• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan umum mengenai Urgensi Tanda Tangan

Tanda tangan memiliki artian sebagai sebuah pernyataan kemauan seseorang yang membuat tanda tangan (penandatanganan) memiliki maksud agar tulisan atau dokumen atau kontrak yang dibubuhi tanda tangannya dapat dianggap sebagai tulisannya sendiri di hadapan hukum, yang memiliki arti lain bahwa seorang pembuat tanda tangan tersebut bisa mengakui di hadapan hukum mengenai dokumen atau tulisan yang dibubuhi tanda tangannya. (Erwin Kusnul Kotimah dan Lukman Santoso, 2017:46)

Dijelaskan pula oleh Tan Thong Kie dalam bukunya yaitu bahwa tanda tangan merupakan kemauan seorang penandatanganan dalam membubuhkan tanda tangannya dengan maksud agar tulisan yang ditandatangani olehnya dalam hukum dapat dianggap sebagai tulisannya sendiri. (Tan Thong Kie, 2007:473).

Tanda tangan elektronik dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut sebagai UU ITE), yang memiliki arti yaitu: “Tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi”.

Lalu, tanda tangan digital (digital signature) memiliki suatu artian yaitu suatu pengaman dalam sebuah data digital yang dibuat dengan kunci digital pribadi dan dalam penggunaannya sangat tergantung pada kunci publik yang menjadi pasangan dari kunci digital pribadi tersebut. (Dini, Ismi dan Lisnawati, 2014:148-149.)

(2)

Kemudian dalam buku Teknik Pembuatan Akta Kontrak karya Paulus J. Soepratignja, Arrest Hoge Raad memutus bahwa suatu syarat penandatanganan bisa terpenuhi apabila atau dengan membubuhkan “nama pembuat tanda tangan” tersebut dengan atau tidak disertai nama kecilnya. Namun, beberapa Pasal dalam Notaris Reglement yang isinya mengenai penandatanganan akta, hal yang dimaksud dengan “tanda tangan” yaitu tanda tangan dengan dicantumkan nama pembuat tanda tangan. Dari hal itu, dapat diambil kesimpulan bahwa seharusnya suatu tanda tangan dengan nama tersebut dapat diketahui dengan jelas siapa pembuat tanda tangan tersebut, tetapi hal semacam itu tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Tapi, tentu hal itu memiliki konsekuensi tersendiri yaitu apabila suatu tanda tangan yang tidak terbaca atau tidak diketahui pemiliknya masih dapat memenuhi syarat sebuah tanda tangan. (Paulus, 2007:134)

Adapun tujuan dari sebuah penandatanganan dari suatu dokumen yaitu dijabarkan sebagai berikut: (Lukman Santoso AZ., 2016:114)

a. Penandatanganan sebagai bukti (evidence)

Sebuah tanda tangan yang dibuat oleh seseorang dapat digunakan sebagai identifikasi untuk dokumen atau tulisan yang ditandatangani olehnya. Ketika suatu tanda tangan dibubuhkan, maka tanda tangan tersebut akan memiliki hubungan (attribute) dengan dokumen yang ditandatanganinya.

b. Penandatanganan sebagai ceremony

Perbuatan tanda tangan suatu dokumen yang dilakukan oleh seseorang akan mengakibatkan orang tersebut mengetahui dan memahami bahwa seseorang itu akan melakukan sebuah perbuatan hukum yang pada akhirnya akan mengeliminasi adanya inconsiderate engagement (keterlibatan yang tidak diketahui).

(3)

c. Penandatanganan sebagai persetujuan

Tanda tangan yang dibubuhkan seseorang dalam suatu dokumen merupakan persetujuan terhadap peraturan-peraturan yang melekat pada dokumen tersebut.

Selanjutnya, bahwa sah atau tidaknya suatu akta dilihat dari bahwa akta tersebut harus memiliki tanda tangan. Hal ini secara tersirat dijelaskan dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak”. (Erwin Kusnul Kotimah dan Lukman Santoso, 2017:49).

