• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POTENSI LIKUIFAKSI TANAH DENGAN DATA SPT DAN DATA CPT (STUDI KASUS UNDERPASS JALAN BRIGJEN. KATAMSO - AH NASUTION MEDAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS POTENSI LIKUIFAKSI TANAH DENGAN DATA SPT DAN DATA CPT (STUDI KASUS UNDERPASS JALAN BRIGJEN. KATAMSO - AH NASUTION MEDAN)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI LIKUIFAKSI TANAH DENGAN DATA SPT DAN DATA CPT

(STUDI KASUS UNDERPASS JALAN BRIGJEN. KATAMSO - AH NASUTION MEDAN)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana S1 pada Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

YOHANA EMANUELA 12 0404 165

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan – pengutipan yang penulis lakukan pada bagian – bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tugas Akhir ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau Sebagian Tugas Akhir ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2019 Penulis

Yohana Emanuela

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga tugas akhir dengan judul “Analisis Potensi Likuifaksi dengan Data SPT dan Data CPT Pada Underpass di Jalan Brigjen Katamso - AH Nasution Medan” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat sarjana di Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Ucapan terima kasih diberikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian, terutama orang tua dan keluarga.

Medan, Juni 2019

Yohana Emanuela

(4)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR NOTASI ... x

INTISARI ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 2

1.5. Batasan Masalah ... 3

1.6. Metodologi Penelitian ... 3

1.7. Sistematika Penulisan ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Gempa ... 5

2.2 Gelombang Seismik ... 7

2.3 Kondisi Tektonik Indonesia ... 9

2.4 Likuifaksi ... 10

2.4.1 Fenomena likuifaksi ... 11

2.4.2 Kerusakan akibat likuifaksi ... 12

2.5 Liquefaction Susceptibility ... 15

2.5.1 Kriteria sejarah tanah ... 15

2.5.2 Kriteria geologis tanah... 16

2.5.3 Kriteria komposisi tanah ... 17

2.5.4 Kriteria kondisi awal tanah ... 20

2.6 Tegangan Vertikal Overburden Tanah ... 23

2.7 Rasio Tegangan Siklik (CSR) ... 23

2.8 Rasio Tahanan Cyclic (CRR) ... 24

2.9 Factor of Safety (FS) ... 28

(5)

2.10 Model Gumbel (Point Source) ... 29

2.11 Fungsi Atenuasi ... 30

2.11.1 Atenuasi Joyner & Boore (1988) ... 32

2.11.2 Atenuasi Crouse (1991) ... 32

2.12 Parameter Dinamik Tanah ... 32

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1 Pendahuluan ... 35

3.2 Lokasi Penelitian ... 35

3.3 Prosedur Penelitian ... 36

3.3.1 Pengumpulan data gempa ... 36

3.3.2 Analisis data gempa ... 37

3.3.3 Analisis cyclic ctress ratio (CSR) ... 37

3.3.4 Analisis cyclic resistance ratio (CRR) ... 38

3.3.5 Analisis factor of safety (FS) ... 39

3.3.6 Analisis output ... 39

3.4 Bagan Alir Penelitian ... 39

BAB 4 ANALISIS DATA ... 43

4.1 Data Gempa ... 43

4.2 Stratifikasi Tanah ... 43

4.3 Percepatan Gempa ... 43

4.3.1 Peak base acceleration ... 43

4.3.2 Peak ground acceleration ... 50

4.4 Cyclic Stress Ratio ... 56

4.5 Cyclic Resistance Ratio ... 56

4.6 Analisis Output ... 56

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1 Kesimpulan ... 71

5.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Potensi terjadinya likuifaksi pada endapan berdasarkan umur endapan ... 19

Tabel 2. 2 Faktor koreksi untuk 𝑁1160 ... 25

Tabel 2. 3 Severity index of factor of safety ... 28

Tabel 2. 4 Hubungan Gmax terhadap qc ... 33

Tabel 2. 5 Hubungan Gmax terhadap N – SPT ... 34

Tabel 4. 1 Stratifikasi tanah pada BH-I ... 44

Tabel 4. 2 Stratifikasi tanah pada S-I ... 45

Tabel 4. 3 Rekapitulasi Atenuasi maksimum dengan fungsi Joyner dan Boore ... 46

Tabel 4. 4 Rekapitulasi Atenuasi maksimum dengan fungsi Crouse ... 47

Tabel 4. 5 Peak Base Acceleration dengan Distribusi Gumbel pada kasus I ... 48

Tabel 4. 6 Peak Base Acceleration dengan Distribusi Gumbel pada kasus II ... 49

Tabel 4. 7 Rekapitulasi PBA dengan Distribusi Gumbel pada kasus I dan II ... 50

Tabel 4. 8 Input data Gmax berdasarkan data SPT pada ProShake 2.0 ... 50

Tabel 4. 9 Input data Gmax berdasarkan data CPT pada ProShake 2.0... 51

Tabel 4. 10 Input motions parameter dengan karakteristik gempa Elcentro ... 52

Tabel 4. 11 Ground motions pada BH-I ... 52

Tabel 4. 12 Ground motions pada S-I ... 54

Tabel 4. 13 CSR pada BH-I kasus I ... 57

Tabel 4. 14 CSR pada BH-I kasus II ... 57

Tabel 4. 15 CSR pada S-I kasus I ... 58

Tabel 4. 16 CSR pada S-I kasus II ... 59

Tabel 4. 17 Tabulasi CRR dan FS kasus I pada BH – I berdasarkan metode Idriss dan Boulanger (2014) ... 60

Tabel 4. 18 Tabulasi CRR dan FS kasus II pada BH – I berdasarkan metode Idriss dan Boulanger (2014) ... 61

Tabel 4. 19 Tabulasi CRR dan FS kasus I pada S-I berdasarkan metode Robertson dan Wride (1998)... 62

Tabel 4. 20 Tabulasi CRR dan FS kasus II pada S-I berdasarkan metode Robertson dan Wride (1998)... 63

Tabel 4. 21 Rekapitulasi lapisan tanah yang rentan terhadap likuifaksi titik BH-I ... 69

Tabel 4. 22 Rekapitulasi lapisan tanah yang rentan terhadap likuifaksi titik S-I ... 70

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Gangguan-gangguan pada bumi yang tercatat oleh seismograph ... 5

Gambar 2. 2 (a) Lempeng tektonik dan (b) persebaran gempa bumi dunia ... 6

Gambar 2. 3 Konsep parameter sumber gempa ... 7

Gambar 2. 4 Deformasi yang dihasilkan oleh gelombang badan: (a) gelombang p; (b) gelombang s 8 Gambar 2. 5 Deformasi yang dihasilkan oleh gelombang permukaan: (a) gelombang Rayleigh; (b) gelombang Love ... 9

