i
STUDY OF VOLCANIC ROCK AT NORTH KOLAKA AREA SOUTHEAST SULAWESI AND THE IMPLICATIONS OF
SULFIDE MINERALIZATION
AYUB PRATAMA ARIS
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2019
ii Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Magister Teknik Geologi Universitas Hasanuddin
Disusun dan diajukan oleh
AYUB PRATAMA ARIS
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2019
iv
Nama : Ayub Pratama Aris Nomor Pokok : D062171001 Program Studi : Teknik Geologi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 18 Juli 2019 Yang Menyatakan
Ayub Pratama Aris
v
judul “Studi Batuan Vulkanik Daerah Kolaka Utara Sulawesi Tenggara serta Implikasinya Terhadap Mineralisasi Sulfida”, dapat diselesaikan
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Musri Mawaleda, M.T selaku Pembimbing Utama dan Bapak Dr. Ir. Adi Tonggiroh, M.T selaku Pembimbing Pendamping, atas segala curahan ilmu, saran pemikiran, motivasi dan nasehatnya sehingga penilitian ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir.
Eng. Asri Jaya HS, M.T, Dr. Eng. Adi Maulana, S.T., M.Phil, dan Ibu Dr. Ir.
Ulva Ria Irfan, M.T selaku dosen penguji, serta Ibu Dr. Ir. Hj. Ratna Husain L, M.T selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Geologi Unhas dan Bapak Dr. Ir. Eng. Asri Jaya HS, M.T selaku Ketua Departemen Teknik Geologi Unhas atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam rangka pengumpulan informasi mengenai permasalahan terkait penelitian ini, Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Geologi Unhas yang telah memberikan bimbingannya, Staf Departemen Teknik Geologi Unhas, ucapan terima kasih kepada kedua orangtua penulis atas segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan
vi
Makassar, 18 Juli 2019 Penulis,
Ayub Pratama Aris NIM. D062171001
vii
Tujuan utama dari penelitian ini yaitu (1) menentukan kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di daerah penelitian, (2) Mengetahui hubungan pembentukan batuan vulkanik trakit dengan alterasi dan mineralisasi hydrothermal pada batuan metamorf, (3) Mengetahui tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian, dan (4) membuat model geologi tentative alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di daerah Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah survei lapangan dilakukan dengan pengambilan sampel batuan vulkanik baik yang masih segar, maupun batuan vulkanik yang sudah terubah (altered) pada setiap lokasi yang representatif di daerah penelitian. Data dianalisis dengan menggunaan analisis petrografi, mineragrafi dan geokimia (ICP-MS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan batuan vulkanik Ryodasitik (intrusi dangkal), merupakan batuan yang menerobos terhadap batuan metamorf (Sekis Muskovit-Kuarsa) di daerah penelitian. Hubungan pembentukan batuan ryodasitik dengan alterasi dan mineralisasi hidrotermal pada batuan metamorf terjadi pada lingkungan tektonik zona Arc volcanic incl. Alkaline varieties. Berdasarkan hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa larutan hidrotermal yang berperan dalam proses alterasi di daerah penelitian adalah larutan hidrotermal sisa pendinginan magma dari batuan ryodasitik. Tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian yaitu tipe alterasi Propilitik dan Argilik. Mineral penciri alterasi propilitik yang dijumpai yaitu mineral klorit, epidote dan mineral karbonat berupa kalsit. Sedangkan mineral penciri alterasi argilik yaitu mineral kalsit dan mineral lempung dengan mineral aksesoris berupa mineral muskovit.
Tahap pembentukan mineral alterasi dimulai dari tahap isokimia, tahap metasomatisme dan tahap retrograde. Model tentatif geologi memperlihatkan bahwa endapan epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan lingkungan vulkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan serta larutan yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari campuran air magmatik dengan air meteorit.
Kata Kunci: batuan vulkanik, alterasi, mineralisasi, geokimia
viii
The aims of this research are (1) to determine the position of volcanic rocks on metamorphic rocks in the study area, (2) to find out the relationship between volcanic rock formation and alteration and hydrothermal mineralization in metamorphic rocks, (3) to determine the types of alteration and hydrothermal mineralization in the research area , and (4) to make tentative geological models of alteration and hydrothermal mineralization in the research area.
This research was carried out in the North Kolaka area, Southeast Sulawesi Province. The method used in this research was field survey by taking sample of volcanic rocks that are still fresh, as well as altered volcanic rocks at each representative location in the research area. The data were analyzed using petrography, mineragraphy and geochemical (ICP-MS) analysis.
The result of study show that the position of Ryodasitic volcanic rocks (shallow intrusion), is a rock that breaks through metamorphic rocks (Sekis Muskovit-Quartz) in the study area. The relationship of formation of ryodasitic rocks with alteration and hydrothermal mineralization in metamorphic rocks occurs in the tectonic environment of Arc volcanic zone incl. Alkaline varieties. Based on this, it can be interpreted that hydrothermal solutions which play a role in alteration processes in the study area are the remaining hydrothermal solutions of cooling of magma from rhyodasitic rocks. Alteration types that develop in the research area are Propylitic and Argillic alteration types. Propylitic alteration minerals found are chlorite, epidote and carbonate minerals in the form of calcite. Whereas argillic alteration minerals are calcite and clay minerals with mineral minerals in the form of muscovite minerals. The stage of formation of alteration minerals starts from the isochemical stage, the metasomatism stage and the retrograde stage. The tentative geological model shows that low sulfidation epithermal deposits are associated with a volcanic environment, a place of formation that is relatively close to the surface and a solution that plays a role in the formation process derived from a mixture of magmatic water with meteorite water.
Keywords: volcanic rocks, alteration, mineralization, geochemistry
ix
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
E. Batasan Penelitian 5
F. Peneliti Terdahulu 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Geologi Regional 7
1. Geomorfologi Regional 9
2. Stratigrafi Regional 11
3. Struktur Geologi Regional 19
B. Landasan Teori 22
1. Batuan Beku 22
2. Batuan Vulkanik 40
x
B. Lokasi dan Kesampaian Daerah 60
C. Alat dan Bahan 62
D. Pengumpulan Data 63
E. Teknik Pengambilan Data 64
F. Analisis Laboratorium 65
1. Analisis Petrografi 65
2. Analisis Mineragrafi 65
3. Analisis ICP-MS 66
G. Pengolahan Data 66
H. Kompilasi Data dan Penyusunan Laporan 66
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 68
A. Litologi Daerah Penelitian 68
B. Tipe Alterasi Hidrotermal 75
C. Mineral bijih 79
D. Mineralisasi 81
E. Tipe Endapan 82
F. Geokimia Batuan Vulkanik 83
G. Implikasi Batuan Trakit Terhadap Batuan Metamorf 90
BAB V. PENUTUP 93
A. Kesimpulan 93
B. Saran 94
DAFTAR PUSTAKA 95
xi
2 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan major
element (Alzwar dkk.,1988) 35 3 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan SiO2 (%)
atau derajat keasaman (Alzwar dkk.,1988) 35 4 Persentase kandungan oksida dari beberapa batuan
beku vulkanik (Carmichael, 1974 dalam Alzwar dkk.,
1988) 37
5 Himpunan mineral, tipe, dan zona alterasi
hidrothermal 76
6 Hasil analisis petrografi dan geokimia pada sampel AGK 01, AGK 05 dan AGK 14 pada klasifikasi jenis magma (Alzwar dkk.,1988).
