SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh MUH. AUNUR RAFIQ MUKHLIS NIM :
Teks penuh
(2) TINJAUAN YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI PERKARA TATA USAHA NEGARA (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 91 PK/TUN/2017 ANTARA PT. SEMEN INDONESIA (PERSERO) TBK MELAWAN YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA). SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.). Oleh MUH. AUNUR RAFIQ MUKHLIS NIM : 11150480000190. PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M i.
(3) TINJAUAN YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI PERKARA TATA USAHA NEGARA (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 91 PK/TUN/2017 ANTARA PT. SEMEN INDONESIA (PERSERO) TBK MELAWAN YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA). SKRIPSI. Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.). Oleh : Muh. Aunur Rafiq Mukhlis NIM : 11150480000190. Pembimbing :. Irfan Khairul Umam, SH.I., L.L.M NIDN : 2123098401. PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M ii.
(4) ABSTRAK MUH. AUNUR RAFIQ MUKHLIS, NIM 11150480000190, “TINJAUAN YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI PERKARA TATA USAHA NEGARA (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 91 PK/TUN/2017 ANTARA PT. SEMEN INDONESIA (PERSERO) TBK MELAWAN YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA)”. Peminatan Praktisi Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442H/2021M, 70 halaman. Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dalam ranah TUN memiliki beberapa permasalahan hukum diantaranya belum ada perangkat hukum yang secara khusus mengatur, verifikasi novum yang tidak secara materil terbukti kelayakannya, dan juga pelaksanaan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali menghadirkan pertentangan antara Kepastian hukum dan Keadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah Normatif-Yuridis. Penelitian berlandaskan pada analisa yuridis peraturan perundang-undangan dan juga Yurisprudensi atau Putusan Hakim terkait Peninjauan Kembali lebih dari satu kali perkara Tata Usaha Negara yang kemudian dapat menjadi suatu kaidah hukum baru dalam rangka membuat legal reasoning yang lebih baik. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengenai Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dalam ranah Tata Usaha Negara serta menganalisa pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara PK TUN lebih dari satu kali, Landasan hukum PK dalam ranah TUN adalah Pasal 132 Undang-Undang PTUN yang mana lebih lanjut diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009. Penelitian ini menunjukan inkonsistensi majelis hakim dalam memutus perkara. Pada tahap PK Ke-2, pihak pemohon dalam novumnya membuktikan bahwa novum yang dihadirkan oleh Pemohon PK Pertama ialah palsu, namun dalam amar putusan majelis hakim PK Ke-2 tidak menerima pembuktian tersebut dikarenakan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa upaya PK maksimal hanya satu kali.. Kata Kunci : Peninjauan Kembali, Tata Usaha Negara, Upaya Hukum Luar Biasa Pembimbing Skripsi : Irfan Khairul Umam, S.H.I., L.L.M. Daftar Pustaka : Tahun 1976 – Tahun 2019. iii.
(5) KATA PENGANTAR. ه َّ الر ْح َمن َّ اَّلل الر ِحيم ِ ِب ْس ِم ِ Segala puji serta syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak hati manusia. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada Rasulullah Nabi Allah Muhammad SAW. yang telah menghantarkan kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang yang lebih baik. Beliau mengajarkan kepada kita umatnya bagaimana pentingnya untuk menuntut ilmu agar niscaya keselamatan akan kita dapatkan ketika hidup di dunia dan kelak di akhirat. Penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, izinkan peneliti menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya. 2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan sekertaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Irfan Khairul Umam, S.H.I., L.L.M Pembimbing Skripsi ditengah kesibukannya telah banyak meluangkan waktu dan memberikan arahan serta ilmunya selama peneliti mengerjakan skripsi ini. 4. Kepala urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 5. Keluarga peneliti yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama mengerjakan penulisan. 6. Pihak-pihak yang sudah memberi kontribusi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini yang selalu mendukung secara penuh. iv.
(6) Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca serta pihak yang memerlukannya.. Jakarta, 11 Mei 2021. Muh. Aunur Rafiq Mukhlis. v.
(7) vi.
(8)
(9) DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... ii ABSTRAK ................................................................................................................. iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................................... vi LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii BAB-I. : PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .......................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7 D. Metode Penelitian ............................................................................. 7 E. Sistematika Pembahasan ................................................................. 11. BAB-II. : PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA TATA USAHA NEGARA ........................................................................................... 12 A. Kerangka Konseptual ......................................................................12 1. Sejarah dan Pengertian Hukum Acara Tata Usaha Negara ...... 12 2. Fungsi PTUN ............................................................................ 14 3. Kewenangan PTUN .................................................................. 16 4. Upaya Hukum Peradilan TUN ................................................. 16 5. Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali Tata Usaha Negara ..21 B. Kerangka Teori .............................................................................. 21 1. Teori Kepastian Hukum ............................................................. 21 2. Teori Keadilan ........................................................................... 23 3. Teori Tujuan Hukum ................................................................. 24 C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................. 25. BAB-III. : DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 99 PK/TUN/2016 DAN 91 PK/TUN/2017 ANTARA YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA MELAWAN GUBERNUR JAWA TENGAH ..................................................... 28 A. Duduk Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016................................................................ 28 B. Duduk Perkara Putusan Mahkamah Agung viii.
(10) Nomor 91 PK/TUN/2017................................................................ 36 BAB-IV. : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI SENGKETA TATA USAHA NEGARA .........................................43 A. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 99/PK/TUN/2016 .... 43 B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 91/PK/TUN/2017 .... 56. BAB-V. : PENUTUP .......................................................................................... 67 A. Kesimpulan ..................................................................................... 67 B. Rekomendasi................................................................................... 68. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 69. ix.
(11) BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Secara konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat, atau negara berdasarkan Rule of Law). Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prof. Jimly Assddiqie mengutip pendapat Julius Stahl bahwa ada empat unsur negara hukum adalah: 1. Pengakuan Hak Asasi Manusia (grondrechten). 2. Pembatasan kekuasaan (scheiding van machten). 3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang (wetmatigheid van bestUndangUndangr/administratie). 4. Pengadilan administrasi negara (administratieve rechspraak)1. Oemar Seno Adji menafsirkan unsur keempat2 dari negara hukum menurut opini hukum Julius Stahl bahwasanya administratieve rechspraak adalah peradilan tata usaha dalam perselisihan. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut belum mengatur secara terperinci mengenai ruang lingkup tugas dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai suatu badan peradilan yang tersistematis dengan baik. Terkait dengan hukum acara yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-Undang tersebut pada masa itu hanya memperkenalkan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu wadah penyelesaian sengketa yang hadir di bidang tata usaha negara antara masyarakat. 1 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, 2007), h. 301. 2 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Erlangga Jakarta, 1980), h. 11.. 1.
(12) 2. dengan pejabat tata usaha negara. Pembentukan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara terbentuk dari sebuah politik hukum guna mengawasi kontrol yuridis dari segala bentuk kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah.3 PTUN resmi dibentuk dan dijalankan sejak tanggal 14 Januari 1991, adapun landasan hukum terbentuknya PTUN adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1991 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang, lalu dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sejak saat itu mulai diberlakukan secara nasional pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Fungsi utama dari hal ini ialah fungsi kontrol terhadap kebijakan administrasi dan kebijakan pemerintahan. Landasan filosofis pembentukan negara hukum adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak individual maupun kolektif sehingga dapat tercapai keserasian, keselarasan, kesimbangan, serta dinamisasi dan harmonisasi hubungan antara masyarakat dengan negara.4 Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di zaman pasca reformasi fungsinya ditekankan sebagai kontrol yuridis terhadap keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang mana hal ini dapat terjadi karena kehidupan bernegara dewasa ini semakin demokratis dan tranparan. 5 Praktek peradilan sangat memungkinkan terjadinya peristiwa pemutusan yang menjadikan pihak yang kalah untuk menempuh suatu upaya hukum dikarenakan terdapat ketidakpuasan bagi salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak (penggugat dan tergugat), lalu. 3. Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia,Studi tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-1981, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005), h. 27. 4 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Eksekutabilitas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan, Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI tahun 2010, h. 1 5 Chudry Sitompul, Materi Pelatihan Hukum Kontrak di Kementrian Pekerjaan Umum, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012), h. 4.