Gambar 2. 6 Peta sesar aktif wilayah Sumatera dan sekitarnya tahun 2017 ... 13

Gambar 2. 7 Mekanisme lateral spreading ... 14

Gambar 2. 8 Mekanisme semburan pasir (sand boils) ... 14

Gambar 2. 9 Kerusakan tanah yang diakibatkan likuifaksi ... 15

Gambar 2. 10 Hubungan antara jarak epicentral site dimana fenomena likuifaksi ditinjau dengan besar magnitudo pada gempa dangkal ... 16

Gambar 2. 11 (a) Kurva Stress –strain dan (b) Kurva Stress-void ratio (Sumber: Kramer, 1996) ... 20

Gambar 2. 12 CVR line sebagai batas pasir padat pada saat keaadaan dilative dan pasir lepas pada saat keadaan contractive ... 21

Gambar 2. 13 CVR line sebagai batas rentan atau tidak rentannya tanah terhadap flow liquefaction ... 21

Gambar 2. 14 State criteria untuk flow liquefaction susceptibility ... 22

Gambar 3. 1 Lokasi penelitian ... 35

Gambar 3. 2 Sketsa letak titik pengujian sondir dan bor mesin pada simpang Brigjen Katamso – A.H. Nasution ... 36

Gambar 3. 3 Bagan aliran analisis likuifaksi dengan data SPT ... 40

Gambar 3. 4 Bagan aliran analisis likuifaksi dengan data CPT ... 41

Gambar 3. 5 Bagan alir penelitian secara umum ... 42

Gambar 4. 1 Grafik Peak Ground Acceleration pada BH-I ... 53

Gambar 4. 2 Grafik Peak Ground Velocity pada BH-I... 53

Gambar 4. 3 Grafik Peak Ground Acceleration pada S-I... 55

Gambar 4. 4 Grafik Peak Ground Velocity pada S-I ... 55

Gambar 4. 5 Grafik hasil analisis likuifaksi pada BH I kasus I berdasarkan Metode Idriss dan Boulanger (2014) ... 64

Gambar 4. 6 Grafik hasil analisis likuifaksi pada BH I kasus II berdasarkan Metode Idriss dan Boulanger (2014) ... 65

Gambar 4. 7 Grafik hasil analisis likuifaksi pada S - I kasus I berdasarkan metode Robertson dan Wride (1998) ... 66

(8)

Gambar 4. 8 Grafik hasil analisis likuifaksi pada S - I kasus II berdasarkan metode Robertson dan Wride (1998) ... 67 Gambar 4. 9 Grafik CRRM=7,5 σ’=1 vs (N1)60cs ... 68 Gambar 4. 10 Grafik CRRM=7,5 σ’=1 vs qc1N ... 68

(9)

DAFTAR NOTASI

Lambang Arti Notasi

𝜎′ Tegangan total kPa

(𝑁1)60𝑐𝑠 Corrected blow count for clean sand -

(𝑞𝑐1𝑁)𝑐𝑠 Fines correction of tip resistance kg/cm2

∆(𝑁1)60 Equivalent clean sand adjustment -

𝐶𝑁 Faktor koreksi tegangan overburden -

𝐶𝑄 Faktor normalisasi untuk tahanan penetrasi konus -

𝐶𝜎 Coefficient of clean sand condition -

𝐺𝑚𝑎𝑥 Modulus geser maksimum MPa

𝐼𝑐 Index perilaku tanah -

𝐾𝑐 Faktor koreksi butir tanah -

𝐾𝜎 Overburden correction factor -

𝑎𝑚𝑎𝑥 Percepatan puncak gempa g

𝑓𝑠 Skin friction kg/cm2

𝑞𝑐 Tahanan penetrasi pada ujung konus kg/cm2

𝑞𝑐1𝑁 Normalisasi tahanan clean sand kg/cm2

𝑟𝑑 Koefisien reduksi tegangan -

𝜎𝑣𝑜 Tegangan vertikal overburden tanah kPa

𝜎𝑣𝑜 Tegangan efektif vertikal overburden tanah kPa

𝜏𝑎𝑣 Average cyclic stress kPa

Kedalaman tanah m

ψ State Parameter -

𝐶𝑅𝑅 Rasio tahanan siklik -

𝐶𝑆𝑅 Rasio tegangan siklik -

𝐹 Normalisasi friction ratio %

𝐹𝐶 Fine content %

𝐹𝑆 Factor of safety -

(10)

𝑀 Magnitudo gempa -

𝑀𝑆𝐹 Magnitude scaling factor -

𝑄 Normalisasi penetrasi konus -

𝑇 Periode ulang tahun

𝑎 Percepatan gempa g

𝑔 Percepatan gempa bumi m/s2

𝑢 Tegangan air pori kPa

𝛼 Jumlah gempa rata – rata per tahun -

𝛽 Parameter yang menyatakan hubungan gumbel dan

magnitudo -

𝜎′ Tegangan efektif kPa

(11)

INTISARI

Gempa bumi merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi yaitu likuifaksi. Untuk mengidentifikasi bahaya likuifaksi maka analisis secara empiris berdasarkan data CPT dan data SPT dilakukan untuk memahami potensi likuifaksi yang dapat terjadi.

Analisis secara empiris dilakukan untuk mengetahui rasio tegangan siklis dan rasio tahanan siklis tanah pada lokasi penelitian. Lokasi penelitian adalah underpass jalan Brigjen Katamso - AH Nasution Medan. Parameter yang juga dipertimbangkan dalam hal ini adalah percepatan puncak tanah yang didapatkan dengan bantuan program ProShake 2.0.

Hasil evaluasi potensi likuifaksi berdasarkan data CPT dan data SPT menunjukkan semakin besar percepatan puncak semakin besar rasio tegangan siklik dan mengakibatkan nilai faktor keamanan semakin kecil. Faktor keamanan yang semakin kecil mengindikasikan likuifaksi dapat terjadi. Berdasarkan hasil penelitian, lokasi yang ditinjau pada beberapa lapisan berpotensi terjadi likuifaksi.

Kata kunci: CPT, CRR, CSR, factor of safety, percepatan puncak, SPT

(12)

ABSTRACT

An earthquake is a natural disaster that often occurs in Indonesia. One of the impacts caused by an earthquake is liquefaction. To identify liquefaction hazards, empirical analysis based on CPT data and SPT data is conducted to understand the potential for liquefaction that can occur.

Empirical analysis was conducted to determine the cyclic stress ratio and the cyclic resistance ratio at the study site. The research location is Brigjen Katamso underpass - AH Nasution Medan. The parameter that was also considered in this case was the peak ground acceleration obtained with the help of the ProShake 2.0 program.

