• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. juga dapat menjadi pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. juga dapat menjadi pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II PEMBAHASAN 2.1. Tujuan dan Fungsi Negara

2.1.1 Tujuan Negara

Setiap negara pasti mempunyai suatu tujuan. Tujuan itulah yang menjadi pedoman bagaimana suatu negara terbentuk dan mengatur rakyatnya. Tujuan negara juga dapat menjadi pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan juga menjadi alat pengukur sejauh mana pemerintah berhasil melaksanakan tugas-tugasnya.16 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tujuan negara, diperlukan pendapat-pendapat mengenai tujuan negara dari beberapa ahli.

Lord Shang yang merupakan seorang pemikir dari Tiongkok. Lord Shang berpendapat bahwa tujuan negara adalah membuat pemerintahan negara menjadi berkuasa penuh terhadap rakyatnya. Agar negara dapat berkuasa penuh atas rakyatnya, maka rakyat harus berada dalam kondisi yang lemah dan miskin.17

Menurut Nicollo Machiavelli, tujuan negara adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, ketenteraman. Demi tercapainya kemakmuran, maka pemerintahan harus diperlihatkan sebagai yang paling berkuasa.

Machiavelli menyatakan bahwa negara harus mengejar tujuannya dengan cari yang paling tepat walaupun dengan cari yang paling licik dan agar tercapai tujuan suatu

16 Isharyanto, Ilmu negara, (Karanganyar: Oase Pustaka, 2016), Hal. 82

17 Ibid. Hal. 85

(2)

13

negara terkadang pemerintah harus membuat takut rakyatnya agar rakyat tunduk kepada pemerintah.18

Dante Alghieri yang merupakan filsuf dari Italia berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk menciptakan perdamaian dunia. Karena itu, undang-undang yang seragam bagi umat manusia perlu diciptakan untuk dapat mencapai tujuan tersebut.

Sedangkan menurut John Locke, tujuan negara adalah untuk memenuhi dan melindungi hak-hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi. Apabila hak-hak tersebut dilanggar maka dapat menimbulkan kekacauan di suatu negara.19

Menurut Immanuel Kant, negara mempunyai tujuan untuk menegakkan hak dan kebebasan warganya yang telah diatur dalam hukum. Pemerintah dan rakyat merupakan subjek hukum dan sebagai subyek hukum, keduanya harus tunduk dan patuh kepada hukum. Kehidupan rakyat dalam suatu negara bukan atas kemurahan hati pemerintah tetapi karena kemampuan diri sendiri untuk hidup.20

2.1.2 Fungsi Negara

Fungsi negara sangat diperlukan untuk mencapai tujuan suatu negara. Menurut Miriam Budiardjo, negara harus menyelenggarakan beberapa fungsi mutlak, yaitu21:

18 Ibid.

19 Ibid. Hal. 86

20 Ibid. Hal. 86-87

21 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), Hal. 55- 56

(3)

14

a. Melaksanakan penertiban, untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban, dapat dikatakan negara melaksanakan fungsi stabilisator.

b. Mengusahakan kesejahteraan kemakmuran rakyat.

c. Pertahanan, untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, negara harus dilengkapi dengan perlengkapan pertahanan.

d. Menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.

Charles E. Merriam mengatakan bahwa fungsi negara yaitu22: a. Keamanan

b. Ketertiban c. Keadilan

d. Kesejahteraan Umum e. Kebebasan

Sedangkan menurut Jacobsen dan Lipman dalam bukunya yang berjudul Political Science, mengatakan bahwa fungsi negara adalah fungsi esensial, yakni fungsi yang diperlukan demi kelanjutan negara; Fungsi Jasa, yakni seluruh aktifitas yang mungkin tidak akan ada apabila tidak diselenggarakan oleh negara, dan fungsi perniagaan.23

Francis Fukuyama menyatakan bahwa terdapat fungsi negara yang meliputi24:

22 Ibid.

23 I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara, (Malang: Setara Press, 2012), Hal. 54.

24 Ibid. Hal. 57

(4)

15

a. Fungsi minimal yang berupa penyediaan kebutuhan publik, meningkatkan keadilan.

b. Fungsi menengah yang berupa penanganan persoalan-persoalan eksternal, mengatur monopoli, memperbaiki kualitas informasi dan menyediakan asuransi sosial.

c. Fungsi aktivis yang mengkoordinasi aktivitas swasta, redistribusi aset.

2.2. Konsep Welfare State

2.2.1 Definisi Welfare State

Pemahaman awal untuk mengetahui apakah layanan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (yang selanjutnya dalam skripsi ini disingkat sebagai BPJS), diperlukan pemahaman lebih detail mengenai konsep tentang Welfare State sebagai konsep dasar atas layanan jaminan sosial.

Welfare State sendiri jika diterjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia berarti Negara Kesejahteraan. Konsep Welfare State memiliki arti negara yang bertanggung jawab atas warga negaranya, yaitu dengan menyejahterakan rakyatnya melalui pelayanan, bantuan, perlindungan dan pecegahan masalah-masalah sosial.25 Menurut Husodo, Negara Kesejahteraan (welfare state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab dalam menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya.26

25 Hadiyono, “INDONESIA DALAM MENJAWAB KONSEP NEGARA WELFARE STATE dan TANTANGANNYA”, Jurnal Hukum Politik dan Kekuasaan, Vol.1, No.1, Agustus 2020, Hal. 23

26 Oman Sukmana, “Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan”, Jurnal Sospol, Vol.2, No.1, Juli 2016, Hal. 107

(5)

16

Sedangkan menurut the Concise Oxford Dictionary of Politics, welfare state didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana pemerintah menyatakan diri bertanggung jawab untuk menyediakan jaminan sosial dan ekonomi bagi penduduk melalui sarana pensiun, tunjangan jaminan sosial, dan layanan kesehatan gratis dan semacamnya.27

Jadi berdasarkan penjabaran konsep Welfare State di atas, dapat disimpulkan bahwa negara yang menganut welfare state memiliki peran penting dalam menjamin kehidupan rakyatnya dalam bidang sosial dan ekonomi. Tanggung jawab tersebut dapat berupa layanan kesehatan, tunjangan jaminan sosial, dana pensiun dan lain-lain.

