KEKERASAN VERBAL OLEH GURU DALAM PEMBELAJARAN DI SMA NEGERI KOTA KUPANG
OLEH
THEODORA TAKALAPETA 802010096
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
KEKERASAN VERBAL OLEH GURU DALAM PEMBELAJARAN DI SMA NEGERI KOTA KUPANG
Theodora Takalapeta Aloysius Soesilo Ratriana Y.E. Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
i Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kekerasan verbal yang dilakukan oleh guru sehingga memberikan dampak bagi siswa dan guru itu sendiri, serta alternatif lain yang disadari dan dapat digunakan untuk meminimalisir perilaku kekerasan verbal di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data focused group discussion (FGD) dan metode observasi participation charts. Partisipan penelitian ini adalah
lima orang guru SMA Negeri Kota Kupang dan memenuhi tiga kriteria inklusi. Hasil penelitian ialah bentuk-bentuk serta isi pesan yang terkandung dalam kekerasan verbal, selain itu kekerasan verbal juga digunakan sebagai koping dan wujud kejengkelan. Kekerasan verbal memberikan dampak negatif dan positif pada siswa maupun guru. Lebih daripada itu, partisipan juga menemukan alternatif lain dan sudah mempraktekkannya dalam pembelajaran untuk meminimalisir perilaku kekerasan verbal di sekolah.
ii Abstract
The purpose of this study was to describe the verbal abuse committed by teachers so as to give effect to the students and teachers themselves, as well as other alternatives are recognized and used to minimize verbal violent behavior at school. This study used a qualitative method to collect the data by using focused group discussion (FGD) and observation method participation charts. The study on verbal violance has been done to five teachers of SMA Kupang and met three criteria for inclusion. The results of the research showed the forms and content of the messages contained in verbal abuse, in addition to the verbal abuse is also used as a form of coping and aggravation. Verbal abuse contributed negative and positive impacts on students and teachers. Moreover, participants also found other alternatives by having been practicing in learning to minimize verbal violent behavior at school.
PENGANTAR
Sistem pembelajaran menjadi suatu hal penting dalam pendidikan. Lidgren (dalam Sutikno, 2013) menyebutkan bahwa fokus sistem pembelajaran mencakup tiga aspek. Yang pertama adalah siswa; siswa merupakan faktor yang paling penting sebab tanpa siswa, tidak akan ada proses pembelajaran. Kedua, proses belajar; proses belajar adalah apa saja yang dihayati siswa apabila mereka belajar, bukan apa yang harus dilakukan pendidik untuk membelajarkan materi pembelajaran. Ketiga, situasi belajar; situasi belajar adalah lingkungan tempat terjadinya proses belajar dan semua faktor yang mempengaruhi proses belajar seperti pendidik, kelas, dan interaksi di dalamnya. Menurut Sutikno (2013) tujuan-tujuan pembelajaran harus berpusat pada perubahan perilaku siswa yang diinginkan, dan karenanya harus dirumuskan secara operasional, dapat diukur, dan dapat diamati ketercapaiannya.
2
penerimaan, perhatian, dan dorongan dapat meningkatkan harga diri siswa dan evaluasi diri (Sava, 2001).
Beberapa tahun terakhir, kebutuhan guru meningkat. Mereka diharuskan untuk belajar lagi, lebih kreatif dan cekatan dalam mendidik siswa, hal ini mengakibatkan peningkatan stres sehingga guru sebagai orang tua atau penanggung jawab terkadang memberikan contoh reaksi emosional yang negatif pada siswa-siswanya (O’Hagan, 1995). Sependapat dengan itu, Nesbit & Philpott (2002) mengatakan bahwa guru yang mengalami tekanan yang sama dapat menciptakan pola perilaku yang cenderung mengarah pada kekerasan, seperti mudah tersinggung, mudah marah, frustasi dan bersuara keras serta berteriak. Di samping itu, karena beberapa guru kekurangan pengetahuan dan kepercayaan diri, bisa jadi tidak dilengkapi keterampilan untuk membuat pilihan manajemen kelas dan dapat mengintimidasi atau berteriak kepada siswa untuk mempertahankan fokus pada tugas pendidikan (Briggs & Hawkins, 1997).
Anak-anak Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sehingga segala tindakan yang merugikan anak, akan dihukum sesuai peraturan yang ada. WHO (2014) mendefinisikan kekerasan pada anak sebagai suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata ataupun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
perlakuan yang salah secara emosi (emotional abuse) yaitu ketika anak secara teratur diancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan, disalahkan atau salah penanganan secara emosional lainnya seperti; membuat anak menjadi lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya, atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror, menyalahkan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan tidak berharga. Siswa yang mendapatkan kekerasan verbal mengidentifikasikan perilaku guru seperti berteriak pada siswa bahkan sampai membuatnya menangis, membuat komentar-komentar yang menjatuhkan seperti menjuluki siswa bodoh atau tolol, mengijinkan beberapa siswa untuk menyakiti dan mengolok-olok siswa yang lain, dan menggunakan pekerjaan rumah sebagai hukuman (Hyman & Snook, dalam McEachern, Aluede & Kenny, 2008).
4
kekerasan adalah mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasikan dan menyamakan seperti binatang (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2013).
Tidak hanya siswa yang merasakan dampak kekerasan verbal, guru pun demikian. Hasil penelitian ini menemukan bahwa setelah melakukan kekerasan verbal guru merasa tidak nyaman, malu, merasa bersalah dan berdosa, merasa terbeban ketika mengingat pesan-pesan negatif yang disampaikan hingga berdampak pada kualitas tidur yang buruk. Hal tersebut menimbulkan rasa penyesalan dan keinginan untuk tidak melakukannya lagi. Selain itu, timbul perasaan khawatir dan takut apabila anak-anak mereka pun mengalami hal demikian. Kekerasan verbal dilakukan sebagai koping atau wujud kejengkelan ketika siswa menciptakan situasi yang tidak kondusif dalam lingkungan sekolah, berpakaian tidak rapi, ruangan kelas yang kotor, banyak tututan pada siswa sehingga tidak konsentrasi dan tidak mampu menyelesaikan tugas. Selain itu, apabila guru mengalami masalah pribadi, anak sakit dan banyaknya tuntutan pekerjaan selain mengajar juga merupakan alasan guru melakukan tindakan tersebut.
Berdasarkan fenomena diatas, tujuan penelitian ini yaitu untuk mendiskripsikan kekerasan verbal yang dilakukan oleh guru sehingga memberikan dampak bagi siswa dan guru itu sendiri, serta alternatif lain yang disadari dan dapat digunakan untuk meminimalisir perilaku kekerasan verbal di sekolah.
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian
bertujuan, yang berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan (Herdiansyah, 2010). Partisipan penelitian ini adalah lima orang guru dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1, 2, 3, 4 dan 5 Kota Kupang. Partisipan penelitian merupakan referensi dari wakil kepala sekolah kawur kesiswaan dan dipilih setelah peneliti melakukan wawancara untuk memastikan kembali kesesuaian kondisi partisipan dengan kriteria inklusi serta kesediaan terlibat dalam penelitian sebagai partisipan.
Metode Pengambilan Data
Data dalam penelitian diperoleh dengan menggunakan metode focused group discussion atau diskusi kelompok terarah (FGD). Tujuan dari dilakukannya FGD umumnya
adalah untuk berdiskusi dan berdialog bersama, bertatap muka dengan sesama partisipan penelitian guna menghasilkan suatu informasi langsung dari berbagai sudut pandang (Herdiansyah, 2010). Menurut Irwanto (2006), secara metodologis peneliti melakukan FGD karena adanya keyakinan bahwa masalah yang diteliti tidak dapat dipahami dengan metode survei atau wawancara individu karena pendapat kelompok penting, untuk memperoleh data kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relatif singkat dan sebagai metode yang dirasa cocok bagi permasalahan yang bersifat sangat lokal dan spesifik. Disamping itu peneliti menggunakan metode observasi participation charts. Salah satu tujuannya adalah untuk melihat seberapa banyak dan sering keterlibatan (partisipasi) atau keaktifan dari setiap subjek yang diobservasi pada waktu yang sama.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan dua kali FGD dan observasi participation charts. FGD pertama dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 8 maret 2014 dan kedua pada hari
6
individual (tambahan) via telepon seluler pada akhir bulan Mei hingga pertengahan bulan Juni untuk masing-masing partisipan.
Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik analisa data kualitatif. Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2010) menyatakan ada empat tahapan yaitu:
1. Pengumpulan data (dilakukan baik sebelum penelitian, pada saat penelitian, dan bahkan di akhir penelitian).
2. Reduksi data (data dari hasil wawancara dan observasi, diubah menjadi bentuk tulisan sesuai dengan formatnya masing-masing).
3. Display data (melalui tiga tahapan yaitu kategori tema, subkategori tema dan proses pengodean).
4. Kesimpulan (membuat kesimpulan dari temuan dan hasil penelitian dengan memberikan penjelasan simpulan dari jawaban pertanyaan penelitian yang diajukan).
Melengkapi itu, peneliti menggunakan dua metode pengujian keabsahan data yaitu trianggulasi data melalui focused group discussion dan metode observasi participation charts serta member check.
HASIL PENELITIAN
Bentuk-bentuk Kekerasan Verbal.
Kekerasan verbal yang sering diberikan serta isi pesan yang terkandung di dalamnya
bervariasi. Pada situasi tertentu P2 memilih untuk diam, sedangkan partisipan pertama sering
membanding-bandingkan kemampuan siswa. Dalam pembelajaran di sekolah juga, partisipan
lainnya (P3, P4 dan P5) sering memberikan ancaman. Salah satu contoh kalimat ancaman
seperti yang diungkapkan oleh partisipan ketiga:
Belum pernah makan batu? belum pernah makan tanah toh? saya kasi makan! tidak ada HAM yang melarang tidak boleh makan batu, tidak boleh makan tanah. Boleh makan, itu juga gizi.
Lebih daripada itu, P2 sering “menciptakan” aturan yang mengandung unsur-unsur kekerasan
fisik untuk dilakukan oleh sesama siswa, seperti memberikan pertanyaan dan siswa yang
mampu menjawab memberikan hukuman fisik kepada yang tidak mampu menjawab dengan
cara menampar atau mencubit. Dua orang partisipan (P2 dan P5) sering membuat
komentar-komentar yang menjatuhkan seperti menjuluki siswa bodoh, o’on atau tolol, dasar anak nakal,
bebal dan malas serta sindiran yang mengandung unsur-unsur kesukuan seperti suku Rote,
Timor, Alor, Ende dan Manggarai. P2 juga memberikan sindiran dengan cara memberi perhatian yang lebih kepada siswa yang nakal dan usil, P2 memperbolehkan siswa untuk tidak hadir, tidak mengerjakan tugas namun menjanjikan dan memberikan nilai yang baik. Sindiran lain yaitu memanggil siswa menggunakan nama orang tuanya dan kalimat-kalimat
lainnya yang membuat siswa ditertawakan serta diejek oleh teman-temannya yang lain.
Seperti kutipan pernyataan partisipan kelima:
Otak ditaruh di kaki atau pantat?.
Di samping itu, semua partisipan kecuali partisipan pertama sering mengejek siswa
berdasarkan bentuk fisik seperti warna kulit, rambut keriting serta kesenjangan sosial. Hal ini
8
Dasar dari kampung, tamat dari SMP mana? Pasti dari kampung makanya begitu.
Bentuk lain yang diungkapkan oleh P3 dan P4 yaitu makian menggunakan nama binatang
seperti anjing, babi, monyet, komodo dan bangsat. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan
partisipan ketiga:
Jadi kalau kekerasan verbal yang sering saya buat ya mungkin kebun binatang, kebun binatang ini sudah sering tetapi kebun binatang yang kermana dulu. Kalau binatang yang tidak ada di Kota Kupang saya tidak sebut pak. Paling komodo ju saya sering sebut.
Selain kekerasan verbal, peneliti juga menemukan perilaku kekerasan fisik yang sering terjadi
dalam pembelajaran di sekolah. P3, P4 dan P5 mengatakan bahwa apabila guru memberikan
kekerasan verbal namun tidak ada perubahan perilaku ke arah yang lebih baik maka guru
akan melakukan kekerasan fisik. Ketiga partisipan pun mengakui bahwa melakukan
kekerasan fisik. Partisipan ketiga pernah memukuli siswa, di sisi lain partisipan keempat
memberikan hukuman kepada siwa dengan cara berlutut atau siswa diinjak oleh P4 sendiri
maupun guru lainnya. Sedangkan P5 lebih sering mencubit siswa menggunakan kuku tangan
pada bagian lengan untuk siswa perempuan dan pada bagian dada untuk siswa laki-laki.
Kekerasan Verbal Sebagai Wujud Kejengkelan Dan Koping
Kekerasan verbal dilakukan bukan tanpa alasan. Kelima partisipan menggunakan
kekerasan verbal sebagai wujud kejengkelan dan koping ketika siswa tidak mengerjakan
tugas, tidak mematuhi perintah, terlambat, ribut, nakal, suhu ruangan kelas yang panas dan
jumlah siswa yang banyak. Namun jumlah siswa yang banyak tidak menjadi persoalan untuk
partisipan pertama karena ia lebih sering berinteraksi dengan siswa di lapangan. Selain itu, P4
melakukannya ketika siswa berpakaian tidak rapi, P5 ketika kelas kotor, serta konsentrasi
belajar siswa menurun karena banyaknya tuntutan yang diberikan kepada siswa seperti tugas
dianggap sebagai guru yang jahat karena sering melakukan kekerasan fisik maupun verbal
hingga berurusan dengan pihak kepolisisan, tutur partisipan kedua dan ketiga.
Lebih lanjut, partisipan pertama melakukan kedua hal tersebut ketika siswa tidak
mampu dalam berlatih di lapangan, sedangkan semua partisipan kecuali P1 dan P2
melakukannya ketika merasa stres dengan tuntutan pekerjaan, stres dalam persoalan pribadi
atau anak sakit. Seperti pernyataan salah satu partisipan (P5) berikut:
Iya, kadang-kadang seprofesional guru atau manusia pun ketika dia sedang ada dalam masalah itu...itu pasti akan terbawa dalam lingkungan pembelajaran. Sekalipun dia mampu untuk mengelolah keadaan seperti apapun pasti akan kelihatan. Yang awalnya begitu energik tapi ketika dia sedang ada dalam tekanan atau masalah pasti pada saat itu ada sesuatu yang berubah. Jadi ada salah kecil saja ya kan? pasti lu kena, salah sedikit pasti lu kena. Beta su pusing ni, su mau pica ni.
Wujud kejengkelan dan koping pun dilakukan oleh partisipan ketiga dan keempat
apabila dalam keadaan haus dan lapar, siswa berpacaran di dalam lingkungan sekolah atau
perilaku siswa yang mengganggu ketenangan kelas seperti ada siswa yang bercerita dengan
teman sebangkunya atau tiba-tiba tertawa ketika melihat atau memegang handphonenya.
Melengkapi itu, partisipan kedua dan keempat melakukannya ketika siswa tidak memberi
salam saat mereka masuk ke kelas.
Dampak Kekerasan Verbal Pada Siswa
Reaksi siswa ketika mendapat kekerasan verbal beragam. Semua partisipan kecuali P1
dan P2 melihat perubahan ekspresi pada wajah dan juga reaksi langsung dari siswa seperti
membanting kursi, meja atau buku setelah mendapat kekerasan tersebut karena merasa
kecewa dan sakit hati. Penelitian ini juga menemukan bahwa ada dua dampak kekerasan
verbal pada siswa yaitu dampak negatif dan positif. Dampak negatif yaitu siswa merasa malu
dan partisipan pertama melihat siswa tidak datang lagi untuk berlatih. Disamping itu, kelima
10
komentar-komentar negatif yang diberikan kepadanya seperti pernyataan partisipan kelima
berikut:
Ada orang yang ketika kita panggil dia ba’i ngao “we ba’i ngao, lu mari”. Dia akan
terima juga, kenapa dia terima? karena di rumah juga dia diperlakukan seperti
begitu, orangtuanya juga memanggilnya ba’i ngao. Ketika sampai sekolah mungkin
teman-temannya juga panggil “lu setan ba’i ngao” guru panggil dia “ba’i ngao”. Nah sadar atau tidak sadar, katong ini kan katong pung hidup ini kan digerakan oleh otak bawah sadar. Nah ketika katong sering kali dicap seperti itu maka katong akan memperlakukan katong punya diri seperti ba’i ngao.
Selain dampak negatif, semua partisipan kecuali partisipan ketiga melihat dampak
positif yaitu adanya perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik, sedangkan partisipan
kelima merasa hubungannya lebih dekat dengan siswa karena sering mencari siswa yang
tidak hadir atau menasehati siswa yang dianggap menjadi troublemaker. Namun partisipan
menyadari bahwa seringkali perubahan itu hanya terjadi untuk sementara waktu.
Dampak Kekerasan Verbal Pada Guru
Peneliti mengalami kesulitan untuk menemukan hasil penelitian sebelumnya
mengenai dampak kekerasan pada pelaku, dalam hal ini dampak kekerasan verbal pada guru
itu sendiri. Karena itu, pada bagian ini peneliti akan menjabarkan hasil penelitian tentang
dampak kekerasan verbal pada guru. Sebagai seorang guru, semua partisipan kecuali P3
merasa tidak nyaman. Partisipan pertama dan kedua juga merasa bersalah, berdosa dan
terbeban apabila mengingat kata-kata yang dilontarkan serta ekspresi siswa saat itu. Hal ini
sempat membuat P1 tidak dapat tidur dengan nyenyak. Lebih daripada itu, sebagai seorang
guru dan juga seorang ibu, partisipan kedua merasa khawatir serta takut apabila anaknya pun
mengalami kekerasan di sekolah seperti pernyataan partisipan kedua berikut:
Semua partisipan kecuali P1 mengatakan bahwa timbul rasa penyesalan setelah
melakukan kekerasan verbal sehingga mereka melakukan introspeksi diri dan ada keinginan
untuk melakukannya lagi. Namun bagi partisipan ketiga, ia baru merasa menyesal apabila
pada saat itu juga ia melihat perubahan pada ekspresi wajah siswa, sedangkan partisipan
kelima juga mengatakan bahwa ia tidak merasakan gangguan psikologis apabila kekerasan
tersebut dilakukan pada siswa yang selalu memancing kemarahannya atau troublemaker.
Melengkapi itu, partisipan kelima yang berasal dari suku Rote mengakui bahwa ia merasa
malu ketika memberikan sindiran yang mengandung unsur kesukuan “otak Rote” karena
makna dari pernyataan ini selalu bersifat negatif, seperti yang sudah dijelaskan dalam sub
tema bentuk-bentuk kekerasan verbal. Ketidaknyamanan secara psikologis dan penyesalan
membuat partisipan berusaha melakukan pendekatan secara personal yaitu meminta maaf atas
perbuatannya dan menasehati siswa. Namun diakui oleh semua partisipan, tidak semua situasi perlu dilakukan pendekatan, pendekatan seperti itu hanya dilakukan apabila mereka melihat reaksi atau dampak pada siswa.
Alternatif Lain
Salah satu tujuan dari penelitian ini yaitu membantu partisipan untuk menemukan
alternatif lain yang dapat digunakan untuk meminimalisir pelakuan kekerasan verbal dalam
pembelajaran di SMA Negeri Kota Kupang. Sebagai seorang manusia yang tidak luput dari
persoalan kehidupan dan mood yang buruk untuk mengajar, partisipan pertama memilih untuk tidak memberikan teori melainkan mengaplikasikannya dalam praktek-praktek seperti permainan-permainan yang berhubungan dengan teori tersebut, berencana untuk mengunjungi siswa di rumah atau memberikan hukuman berupa aktifitas fisik seperti lari, skot jumpt dan push up. Di sisi lain P1 dan P2 memilih untuk tetap tenang dan mengabaikan
12
terakhir partisipan kedua membentuk klub mata pelajaran dan pesertanya adalah siswa yang pandai, perwakilan dari setiap kelas. Dalam FGD kedua, P2 menyadari bahwa klub mata pelajaran ini dapat bersifat multifungsi yaitu menjadi salah satu alternatif. Ketika ada masalah di kelas atau siswa sulit memahami materi, siswa lainnya diajar oleh temannya yang merupakan perwakilan dari kelas tersebut. Tujuannya agar guru tidak melakukan kontak langsung dengan siswa, tidak merasakan emosi negatif dan meminimalisir perlakuan kekerasan verbal maupun non verbal. Melengkapi itu, partisipan kedua dan keempat memberikan pertanyaan, apabila siswa mampu menjawab maka pertanyaan yang sama akan diulangi lagi dengan harapan timbul kesadaran dalam diri siswa mengapa mereka melakukan hal demikian. Kedua partisipan ini pun mencoba untuk memberikan tugas mendadak yang harus dikerjakan di dalam kelompok atau di papan tulis serta memperbanyak kegiatan di kelas yang menuntut keaktifan siswa, sedangkan partisipan kelima lebih memilih untuk mengeluarkan siswa yang menjadi troublemaker dari kelas pada jam pelajarannya. Alternatif lain dapat dilihat dalam pernyataan partisipan ketiga berikut:
Coba kamu berdiri, senyum. Lalu saya ngomong baik-baik, kamu jangan ribut ya?