The evaluation results of liquefaction potential based on CPT data and SPT data show the greater peak acceleration the greater the cyclic stress ratio and the smaller the value of the factor of safety. The smaller factor of safety indicates liquefaction can occur. Based on the results of the study, the location reviewed in several layers has the potential for liquefaction.

Keywords: CPT, CRR, CSR, factor of safety, peak acceleration, SPT

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gempa merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Indonesia sendiri berada di jalur gempa teraktif dunia karena dikelilingi oleh cincin api Pasifik dan berada di atas tumbukan Lempeng Indo – Australia dari sebelah selatan, Lempeng Eurasia dari sebelah utara, dan Lempeng Pasifik dari sebelah timur. Pelepasan energi gempa yang sampai ke permukaan bumi menimbulkan getaran yang tidak hanya mengakibatkan kerusakan struktur bangunan saja tetapi juga kerusakan pada struktur tanah yang mendukung bangunan di atasnya. Kegagalan struktur tanah yang terjadi dapat berupa longsoran, penurunan tanah dan likuifaksi.

Pada umumnya likuifaksi tanah merupakan hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat getaran siklis, getaran yang berasal dari gempa bumi. Akibat getaran tanah tersebut sifat dari lapisan tanah berubah menjadi seperti sebuah cairan sehingga tidak mampu menopang beban yang berada di dalam maupun di atasnya.

Youd dkk. (2001) menjelaskan likuifaksi tanah ini sebagai peristiwa berubahnya sifat tanah granular yang padat dan kompak menjadi cenderung bersifat cair akibat terjadinya peningkatan tegangan air pori secara bertahap sehingga menyebabkan penurunan tegangan efektif tanah hingga mencapai nilai nol atau dapat dikatakan bahwa tanah sudah kehilangan kekuatannya dan tidak mampu menopang beban yang ada.

Likuifaksi tanah sudah diketahui sejak lama. Terzhagi dan Peck (1967) menyebutnya likuifaksi spontan untuk mendeskripsikan hilangnya tegangan dari pasir lepas yang mengakibatkan flow slides. Mogami dan Kubo (1953) juga menggunakan istilah likuifaksi untuk mendeskripsikan fenomena yang mirip dengan kasus Terzhagi yang diobservasi selama gempa bumi. Gempa bumi Nigata pada tahun 1964 merupakan peristiwa penting yang mencuri perhatian dunia untuk fokus pada likuifaksi tanah. Sejak 1964, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui dan memahami apa itu

(14)

likuifaksi tanah. Gempa bumi dahsyat Nigata tahun 1964 dan Kobe tahun 1995 telah menggambarkan besar dan luasnya dampak kerusakan yang disebabkan likuifaksi tanah.

Pada pembangunan underpass (lintas bawah) pada jalan Brigjen. Katamso – AH Nasution yang secara geografis terletak pada 3°32’ Lintang Utara dan 98°40’ Bujur Timur diperlukan analisis potensi likuifaksi tanah sebelum membangun konstruksi untuk mengihindari likuifaksi tanah terjadi. Mengingat fenomena likuifaksi tanah dan dampak yang ditimbulkan sangat merugikan perlu dilakukan penelitian yang lebih rinci mengenai potensi likuifaksi tanah akibat gempa bumi secara empiris pada perencanaan pembangunan lintas bawah pada jalan Brigjen. Katamso – AH Nasution.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini memiliki rumusan masalah yaitu:

a. Apakah lokasi dimana lintas bawah pada jalan Brigjen. Katamso – AH Nasution dibangun berpotensi mengalami likuifaksi ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman bagi penulis tentang analisis potensi likuifaksi pada suatu daerah dengan data CPT dan SPT, yang dalam kasus ini mengambil contoh proyek Underpass Brigjen. Katamso – AH Nasution.

Hal – hal yang akan dibahas diantaranya:

a. Menganalisis nilai percepatan gempa dari batuan dasar sampai ke permukaan tanah di lokasi proyek lintas bawah pada jalan Brigjen. Katamso – AH Nasution dengan program ProShake 2.0.

b. Menganalisis perhitungan CSR dan CRR menggunakan data CPT dan SPT.

c. Menghitung faktor keamanan tanah dari interpretasi data CPT dan SPT.

d. Membandingkan hasil analisis data yang diperoleh dari pengolahan data CPT dan SPT terhadap potensi likuifaksi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil tugas akhir ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal yaitu:

(15)

a. Memahami konsep dan mekanisme likuifaksi tanah.

b. Mengetahui potensi likuifaksi yang dapat ditimbulkan akibat gempa pada daerah yang ditinjau.

c. Memahami perbedaan analisis likuifaksi secara empiris berdasarkan data CPT dan SPT.

1.5. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan analisis untuk memudahkan dalam proses analisis secara empiris, diantaranya:

a. Data yang digunakan untuk melakukan analisis didapat dari data data Soil Investigation yang diperoleh dari proyek lintas bawah Brigjen. Katamso – AH Nasution, Medan Sumatera Utara.

b. Data sejarah gempa yang digunakan gempa yang terjadi di Sumatera Utara selama kurun waktu 1980 – 2018 yang didapat dari data USGS Earthquake Hazards yang titik episentrumnya memiliki jarak terdekat dengan daerah yang ditinjau serta memiliki kriteria magnitude gempa yang memungkinkan terjadinya likuifaksi.

c. Input gempa program ProShake 2.0 yang digunakan adalah gempa Elcentro.

1.6. Metodologi Penelitian

Tahapan - tahapan penelitian perlu diperhatikan agar rencana kegiatan penelitian tersusun dengan baik, diantaranya:

a. Mengumpulkan data - data yang mendukung untuk analisis potensi likuifaksi tanah secara empiris akibat gempa bumi dengan data CPT dan SPT.

b. Melakukan studi literatur sebagai dasar teori dan referensi yang berhubungan dengan likuifaksi tanah.

c. Menganalisis data – data yang ada dengan menggunakan rumus atau formula berdasarkan jurnal - jurnal geoteknik sebelumnya.

(16)

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini akan dibuat dalam 5 bab, uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut:

Bab 1: Pendahuluan

Berisikan latar belakang penulisan, tujuan dan manfaat, rumusan masalah, pembatasan masalah dan metodologi serta sistematika penulisan.

Bab 2: Tinjauan pustaka

Menjelaskan landasan teori tentang gempa, hal – hal yang berhubungan dengan gempa, peristiwa likuifaksi, dan tentang metode yang akan digunakan.

