1
INTRODUCTIONLikuifaksi sering terjadi pada tanah berpasir lepas dan jenuh air bila terjadi gempa bumi. Akibat kehilangan kuat geser akibat gempa dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor, kehilangan kuat dukung pada fondasi, dan penurunan fondasi yang berlebihan. Dalam konsep manajemen bencana (disaster management), tindakan pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction) harus dijadikan sebagai pengarusutamanya guna mengurangi dampak dari bencana tersebut. Salah satu cara untuk mengurangi dampak adalah dengan membuat zonasi wilayah bahaya atau resiko bencana. Untuk bencana gempa bumi, zonasi wilayah bahaya gempa bumi biasanya didasarkan pada pekerjaan mikrozonasi (microzonation) terhadap percepatan seismik permukaan tanah atau lapisan batuan (Karnawati dkk, 2007). Namun demikian, dalam perspektif geoteknik, peristiwa likuifaksi lebih dikenal luas untuk mengevaluasi potensi kerusakan infrastruktur. Likuifaksi ini akan menyebabkan terjadi penurunan permukaan tanah yang dapat menyebabkan kerusakan bangunan di atasnya (Youd dan Garris, 1995). Oleh karena itu, untuk keperluan praktis geoteknik maka evaluasi potensi likuifaksi ini menjadi perlu dilakukan guna memberikan informasi wilayah bahaya likuifaksi dan memiliki risiko terhadap kerusakan akibat gempa bumi.
Potensi likuifaksi pada tanah berpasir akibat gempa bumi ini dipengaruhi oleh faktor seismik yaitu
magnitudo gempa (Mw), percepatan seismik permukaan
tanah (amax), dan jarak epicenter. Magnitudo gempa
berkaitan langsung dengan energi yang dihasilkan untuk menggerakan lapisan lapisan batuan atau tanah. Secara teoritik, semakin besar magnitude gempa maka percepatan pergerakan permukaan tanah akan semakin besar. Namun, percepatan gempa pada permukaan tanah ini akan sangat bergantung pada sifat-sifat lapisan tanah seperti kekuatan geser tanah. Kekuatan geser tanah di lapangan ini dapat diketahui dengan melakukan uji sondir yang akan diperoleh data tahanan ujung (qc) dan
tahanan gesek (qf). Dengan demikian perlu dikaji
magnitudo gempa minimum yang dapat menimbulkan bahaya likuifaksi. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk evaluasi dua parameter seismik, Mw dan amax,
terhadap bahaya likuifaksi dan penurunan tanah akibat gempa bumi di Kampus Terpadu UMY.
2
CARA STUDIPenelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan yang meliputi : (1) Pengumpulan data lapangan tentang sifat-sifat fisis dan mekanis contoh tanah guna memperoleh sifat-sifat tanah, (2) Analisis likuifaksi dan penurunan permukaan tanah, (3) Analisis Indeks Potensi Likuifaksi. Obyek penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Evaluasi likuifaksi untuk setiap pasangan data sondir yang diperoleh, dihitung dengan menggunakan rumusan Robertson dan Wride (1998) berdasarkan data uji sondir atau cone penetration test (CPT). Sedangkan estimasi
Studi Parametrik Potensi Likuifaksi dan Penurunan Permukaan
Tanah Berdasarkan Uji Sondir
Agus Setyo Muntohar
Geotechnical Engineering Research Group (GERG), Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia.