(13) 3. menggunakan haknya dengan menempuh suatu upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut.6 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 mengandung ketentuan mengenai upaya hukum, antara lain: 1.. Perlawanan terhadap penetapan Ketua PTUN dalam rangka Dismisal Proses sesuai dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.. 2.. Banding kepada Pengadilan Tinggi TUN (Pasal 122 sampai dengan Pasal 130 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).. 3.. Kasasi kepada Mahkamah Agung (Pasal 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).. 4.. Perlawanan oleh pihak ketiga (Pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).. 5.. Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Opini hukum Indroharto menyatakan bahwa upaya hukum di dalam hukum. acara Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum terhadap putusan dismissal proses, banding dan kasasi. Disebut upaya hukum biasa, karena yang diganggugugat adalah putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum luar biasa adalah peninjauan Kembali, disebut upaya hukum luar biasa, karena yang diganggu gugat adalah putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Akhir dari upaya hukum jelas adalah sebuah eksekusi putusan yang mana negara selalu dianggap mampu untuk menjamin keberlangsungan. terlaksananya. putusan. (solveable).. 7. Penulisan. ini. memfokuskan pada upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali, atau dengan kata lain, objektif dari penulisan skripsi ini adalah mengenai PK yang. 6. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Cetakan ke-4, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 222 7 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Cet.4, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 244..
(14) 4. hadir diatas PK di dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan kata lain PK lebih dari satu kali. Pertimbangan peneliti memilih topik mengenai PK karena masih kurangnya instrument yang mengatur pelaksanaan PK dalam ranah peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuannya pengajuan permohonan PK kepada Mahkamah Agung hanya diperbolehkan satu kali dan terhadap putusan PK tidak dilakukan PK., tapi kenyataannya di dalam praktek, PK dapat diajukan dua kali, dan dapat mengajukan permohonan PK terhadap putusan PK. Fakta hukum yang terjadi bahwa terdapat permohonan PK atas putusan PK perkara TUN dalam putusan MA RI nomor 91 PK/TUN/2017 antara PT. SEMEN INDONESIA (PERSERO) MELAWAN YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA. Dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara Peninjauan Kembali 91 PK/TUN/2017 tersebut adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Kembali. Atas dasar alasan tersebut maka putusan Peninjauan Kembali Nomor 91 PK/TUN/2017 tersebut menjadi penting untuk diteliti sebagai objek penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini.. Alasan lain peneliti. memilih objek. penelitian mengenai hadirnya mekanisme permohonan PK lebih dari satu kali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah karena timbulnya dilema di dalam asas-asas yang berlaku di dalam Kekuasaan Kehakiman di dalam sistem hukum Indonesia, yaitu : 1. Asas Kepastian Hukum ; 2. Asas Keadilan ; 3. Asas Litis Finiri Oportet ; 4. Asas Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya ringan. Dikatakan terjadi dilema antara asas kepastian hukum dengan asas keadilan karena hadirnya mekanisme permohonan PK lebih dari satu kali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara maka timbul ketidakpastian hukum. Sesungguhnya permohonan PK untuk pertama kalinya saja sudah menimbulkan ketidak pastian hukum, sebab permohonan PK pada dasarnya telah melawan.
(15) 5. keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan sudah bersifat mengikat (kracht van gewijsde)8. Apalagi jika diberikan PK untuk kedua kalinya, tapi jika tidak dikabulkan permohonan PK lebih dari satu kali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara maka mungkin akan menimbulkan ketidakadilan. Terdapat kemungkinan adanya kekhilafan atau kekeliruan dari hakim dalam memutus atau mungkin saja timbul bukti baru (novum) yang tidak pernah terungkap di dalam persidangan tingkat pertama atau mungkin adanya dua putusan pengadilan yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Hakim wajib untuk mendasari pembuatan putusan dengan mencari nilai-nilai kebenaran dan keadilan subtansial 9 , dengan hadirnya mekanisme permohonan PK lebih dari satu kali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara maka pelaksanaan proses peradilan tidak berjalan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penerimaan permohonan PK lebih dari satu kali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara menjadikan peradilan akan berjalan lama dan biayanya menjadi mah, namun bila terlalu menekankan prinsip peradilan berjalan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka akan menimbulkan ketidakadilan sebagaimana yang telah disinggung tersebut di atas. Selain itu, alasan penelitian memilih topik mengenai permohonan PK lebih dari satu kali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara tersebut sebagai objek penelitian, karena sampai sejauh ini tidak banyak penelitian mengenai Peninjauan Kembali dalam Peradilan Tata Usaha Negara, dengan demikian penelitian ini akan bermanfaat untuk bahan bacaan atau dapat dijadikan dasar penelitian yang lain mengenai Peninjauan Kembali di dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Memperhatikan latar belakang tersebut, peneliti sangat tertarik membahas masalah ini dengan mengambil judul skripsi : “TINJAUAN YURIDIS 8. Soepomo R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993),. h.57 9. Rifai, A., Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Malang: Sinar Grafika, 2010), h.136..
(16) 6. PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI PERKARA TATA USAHA NEGARA (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 91 PK/TUN/2017 ANTARA PT. SEMEN INDONESIA (PERSERO) TBK MELAWAN. YAYASAN. WAHANA. LINGKUNGAN. HIDUP. INDONESIA)”. B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Tidak terdapat perangkat hukum yang secara spesifik mengatur mekanisme pengajuan dan pembatasan peninjauan kembali perkara Tata Usaha Negara ; b. Terdapat novum yang tidak terverifikasi kebenarannya dalam pengajuan upaya hukum luar biasa ; c. Tidak diterapkannya asas keadilan dan asas kepastian hukum dalam memutus Peninjauan Kembali lebih dari satu kali. 2. Pembatasan Masalah Diperlukan batasan guna menghindari adanya perbedaan penafsiran dan meluasnya penelitian ini, maka peneliti membatasi pada uraian latar belakang permasalah yang sudah diungkapkan, maka pembahasan ini berfokus pada satu titik permasalahan, peneliti ingin menganalisis masalah secara keilmuan mengenai tidak terdapatnya perangkat hukum yang secara spesifik mengatur mekanisme pengajuan dan pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara PK TUN lebih dari satu kali. 3. Perumusan Masalah Meninjau latar belakang dan pembatasan masalah, maka peneliti rumuskan masalah berikut : Mekanisme penerapan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali pada putusan Tata Usaha Negara ditinjau dari perangkat hukum yang berlaku. Mempertegas arah dari masalah utama yang telah diuraikan di.