Bab 3: Metodologi penelitian

Menguraikan beberapa metode yang berhubungan dengan alur penelitian untuk memperoleh tujuan yang ingin dicapai berdasarkan penelitian yang telah ditetapkan.

Bab 4: Analisis data

Berisikan proses dan hasil analisis yang telah didapatkan dari beberapa metode yang diterapkan guna menganalisis potensi likuifaksi di area yang ditinjau.

Bab 5: Kesimpulan dan saran

Berisi kesimpulan dan saran dari hasil analisis yang telah diperoleh.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gempa

Gempa dinyatakan sebagai gerakan pada tanah yang diakibatkan oleh pelepasan energi di dalam kulit bumi (Elnashai dan Sarno, 2008). Energi ini bisa berasal dari berbagai sumber, seperti dislokasi kerak bumi, erupsi vulkanik, atau bahkan ledakan buatan manusia atau runtuhnya gua bawah tanah, seperti pada tambang atau area kars.

Oleh karena itu, walau gempa bumi digolongkan sebagai gangguan alam, ada berbagai jenis gempa yang ada: gempa akibat pergeseran sesar, gempa vulkanik, gempa akibat runtuhnya tambang ataupun bendungan. Richter (1958) telah mengelompokkan gangguan-gangguan besar pada bumi yang tercatat oleh seismographs seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Gangguan-gangguan pada bumi yang tercatat oleh seismograph

(Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008)

(18)

Terjadinya gempa bisa dijelaskan oleh teori tektonik besar, dikenal juga sebagai teori lempeng tektonik. Teori lempeng tektonik berasal dari teori pergeseran benua (theory of continental drift) dan pemekaran dasar samudra (seafloor spreading).

Pemahaman akan hubungan geofisika terhadap geologi sebuah wilayah dan aktifitas seismiknya baru dimulai diakhir abad ke-19 (Udias, 1999). Gempa bumi sekarang kita kenal sebagai karakteristik dari pergerakan aktif tektonik (Scholz,1990). Hal ini telah dipastikan melalui pengamatan bahwa aktivitas intens seismik didominasi terjadi pada perbatasan lempeng yang telah diketahui seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2. 2 (a) Lempeng tektonik dan (b) persebaran gempa bumi dunia

(Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008)

(a)

(b)

(19)

Menurut Elnashai dan Sarno (2008), fokus (focus) atau hiposenter (hypocentre) sebuah gempa adalah titik di bawah permukaan bumi dimana ruptur berasal. Proyeksi fokus pada permukaan bumi disebut episenter (epicentre) atau titik di permukaan bumi yang didapat dengan menarik garis fokus tegak lurus ke permukaan bumi. Konsep episenter dan hiposenter pada permukan dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2. 3 Konsep parameter sumber gempa

(Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008)

2.2 Gelombang Seismik

Gempa menciptakan berbagai macam gelombang pada batuan, menghasilkan perpindahan (displacement) gelombang arah vertikal dan arah horizontal sepanjang permukaan batuan. Perpindahan gelombang-gelombang ini menghasilkan gelombang longitudinal dan gelombang geser pada tanah.

Umumnya diasumsikan bahwa komponen terpenting adalah perpindahan gelombang arah horizontal pada permukaan batuan dimana akan menciptakan gelombang geser pada tanah. Perpindahan gelombang arah vertikal pada permukaan batuan akan menciptakan gelombang longitudinal pada tanah, dan dapat memicu perpindahan arah vertikal dalam jumlah yang cukup besar, dan kerusakan pada struktur di atas tanah, tetapi biasanya kerusakan struktural yang disebabkan gelombang vertikal

(20)

terbatas. Kerusakan struktural paling besar biasanya disebabkan oleh gelombang geser pada tanah, contohnya keruntuhan kolom pada struktur (Verrujit, 2005).

Ketika gempa bumi terjadi, tipe gelombang seismik yang berbeda dihasilkan:

gelombang badan (body waves) dan gelombang permukaan (surface waves).

Gelombang badan dapat merambat melewati bagian dalam bumi, ada dua jenis:

gelombang p (p-waves) dan gelombang s (s-waves). Gelombang p, juga dikenal sebagai gelombang primer, gelombang kompresi (compressional waves), ataupun gelombang longitudinal. Gelombang p mirip dengan gelombang suara: arah gerak partikel gelombang searah dengan arah rambat gelombang. Seperti gelombang suara, gelombang p dapat merambat melalui zat padat dan zat cair. Gelombang s, juga dikenal sebagai gelombang sekunder, gelombang geser, ataupun gelombang transversal, yang mengakibat deformasi geser pada material yang dilaluinya, gerakan partikel gelombang s tegak lurus arah rambat gelombang (Kramer, 1996).

Gambar 2. 4 Deformasi yang dihasilkan oleh gelombang badan: (a) gelombang p; (b) gelombang s

(Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008)

Gelombang permukaan hasil dari interaksi antara gelombang badan dan permukaan bumi. Gelombang permukaan merambat sepanjang permukaan bumi dengan amplitudo yang menurun sejajar dengan kedalamannya. Kekuatan gelombang permukaan lebih besar ketika menjauhi sumber gempa. Jenis gelombang permukaan adalah gelombang Rayleigh (Rayleigh waves) dan gelombang Love (Love waves).

(21)

Gelombang Rayleigh dihasilkan oleh interaksi gelombang p dan gelombang SV pada permukaan bumi, dengan gerakan partikel arah horizontal dan vertikal. Memiliki bebarapa kemiripan dengan arah gelombang air ketika batu dilempar ke dalam kolam.

Gelombang Love dihasilkan dari interaksi gelombang SH pada permukaan bumi yang lunak dan tidak memiliki gerak partikel arah vertikal (Kramer, 1996).

Gambar 2. 5 Deformasi yang dihasilkan oleh gelombang permukaan: (a) gelombang Rayleigh; (b) gelombang Love

(Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008)

2.3 Kondisi Tektonik Indonesia

Kondisi tektonik Indonesia yang terletak pada pertemuan lempeng besar dunia dan beberapa lempeng kecil atau microblocks (Bird, 2003), menyebabkan daerah tersebut berpotensi mengalami banyak kejadian gempa. Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Laut Filipina dan Lempeng Pasifik.

Wilayah Sumatera Utara Sebelah Barat Merupakan Lintasan Pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Proses penunjaman Lempeng Indo- Australia kedalam Lempeng Eurasia di barat Sumatra mengakibatkan kejadian gempa dengan nilai magnitudo 8 atau 9, seperti yang terjadi pada gempa di Aceh (Mw = 9,2), di Nias tahun 2005 (Mw = 8,7), di Bengkulu tahun 2007 (Mw = 8,5), dan gempa Mentawai tahun 2010 (Mw = 7,8). Peta sesar aktif wilayah Sumatera dan sekitarnya tahun 2017 dapat dilihat pada Gambar 2.6.