2.2.2 Prinsip Welfare State

Menurut Esping-Anderson terdapat empat prinsip dalam negara kesejahteraan (welfare state): (1) pengakuan terhadap hak-hak sosial yang melekat pada tiap-tiap warganegara (social citizenship); (2) demokrasi yang menyeluruh (full democracy);

(3) relasi system social-ekonomi berbasis industry modern; (4) hak untuk mendapatkan pendidikan dengan perluasan system pendidikan modern secara masif.28

2.2.3 Ciri-Ciri Welfare State

Adapun ciri-ciri dari Welfare State sendiri adalah sebagai berikut: (1) Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politika dipandang tidak prinsipiil lagi.

Pertimbangan-pertimbangan effisiensi lebih penting daripada pertimbangan- pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan organ-organ eksekutif lebih

27 Alfitri, “Ideologi Welfare State dalam Dasar Negara Indonesia: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional”, Jurnal Konstitusi, Vol.9, No.3, September 2012, Hal. 454

28 Oman Sukmana, op.cit. Hal. 114

(6)

17

penting daripada organ-organ legislatif. (2) Peranan negara tidak terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi negara secara aktif berperan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang sosial, ekonomi, budaya.

Sehingga perencanaan (planning) merupakan alat yang penting dalam Welfare State.

(3) Welfare State merupakan negara hukum materiil yang mementingkan keadilan sosial dan bukan persamaan formil. (4) Dalam Welfare State, hak milik tidak dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, ini berarti ada batas-batas dalam kebebasan penggunaannya. (5) Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin mendesak, hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.29

Menurut Mac Iver, negara kesejahteraan (welfare state) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Dalam negara hukum kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat; (2) Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutama-kan daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar daripada peran legislatif; (3) Hak milik tidak bersifat mutlak; (4) Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi; (5) Kaidahkaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara; (6) Peran hukum publik

29 Green Mind Community, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Total Media, 2009), Hal. 75

(7)

18

condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi semakin luasnya peran negara; (7) Lebih bersifat negara hukum materiil yang mengutamakan keadilan sosial yang materiil.30

2.2.4 Model Welfare State

Dalam praktiknya, ada beberapa model dari Welfare State diantaranya31:

1. Model Institusional (Universal) Model istitusional ini juga disebut dengan model Universal maupun The Scandinavia Welfare State (dipengaruhi oleh paham liberal). Model ini memandang bahwa kesejahteraan adalah merupakan hak seluruh warga negara, sehingga pelayanan dilakukan secara tetap serta tidak lagi memandang kedudukan sosial dan ekonomi masyarakat. Model ini kemudian diterapkan di negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Norwegia dan Denmark.

2. Model Koorporasi (Bismarck) Model ini seperti model Institution/universal, dan sistem jaminan sosialnya juga dilakukan secara melembaga dan luas, tetapi yang cukup memberi perbedaan adalah kontribusi terhadap berbagai jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha dan buruh (pekerja). Dimana pelayanan jaminan sosial diselenggarakan oleh negara dan diberikan kepada mereka yang bekerja atau yang mampu memberikan konstribusi

30 Mac Iver, The Modern State, (London: , Oxford University Press, 1926), Hal. 4

31 Hadiyono, op.cit. Hal 26

(8)

19

melalui skema asuransi. Konsep ini dianut oleh negara-negara Jerman dan Austria.

3. Model Residual. Model seperti ini, menerapkan pelayanan yang selektif dan dipengaruhi paham konservatif dan didorong oleh idielogi Neo- liberal dan pasar bebas. Negara memberi pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, dan ini diberikan terutama kepada kelompok- kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), yaitu kelompok orang miskin, penganggur, penyandang cacat, dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Model ini model institusional/universal yang memberikan pelayanan sosial berdasar hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Tetapi seperti di jalankan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif kecil dan berjangka pendek dari pada model institusion/universal. Perlindungan sosial dan pelayanan secara temporer dan diberikan secara ketat dan efisien, serta dalam waktu singkat. Jika sudah dirasa cukup akan segera diberhentikan. Model ini dianut oleh negara-negara Aglo-Saxson meliputi Inggris, Amerika Serikat, Australia dan New Seland.

4. Model Minimal. Model minimal ini ditandai dengan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Progam jaminan sosial dan kesejahteraan diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Model ini pada

(9)

20

umumnya memberikan anggaran sangat kecil dalam belanja sosial, karena negara tersebut masih tergolong negara miskin atau bahkan tidak memiliki political will terhadap pembangunan dibidang sosial, sehingga pelayanan sosial diberikan secara sporadis, temporal dan minimal.

Model ini dianut oleh negara-negara latin seperti; Brazil, Italia, Spanyol, Chilie, sedangkan di kawasan Asia seperti negara Srilanka, Filipina, Korea Selatan.

