• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Permasalahan a. Latar Belakang Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. Permasalahan a. Latar Belakang Permasalahan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Permasalahan

a. Latar Belakang Permasalahan

Saat ini Pendidikan Kristiani untuk anak semakin berkembang. Hal ini dapat dipastikan dengan hadirnya berbagai macam pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.

Pendidikan Kristiani yang menjadikan anak sebagai pusat atau subjek diwujudkan agar anak dapat menjadi manusia yang utuh, dan iman mereka dapat berkembang dan bertumbuh di tengah-tengah kehidupan yang dinamis. Perkembangan ini tentu memberikan hal yang positif dalam dinamika Pendidikan Kristiani, serta membawa suasana baik dalam setiap prosesnya. 1

Tapi dari perkembangan tersebut ada beberapa hal yang masih perlu menjadi perhatian.

Diantaranya adalah Pendekatan Kristiani yang dihadirkan bagi anak-anak tersebut lebih banyak menyentuh pada anak-anak yang normal. Sementara tidak semua anak dapat dikategorikan atau mendapatkan kebutuhan yang sama. Karena dalam realitanya ada anak- anak yang justru memiliki kebutuhan yang khusus, yang lebih dikenal dengan istilah

“eksepsional” (anak yang memiliki kekurangan/perkembangan khusus). Salah satunya adalah “anak autis”.2

1 Walaupun saat ini perkembangan Pendidikan Kristiani tersebut tidak seluruhnya hadir secara optimal dalam lingkungan anak, dengan melihat masih banyak pihak-pihak yang tidak begitu mempedulikan atau memberikan perhatian penuh terhadap kebutuhan anak secara khusus dalam Pendidikan Kristiani.

2Penyandang autis diseluruh dunia semakin bertambah banyak. Pada tahun 1987 prevalensinya baru satu per 5000 kelahiran, sepuluh tahun kemudian menjadi satu dibanding 500 kelahiran. Hingga tahun 2000 estimasi pralevansinya sudah satu per 250 kelahiran. Bahkan di Amerika Serikat, menurut laporan Center of Disease Control, perbandingan itu kini sudah mencapai satu per 150 kelahiran. Diperkirakan angka yang sama terjadi di negara lain termasuk di Indonesia.(Brosur Forum Pemerhati Autisme Yogyakarta, Lambang Kasih Sayang Penyandang Autis) Berdasarkan hal itu saat ini mulai dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat mengenai autisme dan deteksinya sejak dini. Walaupun sejak dulu telah diusahakan untuk memberikan pendidikan yang layak dan memadai serta sesuai dengan kebutuhan penyandang autis. Tetapi tetap diperlukan perkembangan baru yang dapat memberikan konstribusi bagi kemajuan penanganan anak autis.

(2)

Autis secara etimologi diambil dari kata dasar autos dalam bahasa yunani yang berarti

“sendiri, yang sama”. Gejala atau perilaku yang biasanya ditunjukkan oleh anak autis seperti melakukan gerakan yang sama dan berulang-ulang, serta cenderung sendirian.

Karena itu mereka biasa dikenal dengan pengertian anak yang tenggelam atau hidup dalam dunianya sendiri.3 Dalam ilmu medis, dapat didefinisikan bahwa autisme4 merupakan

“suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman/gangguan pervasif bukan suatu bentuk penyakit mental”.5 Sehingga ada kalanya mereka dapat merespon, tetapi dengan hal-hal yang aneh atau berbeda dengan lingkungan sosial mereka. Misalnya mereka sangat jarang bermain dalam kelompok, suka melakukan gerakan motorik yang berulang-ulang, seperti lari berputar-putar atau mengepak-ngepakkan tangan/jarinya (hand flapping).

Pada dasarnya anak autis memiliki potensi-potensi yang dapat dikembangkan, misalnya sebagian anak autis juga memiliki IQ yang sama dengan anak normal, bahkan ada yang memiliki IQ tinggi. Ada juga anak autis yang memiliki daya konsentrasi yang tinggi terhadap suatu hal yang menarik minat dan perhatiannya, dan ini merupakan bagian-bagian istimewa dari anak autis. Karena itu di balik kekurangan yang mereka miliki sebenarnya masih tersimpan kemampuan khusus, yang mungkin bagi kita manusia normal sulit untuk dipahami. Saat ini banyak autis dewasa yang mampu menulis kisah hidup mereka sendiri serta berhasil dalam bidang khusus.

“Menjadi Autis tidak berarti menjadi bukan manusia. ini hanyalah berarti bahwa apa yang normal bagi orang lain tidak normal bagi saya, dan apa yang normal bagi saya tidak normal bagi orang lain. Tapi diri saya tetap utuh. Diri saya tidak rusak. Saya menemukan nilai dan makna dalam kehidupan, dan saya tidak punya keinginan untuk disembuhkan dari menjadi diri saya sendiri… Hargai saya apa adanya…Akui bahwa kita sama-sama mahluk asing bagi satu sama lainnya, bahwa cara menjadi diri saya bukanlah semata-mata versi yang rusak dari cara Anda menjadi diri Anda….Bekerjalah bersama saya untuk membangun jembatan diantara kita.” (Jim Sinclair 1992).6

3 Dedeh Kurniasih , ‘Hidup di Dunianya Sendiri’ dalam Menangani Anak Autis, Nakita:Panduan Tumbuh Kembang Balita, Jakarta, 2002, p. 4

4 Autisme (autism) adalah istilah yang dipakai dalam ilmu medis atau akademis untuk menunjukkan gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu

5 Theo Peeters, Autisme:Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang Autis, Dian Rakyat, Jakarta, 2004, p.14

6 scn 5, p. persembahan

‘kutipan diatas adalah ungkapan perasaan Jim sinclair yang dikutip oleh Theo Peeters. Jim Sinclair adalah seorang penyandang autis yang sejak kecilnya mungkin sadar akan keautisannya, dalam keterbatasannya dia punya cara tersendiri untuk mengungkapkan siapa dirinya, dan bagaimana ia memaknai sesuatu.

(3)

Dalam buku Theo Peeters tentang anak autis, ada sebuah contoh mengenai pemahaman dan konsep visual yang dimiliki oleh seorang penyandang autis. Contoh tersebut ternyata diambil dari konsep visualnya dalam doa Bapa Kami, dan ia memberikan sebuah gambaran yang mungkin dapat mengubah pemahaman kita, bahwa seorang anak autis juga punya konsep tertentu.

Semua pemikiran saya bersifat visual. Ketika saya berfikir tentang konsep-konsep abstrak seperti bergaul dengan orang lain saya menggunakan bayang-bayang visual seperti kaca pintu geser. Hubungan harus didekati dengan hati-hati sebab kalau tidak pintu geser itu akan pecah. Ketika masih anak-anak saya memiliki visualisasi untuk membantu saya memahami sesuatu. Doa Bapa Kami. Kata-kata “kuasa dan kemulian” merupakan menara listrik tegangan tinggi dan pelangi yang indah. Kata “pelanggaran”

divisualisasikan sebagai tanda “Dilarang masuk tanpa ijin” di pohon tetangga. Beberapa bagian dari doa itu tidak dapat dimengerti. Satu-satunya pikiran non visual yang saya miliki adalah tentang musik (Temple Grandin, seorang penyandang autisme dewasa)7

Beberapa sekolah Autis di Yogyakarta memiliki naradidik yang tumbuh dalam keluarga Kristen. Selain itu ada beberapa anggota Gereja yang memiliki jemaat yang mempunyai anak autis, seperti GPIB Marga Mulya pos Jogja Utara dan Pos Bumijo. Tapi mereka justru tidak mendapatkan Pendidikan Kristiani yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, karena tidak adanya gambaran dan bentuk serta sumberdaya yang berupaya menghadirkan Pendidikan Kristiani yang khusus untuk anak autis. Serta mungkin juga karena belum adanya penelitian dan metode khusus untuk itu, dan buku-buku atau materi Pendidikan Kristiani yang berkaitan dengan pendekatan khusus untuk anak autis tersebut belum ada.8

b Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas maka anak autis secara holistik mampu mendapatkan pengetahuan dan pendidikan Kristiani yang sesuai dengan kemampuan dan kelebihan mereka, sehingga anak autispun mampu bertumbuh dalam iman Kristen. Untuk mencapai hal tersebut, maka faktor utama dalam Pendidikan Kristiani bagi anak autis adalah penyesuaian dari komunitas yang ada disekitarnya, serta dukungan yang dapat mengembangkan keunikan dan kelebihan anak autis. Kedua hal tersebut dapat diperoleh

7scn 5, p. 90

8 Terutama bahan atau materi Pendidikan Kristiani berbahasa Indonesia yang memperhatikan kebutuhan dan pendekatan khusus untuk anak autis

(4)

anak autis dalam lingkungan keluarga, sekolah dan Gereja. Karena itu Pendidikan Kristiani yang ditujukan bagi anak autis tidak dapat lepas dari dukungan orang-orang yang ada disekitarnya.