84
xii
2 Peta Geologi Regional Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana, E., Sukido, sukarna,
D.,Haryono, E. Dan Simandjuntak, T.O.,1993). 9 3 Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000
(Rusmana dkk., 1993) 10
4 Pembagian Lajur Geologi Lembar Lasusua-Kendari
(Rusmana dkk., 1993) 11
5 Korelasi Satuan Peta Geologi Regional Lembar Lasusua- Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana
dkk., 1993) 13
6 Peta Geologi daerah kolaka sebagai lokasi
pembentukan Intrusi Dasit, (White, et al, 2014) 15 7 Singkapan batuan Intrusi Dasit pada batuan sekis
Mika Kompleks Mengkoka (White dkk.,2014) 16 8 Strutur Geologi Sulawesi dan sekitarnya
(disederhanakan oleh Silver dkk.,1983 dan Rehahult
dkk., 1991 dalam Surono, 2010) 19
9 Bagan Struktur Batuan Beku Instrusif (Noor, 2012) 24 10 Klasifikasi afinitas magma berdasarkan
perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor,
1976 dalam Rollinson, 1993) 36
11 Klasisfikasi batuan beku vulkanik (Cox et al., 1979) 38 12 Klasifikasi batuan beku vulkanik (Le Bas et al., 1986
dalam Rollinson, 1993) 38
13 Klasifikasi lingkungan tektonik Th-Hf-Ta (Wood,
1980 dalam Rollinson, 1993) 40
xiii
16 Bowen Reaction Series (Novan, 1992) 47
17 Hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D) dan Derajat Metamorfosa (Noor,
2014) 51
18 Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan
Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Noor, 2014) 53 19 Mineralogi alterasi di dalam sistem hidrotermal
(Corbett dan Leach, 1996) 58
20 Peta tunjuk lokasi penelitian Daerah Kolaka Utara
Sulawesi Tenggara 61
21 Peta Stasiun Pengambilan Sampel 65
22 Diagram Alir Penelitian 67
23 Peta Geologi Daerah Kolaka Utara (dimodifikasi dari
Rusmana dkk. 1993) 69
24 Kolom Stratigrafi daerah penelitian (dimodifikasi dari
Rusmana dkk. 1993) 70
25 Kenampakan singkapan di daerah penelitian (a) batuan trakit di stasiun AGK 06, dan (b) batuan trakit
di stasiun AGK 14 71
26 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 14 dengan
perbesaran 50x 72
27 Kenampakan singkapan batuan metamorf Sekis Muskovit-Kuarsa di stasiun AGK 03 daerah
Penelitian. 72
28 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 03 dengan
perbesaran 50x. 73
xiv
perbesaran 50x. 75
31 Fotomikrograf sayatan batuan AGK 03 (a) dan sayatan batuan AGK 08 (b) yang memperlihatkan mineral-mineral penciri alterasi propilitik berupa kalsit
(Ca), epidot (Ep), kuarsa (Qtz) dan klorit (Chl). 77 32 Fotomikrograf sayatan batuan AGK 09 (a) dan
sayatan batuan AGK 12 (b) yang memperlihatkan kehadiran mineral-mineral penciri alterasi argilik berupa mineral kalsit (Ca), mineral lempung (Cly),
kuarsa (Qtz) dan klorit (Chl). 78
33 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
kehadiran mineral kalkopirit (Cp) 79
34 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
kehadiran mineral pyrit (Py) 80
35 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
kehadiran mineral sfalerit (Sf) 81
36 Model geologi endapan epitermal sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008). 82 37 Plotting pada klasifikasi afinitas magma berdasarkan
perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor,
1976 dalam Rollinson, 1993). 85
38 Plotting pada klasifikasi batuan beku vulkanik (Le
Bas et al, 1986). 86
39 Plotting kandungan major element terhadap SiO2
(Harker, 1909 dalam Rollinson, 1993). 87 40 Plotting pada klasifikasi Spider plot - MORB
(Pearce, 1996). 88
xv
xvi
2 Deskripsi Mineragrafi 112
3 Deskripsi Petrografi (Alterasi) 122
4 Analisis Geokimia ICP-MS 126
LAMPIRAN PETA
5 Peta Stasiun dan Pengambilan Sampel 6 Peta Geologi Daerah Penelitian
7 Peta Zona Tipe Alterasi
1
A. Latar Belakang
Penelitian khusus tentang batuan vulkanik di Kompleks Mekongga yang berhubungan dengan endapan hidrothermal masih sangat terbatas.
Hidrothermal yang merupakan larutan sisa magma yang bersifat aqueous yang kaya akan logam-logam, merupakan sumber cebakan cebakan bijih hidrothermal. Endapan mineral hidrothermal dapat terbentuk karena sirkulasi fluida hidrotermal yang melindi, mentranspor, dan mengendapkan mineral-mineral baru sebagai respon terhadap perubahan fisik maupun kimiawi (Pirajno, 1992).
Interaksi antara fluida hidrothermal dengan batuan yang dilewatinya yaitu batuan dinding akan menyebabkan terubahnya mineral secara kimiawi menjadi mineral alterasi, maupun fluida itu sendiri (Pirajno, 1992).
Proses alterasi merupakan suatu bentuk metasomatisme, yakni pertukaran komponen kimiawi antara larutan dengan batuan dinding/samping. Alterasi hidrotermal tergantung pada karakter batuan dinding/samping, karakter fluida, kondisi tekanan dan temperatur pada saat reaksi berlangsung. Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral. Pada
mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral (Sutarto, 2004).
Batuan vulkanik, umumnya terbentuk dari pembekuan magma yang sangat cepat (misalnya akibat letusan gunung api) sehingga teksturnya lebih halus. Contohnya adalah basalt, trakkit, andesit (yang sering dijadikan pondasi rumah), dan dacite. Batuan vulkanik dapat dikenal melalui tekstur, struktur dan komposisi mineral. Tekstur batuan vulkanik memberikan informasi mengenai proses pembekuan magma dan struktur batuan vulkanik mencirikan batuan tersebut intrusi atau ekstrusi. Sedangkan komposisi mineral pada batuan vulkanik berkaitan dengan ekspresi warna batuan, yang juga mencerminkan asal magma (Mulyaningsih, 2013).
Daerah penelitian tercakup dalam wilayah administrasi Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini merupakan bagian dari Kompleks Mekongga (Pzm) yang merupakan batuan metamorf paleozoikum yang terdiri atas batuan metamorf berupa sekis, geneis, filit dan kuarsit. Secara Regional daerah penelitian tercakup dalam Peta Geologi Regional Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk., 1993).
Berdasarkan data awal yang didapat di lokasi penelitian, kondisi litologi pada daerah penelitian di dominasi oleh batuan metamorf berupa sekis muskovit, sekis klorit dan gneis. Selain batuan metamorf juga dijumpai batuan beku yang diindikasikan merupakan batuan intrusi.
Penelitian mengenai intrusi dasit di daerah Kolaka Utara dilaporkan oleh White et al (2014). Hasil dating radiometrik diketahui bahwa dasit
dilakukan oleh Mawaleda et al (2016), bahwa alterasi dan mineralisasi di Lengan Tenggara Sulawesi dijumpai pada batuan sekis albit di Kompleks Rumbia berupa alterasi tipe porpilitik dan filik, berasosiasi dengan mineral- mineral sulfida (pirit, arsenopirit, antimoni, galena dan cinabar).
Atas referensi tersebut, memberikan inspirasi pentingnya penilitian ini dilakukan untuk melihat dan memahami lebih jauh hubungan pembentukan batuan vulkanik di daerah Kolaka Utara Sulawesi Tenggara, terutama implikasinya terhadap mineralisasi sulfida yang dijumpai pada batuan host metamorf.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di daerah penelitian.
2. Bagaimana hubungan intrusi batuan vulkanik dengan alterasi dan mineralisasi hidrothermal pada batuan metamorf di daerah penelitian.
3. Bagaimana tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
4. Bagaimana model geologi tentatif alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
Berdasarkan rumusan permasalahan yang diuraikan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di daerah penelitian.
2. Mengetahui hubungan pembentukan batuan vulkanik dengan alterasi dan mineralisasi hidrothermal pada batuan metamorf.
3. Mengetahui tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
4. Membuat model geologi tentatif alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah terhadap alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan daerah terutama tentang informasi potensi cebakan bijih.
3. Penting bagi pihak investor untuk mendapatkan data awal tentang potensi mineral bijih serta data geologi lainnya di daerah penelitian.
Penelitian ini dibatasi pada alterasi dan mineralisasi hydrothermal, serta geokimia batuan vulkanik trakit di daerah penelitian.
1. Metode yang dipakai adalah pemetaan geologi, terutama sampling batuan khususnya batuan vulkanik di setiap lokasi yang representatif.
