• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Volume 6, Nomor 2, Halaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Volume 6, Nomor 2, Halaman"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA DI DEPAN KELAS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN STORYTELLING

IMPROVING SPEAKING ABILITY IN FRONT OF THE CLASS THROUGH STORYTELLING LEARNING MODEL

Wiwik Dwi Wahyuni*, Edi Suhartono, Rosyid Al Atok

Program Studi Magister Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Jalan Semarang Nomor 5 Malang 65145, Indonesia

Abstract: one of the problems encountered during the learning process was the low ability to speak in front of the class. This study aimed to improve speaking skills using the storytelling learning model in Pancasila and civic education subjects. This study was a second-cycle class action research consisting of four phases: planning, implementation, observation, and reflection.

Data analysis in this study was carried out through three stages, namely data reduction, data presentation, and conclusions. The analysis results found an increase in students' speaking ability at each meeting. It had proved that students' speaking ability in Pancasila and civic education subjects increased with the application of the storytelling learning model.

Abstrak: salah satu permasalahan yang terdapat pada saat proses pembelajaran yaitu rendahnya kemampuan berbicara di depan kelas. Kajian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara dengan model pembelajaran storytelling pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Kajian ini merupakan penelitian tindakan kelas dua siklus yang terdiri dari empat fase, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Analisis data dalam kajian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan penyimpulan.

Berdasarkan hasil analisis ditemukan peningkatan kemampuan berbicara siswa pada tiap pertemuan. Hal ini dapat membuktikan bahwa kemampuan berbicara siswa pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan meningkat dengan penerapan model pembelajaran storytelling.

INFO ARTIKEL Riwayat Artikel:

Diterima : 17 Februari 2020 Disetujui : 01 Juni 2021 Keywords:

speaking ability, storytelling learning model, Pancasila and civic education Kata Kunci:

kemampuan berbicara, model pembelajaran storytelling, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

*) Korespondensi:

E-mail: wiwikdwiwahyuni2@

gmail.com

Volume 6, Nomor 2, Halaman 538-544

http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk ISSN: 2528-0767

e-ISSN: 2527-8495

PENDAHULUAN

Kegiatan pembelajaran dalam kelas merupakan proses penyampaian materi ajar dari guru kepada siswa yang dikemas sedemikian rupa sehingga informasi diterima dengan baik oleh siswa. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) memberi arahan kepada guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam kelas dengan menggunakan pembelajaran pembelajaran yang inovatif. Pembelajaran inovatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa (student centered) sehingga tidak lagi berpusat pada guru sebagai sumber informasi (Murtiningsih & Komalasari, 2017;

Shoimin, 2014). Pembelajaran ini dimaksudkan memberikan peluang lebih kepada siswa untuk mengkontruksikan pengetahuannya secara mandiri dan teman sebaya dapat berperan sebagai mediator.

Hambatan dalam pembelajaran sering dijumpai oleh guru dalam upaya pemenuhan tujuan pembelajaran. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan, sering dihadapkan permasalahan pembelajaran yang ditemukan oleh guru. Salah satu permasalahan pembelarajan adalah metode pembelajaran yang dipilih guru kurang dapat mengakomodasi tujuan pembelajaran PPKn

(2)

dengan baik (Widiatmaka, 2016). Seringkali metode pembelajaran yang digunakan bersifat satu arah atau klasikal.

Pembelajaran klasikal merupakan pembelajaran yang didominasi oleh guru yang mengakibatkan siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas (Agustin, 2013). Metode ceramah menjadi salah satu bentuk pembelajaran yang berfokus kepada guru sehingga siswa kurang diberi kesempatan untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri (Safirah, Amirullah, &

Bustan, 2020). Permasalahan yang sama terjadi di sekolah tempat kajian dilangsungkan, yang mana pada mata pelajaran PPKn menunjukkan bahwa antusiasme siswa sangatlah kurang hal ini terlihat dari tingkat keaktifan siswa yang masih rendah.

Untuk membangkitkan antusiasme siswa perlu pengelolaan pembelajaran yang memperhatikan keterlibatan siswa.

Sebagai upaya menarik antusiasme siswa, kemampuan berbicara dijadikan kompetensi yang ingin dicapai dalam kajian ini. Kemampuan berbicara dapat berguna untuk menyampaikan secara verbal tentang gagasan atau komunikasi kepada orang lain (pendengar) (Darmuki, Andayani, Saddhono, & Nurkamto, 2016).