(22)

2.4 Likuifaksi

Salah satu usaha awal menjelaskan fenomena hilangnya kekuatan pada tanah pasir setelah gempa bumi dilakukan oleh Casagrande (1936) dan berdasarkan konsep void rasio kritis (critical void ratio). Pasir padat kerika diberi tegangan geser, void rasio cenderung meningkat. Sedangkan pasir lepas pada kondisi yang sama void rasio berkurang. Ketika void rasio tidak mengalami perubahan ketika diberi tegangan geser disebut void rasio kritis.

Casagrande menjelaskan pasir yang memiliki void rasio lebih besar dari void rasio kritis cenderung mengalami penurunan pada volume ketika diberi vibrasi oleh efek seismik. Jika pengaliran (drainage) tidak dapat terjadi, tegangan air pori akan meningkat.

𝜎′ = 𝜎 − 𝑢 (2.1)

dengan

𝝈′ : tegangan efektif (kPa) 𝝈 : tegangan total (kPa) 𝒖 : tegangan air pori (kPa)

Menurut Das (1993), jika nilai 𝜎 tetap konstan, tegangan air pori perlahan akan meningkat, dan sewaktu-waktu nilai 𝜎 akan sama dengan nilai 𝑢. Pada saat itu, nilai 𝜎′

akan sama dengan nol. Pada kondisi ini, pasir tidak memiliki tegangan geser, dan sifat pasir berubah menjadi seperti sifat zat cair. Namun yang harus diingat konsep void rasio kritis bisa jadi tidak cukup untuk mengevaluasi potensi likuifaksi tanah di lapangan karena hal-hal berikut ini:

a. Void rasio kritis bukan nilai yang tetap namun berubah sejajar dengan tegangan sel (confining pressure).

b. Perubahan volume akibat pembebanan dinamis di kehidupan nyata berbeda dengan keadaan pembebanan satu arah yang dilakukan di laboratorium dengan uji direct shear atau uji triaxial.

(23)

Beberapa tahun setelahnya istilah likuifaksi mulai dikenalkan pertama kali oleh Mogami dan Kubo (1953). Istilah ini dipakai untuk menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan deformasi tanah akibat gangguan monoton, bersifat sementara (transient), dan berulang-ulang pada tanah non kohesif yang jenuh air dalam kondisi tak terdrainase.

Kenaikan tegangan air pori pada pembebanan dalam kondisi tak terdrainase adalah tanda umum adanya likuifaksi. Kecenderungan tanah non kohesif kering untuk memadat pada kondisi pembebanan siklik dan statis sudah lama diketahui. Tanah non kohesif menjadi jenuh ketika pembebanan terjadi dengan cepat pada kondisi undrained, sehingga pemadatan (densification) cenderung menyebabkan tegangan air pori berlebih (excess pore pressures) meningkat dan tegangan efektif menurun (Kramer, 1996).

2.4.1 Fenomena likuifaksi

Fenomena likuifaksi dibagi berdasarkan dampak yang dihasilkan (Kramer, 1996) yaitu flow liquefaction dan cyclic mobility.

1. Flow Liquefaction

Flow liquefaction memberikan dampak yang sangat fatal diantara seluruh fenomena likuifaksi, ketidakstabilan yang luar biasa tersebut dikenal dengan flow failures.

Flow liquefaction dapat terjadi jika tegangan geser yang dibutuhkan untuk keseimbangan statis pada suatu massa tanah yang lebih besar daripada tegangan geser izin tanah pada tingkat menjadi cair (liquified). Deformasi yang sangat besar pada flow liquefaction sepenuhnya digerakkan atau dipengaruhi oleh tegangan geser statis.

2. Cyclic Mobility

Cyclic mobility adalah fenomena lain yang mengakibatkan deformasi permanen yang sangat besar selama terjadinya gempa. Berbeda dengan flow liquefaction, cyclic mobility terjadi pada saat gaya geser statis lebih kecil daripada kuat geser tanah tersebut. Deformasi yang dihasilkan cyclic mobility mengalami kenaikan selama terjadinya getaran akibat gempa. Deformasi ini digerakkan oleh tegangan geser siklik dan statik, yang dikenal juga dengan sebaran lateral (lateral spreading).

(24)

Kasus khusus pada cyclic mobility adalah level ground liquefaction. Kegagalan level ground liquefaction disebabkan oleh aliran air ke atas yang terjadi ketika gempa bumi terjadi sehingga mengakibatkan kenaikan tegangan air pori, yang dikenal dengan sand boiling.

a. Sebaran Lateral (Lateral Spreading)

Varnes (1978) menggambarkan sebaran lateral dengan pergerakan yang mencakup rekahan karena likuifaksi yang terletak di bawahnya. Pergerakan horizontal terjadi sebagai respon terhadap kombinasi dinamis gempa yang dihasilkan gaya inersia dan gaya gravitasi di dalam dan di atas lapisan likuifaksi.

Selama likuifaksi, lapisan permukaan biasanya hancur menjadi blok yang bergerak secara bergeser ke atas dan ke bawah membentuk gelombang tanah ke arah bawah lereng. Umumnya, sebaran lateral bergerak turun dengan kemiringan kurang dari 6 %. Mekanisme sebaran lateral ditunjukkan pada Gambar 2.7.

b. Semburan Pasir (Sand Boils)

Menurut Castro (1995) semburan pasir sebagai akibat dari peningkatan tegangan air pori lebih banyak dipengaruhi oleh butiran lapisan pasir dengan deposit yang besar. Tegangan air pori kemudian menciptakan aliran air ke atas dan membawa partikel pasir dan air ke luar permukaan. Peristiwa semburan pasir umumnya terjadi ketika permeabilitas dari tanah pasir mengalami rekonsolidasi yang relatif tinggi daripada tekanan overburden, sehingga lapisan menjadi meluruh ke bawah dan pasir tersembur ke permukaan. Mekanisme semburan pasir ditunjukkan pada Gambar 2.8.

2.4.2 Kerusakan akibat likuifaksi

Likuifaksi dapat mengakibatkan kerusakan yang membahayakan seperti runtuhnya (amblas) tanah, longsoran lereng, rusaknya struktur bangunan dan kegagalan pondasi (Seed dkk., 2003). Beberapa contoh ketidakstabilan tanah akibat likuifaksi dapat dilihat pada Gambar 2.9.

