• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmu Administrasi Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Ilmu Administrasi Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmu Administrasi

Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi Volume 19 | Nomor 1| Juni 2022

TATA KELOLA KOLABORATIF MANAJEMEN TANGGAP DARURAT BENCANA PANDEMI COVID-19 DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Collaborative Governance Covid-19 Pandemic Disaster Emergency Response Management In Gunungkidul Regency

E

vi Nilawati

Universitas Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta e-mail: alfitra_n@yahoo.co.id.

INFORMASI

ARTIKEL ABSTRAK

Article history : Dikirim : 17-01-2022 Revisi Pertama : 24-05-2022 Diterima : 23-06-2022

Penelitian ini tentang tata kelola kolaboratif manajemen tanggap darurat era pandemi Covid-19. Covid-19 telah menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat. Kolaborasi para pihak penting dilakukan agar penanganan dampak Covid-19 lebih efektif. Sesuai prinsip tata kelola kolaboratif bahwa pemerintah, swasta, dan masyarakat mempunyai tanggung jawab terhadap pemecahan masalah publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tata kelola kolaboratif manajemen tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Informan ditentukan dengan sampel bertujuan, meliputi: unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat. Berdasar hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat tanggap darurat pandemi Covid-19 telah terlaksana tata kelola kolaboratif berbagai pihak. Hal tersebut ditunjukkan dengan terwujudnya prinsip kebersamaan, motivasi bersama, dan kapasitas aksi bersama para aktor pada berbagai aktivitas tanggap darurat. Penanganan Covid-19 telah dilaksanakan sesuai prinsip manajemen publik baru berupa kemitraan antara publik dan swasta. Saran bagi peneliti selanjutnya agar meneliti tata kelola kolaborasi dalam tahap pemulihan sosial ekonomi pasca pandemi.

Abstract

This research is about collaborative governance of the Covid-19 pandemic emergency response management. The Covid-19 has a negative impact on society. Collaboration of stakeholders is important so that handling of the impact of Covid-19 is more effective. By the principles of collaborative governance that government, private, and community have responsibility for solving public problems. This study aims to find out how collaborative governance is in emergency response management for the Covid-19 in Gunungkidul Regency. The study used a qualitative descriptive approach.

Informants are determined with purposive sampling, including elements of the local government, the private sector, and the community. Based on the results of the study, it can be concluded that during the Covid-19 pandemic disaster emergency response, collaborative governance was carried out by various stakeholders. This is shown by the realization of the principle of Kata Kunci:

Tata kelola; kolaboratif;

tanggap darurat;

manajemen bencana;

Covid-19.

Keywords:

collaborative governance;

emergency response;

disaster management;

Covid-19.

Vol. 19 No.1 pp 64-77 © 2022 ISSN 1829 - 8974 e-ISSN 2614-2597

(2)

togetherness, shared motivation, and the capacity for joint action of the actors in various emergency response activities. The handling of Covid-19 has been carried out according to the new public management principle in the form of a partnership between the public and the private. Suggestions for further researchers are to examine the collaboration governance in the economic and social recovery after the pandemic.

A. PENDAHULUAN

Bencana merupakan peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Bencana disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: faktor alam, non alam, dan manusia. Bencana mengakibatkan kerugian, meliputi korban jiwa, kerusakan lingkungan alam, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam meliputi gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kebakaran, banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Bencana non alam meliputi gagal teknologi dan modernisasi, epidemi, serta wabah penyakit. Bencana sosial meliputi konflik sosial antar kelompok dan teror (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).

Salah satu bencana non alam yang melanda dunia, tidak terkecuali negara Indonesia adalah pandemi Corona Viruse Diseases 2019 (Covid-19). Penyebaran Covid-19 sangat luar biasa. Hal tersebut ditandai oleh jumlah kematian, penyebaran lintas negara, dan aspek sosial ekonomi dan sebagainya (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2020). Sejak bulan Maret 2020, Indonesia mengalami pandemi Covid-19. Berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2020, Presiden telah mengumumkan Covid-19 telah menjadi bencana nasional. Pandemi melanda di hampir seluruh belahan dunia, juga menyebar sampai Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menunjukkan data penduduk terpapar positif Covid-19, pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang dalam pengawasan (ODP) melonjak seiring adanya pemudik luar daerah yang masuk ke wilayah Gunungkidul. Data perkembangan Covid-19 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1

Perkembangan Covid-19 di Kabupaten Gunungkidul Klasifikasi Kumulatif Meninggal Sembuh

Dipantau/

Diobati/

Dirawat

Luar Wilayah

ODP 1.171 5 - 1.148 18

PDP 121 20 67 32 2

Positif Covid-19 32 1 23 8 -

Sumber: Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kab. Gunungkidul (data Per 19 Mei 2020) Instagram Pemkab Gunungkidul.

Kondisi kasus Covid-19 mengalami peningkatan di berbagai daerah. Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesi No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19. Covid-19 ditetapkan sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan di masyarakat. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2020. Status darurat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditetapkan mulai tanggal 20 Maret 2020 - 29 Mei 2020 berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No.65/KEP/2020. Masa darurat Kabupaten Gunungkidul yaitu tanggal 23 Maret – 29 Mei 2020 berdasarkan Keputusan Bupati Gunungkidul No. 126/KPTS/2020. Berdasarkan status tersebut dilakukan upaya penanggulangan bencana untuk mencegah dan mengurangi dampak buruk yang terjadi.

Berdasarkan perkembangan data Covid-19 di lapangan dan didukung hasil penelitian sebelumnya, Covid-19 telah menimbulkan krisis tata kelola dan kebijakan penanganan pandemi di berbagai negara. Hampir seluruh negara terlepas dari status kemajuan ekonomi dan teknologi, serta kehandalan pelayanan kesehatan, menghadapi ketidakpastian dan ketidakyakinan penanganan Covid-19. Sistem manajemen krisis dan kebijakan cenderung bersifat trial and error. Adanya

(3)

tantangan terhadap tata kelola krisis pada skala global karena kondisi yang bersifat tidak terduga (unprecedented) (Mas’udi & Winanti, 2020).

Penelitian Agustino (2020) menyimpulkan bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia dinilai tidak didukung masyarakat luas. Lemahnya koordinasi ditandai perbedaan pandangan penanganan Covid antara pemerintah pusat dan daerah (Prabujaya & Santoso, 2021). Aldrich, (2019) menyimpulkan bahwa respons dalam menghadapi krisis tergantung pada kemampuan berkoordinasi antar aktor terkait, keterpaduan antar tingkat pemerintahan dan antara negara serta masyarakat sipil.

Kerangka kerjasama melibatkan koordinasi dengan berbagai lembaga (Menya & K’Akumu (2016).