2. Tinjauan umum mengenai Keabsahan Tanda Tangan Elektronik dan Fisik (Tulisan Tangan)

Suatu tanda tangan elektronik bisa didapatkan melalui perjanjian yang sebelumnya telah ada dan hal ini telah diatur pula dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menjelaskan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang terdiri dari 4 (empat) hal, yaitu:

• Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

• Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

• Suatu pokok persoalan tertentu;

• Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dilihat dari syarat-syarat yang disebutkan di atas, tidak ditentukan mengenai bentuk serta jenis media yang harus digunakan dalam suatu perjanjian. Kemudian, dalam hal ini jenis dan bentuk media yang digunakan adalah media elektronik yang dibubuhi tanda tangan elektronik pula, tetap berlaku dan sah serta dapat mengikat para pihak karena dokumen perikatan tersebut merupakan suatu undang-undang bagi para pembuatnya. (Husnul, 2015: 196-197).

(4)

Kemudian, tanda tangan elektronik meliputi 2 (dua) hal, yaitu sebagai berikut:

• Tanda tangan elektronik yang tersertifikasi, harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

• Memenuhi keabsahan kekuatan hukum dan akibat hukum tanda tangan elektronik;

• Menggunakan sertifikat elektronik yang dibuat oleh jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia; dan

• Dibuat dengan menggunakan perangkat pembuat tanda tangan elektronik

tersertifikasi.

• Tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi, memiliki artian bahwa tanda tangan dibuat tanpa menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia.

Selanjutnya, agar suatu tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan suatu akibat hukum yang sah, maka tanda tangan elektronik harus memenuhi beberapa persyaratan sesuai yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE, antara lain:

a) Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan;

b) Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan;

c) Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

d) Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

e) Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa

(5)

penandatangannya; dan

f) Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.

Dilihat dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suatu tanda tangan elektronik dapat dikatakan sah dan memenuhi seluruh persyaratan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE dan Pasal 59 ayat (3) PP PSTE, tanpa memandang kedudukan dan profesi seseorang. (Nur Aini, 2020: 149-150).

Kemudian, pada tanggal 16 Mei 1846, Arrest Hoge Road memutuskan bahwa suatu persyaratan tanda tangan hanya dapat terpenuhi apabila mencantumkan nama dari penandatangan tersebut. Lalu, beberapa Pasal dalam Notaris Reglement juga menjelaskan bahwa syarat penandatanganan suatu akta, yang dimaksudkan dengan “tanda tangan” yaitu adalah tanda tangan nama. Oleh sebab itu, suatu tanda tangan seharusnya bisa diketahui ataupun dapat dibaca untuk mengetahui pemilik tanda tangan tersebut dan dari hal itu dapat disimpulkan bahwa syarat suatu tanda tangan adalah tanda tangan yang dapat dibaca serta tanda tangan tersebut diakui oleh penandatangannya. Meskipun, aturan mengenai tanda tangan harus dapat dibaca tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan, hal itu tidak melanggar atau tetap memenuhi syarat sebagai suatu tanda tangan yang sah. (Erwin dan Lukman, 2017:47).

3. Tinjauan umum mengenai Tanda Tangan yang Berubah-Ubah dalam Pembuatan Akta Notaris

Dijelaskan di dalam Pasal 1868 KUHPerdata, akta dalam bentuknya dibedakan menjadi 2 (dua) macam bentuk yaitu Akta Notaris (relaas akta) dan akta yang dibuat di hadapan Notaris (partij akta). Akta yang dibuat oleh seorang Notaris biasanya merupakan akta yang di dalamnya memuat mengenai relaas atau penguraian secara otentik tentang suatu perbuatan, tindakan

(6)

maupun keadaan yang dilihat atau dialami langsung oleh pembuat akta tersebut atau dalam arti lain adalah Notaris itu sendiri.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta yang dalam pembuatannya tidak memenuhi Pasal tersebut bukan termasuk akta otentik melainkan sebagai akta di bawah tangan. (I Ketut Tjukup, dkk., 2016:185).