Dalam Pendidikan Kristiani yang dipetakan oleh Seymour terdapat empat pendekatan, masing-masing pendekatan tersebut memiliki ciri dan fokus yang berbeda-beda.9 Oleh karena itu tidak semua pendekatan dapat digunakan dalam memberikan Pendidikan Kristiani bagi anak autis, sebab pendekatan tersebut tidak diarahkan pada anak autis. Tetapi ada beberapa prinsip yang dapat dipakai, seperti prinsip dan pemahaman yang ada dalam pendekatan komunitas iman. Pendekatan tersebut bertujuan membangun dan menumbuhkan komunitas iman, yang dapat menunjang pertumbuhan pribadi, dan komunitas itu sendiri, sehingga manusia dapat belajar tentang iman dan kehidupan, melaui interaksi dan hidup bersama dalam komunitas. Oleh Karena itu komunitas iman dapat menjadi pendukung utama dalam proses Pendidikan Kristiani bagi anak autis. Karena dengan demikian anak autis mampu mendapatkan penyesuaian dari komunitas iman.

Selain itu ada pendekatan perkembangan, yang mampu dan fokus terhadap perkembangan tiap pribadi (person), sehingga dapat membantu setiap orang termaksud anak autis, untuk memperkembangkan inner life yang ditunjukkan dengan tindakan keluar bagi sesama dan alam semesta. Sehingga dalam memberikan Pendidikan Kristiani bagi anak autis ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama perlu memperhatikan batasan-batasan prinsip yang disesuaikan dengan keunikan serta kelebihan anak autis. Kemudian hal kedua yang harus diperhatikan yaitu terdapat unsur positif dalam proses, konteks atau situasi yang mendukung dan membantu mereka untuk berkembang, sehingga dengan segala keunikan dan kelebihannya anak autis mampu menjadi bagian dalam kehidupan iman Kristen.

9 Jack L. Seymour, Mapping Christian Education, Approaches to Congregational Learning, Nashville, Abingdon Press, 1997, p.20-21

Seymour memaparkan pemetaan Pendidikan Kristiani dalam empat pendekatan yaitu: ‘pendekatan transformasi sosial, pendekatan komunitas iman, pendekatan perkembangan, dan pendekatan instruksional.’

(5)

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan komunitas iman dan pendekatan perkembangan dapat dipergunakan sebagai dasar dalam proses Pendidikan Kristiani bagi anak autis, agar Pendidikan Kristiani dapat memberikan pengalaman serta perkembangan bagi anak autis dan orang-orang disekitarnya dalam membentuk komunitas yang lebih baik. Oleh karena itu dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut sebagai landasan, maka penyusunan skripsi ini membahas tentang bagaimana bentuk Pendidikan Kristiani yang tepat bagi anak autis?

c. Batasan Masalah

Hal yang perlu diperhatikan dalam batasan masalah ini adalah penyusun tidak membahas masalah pendidikan anak autis secara keseluruhan, tetapi membatasi hanya pada pembahasan secara khusus tentang Pendidikan Kristiani yang tepat bagi anak autis, dalam lingkup sekolah dan gereja. Hal tersebut dapat dicapai dengan memakai pendekatan komunitas iman dan pendekatan perkembangan spiritual yang disesuaikan dengan keunikan dan kelebihan anak autis.

2. Alasan Pemilihan Judul a. Rumusan Judul

PENDIDIKAN KRISTIANI BAGI ANAK AUTIS

b. Alasan Pemilihan Judul

Penyusun memilih judul ini berdasarkan keprihatinan penyusun untuk menemukan Pendidikan Kristiani yang tepat bagi anak Autis, dalam lingkup sekolah dan gereja.

Dengan dasar teori dan pemahaman tentang autisme, serta prinsip pendekatan komunitas iman dan pendekatan perkembangan yang sesuai dengan kebutuhan dan keunikan anak autis.

(6)

3. Tujuan Penulisan

Berangkat dari permasalah dan alasan pemilihan judul di atas maka tujuan penyusun adalah menemukan Pendidikan Kristiani yang tepat bagi anak Autis, dalam lingkup sekolah dan gereja. Karena sekolah dapat menjadi komunitas pendukung yang utama bagi anak autis, dan sekolah dapat menjadi wadah bagi mereka untuk mendapatkan proses pengembangan kemampuan dan potensi. Selain itu dalam lingkup sekolah, terdiri dari beraneka macam latar belakang, sehingga anak autis dan orang-orang yang ada disekitarnya mendapatkan pengalaman dalam membentuk komunitas yang lebih baik. Demikian halnya dengan gereja sebagai komunitas yang didasari oleh nilai kekristenan, diharapkan mampu membuat anak autis dan keluarganya merasa diterima dengan baik, serta dapat berkembang ke arah yang lebih positif, dengan memperhatikan batasan-batasan prinsip yang disesuaikan dengan keunikan anak autis. Sehingga dengan segala keunikan dan kelebihannya anak autis mampu berkembang dan menjadi bagian dalam kehidupan iman Kristen.

4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif berarti skripsi ini merupakan uraian dari data-data yang telah

dikumpulkan. Analitis berarti menganalisa data-data dan melakukan penafsiran atas data- data tersebut. Penggalian data diperoleh melalui: pengamatan di sekolah autis (SLB Autisme Sari Asih, Sekolah Autis Fajar Nugraha, Sekolah Autis Lanjutan Fredofios), Sekolah Minggu GPIB Marga Mulyo (Pos Bumijo, dan Jogja Utara), mengikuti Lokakarya dan Seminar Autisme, serta studi literatur, untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran dan pemahaman teoritis tentang autisme, dan juga penjelasan mengenai Pendidikan Kristiani dengan pendekatan komunitas iman dan pendekatan perkembangan spiritual, sehingga data-data ini dapat membantu penyusun untuk menemukan dan memaparkan Pendidikan Kristiani yang tepat bagi anak autis.

(7)

5 Sistematika Penulisan

BAB I

Pada bagian awal ini penyusun memaparkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah dan batasannya, serta rumusan dan alasan pemilihan judul, dilanjutkan dengan tujuan pembahasan, metode dan sistematika penulisan atau pembahasannya.

BAB II

Pada bagian ini penyusun memaparkan gambaran dan pemahaman teoritis anak autis, untuk menemukan kebutuhan dan keunikan yang ada dalam perkembangan anak autis.

BAB III

Pada bagian ini penyusun memaparkan gaya belajar dan alternatif pendidikan bagi anak autis, agar dapat menentukan dan memaparkan Pendidikan Kristiani yang tepat bagi anak Autis, dengan memperhatikan batasan-batasan prinsip yang ada dalam pendekatan komunitas iman dan pendekatan perkembangan spiritual, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keunikan anak autis.

BAB IV

Pada akhirnya penyusun membuat kesimpulan dan saran berdasarkan apa yang sudah penyusun paparkan dalam bab I – III.

Referensi

Dokumen terkait

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar

SEGMEN BERITA REPORTER A Kreasi 1000 Jilbab Pecahkan Muri Rina & Deska. CAREER DAY AMIKOM Adib & Imam Wisuda smik amikom Adib

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

 Pengolahan makanan adalah suatu proses mengolah bahan makanan dari mentah menjadi bahan makanan siap saji yang dalam prosesnya dapat menggunakan penerapan

Pada proses injeksi molding untuk pembuatan hendel terjadi beberapa kekurangan, pada proses pembuatannya diantaranya terjadinya banyak kerutan dan lipatan pada

Sedangkan Abdul kadir Muhammad 16 merumuskan kembali definisi pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Peredata sebagai berikut, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu

Interpretasi politik kekuasaan KPK dan Polri dalam foto headline tiga surat kabar harian nasional pada penelitian ini yaitu Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia

Didapat jenis konsumsi serat yang paling banyak dikonsumsi dari 35 jenis sumber serat oleh anak usia sekolah yang berada di Kota Denpasar, yaitu sayur kangkung,