2. Analisis laboratorium terhadap sampel batuan meliputi Analisis petrografi, mineragrafi dan geokimia batuan.
F. Peneliti Terdahulu
a. Sukamto, 1975, membagi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya dalam tiga mandala geologi serta secara regional membahas tektonik sulawesi dan sekitarnya berdasarkan teori tektonik lempeng.
b. Sartono dan Astadireja, 1981, mengadakan penelitian tentang geologi Kuarter di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
c. E. Rusmana, Sukido, D. Sukarna, E. Haryono dan T.O. Simandjuntak, 1984, memetakan geologi lembar Lasusua – Kendari.
d. Sultan, 1994, mengadakan penelitian geologi pada daerah Pohu kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Sulawesi Selatan
e. Musri, Suparka, E., & Tambun, B. (2011). Geology model of alteration and hydrothermal mineralization, Latuppa area, Palopo, South Sulawesi, Proceedings JCM Makassar 2011. The 36th HAGI and 40th IAGI Annual Convention and Exhibition, Makassar.
Kaharuddin & Forster M. A. (2016). Hydrothermal alteration and timing of gold mineralisation in the Rumbia Complex, Southeast Arm of Sulawesi, Indonesia, Proceeding of 2nd International Conference of Transdiciplinaryn Research on Environmental Problems in Southeast Asia (TREPSEA) 2016.
g. White, L.T., Hall, R., Armstrong, R.A., 2014. The age of undeformed dacite intrusions within the Kolaka fault zone, SE Sulawesi, Indonesia.
Journal of Asian Earth Sciences.
7
A. Geologi Regional
Indonesia merupakan wilayah yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng benua Eurasia yang relatif ke arah selatan tenggara, lempeng samudra Indo-Australia yang bergerak ke Utara dan lempeng samudra Pasifik yang bergerak kebarat (Hamilton, 1979).
Pulau Sulawesi adalah salah satu dari 5 pulau besar di Indonesia yang terletak di bagian timur, mempunyai bentuk yang khas menyerupai huruf “K”. Kadarusman (2004) membagi pulau Sulawesi menjadi empat mandala geologi yaitu (1) Mandala barat (West & North Sulawesi Volcano- Plutonic Arc), (2) Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt), (3) Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), (4) Pecahan benua bagian Banggai-Sula dan Tukang Besi (Gambar 1).
Secara umum daerah penelitian ini termasuk Mandala Geologi Sulawesi Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), yang dicirikan oleh himpunan batuan metamorf, dan batuan sedimen penutupnya serta ofiolit yang terjadi dari hasil proses pengangkatan (Obduction) selama Miosen (Surono, 2013).
Gambar 1 Peta Pembagian Mandala Geologi Pulau Sulawesi (Kadarusman dkk.,2004).
Batuan-batuan yang tersingkap di daerah penelitian berumur mulai dari Paleozoikum sampai Kuarter, menurut E. Rusmana, dkk. (1993) pada
Peta Geologi Lembar Lasusua – Kendari, Sulawesi, sekala 1 : 250.000 (Gambar 2) (Lampiran 4).
Gambar 2 Peta Geologi Regional Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana, E., Sukido, sukarna, D.,Haryono, E. Dan Simandjuntak, T.O.,1993).
1. Geomorfologi Regional
Menurut Rusmana, dkk.,(1993) dalam peta geologi regional lembar Lasusua-Kendari skala 1:250.000 membagi dalam empat bentang alam morfologi yaitu, pegunungan, perbukitan, karst dan dataran rendah (Gambar 3).
Secara umum daerah penelitian mempunyai bentangalam yang terdiri dari perbukitan, dataran rendah dan karst. Sebagian besar merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 75m sampai 750m
di atas permukaan laut. Umumnya disusun atas batu gamping dan konglomerat oleh molas Sulawesi. Satuan ini umumnya membentuk perbukitan bergelombang yang ditumbuhi semak dan alang-alang. Sungai di daerah penelitian ini berpola aliran dendritik.
Bentang alam dataran rendah menempati daerah pantai dan sepanjang aliran sungai besar dan muaranya yang memiliki ketinggian berkisar dari beberapa meter hingga 75m diatas muka laut (Rusmana dkk, 1993).
Gambar 3 Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000 (Rusmana dkk., 1993)
2. Stratigrafi Regional
Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi pra-tersier di Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua Lajur Geologi; yaitu Lajur Tinondo dan Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua, dan lajur Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit, (Rusmana, dkk., 1993). Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo (Gambar 4).
Gambar 4 Pembagian Lajur Geologi Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk., 1993)
Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas adalah Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon;
terdiri dari sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis mika grafit, batusabak dan geneis. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari dengan Batuan Malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping terdaunkan (Rusmana dkk., 1993).
Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit (Tr Ga), yang menerobos Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (Tr Jm) yang berumur Trias Tengah sampai Jura, secara takselaras menindih Batuan malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri dari batupasir kuarsa yang termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan dengan serpih hitam dan batu gamping yang mengandung Holabia sp.,dan Daonella sp., serta batusabak pada bagian bawah (Rusmana dkk., 1993).
Pada Zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala (Trjt), terdiri dari batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir. Hubungan dengan Formasi Meluku adalah menjemari. Pada Kala Eosen hingga Miosen Tengah (?), pada lajur ini terjadi pengendapan Formasi Salodik (Terms); yang terdiri dari Kalkarenit dan setempat batugamping ofiolit (Rusmana dkk., 1993).
Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit dan serpentinit. Batuan ofiolit ini
tertindik takselaras (?) oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya (Rusmana dkk., 1993).
Batuan sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal membentuk Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batupasir bersisipan lanau. Formasi ini menindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik di Lajur Tinondo maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk batugamping terumbu koral (Ql) dan formasi Alangga (Qpa) yang terdiri dari batupasir dan konglomerat. Batuan termuda adalah Aluvium (Qa) yang terdiri dariendapan sungai, rawa, dan pantai (Rusmana dkk., 1993).
Gambar 5 Korelasi Satuan Peta Geologi Regional Lembar Lasusua- Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana dkk., 1993)
Bedasarkan dalam Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk, 1993) secara regional diketahui bahwa batuan yang
menyusun daerah penelitian Kabupaten Kolaka Utara dan sekitarnya terdiri dari Kompleks Mekongga (pzm), Batuan Terobosan (PTR(g)), Formasi Tokala (TRJt), Kompleks Ultramafik (Ku), dan Alluvial (Qa) (Gambar 5).
Kompleks Mekongga (Pzm); Penyebaran Kompleks Malihan Mekongga terdahulu telah dilakukan studi batuan malihan antara lain oleh Roever (1947,1956) dalam Surono (2013), sedangkan studi komprehensif dilakukan oleh Helmers dkk, (1989). Kompleks Malihan tersebut diperkirakan berumur Karbon sampai Perm dan mempunyai hubungan menjemari dengan satuan pualam paleozoikum (Pzmm) (Rusmana dkk.,1993), disusun oleh sekis, gneiss, filit, kuarsit, batusabak dan sedikit pualam. Gneiss berwarna kelabu sampai kelabu kehijauan; bertekstur heteroblas, xenomorf sama butiran, terdiri dari mineral granoblas berbutir halus sampai sedang. Jenis batuan ini terdiri atas gneiss kuarsa biotit dan gneiss muskovit. Bersifat kurang padat sampai padat.
Dijumpainya asosiasi mineral malihan seperti glukofan, lawsonit, epidot, kloritoid dan garnet didalam derajat tinggi sampai sekis biru yang menunjukkan bahwa batuan malihan dalam kompleks malihan Mekongga berbeda dengan yang berada di wilayah tengah Sulawesi (de Roever, 1947 dalam Surono, 2013) terutama dengan kehadiran mineral jedeit-agirin, krosit, lawsonit dan ferrokarfolit.
Kompleks malihan mengkoka memperlihatkan sekistositi yang dibentuk oleh glaukofan. Batuan malihan disusun oleh sekis grafit-mika dan
mika kuarsit dengan sisipan pualam. Sementara batuan-batuan malihan metabasit masih memperilihatkan tekstur relik batuan beku yang ditunjukkan reaksi teori mineral augit dan plagioklas. Analisis kimia menunjukkan bahwa batuan metabasit berasosiasi dengan toleitik dari MORB dan sebagian lainnya berasal dari grauwake.
Berdasarkan hasil perhitungan P-T terhadap pasangan mineral garnet-pengit, albit-omfasit dan pengit menunjukkan batuan terbentuk pada suhu 400-4400C dan tekanan 8,5-6 kbar. Pengukuran suhu diperkuat dengan ketidakhadiran biotite dalam paragenesa pengit menunjukkan suhu dibawah 4500C. Batuan malihan derajat tinggi kemungkinan telah mengalami pengangkatan atau eksumasi ke permukaan secara cepat akibat erosi atau lainnya (Helmers dkk, 1989 dalam Surono, 2013).