Di dalam pembuatan akta itu, agar akta tersebut diakui sebagai akta otentik maka harus dibubuhi tanda tangan. Namun, ada beberapa tanda tangan yang tidak diakui keabsahannya dikarenakan beberapa macam hal, diantaranya yaitu, tanda tangan yang hanya berupa sebuah huruf atau abjad saja (tidak dapat diakui karena tidak dianggap sebagai inisial atau sesuatu yang mencirikan seorang penandatangan), tanda tangan yang berupa garis silang atau lurus (tidak sah karena dianggap tidak memberikan identitas dengan jelas), tanda tangan yang berupa stempel dengan huruf cetak (tidak sah dikarenakan ini bukan merupakan suatu tulisan tangan penandatangan yang bersangkutan) serta tanda tangan yang berupa ketikan komputer (tidak sah dikarenakan merupakan tulisan sendiri dari penandatangan tersebut). (Ida Bagus, 2018:463).

Namun, seorang penghadap dalam menandatangani suatu akta Notaris, tidak jarang merubah-ubah tanda tangannya dikarenakan banyak hal yang mendasari hal tersebut. Tetapi, di dalam peraturan perundangan di Indonesia, hal semacam itu belum diatur secara konkrit. Perubahan tanda tangan seorang penghadap dalam pembuata Akta Notaris, dapat juga disebabkan karena penghadap tersebut memang ingin merubah tanda tangannya ataupun tidak bisa melakukan tanda tangan yang sama seperti sebelumnya. Dikarenakan hal semacam inilah, diperlukan aturan yang konkrit dalam mengatur perubahan tanda tangan ini agar tidak terjadi kesalah pahaman antar para pihak apabila suatu saat terjadi sengketa. (Ida Bagus, 2018:466-467).

(7)

4. Tinjauan umum mengenai Bentuk-Bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan secara jelas mengenai hal tersebut.

Namun, dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut bentuknya perjanjian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Perjanjian lisan yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan dengan adanya suatu kesepakatan di antara para pihak, maka perjanjian itu telah terjadi dan berlaku bagi para pihak.

Perjanjian tertulis yaitu merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan tulisan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1682 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian hibah harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian tersebut dibagi menjadi dua, yaitu akta dibawah tangan dan akta notaris. Selain itu, bentuk lainnya adalah perjanjian standar.

Perjanjian standar adalah perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir (Moertiono, 2019:130).

Akta di bawah tangan dalam Pasal 1874 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata berarti bahwa suatu akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Sedangkan akta notaris atau akta otentik dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berarti bahwa suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Perjanjian tertulis dalam bentuknya dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

(8)

1. Perjanjian di bawah tangan yang hanya ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Perjanjian tersebut hanya mengikat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian itu saja, tapi tidak memiliki kekuatan yang mengikat bagi pihak ketiga. Apabila perjanjian tersebut disangkal oleh pihak ketiga, maka para pihak atau salah satu yang bersangkutan harus membuktikan keberatan yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut.

2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Kesaksian notaris dalam pembuatan suatu perjanjian hanya berfungsi untuk melegalisir kebenaran tanda tangan dari para pihak. Namun, kesaksian tersebut tidak mempengaruhi kekuatan dan isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Apabila ada salah satu pihak yang menyangkal isi perjanjian tersebut, maka pihak tersebut harus membuktikan kebenaran dari hal yang disangkalnya.

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel yaitu akta yang dibuat di hadapan dan oleh pejabat yang berwenang akan hal itu. Dokumen ini merupakan suatu alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga (Salim, 2008:42-43).

Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur, yaitu sebagai berikut:

1. Unsur Esensialia

Unsur ini harus ada dalam setiap perjanjian, karena apabila unsur tidak ada, maka tidak akan ada suatu perjanjian. Seperti dalam jual-beli maka harus ada kesepakatan mengenai harga dan barang yang diperjualbelikan. Apabila hal tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut batal demi hukum disebabkan tidak adanya hal yang diperjanjikan.