(17) 7. atas maka peneliti menjabarkan penulisan ini melalui rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan : a. Bagaimana instrumen hukum mengatur mekanisme Peninjauan Kembali dalam Peradilan Tata Usaha Negara ? b. Bagaimana pertimbangan hukum yang diterapkan hakim Mahkamah Agung pada putusan Peninjauan Kembali (PK lebih dari 1 kali) pada perkara Tata Usaha Negara ?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui instrumen hukum yang mengatur mekanisme Peninjauan Kembali dalam Peradilan Tata Usaha Negara. b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang diterapkan hakim Mahkamah Agung pada putusan Peninjauan Kembali (PK lebih dari 1 kali) pada perkara Tata Usaha Negara. 2. Secara garis besar, manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu : a. Manfaat Teoritis Manfaat Teoritis dari penelitian ini untuk memberikan kontribusi pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya tentang mekanisme peninjauan kembali lebih dari 1 kali pada perjara Tata Usaha Negara b. Kegunaan Praktis Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan referensi bagi pendidikan dan penelitian hukum, sumber bacaan bidang hukum khususnya tentang pelaksanaan upaya hukum luar biasa dalam perkara Tata Usaha Negara. D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Metode merupakan cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam pengertiannya.
(18) 8. yang luas, “metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah tersebut.”10 Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode Normatif-Yuridis, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan. Selain itu, pendeketan pada penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis, dimana memperoleh pertimbangan hukum. 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah Penelitian kualitatif. Penelitian Kualitatif merupakan penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan. Contohnya dapat berupa penelitian tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik.11 Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Maka dari itu, jenis penelitian yang dipakai pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Dimana penelitian ini akan menjadikan instrument hukum sebagai literatur utama dalam penelitian ini. 2. Data Penelitian Data penelitian adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi. 12 Data yang peneliti gunakan untuk menyusun informasi yang ada dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:. 10. Anthon F. Susanto, Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris Fondasi Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Mix Method dalam Penelitian Hukum, (Bandung: LoGoz Publishing, 2011), h. 196. 11 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2003), h. 4 12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Kegiatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 96.
(19) 9. a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, Surat Edaran, dan Putusan Pengadilan. b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi, kamus hukum, jurnal hukum, Buku teks, dan komentar-komentar atas norma hukum. 3. Sumber Data Dalam penelitian ini terdapat beberapa sumber data yang digunakan diantaranya ialah : a. Data Primer Dalam hal penelitian ini yang termasuk data primer ialah : 1) Undang-Undang : a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN; c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2) Peraturan Lain. :. a) SEMA Nomor 10 tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, data sekunder pun memiliki ciri umum yakni diantaranya.
(20) 10. dapat diperoleh dengan tanpa dibatasi atau terikat oleh waktu dan tempat13. c. Bahan Hukum Tersier Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan sekunder dan bahan primer di antaranya, kamus, ensiklopedi dan sumber-sumber sejenis yang diakses melalui Internet. 4. Metode Pengolahan Data dan Teknik Analisis Data a.. Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data menjelaskan langkah-langkah pengolahan dan analisis data yang sesuai dengan pendekatan yang ditempuh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sehingga metode pengolahan data ditempuh dengan menjabarkan data dalam bentuk yang efektif dan logis sehingga dapat memudahkan untuk dipahami serta menafsirkan data.. b.. Teknik Analisis Data Teknik. analisis. data. merupakan. suatu. teknik. yang. mengklasifikasikan data dengan cara memilah data-data tersebut dalam rangka mencari data-data penting. Data yang dikumpulkan berupa data kepustakaan yang kemudian disusun secara sistematis menggunakan metode pengumpulan data yang pada penelitian ini menggunakan metode penelitian Normatif/Yuridis. Penelitian dilakukan terhadap putusan PTUN dari tingkat 1 hingga PK diatas PK.. 5. Pedoman Penelitian Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.. 13. Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Radja Grafindo Persada, 2007), h. 24..
(21) 11. E. Sistematika Pembahasan Skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, yang terdiri dari 5 Bab. Pada setiap bab berisikan beberapa sub bab yang menjelaskan ruang lingkupnya masing-masing, dalam rangka menjawab permasalahan yang diteliti. Urutan dari setiap pembahasan setiap bab adalah sebagai berikut : Bab Pertama, bab ini menyajikan pendahuluan yang memuat secara keseluruhan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan, dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematikan pembahasan. Bab Kedua, bab ini menyajikan Kerangka Konseptual dan teoritis. Pertama pembahasan BAB diawali dengan pemaparan kerangka konseptual dan setelahnya menjelaskan teori yang digunakan. Bab Ketiga, bab ini menyajikan penguraian upaya hukum luar biasa di peradilan tata usaha negara yang terdiri dari duduk perkara 2 Putusan PK yakni Putusan MA Nomor 99 PK/TUN/2016 dan Putusan PK Kedua yakni Putusan MA Nomor 91/PK/TUN/2017. Bab Keempat, setelah menjabarkan duduk perkara Putusan PK, bab ini terfokus kepada analisis pertimbangan hukum majelis hakim PK dalam Penghadiran PK lebih dari 1 kali. Bab Kelima, bab ini menyajikan penutup. Berisikan kesimpulan yang menjawab rumusan masalah berdasarkan analusa hukum, serta rekomendasi..
(22) BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA TATA USAHA NEGARA A. Kerangka Konseptual 1. Sejarah dan Pengertian Hukum Acara Tata Usaha Negara Sejarah mencatat sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda tidak teridentifikasi terdapatnya suatu Peradilan TUN yang independen, yang berwenang untuk menyelesaikan kasus di bidang TUN. Badan Peradilan pada kala itu dilaksanakan oleh hakim administrasi yang berperan memeriksa secara khusus perkara administrasi dan juga perdata secara bersamaan. Terhitung sejak negara kita merdeka pada tahun 1945 hingga tahun 1986, Republik Indonesia belum memiliki suatu lembaga Peradilan Administrasi Negara yang khusus menjalankan tupoksinya sendiri. Situasi ini tidaklah menjadi sebuah kendala terkait penyelesaian perkaraperkara yang bersifat administrasi, yang mana terbukti pada masa belum terbentuknya. Peradilan. TUN. segala. bentuk. penyelesaian. perkara. administratif diambil alih oleh lembaga terkait, diantaranya ialah Majelis Pertimbangan Pajak, Peradilan Pegawai Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Majelis Pertimbangan Pajak juga berperan menyelesaikan sengketa pajak bersama dengan Pengadilan Negeri, penyelesaian sengketa pajak ini juga masuk kedalam kategori peradilan administrasi murni1. Pada masa penjajahan Jepang sejatinya pemerintahan yang sedang berkuasa tidak terlalu berfokus kepada kelengkapan instrumen hukum yang akan diberlakukan di negara Hindia Belanda, pada masa penjajagan itu diundangkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942, yang digunakan Rezim Jepang untuk menjalankan pemerintahan militer yang disebut Gunseibu2. Pasca diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. 1 Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, (JakartaBandung: Eresco, 1976), h. 121. 2 Sudikno Mertokusumo, Sedjarah Peradilan Dan Perundang-undanganja Di Indonesia Sedjak 1942: dan apakah kemanfaatannja bagi kita bangsa Indonesia. Disertasi Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta, 1971, h. 8.. 12.