Menurut White dkk, (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa di Kompleks Mekongga terdapat Intrusi Dasit pada Sesar Kolaka, dapat dilihat pada (Gambar 6 dan 7).
Gambar 6 Peta Geologi daerah Kolaka Utara menunjukkan lokasi Intrusi Dasit (White, et al, 2014)
Berdasarkan analisis geokimia dengan menggunakan major element SiO2 (68-70%), MgO (1.86-1.93%) and TiO2 (0.49%) dan trace element dengan jumlah besar berupa Cs, Rb, Th, U, Pb dan Sr, dan jumlah kecil berupa Nb, Ta, La, Nd, Sm, Hf, Zr, Y and Yb. Menunjukkan batuan dasit tersebut hasil dari produk subdaksi ( Elburg and Foden 1999a;b; Elburg et al. 2003 dalam White, et al, 2014).
Gambar 7 Singkapan batuan Intrusi Dasit dan batuan sekis Mika Kompleks Mengkoka (White dkk.,2014)
Batuan Terobosan (PTR(g)); Batuan Terobosan terdiri atas aplit kuarsa, andesit dan latit kuarsa. Satuan ini menerobos satuan batuan malihan paleozoikum dan diperkirakan berumur perm (Rusmana dkk.,1993).
Formasi Tokala (TRJt); Formasi Tokala terdiri atas kalsilutit, batugamping, batupasir, serpih dan napal. Kalsilutit berwarna kelabu muda, kelabu sampai merah jambu, berbutir halus, sangat padu, serta memiliki perlapisan yang baik, dengan kekar yang diisi urat kalsit putih kotor.
Umumnya telah mengalami pelipatan kuat; tidak jarang ditemukan sinklin dan antiklin, serta lapisan yang hampir tegak (melebihi 80 derajat).
Setempat terdaunkan. Batugamping, mengandung fosil Halobia, Amonit dan Belemnit. Batupasir berukuran halus sampai kasar, berwarna kelabu kehijauan sampai merah kecoklatan terakat lempung dan oksida besi lunak, setempat padat, mengandung sedikit kuarsa, berlapis baik. Serpih dan napal berwarna kelabu sampai kekbu tua, memiliki perlapisan baik, tebal lapisan antara 10 - 20 cm. Lempung pasiran, berwarna kelabu sampai kecoklatan, perlapisan baik, tebal lapisan antara 1 - 10 cm berselingan dengan batuan yang disebutkan terdahulu. Formasi ini diperkirakan berumur Trias - Jura Awal dengan lingkungan pengendapan pada laut dangkal (neritik). Tebal formasi ini diperkirakan lebih dari 1000 meter (Rusmana dkk.,1993).
Kompleks Ultramafik (Ku); Kompleks Ultramafik terdiri atas peridotit, dunit dan serpentinit. Serpentinit berwarna kelabu tua sampai kehitaman;
padu dan pejal. Batuannya bertekstur afanitik dengan susunan mineral antigorit, lempung dan magnetit. Umumnya memperlihatkan struktur kekar dan cermin sesar yang berukuran megaskopis. Dunit, kehitaman; padu dan pejal, bertekstur afanitik. Mineral penyusunnya ialah olivin, piroksin, plagioklas, sedikit serpentin dan magnetit; berbutir halus sampai sedang.
Mineral utama olivin berjumlah sekitar 90%. Tampak adanya penyimpangan dan pelengkungan kembaran yang dijumpai pada piroksin, mencirikan adanya gejala deformasi yang dialami oleh batuan ini. Di beberapa tempat dunit terserpentinkan kuat yang ditunjukkan oleh struktur sisa seperti rijang dan barik-barik mineral olivin dan piroksin, serpentin dan talkum sebagai mineral pengganti. Peridotit terdiri atas jenis harzburgit dan lherzolit. Harzburgit, hijau sampai kehitaman, holokristalin, padu dan pejal.
Mineralnya halus sampai kasar, terdiri atas olivin (60%) dan piroksin (40%).
Di beberapa tempat menunjukkan struktur perdaunan. Hasil penghabluran ulang pada mineral piroksin dan olivin mencirikan batas masing-masing kristal bergerigi. Lherzolith, hijau kehitaman; holokristalin, padu dan pejal.
Mineral penyusunnya ialah olivin (45%), piroksin (25%), dan sisanya epidot, yakut, klorit, dan bijih dengan mineral berukuran halus sampai kasar.
Satuan batuan ini diperkirakan berumur Kapur (Rusmana dkk.,1993).
Alluvial (Qa); Alluvial terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lempung dan lumpur. Satuan ini merupakan hasil dari endapan sungai, rawa dan endapan pantai. Umur satuan ini adalah holosen (Rusmana dkk.,1993).
3. Struktur Geologi Regional
Struktur regional yang terbentuk di Pulau Sulawesi dan kawasan sekitarnya meliputi penunjaman dan zona tumbukan, Sesar Naik, dan Sesar Geser. Struktur geologi regional tersebut adalah Parit Sulawesi Utara (North Sulawesi Trench), Sistem Sesar Palu-Koro, Sesar Naik Batui, Sesar Naik Poso, Sesar Walanae, dan pemekaran Samudra di Selat Makassar (Gambar 2.10) (Surono, 2010; 2013).
Gambar 8 Strutur Geologi Sulawesi dan sekitarnya (disederhanakan oleh Silver dkk.,1983 dan Rehahult dkk., 1991 dalam Surono, 2010)
Secara regional Lengan Timur Sulawesi, dimana daerah penelitian berada, adalah daerah dengan pola tektonik kompresi berarah relatif Barat- Baratlaut-Timur-Tenggara (WNW-ESE).
Sistem kompresi utama berkaitan dengan pergerakan lempeng mikro-kontinen Banggai-Sula ke arah barat dan bertemu dengan bagian Sulawesi. Sistem kompresi yang menerus sejak zaman Miosen Tengah- Akhir (Rangin dkk., 1990) menjepit lempeng samudera yang berada di antara Banggai-Sula dengan Sulawesi, melipatnya, mematahkannya, dan mendorongnya naik (obduksi) ke atas masa batuan di sisi timurnya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa batuan lempeng samudera (berkomposisi ofiolitik) yang umumnya berada di bagian bawah tertutupi batuan lain, bisa tersingkap di permukaann, di hampir semua bagian lengan Timur Sulawesi.
Sistem kompresi ini memberikan pola struktur anjakan, geser, dan lipatan yang kompleks. Secara umum sesar anjakan mempunyai arah anjakan ke timur atau ke barat dengan pola penyebaran utara-selatan.
Sesar geser baik sesar utama maupun sesar sekunder cenderung melampar pada arah timur-barat, umumnya berupa sesar geser mendatar.
Sistem kompresi ini, melipat-menggeser-mematahkan pula batuan- batuan yang terbentuk lebih muda dari Miosen Tengah, bahkan sampai pada batuan berumur Pleistosen (Simanjuntak dkk., 1977).
Sesar dan kelurusan yang dijumpai di lembar Lasusua-Kendari umumnya berarah baratlaut-tenggara searah dengan Sesar Lasolo (Rusmana, dkk., 1993). Sesar Lasolo berupa sesar geser jurus mengiri yang diduga masih aktif hingga sampai saat ini; hal ini dibuktikan dengan adanya mataair panas di Desa Sonai, Kecamatan Pondidaha pada batugamping terumbu yang berumur Holosen pada jalur sesar tersebut di tenggara Tinobu. Sesar Lasolo ini diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada kala Oligosen (Simandjuntak dkk.,1983).
Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo; yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu dan Formasi Matano. Sesar Lasolo berarah baratlaut-tenggara dan membagi Lembar Kendari menjadi dua bagian, sebelah timurlaut sesar di sebut Lajur Hialu dan sebelah baratdaya di sebut lajur Tinondo (Rusmana dan Sukarna, 1993). Ditafsirkan bahwa sebelum Oligosen Lajur Hialu dan lajur Tinondo bersentuhan secara pasif, kemudian sesar ini berkembang menjadi suatu
“transform fault” dan menjadi sesar lasolo sejak Oligosen, yaitu pada saan mulai giatnya kembali Sesar Sorong.
Lipatan pada batuan tersier berupa lipatan dengan kemiringan lapisan berkisar 15-30°. Kekar terdapat pada semua jenis batuan. Pada batugamping kekar ini tampak teratur yang membentuk kelurusan,
sedangkan kekar pada batuan beku umumnya menunjukkan arah tak beraturan (Rusmana dkk, 2010).
B. Landasan Teori
1. Batuan Beku
a. Pengertian Batuan Beku
Batuan beku (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik).
Magma ini dapat berasal dari batuan setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak bumi. Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut: kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Lebih dari 700 tipe batuan beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah permukaan kerak bumi (Noor, 2012).
b. Struktur Batuan Beku
Berdasarkan tempat pembekuannya batuan beku dibedakan menjadi batuan beku extrusive dan intrusive. Hal ini pada nantinya akan menyebabkan perbedaan pada tekstur masing masing batuan tersebut.
Kenampakan dari batuan beku yang tersingkap merupakan hal pertama
yang harus kita perhatikan. Kenampakan inilah yang disebut sebagai struktur batuan beku.
1. Struktur batuan beku ekstrusif
Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya berlangsung dipermukaan bumi. Batuan beku ekstrusif ini yaitu lava yang memiliki berbagia struktur yang memberi petunjuk mengenai proses yang terjadi pada saat pembekuan lava tersebut. Struktur ini diantaranya:
a. Masif, yaitu struktur yang memperlihatkan suatu masa batuan yang terlihat seragam.
b. Sheeting joint, yaitu struktur batuan beku yang terlihat sebagai lapisan
c. Columnar joint, yaitu struktur yang memperlihatkan batuan terpisah poligonal seperti batang pensil.
d. Pillow lava, yaitu struktur yang menyerupai bantal yang bergumpal- gumpal. Hal ini diakibatkan proses pembekuan terjadi pada lingkungan air.
e. Vesikular, yaitu struktur yang memperlihatkan lubang-lubang pada batuan beku. Lubang ini terbentuk akibat pelepasan gas pada saat pembekuan.
f. Amigdaloidal, yaitu struktur vesikular yang kemudian terisi oleh mineral lain seperti kalsit, kuarsa atau zeolit
g. Struktur aliran, yaitu struktur yang memperlihatkan adanya kesejajaran mineral pada arah tertentu akibat aliran
2. Struktur Batuan Beku Intrusif
Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya berlangsung dibawah permukaan bumi. berdasarkan kedudukannya terhadap perlapisan batuan yang diterobosnya struktur tubuh batuan beku intrusif terbagi menjadi dua yaitu konkordan dan diskordan.
Gambar 9 Bagan Struktur Batuan Beku Instrusif (Noor, 2012) A. Konkordan
Tubuh batuan beku intrusif yang sejajar dengan perlapisan disekitarnya, jenis jenis dari tubuh batuan ini yaitu :
a. Sill, tubuh batuan yang berupa lembaran dan sejajar dengan perlapisan batuan disekitarnya.
b. Laccolith, tubuh batuan beku yang berbentuk kubah (dome), dimana perlapisan batuan yang asalnya datar menjadi melengkung akibat penerobosan tubuh batuan ini, sedangkan bagian dasarnya tetap datar.
Diameter laccolih berkisar dari 2 sampai 4 mil dengan kedalaman ribuan meter.
c. Lopolith, bentuk tubuh batuan yang merupakan kebalikan dari laccolith, yaitu bentuk tubuh batuan yang cembung ke bawah. Lopolith memiliki diameter yang lebih besar dari laccolith, yaitu puluhan sampai ratusan kilometer dengan kedalaman ribuan meter.
d. Paccolith, tubuh batuan beku yang menempati sinklin atau antiklin yang telah terbentuk sebelumnya. Ketebalan paccolith berkisar antara ratusan sampai ribuan kilometer.
B. Diskordan
Tubuh batuan beku intrusif yang memotong perlapisan batuan disekitarnya. Jenis-jenis tubuh batuan ini yaitu:
a. Dyke, yaitu tubuh batuan yang memotong perlapisan disekitarnya dan memiliki bentuk tabular atau memanjang. Ketebalannya dari beberapa sentimeter sampai puluhan kilometer dengan panjang ratusan meter.
b. Batolith, yaitu tubuh batuan yang memiliki ukuran yang sangat besar yaitu
> 100 km2 dan membeku pada kedalaman yang besar.
c. Stock, yaitu tubuh batuan yang mirip dengan Batolith tetapi ukurannya lebih kecil
c. Tekstur Batuan Beku
Magma merupakan larutan yang kompleks. Karena terjadi penurunan temperatur, perubahan tekanan dan perubahan dalam komposisi, larutan magma ini mengalami kristalisasi. Perbedaan kombinasi hal-hal tersebut pada saat pembekuan magma mengakibatkan terbentuknya batuan yang memilki tekstur yang berbeda. Ketika batuan beku membeku pada keadaan temperatur dan tekanan yang tinggi di bawah permukaan dengan waktu pembekuan cukup lama maka mineral-mineral penyusunya memiliki waktu untuk membentuk sistem kristal tertentu dengan ukuran mineral yang relatif besar. Sedangkan pada kondisi pembekuan dengan temperatur dan tekanan permukaan yang rendah, mineral-mineral penyusun batuan beku tidak sempat membentuk sistem kristal tertentu, sehingga terbentuklah gelas (obsidian) yang tidak memiliki sistem kristal, dan mineral yang terbentuk biasanya berukuran relatif kecil.
Berdasarkan hal di atas tekstur batuan beku dapat dibedakan berdasarkan:
1. Tingkat kristalisasi
a) Holokristalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya disusun oleh kristal
b) Hipokristalin, yaitu batuan beku yang tersusun oleh kristal dan gelas c) Holohyalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh
gelas
2. Ukuran butir
a) Phaneritic, yaitu batuan beku yang hampir seluruhmya tersusun oleh mineral-mineral yang berukuran kasar.
b) Aphanitic, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh mineral berukuran halus.
3. Bentuk kristal
Ketika pembekuan magma, mineral-mineral yang terbentuk pertama kali biasanya berbentuk sempurna sedangkan yang terbentuk terakhir biasanya mengisi ruang yang ada sehingga bentuknya tidak sempurna. Bentuk mineral yang terlihat melalui pengamatan mikroskop yaitu:
a) Euhedral, yaitu bentuk kristal yang sempurna
b) Subhedral, yaitu bentuk kristal yang kurang sempurna c) Anhedral, yaitu bentuk kristal yang tidak sempurna.
4. Berdasarkan kombinasi bentuk kristalnya
a) Unidiomorf (Automorf), yaitu sebagian besar kristalnya dibatasi oleh bidang kristal atau bentuk kristal euhedral (sempurna)
b) Hypidiomorf (Hypautomorf), yaitu sebagian besar kristalnya berbentuk euhedral dan subhedral.
c) Allotriomorf (Xenomorf), sebagian besar penyusunnya merupakan kristal yang berbentuk anhedral.
5. Berdasarkan keseragaman antar butirnya
a) Equigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya hampir sama
b) Inequigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya tidak sama d. Klasifikasi Batuan Beku Berdasarkan Genetik
Batuan beku yang merupakan hasil pemadatan magma, berdasarkan tempat pembekuannya dikelompokkan menjadi batuan beku dalam (plutonic or intrussive rocks) dan batuan beku luar (volcanic or extrussive rocks). Pada umumnya pembagian batuan beku didasarkan atas tekstur dan komposisi, baik komposisi mineral maupun komposisi kimia.
Kriteria dalam pengklasifikasian batuan beku (O.Hirokawa, 1980 dalam Alzwar dkk., 1988), antara lain:
1. Kehadiran mineral atau sekelompok mineral dapat dijadikan sebagai dasar pembagian untuk menunjukkan keadaan alami batuan beku.
Mineral atau kelompok mineral terang (felsic mineral) seperti feldspar (K–
feldspar dan plagioklas), feldspatoid, mineral–mineral silika, dan sebagainya akan menunjukkan derajat kejenuhan SiO2 dan jumlah alkali terhadap SiO2 sedangkan tipe batuan beku luar pada umumnya didasarkan atas jumlah mineral gelap (mafic mineral) seperti olivin, piroksin, dan hornblende.
2. Unsur Na dan K dalam feldspar digunakan untuk menentukan jenis feldspar, dimana unsur–unsur tersebut mencirikan perkembangan proses diferensiasi–kristalisasi. Feldspar yang kaya akan Na dan K merupakan hasil lanjutan diferensiasi–kristalisasi magma.
3. Perbandingan jumlah kuarsa, K–feldspar, dan plagioklas digunakan sebagai salah satu dasar pembagian batuan beku plutonik.
4. Indeks warna yang merupakan persentase isi mineral–mineral gelap dalam batuan beku atau mineral felsic–mafic dalam batuan kristalinitas rendah atau gelasan dapat digunakan sebagai pembagian sub–kelas batuan beku.
a) Batuan felsik (felsic rock) merupakan batuan beku yang terdiri dari mineral berwarna terang atau yang memiliki indeks warna kurang dari 20. Contoh dasit, riolit, dan sebagainya.
b) Batuan mafik (mafic rock) adalah batuan beku yang terdiri dari mineral berwarna gelap atau yang memiliki indeks warna antara 40 – 70. Contoh gabro, basal, dan sebagainya. Istilah gelap juga digunakan untuk mineral–mineral ferro–magnesia atau berwarna gelap seperti olivin, piroksin, hornblende, biotit, dan sebagainya.
c) Batuan intermediet (intermediate rock) merupakan batuan beku peralihan antara gelap dan terang.
d) Batuan ultramafik (ultramafic rock) adalah batuan beku yang dominan tersusun oleh mineral–mineral gelap seperti olivin, piroksin, grup amfibol, dan sebagainya. Umumnya mempunyai indeks warna lebih dari 70.
5. Berdasarkan tekstur, terutama ukuran butir, didapatkan klasifikasi seperti batuan dengan ukuran mineral lebih kecil (batuan beku luar), batuan
dengan ukuran mineral sedang (batuan hipabisal), dan batuan dengan ukuran mineral lebih besar (batuan beku dalam).
Menurut keterdapatannya, berdasarkan tatanan tektonik dan posisi pembekuannya (tabel 1), batuan beku diklasifikasikan sebagai batuan intrusi plutonik berupa granit, syenit, diorit, dan gabro. Intrusi dangkal yaitu dasit, andesit, andesitik–basaltik, riolit, dan batuan gunungapi (ekstrusi yaitu riolit, lava andesit, dan lava basal).
Tabel 1. Klasifikasi batuan beku berdasarkan letak/keterdapatannya (Wilson, 1989).
Keterdapatannya Asam Intermediet Basa Plutonik (intrusi) Granit,
Syenit Diorit Gabro
Intrusi Dangkal Dasit-
Riodasit Andesit Basaltik- Andesitik Vulkanik;
Dengan Tatanan tektonik
Busur
magmatik Riolitik Andesitik Basaltik Belakang
busur Trakitik Trakitik Basal Trakitik Mid oceanic
ridges - - Lava basal
e. Klasifikasi Batuan Beku Berdasarkan Komposisi Kimia dan Mineral
Senyawa kimia magma yang dianalisis melalui hasil konsolidasinya di permukaan dalam bentuk batuan gunungapi, dapat dikelompokkan menjadi :
a. Senyawa–senyawa volatile, terutama terdiri dari fraksi gas seperti CH4, CO2, HCl, H2S, SO2, NH3, dan sebagainya.
b. Senyawa–senyawa yang bersifat non–volatile dan merupakan unsur–
unsur oksida dalam magma. Karena jumlahnya yang mencapai 99%
maka unsur ini juga merupakan major element, terdiri dari oksida–oksida SiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O, K2O, TiO2, dan P2O5. c. Unsur–unsur lain yang disebut unsur jejak (trace element), seperti
Rubidium (Rb), Barium (Ba), Stronsium (Sr), Nickel (Ni), Cobalt (Co), Vanadium (V), Croom (Cr), Lithium (Li), Sulphur (S), dan Plumbum (Pb).
Unsur–unsur jejak ini bukan sebagai unsur oksida dan tidak dapat digunakan sebagai dasar penggolongan magma. Unsur ini digunakan dalam penentuan genesa magma, misalnya komposisi Sr dan Pb, dalam basal samudera mencirikan asalnya dari selubung bumi. Gejala pelelehan sepihak (partial melting) akan mengkonsentrasikan isotop Sr87
dan Rb87 sedangkan pelelahan selubung yang menghasilkan magma primer basaltik di samudera ditunjukkan oleh perbandingan Sr87/Sr86 >
0,704 dan Pb206/Pb204 < 18,6. Lava basaltik dari lantai samudera akan memiliki nilai perbandingan K/Rb tinggi (Charmichael, 1974 dalam Alzwar dkk., 1988), sedangkan basal benua tersusun atas Ni, Cr, dan Co yang lebih rendah dari yang dikandung tholeiitic samudera (Pingwood, 1975 dalam Alzwar dkk., 1988). Unsur jejak (trace element) yang umumnya digunakan adalah elemen LILE (Large Ion Lithophile
Elements) dan HFSE (High Field Strength Elements). Unsur yang termasuk LILE yaitu, Cs, Rb, K, Ba, Sr, dan Pb. Sifat unsur ini memiliki ukuran atom yang lebih besar, umumnya berupa fluida mobile sehingga cenderung tidak akurat (incompatible), dan karena rentan akan pelapukan sehingga butuh ketelitian dalam penggunaan unsur sebagai indikator petrogenesa. Unsur yang termasuk HFSE yaitu, Sc, Y, Th, U, Pb, Zr, Hf, Ti, Nb, dan Ta. Sifat unsur ini umumnya berupa fluida immobile sehingga cenderung tidak akurat (incompatible), kecuali dalam beberapa fase tertentu, dan rentan pelapukan serta merupakan salah satu indikator yang baik dalam petrogenesa.
d. REE (Rare Earth Element) atau unsur bumi yang jarang. Unsur ini terbagi dalam 15 grup yaitu La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, dan Lu dengan nomor atom dari 57 (La) sampai 71 (Lu). Unsur yang mempunyai nomor atom yang kecil secara umum dikenal dengan sebutan light REE (REE ringan) sedangkan yang mempunyai nomor atom besar dikenal secara umum sebagai heavy REE (REE berat), begitupula yang mempunyai nomor atom sedang dikenal sebagai middle REE (REE sedang). REE adalah salah satu yang digunakan dalam studi petrogenesa bagi batuan beku (Rollinson, 1993).
Tabel data geokimia batuan beku, metamorf, atau sedimen awalnya akan memperlihatkan variasi yang tidak sesuai pada konsentrasi individu dari setiap unsur penyusunnya. Parameter yang biasa digunakan dan telah
terbukti akurat digunakan pada uji geokimia adalah diagram variasi.
Diagram variasi adalah bivariate graph atau scattergram yang menggunakan dua variabel terpilih. Diagram ini dipopulerkan pada tahun 1909 oleh Alfred Harker dalam bukunya “Natural History of Igneous Rocks”.
Salah satu tipe diagram variasi berupa kombinasi plotting senyawa SiO2
pada sumbu-x dan senyawa oksida lainnya pada sumbu-y yang dikenal sebagai diagram Harker (Rollinson, 1993).
Kristalisasi fraksional adalah proses utama pada sebagian besar evolusi batuan beku dan secara berulang menjadi penyebab kenampakan arah utama pada diagram variasi. Kristalisasi fraksional ditandai dengan kehadiran fenokris. Pentingnya kristalisasi fraksional dikemukakan oleh Bowen pada tahun 1928 dalam bukunya “The Evolution of Igneous Rocks”.
Bowen berpendapat bahwa kecenderungan geokimia batuan vulkanik mewakili liquid line (Rollinson, 1993). Pola diambil dari cairan sisa selama evolusi diferensiasi mineral magma. Ide Bowen ini harus diklarifikasi sesuai dengan penemuan modern (Rollinson, 1993), yaitu:
1. Adanya partial melting (pelelehan separuh).
2. Pola cairan hanya ditunjukkan oleh batuan vulkanik yang miskin fenokris.
3. Satuan batuan vulkanik jarang memperlihatkan perubahan kimia erupsi sesuai sekuen waktu.
Jika komposisi fenokris tidak bisa dijelaskan pada satu seri batuan dan model kristalisasi fraksional tidak terlihat, maka diinstruksikan untuk
mempertimbangkan simultan asimilasi dari batuan asal dan kristalisasi fraksional. Proses ini kadang dihubungkan dengan AFC dan pertama kali dicanangkan oleh Bowen pada tahun 1982, yang beralasan bahwa panas kristalisasi selama kristalisasi fraksinasi dapat menghasilkan sebuah energi untuk melelehkan batuan asal (Rollinson, 1993).
Peleburan fraksional akan memperlihatkan kecenderungan digram variasi yang dikontrol oleh sifat kimia fase solid pada peleburan. Tetapi, akan sangat sulit untuk membedakan kecenderungan kristalisasi fraksinasi pada digram variasi unsur utama. Pada kedua proses yang mewakili keseimbangan kristal liquid melibatkan hampir semua cairan yang teridentifikasi dan kristal yang telah teridentifikasi. Suatu situasi pada partial melting dan fraksinasi kristalisasi dapat dibedakan jika kedua proses berada pada kondisi fisik yang berbeda. Sebagai contoh, jika partial melting berada pada kedalaman paling bawah di mantel bumi dan kristalisasi fraksinasi pada fenomena di lempeng bumi, maka fase yang terlibat pada peleburan akan berbeda dengan fase pada kristalisasi fraksinasi (Rollinson, 1993).
Klasifikasi magma berdasarkan kandungan unsur–unsurnya, yaitu : 1. Berdasarkan kandungan oksidanya
Tabel 2. Klasifikasi magma berdasarkan kandungan major element (Alzwar dkk., 1988).
Major element Magma Asam (%) Magma Basa (%)
SiO2 65-75 45-58
Al2O3 12-16 13-17
Fe2O3
4-8 9-14
FeO
MgO 4-6 5-8
CaO Na2O
6-9 3-5
K2O
P2O5 0,02-0,54 0,15-0,53
MnO < 0,19 0,12-0,19
TiO2 0,15-1,2 1,3-3,1
2. Berdasarkan derajat keasaman (acidity) atau kandungan SiO2
Tabel 3 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan SiO2 (%) atau derajat keasaman (Alzwar dkk., 1988)
Nama Batuan Kandungan Silika
Batuan Asam >66%
Batuan Intermediet 52-66%
Batuan Basa 45-52%
Batuan Ultrabasa <15%
Hasil analisis kimia batuan beku vulkanik menunjukkan bahwa kandungan rata–rata SiO2 adalah antara 35 – 75%, Al2O3 sekitar 12 – 18%.
Fe, Fe2O3, MgO, dan CaO pada batuan beku yang berkadar SiO2 rendah berkisar antara 20 – 30%. Sedang pada batuan yang kadar SiO2–nya tinggi hanya sekitar 5%. Pada batuan beku, Na2O umumnya berkisar antara 2,5 – 4% dan K2O antara 0,5 – 5%. Kandungan Na2O yang lebih dari 8% dan K2O 6% hanya dijumpai pada batuan yang bersifat alkalin (Carmichael, 1974 dalam Alzwar dkk., 1988). Pembagian seri magma pada batuan beku
didasarkan pada persentase kandungan kimia K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993). Klasifikasi ini kemudian membagi menjadi tiga seri magma, yaitu seri shoshonite, calc – alkaline (High K &
Medium K), dan seri thoeliite (Low K). Secara umum seri calc–alkaline hanya terdapat pada daerah konvergen sedangkan seri tholeiitic terdapat pada daerah konvergen ataupun divergen, adapun seri shoshonite adalah magma tipe peralihan.
Gambar 10 Klasifikasi afinitas magma berdasarkan perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993).
Berdasarkan hasil analisis kimia, batuan beku vulkanik menunjukkan kandungan rata–rata SiO2 adalah antara 35 – 75%, Al2O3 sekitar 12 – 18%
(pada kebanyakan batuan beku) dan mencapai 20% pada batuan intermediet yang mempunyai kandungan SiO2 sekitar 45%. Fe, Fe2O3, MgO, dan CaO pada batuan beku berkadar SiO2 rendah berkisar antara 20
– 30%, sedangkan pada batuan yang kadar SiO2–nya tinggi hanya sekitar 5%. Na2O umumnya berkisar antara 2,5% – 4% dan K2O antara 0,5 – 5%.
Kandungan Na2O yang lebih dari 8% dan K2O 6% (jarang yang mencapai 10%) hanya dijumpai batuan beku yang bersifat alkalin (Carmichael, 1974 dalam Alzwar dkk., 1988).
Tabel 4 Persentase kandungan oksida dari beberapa batuan beku vulkanik (Carmichael, 1974 dalam Alzwar dkk., 1988).
Unsur Non-
volatile/Oksida Riolit Dasit Andesit Basal Fonolit
SiO2 73,66 63,58 54,20 50,83 56,90
TiO2 0,22 0,64 1,31 2,03 0,59
Al2O3 13,45 16,67 17,17 14,07 20,17
Fe2O3 1,25 2,24 3,48 2,88 2,26
FeO 0,75 3,00 5,49 9,05 1,85
MnO 0,03 0,11 0,15 0,18 0,19
MgO 0,32 2,12 4,36 6,34 0,58
CaO 1,13 5,35 7,92 10,42 1,88
Na2O 2,99 3,98 3,67 2,23 8,72
K2O 5,35 1,40 1,11 0,82 5,42
P2O5 0,07 0,17 0,28 0,23 0,17
H2O 0,78 0,56 0,86 0,91 0,96
Total (%) 100 100 100 100 100
Klasifikasi batuan beku berdasarkan kandungan kimianya adalah sebagai berikut :
1. Klasifikasi batuan beku berdasarkan major element yaitu perbandingan jumlah (%) Na2O + K2O dengan silika (SiO2) oleh Cox et al. (1979).
Gambar 11 Klasisfikasi batuan beku vulkanik (Cox et al., 1979).
2. Klasifikasi batuan beku vulkanik berdasarkan major element yaitu perbandingan jumlah (%) Na2O + K2O dengan silika (SiO2) oleh Le Bas et al. (1986) yang diadaptasi oleh Rollinson (1993).
Gambar 12 Klasifikasi batuan beku vulkanik (Le Bas et al., 1986 dalam Rollinson, 1993).
Kelebihan klasifikasi ini antara lain (Rollinson, 1993) :
a. Dalam klasifikasi di atas menggunakan seluruh major element.
b. Klasifikasi ini cukup untuk diaplikasikan kepada semua jenis batuan beku.
c. Komposisi mineral juga dapat diplot dalam diagram klasifikasi sehingga kita dapat membandingkan antara data kimia dan modal.
d. Derajat kejenuhan silika dan perubahan komposisi feldspar dapat terlihat.
3. Klasifikasi lingkungan tektonik berdasarkan kandungan kimianya
Lingkungan tektonik dapat diketahui dengan melihat komposisi kimia batuannya dengan Klasifikasi lingkungan tektonik menurut Wood (1980) yang diadaptasi oleh Rollinson (1993) dengan menggunakan trace element/HFSE (immobile) berupa perbandingan unsur Th-Hf-Ta.
Penggunaan unsur HFSE (High Field Strength Elements) pada klasifikasi ini dikarenakan sifat dari unsur ini umumnya berupa fluida immobile sehingga cenderung akurat (compatible), namun dalam beberapa fase tertentu, dan rentan pelapukan serta merupakan salah satu indikator yang baik dalam petrogenesa. Klasifikasi ini secara umum membagi empat jenis lingkungan tektonik yaitu;
1. N-MORB (Mid Ocean Ridge Basalt)
2. E-MORB (Mid Ocean Ridge Basalt) dan WPT (Within Plate Thoeliite)
3. WPA (Within Plate Alkaline)
4. IAT (Island Arc Thoeliite) dan CAB (Island Arc Calc-Alkaline Basalt)
Gambar 13 Klasifikasi lingkungan tektonik Th-Hf-Ta (Wood, 1980 dalam Rollinson, 1993).