2. Unsur Naturalia

(9)

Unsur naturalia adalah unsur yang diatur oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian dan diatur oleh undang- undang. Unsur naturalian ini dianggap sebagai unsur yang ada dalam sebuah perjanjian.

3. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsur yang akan ada atau unsur yang mengikat para pihak yang bersangkutan apabila diperjanjikan oleh para pihak (Ahmad, 2008:31-32).

Kemudian, dalam bukunya, menurut Frans, pada umumnya anatomi suatu kontrak terdiri atas:

1. Judul (Heading). Dalam suatu kontrak judul dapat mencerminkan isi dari kontrak, sehingga judul suatu kontrak harus sesuai dengan isinya, contoh: Perjanjian Sewa Menyewa Rumah.

2. Pembukaan (Opening). Pembukaan dalam suatu kontrak memuat mengenai tempat dan tanggal pembuatan suatu kontrak.

3. Komparisi (Parties). Dalam komparisi menyebutkan mengenai identitas para pihak yang membuat kontrak (nama, pekerjaan, alamat, dan lain-lain), termasuk pula uraian yang dapat menunjukkan bahwa para pihak memiliki kecakapan (rechts bekwaamheid) serta kewenangan (rechts bevoegheid) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum.

4. Premise (Recitals). Premise merupakan sebuah pernyataan yang merupakan pertimbangan, latar belakang ataupun alasan dari dibuatnya suatu kontrak. Dalam kontrak biasa diawali dengan kata “Bahwa”. Dalam hal tersebut disebutkan mengenai bidang usaha para pihak yang bersangkutan dan diakhiri dengan pernyataan para pihak yang membuat kontrak.

(10)

5. Isi Perjanjian. Bagian tersebut memuat mengenai segala hal yang diinginkan para pihak yang merupakan kehendak dari para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis yang sah. Bagian tersebut mencakup serta mengandung seluruh isi kontrak yang sekaligus merupakan isi kontrak secara mendetail mengenai objek yang diperjanjikan, hak dan kewajiban, serta uraian lengkap tentang prestasi. Dalam pembuatan isi pokok/dalam menentukan setiap judul pasal dalam kontrak harus mengacu pada jenis kontrak yang dibuat.

6. Penutup (Closure). Suatu kontrak ditutup dengan kalimat yang menyatakan bahwa kontrak dibuat dalam jumlah rangkap yang diperlukan dan bermaterai. Apabila di bagian pembukaan belum disebutkan mengenai waktu dan pembuatan suatu kontrak, maka pada bagian penutup, hal itu harus disebutkan.

7. Tanda Tangan (Attestation). Mencantumkan tanda tangan para pihak yang bersangkutan serta para saksi. Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah suatu badan hukum, maka di bawah tanda tangan itu dituliskan nama serta jabatannya dan dilengkapi pula dengan cap dari perusahaan di sebelah tanda tangannya.

8. Saksi-saksi (Witnesses). Suatu kontrak ditanda tangani oleh 2 (dua) orang saksi dalam kontrak.

9. Lampiran (Attachments/Exhibits). Suatu kontrak dapat disetai dengan lampiran apabila diperlukan, misalnya yaitu surat kuasa, daftar rincian harga dan barang, dan lain-lain (Suwandono, 2015: 40).

5

.

Tinjauan umum mengenai Teori Kepastian Hukum

Penelitian ini penulis menggunakan teori kepastian hukum yang memiliki artian mengenai hal-hal apa saja yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan masyarakat dan untuk melindungi masyarakat dari kesewenangan pemerintah sehingga

(11)

individu atau masyarakat tersebut mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau tidak dapat dibebankan pemerintah kepada masyarakat (Peter Mahmud, 2008:137).

Dalam Pasal 1875 Kitab Undang-Undang dijelaskan bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka.

Mengenai perubahan tanda tangan yang dilakukan oleh seseorang dijelaskan pula dalam Pasal 1876 yaitu bahwa barangsiapa yang dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.