Kesiapsiagaan bencana membutuhkan koordinasi antara pemangku kepentingan pihak publik maupun privat. Kerangka struktural, politik, perilaku manusia, dan koordinasi simbolik berpengaruh terhadap efektivitas manajemen bencana (Quero, 2012). Swasta melalui CSR berperan dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) melalui penanganan bencana (Kanji & Agrawal, 2020). Kompleksitas bencana yang semakin meningkat menuntut pentingnya kerjasama dan koordinasi para pelaku (Gong, 2018). Li et al., (2022) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa pengalaman menghadapi bencana semakin meningkatkan antisipasi dan menanggapi risiko Covid-19 bagi individu, pasar, dan negara. Dalam konteks penelitian ini, maka penelitian sebelumnya relevan sebagai referensi dalam melakukan analisis kondisi tanggap darurat pandemi Covid-19 yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul.

Berdasar uraian data di Kabupaten Gunungkidul dan didukung hasil penelitian sebelumnya maka tata kelola kolaboratif merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan dalam menghadapi masa tanggap darurat bencana. Menurut pandangan peneliti, penentuan lokus penelitian di tingkat lokal Kabupaten Gunungkidul merupakan kelebihan penelitian ini, sekaligus sebagai pembeda dari penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji tata kelola kolaboratif pada saat tanggap darurat Covid-19. Perumusan masalah penelitian ini, yaitu bagaimana tata kelola kolaboratif manajemen tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tata kelola kolaborasi manajemen tanggap darurat Covid-19 di Kabupaten Gunungkidul. Berdasar hasil penelitian ini diharapkan penelitian juga dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan manajemen tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 pada khususnya maupun bencana umum lainnya. Selain itu, penelitian ini bisa memberikan manfaat berupa kontribusi perkembangan Ilmu Administrasi Publik khususnya tentang kebijakan manajemen bencana.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya, meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko menimbulkan bencana, pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi bencana. Manajemen bencana meliputi beberapa tahapan, yaitu: kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Tanggap darurat bencana merupakan serangkaian kegiatan segera yang harus dilaksanakan pada saat terjadinya bencana. Tanggap darurat bertujuan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan oleh bencana. Beberapa aktivitas tanggap darurat meliputi:

pencarian, penyelamatan, evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, dan pemulihan sarana prasarana. Sistem penanggulangan bencana terdiri-dari: regulasi, kelembagaan, dan pendanaan (BNPB, n.d.).

Pertama, Regulasi kebencanaan diatur dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Regulasi lainnya berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Kepala Badan, dan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Bencana.

Kedua, Penanggulangan bencana mempunyai kelembagaan baik aspek formal maupun non formal. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) merupakan focal point penanggulangan bencana tingkat di tingkat provinsi dan kabupaten. BPBD mempunyai tanggungjawab penanggulangan bencana baik pada masa prabencana, saat terjadinya bencana, maupun masa pasca bencana (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2008) .

Ketiga, Sumber pendanaan penanggulangan bencana di Indonesia, meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana kontinjensi, dana siap pakai (on-call), bantuan sosial berpola hibah, dana masyarakat, dan dana komunitas internasional.

Berkaitan dengan penanggulangan bencana maka pemerintah daerah bertanggung-jawab untuk:

memberikan jaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi terdampak bencana sesuai standar

(4)

pelayanan minimal; memberikan perlindungan masyarakat terhadap dampak bencana; melakukan pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; serta mengalokasikan dana penanggulangan bencana melalui APBD (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, n.d.).

Keberhasilan kebijakan pengelolaan bencana dipengaruhi oleh kolaborasi para pihak terkait. Hal tersebut sesuai pendapat Denhardt dan Denhardt yang menyatakan bahwa tujuan kebijakan dan program dapat dicapai secara efektif dan lebih responsif melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif berdasarkan prinsip pelayanan publik baru (new public service) (Keban, 2014). Berdasarkan teori collaborative governance maka tindakan pemerintah tidak hanya mengandalkan kapasitas dan sumber daya internal pemerintah saja dalam penerapan kebijakan dan pelaksanaan program.

Pelibatan sektor swasta dan masyarakat dalam pelayanan publik selaras dengan prinsip manajemen publik baru (new public management) reformasi administrasi publik. Hal tersebut sesuai jiwa civil society bahwa ketiga pilar utama, yaitu: pemerintah, swasta, dan masyarakat berperan aktif dalam manajemen publik (Keban, 2014). Kolaborasi dapat mewujudkan sinergi antara pemerintah dengan privat, untuk menghasilkan yang lebih daripada sesuatu mereka kerjakan secara sendiri-sendiri (Donahue & Zeckhauser, 2011).

Pengalaman manajemen bencana di berbagai negara beragam. Hal tersebut didukung beberapa hasil penelitian sebelumnya. Dalam mitigasi, kesiapsiagaan, dan respons bencana pada kasus Santa Rosa City-Laguna semula cukup efektif, tetapi terdapat kelemahan, yaitu: kurangnya komitmen, sumber daya keuangan, dan kapasitas operasional (Juanzon & Oreta, 2018). Shaw et al., (2020) menyatakan bahwa tanggapan negara Asia Timur, China, Jepang, dan Korea Selatan, mempunyai kesamaan dalam pembelajaran penanganan bencana. Mekanisme tata kelola tanggap darurat bencana Covid-19 terdapat perbedaan hubungan solidaritas dan perilaku masyarakat. Walaupun pandemi bersifat global namun responsnya bersifat lokal tergantung kebijakan pemerintah lokal, konteks sosial-ekonomi, dan budaya. Kurangnya kejelasan tujuan bersama dalam pemulihan bencana menyebabkan saling keterkaitan proses pemulihan bencana berbeda-beda (Raju et al., 2018). Berdasar temuan hasil penelitian tersebut maka pelibatan berbagai pihak sangat penting untuk merespons bencana yang terjadi sehingga tujuan penanggulangan bencana bisa tercapai.

Hal-hal yang penting pada model tata kelola kolaboratif meliputi kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah, kerjasama antara organisasi non pemerintah dengan asosiasi besar, dan mobilisasi sumber daya perusahaan untuk penanganan Covid-19. Berdasar perspektif manajemen bencana maka pemerintah telah mengambil tindakan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan dan mencari sumber daya dari berbagai pihak (Huang, 2020). Kemitraan antara publik dengan swasta berkontribusi terhadap tata kelola bencana global (Emerson et al., 2012). Keterlibatan stakeholders dan masyarakat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan (Keban, 2014). Tata kelola kolaborasi merupakan kerangka kerja ideal manajemen bencana. Aspek dinamis kolaborasi, meliputi:

prinsip kebersamaan (principle engagement), motivasi bersama (shared motivation), dan kapasitas aksi bersama (capacity for joint action).

Berdasar uraian sebelumnya, penelitian ini menggunakan aspek dinamis kolaborasi. Tata kelola kolaborasi tanggap darurat Covid-19 pada penelitian ini diartikan pelibatan berbagai pelaku baik pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat pada masa tanggap darurat bencana. Tata kelola kolaborasi, meliputi: prinsip kebersamaan (principle engagement), motivasi bersama (shared motivation), dan kapasitas aksi bersama (capacity for joint action).

Pertama, Prinsip kebersamaan (principle engagement)

(Emerson et al., 2012) menyatakan bahwa prinsip kebersamaan dilandasi adanya tujuan bersama (common goals) yang telah menjadi kesadaran para pihak. Selain itu juga adanya pelembagaan forum musyawarah deliberasi. Hal tersebut menyangkut perilaku para pihak yang berkepentingan terkait permasalahan publik.

Hal tersebut juga dikuatkan oleh pendapat Quero (2012) yang merekomendasikan perlunya studi tentang perilaku organisasi terhadap manajemen resiko bencana. Aspek psikologis dan sosiologis menyangkut sikap, kepercayaan, norma, dan nilai-nilai terkait bencana mendorong tindakan proaktif para pihak dalam menghadapi ketidakpastian dan potensi yang ditimbulkan oleh bencana. Chiraz & Frioui (2012) menyatakan bahwa nilai-nilai, norma, sikap, penerimaan tanggung jawab bersama, dan kewajiban manusia menentukan tata kelola global. Untuk menghormati kehidupan, kebebasan, keadilan, kesetaraan, toleransi, dan solidaritas maka diperlukan kehadiran

(5)

swasta melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Aspek psikologis dan sosiologis tentang kepercayaan, norma, dan nilai-nilai mendorong tindakan proaktif dalam menghadapi resiko saat terjadi bencana pandemi. Aspek sosial ekonomi dan budaya lokal berpengaruh terhadap respons bencana (Raju et al., 2018).

Emerson et al., (2012) menyatakan bahwa kebersamaan merupakan prinsip pada aspek dinamis kolaborasi. Prinsip kebersamaan meliputi pengungkapan, pendefinisian, deliberasi, dan determinasi.

Pengungkapan pada individu atau atau aktor dalam membangun kesepahaman secara berkelanjutan.

Kualitas deliberasi memerlukan advokasi dalam menjalin kolaborasi.

Kedua, Motivasi bersama (shared motivation)

Emerson et al., (2012) menyatakan shared motivation meliputi mutual thrust, mutual understanding, internal legitimacy, and shared commitment. Motivasi bersama meliputi sikap saling percaya, sikap saling mengerti, legitimasi internal, dan komitmen bersama para pelaku. Bodin & Nohrstedt (2016) menyatakan bahwa bencana menghadirkan tantangan sosial yang terlibat di luar kapasitas aktor tunggal. Terdapat interdependensi masing-masing aktor pada saat manajemen krisis. Sesuai pendapat Menya & K’Akumu (2016) bahwa kerjasama antar lembaga melibatkan koordinasi berbagai lembaga. Berdasarkan pengalaman manajemen bencana dalam mitigasi, kesiapsiagaan, dan respons bencana pada kasus Santa Rosa City-Laguna dipengaruhi oleh faktor sumber daya keuangan (Juanzon & Oreta, 2018). Dukungan dan solidaritas komunitas menyediakan sumber daya, termasuk sumber daya finansial, sumber daya manusia, dukungan moral pada petugas kesehatan pada garis terdepan, serta berbagi cerita dan pengalaman positif melalui media sosial (Shaw et al., 2020).

Adanya potensi manfaat antar lembaga menjadi dasar terhadap penerapan pendekatan kolaborasi multi pemangku kepentingan. Penilaian terhadap risiko dan peran tiap lembaga membentuk pemahaman dalam menghadapi risiko dan terwujudnya komunikasi berbagai pihak terkait (Adekola et al., 2020). Bencana menghadirkan pemahaman berupa tantangan sosial yang terlibat di luar kapasitas aktor tunggal (Bodin & Nohrstedt, 2016). Jaringan kolaborasi dan saling ketergantungan tugas membuat tiap aktor memilih mitra dan merespons krisis yang terjadi. Pola interdependensi antar aktor dan tugas, serta kecocokan para pihak mempengaruhi efektivitas kolaborasi. Aspek kecocokan sangat penting untuk melakukan perbaikan kinerja dan mewujudkan profesionalisme pelaku manajemen krisis. Berdasar uraian tersebut maka motivasi bersama diartikan sikap saling percaya antar pelaku yang menimbulkan komitmen bersama dalam merespon krisis saat terjadi pandemi Covid-19.

Ketiga, Kapasitas aksi bersama (Capacity for joint action)

Kapasitas pemerintah dalam pengelolaan bencana yang kurang memadai menuntut adanya collaborative governance. Hubungan formal diperlukan agar semua lembaga mengambil tanggung jawab bersama dalam merespons bantuan. Oleh karena itu, diperlukan formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan penanggulangan bencana, membina kemitraan pemerintah swasta (KPS), dan pengembangan program pengelolaan bencana antar lembaga. Sektor swasta dan masyarakat lokal berperan sesuai Undang-Undang, seperti public privat partnership (PPP), untuk memfasilitasi manajemen bencana; meningkatkan ketahanan terhadap bencana; serta meminimalkan risiko terhadap kerugian properti, lingkungan, infrastruktur, kesehatan, dan kehidupan manusia (Van der Berg, 2016). MacDonald et al., (2022) menyatakan bahwa respons yang memadai membutuhkan pemahaman tentang jaringan darurat dan analisis kondisi saat itu. Penilaian awal mencakup semua pemangku kepentingan, mencakup kapasitas kemampuan layanan kesehatan dengan peningkatan staf dan sumber daya harus diperhatikan.

Dalam kolaborasi maka pemerintah melakukan kerjasama multi pihak, baik sesama organisasi pemerintah, swasta, dan masyarakat karena faktor keterbatasan kemampuan, sumber daya, dan jaringan (Purwanti, 2016). Emerson et al., (2012) menjelaskan capacity for joint action meliputi pengaturan prosedur/kelembagaan (procedural/ institutional arrangements), kepemimpinan (leadership), pengetahuan (knowledge), dan sumber daya (resources). Mahmud et al., (2020) menyatakan bahwa kepemimpinan penting dalam mengatasi gangguan komunikasi pada saat krisis. Selain itu, diantara pemangku kepentingan dalam berbagi informasi memerlukan standar data yang sama (Sakurai &

Murayama, 2019). Sistem informasi desa mampu mewujudkan akuntabilitas publik (Nilawati et al., 2020). Inovasi digital berperanan dalam pelayanan masa pandemi (Lestari et al., 2021). Situasi Covid-

(6)

19 merupakan saat yang tepat untuk mendorong organisasi publik berinovasi (Prabujaya & Santoso, 2021).

Terdapat saling keterkaitan antar aktor pada saat manajemen krisis. Sesuai pendapat Menya &

K’Akumu (2016) bahwa kerjasama antar lembaga melibatkan koordinasi berbagai lembaga. Juanzon

& Oreta (2018) menyatakan pentingnya kapasitas operasional dalam merespon bencana. Berdasarkan uraian sebelumnya maka kapasitas aksi bersama pada masa tanggap darurat pandemi Covid-19 diartikan sebagai kemampuan para pelaku dalam merespon krisis akibat pandemi Covid-19.

Lebih lanjut tata kelola kolaboratif manajemen tanggap darurat bencana pada masa pandemi Covid-19 pada penelitian ini diartikan pelibatan berbagai pihak dalam pengelolaan tanggap darurat bencana Covid-19. Tata kelola kolaboratif meliputi tiga hal, yaitu: terwujudnya kebersamaan berbagai pihak terkait, adanya motivasi berbagai pihak untuk terlibat pada penanganan tanggap darurat bencana, dan terwujudnya kapasitas aksi bersama untuk merespons permasalahan pada masa tanggap darurat bencana. Kerangka pikir penelitian bisa dijelaskan pada gambar 1.

Gambar 1.

Tata Kelola Kolaboratif Manajemen Tanggap Darurat Bencana Pandemi Covid-19 Sumber: Analisis Peneliti, 2021

B. METODE

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu tanggap darurat bencana pandemi di Kabupaten Gunungkidul tahun 2020. Sesuai dengan tujuan penelitian maka informan pada penelitian ini ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu para pihak terkait yang paham tentang topik manajemen tanggap darurat pandemi Covid-19. Informan penelitian meliputi gugus tugas penanganan pandemi Covid-19, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Pihak-pihak yang sudah ditentukan tersebut diyakini sebagai orang yang menjadi kunci dan bisa memberikan informasi terkait topik penelitian.

Berdasarkan tujuan penelitian ini yaitu untuk menggambarkan perilaku para pihak. Maka pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, dan data sekunder (dokumentasi) (Sugiyono, 2017). Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait topik kepada informan yang sudah ditentukan. Observasi dilakukan untuk menangkap

Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance) (Donahue & Zeckhauser, 2011),

(Emerson et al., 2012).

Manajemen Tanggap Darurat Bencana Pandemi Covid-19

Prinsip kebersamaan (principle engagement) (Chiraz & Frioui, 2012), (Emerson et al., 2012)

▪ Pengungkapan tujuan bersama melalui Satuan Tugas

▪ Forum musyawarah deliberasi

▪ Tekad gotong royong

Motivasi bersama (shared motivation) (Emerson et al., 2012)

▪ Saling percaya

▪ Saling pengertian

▪ Legitimasi internal

▪ Komitmen bersama dalam menghadapi pandemi

Kapasitas aksi bersama (capacity for joint action)

(Juanzon & Oreta, 2018)

▪ Tanggungjawab bersama dalam sistem pendataan dan pelacakan kasus

▪ Kemampuan teknis operasional petugas dan relawan

▪ Cakupan bantuan sosial

(7)

fenomena dan mendapatkan makna terhadap fakta tersebut. Selanjutnya data yang didapat juga dilengkapi dengan data dokumentasi.

Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan informasi terkait topik yang diteliti. Analisis data terdiri-dari tiga tahapan yaitu: reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Data yang diperoleh disajikan dan diklasifikasikan menurut indikator sehingga mendapatkan kecenderungan sesuai pola yang telah dirumuskan. Berdasarkan analisis data tersebut maka dilakukan penyimpulan terkait topik penelitian (Sugiyono, 2017).

Agar hasil penelitian bisa dipertanggungjawabkan, maka peneliti melakukan pemeriksaan keabsahan data. Peneliti menggunakan triangulasi berbagai metode pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dan data sekunder. Data yang diperoleh dari ketiga sumber akan dijadikan rujukan untuk menarik kesimpulan sesuai indikator yang telah dirumuskan. Sehingga peneliti memperoleh data yang sebenarnya. Uji kepercayaan juga dilakukan dengan memperpanjang waktu pengamatan dan meningkatkan ketekunan pengamatan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada saat terjadinya pandemi Covid-19 terdapat aktivitas yang dikategorikan sebagai tata kelola kolaboratif (collaborative governance) manajemen tanggap darurat bencana. Aktivitas collaborative governance manajemen tanggap darurat bencana dianalisis berdasarkan 3 (tiga) aspek dinamis kolaborasi, yaitu: prinsip kebersamaan (principle engagement), motivasi bersama (shared motivation), dan kapasitas aksi bersama (capacity for joint action). Ketiga aktivitas tata kelola kolaboratif tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Prinsip kebersamaan (Principle engagement)

Prinsip kebersamaan pada masa tanggap darurat pandemi Covid-19, secara organisatoris tercermin dengan adanya pembentukan gugus tugas penanganan Covid-19. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE MENDAGRI) No. 440/2622/SJ merupakan dasar pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Bupati sebagai ketua dan Wakil Bupati sebagai ketua pelaksana gugus tugas. Gugus tugas dibentuk berdasar pertimbangan kondisi perkembangan penyebaran Covid-19. Kelembagaan gugus tugas sebagai salah satu aspek penting sistem penanggulangan bencana, selain regulasi dan pendanaan (BNPB, n.d.).

Kebijakan antisipasi penyebaran Covid-19 dilakukan pemerintah daerah, yaitu: melakukan analisis dampak sosial ekonomi berdasarkan bukti (evidence based); menyiapkan sumberdaya dan fasilitas kesehatan; melakukan refocusing anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-l9;

melakukan sosialisasi pembatasan fisik (physical distancing) dan karantina mandiri (self-quarantine);

melibatkan berbagai pelaku, seperti: asosiasi profesi, tenaga profesional bekerja di lapangan, pelaku usaha, dan masyarakat sipil; serta melakukan konsultasi dan melaporkan perkembangan antisipasi dan penanganan dampak penularan Covid-l9 secara berkala. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan penanganan bencana maka Pemkab Gunungkidul menetapkan gugus tugas penanganan Covid-19. Terbentuknya gugus tugas mencerminkan adanya tujuan bersama (common goals) yang menjadi landasan kesadaran para pihak sesuai pendapat Emerson et al., (2012).

Pengorganisasian gugus tugas berdasar bidang, pihak yang terlibat, dan tugas. Gugus tugas terdiri dari kelompok kerja (pokja) kesehatan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, komunikasi, informasi, umum, monitoring dan evaluasi, serta sekretariat. Tiap pokja mempunyai tugas spesifik yang dilakukan oleh pihak terkait. Gugus tugas penanganan Covid-19 sejak terbentuk sudah terbangun kebersamaan melalui perumusan tujuan bersama yang dituangkan dalam bentuk kajian BPBD bersama pihak terkait pada saat mulai terjadinya pandemi Covid-19 dan sejalan arah kebijakan pemerintah nasional yaitu arti pentingnya antisipasi pencegahan dan menekan penularan Covid-19. Masyarakat sehat, produktif, dan aman dari Covid-19 merupakan tujuan bersama (common goals) telah menjadi kesadaran para pihak. Tujuan bersama diformalkan dengan Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor 126/Kpts/2020 yang menetapkan status tanggap darurat bencana Covid-19.

Hal tersebut didasarkan pada kajian kebencanaan dan usulan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melalui Surat Nomor 360/122 tanggal 20 Maret 2020 tentang usulan ditetapkannya status tanggap darurat bencana pandemi Covid-19.

Wakil Bupati sebagai ketua pelaksana gugus tugas telah mengambil langkah untuk mencegah dan menangani dampak buruk akibat pandemi Covid-19. Ketua pelaksana telah mengkoordinasikan

(8)

upaya pencarian, penyelamatan, evakuasi, isolasi, perlindungan, pengurusan, dan pemulihan korban/pasien terpapar. Untuk mengendalikan dan mengarahkan kegiatan gugus tugas dibutuhkan peran pemimpin. Ketua pelaksana harian secara kolegial bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOMPIMDA) telah menggerakkan dan memberdayakan seluruh sumber daya dalam penanganan bencana Covid-19.

Prinsip kebersamaan gugus tugas juga ditunjukkan pelembagaan forum musyawarah deliberatif bersama para pihak untuk menentukan langkah dan pengambilan kebijakan strategis percepatan penanganan pandemi Covid-19. Forum dipimpin Bupati dan Wakil Bupati beserta anggota FORKOMPINDA dalam rapat koordinasi. Beberapa agenda rapat koordinasi meliputi penentuan masa tanggap darurat, penanganan pemudik, penyediaan fasilitas ruang/tempat karantina mandiri, pembatasan sosial (social distancing), dan pembentukan posko pemantauan lalu lintas pemudik.

Frekuensi musyawarah deliberatif tidak hanya dilaksanakan sekali saja, tetapi juga dilaksanakan ketika ada permasalahan mendesak dan situasional dengan musyawarah atau forum rapat gugus tugas. Forum musyawarah dilaksanakan melalui rapat tatap muka atau video conference. Sebagai contoh, video conference (vi-con), teleconference dengan pengurus Ikatan Keluarga Gunungkidul (IKG) Jakarta dengan tujuan agar warga di perantauan tidak mudik pada saat pandemi terjadi sampai dengan lebaran. Ini adalah vi-con pertama kali dilakukan, selanjutnya banyak pertemuan vi-con.

Adanya forum musyawarah lokal deliberatif pada tanggap darurat Covid-19 menunjukkan adanya penerimaan tanggung jawab bersama sesuai pendapat Chiraz & Frioui (2012).

Kebersamaan dirasakan setelah adanya pengumuman resmi pemerintah tentang bahaya pandemi. Berdasar hasil observasi, sebagai ilustrasi kejadian dirasakan mencekam bagi keluarga dan warga sekitarnya adalah ketika seorang warga Dusun Surubendo Kalurahan Bedoyo dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP). Warga tersebut ditetapkan sebagai pasien positif terpapar Covid-19. Rasa kebersamaan warga padukuhan dan kalurahan tumbuh dalam menghadapi pandemi.

Pada saat pasien dijemput tim medis Puskesmas untuk diisolasi dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Dinas Kesehatan, RSUD, Puskesmas, BPBD, Palang Merah Indonesa (PMI), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan kapanewon terjun langsung mengadakan edukasi dan penyemprotan disinfektan di lingkungan tempat umum dan warga sekitar.

Kejadian tersebut mirip terjadi di Dusun Gadungsari Kalurahan Wonosari, ketika terdapat pasien meninggal. Semangat kebersamaan yang kuat melibatkan para pihak, telah menjadikan Gadungsari sebagai dusun yang berpengalaman dan menjadi dusun tangguh bencana Covid-19.

Pada awalnya kondisi tersebut menimbulkan heboh masyarakat. Puskesmas Wonosari II telah merapid test 133 (seratus tiga puluh tiga) warga. Ada 8 (delapan) orang positif Covid-19. Warga dengan semangat guyub rukun telah bangkit. Masyarakat berjuang bergotong royong merawat warga terindikasi Covid-19 dengan melayani kebutuhan bahan pokok. Hasil kebersamaan warga bisa dirasakan dengan sembuhnya warga yang terkonfirmasi positif. Sesuai pendapat (Quero, 2012) yang merekomendasikan studi tentang perilaku. Aspek psikologis dan sosiologis tentang kepercayaan, norma, dan nilai-nilai mendorong tindakan proaktif dalam menghadapi resiko saat terjadi bencana pandemi. Aspek sosial ekonomi dan budaya lokal berpengaruh terhadap respon bencana (Raju et al., 2018). Hal itulah yang terjadi sesuai kondisi di masyarakat.

Motivasi Bersama (Shared Motivation)

Aspek motivasi bersama ditunjukkan adanya komitmen dan saling percaya para pihak pada komponen gugus tugas untuk bertindak cepat dan aktif menangani Covid-19. Pada awal pandemi, terjadi keterbatasan ketersediaan alat pelindung diri (APD) di rumah sakit dan belum tersedianya anggaran yang memadai. Penyebaran Covid-19 memunculkan motivasi bersama dalam bentuk tekad kesadaran berpartisipasi dan membuka diri terhadap uluran bantuan berbagai pihak dalam menghadapi permasalahan. Tumbuh gerakan aksi bersama penggalangan donasi peduli tanggap Covid-19. Penggalangan donasi di kalangan aparatur sipil negara (ASN) Pemkab Gunungkidul disalurkan melalui rekening BPBD untuk penanganan Covid-19.

Penanganan Covid-19 di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa kemitraan publik- swasta telah berkontribusi pada tata kelola tanggap darurat bencana sesuai pendapat Emerson et al., (2012). Adanya pola anggaran terpadu antara APBD dengan anggaran Community Social Responsibility (CSR) Bank Pembangunan Daerah (BPD) Cabang Wonosari. BPD membagikan bantuan masker CSR kepada pedagang pasar sebagai bentuk komitmen pencegahan penularan Covid-19. Pada saat

(9)

bersamaan dilakukan sosialisasi menjaga kesehatan dan manfaat pemakaian masker kepada pedagang, pengunjung, dan masyarakat. Pembagian masker juga diberikan kepada rumah sakit dan Puskesmas guna memproteksi petugas kesehatan. Aksi CSR Bank Daerah Gunungkidul (BDG) diwujudkan bantuan berupa alat penyemprot dan disinfektan di 144 (seratus empat puluh empat) desa. Hal ini untuk mendukung kapasitas masyarakat desa dalam pembasmian persebaran virus.

Bantuan lainnya berupa: masker, alat pelindung diri (APD), wastafel, fasilitas cuci tangan, makanan ringan, suplemen, dan multi vitamin bagi petugas medis. Kelompok masyarakat, asosiasi, perkumpulan, dan kelompok masyarakat lainnya seperti Kagama peduli memberikan bantuan APD.

Berdasarkan analisis, faktor sumber daya keuangan pada masa tanggap darurat Covid-19 Kabupaten Gunungkidul dapat diatasi. Sesuai pendapat Juanzon & Oreta (2018), berdasarkan pengalaman manajemen bencana dalam mitigasi, kesiapsiagaan, dan respons bencana pada kasus Santa Rosa City- Laguna dipengaruhi faktor sumber daya keuangan. Swasta melalui CSR berperan dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) melalui penanganan bencana (Kanji & Agrawal, 2020)

Kerjasama antara Pemkab Gunungkidul dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui pemanfaatan Wisma Wanagama sebagai tempat karantina mandiri pasien reaktif positif menunjukkan adanya motivasi bersama para pihak sebagai perwujudan nilai saling percaya dan saling memahami pandemi yang terjadi. Karantina pasien di Wisma Wanagama sebagai alternatif saat rumah sakit tidak memenuhi tempat menampung pasien reaktif positif. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan karantina di rumah dan belum siapnya sarana prasarana RSUD Saptosari, maka dicari alternatif tempat khusus karantina mandiri. Kepedulian UGM juga ditunjukkan dengan perhatian terhadap masyarakat terdampak melalui pembagian paket sembako di Kalurahan Banaran, Ngleri, Bunder, dan Gading. Menurut penjelasan Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono bahwa Wisma Wanagama merupakan areal hutan riset bagi mahasiswa, peneliti, dosen, dan masyarakat umum. Keunggulan Wisma Wanagama sebagai tempat karantina mandiri berlokasi di hutan dengan udara bersih untuk forest healing.

Penyediaan karantina mandiri pasien reaktif Wisma Wanagama sebagai bentuk operasional kolaborasi antara gugus tugas penanganan Covid-19 dengan Fakultas Kehutanan UGM. Dalam situasi tanggap darurat para pihak dituntut saling memahami kondisi, tugas, dan fungsi masing- masing. Pada situasi sulit, ketika jumlah pasien positif bertambah, Dinas Kesehatan, RSUD Wonosari, RS Swasta, Puskesmas PMI, Tagana, dan tim reaksi cepat, merupakan aktor utama yang bekerja tanpa work from home, sedangkan perangkat daerah dan pihak lainnya mendukung kerja gugus tugas kesehatan dengan sistem hari kerja work from home (WFH) sampai dengan tanggal 30 Juni 2020.

Kondisi di lapangan di atas sesuai pendapat Bodin & Nohrstedt (2016), bahwa bencana menghadirkan tantangan sosial yang terlibat di luar kapasitas aktor tunggal. Terdapat saling keterkaitan masing-masing aktor pada saat manajemen krisis. Hal tersebut sesuai pendapat Menya &

K’Akumu (2016) bahwa kerjasama antar lembaga melibatkan koordinasi berbagai lembaga.

Kapasitas Aksi Bersama (Capacity for joint action)

Semenjak pandemi, pengetahuan warga tentang Covid-19 terus ditingkatkan melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dengan media sosial dan radio. Perkembangan teknologi informasi komunikasi mempermudah sosialisasi kepada masyarakat luas dengan media youtube, instagram, radio suara Dhaksinarga, dan Dhaksinarga TV. Instagram resmi Pemkab Gunungkidul selalu update data infografis sebaran ODP, PDP, dan positif kumulatif sumber data dari Dinas Kesehatan. Pada infografis tersebut tercantum nomor hotline gugus tugas yang bisa dihubungi.

Mekanisme pendataan pemudik diatur Instruksi Bupati Nomor 443/1524 tentang peningkatan kewaspadaan dan penanganan risiko penularan Covid-19. Pendataan dan deteksi terhadap penduduk di wilayah yang akan/berdomisili di Kabupaten Gunungkidul dan pernah melakukan perjalanan ke wilayah local transmission dilakukan melalui Sistem Informasi Desa (SID) 144 desa.

Berdasarkan Surat Edaran Bupati Gunungkidul Nomor 443/1583 telah menumbuhkan kapasitas aksi yang dibangun para pihak dalam pendataan pemudik melalui SID. Peran Camat memonitor arus masuk penduduk di wilayah kecamatan. Camat berkoordinasi dengan lurah untuk mendata penduduk yang akan berdomisili di Kabupaten Gunungkidul dan pernah melakukan perjalanan luar negeri atau wilayah yang ditetapkan sebagai local transmission. Deteksi awal terhadap Covid-19 dimulai dari pendataan SID bekerjasama dengan Puskesmas. Data SID selanjutnya ditransfer ke data SIM Puskesmas sebagai bahan bagi petugas medis melakukan skrining, tracing, traking, dan testing.

(10)

Kapasitas aksi bersama para pihak cukup kuat ditunjukkan dengan peran para kepala desa yang aktif berkoordinasi dengan dukuh, RW, RT, kader kesehatan, dan seluruh elemen masyarakat agar segera melaporkan warga yang terkena dampak Covid-19. Gerakan aksi masyarakat dan pemerintah desa tanggap Covid-19 dimulai dengan pendataan pemudik. Pendataan menggunakan formulir entry data SID menu Covid-19. Setiap pemudik diperiksa oleh kader kesehatan dan petugas Puskesmas.

Mekanisme pendataan awal menggunakan formulir skrining pendatang yang tinggal di desa mulai tanggal 01 Februari 2020 baik yang tercatat atau tidak tercatat dalam data kependudukan desa. Bagi penduduk yang tidak tercatat dalam sistem data kependudukan desa dicatat sebagai penduduk pendatang. Bagi warga yang bekerja di luar daerah dikategorikan sebagai pekerja pelajon dan pemudik yang terlanjur datang ke desa diwajibkan menjalankan karantina mandiri selama 14 (empat belas) hari. Sesuai pendapat MacDonald et al., (2022) menyatakan respon yang memadai membutuhkan pemahaman tentang jaringan darurat dan analisis kondisi saat itu. Penilaian awal mencakup semua pemangku kepentingan, mencakup kapasitas kemampuan layanan kesehatan dengan peningkatan staf dan sumber daya.

Pemanfaatan SID ini sesuai pendapat Sakurai & Murayama (2019) yang menyatakan bahwa diantara pemangku kepentingan untuk berbagi informasi memerlukan standar data yang sama. SID digunakan sebagai sumber informasi data basis di tingkat desa untuk pedoman penanganan kebijakan warga terdampak. Untuk pendataan dilakukan dari tingkat basis RT agar terwujud satu data Covid-19. SID ini terintegrasi dengan Sistem Informasi Kabupaten sehingga memudahkan di dalam pemanfaatann data untuk pengambilan kebijakan (CRI, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa respons terhadap krisis tergantung pada kemampuan berkoordinasi antar aktor terkait yang memiliki mandat, keterpaduan antar tingkat pemerintahan, dan antara negara serta masyarakat sipil (Aldrich, 2019). Sesuai pendapat Bodin & Nohrstedt (2016) bahwa bencana menghadirkan tantangan sosial yang terlibat di luar kapasitas aktor tunggal. Jaringan kolaborasi dan saling ketergantungan tugas membuat tiap aktor memilih mitra dan merespons suatu krisis. Pola interdependensi aktor dan tugas, serta kecocokan para pihak mempengaruhi efektivitas kolaborasi.

Kapasitas aksi bersama ditunjukkan kemampuan teknis operasional penanganan pandemi Covid-19 di lapangan. PMI dan Tagana berperan aktif dalam pemulasaraan dan pemakaman jenasah dengan protokol Covid-19. Pemulasaraan dan pemakaman jenasah baik yang meninggal di wilayah Gunungkidul maupun kiriman dari luar daerah sebagian besar telah dijalankan dengan protokol kesehatan. Kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh BPBD. Protokol kesehatan, meliputi:

penyemprotan disinfektan ambulan, petugas, dan areal lingkungan pemakaman. Kemampuan teknis petugas terlatih dapat dipastikan bahwa protokol kesehatan telah dijalankan oleh petugas. Kapasitas aksi bersama dalam penanganan ini sesuai pendapat Juanzon & Oreta (2018) yaitu pentingnya kapasitas operasional dalam merespons bencana.

Kapasitas aksi juga ditunjukkan dengan daya tampung pasien yang memadai, kualitas pelayanan pasien yang optimal, serta didukung petugas kesehatan yang memadai. Di tempat karantina, pasien mendapatkan layanan kesehatan, layanan siraman rohani, bimbingan psikologi, dan senam pagi. Turut berperan serta dalam aksi bersama di karantina yaitu karang taruna siaga bencana dalam penyemprotan desinfektan dan piket jaga di Wisma Wanagama bersama petugas kesehatan, TNI, Polri, BPBD, Tagana, dan Polisi Pamong Praja. Dalam collaborative governance ini sesuai pendapat Purwanti (2016), Pemkab Gunungkidul telah melakukan kerjasama multi pihak.

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan warga terdampak pandemi maka Kementerian Sosial menyalurkan bantuan sosial tunai sejumlah 44.123 rumah tangga. Penerima manfaat yaitu keluarga penerima manfaat yang juga sebagai penerima PKH. Bantuan sebesar Rp600.000,- disalurkan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Penyaluran dana dilakukan melalui rekening bank atau kantor pos bagi yang tidak mempunyai rekening bank. Bantuan tersebut untuk kebutuhan pangan warga terdampak pandemi Covid-19. Dalam program bantuan sosial dilakukan monitoring dan pendampingan pemanfaatan belanja tidak terduga (BTT). Hasil monitoring selanjutnya digunakan sebagai bahan organisasi perangkat daerah (OPD) dalam optimalisasi penggunaan BTT untuk mencapai target yang ditetapkan.

Berdasar uraian sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa kegiatan telah dilakukan pada masa tanggap darurat bencana. Aktivitas kolaborasi tersebut, meliputi: pembentukan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, pelembagaan forum musyawarah deliberasi tingkat kabupaten hingga tingkat desa, saling pengertian dari para pihak, terbangunnya komitmen bersama dalam penanganan pandemi, terbangunnya tanggungjawab bersama para pihak dalam pendataan pemudik

(11)

dan pelacakan kasus dengan SID, kapasitas operasional petugas dan relawan dalam penanganan pasien dan penguburan jenazah, layanan karantina pasien, serta cakupan bantuan sosial bagi warga terdampak Covid-19 yang memadai. Kegiatan tersebut sifatnya segera dan harus dilaksanakan pada saat terjadinya bencana, dengan tujuan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan oleh bencana. Bencana pandemi Covid-19 yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, sesuai Bodin &

Nohrstedt (2016) telah menghadirkan tantangan sosial keterlibatan di luar kapasitas aktor tunggal dalam bentuk kolaborasi jaringan dan saling ketergantungan tugas membuat tiap aktor bermitra untuk merespons krisis yang terjadi akibat pandemi. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah mewujudkan new public service sesuai pendapat Denhardt dan Denhardt (Keban, 2014). Masing- masing lembaga telah mengambil tanggung jawab bersama berupa public privat partnership (PPP) merespons kebijakan tanggap darurat bencana sesuai pendapat Van der Berg (2016). Collaborative governance ditunjukkan dengan prinsip kebersamaan, motivasi bersama, dan kapasitas aksi bersama bisa diwujudkan pada kegiatan saat tanggap darurat bencana Pandemi Covid-19, sesuai pendapat Emerson et al. (2012).

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan

Berdasar hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa tanggap darurat manajemen bencana pandemi Covid-19 telah dilakukan model tata kelola kolaboratif (collaborative governance). Terwujudnya tata kelola kolaboratif tersebut dibuktikan dengan adanya keterlibatan berbagai pihak yang ditunjukkan adanya prinsip kebersamaan, motivasi bersama, dan kapasitas aksi bersama para pihak dalam penanganan pandemi Covid-19. Kebersamaan ditandai dengan pengungkapan tujuan bersama, adanya forum musyawarah deliberatif, dan tekad bergotong- royong. Motivasi bersama dibuktikan adanya saling percaya, saling pengertian, komitmen, dan legitimasi internal. Sedangkan, kapasitas aksi bersama para pihak meliputi kemampuan melakukan pendataan, kemampuan melakukan kegiatan teknis operasional, dan kemampuan mencukupi pendanaan. Pada masa tanggap darurat bencana telah terbukti adanya kolaborasi antara para pihak sehingga terwujud hasil yang lebih besar dibanding ketika mereka melakukan aktivitas secara sendiri-sendiri. Beberapa aktivitas mendesak penanganan akibat negatif Covid-19 telah berhasil dilakukan. Kemitraan antara pemerintah dan swasta (public privat partnership) sebagai prinsip manajemen publik baru (new public services) telah diterapkan dalam manajemen dan kebijakan publik penanggulangan dampak buruk akibat pandemi. Tata kelola kolaboratif merupakan strategi yang tepat diterapkan pada saat tanggap darurat Pandemi Covid-19.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar Forum gugus tugas perlu lebih melibatkan dukungan unsur akademisi, swasta/dunia usaha, dan asosiasi perkumpulan masyarakat sehingga pendekatan tata kelola kolaboratif berjalan lebih terintegrasi. Tata kelola kolaborasi perlu dioptimalkan pada manajemen bencana tahap selanjutnya yaitu pada saat pemulihan kondisi sosial ekonomi. Oleh karena itu saran bagi peneliti berikutnya agar meneliti tata kelola kolaborasi para pihak terkait pada masa pemulihan kondisi sosial ekonomi paska bencana Pandemi Covid-19.

REFERENSI

Adekola, J., Fischabcher-Smith, D., & Fischabcher-Smith, M. (2020). Inherent Complexities of a Multi- stakeholder Approach to Building Community Resilience. International Journal of Disaster Risk Science, 11(1), 32–45. https://doi.org/10.1007/s13753-020-00246-1

Agustino, L. (2020). Analisis Kebijakan Penanganan Wabah Covid-19: Pengalaman Indonesia. Jurnal Borneo Administrator, 16(2), 253–270. https://doi.org/https://doi.org/10.24258/jba.v16i2.685 Aldrich, D. P. (2019). Challenges to Coordination: Understanding Intergovernmental Friction During

(12)

Disasters. International Journal of Disaster Risk Science, 10(3), 306–316.

https://doi.org/10.1007/s13753-019-00225-1

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (n.d.). Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana.

In Thinking Skills and Creativity. BNPB.

BNPB. (n.d.). Sistem Penanggulangan Bencana. Retrieved May 7, 2020, from https://bnpb.go.id/sistem- penanggulangan-bencana

Bodin, Ö., & Nohrstedt, D. (2016). Formation and performance of collaborative disaster management networks: Evidence from a Swedish wildfire response. Global Environmental Change, 41, 183–194.

https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2016.10.004

Chiraz, R., & Frioui, M. (2012). Corporate Social Responsibility and Global Governance. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 62, 1174–1178. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.201

CRI. (2021). Menjamin Data Covid-19 yang Lebih Akurat dengan SID Berdaya.

Donahue, J. D., & Zeckhauser, R. J. (2011). Collaborative Governance, Private Roles For Public Goals in Turbulent Times. Princeton University Press Published.

Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S. (2012). An Integrative Framework for Collaborative Governance. Journal of Public Administration Research and Theory, 22(1), 1–29.

https://doi.org/10.1093/jopart/mur011

Gong, L. (2018). Laos dam collapse: Regional response. RSIS Commentary, 139.

https://www.khmertimeskh.com/50525750/laos-dam-collapse-regional-response/

Huang, I. Y. (2020). Fighting COVID‐19 through Government Initiatives and Collaborative Governance: The Taiwan Experience. Public Administration Review, 80(4), 665–670.

https://doi.org/10.1111/puar.13239

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, (2008).

Juanzon, J. B. P., & Oreta, A. W. C. (2018). An assessment on the effective preparedness and disaster response: The case of Santa Rosa City, Laguna. Procedia Engineering, 212(2017), 929–936.

https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.120

Kanji, R., & Agrawal, R. (2020). Exploring The Use of Corporate Social Responsibility in Building Disaster Resilience Through Sustainable Development in India: An Interpretive Structural Modelling Approach. Progress in Disaster Science, 6, 100089.

https://doi.org/10.1016/j.pdisas.2020.100089

Keban, Y. T. (2014). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik; Konsep, Teori dan Isu (Ketiga, Ce).

Penerbit Gava Media.

Keputusan Bupati Gunungkidul No. 126/KPTS/2020 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Kabupaten Gunungkidul, (2020).

Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No.65/KEP/2020 tentang Penetapan Status Tanggap darurat Bencana Virus Disease 2019 (COVID-19) di Daerah Istimewa Yogyakarta, (2020).

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), 2 (2020).

(13)

Lestari, P. A., Tasyah, A., Syofira, A., Rahmayani, C. A., Cahyani, R. D., & Tresiana, N. (2021). Inovasi Pelayanan Publik Berbasis Digital (E-Government) di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, 18(2), 212–224.

https://doi.org/10.31113/jia.v18i2.808

Li, J., An, Y., Wang, L., & Zhang, Y. (2022). Combating The COVID-19 Pandemic: The Role of Disaster Experience. Research in International Business and Finance, 60(November 2021), 101581.

https://doi.org/10.1016/j.ribaf.2021.101581

MacDonald, A. U., Harahus, J. M., Hall, E., Reed, M. J., & Baldisseri, M. R. (2022). COVID-19 Disaster Preparedness. In COVID-19 Pandemic (pp. 23–34). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-323- 82860-4.00007-0

Mahmud, A., Mohammad, Z., & Abdullah, K. A. (2020). Leadership in Disaster Management: Theory Versus Reality. Journal of Clinical and Health Sciences, 5(1), 4.

https://doi.org/10.24191/jchs.v5i1.9818

Mas’udi, W., & Winanti, P. S. (2020). Dari Krisis Kesehatan ke Krisis Tata Kelola (W. Mas’udi & P. S.

Winanti (eds.); Pertama, pp. 3–15). Gadjah Mada University Press.

Menya, A. A., & K’Akumu, O. A. (2016). Inter-agency collaboration for fire disaster management in Nairobi City. Journal of Urban Management, 5(1), 32–38.

https://doi.org/10.1016/j.jum.2016.08.001

Nilawati, E., Bawono, S. E., & Harvitrananda, P. (2020). Sistem Informasi dan Akuntabilitas Publik di Tingkat Desa (Studi tentang Penerapan Sida Samekta dalam Mewujudkan Akuntabilitas Publik di Desa Karangwuni Kecamatan Rongkop Kabupaten Gunungkidul). Jurnal Wacana Kinerja:

Kajian Praktis-Akademis Kinerja Dan Administrasi Pelayanan Publik, 23(1), 23.

https://doi.org/10.31845/jwk.v23i1.170

Prabujaya, S. P., & Santoso, A. D. (2021). Public Sector Innovation on Covid-19 in South Sumatra:

Calling For a More Sustainable Innovation. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, 18(2), 251–263. https://doi.org/10.31113/jia.v18i2.837

Purwanti, N. D. (2016). Collaborative Governance. In Subarsono (Ed.), Kebijakan Publik dan pemerintahan Kolaboratif; Isu-isu Kontemporer (I, pp. 173–213). Penerbit Gava Media.

Quero, R. A. (2012). Reframing Coordination Challenges for Public-Private Partnerships in Disaster Preparedness. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 57, 440–447.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.1209

Raju, E., Becker, P., & Tehler, H. (2018). Exploring Interdepencies and Common Goals in Disaster Recovery Coordination. Procedia Engineering, 212, 1002–1009.

https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.129

Sakurai, M., & Murayama, Y. (2019). Information technologies and disaster management – Benefits and issues -. Progress in Disaster Science, 2, 100012. https://doi.org/10.1016/j.pdisas.2019.100012 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2020). Inilah KEPPRES Penetapan Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat Covid-19. https://setkab.go.id/inilah-keppres-penetapan-kedaruratan-kesehatan- masyarakat-covid-19/

Shaw, R., Kim, Y., & Hua, J. (2020). Governance, technology and citizen behavior in pandemic:

Lessons from COVID-19 in East Asia. Progress in Disaster Science, 6, 100090.

https://doi.org/10.1016/j.pdisas.2020.100090

(14)

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kebijakan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi, R & D dan Penelitian Evaluasi. Alfabeta.

UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penangulangan Bencana, 13 (2007).

Van der Berg, A. (2016). Public-private partnerships in local disaster management: a panacea to all local disaster management ills? Potchefstroom Electronic Law Journal/Potchefstroomse Elektroniese Regsblad, 18(4), 994. https://doi.org/10.4314/pelj.v18i4.08

Referensi

Dokumen terkait

Membantu proses lipolysis yang akan menghancurkan lemak pada kulit, merawat kelangsingan tubuh, menjaga elastisitas, dan kekencangan kulit, serta melembapkan kulit

Program ini dibina oleh oleh Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Hang Tuah sebagai upaya untuk menciptakan tenaga manajerial profesional yang menguasai bidang kebijakan

Prosedur ini diguna pakai oleh semua jawatankuasa yang terlibat dalam pengendalian Upacara Penyampaian Ijazah untuk graduan UPNM di dewan yang ditetapkan sehingga

Masa depan pada tes efisiensi pasar sehubungan dengan informasi akuntansi akan bermanfaat jika mengakui bahwa (i) kekurangan pilihan desain penelitian dapat menciptakan tampilan

Konferensi wali Gereja dari belahan dunia yang lain mengingatkan juga bagaimana perjalanan menuju persiapan Sakramen Perkawinan telah mulai membaik dalam beberapa dekade

Oleh karena itu diperlukan sebuah perencanaan ataupun tahapan yang berkaitan dengan manajemen terhadap perubahan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.13 agar

Metode dekonstruksi harus diartikan bukan sebagai pembongkaran terhadap suatu struktur teks yang ada, tetapi sebagai suatu rekonstruksi peneliti dalam melihat berbagai penelitian

pengurangan menggunakan media neraca bilangan dan corong berhitung terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika kelas 1 di MI Sullamut