Email. [email protected]
ABSTRACT: Pada naskah ini disajikan hasil kajian parametrik terhadap potensi likuifaksi dan penurunan permukaan tanah akibat gempa. Parameter yang dikaji meliputi percepatan maksimum gempa di permukaan tanah (amax) dan
magnitudo gempa (Mw). Evaluasi likuifaksi untuk setiap pasangan data sondir dihitung dengan menggunakan rumusan
Robertson dan Wride (1998). Estimasi penurunan permukaan tanah menggunakan rumusan metode oleh Zhang dkk. (2002). Bahaya likufaksi dinilai dengan nilai indeks potensi likuifaksi yang diusulkan oleh Iwasaki dkk. (1978). Hasil kajian parametrik menunjukkan bahwa magnitudo dan percepatan gempa yang lebih besar menyebabkan lapisan tanah banyak mengalami likuifaksi dan memicu kerusakan di permukaan tanah Penurunan di permukaan tanah meningkat tajam dengan bertambahnya magnitudo gempa Mw 7,5–10 dan percepatan gempa maksimum amax = 0,4 g – 0,6 g. Keywords: likuifaksi, penurunan, percepatan gempa maksimum, magnitudo gempa, sondir
Jakarta, 4 December 2012
penurunan permukaan tanah menggunakan rumusan metode yang dikembangkan oleh Zhang dkk (2002).
Gambar 1 Titik – titik pengujian bor dalam, SPT, dan sondir
2.1
Evaluasi Potensi LikuifaksiPrinsip dasar dalam evaluasi likuifaksi tanah adalah menghitung dua variabel utama yaitu (1) perilaku seismik tanah atau cyclic stress ratio (CSR) yang merupakan tegangan siklik yang menyebabkan likuifaksi dan (2) kemampuan tanah untuk menahan likuifaksi atau cyclic resistance ratio (CRR). Nilai CSR yaitu : max
0, 65
'
'
av vo d vo voa
CSR
r
g
τ
σ
σ
σ
=
=
⋅
⋅
(1)
Gambar 2 Tegangan-tegangan yang bekerja pada elemen tanah
Tegangan overburden vertikal total (σvo) dan efektif
(σ'vo) dihitung berdasarkan berat volume tanah dan
kedalaman muka air tanah (Gambar 2) dengan persamaan berikut : 1 2 vo d
h
sath
σ
=
γ
⋅
+
γ
⋅
(2a)
1 2'
vo dh
'
h
σ
=
γ
⋅
+
γ
⋅
(2b)
dengan γd adalah berat volume kering tanah , γsat dan γ’
masing-masing adalah berrat volume jenuh air dan berat volume efektif tanah.
Hubungan kedalaman z dan nilai rd ini, menurut Seed dan Idriss (1971), secara analitik hubungan tersebut dapat didekati dengan fungsi seperti dituliskan pada persamaan (3).
1 0, 00765
;
9,15 m
1,174 0, 0267
; 9,15
23 m
0, 744 0, 008
; 23
30 m
0, 5
;
30 m
dz
z
z
z
r
z
z
z
−
<
−
≤
≤
=
−
<
≤
>
(3)
dengan z adalah kedalaman dengan satuan m.
Nilai CRR7.5 dihitung dengan persamaan (4a) dan
(4b). Penghitungan CRR7.5 mengikuti alur penghitungan
seperti dituliskan pada diagram alir Gambar 3.
(
1)
7.50,833
0, 05
1000
c N csq
CRR
=
⋅
+
(4a)
(
1)
3 7.593
0, 08
1000
c N csq
CRR
=
⋅
+
(4b)
Selanjutnya faktor keamanan (FSL) terhadap likuifaksi
dihitung dengan persamaan (5).
7,5 L
CRR
FS
MSF
CSR
=
⋅
(5)
dengan MSF adalah faktor pengali magnitudo gempa (magnitude scaling factor) dalam skala momen agar setara dengan CRR untuk gempa Mw = 7,5. Besarnya
MSF yang diusulkan dalam Youd dan Idriss (2001) yaitu : 2,56
174
wMSF
M
=
(6)
Berdasarkan kriteria yang diberikan oleh Robertson dan Wride (1998), Lapisan tanah yang memiliki nilai Ic
> 2,6 dan (qc1N)cs > 160 kg/cm2 memiliki criteria sebagai
lapisan tak-likuifaksi (non-liquefiable).
h1
Muka Tanah
γd
γsat
Muka Air Tanah
A h2
Gambar 3 Diagram alir untuk evaluasi CRR7.5
(dimodifikasi dari Robertson, 2004).
2.2
Indeks Potensi LikuifaksiIndeks Potensi Likuifaksi atau Liquefaction Potential Index (LPI) adalah suatu indeks yang digunakan untuk estimasi potensi likuifaksi yang menyebabkan kerusakan fondasi. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Iwasaki dkk. (1978). LPI menganggap bahwa kerusakan likuifaksi adalah sebanding terhadap kondisi berikut :
a. Ketebalan lapisan yang terlikuifaksi (liquefied layer),
b. Jarak lapisan terlikuifaksi terhadap permukaan tanah, dan
c. Jumlah lapisan dengan nilai faktor keamanan kurang dari satu (FSL < 1).
Anggapan tersebut dirumuskan dalam persamaan (7).
∫
=
mdz
z
w
F
LPI
20 0)
(
(7)
dengan, F = 1 – FS untuk FS ≤ 1, F = 0 untuk FS > 1, danw(z) merupakan fungsi bobot (weighting) yang bergantung pada kedalaman, yaitu w(z) = 10 – 0,5 z, dengan z adalah kedalaman lapisan pasir (m).
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam persamaan (7), nilai LPI dapat berkisar dari 0 untuk suatu lokasi dimana tidak terjadi likuifaksi hingga 100 untuk lokasi dimana faktor keamanan sama dengan nol di seluruh kedalaman 20 m.
Gambar 4 Hubungan nilai tahanan ujung seismic dan regangan volumetrik untuk beragam faktor keamanan (Zhang dkk., 2002)
2.3
Estimasi Penurunan Permukaan TanahUntuk permukaan tanah yang relatif datar, bisa dianggap pergerakan arah lateral tidak terjadi atau sangat kecil setelah gempa bumi, sehingga regangan volumetrik akan sama dengan regangan vertikal. Penurunan permukaan tanah dapat dihitung dengan melakukan integral regangan vertikal untuk setiap lapisan tanah pada seluruh kedalaman seperti dituliskan dalam persamaan (8) (Zhang dkk., 2002).
, 1 0 z j v v i i i
S
ε
dz
ε
z
==
∫
=
∑
∆
(8)
dengan εv,i adalah regangan volumetrik pasca likuifaksi
pada lapisan tanah ke-i dan ∆zi adalah tebal lapisan
tanah ke-i. Secara empirik, besarnya regangan vertical seismik sebagai fungsi dari faktor aman dan nilai tahanan ujung seismik diberikan dalam persamaan-persamaan pada Gambar 4.
2.4
Desain Studi ParametrikBerdasarkan penulusuran sumber-sumber pustaka tidak secara spesifik menyebutkan nilai tunggal (single option) untuk Mw dan amax untuk gempa yang terjadi di
Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Beberapa peneliti (El-Nashai dkk., 2007; Tsuji dkk., 2009; UNEP/OCHA, 2007; Soebowo dkk., 2007; Thant dkk.,
Jakarta, 4 December 2012
2010) menyebutkan variasi nilai Mw berkisar 5,9 – 6,3,
dan nilai amax dalam rentang 0,1g – 0,7g. Sedangkan Lee
dkk., (2006) dan Muntohar (2009), dengan Mw = 6,3
diperoleh nilai amax 0.25g di lokasi studi. Berdasarkan
penelusuran pustaka tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan analisis parametrik terhadap parameter seismik yang berpengaruh yaitu magnitudo gempa (Mw)
dan percepatan pergerakan tanah (amax). Kedua
parameter tersebut dibuat bervariasi yaitu :
a. Magnitudo, Mw : 4; 5,4; 6,3; 7,5; 8,3; 9,5 dan
b. amax (g) : 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6
Penghitungan faktor keamanan dan penurunan permukaan tanah dilakukan di setiap titik pengujian dengan variasi Mw dan amax tersebut. Sehingga dapat
diperoleh hubungan antara penurunan permukaan tanah dengan magnitudo amax. Berdasarkan hubungan ini maka
akan dapat diketahui nilai kritis magnitudo dan amax
yang dapat memicu terjadinya likuifaksi dan penurunan tanah.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN3.1
Evaluasi Potensi LikuifaksiKajian parametrik untuk dua parameter seismik terhadap potensi likuifaksi seperti disajikan pada Gambar 5 dan 6. Berdasarkan kedua hubungan tersebut dapat diketahui bahwa tingkat risiko likuifaksi meningkat dengan bertambahnya nilai percepatan gempa di permukaan tanah dan magnitudo gempa. Lokasi di bangunan unit A merupakan area yang sangat rentan terhadap peningkatan percepatan gempa di permukaan tanah bila dibandingkan dengan bangunan unit B. Peningkatan percepatan gempa dari 0,25 g menjadi 0,6 g menyebabkan indeks potensi likuifaksi bertambah hingga mencapai 5–7 kali, sehingga risiko likuifaksi di bangunan A menjadi tinggi dan di bangunan unit B menjadi sedang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh litologi tanah yang berbeda antara lokasi di unit A dan B.
Gambar 5 Hubungan percepatan gempa di permukaan tanah maksimum (amax) dan indeks potensi likuifaksi
Gambar 6 Hubungan antara magnitudo gempa (Mw) dan
indeks potensi likuifaksi
Gambar 7 Korelasi litologi pemboran inti
Pada lokasi unit A, berdasarkan data bor log (Gambar 7) dapat diketahui bahwa lapisan pasir halus dalam kondisi lepas mendominasi litologi tanah. Hal ini berbeda dengan litologi tanah di lokasi unit B yang banyak pasir sedang agak lepas dan adanya lapisan batu pasir yang cukup tebal 1,8 m. Lee dan Fitton (1969) menyebutkan bahwa kekuatan tanah di awal likuifaksi
menurun dengan berkurangnya ukuran parikel pasir dan kepadatan pasir. Kandungan fraksi butir halus seperti lanau non-plastis dalam lapisan pasir merupakan bagian lemah yang dapat mengurangi kekuatan tanah. Kandungan butir halus di lokasi unit A (BH1) lebih besar daripada di lokasi unit B (BH2). Robertson dan Wride (1998) menuliskan bahwa tanah yang mengandung lanau non-plastis memiliki tahanan seismik yang relatif rendah.
Berdasarkan hubungan antara percepatan gempa maksimum dan indeks potensi likuifaksi (Gambar 6) dapat diketahui secara umum bahwa potensi likuifaksi meningkat relatif besar hingga amax = 0,6 g. Kemudian
setelah nilai terebut, tidak potensi likuifaksi meningkat relatif kecil. Sedangkan berdasarkan hubungan antara magnitudo gempa dan indeks potensi likuifaksi pada Gambar 6 diketahui bahwa potensi likuifaksi cenderung meningkat tajam hingga magnitudo Mw = 1011,
kemudian setelah nilai ini potensi likuifaksi meningkat relatif kecil. Kedua hasil ini dapat dikatakan sebagai nilai maksimum yang menyebabkan seluruh lapisan pasir mengalami likuifaksi.
3.2
Estimasi Penurunan Permukaan TanahPenurunan permukaan tanah untuk berbagai nilai percepatan gempa maksimum dan magnitudo gempa diberikan pada Gambar 8 dan 9. Mengacu pada hasil analisis Gambar 5 dan 6 serta faktor aman pada persamaan (5), dapat diketahui bahwa potensi likuifaksi akan berkurang seiring dengan meningkatnya percepatan gempa maksimum (amax) dan magnitudo
gempa (Mw). Sebagai akibat dari tingginya percepatan
gempa di permukaan tanah, maka goyangan yang ditimbulkan juga semakin kuat dan menghasilkan penurunan permukaan tanah yang besar pula.
Gambar 8 Hubungan antara percepatan permukaan tanah maksimum (amax) dan penurunan permukaan tanah
Gambar 9 Hubungan antara magnitodo gempa (Mw) dan
penurunan permukaan tanah
Karakteristik hubungan antara amax dan Mw terhadap
penurunan permukaan tanah di lokasi bangunan unit A (titik SB1, SB4, SR2) berbeda dengan unit B (titik SB5, SB8, SR7). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa litologi masing-masing berbeda. Ishihara (1993) dan Youd dan Garris (1995) menyebutkan bahwa potensi likuifaksi yang menyebabkan penurunan permukaan tanah juga bergantung pada perbandingan ketebalan lapisan tanah dan lapisan tanah yang tidak terlikuifaksi (non-liquefiable layers). Berdasarkan hasil bor log (Gambar 7) dengan mudah diketahui bahwa lapisan tak-terlikuifaksi di unit B (BH2) lebih tebal dibandingkan di unit A (BH1).
Hubungan yang diberikan pada Gambar 8 dan 9 adalah fungsi sigmoidal. Ciri dari fungsi ini adalah terdapat bagian yang linear – lurus dan bagian yang mencapai maksimum. Secara umum dapat diketahui dari Gambar 8 bahwa penurunan permukaan tanah meningkat tajam hingga percepatan gempa maksimum sebesar 0,4–0,6g. Peningkatan percepatan gempa maksimum setelah 0,6g hanya menghasilkan penurunan permukaan tanah yang bertambah secara asimtotik. Pada kondisi ini, lebih dari 50% lapisan tanah mengalami likuifaksi yang mana faktor aman kurang dari 1 (FSL < 1). Hal ini seperti dijelaskan pula dalam
Muntohar(2009). Hasil ini konsisten dengan hasil analisis potensi likuifaksi pada Gambar 5 sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ishihara dan Yoshimine (1992) menunjukkan bahwa penurunan permukaan tanah masih akan berlanjut setelah percepatan batas potensi likuifaksi.
Karakteristik yang berbeda dihasilkan dari hubungan antara magnitudo gempa dan penurunan permukaan tanah (Gambar 9). Penurunan di permukaan tanah meningkat tajam dengan bertambahnya magnitudo gempa Mw 7,5–10. Namun berdasarkan hasil estimasi
potensi likuifaksi (Gambar 6), potensi likuifaksi meningkat tajam seiring bertambahnya magnitudo gempa hingga mencapai batas Mw 10–11. Hasil ini
Jakarta, 4 December 2012
kepadatan yang lepas yang mana penurunan relatif besar sebelum magnitudo gempa mencapai batas maksimumnya.
4
KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu :
1
Magnitudo dan percepatan gempa yang lebih besar menyebabkan lapisan tanah banyak mengalami likuifaksi dan memicu kerusakan di permukaan tanah.2
Penurunan di permukaan tanah meningkat tajam dengan bertambahnya magnitudo gempa Mw = 7,5–10 dan percepatan gempa maksimum amax = 0,4–
0,6g.
3
Potensi likuifaksi dan penurunan permukaan tanah dipengaruhi tidak hanya oleh parameter seismik, tetapi juga oleh litologi tanah.UCAPAN TERIMA KASIH
Naskah ini merupakan bagian dari hasil penelitian “Mikro-Zonasi Potensi Likuifaksi dan Penurunan Tanah Akibat Gempa Bumi” yang didanai oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis mengucapkan terima kasih atas dana yang diberikan melalui program Kompetisi Penelitian Dosen pada tahun 2010.
5
DAFTAR PUSTAKAElnashai, A.S., Kim, S.J., Gun, Y.J., Sidarta, D., 2007, The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, MAE Center Report No. 07-02, 570p.
Ishihara K., 1993. Liquefaction and flow failure during earthquakes. 33rd Rankine Lecture, Geotechnique 43(3): 349-415.
Ishihara K., Yoshimine M., 1992. Evaluation of settlement in sand deposits following liquefaction during earthquake. Soils and Foundations JSSMFE 32 (1), pp. 173-188.
Iwasaki T., Tatsuoka F., Tokida K., Yasuda S,. 1978. A practical method for assessing soil liquefaction potential based on case studies at various sites in Japan.Proceeding 2nd International Conference on Microzonation, San Francisco, pp. 885–896
Karnawati D., Husein S., Pramumijoyo S., Ratdomopurbo A., Watanabe K., Anderson R., 2007. Earthquake Microzonation and Hazard Maps of the Bantul Area, Yogyakarta, Indonesia, The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. p. 7-1 to 7-15, Star Publishing Company Inc. California. Lee K L., Fitton J A., 1969. Factors affecting the cyclic
loading strength of soil, in “Vibration Effect of Earthquakes in Soils and Foundations”, ASTM STP 450: 71-95
Lee, S.H.H., Ching, H.H., Muntohar, A.S., 2006, Study on Liquefaction Problem of Yogyakarta Area at 052706 Earthquake", Proceeding International Seminar and Symposium on Earthquake Engineering and Infrastructure & Building Retrofitting (EE & IBR), Yogyakarta, 28 August 2006, pp. 6 -10. Muntohar, A.S., 2009, Evaluation of Peak Ground
Acceleration Using CPT Data for Liquefaction Potential, Proceeding 4th Annual International Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster & Recovery, Banda Aceh, 23-25 November 2009, pp. 91-94
Robertson P K., 2004, Evaluating Soil Liquefaction and Post-earthquake deformations using the CPT. In Viana da Fonseca & Mayne (eds.): Proceedings ISC-2 on Geotechnical and Geophysical Site Characterization, Millpress, Rotterdam, 233-252. Robertson P K., Wride C E., 1998, Evaluating cyclic
liquefaction potential using the cone penetration test. Canadian Geotechnical Journal 35: 442–459. Seed H B, Idriss I M. 1971. Simplified procedure for
evaluating soil liquefaction potential. Journal of the Soil Mechanics and Foundation Division ASCE 97(9): 1249−1273.
Soebowo, E., Tohari, A., Sarah, D., 2007, Study on Liquefaction Potential of Opak Fault in Patalan, Bantul, Yogyakarta", Proceeding of Seminar on Geotechnology, Bandung, 3 December 2007, pp. 55-63
Thant, M., Pramumijoyo, S., Hendrayana, H., Kawase, H., Adi, A.D., 2010, Evaluation Of Strong Ground Motion For Yogyakarta Depression Area, Indonesia, Journal of Southeast Asian Applied Geology 2(2): 81-94
Tsuji, T., Yamamoto, K., Matsuoka, T., Yamada, Y., Onishi, K., Bahar, A., Meilano, I., Abidin, H.Z., 2009, Earthquake fault of the 26 May 2006 Yogyakarta earthquake observed by SAR interferometry, Earth Planets Space 61: e29–e32 UNEP/OCHA, 2007, Dam Integrity Assessment
following the Yogyakarta Earthquake Indonesia, Consolidated report on activities undertaken through the Monitoring and Information Centre of the European Commission & the Joint UNEP/OCHA Environment Unit, Joint UNEP/OCHA Environment Unit
Youd T L., Garris C T., 1995. Liquefaction – induced ground surface disruption. Journal of Geotechnical Engineering 121(11): 805 – 809.
Youd, T.L., Idriss, I.M., 2001, Liquefaction ressitance of soils: summary report from the 1996 NCEER and 1998 NCEER/NSF workshops on evaluation of liquefaction resistance of soils. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering 127(4): 297-313.
Zhang, G., Robertson, P.K., Brachman, R.W.I., 2002, Estimating liquefaction-induced ground settlements from CPT for level ground. Canadian Geotechnical Journal 39: 1168–1180