(25)

Gambar 2. 6 Peta sesar aktif wilayah Sumatera dan sekitarnya tahun 2017 (Sumber: Peta Gempa Indonesia 2017)

(26)

Gambar 2. 7 Mekanisme lateral spreading

(Sumber: Youd, 1984)

Gambar 2. 8 Mekanisme semburan pasir (sand boils)

(Sumber: Castro, 1995)

(27)

Gambar 2. 9 Kerusakan tanah yang diakibatkan likuifaksi

(Seed dkk., 2003)

2.5 Liquefaction Susceptibility

Tidak semua tanah rentan terhadap likuifaksi; karenanya, langkah awal dalam mengevaluasi bahaya likuifaksi adalah biasanya evaluasi kerentanan likuifaksi tanah.

Jika tanah pada lokasi tertentu dikatakan tidak rentan terhadap likuifaksi, bahaya likuifaksi tidak ada dan evaluasi bahaya likuifaksi dapat dihentikan. Jika tanah dikatakan rentan terhadap likuifaksi, meskipun demikian, inisiasi likuifaksi dan dampaknya harus dilakukan. Beberapa kriteria mengevaluasi kerentanan terhadap likuifaksi adalah kriteria sejarah tanah, geologis tanah, komposisi tanah, kondisi awal tanah (Kramer, 1996).

2.5.1 Kriteria sejarah tanah

Youd (1984) mengatakan bahwa perilaku likuifaksi yang telah diamati selama penelitian pada daerah terdampak pasca gempa, menunjukkan bahwa likuifaksi terjadi pada lokasi yang sama ketika kondisi tanah dan muka air tanah tidak berubah. Sehingga kasus lampau dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi lokasi tertentu secara

(28)

umum yang mungkin berdampak likuifaksi di masa mendatang. Youd menjelaskan sejumlah hal dimana likuifaksi di masa lampau telah digunakan memetakan daerah rawan likuifaksi.

Investigasi lapangan pasca gempa juga menunjukkan bahwa efek likuifaksi secara historis tertahan pada area terbatas dalam sumber seismik. Ambrasey (1988) mengumpulkan data gempa dangkal seluruh dunia untuk menghitung pembatasan jarak episentral dimana likuifaksi belum pernah diamati pada gempa dengan magnitudo yang berbeda (Gambar 2.10). Jarak dimana likuifaksi dapat terjadi meningkat secara drastis seiring meningkatnya magnitudo gempa. Walaupun hubungan tersebut dapat digambarkan dengan Gambar 2.10, hal ini tidak menjamin likuifaksi tidak dapat terjadi pada jarak yang lebih luas, Gambar 2.10 membantu mengestimasi daerah terdampak dengan lingkup yang lebih kecil jika terjadi likuifaksi.

Gambar 2. 10 Hubungan antara jarak epicentral site dimana fenomena likuifaksi ditinjau dengan besar magnitudo pada gempa dangkal

(Sumber: Kramer, 1996)

2.5.2 Kriteria geologis tanah

Deposit tanah yang rentan terhadap likuifaksi terbentuk dalam lingkungan geologis dalam rentang yang relatif dangkal (Youd, 1991). Lingkungan deposit,

(29)

lingkungan hidrologikal, dan umur deposit tanah semuanya berkontribusi dalam mempengaruhi kerentanan tanah (Youd dan Hoose, 1977).

Proses geologis yang menyusun butiran tanah dalam distribusi butir yang seragam dan mendepositnya ke dalam keadaan renggang menghasilkan deposit tanah yang sangat rentan terhadap likuifaksi. Karenanya deposit tanah jenis fluvial, colluvial dan aeolian ketika berada pada keadaan jenuh air kemungkinan besar rentan terlikuifaksi. Likuifaksi juga telah diamati ditemukan pada deposit tanah jenis alluvial- fan, alluvial-plain, beach, terrace, playa dan estuarine, tetapi tidak sekonsisten pada jenis deposit tanah yang telah disebutkan sebelumnya.

Kerentanan deposit tanah tua terhadap likuifaksi umumnya lebih rendah dibandingkan deposit tanah yang berumur lebih muda. Tanah zaman holocene lebih rentan terhadap likuifaksi dibandingkan tanah zaman pleistocene, walaupun kerentanan menurun sebanding dengan pertambahan umur tanah zaman holocene. Likuifaksi pada deposit pre-pleistocenes sangat jarang ditemukan.

Likuifaksi hanya terjadi pada tanah jenuh, jadi kedalaman air tanah mempengaruhi kerentanan tanah terhadap likuifaksi. Kerentanan likuifaksi menurun seiring dengan kedalaman air tanah; efek dari likuifaksi umum teramati pada daerah dimana muka air berada hanya beberapa meter dari permukaan tanah. Daerah dimana level air tanah berubah-ubah secara signifikan, bahaya likuifaksi juga berubah-ubah.

Deposit tanah buatan juga perlu diperhatikan. Deposit tanah buatan berbutir renggang yang ditempatkan tanpa compaction sangat rentan terhadap likuifaksi.

2.5.3 Kriteria komposisi tanah

Karena terjadinya likuifaksi diikuti dengan meningkatnya tekanan air pori berlebih, kerentanan dipengaruhi oleh karakteristik komposisi tanah yang mempengaruhi perubahan volume. Karakteristik komposisi termasuk ukuran butiran tanah, bentuk dan gradasi tanah.

Sebelumnya, fenomena likufaksi dianggap hanya terbatas pada pasir. Tanah berbutir halus dianggap tidak mampu menghasilkan tegangan air pori yang tinggi yang

(30)

umumnya diasosiasikan dengan likuifaksi, sedangkan tanah berbutir kasar dianggap terlalu berpori untuk menahan tegangan pori cukup lama untuk likuifaksi bisa terjadi.

Baru-baru ini, batas kriteria gradasi tanah yang rentan terhadap likuifaksi telah diperluas.

Likuifaksi pada lanau non plastis telah diobservasi (Ishihara, 1984, 1985) di laboratorium dan di lapangan mengindikasikan bahwa karakteristik plastisitas tanah lebih berpengaruh pada likuifaksi tanah berbutir halus dibanding karakteristik ukuran butir. Lanau berbutir kasar dengan bentuk partikel yang besar, dimana non plastis juga non kohesif, sepenuhnya rentan terhadap likuifaksi (Ishihara, 1993); lanau berbutir halus dengan bentuk partikel keping ataupun seperti lempeng umumnya cukup kohesif untuk mencegah likuifaksi. Lempung tetap tidak terlikuifaksi, walaupun lempung yang sensitif dapat menunjukkan perilaku strain softening serupa tanah terlikuifaksi. Tanah berbutir halus yang memenuhi chinese criteria (Wang, 1979) berikut ini dapat dianggap rentan terhadap penurunan kekuatan tanah yang signifikan :

a. Ukuran fraksi tanah lebih halus dari 0,005 mm ≤ 15%

b. Liquid limit, LL ≤ 35%

c. Natural water content ≥ 0,9 LL d. Liquidity index ≤ 0,75

Kerentanan terhadap likuifaksi dipengaruhi oleh gradasi tanah. Tanah bergradasi baik umumnya kurang rentan terhadap likuifaksi dibandingkan tanah bergradasi buruk;

void diantara partikel besar tanah diisi dengan partikel tanah yang berukuran lebih kecil pada tanah bergradasi baik menghasilkan potensi perubahan volume lebih rendah pada kondisi drained dan karenanya, menurunkan tegangan air pori berlebih pada kondisi undrained. Bukti di lapangan menunjukkan kegagalan likuifaksi berkaitan dengan tanah bergradasi sejenis.