Dalam penerapannya, apabila suatu akta di bawah tangan akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan atas suatu perkara dan ada salah satu pihak yang memungkiri atau tidak mengakui bahwa tanda tangan itu adalah miliknya maka hakim harus memerintahkan untuk membuktikan kebenarannya di muka Pengadilan. Dilihat dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu perubahan tanda tangan atau pemungkiran suatu tanda tangan dapat dilakukan terhadap akta di bawah tangan selama seseorang tersebut dapat membuktikannya di muka Pengadilan apabila akta itu digunakan sebagai alat bukti atas suatu perkara. Selain itu, hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 1877 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang isinya bahwa jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau

(12)

orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan. Hal itu menyatakan pula bahwa suatu kepastian hukum telah berlaku terhadap suatu perubahan tanda tangan.

Selanjutnya, mengenai tanda tangan elektronik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam undang-undang tersebut, arti tanda tangan elektronik dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi.

Kemudian, mengenai perubahan tanda tangan elektronik dijelaskan pula dalam Pasal 11 ayat (1) huruf (c) dan (d) yaitu bahwa suatu tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui dan segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Tanda Tangan Elektronik dibedakan menjadi dua yaitu Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi dan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi (Pasal 60 ayat (2)). Lalu, pada ayat (3) dijelaskan bahwa suatu Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi harus memenuhi keabsahan kekuatan hukum dan akibat hukum Tanda Tangan Elektronik, menggunakan Sertifikat Elektronik yang dibuat oleh jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia dan dibuat dengan menggunakan Perangkat Pembuat Tanda Tangan

(13)

Elektronik tersertifikasi. Sedangkan,dalam ayat (4) menjelaskan bahwa maksud dari Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yaitu karena dibuat tanpa menggunakan jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia.

Pasal 62 ayat (6) Peraturan Pemerintah itu menjelaskan pula bahwa suatu perubahan Tanda Tangan Elektronik dan/atau Informasi Elektronik yang ditandatangani setelah waktu penandatanganan harus diketahui, dideteksi atau ditemukenali dengan metode tertentu atau dengan cara tertentu. Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 60 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini menjelaskan bahwa akibat hukum dari penggunaan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi atau yang tidak tersertifikasi berpengaruh terhadap kekuatan nilai pembuktian. Hal itu dapat disimpulkan bahwa suatu Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi memiliki nilai pembuktian setara akta Notaris sedangkan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi memiliki nilai pembuktian setara dengan akta di bawah tangan.

Mengenai penerapannya, suatu Tanda Tangan Elektronik telah memiliki kepastian hukum seperti apabila terjadi suatu perubahan untuk Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan, maka perubahan tersebut harus dapat diketahui.

Hal ini merupakan suatu ketegasan dalam hukum agar seseorang harus bertanggung jawab terhadap Tanda Tangan Elektronik miliknya apabila mengalami perubahan.

(14)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Di dalam pembuatan suatu akta, diperlukan tanda tangan yang dilakukan secara langsung terhadap orang yang bersangkutan agar

Pembubuhan Tanda Tangan dalam Akta yang Bersangkutan (Pasal 1874

KUHPerdata)

Terjadi Hal yang Tidak Terduga (Problematika)

Izin dari Pengadilan Perubahan Tanda Tangan (Dokumen Negara seperti

KTP, Paspor, Visa, dll.)

(KUHPerdata dan UU ITE)

Penetapan Nomor 381/Pdt.P/2018/PN. Mks.

(Implikasi Yuridis)

Akibat dari Perubahan Tanda Tangan yang Dilakukan Oleh

Seseorang

IUS CONSTITUENDUM Pembuatan Suatu Akta

(Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPerdata)

(15)

dokumen atau akta yang ditandatangani tersebut memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Namun apabila dokumen atau akta yang ditandatangani tersebut telah ditandatangani oleh orang yang bersangkutan tetapi tanda tangan tersebut tidak diakui kebenarannya oleh penandatangan yang bersangkutan, maka dokumen atau akta tersebut dalam pembuktiannya sebagai alat bukti di persidangan hanya sekuat akta di bawah tangan.