(23) 13. 1945 diberlakukan pulalah Konstitusi bangsa yang pertama yakni Undangundang Dasar 1945, yang mana sebelum konstitusi ini berlaku, pada masa penjajahan Belanda terdapat sebuah konstitusi yang bernama Indische Staatsregeling, konstitusi ini mengatur keberadaan lembaga-lembaga negara di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yakni Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal), Vloksraad (Parlemen), Hoogerechtsshof (Mahkamah Agung), Algameene Rekenkamer (Pengawas Keuangan), dan Raad van Nedelandsch Indie (Dewan Pertimbangan Agung)3. Pemberlakuan Undang-undang Dasar Sementara pada 1950 yang dimulai sejak 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Sesuai dengan nomenklaturnya, Undang-undang Dasar Sementara tidak diperuntukkan dalam jangka panjang. Undang-undang Dasar Sementara hanya dibutuhkan sebagai landasan konstitusional untuk proses transisi dari bentuk negara serikat kembali menjadi negara kesatuan. Di dalam Undang-undang Dasar Sementara pun sudah ditetapkan hadirnya sebuah majelis Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan dengan tupoksi membuat Undang-undang Dasar yang baru4. Negara mulai mengenal istilah Peradilan TUN pada fase berlakunya Undang-undang Dasar Sementara 1950, termaktub pada Pasal 108 Undangundang Dasar Sementara 1950 yang menyatakan bahwa Pemutusan Sengketa terkait TUN diberikan kepada pengadilan yang mengadili perkara perdata. Pasca pembentukan Undang-undang Dasar Sementara lahir ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mana pada Pasal 10 ayat (1) mulai memunculkan nomenklatur Peradilan Usaha Tata Negara , Pasal ini menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan : a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; 3. Jimly Asshiddiqie , Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 5 – 6. 4 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), h. 28..
(24) 14. c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Pembentukan Peradilan TUN hadir dalam beberapa rangkaian, mulai dari Rancangan Undang Undang Peradilan TUN I hingga yang kelima. Rangkaian proses ini membentuk Rancangan Undang-Undang Peratun melalui tahapan yang cenderung lama, sampai disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN5, pada 29 Desember 1986. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Hal ini dilakukan untuk menjadikan lembaga PTUN yang profesional guna menjalankan fungsinya sebagai kontrol yuridis, selaras dengan esensi dari kebutuhan akan suatu lembaga peradilan administrasi sebagai supervisi secara yuridis kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat 6. Pada era reformasi, terdapat dua perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, yaitu berdasarkan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua. Atas Undang-Undang Peradilan Tata Usaha. Negara. Perubahan ini tidak mengubah apapun terkait dengan substansi kewenangan Peradilan TUN, perubahan yang dihadirkan hanya pada perubahan sistem manajemen pada pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Fungsi PTUN Melalui Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara7, Pengadilan TUN diberikan wewenang (kompetensi absolut) dalam hal mengkontrol tindakan pemerintah seperti menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan sengketa tata usaha negara. PTUN bertugas dan berwenang memeriksa, 5. Paulus Efendi Lotulung, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). (Jakarta: Salemba Humanika, 2013). h. 19-30. 6 W. Riawan Tjandra. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005). h. 2. 7 Victor Yaved Neno. Implikasi Pembatasan Wewenang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Cet. 1. (Bandung: Penerbit PT Citra Widya Bakti, 2006), h. 1..
(25) 15. memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa dimaksud adalah sengketa antara warga negara atau masyarakat dengan pejabat pemerintah sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian. Inti dari fungsi PTUN adalah lembaga yang disediakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga dalam bidang hukum publik. Prinsip khusus PTUN yang pertama yakni : Prinsip pembuktian bebas (Vrij Bewijs) hakim dengan bebas membebankan pembuktian kepada para pihak yang dianggap kompeten untuk menghadirkan bukti yang dibutuhkan; Kedua : prinsip keaktifan hakim (actieve rechter); dan ketiga : prinsip erga omnes yang mana pada sengketa TUN pejabat pemerintahan dalam membuat suatu keputusan sudah mempertimbangkan semua kepentingan masyarakat (kepentingan umum) sehingga walaupun keputusan bersifat konkret, individual, dan final, untuk itu apabila keputusan ini dipermasalahkan di PTUN maka putusan PTUN nantinya bersifat erga omnes berlaku untuk semua orang. Dilain sisi, karena PTUN menjalankan fungsi yudisial murni maka terikat dengan prinsip-prinsip peradilan terutama prinsip pengujian rechmatigheid dan larangan menguji doelmatigheid. Kedua konteks ini menjadikan hakim PTUN tidak mengkonsentrasikan penilaiannya terhadap isi atau maksud dari keputusan tetapi yang menjadi fokus penilaian adalah bagaimana proses pengambilan keputusan, hal ini menjadi tantangan besar dari keadilan yang ingin dicapai oleh masyarakat. Di beberapa kasus justru pertentangan ini memunculkan pandangan bahwa pengadilan tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang substansial karena tidak meninjau segi kemanfaatan, kemudian telah ditarik garis pemisah antara manfaat keputusan dan legalitasnya. Pendapat lain menyatakan jika PTUN terlihat monoton, terlebih lagi kasus yang menjadi keweangan absolutdari Peradilan TUN cenderung lenih sedikit dibandingkan dengan badan peradilan yang lain, hal ini menjadikan PTUN berada di tengah.
(26) 16. keterasingan publik8. 3. Kewenangan PTUN Pada hakikatnya kewenangan badan peradilan dalam mengadili sengeketa atau perkara dapat dibagi atas dua kompetensi, yakni kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Definisi kompetensi relatif adalah suatu kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara sesuai dengan yurisdiksi atau wilayah hukumnya, sedang kompetensi absolut merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara menurut objek atau pokok sengketa. Kompetensi absolut Peradilan TUN ialah untuk memeriksa, mengadili, serta memutus perkara atau sengketa yang hadir pada ranah TUN antara individu perorangan atau badan hukum dengan badan atau pejabat TUN atas diterbitkannya suatu keputusan TUN, termasuk sengketa antar pegawai berdasarkan atas hukum positif, kemudian bahwa kompetensi relatif pada ranah Peradilan TUN itu berkaitan dengan wewenang yang timbul atas jurisdiksi atau kewilayahan objek sengekta Pengadilan TUN. 4. Upaya Hukum Peradilan TUN a. Upaya Hukum Biasa Upaya hukum adalah suatu mekanisme yang diamanatkan oleh Hukum dalam hal ini Undang-Undang kepada suatu individu atau badan hukum untuk mengupayakan suatu perlawanan atas suatu putusan hukum yang mengikat dalam rangka mencari keadilan9. Menurut Darwan Prinst10, upaya hukum merupakan sebuah perlakuan oleh salah 1 pihak yang bersengketa untuk mengajukan suatu pembatalan atau putusan hukum yang mana pihaknya merasa tidak terpuaskan oleh putusan tersebut. Mengacu pada hukum acara PTUN, upaya hukum terbagi atas upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa ialah suatu 8. Irvan Mawardi, Paradigma Baru PTUN Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokratisasi, (Yogyakarta: Thafa Media, 2016), h. 44. 9 Fence M. Wantu, Mutia Ch Thalib, Suwitno Y. Imran, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Reviva Cendekia, 2010), h. 197. 10 Darwan, Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), h. 214..
(27) 17. tindakan hukum yang ditempuh untuk membatalkan putusan yang belum inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum ini melingkupi diantaranya: a. Perlawanan atau verzet; b. Banding; c. Kasasi Upaya hukum luar biasa dilaksanakan terhadap putusan yang telah inkrah atau sudah berkekuatan hukum, namun pada prinsipnya upaya hukum luar biasa tidaklah menunda atau mennagguhkan suatu eksekusi, istilah lain dari pada Upaya Hukum Luar Biasa adalah Peninjauan Kembali. (1)Perlawanan Perlawanan memiliki definisi melawan sesuatu hingga hasil akhir yang menentukan kalah atau menang dikeluarkan 11. Perlawanan atau Verzet adalah sebuah upaya hukum terhadap suatu penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam prosedur permusyawaratan. Perlawanan (Verzet) juga merupakan sebuah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo. 129 HIR, 149 ayat 3 jo. 153 RBg). Pada prinsipnya perlawanan ini dibuat untuk pihak tergugat yang biasanya dikalahkan12. (2)Banding Landasan hukum upaya hukum Banding ialah Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Pasal 26 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan putusan pengadilan pada tingkat pertama dapat diajukan banding terhadap Pengadilan Tinggi oleh pihak yang bersangkutan kecuali hukum lain yang berlaku menyatakan untuk kasus terkait tidak dapat ditempuh banding. Pada Pasal 122 Undang-Undang PTUN menyatakan dapat diajukan pemeriksaan banding oleh penggugat dan juga tergugat kepada Pengadilan. 11 Fence M. Wantu, Mutia Ch Thalib, Suwitno Y. Imran, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, ..., h. 198 12 Bendesa Made Cintia Buana, “Upaya Hukum Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap dalam Perkara Perdata” Jurnal Rechtens, Vol. 3,Nomor2, Desember 2014, h.2..