Berbicara memiliki tujuan utama agar dapat berkomunikasi dengan baik sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna (Khairoes & Taufina, 2019). Kemampuan berbicara perlu sering dilatih karena perlu waktu untuk melatihnya (Hunter, 2012). Apabila siswa memilik kemampuan berbicara yang baik maka dia akan lebih mudah berinteraksi khususnya dalam kegiatan pembelajaran sehingga pembalajaran lebih interaktif.

Perlu mengambil strategi yang tepat untuk mengajarkan tentang kemampuan berbicara (Hunter, 2012). Salah satu solusi yang dipilih untuk mengatasi masalah rendahnya keterampilan berbicara di depan kelas siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran storytelling.

Model pembelajaran storytelling dapat digunakan pada semua keterampilan baik keterampilan berbicara, membaca, maupun menyimak (Rosdiana, Kusmariyatni, & Widiana, 2013).

Model pembelajaran storytelling merupakan salah satu model pembelajaran yang dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme. Hal ini tampak dalam model pembelajaran storytelling yang mengutamakan peran individu atau siswa

dalam belajar (Nurwida, 2016). Siswa dituntut untuk belajar dengan menggunakan semua indera dan juga di berikan kesempatan untuk mengembangkan semua pengetahuannya sendiri, peran guru hanya menyediakan sumber-sumber belajar dan memberi motivasi (support) kepada siswa untuk belajar.

Bercerita merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain (Pratiwi, 2016). Metode pembelajaran storytelling yang diterapkan dengan baik dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa (Khairoes & Taufina, 2019; Rahmah, 2017).

Bercerita dianggap tepat digunakan dalam pembelajaran PPKn pada materi perumusan Pancasila sebagai dasar negara dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa di depan kelas dengan alasan: (1) bercerita memberikan pengalaman berbicara sekaligus menyenangkan, (2) kemampuan berbicara siswa dapat dikembangkan melalui bercerita, tujuannya untuk melatih kemampuan siswa bercakap cakap dalam bentuk lisan, (3) bercerita adalah kegiatan yang menyenangkan dan tidak membosankan, serta memberikan pengalaman dan pengetahuan.

Penggunaan model pembelajaran storytelling dalam pembelajaran PPKn mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses belajar yaitu model storytelling yang merupakan bagian dari komponen dari metode pengajaran yang merupakan upaya untuk memungkinkan proses belajar yang menggabungkan fakta dan ide serta dapat menarik perhatian siswa dan dapat memperjelas sajian dalam menjelaskan pokok pembahasan materi “perumusan Pancasila sebagai dasar negara” yang didasarkan pada keyakinan bahwa proses belajar dengan menggunakan model storytelling dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa di depan kelas.

METODE

Kajian dimulai dengan perencanaan awal peneliti berkunjung ke tempat penelitian.

Perencanaan awal ini ditujukan untuk melakukan koordinasi dengan guru mata pelajaran PPKn, observasi kondisi pembelajaran kelas, dan kemudian menyusun perangkat pembelajaran yang diperlukan. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini tergolong pendekatan kualitatif dan jenis kajian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Arikunto, 2012). PTK

(3)

ini terdiri dari dua siklus setiap siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Setiap siklus menggunakan empat fase yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.

Kajian ini dilakukan di SMP Islam Nurul Huda yang terletak di desa Pajaran Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Subyek kajian adalah siswa kelas VII-B SMP Islam Nurul Huda Poncokusumo yang berjumlah 25 siswa, terdiri dari 13 anak laki laki dan 12 anak perempuan. Kehadiran dan peran penulis sangat diperlukan di lapangan karena penulis terlibat langsung pada saat proses pembelajaran.

Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data kuantitatif sederhana dan data kualitatif berupa peningkatan berbicara siswa di depan kelas selama penelitian berlangsung. Adapun data yang akan dikumpulkan adalah: (1) lembar observasi berupa catatan lapangan dan lembar penilaian kemampuan berbicara, dan (2) dokumentasi berupa foto. Analisis data pada kajian ini terdiri dari data observasi penilaian model pembelajaran storytelling dan peningkatan kemampuan berbicara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan Model Pembelajaran Storytelling Permasalahan pembelajaran yang ditemukan terkait kemampuan berbicara siswa yang belum optimal dipecahkan menggunakan model pembelajaran storytelling. Penggunaan model pembelajaran storytelling dapat menarik perhatian siswa dalam sajian materi “perumusan Pancasila sebagai dasar negara”, sehingga peningkatan kemampuan berbicara siswa dapat dicapai.

