• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Pendidikan Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: Pendidikan Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

irwanharyonos@gmail.com IAIN Padang Sidimpuan

Abstrak

Tulisan ini bertujuan menempatkan pendidikan Islam tidak hanya dibatasi kepada wawasan mengenai akidah an sich¸ hanya ibadah atau fokus kepada akhlak. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang universal dengan bagian-bagiannya terdiri dari akidah, ibadah dan akhlak. Kecermatan memandang ini akan mengantarkan kepada keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Pada titik akhirnya, ketimpangan dalam lingkup pendidikan Islam dapat teratasi. Dilakukan dengan pendekatan konseptual dari para pemikir pendidikan Islam, tulisan ini diorganisir atas penjelasan mengenai kata-kata kunci dalam pendidikan Islam, keterangan mengenai pendidikan akidah, ibadah dan akhlak, untuk kemudian melihat bagaimana sumbangsih dari tiga konsep pendidikan itu terhadap ketinggian derajat manusia. Hal ini dilakukan demi menambah wawasan pendidikan Islam yang tidak dikotomi melainkan universal dan menyeluruh.

Kata kunci: Pendidikan Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak. A. Pendahuluan

eski menjadi keluaran dari The First World Conference on Muslim

Education1 yang dilaksanakan di Jeddah oleh Universitas King Abdul Aziz

Mekkah, 31 Maret –08 April 1977 silam, kecermatan Ali Ashraf dan Sajjad Husain selaku editor yang memberi judul kumpulan kertas kerja konferensi tersebut dengan bunyi Krisis Pendidikan Islam harus diakui masih memiliki relevansi yang kuat

hingga saat ini.2 Bahwa ada pergeseran nilai, tujuan, penempatan yang terjadi dari

unsur-unsur bahasan Pendidikan Islam, sehingga konsepsinya menjadi rapuh digerogoti krisis. Guru, misalnya, sedikit sekali –untuk menyatakan tidak memiliki harapan melangkah lebih jauh karena pandangannya yang teralihkan pada beban dan tanggung jawab tertentu yang harus dilaksanakan demi memeroleh gaji yang diberikan Negara

atau organisasi swasta yang menyelenggarakan pendidikan.3 Orientasi pendidikan yang

berubah menjadi lapangan kerja, jenjang karir ataupun hal yang semisal menjadikan keluhan Al-Zarnuji yang muncul jauh lebih lama dari keluaran tersebut bahkan masih terasa baru, bahwa banyak dari pelajar yang sebenarnya telah bersungguh-sungguh

1 Mengenai konferensi tersebut, dapat dibaca dalam Rasyidin, “Pendidikan Islam dalam Perspektif World Conference on Muslim Education,” Jurnal al-’Ibrah 14, no. 2 (Desember 2018): 148–69.

2 Ali Ashraf dan Sajjad Husain, Krisis Pendidikan Islam, trans. oleh Rahmani Astuti (Bandung: Risalah, t.t.).

3 Ashraf dan Husain.h.153.

(2)

menuntut ilmu, tetapi tidak merasakan nikmatnya disebabkan karena meninggalkan atau

kurang memperhatikan etika (akhlak) dalam menuntut ilmu.4

Tulisan ini, bermaksud membahas ulang bagaimana wawasan pendidikan Islam semestinya terus dikembangkan. Kutipan dari Mahmud (1905-1993 M) patut menjadi pertimbangan, yaitu ketika ia melihat bahwa keterbelakangan dunia Arab (Islam-pen) atas dunia Barat adalah akibat pemikiran mereka sendiri yang masih didominasi oleh kerangka epistemologi dan intelektual masa lalu. Implikasi, pemikiran itu telah nyata gagal membangun wacana yang koheren, yang dapat mengatasi masalah dan

persoalan-persoalan yang diperdebatkan sejak seratus tahun yang lalu.5

Oleh karenanya, organisasi yang akan dihadirkan dalam tulisan ini adalah terkait wawasan pendidikan Islam yang meliputi pendidikan akidah, ibadah dan akhlak. Terlebih dahulu akan dicermati sekilas mengenai kata-kata kunci terkait hal tersebut untuk melihat bagaimana pengaruhnya pada pembentukan manusia yang, dalam bahasa