Bentuk partikel juga dapat mempengaruhi kerentanan tanah. Tanah dengan butir partikel bulat dikenal lebih mudah memadat dibandingkan tanah dengan butir partikel bersudut. Karenanya, tanah berpartikel bulat lebih rentan terhadap likuifaksi dibandingkan tanah dengan butir partikel bersudut.

(31)

Tabel 2.1 Potensi terjadinya likuifaksi pada endapan berdasarkan umur endapan

Tipe tanah

Penyebaran endapan-endapan

cohesionless di dalam tanah

Potensi terjadinya likuifaksi berdasarkan usia endapan/deposit

< 500

tahun Holocene Pleistocene Pre- pleistocene Tanah benua

Tanah alluvial Tersebar luas Sedang Rendah Rendah Sangat rendah

Tanah delta Tersebar luas Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah

Bukit pasir Tersebar luas Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah Tanah bekas lautan Tersebar luas - Rendah Sangat rendah Sangat rendah Lereng Tersebar luas Rendah Rendah Sangat rendah Sangat rendah

Thepra Tersebar luas Tinggi Tinggi - -

Tanah colovium Tidak merata Tinggi Sedang Sangat rendah Sangat rendah

Sungai es Tidak merata Rendah Rendah Rendah Sangat

rendah Lakustrin dan playa Tidak merata Tinggi Sedang Sangat rendah Sangat rendah

Pasir lepas Tidak merata Tinggi Tinggi Tinggi -

Dataran banjir Tidak merata

local Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah Kanal sungai Tidak merata

local

Sangat

Tinggi Tinggi Rendah Sangat

rendah Sebka Tidak merata

local Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah

Tanah residu Jarang Rendah Rendah Sangat rendah Sangat

rendah

Tuff Jarang Rendah Rendah Sangat rendah Sangat

rendah Tanah Pantai

Pantai berombak

besar Tersebar luas Sedang Rendah Sangat rendah Sangat rendah Pantai berombak

kecil Tersebar luas Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah Delta Tersebar luas Sangat

Tinggi Tinggi Rendah Sangat

rendah

Estuarine Tersebar luas Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah Pantai diantara laut Tersebar luas Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

Lagoonal Tersebar luas Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah Tanah buatan

Sudah dipadatkan Tidak merata Rendah - - -

Belum dipadatkan Tidak merata Sangat

Tinggi - - -

Sumber: Youd dan Hoose 1977 dalam Robert 2002

(32)

2.5.4 Kriteria kondisi awal tanah

Bahkan jika tanah memenuhi semua kriteria kerentanan terhadap likuifaksi sebelumnya, kita masih belum bisa memastikan apakah tanah tersebut rentan atau tidak terhadap likuifaksi. Kerentanan tanah terhadap likuifaksi juga bergantung terhadap kondisi awal tanah (yaitu tegangan dan kepadatan tanah saat terjadi gempa).

Karena kecenderungan tanah saat terjadi gempa menghasilkan tegangan air pori berlebih sangat dipengaruhi oleh kepadatan dan tegangan awal tanah, kerentanan tanah sangat bergantung pada kondisi awal tanah. Kriteria untuk mengevaluasi kerentanan tanah terhadap likuifaksi ini, tidak seperti yang dijelaskan sebelumnya, berbeda untuk flow liquefaction dan cyclic mobility.

1. Critical void ratio

Casagrande (1936) yang memelopori penelitian tegangan geser pada tanah, melakukan penelitian drained strained-controlled triaxial test pada spesimen dense sand dan loose sand.

Gambar 2. 11 (a) Kurva Stress –strain dan (b) Kurva Stress-void ratio

(Sumber: Kramer, 1996)

Perilaku kuat tanah, menunjukkan bahwa semua spesimen yang telah diuji dengan tegangan kekang dengan besar yang sama mencapat tingkat kepadatan yang sama ketika diberi tegangan geser hingga mencapai large strain. Spesimen pasir lepas memadat selama pengujian dan spesimen pasir padat mengembang. Void ratio yang terjadi pada pasir diberi tegangan geser disebut critical void ratio, ec. Casagrande juga menemukan bahwa tegangan geser berhubungan dengan tegangan kekang efektif yang

(33)

digambarkan seperti kurva critical void ratio (CVR) (Gambar 2.12). Dengan mengetahui void ratio dan tegangan kekang efektif tanah, kurva CVR dapat digunakan untuk memberi batasan pada keadaan lepas (contractive) dan keadaan padat (dilative).

Gambar 2. 12 CVR line sebagai batas pasir padat pada saat keaadaan dilative dan pasir lepas pada saat keadaan contractive

(Sumber: Kramer, 1996)

Karena kurva CVR menandai batas antara perilaku contractive dan perilaku dilative tanah, kurva ini juga dianggap sebagai batas keadaan tanah rentan atau tidak terhadap flow liquefaction.

Gambar 2. 13 CVR line sebagai batas rentan atau tidak rentannya tanah terhadap flow liquefaction

(Sumber: Kramer, 1996)

2. Steady state of deformation

Keadaan dimana tanah tanah bergerak secara terus-menerus saat diberi constant shear stress dan constant effective confining pressure pada volume dan velositi tetap disebut steady state deformation (Castro dan Poulos, 1977).

(34)

Garis yang menjelaskan hubungan antara void ratio dan tegangan kekang efektif pada steady state deformation disebut steady-state line (SSL). SSL berguna untuk mengidentifikasi kondisi dimana tanah rentan atau tidak rentan terhadap flow liquefaction. Tanah yang plot berada di bawah SSL tidak rentan terhadap flow liquefaction. Tanah yang plot berada di atas SSL rentan terhadap flow liquefaction hanya jika tegangan geser statis melebihi steady state tanah tersebut. Karena SSL dapat digunakan untuk mengevaluasi shearing resistance tanah yang terlikuifaksi, juga berguna untuk mengevaluasi efek potensial likuifaksi. Sebaliknya untuk cyclic mobility dapat terjadi di atas maupun di bawah SSL. Dengan kata lain cyclic mobility dapat terjadi di tanah renggang maupun padat.