Penerapan model pembelajaran storytelling dilaksanakan sebanyak dua siklus, pada setiap siklus terdiri dari tiga pertemuan. Pada setiap siklus dilaksanakan berdasar empat fase diantanya perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.

Pada siklus I dimulai dengan fase perencanaan pembelajaran yang mana peneliti mempersiapkan RPP yang di dalamnya termuat materi yang dibahas dan kompetensi yang diharapkan. Pada fase pelaksanaan dilakukan dalam tiga kali pertemuan dengan berdasarkan dengan RPP yang telah dipersiapkan. Proses pembelajaran pada fase ini dilaksanakan dengan tiga bagian yakni kegiatan pendahuluan, inti, dan akhir.

Kegiatan pendahuluan dimulai dengan berdoa, bernyanyi dan presensi. Kegiatan ini dilakukan

untuk membuka pembelajaran, selanjutnya guru membimbing pembelajaran dengan memberikan pertanyaan kepada siswa tentang materi yang akan dipelajari.

Kegiatan inti dilaksanakan dengan membagi siswa menjadi lima kelompok kemudian guru memberikan instruksi terkait langkah-langkah pembelajaran storytelling. Guru memantik pengetahuan siswa dengan menyampaikan materi singkat terkait proses perumusan Pancasila. Setiap kelompok berdiskusi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disajikan oleh guru. Setelah semua kelompok telah menjawab pertanyaan yang diberikan, guru menginstruksikan siswa secara individu untuk mengingat kembali hasil jawabannya dan ditulis kembali berupa kalimat cerita yang nanti akan diceritakan kembali di depan kelas. Pada kegiatan penutup, guru mengingatkan kembali materi pertemuan selanjutnya dan menghimbau siswa agar pada diskusi selanjutnya materinya agar dibagi ke setiap siswa agar semua siswa aktif dalam memecahkan soal diskusi, lebih berani dalam ketika tampil di kelas, dan agar memperhatikan penjelasan guru maupun siswa yang tampil ke depan serta lebih bersemangat lagi ketika proses pembelajaran.

Fase pengamatan dilaksanakan selama kegiatan pembelajaran yang telah dilalui. Fase ini ditujukan untuk mengamati kegiatan pembelajaran storytelling agar ditemukan berbagai kelemahan dan kelebihan sehingga dapat diberikan penguatan.

Kelemahan dan kelebihan yang dimaksudkan adalah keterlaksanaan pembelajaran pada siswa serta pengelolaan pembelajaran oleh guru. Hasil dari pengamatan siklus I ditemui bahwa langkah- langkah pembelajaran telah dilaksanakan dengan baik oleh guru seperti yang telah direncanakan.

Hal ini menunjukkan bahwa guru dengan baik menguasai pembelajaran storytelling. Siswa telah melaksanakan pembelajaran sesuai dengan instruksi guru serta ditemui perubahan yang baik dalam kemampuan berbicara di depan kelas.

Fase refleksi, dilaksanakan untuk melakukan penguatan dan perbaikan pembelajaran yang telah dilalui pada siklus I. Dari hasil temuan refleksi beberapa kelemahan dan kekuatan yang didapati sebagai acuan untuk melaksanakan siklus II. Hasil refleksi terhadap guru antara lain: (a) guru lebih banyak di depan kelas, (b) guru kurang bisa membagi waktu, (c) posisi tempat duduk siswa kurang mendukung saat

(4)

temannya tampil, (d) masih terdapat satu dua siswa yang tidak memperhatikan penjelasan dan ada siswa yang kurang semangat, (e) pada saat diskusi kelompok masih ada siswa yang kurang aktif, (f) siswa masih belum bisa maksimal saat tampil di depan kelas.

Sedangkan kelebihan selama siklus I pada saat proses belajar siswa dari observer antara lain: (a) siswa sangat senang ketika proses pembelajaran dengan menggunakan gambar- gambar yang ditampilkan, (b) siswa rajin dalam menulis materi pembelajaran, (c) siswa lebih bisa mengarang untuk bercerita sesuai materi, (d) dukungan motivasi dan semangat dari guru ketika bercerita di depan kelas, (e) dalam menerapkan model pembelajaran storytelling di dalam proses pembelajaran siswa sangat antusias dan bersemangat.

Penerapan model pembelajaran storytelling pada siklus I terdapat kekurangan sehingga diperlukan perbaikan pada siklus II. Tahap pelaksanaan tersebut antara lain: (a) guru supaya berkeliling kelas sehingga pada saat proses pembelajaran guru tidak hanya monoton di depan kelas, (b) guru supaya lebih bisa mengkoordinir waktu dengan baik lagi, (c) guru menata kelas dengan lebih baik lagi agar bisa kondusif saat proses pembelajaran, (d) guru mengkoodinir siswa yang tidak memperhatikan penjelasan dan siswa yng kurang semangat dengan memberikan sebuah pertanyaan dan motivasi, (e) guru menyuruh siswa agar membagi soal diskusinya agar semua siswa aktif dalam ikut berdiskusi. (f) guru memberikan motivasi kepada siswa yang masih malu dan yang belum bisa maksimal saat tampil di depan kelas ketika berbagi informasi.

Pada siklus I masih ada siswa yang masih kurang aktif dan tidak bersemangat, masih terdapat siswa yang tidak ikut berdiskusi, siswa masih ada yang belum memperhatikan ketika guru menjelaskan maupun ketika siswa lainnya tampil ke depan dan siswa masih belum maksimal dan malu ketika tampil ke depan sehingga perlu diadakan refleksi dan perbaikan kekurangan- kekurangan pada siklus I yang nantinya tidak terulang lagi pada siklus II.

Hasil dari siklus I dijadikan acuan penguatan pada siklus II. Penulis menyusun kembali perangkat pembelajaran sekaligus perangkat penelitian yang diperlukan. RPP yang dibuat mengakomodasi perihal kegiatan guru yang perlu meningkatkan keterlibatan seluruh siswa

dalam pembelajaran. Media pembelajaran diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat mendukung proses pembelajaran. Susunan tugas diperbaiki agar mempermudah siswa mengelola berbagai informasi yang ditemukan dengan tetap memperhatikan kompetensi yang ingin dicapai.

Perencanaan yang telah dirasa cukup kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pembelajaran untuk menempuh materi tentang “perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara”.

Pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus II didasari oleh RPP hasil revisi siklus I. Kelemahan pada siklus I terkait keterlibatan dan antusias siswa dikelola dengan cara mengatur posisi duduk sedemikian rupa sehingga berbentuk huruf “U” dengan tujuan memudahkan interaksi guru dengan siswa. Guru mengawali pembelajaran dengan memberikan beberapa pertanyaan serta menampilkan media peembelajaran yang telah disiapkan. Kegiatan inti dilaksanakan dengan pemberian tugas kepada masing-masing kelompok, tugas yang diberikan merupakan tugas yang sama dengan siklus I dengan perbaikan struktur tugas untuk memudahkan siswa melaksanakan langkah- langkah pembelajaran. Masing-masing kelompok mengumpulkan berbagai informasi kemudian mempresentasikan hasil temuannya. Ketika semua kelompok sudah saling mengklarifikasi selanjutnya setiap kelompok menyampaikan hasil temuannya dengan bercerita di depan kelas.

Kegiatan penutup pembelajaran dipandu oleh guru dengan merefleksikan langkah-langkah pembelajaran yang telah dilaksanakan. Guru memberikan koreksi serta memberikan penguatan terhadap langkah cerita di depan kelas. Guru bersama siswa menemukan pesan moral yang didapat sepanjang proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran diakhir dengan berdo’a bersama dan saling mengucap salam.

Hasil fase observasi dari pembelajaran siklus II telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan perencanaan pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran mengalami peningkatan, diskusi kelompok terlaksana dengan baik, dan terdapat perubahan kemampuan berbicara siswa di depan kelas. Pengelolaan kelas oleh guru dilaksanakan dengan lebih menarik dan interaktif.

Fase refleksi dilaksanakan setelah pembelajaran yang telah dilaksanakan pada siklus II. Penempatan tempat duduk yang diubah menjadi seperti

(5)

membentuk huruf “U” membuat siswa lebih bisa mendengar dengan jelas penjelasan guru dan suara siswa yang tampil maju ke depan kelas. Siswa sangat antusias dan bersemangat mengikuti kegiatan pembelajaran. Kemampuan berbicara siswa menjadi meningkat dengan adanya bimbingan guru membuat siswa lebih berani berinteraksi, berkomunikasi dan tampil maju ke depan. Diskusi kelompok berjalan dengan baik dan lancar sehingga dapat memecahkan masalah diskusi dengan baik dan benar. Peningkatan kemampuan berbicara siswa melalui model pembelajaran storrytelling telah berhasil dilakukan oleh penulis.

Peningkatan Kemampuan Berbicara di Depan Kelas Setelah Penerapan Model Pembelajaran Storytelling

Kemampuan bicara dapat diajarkan kepada siswa apabila ditemukan cara pengajaran yang tepat (Darmuki et al., 2016). Kemampuan berbicara merupakan tujuan utama pada kajian ini, pencapaian kompetensi pembelajaran siswa diupayakan dengan penerapan model pembelajaran storytelling pada materi Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara sehingga kemampuan berbicara dapat ditingkatkan.

Dengan memiliki kemampuan berbicara siswa dapat mengomunikasikan informasi yang telah dimilikinya kepada orang lain (Darmuki et al., 2016).

Manfaat model pembelajaran storytelling diantaranya memberi kesenangan, kegembiraan, kenikmatan mengembangkan imajinasi siswa sehingga suasana pembelajaran akan menyenangkan (Kusumaningtyas, 2016). Memaksimalkan kemampuan berbicara siswa perlu menciptakan kondisi pembelajaran yang melatih kesempatan

berbicara siswa (Pebriani, Garminah, & Arcana, 2014). Penerapan model pembelajaran storytelling dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa dikarenakan model ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dengan siswa lain serta komponen-komponen pembelajarannya memfasilitasi siswa untuk berbicara dengan situasi yang menyenangkan (Pebriani et al., 2014).

Keberhasilan pemilihan model pembelajaran dapat dilihat dari pembuktian hasil kajian.

Kajian ini sesuai hasil observasi pada saat proses pembelajaran untuk mengetahui tingkat kemampuan berbicara siswa di depan kelas.

Siklus I kemampuan berbicara siswa sudah terlihat meskipun masih ada beberapa siswa yang masih malu untuk bercerita di depan kelas. Pada siklus II menunjukkan peningkatan kemampuan berbicara siswa di depan kelas dapat dilihat siswa berani tampil bercerita tanpa membawa buku serta terciptanya interaksi antara guru dan siswa maupun siswa dengan siswa. Hasil observasi pelaksanaan model pembelajaran dapat disaksikan pada gambar 1.

Mengacu pada gambar 1 dapat dipahami bahwa kemampuan berbicara siswa menujukkan peningkatan persentase nilai rata-rata. Data menunjukkan bahwa seluruh pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 siswa mengalami peningkatan kemampuan berbicara di depan kelas pada setiap pertemuan ke pertemuan selanjutnya. Pada siklus I diketahui bahwa pada pertemuan pertama didapati persentase rata-rata nilai kemampuan berbicara sebesar 74,56%, pada pertemuan kedua sebesar 76, 2%, dan meningkat ke pertemuan ketiga 82, 99%

dengan kategori kriteria penilian baik.

Beberapa kekurangan pada siklus I kemudian diperbaiki dan dilakukan penguatan pada

Gambar 1. Persentase nilai rata-rata kemampuan berbicara

(6)

siklus II sehingga mendapatkan peningkatan yang signifikan. Pada siklus II didapati bahwa pada pertemuan 1 persentase rata-rata nilai kemampuan berbicara sebesar 88,78%, meningkat dipertemuan kedua sebesar 92,22%, dan pada pertemuan ketiga meningkat kembali pada nilai persentase sebesar 94,79% dengan kategori penilaian sangat baik.

Hasil kajian menunjukkan model pembelajaran storrytelling dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa di depan kelas (Khairoes & Taufina, 2019). Hal ini berarti bahwa semakin baik penerapan model yang digunakan guru, maka kemampuan berbicara siswa di depan kelas semakin baik, sesuai dengan kajian Pratiwi (2016) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan kemampuan berbicara siswa di depan kelas. Kajian Dewi, Savitri, Taufiq, dan Khusniati (2018) menunjukkan

bahwa dengan storytelling dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan efektif.

Dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran storytelling yang telah dilakukan oleh penulis dapat meningkatkan kemampuan berbicara peseta didik kelas VII-B SMP Islam Nurul Huda Poncokusumo.

SIMPULAN

Kajian yang dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran storytelling dapat meningkatkan meningkatkan kemampuan berbicara peserta didik di depan kelas. Berdasarkan hasil observasi pada siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa taraf keberhasilan kemampuan berbicara siswa termasuk berkategori sangat baik. Terdapat peningkatan kemampuan berbicara yang signifikan pada setiap pertemuan yang telah dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Agustin, V. N. (2013). Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Problem Based Learning (Pbl). Journal of Elementary Education, 2(1), 36–44.

Arikunto, S. (2012). Penelitian Tindakan Kelas.

Jakarta: Bumi Aksara.

Darmuki, A., Andayani, Saddhono, K., &

Nurkamto, J. (2016). Needs Analysis Model Student Learning to Speak for Education Study Language and Literature Indonesia.

International Journal of Languages’

Education, 7(2), 1–13.

Dewi, N. R., Savitri, E. N., Taufiq, M., &

Khusniati, M. (2018). Using Science Digital Storytelling to Increase Students’

Cognitive Ability. Journal of Physics:

Conference Series, 1006(1).

Hunter, J. (2012). “Small talk”: Developing Fluency, Accuracy, And Complexity In Speaking. ELT Journal, 66(1), 30–41.

Khairoes, D., & Taufina, T. (2019). Penerapan Storytelling Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara di Sekolah Dasar.

Jurnal Basicedu, 3(4), 1038–1046.

Kusumaningtyas, E. (2016). Pengaruh Model Peer Education Dengan Metode Storytelling Terhadap Peningkatan Pengetahuan Pemilihan Makanan Jajanan. JHE Journal of Health Education, 1(1), 14–20.

Murtiningsih, I., & Komalasari, K. (2017).

Implementasi Model Learning Together Untuk Meningkatkan Kecakapan Kewarganegaraan Siswa di SMP. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 2(2), 98–107.

Nurwida, M. (2016). Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Storytelling Untuk Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Guru Caraka Olah Pikir Edukatif, 20(2), 1–8.

Pebriani, N. L. P. E., Garminah, N. N., & Arcana, I. N. (2014). Pengaruh Metode Storytelling Terhadap Keterampilan Berbicara Siswa Kelas V Gugus XII Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng. E-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha, 2(1), 1–11.

Pratiwi, R. R. (2016). Penerapan Metode Storytelling Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas II SDN S4 Bandung.

Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 1(1), 199–207.

Rahmah, E. (2017). Model Pembelajaran Paired Storytelling Pada Pelajaran Bahasa Indonesia Di Kelas Va SD Negeri 104214 Delitua.

Jurnal Handayani, 7(2), 42–49.

Rosdiana, E., Kusmariyatni, N. N., & Widiana, I.

W. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Paired Storytelling Berbantuan Media Audio Visual Terhadap Keterampilan Menyimak Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD. Mimbar PGSD UNDHIKSA, 8(3), 1-11.

Safirah, E., Amirullah, & Bustan. (2020).

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif

(7)

Tipe Storytelling Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Sejarah Peserta Didik Kelas X IIS 2 Di Madrasah Aliyah Negeri 2 Sinjai. Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan Dan Pendidikan Sejarah, 18(2), 110–120.

Shoimin, A. (2014). 68 Model Pembelajaran

Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media.

Widiatmaka, P. (2016). Kendala Pendidikan Kewarganegaraan dalam membangun karakter peserta didik di dalam proses pembelajaran. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, 13(2), 188–198.

Gambar

Gambar 1. Persentase nilai rata-rata kemampuan berbicara

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: kajian ini bertujuan untuk menganalisis strategi pendidikan dan pola kerjasama antara pusat kegiatan belajar masyarakat dengan pemerintah desa, serta menganalisis kendala

Hasil analisis secara interpretatif sistematis menunjukkan bahwa Surat pengakuan utang (bukti P-2 ) dan surat kuasa menjual (bukti P-3) dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

Asas Umum Pemerintah yang Baik (AUPB) dalam penyelesaian sengketa tanah, serta faktor pendukung dan penghambat penerapan AUPB dalam menyelesaikan sengketa tanah hak milik. Kajian

Abstrak: kajian ini bertujuan untuk menghasilkan pengembangan model pembelajaran innovation active debate untuk meningkatkan keterampilan menyampaikan pendapat peserta didik.

Abstrak: kajian ini bertujuan untuk menganalisis upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dana desa dan pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara terkait

Itsbat nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri yang telah kawin secara sah menurut hukum agama Islam atau perkawinan siri untuk mendapatkan pengakuan

Hasil kajian menunjukkan terdapat tiga bentuk perilaku menyimpang mahasiswa dalam kinerja akademik, yaitu fabrikasi proposal penelitian dalam Seminar Pendidikan Pancasila

Hasil kajian menunjukkan bahwa model pembelajaran Specialist Dialogue Team (SDT) valid dan mampu meningkatkan keaktifan dan hasil belajar peserta didik. Kevalidan model diketahui