(28) 18. Tinggi TUN. Para pihak memiliki hak untuk menempuh jalur banding, sesuai dengan aturan yang berlaku bahwa Permohonan pemeriksaan banding dapat diajukan secara tertulis oleh pemohon atas kuasanya kepada PTUN yang mengeluarkan putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putus. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa13 bahkan dalam upaya banding sekalipun hakim tidak diperbolehkan untuk mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut (ultra petita). Hal ini berimplikasi pada Majelis Hakim Banding yang wajib untuk mempertahankan putusan pada tingkat pertama selama tidak ada batahan pada tingkat banding. Berikut ini adalah jenis-jenis Putusan yang tidak dapat diupayakan Banding: 1. Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara terkait permohonan secara cuma-cuma; 2. Penetapan Dismissal yang menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar dari Ketua Pengadilan TUN, upaya hukum dengan cara perlawanan; 3. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Perlawanan yang diajukan oleh penggugat atas suatu penetapan dismissal; 4. Putusan pengadilan terkait gugatan perlawanan pihak ke-3 sebelum pelaksanaan putusan yang sudah inkrah. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat satu yang mana sudah tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding lagi. (3)Kasasi Kasasi merupakan upaya untuk membatalkan putusan atas suatu penetapan pengadilan dalam hal ini semua lingkungan peradilan dalam tahapan proses peradilan terakhir. Putusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung adalah putusan terakhir yang bersifat mengikat kepada pihak-pihak 13. Sudikno Mertokusumo, Penemuam Hukum Sebuah Pengantar, Edisi Pertama Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 6..
(29) 19. yang bersengketa, yang mana berarti putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van Gewijsde). Dalam bahasa Latin, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap disebut dengan “Res judicata pro veritate accipitur” yang bermakna isi daripada keputusan berlaku sebagai hal yang benar14. Pasal 23 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh Pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-Undang menentukan lain, sedangkan dibidang TUN, pengaturan tentang Kasasi berada pada Pasal 131 Undang-Undang PTUN. Pemeriksaan Kasasi untuk perkara yang diputuskan oleh pengadilan pada lingkungan PTUN dan juga Peradilan Agama. Diatur juga mengenair batasan Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi yakni 14 hari setelah putusan yang dimaksud disampaikan kepada pemohon. Terdapat tiga alasan bagi pihak untuk memenuhi syarat pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, yakni: (a) Jika terdapat kelalaian dalam proses hukum acara yang berlaku; (b) Terdapat kesalahan dalam pelaksanaan peraturan hukum yang berlaku; (c) Jika tidak terlaksana proses peradilan sesuai dengan apa yang ditentukan hukum yang berlaku dalam hal ini Undang-Undang. Permohonan Pengajuan Kasasi dapat ditempuh dengan alasan-alasan sebagai berikut : (a) Kasasi belum pernah diajukan sama sekali sebelumnya; (b) Dapat menempuh upaya hukum Kasasi jika telah melewati upaya hukum banding; (c) Tidak diperkenankan pihak ketiga untuk mengajukan Kasasi, hanya pihak yang berperkara saja yang berhak. b. Upaya Hukum Luar Biasa 14. Fence M. Wantu, Mutia Ch Thalib, Suwitno Y. Imran, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, ... , h. 200..
(30) 20. Mengacu pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang dimana terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, Para pihak terkait dapat mengajukan PK kepada Mahkamah Agung jika memenuhi persyaratan pengajuan PK. Pada Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah para pihak yang berperkara atau ahli warisnya yang secara spesifik dikuasakan untuk hal tersebut. Selama proses PK berjalan dan ternyata pemohon wafat, maka permohonan itu dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Tujuan utama permohonan PK adalah untuk melindungi dan mempertahankan hak dari pihak yang dikalahkan oleh suatu putusan hakim yang keliru yang mana tidak dapat diupayakan perubahan melaui upaya hukum biasa. Menurut Mahkamah, Tujuan dari Peninjauan Kembali ialah untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran materil14. Berikut ini alasan-alasan peninjauan kembali : (1) Jika putusan berdasarkan kepada suatu kebohongan salah satu pihak yang baru diketahui ketika sudah putus atau berdasarkan kepada fakta hukum yakni terdapat bukti palsu; (2) Jika setelah perkara putus, terdapat bukti, surat-surat, atau dokumen yang menentukan, yang dimana bukti ini tidak diajukan atau tidak ditemukan pada waktu pemeriksaan; (3) Jika Majelis mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi daripada apa yang menjadi tuntutan (Ultra Petitum); (4) Jika terdapat putusan yang saling bertentangan terhadap satu objek yang disengketakan ; (5) Jika tuntutan belum diputus tanpa mempertimbangkan penyebabnya; (6) Jika terdapat kekeliruan atau kekhilfan Hakim dalam memutus suatu perkara15. 14 Adi Harsanto, Jubair, dan Sulbadana, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Katalogis. Vol. 5 Nomor 3, Maret 2017, h.3. 15 Fence M. Wantu, Mutia Ch Thalib, Suwitno Y. Imran, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, ... , h. 203..
(31) 21. 5. Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali Tata Usaha Negara Peninjauan Kembali lebih dari satu kali adalah mekanisme upaya hukum yang sudah sering terjadi di peradilan non Tata Usaha Negara, seperti Pidana dan Perdata. Upaya Hukum luar biasa adalah sebuah keniscayaan dari proses mencari keadilan sehingga ketika diatur batasan maksimal pada upaya PK maka dapat dikatakan sama saja dengan menutup akses untuk mendapatkan keadilan. Putusan yang menjadi bahan analisa pada skripsi ini menjadi menarik dikarenakan putusan ini merupakan suatu putusan PK lebih dari satu kali Perkara Tata Usaha Negara. Terhitung sampai waktu pembuatan skripsi ini, hanya terdapat dua perkara PK TUN lebih dari satu kali yang terunggah pada Direktori Putusan Mahkamah Agung RI. Putusan PK TUN lebih dari satu kali terbaru dalam pertimbangan hukumnya ditolak pembuktiannya karena Majelis Hakim PK Ke-2 mengacu kepada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali maksimal hanya satu kali. Hal ini bertentangan dengan kaidah hukum yang telah diterapkan oleh Hakim Agung sebelumnya yang pada Putusan PK TUN lebih dari satu kali yang pertama menerima pembuktian Pemohon pada PK Ke-2 karena dapat menghadirkan Novum dan juga membuktikan bahwa terdapat dua putusan peradilan yang berbeda pada objek sengketa yang sama. Sejatinya syarat utama pengajuan PK ini juga dimiliki oleh Pemohon PK Ke-2 pada Putusan nomor 91/PK/TUN/2017, namun dengan mudahnya hakim menolak karena Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman membatasi pengajuan PK hanya sekali. Hal ini akan lebih mendalam dibahas pada pertimbangan hukum putusan PK Pertama dan Kedua di Bab IV skripsi ini.. B. Kerangka Teori 1. Teori Kepastian Hukum Kepastian merupakan suatu perihal keadaan yang berbentuk ketentuan.