2. Batuan Vulkanik
a. Pengertian Batuan Vulkanik
Batuan beku vulkanik adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil dari kegiatan gunung api. Kegiatan gunung api diartikan sebagai proses keluarnya magma dari dalam bumi kepermukaan. Batuan beku vulkanik
dapat dikenal melalui dari tekstur, struktur dan komposisi mineral. Tekstur batuan vulkanik memberikan informasi mengenai proses pembekuan magma dan struktur batuan vulkanik mencirikan batuan tersebut intrusi atau ekstrusi, sedangkan komposisi mineral pada batuan beku vulkanik berkaitan dengan warna batuan dan asal magma batuan. (Mulyaningsih, 2013).
Didasarkan atas komposisi materialnya, endapan piroklastika terdiri dari tefra (pumis dan abu gunung api, skoria, Pele’s tears dan Pele’s hair, bom dan blok gunung api, accretionary lapilli, breksi vulkanik dan fragmen litik), endapan jatuhan piroklastika, endapan aliran piroklastika, tuf terelaskan dan endapan seruakan piroklastika. Aliran piroklastika merupakan debris terdispersi dengan komponen utama gas dan material padat berkonsentrasi partikel tinggi. Mekanisme transportasi dan pengendapannya dikontrol oleh gaya gravitasi bumi, suhu dan kecepatan fluidisasinya. Material piroklastika dapat berasal dari guguran kubah lava, kolom letusan, dan guguran onggokan material dalam kubah (Fisher, 1984).
Material yang berasal dari tubuh kolom letusan terbentuk dari proses fragmentasi magma dan batuan dinding saat letusan. Dalam endapan piroklastika, baik jatuhan, aliran maupun seruakan; material yang menyusunnya dapat berasal dari batuan dinding, magmanya sendiri, batuan kubah lava dan material yang ikut terbawa saat tertransportasi.
Batuan gunung api yang keluar dengan jalan efusif mengahasilkan aliran lava, sedangkan yang keluar dengan jalan eksplosif menghasilkan batuan fragmental (rempah gunung api).
Menurut Pettijohn (1975), endapan gunung api fragmental bertekstur halus dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu vitric tuff, lithic tuff dan chrystal tuff. Menurut Fisher (1966), endapan gunung api fragmental tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kelas didasarkan atas ukuran dan bentuk butir batuan penyusunnya. (Gambar 14) adalah klasifikasi batuan vulkanik menurut keduanya.
Gambar 14 Klasifikasi batuan gunung api fragmental menurut Pettijohn (1975; kiri) dan Fisher (1966; kanan)
b. Siklus Batuan dan Pembentukan Batuan Beku Vulkanik
Gambar 15 Siklus batuan (Noor, 2009).
(Gambar 15) merupakan gambar siklus dari batuan, dalam siklus tersebut, batuan beku terbentuk sebagai akibat dari pendinginan dan pembekuan magma. Pendinginan magma yang berupa pelelehan silikat, akan diikuti oleh proses penghabluran (perubahan wujud zat, dari gas menjadi padat) yang dapat berlangsung dibawah atau diatas permukaan bumi melalui erupsi gunung berapi. Kelompok batuan beku tersebut, apabila kemudian tersingkap dipermukaan, maka ia akan bersentuhan dengan atmosfir dan hidrosfir, yang menyebabkan berlangsungnya proses pelapukan (Noor, 2009).
Melalui proses ini batuan akan mengalami penghancuran.
Selanjutnya, batuan yang telah dihancurkan ini akan berpindah dari tempatnya terkumpul karena adanya gaya berat yang dibantu dengan adanya air yang mengalir diatas dan dibawah permukaan, angin yang bertiup, gelombang dipantai dan gletser dipegunungan-pegunungan yang tinggi. Media pengangkut tersebut juga dikenal sebagai alat pengikis, yang dalam prosesnya berupaya untuk meratakan permukaan bumi. Bahan- bahan yang diangkutnya baik itu berupa fragmenfragmen atau bahan yang larut, kemudian akan diendapkan ditempat-tempat tertentu sebagai sedimen (Noor, 2009).
Proses berikutnya adalah terjadinya ubahan dari sedimen yang bersifat lepas, menjadi batuan yang keras, melalui pembebanan dan perekatan oleh senyawa mineral dalam larutan, dan kemudian disebut batuan sedimen. Apabila terhadap batuan sedimen ini terjadi peningkatan tekanan dan suhu sebagai akibat dari penimbunan dan atau terlibat dalam proses pembentukan pegunungan, maka batuan sedimen tersebut akan mengalami ubahan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, dan terbentuk batuan malihan atau batuan metamorfis. Apabila batuan metamorfis ini masih mengalami peningkatan tekanan dan suhu, maka ia akan kembali leleh dan berubah menjadi magma.
Arah panah pada gambar menunjukan bahwa jalannya siklus dapat terganggu dengan adanya jalan-jalan pintas yang dapat ditempuh, seperti
dari batuan beku menjadi batuan metamorfis, atau batuan metamorfis menjadi sedimen tanpa melalui pembentukan magma dan batuan beku.
Batuan sedimen dilain pihak dapat kembali menjadi sedimen akibat tersingkap ke permukaan dan mengalami proses pelapukan (Noor, 2009).
c. Proses Pengkristalan Batuan Beku Vulkanik
Pada tahun 1922, Novan Levi Bowen mengemukakan sebuah teori mengenai proses urutan pengkristalan magma atau yang biasa disebut
“deret bowen”. Beliau mengemukakan bahwa deret bowen menjelaskan bagaimana proses pembentukan mineral, khususnya mineral pada batuan beku, yaitu mineral yang mengandung silikat yang kemudian mengkrsital langsung dari magma berdasarkan penurunan temperatur. Riset ini dilakukan dengan cara mengambil sampel magma cair dan memasukkannya ke dalam suatu alat yang fungsinya memberi tekanan dan suhu yang dianggap sama dengan keadaan di bumi. Dengan berjalannya waktu serta dengan diturunkannya suhu dan tekanannya dengan perumpamaan seperti penurunan magma itu seperti magma yang sudah keluar ke permukaan bumi, maka didapat suatu hasil dari eksperimen ini yaitu ternyata magma itu mulai membeku dan terus berubah membentuk suatu urutan mineral. Sehingga dari riset ini dibuatlah deret bowen yang sampai sekarang digunakan tabel untuk menjelaskan tentang urutan pembekuan magma. Mineral silikat merupakan mineral utama pembentuk batuan atau juga disebut RFM (Rock Forming Mineral). Unsur-unsur
utamanya adalah O (oksigen), Si (silikat), Al (aluminium), Fe (besi), Ca (Kalsium), Na (natrium), K (kalium) dan Mg (magnesium). Sehingga batuan beku adalah batuan yang terbentuk langsung dari magma melalui proses pengkristalan magma.
Dalam deret bowen terdapat dua deret pembentukan mineral- mineral ini dari yang terbentuk pada suhu tinggi yang bersifat ultrabasa hingga ke bawah menjadi mineral asam, yaitu deret kontinyu dan deret diskontinyu. Derek kontinyu digambarkan pada reaksi pada bagian kanan deret reaksi bowen dan deret diskontinyu pada bagian kiri deret reaksi bowen. Deret kontinyu menggambarkan pembentukan feldspar plagioklas yang dimulai dari anorthite yang kaya akan Ca (kalsium) menjadi Oligoklas yang kaya akan Na (natrium). Disebut deret kontinyu karena pembentukan mineral yang satu dengan mineral yang lain dalam satu deret memiliki hubungan yang dekat. Pada deret diskontinyu menggambarkan pembentukan mineral-mineral seperti olivine, piroksen, amfibol dan biotit.
Disebut deret diskontinyu dikarenakan tidak terdapat hubungan dalam pembentukan mineral-mineral ini. Akan tapi kedua deret ini bertemu pada satu titik dimana dalam deret ini membentuk huruf seperti (Y). Kedua deret ini bertemu pada pembentukan K-Feldspar, kemudian berlanjut ke pembentukan muscovite, dan kuarsa. Susunan deret bowen ditunjukkan pada (Gambar 16).
Gambar 16 Bowen Reaction Series (Noor, 2009) 3. Batuan Metamorf
a. Pengertian Batuan Metamorf
Kata “metamorfosa” berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“metamorphism” dimana “meta” yang artinya “berubah” dan “morph” yang artinya “bentuk”. Dengan demikian pengertian “metamorfosa” dalam geologi adalah merujuk pada perubahan dari kelompok mineral dan tekstur batuan yang terjadi dalam suatu batuan yang mengalami tekanan dan