Menurut Henry Thomas Simarmata di dalam bukunya, terdapat 3 model utama negara kesejahteraan, yaitu 1) model konvensional, 2) model sosio demokrat, dan 3) model liberal. Dalam model konvesional, ditekankan bahwa semua biaya jaminan sosial ditanggung Negara, sedangkan dalam model sosio democrat terdapat gabungan antara asuransi sosial dan bantuan Negara. Sedangkan pada model liberal, jaminan sosial seluruhnya didasarkan pada asuransi murni oleh warga negara.32

2.3. Konsep Hukum Jaminan Sosial

2.3.1 Definisi Hukum Jaminan Sosial

Menurut International Labour Organization (ILO), Jaminan Sosial (Social security) dapat diartikan sebagai “the protection that a society provides to individuals and households to ensure access to health care and to guarantee income security, particularly in cases of old age, unemployment, sickness, invalidity, work injury,

32 Simarmata, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijkan dan Perbandingan Pengalaman, (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), Hal. 31-33

(10)

21

maternity or loss of a breadwinner.”33 Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa Jaminan Sosial merupakan suatu Perlindungan yang diberikan negara kepada rakyatnya yang bertujuan menjamin kesehatan, pendapatan, pekerjaan, perlindungan hari tua.

Sedangkan menurut International Social Security Association, Jaminan Sosial (Social Security) dapat diartikan “as any social protection program provided for in legislation, or any other enforced arrangement which provides individuals with a degree of income security when facing emergency situations related to aging, disability, or unemployment, and provides access to curative or preventive medical care”.34 Dari definisi Jaminan Sosial di atas, dapat dipahami bahwa Jaminan Sosial sebagai program perlindungan sosial yang diberikan negara terhadap warganya untuk menghadapi situasi darurat seperti, masalah kesehatan, masalah pekerjaan, hari tua, masalah keterbatasan.

Dari kedua definisi di atas, Jaminan Sosial dapat dimaknai sebagai tanggung jawab dari negara terhadap warganya untuk melindungi warganya dari masalah- masalah sosial-ekonomi. Perlindungan terhadap masalah sosial-ekonomi tersebut dapat berupa: Perlindungan terhadap warga negara yang kehilangan pekerjaan dan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan, menjamin kesehatan setiap warga negaranya, Perlindungan terhadap warga negara yang memiliki keterbatasan, perlindungan hari

33 International Labour Organization (ILO), Facts on Social Security, Hal.1

34 Abeir Imneina, Social Security Laws in Libya: A Gender -Based Perspective, (Libya: Friedrich- Ebert-stiftung), Hal.8

(11)

22

tua. Perlindungan-perlindungan tersebut bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak untuk warga negara.

2.3.2 Prinsip Umum Jaminan Sosial

Dalam jaminan sosial terdapat beberapa prinsip umum, diantaranya sebagai berikut35:

1. General Responsibility of State (Tanggung Jawab Umum Negara) The general responsibility of the State for the proper administration of social security institutions is one of the rules set forth in Convention ILO No. 102. Irrespective of the administrative system chosen, the State has to take general responsibility for the proper administration of the institutions and services concerned in securing the protection envisaged in the Conventions. The responsibility of the State also covers the provision of benefits.

Prinsip di atas menjelaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam hal administrasi dari lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan Jaminan Sosial. Negara juga berkewajiban memberikan perlindungan dalam bentuk jaminan sosial sebagaimana mestinya sesuai dengan konvensi ILO No. 102.

2. Participation of Insured Persons (Keikutsertaan dari orang yang diasuransikan)

35 Martin Humblet, Standart of The XXI Century: Social Security (Geneva: International Labour Organization, 2002) Hal. 12-13

(12)

23

The administration is not entrusted to an institution regulated by the public authorities or to a government department responsible to a legislature, the representatives of the persons protected must participate in its management or be associated therewith in a consultative capacity.

Prinsip ini menjelaskan bahwa selain negara, peserta juga harus memiliki perwakilan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Jaminan Sosial dalam kapasitas konsultatif.

3. Financing of Benefits (Pembiayaan Manfaat)

Convention ILO No. 102 confines itself to setting forth principles concerning the financial guarantees of social security systems. The cost of the benefits envisaged by the Convention and the cost of the administration of such benefits must be borne collectively by way of insurance contributions or taxation, or both. The Convention also contains certain provisions relating to the sharing of the financial burden. In general, the methods of financing must avoid hardship to persons with meagre resources and take into account the economic situation of the country and of the persons protected.

Prinsip ini menjelaskan bahwa sistem pembiayaan Jaminan Sosial dilakukan dengan cara ditanggung bersama melalui kontribusi asuransi, atau perpajakan, atau keduanya.

(13)

24

2.4. Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia merupakan negara yang menganut konsep welfare state. Konsep welfare state sendiri tertulis di dalam alinea ke-4 pembukaan UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Alinea ke-4 pembukaan UUD NRI 1945 memerintahkan Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan umum, artinya pemerintah diwajibkan untuk selalu berupaya mencapai kesejahteraan. Hal ini merupakan amanat dari alinea ke-4 yang tidak dapat diabaikan oleh pemerintah.36 Selain itu, di dalam alinea ke-4 juga terdapat Pancasila yang di dalam sila ke-5 menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika

36 Hadiyono, op.cit, Hal. 28

(14)

25

dimaknai dalam bidang sosial-ekonomi maka rakyat berhak diperlakukan secara adil secara sosial-ekonomi agar mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya.37

Selain tertulis di dalam alinea ke-4 pembukaan UUD NRI 1945, konsep welfare state juga terdapat di dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Pasal-Pasal tersebut antara lain;

1. Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Dalam pasal ini dinyatakan jelas bahwa jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara dan setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan sosial yang layak dari negara agar setiap warga negara dapat berkembang menjadi manusia yang bermartabat.38

2. Pasal 34 ayat (2) yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Pasal ini mengamanatkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh warga negara agar mendapatkan hak untuk hidup yang layak, dan negara juga wajib memberikan perlindungan kepada

37 Elviandri, “Quo Vadis Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Ideologi Welfare State Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia”, Mimbar Hukum Vol. 31, No. 2, Juni 2019, Hal. 261

38 Ibid.

(15)

26

masyarakat yang lemah agar memperoleh hak untuk hidup layak yang sama.39

3. Pasal 34 ayat (3) berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Dalam pasal ini, negara memiliki kewajiban untuk membangun dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum lainnya yang dapat digunakan oleh warga negara agar dapat meningkatkan kualitas hidup layak.40

Konstitusi secara jelas menginginkan terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia, dimana negara menganugerahkan hak sosial-ekonomi secara luas kepada setiap warga negara.41

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengandung nilai-nilai yang mengarah kepada pembentukan negara kesejahteraan (welfare state) dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu42:

1. Mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik;

2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata;

3. Mengurangi kemiskinan;

4. Menyediakan asuransi sosial bagi masyakarat yang kurang mampu;

39 Ibid. Hal. 29

40 Ibid. Hal. 29

41 Elviandri, Op.cit

42 Marilang, Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang Tambang, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 2, Juni 2012, Hal. 267.

(16)

27

5. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial;

6. Memberi perlindungan sosial terhadap setiap warga negara.

Tujuan-tujuan tersebut dimaksudkan agar pemerintah dapat mengambil langkah strategis dalam menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat. Tujuan-tujuan tersebut juga pada hakikatnya merupakan bagian yang menjadi tujuan akhir dari negara kesejahteraan (welfare state) yaitu menciptakan kesejahteraan untuk rakyat yang sebesar-besarnya.43

2.5. Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2.5.1 Definisi Sistem Jaminan Sosial Nasional

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.44 Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberi perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan, menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun.

2.5.2 Asas-Asas Sistem Jaminan Sosial Nasional

43 Ibid.

44 Pasal 1 angka 1 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(17)

28

UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial mengatakan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam penyelenggaraannya didasarkan pada beberapa asas yaitu45:

1. Asas Kemanusiaan

Asas Kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia.

2. Asas Manfaat

Asas Manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif.

3. Asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Asas Keadilan merupakan asas yang bersifat berdasarkan hukum (idiil) 2.5.3 Prinsip-Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam penyelenggaraannya didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut46:

1. Prinsip Kegotong-royongan adalah prinsip kebersamaan anggota untuk menanggung beban biaya jaminan sosial. Prinsip ini dilaksanakan dengan cara pembayaran iuran sesuai dengan penghasilan.

2. Prinsip Nirlaba adalah prinsip pengelolaan usaha yang tujuan utamanya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh peserta.

45 Penjelasan pasal 2 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

46 Penjelasan pasal 4 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(18)

29

3. Prinsip Keterbukaan adalah prinsip yang memudahkan peserta untuk mengakses informasi dengan lengkap, benar dan jelas.

4. Prinsip Kehati-hatian adalah prinsip untuk mengelola dana secara teliti, cermat, aman dan tertib.

5. Prinsip Akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Prinsip Portabilitas adalah prinsip memberikan jaminan berkelanjutan kepada peserta walaupun peserta sudah berpindah pekerjaan, tempat tinggal yang masih berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Prinsip Kepesertaan bersifat wajib adalah prinsip yang mengharuskan kepada seluruh penduduk untuk menjadi peserta jaminan sosial.

8. Prinsip Dana amanat adalah iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan bagi kepentingan peserta jaminan sosial.

9. Prinsip Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan untuk mengembangkan program jaminan sosial dan kepentingan peserta adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan perserta jaminan sosial.

2.5.4 Sejarah Sistem Jaminan Sosial Nasional A. Sejarah BPJS Kesehatan

(19)

30

Jika dilihat dari sejarahnya, program jaminan sosial sudah dikenal sejak sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1936 yang memberikan jaminan kesehatan pada seluruh pegawai pemerintahannya hingga tahun 1945.47 Pada tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda, program jaminan sosial untuk masyarakat khususnya pegawai negeri sipil tetap dilanjutkan oleh Prof. G.A.

Siwabessy yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Prof.

G.A Siwabessy juga mengajukan gagasan untuk menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance) yang pada saat itu mulai diterapkan oleh banyak negara maju.48

Di tahun 1960, pemerintah mengenalkan konsep asuransi kesehatan dalam bentuk “dana sakit” untuk seluruh rakyat melalui UU Pokok Kesehatan namun gagal dilaksanakan. Selanjutnya pada tahun 1967, Menteri Tenaga Kerja melalui Surat Keputusannya, menetapkan iuran sebesar 6% (dengan rincian: 5% dibayar oleh majikan dan 1% dibayar oleh karyawan), tetapi dalam penerapannya pun tidak cukup berhasil.49

Pada tahun 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1 Tahun 1968 yang tujuannya untuk membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK). Badan

47 Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudkan Amanat Konstitusi, (Jakarta: Kompas, 2011), Hal. 28

48 BPJS Kesehatan, Sejarah Perjalanan Jaminan Sosial di Indonesia, diakses dari https://bpjs- kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2013/4, pada tanggal 10 Oktober 2021, pukul 10.30.

49 Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Hal. 56-57.

(20)

31

Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan berperan untuk mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun beserta keluarganya.50

Pada tahun 1984, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 22 dan 23 Tahun 1984. Peraturan tersebut bertujuan untuk mengubah status BPDPK dari sebuah badan di lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN yang bernama Perum Husada Bhakti (PHB).

Perum Husada Bhakti (PHB) bertujuan untuk melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan dan anggota keluarga. Pada tahun 1992, PHB berubah menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1992.51

Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No. 40 tahun 2004 merupakan amanat dalam alinea ke-IV pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan seperti yang tertuang di dalam Pasal 34 ayat (2), yaitu: “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu dengan martabat kemanusiaan”. Muatan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945

50 BPJS Kesehatan, op.cit.

51 Ibid.

(21)

32

tersebut terwujud dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.52

Pada tahun 2005, PT Askes dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin.

Program Askeskin bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat. PT Askes juga membentuk program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU) yang bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan untuk masyarakat umum yang belum tercover oleh Jamkesmas, Askes Sosial dan asuransi swasta.

Pada tahun 2011 pemerintah menetapkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Undang- Undang BPJS dibentuk sebagai wujud dari pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pembentukan Undang-Undang BPJS berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial yang menyatakan bahwa BPJS harus dibentuk melalui Undang-Undang.

Setelah diterbitkannya UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), pemerintah menunjuk PT

52 Ibid.

(22)

33

Askes sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan dan PT Askes pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.53

B. Sejarah BPJS Ketenagakerjaan

BPJS Ketenagakerjaan memiliki sejarah yang cukup panjang.

Diawali dengan dibentuknya UU No. 33 tahun 1947 jo UU No. 2 tahun 1951 tentang kecelakaan kerja. Pada tahun 1956, pemerintah melalui Kementerian Perburuhan mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48 tahun 1952 jo PMP No. 8 tahun 1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh. Pada tahun 1957 pemerintah melalui Kementerian Perburuhan mengeluarkan PMP No. 15 tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, dan Pada tahun 1964 Kementerian Perburuhan mengeluarkan PMP No. 5 tahun 1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS).54

Pada tahun 1969, Pemerintah mengeluarkan UU No.14 tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja. Diberlakukannya Undang-Undang Pokok Tenaga Kerja membuat proses lahirnya asuransi sosial untuk tenaga kerja nyata. Setelah mengalami kemajuan dalam proses hukum ketenagakerjaan, pada tahun 1977 Presiden Soeharto mengeluarkan

53 Ibid.

54 BPJS Ketenagakerjaan, Sejarah JAMSOSTEK, diakses dari

https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/tentang-kami.html, pada tanggal 10 Oktober 2021, pukul 11.30.

(23)

34

Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK). ASTEK mewajibkan kepada setiap pemberi kerja (pengusaha swasta dan BUMN) untuk mengikuti program ASTEK. Pada tahun 1977 juga pemerintah mengeluarkan PP No. 34 tahun 1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.55

Setelah Perum Astek beroperasi cukup lama, Pada tahun 1992 pemerintah mengesahkan UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 36 tahun 1995 yang menetapkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan keluarganya dengan cara memberikan kepastian dengan adanya penerimaan penghasilan sebagai pengganti dari penghasilan yang hilang akibat kecelakaan kerja.56

Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No. 40 tahun 2004 merupakan amanat dalam alinea ke-IV pembukaan UUD NRI 1945 dan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945. Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

55 Ibid.

56 Ibid.

(24)

35

Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang BPJS merupakan perwujudan dari Undang-Undang SJSN. Pada tahun 2014, PT. Jamsostek berubah menjadi BPJS ketenagakerjaan dan dipercayakan untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT).57

Pada tahun 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK No. 72/PUU-XVII/2019. Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya menyatakan bahwa peleburan PT. TASPEN ke dalam BPJS Ketenagakerjaan menimbulkan kerugian konstitusional apabila PT.

TASPEN dileburkan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan. Ketidakpastian masa depan Program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun yang selama ini diselenggarakan PT. TASPEN yang akan menimbulkan kerugian konstitusional yang terdapat dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945 apabila PT. TASPEN tetap dileburkan ke dalam BPJS.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya juga menyatakan bahwa Pasal 57 huruf f yang berbunyi “pada saat undang-undang ini berlaku:

Perusahaan Perseroan (Persero) PT DANA TABUNGAN DAN ASURANSI PEGAWAI NEGERI atau disingkat PT TASPEN (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981

57 Ibid.

(25)

36

tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.” dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial yang berbunyi “PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.” Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga PT. TASPEN dinyatakan dibatalkan peleburannya ke dalam BPJS ketenagakerjaan.

Di tahun yang sama Mahkamah Konstitusi juga kembali mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 57 huruf e UU No. 24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: PT. ASABRI yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No.

68 tahun 1991 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Perseroan, tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program

(26)

37

Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Program Pembayaran Pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.” Dan Pasal 65 ayat (1) UU No. 24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial yang berbunyi “PT ASABRI menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Program Pembayaran Pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.” Berpotensi merugikan hak Anggota Aktif dan Pensiunan TNI dan Polri terkait dengan penerimaan manfaat atas jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, tabungan hari tua/jaminan hari tua, dan jaminan pensiun yakni manfaat yang diterima para Pemohon saat menjadi peserta Porgram Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan berkurang. Pasal tersebut juga bertentangan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan PT ASABRI dibatalkan peleburannya ke dalam BPJS Ketenagakerjaan.

2.5.5 Fungsi Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sistem Jaminan Sosial Nasional memiliki fungsi sebagai berikut58:

58 Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Buku Tanya-Jawab Seputar Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Ketenagakerjaan, (Jakarta: Kemenko PMK, 2016), Hal. 3-4

(27)

38

1. Instrumen Negara untuk pencegahan kemiskinan serta pemberdayaan masyarakat miskin dan tidak mampu;

2. Instrumen Negara untuk penciptaan pendapatan hari tua bagi peserta, karena iuran jaminan hari tua pada dasarnya merupakan penangguhan sebagian pendapatan di usia produktif untuk dibayarkan pada hari tua;

3. Instrumen Negara untuk redistribusi pendapatan dari peserta berpendapatan tinggi kepada peserta berpendapatan rendah melalui ketentuan besaran iuran yang ditetapkan sesuai tingkat pendapatan untuk manfaat yang sama, serta adanya bantuan iuran bagi masyarakat miskin;

4. Instrumen Negara untuk meminimalisasi peredaran uang di masyarakat (uang primer) untuk tujuan investasi jangka panjang melalui penguncian dana publik oleh program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP);

5. Instrumen Negara sebagai pengikat berdirinya Negara Republik Indonesia karena adanya kepastian pemenuhan kebutuhan hidup dasar yang layak untuk mewujudkan persatuan bangsa dan kesejahteraan sosial.

(28)

39

2.5.6 Landasan Filosofis Sistem Jaminan Sosial Nasional

Dalam penyusunan Sistem Jaminan Sosial Nasional, dilandaskan oleh beberapa hal berikut59:

1. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional berlandaskan kepada hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional setiap warga negara.

2. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah wujud dari tanggung jawab Negara dalam pembangunan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

3. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memungkinkan setiap warga negara Indonesia mampu mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.

4. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan asas kemanusiaan dan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia.

5. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

2.5.7 Landasaran Yuridis Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional Landasan yuridis pelaksanaan SJSN adalah Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945. Amanat Konstitusi tersebut dilaksanakan dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Pasca Putusan

59 Ibid. Hal.4-5

(29)

40

Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 007/PUUIII/2005, Pemerintah bersama DPR mengundangkan sebuah peraturan pelaksanaan UU SJSN setingkat Undang-Undang yaitu UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (UU BPJS). Peraturan Pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS mencakup Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Lembaga.60

2.5.8 Landasan Sosiologis Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional Paradigma hubungan antara penyelenggara Negara dengan warganya mengalami perubahan yang sangat fundamental sejak reformasi ketatanegaraan pada tahun 1998. Selama pemerintahan Orde Baru (ORBA), hubungan antara penyelenggara Negara dengan warganya berorientasi kepada Negara (state-oriented).

Semenjak era reformasi, hubungan tersebut berubah menjadi berorientasi kepada Rakyat (people-oriented). Warga Negara sudah tidak dipandang lagi sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mereka. Negara tidak lagi menguasai penyelenggaraan urusan-urusan mengenai pelayanan publik, akan tetapi peran Negara adalah mengatur dan mengarahkan.

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh hukum.

Salah satu diantaranya adalah hukum jaminan sosial. Pemerintah membentuk dan mengundangkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

60 Ibid. Hal.5-7

(30)

41

untuk menyikapi perkembangan kehidupan di masyarakat dan menyerap aspirasi, dan cita-cita hukum masyarakat. Penyelenggaraan program jaminan sosial diubah secara mendasar dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip dana amanat diberlakukan. Dana dikumpulkan dari iuran peserta sebagai dana titipan kepada BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.61

2.5.9 BPJS Sebagai Wujud Pelaksanaan SJSN

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah program dari negara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Sebagai bentuk dari perwujudan pelaksanaan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, negara membentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).62 Pembentukan BPJS juga diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Kewenangan menyelenggarakan sistem jaminan sosial bukan merupakan kewenangan penuh Pemerintah (Pusat), sebab jika diartikan demikian, hal itu akan bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup Pemerintah (Pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945.”

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa “Kewenangan menyelenggarakan sistem jaminan sosial juga tidak sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah daerah, apabila kewenangan tersebut dimiliki penuh oleh pemerintah daerah maka kemunginan besar

61 Ibid. Hal.7-8

62 Bagian Menimbang UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

(31)

42

terjadi keadaan di mana hanya daerah-daerah tertentu saja yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial dan tidak menjamin bahwa jaminan sosial tersebut cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak di setiap daerah. Keadaan demikian bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan 34 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menghendaki hak atas jaminan sosial yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.”

Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, BPJS harus dibentuk dengan Undang-Undang. Pembentukan BPJS sendiri didasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya ditujukan untuk pengembangan program dan sebesar- besarnya untuk kepentingan peserta.

BPJS sendiri terbagi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Kesehatan berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS kesehatan membutuhkan peran aktif dari masyarakat sendiri untuk mendaftarkan diri menjadi peserta dalam BPJS Kesehatan.63 BPJS Ketenagakerjaan berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun dan program jaminan hari tua. BPJS Ketenagakerjaan merupakan program jaminan sosial yang memberikan perlindungan

63 Arif Budiono, Kebijakan Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional Melalui BPJS dengan Sistem Asuransi, Jurnal Law Pro Iustitia, Vol. 2, No. 1, Desember 2016, Hal. 59

(32)

43

kepada tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi. BPJS Ketenagakerjaan merupakan penggabungan dari PT. Jamsostek dan PT. ASKES. Program jaminan sosial dalam bidang ketenagakerjaan juga diperlukan peran aktif dari pekerja atau pemberi kerja untuk mendaftarkan diri dalam BPJS Ketenagakerjaan.64

2.6. Tanggung Jawab Negara Terhadap Jaminan Sosial Menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa hakikat dari tujuan negara adalah melindungi hak-hak asasi seluruh warga negara, Oleh karena itu pada hakikatnya keberadaan sebuah negara memiliki beberapa fungsi untuk65:

a. Melaksanakan penertiban, untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban, dapat dikatakan negara melaksanakan fungsi stabilisator.

b. Mengusahakan kesejahteraan kemakmuran rakyat.

c. Pertahanan, untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, negara harus dilengkapi dengan perlengkapan pertahanan.

d. Menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.

Berbicara mengenai upaya menyejahterakan seluruh rakyat, negara memiliki tugas untuk66:

a. Menyediakan kebutuhan publik dan meningkatkan keadilan.

64 Ibid.

65 Miriam Budiarjo, Op.cit, Hal.55-56

66 I Dewa Gede Atmajda, Op.cit, Hal. 54

(33)

44

b. Melakukan pengaturan hukum guna melakukan penanganan persoalan- persoalan yang ada seperti: mengatur monopoli, memperbaiki kualitas informasi dan menyediakan asuransi sosial.

c. Mengkoordinasi aktivitas swasta, redistribusi aset.

Dengan adanya tugas-tugas diatas secara nyata terlihat bahwa negara memiliki tanggung jawab hukum untuk menyejahterakan rakyatnya melalui pelayanan, bantuan, perlindungan dan pencegahan masalah-masalah sosial yang salah satunya menyediakan jaminan sosial dan ekonomi bagi penduduk. Hal ini dikenal dengan istilah konsep negara kesejahteraan (Welfare State). Jika melihat penerapan konsep tersebut, wujud pembangunan Kesejahteraan Sosial khususnya di negara Barat diaktualisasikan dalam bentuk penyediaan berbagai tunjangan dan fasilitas bagi individu-individu penyandang masalah sosial seperti melalui sarana pensiun, tunjangan jaminan sosial, dan layanan kesehatan gratis, jaminan bagi pengangguran, gelandangan dan semacamnya.67

UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara telah mengamanatkan negara untuk menyelenggarakan dan mengembangkan sistem jaminan sosial kepada seluruh warga negara yang tertuang dalam pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945. Hal ini dikuatkan dengan adanya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional, dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial yang mengatur lebih lanjut mengenai penyelenggaraan jaminan sosial.

Namun dalam putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 menegaskan bahwa dalam

67 Naskah Komprehensif, Op.cit. Hal. 39

(34)

45

pengembangan sistem jaminan sosial, negara tidak diwajibkan untuk menganut sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial yang dijalankan. Hal ini disebabkan karena Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945 hanya menentukan kriteria konstitusional yang merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara. Sistem yang dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Jadi sistem apapun yang dianut oleh negara dalam pengembangan jaminan sosial harus dianggap konstitusional sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. MK juga menegaskan bahwa jaminan sosial tersebut dapat dilakukan melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan pajak dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing.

Apabila negara memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional, maka negara pun memiliki tanggung jawab yang melekat dalam hal mengembangkan sistem jaminan sosial. Tanggung jawab negara dalam hal mengembangkan jaminan sosial adalah membentuk badan penyelenggaraan jaminan sosial (BPJS). Pembentukan BPJS sendiri bertujuan agar sistem jaminan sosial nasional dapat terlaksanakan dengan efektif.

Tanggung jawab negara juga bukan sekedar membentuk BPJS, tetapi negara juga bertanggung jawab untuk menjamin bahwa rakyat memperoleh jaminan sosial

(35)

46

secara adil sebagai bentuk pemenuhan hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Jaminan sosial sendiri merupakan hak asasi manusia yang tertuang di dalam pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”

2.7. Analisis Jaminan Sosial di Indonesia Terhadap Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Sebelum masuk kedalam pembahasan pada poin ini, perlu ditegaskan bahwa didalam praktek diketahui ada beberapa model utama welfare state, yaitu model konvensional, model sosio demokrat, dan model liberal. Dalam model konvesional, ditekankan bahwa semua biaya jaminan sosial ditanggung Negara, sedangkan dalam model sosio democrat terdapat gabungan antara asuransi sosial dan bantuan Negara.

Sedangkan pada model liberal, jaminan sosial seluruhnya didasarkan pada asuransi murni oleh warga negara. Dari ketiga model tersebut, Negara Republik Indonesia paling mendekati model negara kesejahteraan sosial demokrat, dimana menggabungkan antara asuransi yang dibayar oleh warga negara yang mampu, tapi ada juga bantuan dari negara. Namun perlu diketahui bahwa di dalam UUD NRI 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menentukan model apa yang dipilih.68

68 Muchamad Ali, Keterangan Ahli dalam Putusan MK No 138/PUU-XII/2014, Hal. 48-50

(36)

47

Jaminan Sosial merupakan salah satu upaya negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat dalam bidang sosial-ekonomi. Dengan adanya jaminan sosial di Indonesia, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.69

Jaminan Sosial di Indonesia merupakan amanat dari konstitusi, khususnya pasal 28H ayat (3) yang merupakan hak warga negara atas jaminan sosial dan pasal 34 ayat (2) yang merupakan kewajiban negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial.

Mengenai sistem yang digunakan dalam jaminan sosial tidak secara spesifik dijelaskan di dalam UUD NRI 1945. Pemilihan sistem yang digunakan dalam jaminan sosial juga ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005.

Dalam Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa meskipun di dalam UUD NRI 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial tetapi UUD NRI 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD NRI 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun

69 Penjelasan Umum UU No. 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(37)

48

yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Jaminan sosial dapat dilakukan baik melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan pajak, dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing, dan oleh karena Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 hanya menentukan bahwa sistem jaminan sosial yang wajib dikembangkan oleh negara harus mencakup seluruh rakyat dan meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara Republik Indonesia yang dalam hal ini melalui UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah memilih sistem asuransi sosial yang di dalamnya juga terkandung unsur bantuan sosial. MK juga telah berpendapat bahwa apapun sistem jaminan sosial yang dipilih oleh negara, selama sistem itu mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan, maka sistem tersebut dianggap memenuhi ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Jadi jaminan sosial di Indonesia dianggap sesuai dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state) karena konsep negara kesejahteraan sendiri terkandung di dalam UUD NRI 1945. Walaupun di dalam UUD NRI 1945 sendiri tidak secara tegas disebutkan model apa yang digunakan dalam melaksanakan jaminan sosial

(38)

49

tetapi selama jaminan sosial dapat mencakup seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, maka jaminan sosial tetap dianggap sesuai dengan konsep negara kesejahteraan.

2.8. Analisis Pengaturan Jaminan Sosial Dalam UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Terhadap UUD NRI 1945

Pengaturan Jaminan Sosial dalam Undang-Undang BPJS dan peraturan pelaksanaan lainnya sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh konstitusi, khususnya yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945 yang merupakan kewajiban negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial yang menyeluruh dan Pasal 28H ayat (3) yang merupakan hak asasi setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan sosial yang layak. Adapun dasar argumen penulis terkait hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. BPJS Merupakan Wujud Dari Pelaksanaan Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) Yang Terdapat Dalam UUD NRI 1945

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.

007/PUU-III/2005 berpendapat bahwa jika dilihat secara historis, cita-cita negara yang tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, tidak terlepas dari arus utama pemikiran yang berkembang pada saat UUD NRI 1945 disusun, pemikiran tersebut dikenal sebagai Konsep negara kesejahteraan (welfare state). konsep negara kesejahteraan sendiri adalah konsep negara yang mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Salah satu bentuk dari

(39)

50

kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya adalah dengan mengembangkan sistem jaminan sosial nasional untuk rakyat.

Salah satu cara negara untuk mewujudkan konsep negara kesejahteraan yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial nasional yang merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.70 Program negara tersebut dimulai dengan membentuk UU No 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam rangka untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang sudah dibentuk negara melalui UU SJSN, negara juga perlu membentuk suatu badan penyelenggara untuk menyelenggarakan jaminan sosial. Pembentukan Badan penyelenggara tersebut dimulai dengan pembentukan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pembentukan UU BPJS tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) UU SJSN. Badan penyelenggara tersebut dibentuk berlandaskan prinsip yang sama dengan prinsip yang terkandung dalam UU SJSN yaitu: Prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar- besarnya kepentingan peserta. Badan hukum tersebut bernama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).

70 Bagian menimbang UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial

(40)

51

b. Dilihat dari sistem yang digunakan dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Sebelum masuk pada pembahasan poin ini, perlu diingatkan kembali bahwa BPJS merupakan wujud dari pelaksanaan UU SJSN. Jadi apabila berbicara mengenai BPJS maka tidak akan terlepas dari UU SJSN. Seperti yang kita ketahui di poin pembahasan sebelumnya bahwa mengenai sistem yang dianut untuk mengembangkan sistem jaminan sosial tidak ditentukan secara tegas di dalam UUD NRI 1945 dan selama sistem yang dianut dapat mencakup seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu maka jaminan sosial akan dianggap sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945.

BPJS merupakan wujud dari pelaksanaan UU SJSN, hal ini dapat dilihat pada bagian menimbang huruf b UU BPJS yang mengatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yaitu BPJS. Apabila penulis berbicara mengenai sistem yang digunakan oleh BPJS untuk menyelenggarakan jaminan sosial, maka sistem tersebut pasti sama dengan sistem yang digunakan oleh UU SJSN, hal ini dikarenakan BPJS merupakan wujud dari pelaksanaan UU SJSN. Jadi sistem yang dianut oleh BPJS sudah memenuhi ketentuan dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945.

(41)

52

c. Dilihat Dari Prinsip Kepesertaan Yang Bersifat Wajib

Dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia, terdapat tiga langkah penting yaitu, menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Ketiga langkah tersebut merupakan langkah-langkah yang saling berkaitan, artinya langkah pertama akan membawa dampak pada langkah kedua, dan langkah kedua akan berdampak kepada langkah ketiga.71 Konstitusi mengamanatkan bahwa pemenuhan Hak Asasi Manusia yang dalam hal ini adalah hak atas jaminan sosial merupakan tanggung jawab negara.

Pembentukan BPJS adalah langkah pemerintah untuk memenuhi Hak Asasi Manusia dalam bidang jaminan sosial.

BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang dikembangkan oleh pemerintah. Pembentukan BPJS bertujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Hal ini selaras dengan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945 yang merupakan tanggung jawab negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial. Pembentukan BPJS juga merupakan pelaksanaan pemenuhan Hak Asasi Manusia karena jaminan sosial merupakan Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”

71 Hernadi, Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Menurut UUD NRI 1945, Jurnal Hukum Positum, Vol. 1, No. 2, Juni 2017, Hal. 235

(42)

53

Pembentukan BPJS didasarkan pada beberapa prinsip, yang salah satu prinsipnya adalah Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib merupakan prinsip dasar yang terdapat dalam Pasal 4 huruf g Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 Tentang BPJS. Prinsip tersebut mengharuskan kepada seluruh penduduk untuk mendaftarkan diri menjadi peserta BPJS. Kewajiban seluruh penduduk untuk mendaftarkan diri menjadi peserta BPJS merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (3) yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Prinsip kepesertaan bersifat wajib juga merupakan langkah pemerintah untuk memenuhi amanat negara yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (2) UUD NRI, apabila amanat negara yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (2) UUD NRI tersebut terlaksanakan, maka hak atas jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam Pasal 28H aayat (3) UUD NRI 1945 akan terpenuhi juga. Jadi prinsip kepesertaan bersifat wajib merupakan merupakan salah satu prinsip penting dalam pelaksanaan BPJS di Indonesia dan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dalam bidang sosial-ekonomi untuk rakyat Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa posisi benda uji terhadap arah medan magnet induksi menghasilkan kurva B-H berbeda, selain itu kedua sampel bahan yang diperoleh dari

(1) Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d adalah unsur pelaksana akademik di bawah Rektor yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi di bidang

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Ketiga variable independen dalam penelitian layak diigunakan untuk memprediksi variabel dependen penelitian, (2) Berdasarkan

Combination antibiotic therapy can broaden the antimicrobial spectrum, synergistic interaction, decrease emergence of antimicrobial resistance and minimize

Bahwa Penempatan pertanggungjawaban jabatan tidak terlepas dari konsep jabatan sebagai pribadi, sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa individulah yang memberi bentuk dan

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan/ data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka seperti dari literatur,

Kontribusi penelitian ini adalah dalam pengembangan modul ekstensi pada qoe-monitor untuk mendukung estimasi nilai QoE layanan video menggunakan standard ITU-T G.1070, dan

Tanaman Sutra Bombay poliploid memiliki jumlah kromosom 2n=4x=36, panjang dan lebar stomata yang lebih tinggi, kerapatan stomata yang lebih rendah, serta morfologi yang lebih besar