Al-Attas, good man (manusia yang baik).6

A. Sekilas Mengenai Pendidikan, Akidah, Ibadah, Akhlak, Din dan Islam

Pendidikan. Secara etimologis, kata yang senantiasa dirujuk para ahli adalah tarbiyah untuk kemudian dijelaskan bahwa ia berasal dari “raba-yarbu” yang berarti bertambah dan bertumbuh, “rabia-yarba” yaitu menjadi besar, dan “rabba-yarubbu” yang bermakna memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara. Dari akar tersebut, pendidikan dipahami sebagai segala sesuatu yang mengalami proses perubahan ke arah yang lebih baik. Pendidikan juga dapat dikatakan sebagai –terlepas dari bagaimanapun bentuknya, suatu konsep atau objek yang diamati atau objek itu

sendiri yang mengalami proses perbaikan dalam arti ke arah yang lebih baik.7

Dalimunthe menjelaskan, ditelusuri dalam Alquran, kata tarbiyah juga berasal dari asli

kata “ra-ba-ba”, yang disebutkan hingga 1241 kali. Hal ini dengan merujuk salah satu nama Allah yaitu “rabbun” yang merupakan penerjemahan dari Tuhan yang selalu

berperan dalam segala hajat manusia.8 Ia memberi ilustrasi bahwa ketika seorang

pasangan suami-istri mengharapkan Allah memberi rezeki anak kepada mereka, maka mereka pun berdoa kepada-Nya sebagai “rabbun” sebagaimana mereka meminta untuk diberkahi rezeki yang halal. Singkatnya, Rabbun selalu hadir dalam setiap kepentingan

manusia.9

4 Ibrahim Bin Ismail, Syarh Ta’lim al-Muta’allim (Indonesia: al-Haramain Jaya Indonesia, 2006).h.3. 5 Bambang Irawan, “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam,” TSAQAFAH 7, no. 2 (Oktober 2011): 287.

6 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, trans. oleh Khalif Muammar (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), 2011).h.177-187.

7 Irawan, “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam.”h.109.

8 Sehat Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Deepublish, 2016).h.3. 9 Dalimunthe.

(3)

Akidah. Istilah ini, dalam uraian Al-Attas, berarti penyerahan diri sejatinya hanya

kepada Allah swt semata yang juga bermakna aslama.10 Hamka menerjemahkannya lebih

sederhana, yaitu tauhid, yaitu keyakinan yang dipelihara baik-baik, diasah dan diasuh;

dijadikan tujuan hidup.11

Ibadah. Kerja khidmah totalitas kepada Allah swt (mengabdikan diri pada Allah

swt).12 Jika Allah swt dengan kuasanya berkenan memberikan hidayah pada hambanya,

maka sebagai makhluk yang mengikuti fitrah penghambaannya pada Allah swt, ia akan benar-benar mengerjakan amal-ibadahnya, segala amal shalehnya, sehingga seluruh shalatnya, hidupnya, matinya bahkan jiwa tunduknya yang saat ini memenuhi jasadnya, semuanya bermuara pada satu keyakinan tidak ada yang lain kecuali hanya karena Allah

swt.13

Akhlak. Untuk benar-benar memahami arti akhlak perlu dikembalikan arti katanya secara bahasa, yaitu bentuk plural dari “Al-khalqu” yang menerangkan tentang sifat yang melekat pada diri seseorang, dengannya penilain terhadap jiwa seseorang itu muncul, apakah ia di nilai baik, atau buruk, atau menjelaskan berbagai perangai dan

kelakuannya.14

Din. Diartikan sebagai agama. Ia berasal dari akar kata Arab dayana yang mengandung banyak makna dasar yang saling berkelindan, dengan rumusan; keadaan berhutang, keadaan takluk menyerahkan diri, upaya dan kuasa dalam menghukum atau dalam memberi hukuman, penilaian dan pertimbangan, bawaan kecenderungan yang

sedia pada diri insan, atau kebiasaaan yang menjadi adat. Kata da>na, misalnya, yang

terbentuk dari akar kata di<n mengandung makna: keadaan berhutang, termasuk makna-makna lain yang berkaitan dengan makna-makna hutang dan perhutangan. Adapun arti secara

keadaan, sebagai dain (orang yang berhutang), maka orang itu memasrahkan dirinya

untuk tunduk dan patuh terhadap kehendak hukum dan undang-undang mengenai perkara hutang dan perhutangan tersebut. Secara ringkas, istilah itu membawa makna yang merangkumi keimanan, kepercayaan, amalan, dan ajaran dan anutan yang sangat

diikuti oleh umat muslimin khususnya.15

Islam. Ia adalah pengakuan atau penyerahan. Ia menjadi nama dari satu agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw., yang diterimanya sebagai wahyu dari Allah swt. Intisari dari ajaran ini ialah memimpin manusia supaya percaya kepada satu tuhan,

10 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak” (Muktamar Islam Antarbangsa, London: Dewan Besar Royal Commonwealth Society, 1976).h.24.

11 Hamka, Pandangan Hidup Muslim (Jakarta: Gema Insani, 2016). 12 Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.21. 13 Al-Attas.h.23.

14 Dato’ Muhammad Muda, Muhammad Aunurrahim, dan Hani Yahya, “Al-Akhlaqiyyat al-Mihaniyah Fi Mu’assasat al-Tamwil al-Asghar al-Islamiyyah,” TSAQAFAH 7, no. 2 (30 November 2011): 392.

15

(4)

“Laa ilaaha illallah” diikuti oleh “Muhammadurrasulullah” (Tiada Tuhan selain Allah

dan Muhammad saw adalah utusan Allah.16

B. Pendidikan Akidah, Ibadah dan Akhlak

Akidah, dalam lingkup ilmu Kalam sebagaimana dinyatakan Zarkasyi dari pernyataan Al-Ghazali adalah mengakui bahwasannya Allah swt esa. Makna esa di sini kembali kepada dzatnya Allah swt dan meniadakan sekutu bagi-Nya. Allah swt yang menciptakan Alam semesta dan seluruh isinya. Ialah Maha kuasa lagi Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat Dan Maha Berbicara. Al-Ghazali menyebut ini sebagai sifat tujuh. Ketujuh sifat ini menurutnya bukanlah inti dari pada dzat Allah akan tetapi adalah sifat penambahan di luar dari pada dzatnya

sendiri.17

Orang yang baik, dengan demikian –atau dapat dibahasakan sebagai orang yang bijakasana, tidak lain adalah orang yang selalu mengembalikan sesuatunya kepada Allah. Tidak mengetahui kecuali atas izin Allah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh ciptaan di dunia ini adalah ciptaan Allah swt. Bahkan pengetahuan, rasa, perasaan itu juga muncul tidak lain dan

tidak bukan atas izin Allah swt.18

Terkait dengan lingkup pendidikan, kesadaran mengenai akidah ini yang

semestinya dikembangkan. Dalam paparan Al-Ghazali, tingkatannya ada empat;19 empat

tingkatan ini yang seharusnya menjadi perhatian dari penyelenggara pendidikan;

1. Mereka yang mengatakan “La> ila>ha Illallah” dengan lisannya, namun hatinya

tertutup untuk menerima kata yang dia ucapkan tersebut. Yang ini namanya “Tauhi>d al-Muna>fiq” (tauhid orang munafiq).

2. Mereka yang hatinya seirama dengan lisannya dalam mengakui keesaan Allah swt, yang demikian disebut “Tauhi>d al-Mu’zom al-Muslimi>n” (tauhid mayoritas muslim.)

3. Mereka yang bersaksi dengan lisannya, membenarkan apa yang dikatakannya dengan keyakinan batin yang mendapatkan cahaya kebenaran. Sebutannya “Tauhi>d al-Muqorrabi>n” (tauhid orang-orang yang sangat dekat dengan Allah), orang-orang yang setiap kali melihat apa-apa saja di bumi ini, yang dilihatnya adalah sumber kuasa Allah swt.

16

Hamka, Pandangan Hidup Muslim.h.241.

17 Amal Fathullah Zarkasyi, “Aqidah Al-Tauhid Baina al-Tasawwuf al-Sunni Wa al-Tasawwuf al-Falsafi,”

TSAQAFAH 6, no. 2 (30 November 2010): 392, https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v6i2.126.

18

Zarkasyi. 19

(5)

4. Mereka yang tidak melihat tuhan kecuali Allah swt yang maha esa (tunggal). Derajat ini adalah derajat paling tertinggi dari pengakuan mereka yang membenarkan keesan Allah swt, dan kaum sufi menamakan mereka adalah yang telah sampai ke derajat fana dalam bertauhid kepada Allah swt.

Perhatian terhadap ini tentu penting. Siapapun orangnya, jika ia mendekati Tuhan yang hak dengan cara penyerahan diri yang sempurna-ikhlas kepada kehendak-Nya, dengan mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarangnya adalah termasuk mengerjakan amal-ibadah pengabdian diri dan amalam “nawafil” yakni: ibadat tambahan yang hukumnya sunnah, dikerjakan mendapatkan pahala, jikapun tidak juga tidak apa-apa, namun dengan upaya tersebut, mudah-mudahan Allah berkenan dan ridha, atas semuanya, sehingga insan itu mencapai suatu peringkat “maqom” (baca: Kedudukan) yang mulia yang memungkinkan baginya dapat menerima anugerah amanah kewalian dari Allah swt. Al-Attas menjelaskan satu hadis Qudsi terkait itu, “Hambaku tiada hentinya mendekati Daku dengan amalan nawafil sehingga Kukasih akan dia; dan apabila Aku kasih akan dia maka Akulah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, dan Akulah penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan Akulah lidahnya yang dengannya dia berkata-kata, dan Akulah tangannya yang dengannya dia

berjabat.”20

Adapun buah dari ilmu terkait akidah di atas adalah amal. Dengan ilmu itu seseorang beramal. Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Ia berwujud namun tidak memberi banyak manfaat terhadap sesama. Manusia tidak boleh demikian. Ia mesti berpikir dan terus berusaha agar menghasilkan efek kebermanfaatan yang dapat diberikan dan dirasakan oleh orang banyak. Pendidikan ibadah adalah bentuk fisik yang bermula dari ilmu yang menjadi hasil dari olah pikir yang matang. Al-Ghazali mengatakan bahwa akal –yang menjadi sebutan bagi proses olah pikir yang matang

tersebut, lebih patut disebut sebagai sumber ilmu “cahaya” dari pada indra.21

Terkait itu, penjelasannya dapat ditelusuri dari ilustrasi Kartanegara. Guru besar Filsafat Islam tersebut menyatakan misalnya dengan indra seseorang dapat melihat bulan separuh saja pada satu saat. Namun tidak bisa membukitkan adanya paruh lain dari bulan yang tidak terlihat. Dalam hal ini, hanya akal yang dapat menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola atau sferik. Demikian juga, akal yang berperan aktif dalam mengukur dan menaksir serta menunjukkan dengan logika atau model matermatika, berapa

20

Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.70. 21

Abu Hamid Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya (Misykat al-Anwar, trans. oleh Mohamad Bagir (Bandung: Mizan, 1985).h.6.

(6)

besarnya ukuran sebuah planet, bintang, matahari, atau keliling bumi, seperti yang

pernah dilakukan oleh Al-Biruni, ilmuan muslim pada abad ke-11.22

Selain itu, dalam penjelasan Hamka, akal dalam lingkup pendidikan ibadah sangat erat hubungannya dengan jiwa. Hal itu karena jiwa memiliki kontak batin langsung kepada Allah swt. Maka dari itu, janganlah sekali-kali putus hubungan kita dengan Allah, karena Allahpun tidak pernah putus hubungan-Nya dalam menjaga dan mengatur

alam ini.23 Al-Attas menambahkan bahwa puncak dari Pendidikan ibadah yang selalu

dilandasi dengan keyakinan diri yang kuat terhadap Allah adalah mengerjakan segala bentuk pekerjaannya dengan menuruti kata hatinya. Maka secara sendirinya batin akan merasa bahagia dan sejahtera sebab ia telah memasuki bagian yang kekal dari suatu hal

yang ada pada dirinya, sebuah alat hidup ruhani yang disebut dengan “al-qalbu”(hati).24

Adapun pendidikan akhlak, sebagaimana dijelaskan Al-Zarnuji dalam kutipan Subahri, adalah menanamkan akhlak mulia serta menjauhkan dari akhlak yang tercela dan mengetahui gerak gerik hati yang dibutuhkan dalam setiap keadaan, ini wajib diketahui seperti tawakkal, al-inabah, taqwa, ridha, dan lain-lain. Dalam perspektif Islam, akhlak merupakan syariat Islam atau patokan serta alat untuk menentukan

baik-buruknya sifat dan tingkah laku seseorang.25

Ibnu Miskawaih, sebagai filosof paling populer mengenai akhlak, menyatakan “Khuluq” (karakter) adalah merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini ada dua jenis. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan

dipikirkan, namun kemudian, melalui praktik terus menerus, menjadi karakter.26

Rahman, ketika meneliti mengenai kitab pendidikan akhlak Zarnuji: Ta’li>m al-Muta’allim menuliskan tiga metode penting dalam pendidikan akhlak, yaitu nasehat,

mudzakarah dan lebih berorientasi kepada konsep wajib dalam belajar.27

22

R. Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003).

23 Hamka, Pandangan Hidup Muslim.h.101.

24 Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.51. 25

Subahri, “Aktualisasi Akhlak dalam Pendidikan,” Islamuna: Jurnal Studi ISlam 2, no. 2 (5 Desember 2015).h.167.

26

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, trans. oleh Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1994).h.56. 27

Alfianoor Rahman, “Pendidikan Akhlak Menurut Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li>m al-Muta’allim,” Al-Ta’dib 11, no. 1 (10 Juni 2016).h.138.

(7)

C. Pendidikan Islam dan Derajat Tinggi Manusia

Dari titik ini, terlihat bagaimana sejatinya pendidikan Islam membawa manusia kepada derajatnya yang tertinggi. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa titik akhir alam kemanusiaan adalah ketika dia menyentuh awal alam malaikat. Inilah tingkatan paling tinggi bagi manusia. Pada tingkatan ini seluruh maujud bersatu, dan awal mereka bersatu dengan akhir mereka dan sebaliknya. Inilah yang disebut lingkaran eksistensi, karena lingkaran ini didefinisikan sebagai satu garis yang geraknya bermula dari satu titik, lalu berakhir sekaligus pada titik itu lagi. Lingkaran eksistensi merupakan lingkaran yang memuat peratuan dari kebhinekaan yang merupakan dalil kuat tentang keesaan, kearifan, kekuarasaan dan kemuliaan Penciptanya Yang Mahamulia nama-Nya, Mahatinggi

kebaikan-Nya, dan Mahasuci sebutan-Nya.28

Pernyataan Al-Attas memperkuat keterangan tersebut di atas. Ia menyatakan bahwa apabila orang itu telah berjaya menaklukkan diri hayawaninya dengan amal-ibadahnya nisacaya taat patuh kepada kuasa dan kehendak diri azalinya, maka orang demikian itu disebut sebagai orang yang telah mencapai kebebasan, dengan arti bahwa dia telah menunaikan tujuan dia itu di jalan zahir maujud di dunia ini; dia telah mencapai

keamanan murni.29

D. Kesimpulan

Melalui keterangan di atas, terlihat bagaimana sebenarnya pendidikan Islam tidak

hanya dibatasi kepada wawasan mengenai akidah an sich¸ hanya ibadah atau fokus

kepada akhlak. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang universal dengan bagian-bagiannya terdiri dari akidah, ibadah dan akhlak. Kecermatan memandang ini akan mengantarkan kepada keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Pada titik akhirnya, ketimpangan dalam lingkup pendidikan Islam dapat teratasi.

E. Referensi

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Diterjemahkan oleh Khalif Muammar. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), 2011.

———. “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.” London: Dewan Besar Royal Commonwealth Society, 1976.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Misykat Cahaya-Cahaya (Misykat al-Anwar. Diterjemahkan

oleh Mohamad Bagir. Bandung: Mizan, 1985.

Ashraf, Ali, dan Sajjad Husain. Krisis Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Rahmani

Astuti. Bandung: Risalah, t.t.

28

Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak. 29

(8)

Bin Ismail, Ibrahim. Syarh Ta’lim al-Muta’allim. Indonesia: al-Haramain Jaya Indonesia, 2006.

Dalimunthe, Sehat Sultoni. Filsafat Pendidikan Akhlak. Yogyakarta: Deepublish, 2016. Hamka. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Gema Insani, 2016.

Irawan, Bambang. “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam.” TSAQAFAH 7, no. 2 (Oktober 2011): 287.

Kartanegara, R. Mulyadhi. Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.

Bandung: Mizan, 2003.

Miskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Diterjemahkan oleh Helmi Hidayat.

Bandung: Mizan, 1994.

Muda, Dato’ Muhammad, Muhammad Aunurrahim, dan Hani Yahya. “Al-Akhlaqiyyat al-Mihaniyah Fi Mu’assasat al-Tamwil al-Asghar al-Islamiyyah.” TSAQAFAH 7, no. 2 (30 November 2011): 392.

Rahman, Alfianoor. “Pendidikan Akhlak Menurut Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li>m al-Muta’allim.” Al-Ta’dib 11, no. 1 (10 Juni 2016).

Rasyidin. “Pendidikan Islam dalam Perspektif World Conference on Muslim Education.” Jurnal al-’Ibrah 14, no. 2 (Desember 2018): 148–69.

Subahri. “Aktualisasi Akhlak dalam Pendidikan.” Islamuna: Jurnal Studi ISlam 2, no. 2 (5 Desember 2015).

Zarkasyi, Amal Fathullah. “Aqidah Al-Tauhid Baina Tasawwuf Sunni Wa

al-Tasawwuf al-Falsafi.” TSAQAFAH 6, no. 2 (30 November 2010): 392.

Referensi

Dokumen terkait

• Ternyata, perkalian dengan algoritma Divide and Conquer seperti di atas belum memperbaiki kompleksitas waktu algoritmanya, sama seperti perkalian secara.

Pada bagian puncak bukit inilah kita dapat melihat panorama daerah Karangsambung secara leluasa sehingga ada istilah khusus yang sering digunakan oleh para

- Dipo Antarnusa, S.F, Apt. BOGOR Boehringer Ingelheim Indonesia, PT HK.07.IF/V/271/11 Sampurna Strategic Square North Tower Level 6 Jl. Jend Sudirman Kav. Lawang Gintung No.

Apabila terbukti terjadi penyimpangan dan / atau penyalahgunaan dalam program Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dan Pelayanan Kesehatan Bagi Pengguna Surat

transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat, maka semua penerimaan dan pengeluaran keuangan desa dalam

NISSAN TERANO KINGSROAD’01 / 02 Coklat Silver Orsinil AC / RT / VR Interior Lux jrg pakai spt baru Ex.. Iklan Baris

terhadap Prinsip Miranda Rule telah di jatuhi hukuman disiplin berupa penundaan mengikuti pendidikan dalam jangka waktu tertentu, penundaan kenaikan pangkat serta