Suatu tanda tangan sangatlah diperlukan dalam persetujuan suatu dokumen atau akta yang menyangkut suatu peristiwa tertentu, agar apabila terjadi sengketa, akta atau dokumen yang telah ditandatangani itu memiliki kekuatan sebagai akta otentik dan bukan sebagai akta di bawah tangan. Namun, tanda tangan itu harus ditandatangani secara tertulis atau dibenarkan oleh aturan yang ada agar akta tersebut menjadi akta otentik.

Pembuatan mengenai akta otentik ini pula diatur di dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan apabila suatu akta yang dibuat tidak berdasarkan Pasal tersebut, maka kekuatannya hanya sebatas sebagai akta di bawah tangan. Dalam Pasal 1869 KUHPerdata juga dijelaskan mengenai aturan keharusan tanda tangan apabila membuat suatu akta agar akta tersebut menjadi akta otentik.

Mengenai perubahan tanda tangan, hingga saat ini belum ada aturan yang khusus untuk mengaturnya. Namun, dalam Pasal 1875 KUHPerdata dijelaskan bahwa pada intinya suatu tanda tangan yang berubah-ubah dapat dianggap sah atau benar sepanjang penandatangan mengakui tanda tangannya tersebut. Hal semacam itu juga berlaku untuk tanda tangan elektronik.

Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang ada seseorang yang melakukan perubahan tanda tangan dikarenakan banyak faktor, contohnya dikarenakan cacat badan yang menyebabkan seseorang yang bersangkutan tidak dapat melakukan tanda tangan yang sama seperti sebelumnya atau bisa dikarenakan seseorang tersebut tidak

(16)

dapat menirukan tanda tangannya yang sebelumnya sehingga ingin menggantinya atau merubahnya.

Hal semacam itu tidak diatur dalam aturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, ada suatu kasus seperti pada Putusan Nomor 381/Pdt.P/2018/PN. Mks. yaitu orang yang bersangkutan ingin mengganti tanda tangannya di KTP Elektronik miliknya dikarenakan seseorang tersebut tidak dapat menirukan tanda tangan yang sebelumnya dibuat olehnya serta dalam hal semacam ini dibutuhkan pula izin dari Pengadilan dalam merubah tanda tangan tersebut.

Selanjutnya, dari permasalahan-permasalahan yang ada tersebut maka di masa mendatang diharapkan akan terciptanya suatu peraturan perundangan terbaru yang mengatur secara rinci mengenai perubahan tanda tangan baik fisik maupun elektronik atau disebut juga sebagai ius constituendum (hukum yang dicita-citakan atau yang diangan- angankan di masa mendatang).

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan realisasi kinerja sampai dengan tahun ini dengan target jangka menengah yang terdapat dalam dokumen perencanaan strategis bimas Katolik berkisar dari

Diagnosa awal berdasarkan riwayat gejala yang khas, seperti kesemutan dan gangguan rasa pada jari jari yang terpajan getaran. Gejala iini menetap dan bertamabah dalam

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan

Kemampuan viabilitas benih cabai lokal yang direndam dengan suspensi Trichoderma harzianum bertujuan untuk melihat kemampuan lama perendaman jamur Trichoderma

Meningkatnya tuntutan akan good governance dan clean government dengan peran aktif dan beban kerja Inspektorat I yang semakin meningkat, maka pengawasan

Wilayah Kulonprogo terbagi dalam tiga sekuens yaitu Fluvial berupa Area Tangkapan (diwakili daerah Samigaluh); Freatik berupa Area Konservasi (diwakili Kenteng,

Pada tahun 2016 sendiri terjadi beberapa peristiwa penting yang juga berimbas pada pasar modal, antara lain: pencabutan sanksi ekonomi Iran yang artinya setealah

Memuat tentang data hasil percobaan yang telah dilakukan (data hasil percobaan dapat berupa tabel maupun grafik yang diperoleh dari data hasil percobaan. Bagian ini