(32) 22. atau ketetapan yang pasti, pada hakikatnya hukum sudahlah mesti mengandung dua unsur yakni kepastian dan juga keadilan. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma merupakan suatu aspek yang menitikberatkan pada suatu kondisi yang ideal atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma adalah produk manusia berupa peraturan yang dibuat menggunakam pertimbangan secara mendalam. Peraturan ini mengandung aturan. yang. berkedudukan. sebagai. pedoman. dalam. kehidupan. bermasyarakat, aturan yang mengatur kehidupan antar individu serta antar masyarakat. Kehadiran norma dan pelaksanaanya ini secara langsung menghadirkan kepastian hukum16. Hukum atau norma hakikatnya ada guna melindungi kepentingan setiap manusia serta mendapatkan keadilan dan kepastian. Radbruch berpendapat bahwa keteraturan adalah sebuah keniscayaan dari hukum yang memiliki nilai-nilai dasar yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum17. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi 18 . Jelas berartikan tidak menghadirkan keadaan multi tafsir. Kepastian hukum merujuk terhadap suatu keberlakuan hukum yang tegas dan berkelanjutan dimana keberlakuan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat kepentingan sepihak. Kepastian dan keadilan tidak hanya berupa suatu tuntutan moral melainkan secara nyata menjadi nilai dari suatu hukum19. Utrecht berpendapat bahwa terpadat dua definisi dari kepastian hukum, yang pertama ialah aturan bersifat umum sehingga masyarakat mengetahui 16. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h.158. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 19. 18 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h.59. 19 Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Jala Permata Aksara), 2009, h. 385. 17.
(33) 23. tindakan apa yang diperbolehkan oleh negara maupun yang tidak diperbolehkan. Definisi yang kedua ialah kepastian hukum juga merupakan suatu jaminan atau keamanan berupa hukum yang dapat melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah, masyarakat dengan mengetahui aturan yang bersifat umum dapat mengetahui aturan mana yang dapat dibebankan oleh negara terhadap mereka dan mana yang tidak20. Doktrin kepastian hukum merupakan perkembangan dari doktrin Yuridis-Dogmatik yang berdasarkan kepada pemikiran positivistik yang mempunyai kecenderungan hukum dipahami sebagai sesuatu yang mandiri. Doktrin ini menganut paham bahwa tujuan hukum tidak lain dan tidak bukan ialah menjamin terciptanya kepastian hukum. Teori kepastian hukum yang mana memahami bahwa aturan hukum bersifat umum merupakan bukti bahwa hukum tidak bertujuan untuk menciptakan kegunaan atau keadilan21. Kepastian hukum ini adalah jaminan dari hukum yang berkeadilan. Doktrin ini menjadikan norma-norma yang memajukan keadilan harus berfungsi sebagai peraturan yang ditaati demi kepastian hukum. Gustav Radbruch berpendapat bahwa kepastian hukum dan keadilan adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari hukum. Kepastian hukum harus dilaksanakan guna menghadirkan ketertiban kehidupan bernegara berlandaskan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin didapatkan yakni nilai keadilan dan kebahagiaan22. 2. Teori Keadilan Hans Kelsen berpendapat dalam bukunya general theory of law and state23, beliau menyatakan bahwa hukum dapat dinyatakan adil jika hukum sudah bisa mengatur setiap individu dengan cara yang memuaskan sehingga. 20. Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999), h.23. 21 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), h. 82-83. 22 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), ... , h. 95. 23 Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasiul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 7..
(34) 24. dapat ditemukan kebahagian di dalamnya. Pandangan ini merupakan pandangan yang bersifat positivisme, dan terfokus kepada aturan hukum yang dapat mengakomodir pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan bagi para individu. Sebagai aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan24. Konsep keadilan ini yang kemudian diaplikasikan dalam hukum nasional. Konsep ini merupakan paham bahwa hukum negara yang berkeadilan dapat dijadikan payung hukum bagi segala peraturan lainnya sesuai tingkatan hierarkisnya dan juga hukum yangberkeadilan memiliki daya ikat terhadap substansi yang termuat dalam peraturan hukum tersebut.25. 3. Teori Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch, hukum hadir dengan tujuan untuk mencapai keadilan, kemanfaatan dan memberikan kepastian hukum. Salah satu tujuan dari hukum adalah memberikan manfaat bagi masyarakat, dan oleh karena itulah hukum harus dinamis dan sesuai dengan perkembangan pada masa ini agar tercapailah tujuan hukum yang dimaksud yaitu bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka penciptaan ketertiban dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.26 Pada ranah aplikatifnya, implementasi ketiga unsur yakni kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan masih menimbulkan polemik, sehingga 24. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasiul Muttaqien, ...,. h. 14. 25 Suhrawardi K. Lunis, "Etika Profesi Hukum", Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 50. 26 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: liberty, 1985), h. 80..
(35) 25. masih sangat rumit untuk diimplementasikan secara seimbang, misal terkait dengan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali.. C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat beberapa yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu; 1. Skripsi Skripsi yang ditulis oleh Padang Saputra. 27. . Pada skripsi tersebut. membahas tentang kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2014 sebagai respon dari Putusan MK Nomor 34/PUndang-UndangXI/2013. Skripsi ini membahas terhadap sisi yuridis dampak pasca terbitnya Putusan MK Nomor 34/PUndang-Undang-XI/2013 dengan lahirnya SEMA Nomor 7 tahun 2014 yang mengatur pembatasan pengajuan permohonana peninjauan kembali pada peradilan pidana. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi peneliti terletak padat tinjauan pada sisi peradilan tata usaha negara yang masih terdapat kekosongan hukum terhadap permasalahan peninjauan kembali. 2. Skripsi Skripsi ini ditulis oleh Zaskia Allika Devi Ariestyanto Putri 28. Skripsi ini membahas terkait kajian yuridis perkara pidana terhadap Asas Litis Finiri Oportet yakni asas yang menyatakan bahwa suatu perkara harus ada akhirnya. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang peneliti tulis terletak pada objek kajian yuridis dan lingkungan peradilannya. Skripsi yang peneliti tulis tidak terbatas hanya pada Asas Litis Finiri Oportet yang bertujuan untuk menghadirkan kepastian hukum, namun juga atas pertimbangan asas keadilan juga pada proses PK lebih dari 1 kali perkara TUN. 4. Skripsi 27. Padang Saputra, Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Peninjauan Kembali dalam Hierarki PerUndang-Undangan, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2016 28 Zaskia Allika Devi Ariestyanto Putri, Kajian Yuridis Upaya Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali Terhadap Asas Litis Finiri Oportet dalam Perkara Pidana, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018.
(36) 26. Skripsi ini ditulis oleh Nursyamsi Usman 29 . Skripsi ini membahas terkait pemberlakuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 terkait dengan proses Peninjauan Kembali. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang ditulis oleh Peneliti sendiri terletak pada cakupan bahasan, yang mana skripsi Peneliti tidak terbatas pada SEMA Nomor 7 Tahun 2014 melainkan juga langsung spesifik kepada Jurisprudensi Putusan. 5. Buku Buku ini ditulis oleh Agus Yudha Hernoko dkk. 30 , dengan bahasan terkait Karakteristik Novum sebagai Landasan PK atas PK dalam ranah hukum perdata. Perbedaan diantara buku dan skripsi peneliti terletak pada ranah lingkungan peradilannya, jika buku ini membahas terkait dengan mekanisme dan urgensitas Novum sebagai dasar acuan PK sengekta Perdata, skripsi Peneliti membahas pada ranah sengketa Tata Usaha Negara. 6. Artikel Jurnal Artikel jurnal ini ditulis oleh Meirina Fajarwati 31 . Artikel jurnal ini membahas tentang terdapatnya dualisme pengaturan yang menimbulkan ketidakpastian hukum yakni antara SEMA nomor 7 tahun 2014 dan putusan MK nomor 34/PUndang-Undang-XI/2013. Perbedaan Jurnal dengan Skripsi peneliti ialah pada tinjauannya yang mana Jurnal ini berfokus kepada dualisme instrumen hukum antara SEMA dan Putusan MK, sedang fokus dari Skripsi Penilit merupakan analisa yuridis serta Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Agung terkait dengan terjadinya fenomena PK lebih dari 1 kali pada perkara TUN.. 29. Nursyamsi Usman, Eksistensi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 dalam Proses Peninjauan Kembali, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2017 30 Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. dkk., Dasar Pengajuan Upaya Peninjauan Kembali Terhadap Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata, Karakteristik/ Kriteria Novum sebagai Landasan Dasar PK terhadap PK, (Sidoarjo: Zifatama Publishing, 2016), h. IV. 31 Meirina Fajarwati, “Validitas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Ditinjau dari Perspektif UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol. 14 Nomor 02, 2017, h. 1..
(37) 27. 7. Artikel Jurnal Artikel jurnal ini ditulis oleh Yoni A. Setyono 32 . Artikel jurnal ini membahas tentang Tinjauan Novum dalam Peninjauan Kembali Perkara PTUN. Perbedaan Jurnal ini dengan Skripsi peneliti adalah pada letak pembahasan Novum yang tidak berdiri sendiri sebagai syarat utama Peninjauan Kembali pada perkara TUN.. 32. Yoni A. Setyono, "Tinjauan Novum dalam Peninjauan Kembali Sengketa Tata Usaha Negara", Jurnal Hukum & Pembangunan 49 Nomor1 (2019), h.1..
(38) BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 99 PK TUN 2016 DAN 91 PK/TUN/2017 ANTARA YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA MELAWAN GUBERNUR JAWA TENGAH. A. Duduk Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 99/PK/TUN/2016 Putusan majelis Hakim Agung ini adalah putusan peninjauan kembali yang pertama dalam sengketa antara Warga Kabupaten Rembang bersama-sama dengan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia melawan Gubernur Jawa Tengah. Isi dari Putusan Peninjauan Kembali Pertama ini adalah memutus permohonan peninjauan kembali oleh parah pihak yang berperkara, dimana para pihak dari sisi Pemohon yakni ; Joko Prianto, Sukimin, Suyasir, Rutono, Sujono, Sulijan, dan YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA. Para pemohon I sampai dengan VI berdomisili masing-masing di Kecamatan Gunem dan Kecamatan Sale Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pemohon VII berdomisili di Mampang, Jakarta Selatan bernama YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP yang kemudian disingkat WALHI merupakan organisasi yang bergerak dibidang gerakan lingkungan hidup. Para Pemohon I sampai dengan Pemohon VI merupakan warga yang terdampak kerusakan lingkungan yang disebabkan malprosedur yang dilakukan PT SEMEN INDONESIA (PERSERO) Tbk dahulu bernama PT SEMEN GRESIK (PERSERO) Tbk yang beroperasi atas izin pemerintah daerah Jawa Tengah,. Para pemohon memberi kuasa kepada Muhnur, S.H. dan kawan-kawan para advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Peduli Lingkungan yang berdomisili hukum di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Jalan Jomblangsari IV Nomor 17 Semarang. Para pemohon Peninjauan Kembali I sampai dengan VI dahulu sebagai Pembanding/Para Penggugat, melawan Gubernur Jawa Tengah, tempat kedudukan di Jalan Pahlawan Nomor 9 Semarang, yang dalam hal ini diwakili oleh INDRAWASIH, S.H., M.H., Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah bersama jajarannya. 28.
(39) 29. berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 180/0009648, tertanggal 2 Juni 2016. PT SEMEN INDONESIA (PERSERO) Tbk, dahulu bernama PT SEMEN GRESIK (PERSERO) Tbk, tempat kedudukan di Jalan Gedung Utama Gresik, Jalan Veteran Gresik yang kemudian memberi kuasa kepada PIA A.R. AKBAR NASUTION, S.H., LL.M. dan kawan-kawan para advokat pada Kantor Hukum Adnan Buyung Nasution & Partners Law Firm, alamat di Plaza Alstom Lantai 3, Jalan T.B. Simatupang Kavling IS-1, Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor 4909/HK.08/261010/05.2016, tertanggal 17 Mei 2016. Termohon Peninjauan Kembali I, II dahulu Terbanding I, II/Tergugat, Tergugat II Intervensi. Surat-surat yang bersangkutan ternyata Para Pemohon Peninjauan Kembali I sampai dengan VI dahulu sebagai Pembanding/Para Penggugat telah mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 135/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 3 November 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan sekarang Termohon Peninjauan Kembali I, II dahulu Terbanding I, II/Tergugat, Tergugat II Intervensi dengan posita gugatan sebagai berikut: objek gugatan dalam perkara ini adalah Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Berikut adalah kedudukan dan kepentingan hukum para Penggugat; sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (1), berbunyi; “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi” Terdapat penggugat perorangan, yakni Penggugat I, Penggugat II,.
(40) 30. Penggugat III, Penggugat IV, Penggugat V, Penggugat VI, dan juga Penggugat VII sebagai Penggugat yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang berbentuk yayasan. Penggugat I sampai dengan Penggugat VI kepentingannya dirugikan oleh keputusan Tata Usaha a quo karena lokasi Penambangan berdasarkan keputusan a quo hanya berjarak 500 meter dari tempat bermukim Penggugat I sehingga tempat ini berpotensi mengalami kerugian yakni matinya sumber air yang selama ini digunakan untuk minum dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Penambangan semen juga berpotensi menimbulkan debu yang akan mengganggu saluran pernafasan dan iritasi mata. Perlu diketahui bahwa pertanian di Desa Suntri mengandalkan air dari sumber mata air yang berada di CAT Watuputih, dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo berpotensi menghilangkan sumber mata air tersebut. Desa Timbrangan dan Tengger, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang pun mengandalkan air dari sumber mata air yang berada di CAT Watuputih. Penggugat V yang bermukim di Desa Bitingan bahkan sudah menerima dampak dari aktivitas penambangan yang sudah ada yaitu berkurangnya sumber mata air dan sering terjadi bencana alam seperti tanah longsor, dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo malah akan memperburuk kondisi yang sudah ada. Penggugat VI yang bekerja sebagai Petani yang lahan pertaniannya berada di Desa Dowan pun mengandalkan air dari sumber mata air di CAT Watuputih. Penggugat VII yang mana merupakan sebuah LSM yang bergerak dibidang perlindungan lingkungan berhak menjadi Penggugat sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, pasal 1 angka (27) berbunyi: “Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup”; Lebih lanjut, dalam Pasal 92 ayat (1), berbunyi: “Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan.