Gambar 2. 14 State criteria untuk flow liquefaction susceptibility (Sumber: Kramer, 1996)

3. State parameter

Menurut Been dan Jeffries (1985) state parameter dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ψ = e – ess (2.2)

Dimana ess adalah void ratio pada keadaan SSL dengan tegangan kekang efektif yang diinginkan. Ketika state parameter bernilai positif, tanah menunjukkan perilaku contractive dan kemungkinan tanah rentan terhadap flow liquefaction. Ketika state parameter bernilai negatif, perilaku dilative akan terjadi dan tanah tidak rentan terhadap flow liquefaction. State parameter berhubungan dengan friction angle, dilation angle, dan CPT resistance.

(35)

2.6 Tegangan Vertikal Overburden Tanah

Tegangan vertikal overburden merupakan tegangan yang terjadi akibat dari berat tanah dari setiap kedalaman lapisan tanah dengan berat tanah yang konstan. Semakin jauh kedalaman tanah maka tegangan vertikal akan semakin besar. Tegangan vertikal dapat dihitung dengan:

𝜎𝑣𝑜 = ℎ × 𝛾 (2.3)

dengan

𝝈𝒗𝒐 : tegangan vertikal overburden tanah (𝒌𝒈 𝒎 𝟐) 𝒉 : kedalaman tanah (𝑚)

𝜸 : berat volume tanah (𝑘𝑔 𝑚 3)

Tegangan efektif vertikal overburden pada tanah dapat dihitung dengan rumus:

𝜎𝑣𝑜= 𝜎𝑣𝑜− 𝑢 = (ℎ × 𝛾) − (ℎ𝑤 × 𝛾𝑤) (2.4)

dengan

𝝈𝒗𝒐 : 𝐭𝐞𝐠𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐞𝐟𝐞𝐤𝐭𝐢𝐟 𝐯𝐞𝐫𝐭𝐢𝐤𝐚𝐥 𝐨𝐯𝐞𝐫𝐛𝐮𝐫𝐝𝐞𝐧 𝐭𝐚𝐧𝐚𝐡 (𝒌𝒈 𝒎 𝟐) 𝒖 ∶ tekanan air pori (𝑘𝑔 𝑚 2)

𝜸𝒘 : berat volume air (𝑘𝑔 𝑚 3) 𝒉𝒘 ∶ kedalaman muka air tanah (𝑚)

2.7 Rasio Tegangan Siklik (CSR)

Pengaruh gempa terhadap lapisan tanah dapat diekspresikan sebagai rasio tegangan siklik (cyclic stress ratio, CSR). Perhitungan dari rasio tegangan cyclic dapat dilakukan menggunakan persamaan oleh Seed dan Idris (1971) di bawah ini:

𝐶𝑆𝑅 = 𝜏𝑎𝑣

𝜎′𝑣𝑜= 0,65 (𝑎𝑚𝑎𝑥 𝑔 ) (𝜎𝑣𝑜

𝜎′𝑣𝑜) 𝑟𝑑 (2.5)

dengan

𝝉𝒂𝒗 ∶ 𝐚𝐯𝐞𝐫𝐚𝐠𝐞 𝐜𝐲𝐜𝐥𝐢𝐜 𝐬𝐭𝐫𝐞𝐬𝐬 𝑪𝑺𝑹 : rasio tegangan siklik

𝒂𝒎𝒂𝒙 : peak ground acceleration (𝑔)

(36)

𝒈 : percepatan gravitasi bumi ( 9,8 𝑚 𝑠⁄ ) 2

Koefisien terakhir yang disebut sebagai koefisien reduksi tegangan dapat didefinisikan sebagai kelenturan dari profil tanah yang terkena gempa. Beberapa pendekatan juga digunakan untuk menggali lebih dalam tentang nilai dari koefisien tersebut. Idriss (1999) mengajukan persamaan berikut sebagai koefisien reduksi tegangan.

𝑟𝑑 = 𝑒𝑥𝑝[𝛼(𝑧) + 𝛽(𝑧) × 𝑀] (2.6)

𝛼(𝑧) = −1,012 − 1,126 𝑠𝑖𝑛 ( 𝑧

11,73+ 5,133) (2.7)

𝛽(𝑧) = 0,106 + 0,118 𝑠𝑖𝑛 ( 𝑧

11,28+ 5,142) (2.8)

Sedangkan Blake (1997) memberikan persamaan khusus yang kemudian dipergunakan oleh peserta workshop NCEER (2001) seperti pada persamaan berikut.

𝒓𝒅 = 𝟏, 𝟎 − 𝟎, 𝟒𝟏𝟏𝟑𝒛𝟎,𝟓+ 𝟎, 𝟎𝟒𝟎𝟓𝟐𝒛 + 𝟎, 𝟎𝟎𝟏𝟕𝟓𝟑𝒛𝟏,𝟓

𝟏, 𝟎 − 𝟎, 𝟒𝟏𝟕𝟕𝒛𝟎,𝟓+ 𝟎, 𝟎𝟓𝟕𝟐𝟗𝒛 − 𝟎, 𝟎𝟎𝟔𝟐𝟎𝟓𝒛𝟏,𝟓+ 𝟎, 𝟎𝟎𝟏𝟐𝟏𝒛𝟐 (2.9) dengan

𝒛 : 𝐤𝐞𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐦𝐮𝐤𝐚𝐚𝐧 (𝒎)

𝑴 : momen magnitude

2.8 Rasio Tahanan Cyclic (CRR)

Istilah rasio tahanan siklik (Cyclic Resistance Ratio, CRR) dapat diartikan sebagai kemampuan dari tanah untuk dapat melawan likuifaksi. CRR berhubungan dengan parameter in-situ seperti jumlah N-SPT atau tahanan ujung konus pada uji CPT.

Jumlah N-SPT dipengaruhi oleh detail prosedur (panjang rod, hammer energy, sampler details, ukuran borehole) dan oleh tegangan overburden efektif. Sehingga hubungan CRR berdasarkan data SPT menurut Idriss dan Boulanger (2008) sebagai berikut:

(𝑁)60 = 𝑁𝑚𝐶𝑁 (2.10)

(𝑁1)60 = 𝑁𝑚𝐶𝑁𝐶𝐸𝐶𝐵𝐶𝑅𝐶𝑆 (2.11)

(𝑁1)60𝑐𝑠 = (𝑁1)60+ ∆(𝑁1)60 (2.12)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait