Ahmad Naufal Azizi 15/384251/SP/26963
Metode Penelitian Sosial 2
Perbedaan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif ialah pendekatan yang di dalam usulan penelitian, proses, hipotesis, observasi lapangan, analisis data dan kesimpulan sampai dengan penulisannnya mempergunakan aspek pengukuran, perhitungan, rumus, dan kepastian data numerik. Sedangkan, pendekatan kualitatif ialah pendekatan yang di dalam usulan penelitian, proses, hipotesis, observasi lapangan, analisis data dan kesimpulan sampai dengan penulisannya mempergunakan aspek-aspek kecenderungan non perhitungan numerik, situasional deskriptif, indepth-interview dan analisis isi.1
Secara ringkas, perbandingan penelitian kualitatif dan kuantitatif dituliskan sebagai berikut:
Penelitian Kualitatif Penelitian Kuantitatif
1. Menunjukan hubungan antara variabel
2. Menguji teori
3. Mencari hal umum yang mempunyai nilai produktif Teknik Penelitian:
1. Observasi dengan partisipasi 2. Wawancara terbuka dan mendalam
Teknik Penelitian:
1. Eksperimen, survey, observasi berstruktur
2. Wawancara berstruktur
Analisis:
1. Terus menerus sejak awal sampai akhir penelitian
2. Induktif
Analisis:
1. Pada taraf akhir setelah pengumpulan data selesai 2. Deduktif
Desain:
1. Umum dan Fleksibel
2. Berkembang, tampil dalam proses penelitian
3. Banyak literatur yang berhubungan dengan masalah
4. Hipotesis dirumuskan dengan jelas
1 Lukas S. Musianto, Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dengan Pendekatan Kualitatif dalam Metode Penelitian, diakses dari laman
dan ditulis terinci dan lengkap sebelumn terjun ke lapangan Instrumen Penelitian:
1. Human Instrument
2. Buku Catatan dan Recording
Instrumen Penelitian:
1. Tes, angket, wawancara, skala 2. SPSS, Kalkulator
Data:
1. Deskriptif
2. Dokumen Pribadi, catatan lapangan, ucapan responden,
2. Hasil pengukuran berdasarkan variabel yang dioperasikan dengan menggunakan instrument
3. Besar
4. Representatif Hubungan dengan Responden:
1. Empati, akrab
2. Kedudukan sama, setara, jangka lama
Hubungan dengan Responden: 1. Berjarak, sering tanpa kontak
langsung
2. Hubungan antara peneliti dan objek yang diteliti jangka pendek
Paradigma Positivisme
Semua hal bisa diukur dan diteliti dengan penghitungan yang pasti, termasuk fenomena sosial. Hal inilah kiranya yang mendorong Auguste Comte (1798-1857), sarjanawan matematika dan fisika asal Prancis menuliskan buku tentang fenomena sosial yang dapat dikaji dengan metode sains. Pada perkembangannya, hal inilah yang disebut sebagai aliran filsafat positivisme. Aliran filsafat yang menolak adanya kebenaran metafisik dan teologis yang dianggap kurang dapat diuji. Aliran filsafat ini lebih berusaha mencari fakta, sebab-akibat terjadinya fenomena secara objektif, dan berlepas dari pandangan subjektifitas pribadi.
teori yang sudah ada. Untuk mencari hasil penelitiannya, peneliti harus mengintervensi variabel yang ada melalui peraturan kuantitas atau angka dengan metode statistik.
Paradigma Post Positivisme
Guba (1990, dalam Heru 2005) mengatakan bahwa pendekatan post positivisme adalah suatu bentuk modifikasi dari positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada positivisme membuat para ilmuwan pendukung post positivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Namun, prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan post positivisme.
Secara ontologi, aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, universal, general, akan tetapi, mustahil bila sesuatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti) dengan mengambil jarak pada objek penelitian. Oleh karena itu, secara metodologi pendekatan eksperimental melalui meode
triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori. Kemudian, secara epistemologis hubungan antara pengamat dengan objek atau realitas tidaklah bisa dipisahkan seperti pada aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal tidak mungkin mencapai suatu claim kebenaran apabila pengamat mengambil jarak dengan apa yang diteliti. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat harus bersifat interaktif, dengan catatan pengamat bersifat senetral mungkin, sehingga subjektifitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, dalam Heru 2005).
Paradigma Critical Theory
Guba (1990, dalam Heru 2005) menjelaskan paradigma ini lebih berorientasi pada ideologi yang meliputi neo-Marxisme, materialisme, feminisme, freireisme, participatory inquiry, dan paham-paham yang setara yang termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif ini pantas ditempatkan dalam satu atap bersama karena sama-sama menolak claim bebas nilai dari kalangan positivisme. Sedang menurut Salim (2001, dalam Heru 2005) menjelaskan aliran ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically oriented inquiry”, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu yang telah disebutkan di atas.
subjektifitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan. Pandangan ini menolak pandangan kaum positivis dan post positivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena aliran ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan subjek peneliti, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari realitas tersebut.
Paradigma Konstruksivisme
Konstruksivisme juga merupakan salah satu paradigma dari penelitian kualitatif. Para ahli paradigma konstruksivisme percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori. Realita yang dibangun bersumber dari kontruksi atas kemampuan berfikir seseorang. Oleh karena penelitian ini merupakan hasil dari konstruksi berfikir seseorang, Guba, ilmuwan dalam studi paradigma kualitatif berpendapat bahwa hasil dari penelitian ini tidaklah bebas nilai. Setiap laku dari penulis sangat menentukan bagaimana penelitian ini dihasilkan. Guba juga menjelaskan, karena realitas merupakan hasil konstruksi dari manusia dan manusia itu sendiri tidak bebas nilai, maka pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap dan terus berkembang.