(41) 31. lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”; Lebih lanjut, dalam Pasal 92 ayat (3), berbunyi: “Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: 1. Berbentuk badan hukum; 2. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan 3. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun”; Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, WALHI adalah organisasi yang didirikan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan hidup. Untuk tujuan tersebut, di kawasan Pegunungan Kendeng, WALHI telah secara nyata melakukan kegiatan-kegiatan untuk melestarikan kawasan karst Pegunungan Kendeng, seperti melakukan penelitian terhadap karst dan sumber air di kawasan Pegunungan Kendeng, pendidikan lingkungan kepada masyarakat, dan kampanye lingkungan. WALHI juga secara nyata telah terlibat dalam advokasi lingkungan di Pegunungan Kendeng yang dibuktikan dengan menggugat Surat Izin Eksplorasi untuk PT Semen Gresik pada tahun 2009 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang. WALHI mendapati fakta-fakta bahwa pemberian izin lingkungan dari Gubernur Jawa Tengah kepada PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang sebagaimana Surat Keputusan a quo telah melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku dan mengabaikan perlindungan terhadap pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka terbitnya Izin Lingkungan untuk PT Semen Indonesia telah merugikan kepentingan WALHI. Pada tahun 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012; Izin tersebut pada pokoknya adalah memberikan.
(42) 32. izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk untuk melakukan kegiatan: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan produksi dan kelima, membangun jalan tambang. Kelima kegiatan tersebut berada di Pegunungan Kendeng Utara, khususnya CAT Watu putih sehingga berpotensi dapat menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Setelah mendapat penolakan di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, sekitar tiga tahun lalu, PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, berencana melakukan penambangannya di Kawasan Gunung Watuputih Kabupaten Rembang dengan nilai proyek Rp3,7 Triliun; Pada tanggal 14 Oktober 2010 PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, telah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Rembang Nomor 545/68/2010 tentang Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Eksplorasi Tras Kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk -sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Pada tanggal 18 Januari 2011, Bupati Rembang menerbitkan Keputusan Nomor 545/4/2011 tentang Izin Usaha Penambangan (IUP) Eksplorasi Atas Nama PT Semen Gresik (Persero) Tbk., sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.. Pada tanggal 18 Nopember 2011 Bupati Rembang menerbitkan Keputusan Nomor 591/040/Tahun 2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk Pembangunan Pabrik Semen, Lahan Tambang Bahan Baku dan Sarana pendukung lainnya. PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, telah melakukan penyusunan Amdal dan dinyatakan layak pada tanggal 30 April 2012 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/10 Tahun 2012 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Penambangan dan Pembangunan Pabrik.
(43) 33. Semen oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, Di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012. Setelah adanya Keputusan dari Gubernur Jawa Tengah mengenai Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen PT Semen Gresik (Persero) Tbk, pada tanggal 7 Juni 2012 Gubernur Jawa Tengah kembali mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012. Pada tanggal 15 Februari 2013 PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, telah memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Rembang Nomor 545/0230/2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Batuan Tanah Liat Kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk. bahwa dalam rencana pembangunannya, masyarakat merasa pihak PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang akan terkena dampak. Objek gugatan a quo adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, Di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012. Pokok isinya adalah memberikan izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, untuk melakukan kegiatan: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan produksi, dan kelima, membangun jalan tambang. Seorang warga Kabupaten Rembang bernama Baskoro Budhi Darmawan telah mengajukan permohonan informasi ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 5 Juni 2014. Informasi yang diperoleh pada tanggal 18 Juni 2014 yang kemudian memberitahukannya kepada para penggugat termasuk Penggugat VII selaku pendamping masyarakat..
(44) 34. Penggugat I sampai dengan Penggugat VI telah melakukan upaya administrasi dalam bentuk menyampaikan surat keberatan terhadap Keputusan yang telah dikeluarkan Tergugat dengan menemui langsung Gubernur Jawa Tengah dan telah menerima surat tanda terima. Penggugat VII mengetahui adanya Surat Keputusan a quo pada tanggal 18 Juni 2014 dan telah melakukan upaya administrasi dalam bentuk mengirimkan surat keberatan terhadap keputusan yang telah dikeluarkan tergugat, yang mana sampai gugatan ini didaftarkan, tergugat tidak membatalkan Keputusan a quo. Sejatinya keputusan a quo telah sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka (8) dan angka (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut: Tergugat dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (8) Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor Republik Indonesia 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Surat Keputusan yang dikeluarkan Tergugat tersebut merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (9), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Syarat-syarat tersebut adalah: a. Konkret, karena Surat Keputusan tersebut nyata-nyata dibuat oleh Tergugat, tidak abstrak tetapi berwujud tertentu dan dapat ditentukan apa yang harus dilakukan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk -sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk; b. Individual, bahwa Surat Keputusan tersebut ditujukan dan berlaku khusus.
(45) 35. bagi PT Semen Gresik (Persero) Tbk -sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, untuk melakukan penambangan dan pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang; c. Final, karena Surat Keputusan tersebut sudah definitif dan menimbulkan suatu akibat hukum dimana berdasarkan Surat Keputusan tersebut sudah dapat melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang. Para Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat yang telah mengeluarkan Surat Keputusan yang mengakibatkan kepentingan Penggugat dirugikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (1) yang berbunyi: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan Ganti Rugi dan/atau direhabilitasi”. Alasan Gugatan para Penggugat dikarenakan Surat keputusan a quo yang dikeluarkan oleh tergugat merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat 2 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asasasas pemerintahan yang baik. Terkait dengan Pasal 53 ayat (2) huruf a, Surat Keputusan a quo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah sejatinya instrumen hukum ini menyatakan bahwa Konservasi Sumber Daya air dilaksanakan salah satunya di cekungan air tanah, dan Cekungan Watu putih yang merupakan objek sengketa TUN ini sudah.
(46) 36. ditetapkan sebagai cekungan air tanah. Instrumen hukum yang bertentangan dengan keputusan a quo ialah Undang-Undangan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, pokok alasan gugatan menyatakan bahwa Bentang alam karst dan kawasan imbuhan air tanah adalah kawasan lindung geologi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup juga bertentangan dengan Keputusan a quo yang mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dan/atau informasi. Keputusan a quo ini tidak hanya bertentangan dengan instrumen hukum pada level Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, namun juga instrumen hukum pada level Peraturan Daerah. Terdapat dua Peraturan Daerah yang bertentangan denga surat Keputusan a quo, yang pertama ialah Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, sejatinya Cekungan Watuputih yang merupakan objek sengketa ini merupakan kawasan lindung imbuhan air yang seharusnya dilindungi namun surat keputusan a quo memberikan izin terhadap Tergugat untuk beroprasi. Peraturan Daerah yang kedua ialah Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Tahun 2011-2031 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, poin yang bertentangan dengan Peraturan ini ialah luas konsesi melebihi kawasan yang diperuntukkan untuk industri pertambangan besar. Terkait dengan Pasal 53 ayat 2 huruf b, Surat Keputusan a quo dinilai bertentangan dengan Asas Akuntabilitas, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Profesionalitas, Asas Proporsionalitas, dan Asas Tertib Penyelenggara Negara. B. Duduk Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 91 PK/TUN/2017.
Garis besar
Dokumen terkait
Semua usaha tersebut menurut Soeradji (1987), hanya mungkin dilaksanakan secara baik di perusahaan peternakan, sedangkan pada peternakan rakyat hal ini mungkin
Distribusi remaja yang memiliki tingkat penyesuaian sosial pada tingkat tinggi sebanyak 14 subyek (13,33%) dimana hal ini mengindikasikan bahwa mereka adalah remaja
Peristiwa ini penting bagi lembaga pendidikan, karena merupakan titik awal yang menentukan kelancaran tugas suatu sekolah, kesalahan dalam penerimaan peserta didik baru dapat
SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN NEGERI PONTIANAK Nomor W17 U1/10/HK 00 8/1/2021 TENTANG STANDAR PELAYANAN PERADILAN PADA PENGADILAN NEGERI PONTIANAK KETUA PENGADILAN NEGERI
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak
[r]
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, kesimpulan dalam penelitian ini adalah peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika yang pembelajarannya
Unit ini kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk Operasi Pemindahan Beban. ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA