BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 1.1 KERANGKA TEORITIS
2.1.1. Tanaman Karet
Tanaman karet merupakan tanaman yang dapat menghasilkan lateks sebagai bahan baku pembuatan karet. Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) berasal dari hutan lembah sungai Amazon, Brasil. Pohon tanaman karet tumbuh tinggi dan berbatang besar, tinggi tanaman karet dewasa mencapai 15 m sampai dengan 25 m.
Tanaman karet tumbuh dengan baik di daerah tropis pada luasan 150 Lintang Utara sampai 100 Lintang Selatan, pada ketinggian lebih dari 600 m diatas permukaan laut (dpl). Curah hujan optimal untuk tanaman karet adalah 1500 sampai dengan 2500 mm per tahun dengan bulan kering adalah ±3 bulan. Kelembaban yang dibutuhkan tanaman karet adalah ±75 % dengan rata-rata suhu harian adalah 250C sampai dengan 300C.
Berikut merupakan klasifikasi tanaman karet:
Devisi :Spermatophyta Subdivisi :Angiospermae Kelas :Dicotyledone Ordo :Euphorbiales Familia :Euphorbiaceae Genus :Hevea
Spesies :Hevea brasiliensis Muell Arg.
(Triwijoso, 1995) 2.1.2. Lateks
Lateks atau getah karet hasil penyadapan tanaman karet Hevea brasiliensis Muell Arg. Merupakan suatu sistem koloid yang kompleks, terdiri dari hidrokarbon karet, karbohidrat, lipida, karotenoid dan garam mineral. Susbtansi polimer karet dan fraksi bukan karet stabil di dalam suatu medium cair atau serum (Wzikowicz, 2003).
Klon tanaman karet menentukan warna lateks, yaitu putih atau putih kekuningan dan menentukan kadar karet didalam lateks yang dihasilkan. Komposisi lateks alam segar mengandung 35,62 % bahan karet, 59,62 % serum dan memiliki pH 6,5 sampai dengan pH 7,0. Komposisi lateks alam segar menurut Robert (1988) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Komposisi lateks alam segar Komponen Jumlah
Hidrokarbon 37,69
Air 59,62
Protein 1,06
Lipid 0,23
Garam-garam 0,40
Mineral 0,68
Amonia 0,32
Sumber: Robert (1988)
Chukwu et al., (2010) menyatakan bahwa empat fraksi utama pada lateks dapat diketahui dengan cara setrifugasi pada kecepatan ±18000 revolusi per menit atau rpm selama 15 menit maka komponen lateks akan terpisah menjadi empat fraksi, yaitu:
1. Fraksi karet 37 % yang terdiri dari karet, protein, fosfolipid, sterol dan ester, lemak dan resin
2. Fraksi Frey Wyssling 5 % yang terdiri dari karotenoid dan lipid
3. Fraksi serum 48 % yang terdiri dari air, inositol, karbohidrat dan protein, asam amino, asam askorbat, asam organik, basa nitrogen, asam nukleat dan mononukleutida
4. Fraksi dasar 15 % yang terdiri dari protein, fosfolipid dan sterol
Menurut Mharedela (2009) karet alam merupakan makromolekul yang tersusun atas monomer sampai monomer isopren yang berikatan secara kepala ke ekor. Rantai poliisoprena membentuk konfigurasi “cis” serta tersusun dari ±5000 unit isopren dengan berat rata-rata sebesar 350000.
Lateks karet terletak di dalam pembuluh lateks, yang letaknya menyebar secara melingkar di bagian luar lapisan kambium. Lateks diperoleh dengan menyayat lapisan korteks pada tanaman karet. Penyayatan lapisan korteks tanaman karet dikenal sebagai proses penyadapan, yaitu suatu tindakan membuka pembuluh lateks agar lateks pada tanaman karet dapat keluar dan lateks ditampung dalam mangkok yang dkaitkan pada
Gambar 2.1. Struktur molekul cis 1,4-poliisoprena (Mhardela, 2009)
pohon karet. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi lateks adalah:
1) penyadapan, 2) arah dan sudut kemiringan irisan sadap, 3) panjang irisan sadap, 4) letak bidang sadap, 5) kedalaman irisan sadap, 6) frekuensi penyadapan, 7) waktu penyadapan (Junaidi, 1996).
2.1.2.1. Karet Spesifikasi Teknis
Karet spesifikasi teknis adalah karet yang diolah dalam bentuk karet remah dna jenis mutunya ditetapkan berdasarkan pengujian sifat-sifat teknis sesuai dengan rumusan “International Standart Organization”, yang mencakup kadar kotoran, kadar abu, kadar tembaga, kadar mangan, kadar zat yang mudah menguap, kadar nitrogen, Plasticity Index Retention (PRI) dan karakteristik vulkanisasi (curing characteristics).
Negara Indonesia mengenal spesifikasi teknis ini dengan SIR (Standart Indonesian Rubber), yang telah ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian Republik Indonesia dan mengacu pada perkembangan teknologi serta permintaan konsumen (Junaidi, 1996).
2.1.3. Koagulasi Lateks
Koagulasi lateks adalah suatu tahap yang sangat penting dalam pengolahan karet alam. Manday (2008) menyatakan bahwa koagulasi lateks dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Pada dasarnya lateks dapat mengalami penggumpalan lateks secara spontan tanpa perlakuan yang ditambahkan. Penggumpalan secara spontan ini terjadi setelah lateks terkumpul didiamkan dalam waktu beberapa jam. Hal ini diakibatkan karena adanya aktivitas mikroorganisnme diudara bebas yang merombak senyawa bukan karet pada lateks, yaitu karbohidrat dan protein membentuk asam asetat dan propionat.
2. Dehidrasi atau penarikan lapisan air yang mengelilingi partikel karet oleh adanya penambahan bahan-bahan yang mampu mengikat air seperti alkohol juga dapat menggumpalkan partikel karet. Hal ini dikarenakan ikatan hidrogen antara alkohol dengan air lebih kuat daripada ikatan hidrogen antara air dengan protein yang melapisi partikel karet, sehingga kestabilan partikel karet didalam lateks menjadi terganggu dan menyebabkan koagulasi lateks.
3. Penambahan senyawa asam seperti koagulan lateks mampu menurunkan pH lateks kebun (pH ± 6,8) sampai mencapai titik isoelektrik yaitu pH muatan positif protein seimbang dengan muatan negatif sehingga elektrokinetis potensial sama dengan nol. Titik isoelektrik karet didalam lateks kebun adalah pada pH 4,5 sampai dengan pH 4,8 (titik isoelektrik karet tergantung dari klon tanaman karet).
4. Penambahan elektrolit yang bermuatan positif mampu menetralkan muatan negatif didalam lateks sehingga interaksi air dengan partikel karet mengalami kerusakan dan mengakibatkan penggumpalan lateks.
Terdapat beberapa proses yang harus dilalui sampai mendapatkan bahan olah karet yang mampu dijadikan sebagai bahan baku untuk proses pengolahan karet selanjutnya. Penambahan koagulan lateks kedalam lateks akan menyebabkan terjadinya flokulasi pada lateks, yaitu
1. interaksi antara partikel karet dengan partikel karet lainnya. Pada proses ini terjadi pembentukan flok-flok halus atau penggumpalan sebagian partikel karet akibat penambahan koagulan lateks yang menyebabkan ketidakmantapan sebagian partikel karet didalam lateks (Margaretha et al., 2012).
2. Pada saat sebagian partikel karet ini mengalami ketidakmantapan atau membentuk flok-flok halus maka dalam waktu beberapa jam akan terjadi proses koagulasi dimana proses koagulasi ini adalah proses distabilisasi muatan koloid partikel lateks akibat senyawa asam yang ditambahkan sehingga menggumpal (Margaretha et al., 2012).
3. Terbentuknya gumpalan yang lebih besar dan mengendap maka proses ini disebut dengan pengendapan (Sutyasmi et al., 2019).
Salah satu hal yang penting untuk dilakukan dalam melakukan koagulasi lateks adalah penggunaan koagulan lateks yang di anjurkkan oleh pemerintah, yaitu sesuai dengan SNI 06-2014-2002 tentang bahan olah karet. Hal ini dimaksudkan agar koagulan lateks yang digunakan tidak merusak mutu karet, yaitu nilai plastisitas awal (P0), menurunkan nilai Plasticity Index Rentention (PRI), menurunkan kadar kering karet, meningkatkan kadar kotoran, kadar nitrogen, meningkatkan nilai kadar abu dan meningkatkan nilai kadar zat menguap pada karet (Rachmawan & Wijaya, 2018).
2.1.4. Nanas
Nanas (Anenas comosus, (L) Merr.) berasal dari Amerika Selatan yang beriklim tropis, diantaranya adalah Brazil, Argentina dan Peru. Tanaman nanas di Indonesa dibudidayakan pada dataran rendah sampai ke dataran tinggi, beberapa daerah di Indonesia yang merupakan penghasil nanas adalah Subang, Bogor, Riau, Palembang dan Blitar (Nastiti et al., 2013). Berikut merupakan klasifikasi tanaman nanas menurut Gembong dalam Syamsiah (2006):
Divisi Magnoliphyta Subdivisi Zingiberidae Kelas Liliopsida Ordo Bromeliales Familia Bromeliaceae
Genus Ananas
Spesies Ananas comosus (L) Merr.
Buah nanas merupakan salah satu buah di Indonesia yang memiliki penyebaran yang merata di setiap bagian Indonesia. Buah nanas mentah per 100 gram mengandung 47,8 mg per 100 gram total asam askorbat. Buah nanas dapat dikonsumsi sebagai buah segar maupun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku dalam pengolahan makanan. Permintaan buah nanas sebagai salah satu bahan baku makanan yang dibutuhkan manusia maka semakin meningkat pula limbah kulit nanas yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat sehingga keberadaannya mengakibatkan pencemaran lingkungan (Susi et al., 2018).
Andaka (2013) menyatakan bahwa limbah kulit nanas merupakan bahan organik dengan kadar serat yang cukup tinggi. Limbah kulit nanas mengandung 20,87 % serat kasar, 16,53 % karbohidrat, 4,41 % protein, 13,65 % gula reduksi dan air.
Berdasarkan kandungan asam askorbat dan pemanfaatan limbah kulit nanas peneliti
mencoba memanfaatkan limbah kulit nanas sebagai koagulan lateks.
Menurut Praharnata et al., (2016) 220 ml ekstrak tongkol nanas mampu menggumpalkan 1200 ml lateks dalam waktu 7 jam. Pada perlakuan ini mampu secara nyata menghasilkan serum yang jernih, dan menghasilkan koagulum yang tidak terlalu berbau busuk. Laoli et al., (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa 15 ml ekstrak nanas berkulit dengan pH 3 terhadap 15 ml lateks nyata mampu meningkatkan bobot
koagulum lateks sebesar 22,16 gram, lebih berat dibandingkan dengan bobot koagulum yang dihasilkan oleh 15 ml ekstrak nanas tanpa kulit terhadap 15 ml lateks, yaitu 20,84 gram.
2.1.5. Umbi Gadung
Tanaman umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst.) termasuk kedalam golongan tanaman umbi yang berasal dari India dan Cina Selatan. Berikut merupakan klasifikasi tanaman gadung menurut (Ardiansari, 2012):
Divisi Magnoliophyta Kelas Liliopsida Ordo Lilidales Familia Dioscroreaceae Genus Dioscorea
Spesies Dioscorea hispida Dennst
Umbi gadung segar mengandung beberapa komponen, yaitu 30,9 % pati, 1,3 % serat, 1,1 % abu, 2,45 % total gula dan 61,5 % kadar air. Umbi gadung merupakan sumber karbohidrat yang cukup tinggi namun, umbi gadung kurang dimanfaatkan sebagai bahan makanan olahan karena mengandung alkaloid dioskrin yang dapat terurai menjadi hidrogen sianida HCN. Senyawa ini bersifat toksik, kandungan senyawa HCN didalam umbi gadung adalah sebanyak 425,44 mg per kg (Ali et al., 2010).
Kandungan senyawa HCN pada umbi gadung menyebabkan peneliti memanfaatkan umbi gadung sebagai koagulan lateks. Pada penelitian Ali et al., (2010) menyatakan bahwa 25 ml ekstrak mbi gadung berkulit terhadap 20 ml lateks memperoleh bobot koagulum optimal sebesar 29,05 gram. (Lestari et al., 2018) menyatakan bahwa pada 100 ml ekstrak umbi gadung terhadap 100 ml lateks mampu menggumpalkan lateks lebih cepat selama satu menit 47 detik dibandingkan dengan variasi volume lainnya, yaitu: dua menit tiga detik pada volume 20 ml ekstrak umbi gadung terhadap 100 ml lateks; satu menit 46 detik pada volume 40 ml ekstrak umbi gadung terhadap 100 ml lateks; satu menit 55 detik pada volume 60 ml ekstrak umbi gadung terhadap 100 ml lateks dan satu menit 47 detik pada volume 80 ml ekstrak umbi gadung terhadap 100 ml lateks.
2.1.6. Limbah Cair Hasil Fermentasi Biji Kakao
Tanaman cokelat (Theobroma cacao Linn.) merupakan tanaman perkebunan penghasil cokelat yang berasal dari hutan tropis di Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Tanaman cokelat mulai masuk ke Indonesia dan diperkenalkan ke Indonesia oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Manado dan di beberapa tempat di Sulawesi (Prawoto, 2008). Menurut Tjitrosoepomo (1988) klasifikasi tanaman kakao adalah sebagai berikut:
Divisi Spermatophyta Subdivisi Angiospermae Kelas Dicotyledoneae Ordo Malvales Familia Sterculiaceae Genus Thebroma
Spesies Theobroma cacao L.
Tahapan awal dalam pengolahan kakao adalah fermentasi yang bertujuan untuk menghancurkan pulpa sehingga biji mudah dilepaskan dan bersih. Pulpa yang telah hancur akan membentuk cairan pulpa (watery sweating). Cairan pulpa saat ini banyak diteliti untuk dimanfaatkan sebagai koagulan lateks, hal ini dikarenakan cairan pulpa yang merupakan limbah hasil samping selama fermentasi bji kakao mengandung 7,84 % asam asetat CH3COOH, asam laktat C3H6O3 dan alkohol. Asam-asam organik yang terbentuk dari fermentasi gula pada pulpa biji kakao dimanfaatkan sebagai koagulasi lateks (Putra et al., 2017).
Pemanfaatan limbah cair hasil fermentasi biji kakao sebagai koagulan lateks mampu secara nyata menghasilkan produk berupa sit asap dengan mutu RSS 1 yang setara dengan lateks yang digumpalkan dengan koagulan lateks asam formiat (Suwardin dan Purbaya, 2015).
2.1.7. Asam Formiat
Asam formiat CH2O2 dikenal sebagai asam semut yaitu asam lemah dan merupakan bagian dari senyawa karboksilat. Asam formiat merupakan senyawa asam yang tidak berwarna, berbau tajam dan mudah larut dalam air, alkohol dan eter dengan ttik didih 100,50C dan titik leburnya 80C. Asam formiat terdapat diperoleh dari semut
merah, beberapa tumbuhan yang menyebabkan rasa gatal dan beberapa jumlah kecil pada keringat manusia (Tampubolon, 2015).
Asam formiat koagulan lateks anjuran yang sesuai dengan SNI 06-2047-1998.
Penambahan asam formiat kedalam lateks mampu meningkatkan kadar karet kering, meningkatkan nilai plastisitas awal (P0), meningkatkan nilai Plasticity Index Retention (PRI), mempercepat waktu penggumpalan lateks, meningkatkan bobot karet dan menghasilkan warna sleb abu-abu pada karet (Purbaya et al., 2011).
2.1.8. Asam Sulfat
Asam sulfat H2SO4 merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam asam kuat dan bersifat korosif pada logam. Asam sulfat banyak dimanfaatkan oleh petani karet sebagai koagulan lateks karena pemanfaatan asam sulfat sebagai koagulan lateks memberikan keuntungan, yaitu penggunaannya lebih sedikit dibandingan dengan penggunaan asam formiat sehingga biaya pengolahan karet menjadi lebih efisien.
Namun, pemanfaatan asam sulfat sebagai bahan koagulan lateks memberikan dampak negatif bagi peralatan yang digunakan dalam pengolahan karet dan menghasilkan mutu karet yang tidak sesuai SNI (Suwardin dan Purbaya, 2015).
Asam kuat yang tergolong sebagai asam kuat bersifat korosif terhadap logam seperti baja. Penggunaan asam sulfat mampu memicu terjadinya korosi pada peralatan pengolahan karet, sehingga menyebabkan umur pakai peralatan pengolahan karet menjadi lebih singkat. Selain itu, asam kuat juga memberikan pengaruh buruk pada kesehatan petani karet dan pekerja dipabrik pengolahan karet (Vachlepi dan Suwardin, 2016). (Manday, 2008) menambahkan bahwa penambahan asam kuat seperti asam sulfat mampu merusak mutu karet, hal ini dikarenakan asam sulfat mampu meningkatkan kadar abu sehingga mampu mempercepat terjadinya oksidasi karet oleh udara yang mampu menyebabkan pengusangan karet dan menurunkan nilai PRI karet.
2.2. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang, tujuan dan model hipotetik dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Masing-masing koagulan lateks yang dicobakan, yaitu asam sulfat H2SO4, ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao mampu meningkatkan bobot basah lateks
2. Pada volume 20 ml koagulan lateks terhadap 40 ml lateks mampu menghasilkan waktu kontak yang lebih cepat, mampu meningkatkan bobot basah karet dan mampu menghasilkan mutu karet yang baik
3. Koagulan lateks ekstrak kulit nanas dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao berpotensi untuk menggantikan asam sulfat H2SO4
4. Koagulan lateks ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao mampu menghasilkan mutu karet yang sesuai dengan SNI 1903: 2011 tentang koagulum lapang yang terdiri dari: kadar karet kering, kadar abu SIR 20 (1,00%) dan kadar zat menguap SIR 20 (0,80%)
5. Koagulan lateks ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi kakao memiliki harga pokok produksi yang ekonomis
2.3. DEFINISI DAN PENGUKURAN VARIABEL
Menghindari adanya penafsiran yang berbeda-beda terhadap hipotesis yang dikemukakan, maka dibuat definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut:
1. Waktu kontak adalah pengukuran yang dilakukan ketika terjadinya kontak antara koagulan lateks dan lateks sehingga membentuk flok-flok halus. Pada saat flokulasi masih terdapat proses kontak antara koagulan lateks dan lateks sampai terjadinya koagulasi lateks mengakibatkan partikel karet membentuk gumpalan yang besar dan mengendap, sehingga tidak terjadi kontak lagi antara koagulan lateks dan lateks. Satuan pada pengukuran ini adalah menit.
2. Bobot Basah adalah pengukuran yang dilakukan pada koagulum yang baru saja mengalami penggumpalan dan mengendap tanpa dilakukan penyimpanan, dengan satuan gram.
3. Kadar Karet Kering (KKK) adalah pengukuran jumlah kandungan partikel karet dalam koagulum yang dihitung dari sampel yang diujikan, dengan satuan persen (%).
4. Kadar abu adalah pengukuran gambaran minimum bahan mineral yang terkandung didalam koagulum, dengan satuan persen (%).
5. Kadar zat menguap adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui sisa bahan yang dapat menguap seperti air dan serum didalam koagulum, dengan satuan persen (%).
6. pH lateks adalah nilai pH awal dari lateks fresh sebelum diberi penambahan koagulan lateks.
7. pH koagulan lateks adalah nilai pH awal dari masing-masing bahan koagulan sebelum ditambahkan kedalam lateks.
8. pH koagulum adalah nilai pH lateks yang telah menggumpal dan mengendap setelah diberi penambahan koagulan lateks
9. Letak percobaan adalah tempat dilakukannya percobaan koagulasi lateks, yaitu di Laboratorium Fisiologi Tanaman, Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana.
10. Kebun percobaan adalah tempat dilakukannya pengambilan lateks segar, yaitu di Balai Penelitian Karet, Getas.
11. Warna pada koagulum mengukur apakah terdapat perubahan warna pada koagulum setelah tiga hari penyimpanan, pengamatan ini diukur secara organoleptik.
12. Bau busuk pada koagulum diukur setelah koagulum disimpan selama tiga hari penyimpanan.