseraldehid-3-fosfat dihidroksi aseton fosfat
gliseraldehid-3-fosfat
bifosfo gliserat
fosfo gliserat fosfo gliserat fosfo enol piruvat
piruvat
asetaldehid etanol
heksokinase
fosfoglukosa isomerase
fosfofrukto kinase
aldolase
triose fosfat isomerase
gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
fosfogliserat kinase
fosfogliserat mutase
enolase
piruvat kinase
piruvat dekarboksilase
alkohol dehidrogenase
10 Diwan, 2007)
asam gliserat kemudian terbentuk asam fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi
triose fosfat isomerase
11 dekarboksilasi, asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang kemudian akan mengalami reaksi oksidasi membentuk etanol.
Penambahan inokulum khamir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya dalam bentuk suspensi atau dalam bentuk kering. Banyaknya suspensi khamir yang ditambahkan dalam fermentasi skala besar sekitar 1-3% (Prescott dan Dunn, 1959), sedangkan Rinaldy (1987) menggunakan konsentrasi inokulum 10%
(v/v).
Komposisi media untuk setiap mikroba berbeda satu sama lain. Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroba adalah sumber karbon, nitrogen, dan mineral terutama fosfat. Pertumbuhan mikrobial dipengaruhi oleh konsentrasi komponen penyusun media pertumbuhannya. Pasokan sumber karbon merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan optimal, tetapi pada kenyataanya konsentrasi sumber karbon mempunyai batas maksimum. Jika konsentrasi sumber karbon melampaui batas maka laju pertumbuhan akan terhambat (Casida, 1968).
Dalam fermentasi skala industri, sumber karbon yang biasa digunakan adalah karbohidrat yang diperoleh dari berbagai jenis pati seperti jagung, serealia, kentang, dan sagu. Sumber karbon lain juga bisa didapatkan dari hasil pertanian yang banyak mengandung selulosa antara lain jerami padi, tongkol jagung, bagas, limbah kayu, dan kertas. Sebelum digunakan, bahan-bahan tersebut harus dihidrolisis lebih dulu baik secara kimia maupun secara enzimatis (Hartoto, 1992).
Sumber nitrogen yang dapat digunakan dalam proses fermentasi diantaranya corn step liqour, ekstrak gandum atau tauge, hidrolisat kasein, dan ekstrak khamir. Vogel (1983) membedakan sumber nitrogen menjadi sumber organik dan anorganik. Yang termasuk sumber nitrogen organik adalah corn step liqour, urea, protein, ekstak khamir dan tepung ikan. Sedangkan sumber nitrogen anorganik adalah amonia, amonium hidroksida dan amonium sulfat.
Menurut Hartoto (1992) sumber nitrogen yang biasa digunakan untuk fermentasi skala besar adalah garam amonium, urea atau amonia. Pemilihan amonium sebagai sumber nitrogen disebabkan oleh faktor ekonomis yaitu harga yang relatif murah dan mudah didapatkan seperti pupuk NPK dan ZA.
12 E. KINETIKA FERMENTASI
Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel, sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya (Reed dan Rehm, 1983). Kinetika fermentasi mempelajari perkembangbiakan mikroba yang ditunjukkan oleh kenaikan konsentrasi biomassa karena konsumsi substrat. Pada saat yang bersamaan dihasilkan produk, baik metabolit primer maupun sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994).
Menurut Bailey dan Olis (1991) fermentasi media cair dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch), fermentasi semi sinambung (fed batch), dan sistem sinambung (continous). Pada fermentasi curah pemanenan dilakukan setelah fermentasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama fermentasi berlangsung.
Fermentasi secara curah, pertumbuhan mikroba secara umum mengikuti pola seperti berikut. Fase lag merupakan masa penyesuaian mikroba sejak inokulum diinokulasi ke dalam media fermentasi. Pada fase lag terjadi pertumbuhan lambat dimana sel mempersiapkan diri mengalami pembelahan sehingga peningkatan jumlah sel berjalan lambat. Cepat atau lambatnya fase lag tergantung kepada kualitas, kuantitas, dan umur kultur yang dinokulasikan (Moat,1988).
Fase eksponensial terjadi pertumbuhan cepat dimana jumlah sel bertambah secara eksponensial terhadap waktu. Menurut Reed dan Rehm (1983) pada fase eksponensial kondisi lingkungan berubah karena substrat dan nutrien dikonsumsi sementara metabolik dihasilkan.
Saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner konsentrasi biomassa mencapai maksimum. Setelah fase tersebut terjadi fase kematian yang ditandai dengan penurunan jumlah individu yang hidup (Bailey dan Olis, 1991).
Saat keadaan lingkungan tetentu pertumbuhan mikrobial dapat dinyatakan dengan persamaan berikut
13 dx = μx-αx
dt Keterangan :
x : konsentrasi sel t : waktu fermentasi
μ : laju pertumbuhan spesifik
α: laju lisis sel yang menghambat pertumbuhan
Pada kondisi yang sesuai maka penurunan massa sel sangat kecil sehingga α dapat diabaikan sehingga persamaan diatas menjadi;
dx= μx dt
Integrasi dari persamaan 2 untuk menghasilkan nilai peningkatan massa sel pada suatu selang waktu tertentu adalah;
x1∫x2 dx = t1∫t2μ dt x
akan diperoleh persamaan;
ln ( x2 ) = μ ∆t atau ln x2 = ln x1 + μ ∆t
laju pertumbuhan spesifik (μ) bersifat tidak konstan tergantung pada kondisi lingkungan fisik kimianya. Nilai maksimum (μmaks) dicapai pada kondisi pasokan substrat dan nutrien masih berlebih serta konsentrasi zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan masih rendah.
Menurut Wang et al. (1979), koefisien hasil sel hidup terhadap sumber karbon dinyatakan sebagai Yx/s, Koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s. Sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Perhitungan yang biasa digunakan untuk proses pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan sel adalah sebagai berikut
Yx/s = ∆X Yp/s = ∆P Yp/x = ∆P ∆S ∆S ∆X
Parameter-paremeter diatas perlu diketahui agar pada fermentasi skala yang lebih besar dapat ditentukan jumlah substrat yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah produk dan biomassa yang tertentu. Informasi tersebut digunakan untuk meningkatkan efisensi fermentasi.