PEMBAHASAN
Pada umumnya kekerasan verbal dianggap sebagai budaya dan kebiasaan namun hasil
penelitian menemukan bahwa kelima partisipan menyadari hal tersebut dapat diubah. Mereka
juga mengakui bahwa kekerasan verbal tidak layak untuk dilakukan. Meskipun menyadari hal
tersebut, kelima partisipan mengakui bahwa melakukan kekerasan verbal secara terpaksa dan
pada situasi tertentu patisipan ketiga, keempat dan kelima melakukan kekerasan fisik dalam pembelajaran di sekolah sebagai pelampiasan kemarahan, wujud kejengkelan dan koping. Karakter siswa di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang temperamen dan berbeda-beda
mengharuskan kami untuk melakukan hal tersebut, tutur semua partisipan kecuali partisipan pertama. Meskipun demikian, semua partisipan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang luput dari kesalahan, sehingga pada situasi tertentu mereka melakukan hal
tersebut walaupun mereka juga sadar bahwa sesungguhnya siswa membutuhkan perhatian
dan kasih sayang seperti pernyataan partisipan kelima berikut:
Nah disaat dia tidak diberikan kasih, ketika sampai di sekolah pun guru-guru tidak ada perhatian sama dia, anak-anak pun tidak perhatian sama dia.
Bagi partisipan ketiga, ia melakukan kekerasan verbal sebagai bentuk kasih sayang dan
perhatian. Kekerasan verbal tidak direncanakan sebelumnya oleh semua partisipan namun
terjadi secara spontan sesuai situasi dan kondisi pada saat itu.
Kelima partisipan mengatakan bahwa kekerasan verbal adalah kekerasan dalam
bentuk kata-kata, seperti kata-kata yang menjatuhkan mental dan makian. Menurut partisipan
pertama, hal ini dipengaruhi oleh situasi, intonasi, mimik dan gerak tubuh. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh American Medical Association (dalam Siswanto, 2006)
bahwa kekerasan verbal atau (verbal abuse) yaitu ketika anak secara teratur diancam,
14
lainnya seperti; membuat anak menjadi lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari
kesalahannya, atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror, menyalahkan,
mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan tidak berharga.
Siswa yang mendapatkan kekerasan verbal mengidentifikasikan perilaku guru seperti
berteriak pada siswa bahkan sampai membuatnya menangis, membuat komentar-komentar
yang menjatuhkan seperti menjuluki siswa bodoh atau tolol, mengijinkan beberapa siswa
untuk menyakiti dan mengolok-olok siswa yang lain, dan menggunakan pekerjaan rumah
sebagai hukuman (Hyman & Snook, dalam McEachern, Aluede & Kenny, 2008). Dalam pembelajaran di sekolah, partisipan kedua dan kelima seringkali memberikan
komentar-komentar negatif kepada siswa seperti menjuluki siswa, malas, dasar anak nakal, bebal,
bodoh, o’ondan totol. Partisipan kedua juga “menciptakan” aturan yang mengandung unsur
-unsur kekerasan fisik untuk dilakukan oleh sesama siswa. Hal ini tentu mengubah pola pikir
dan perilaku siswa, kewajiban siswa untuk belajar agar memahami mata pelajaran tersebut
berubah menjadi belajar untuk saling membalas dendam. Siswa-siswi SMA di Kota Kupang
berasal dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda, sayangnya keberanekaragaman ini
yang seringkali memotivasi guru untuk melakukan kekerasan verbal maupun non verbal.
Partisipan (P2, P3 dan P5) mengejek siswa dengan cara memanggil siswa dengan sebutan
“we hitam” atau “rambut keriting yang direbonding”. Disamping itu, semua partisipan
kecuali partisipan pertama, kedua dan keempat juga sering memberikan sindiran yang
mengandung unsur-unsur kesukuan seperti suku Rote, Timor, Alor, Ende dan Manggarai.
Masyarakat di NTT saling memberikan label negatif antara satu suku dan suku lainnya.
Seseorang yang berasal dari Suku Rote dikenal sebagai penipu dan licik, suku Alor yakni
bertabiat buruk, menggunakan ilmu hitam serta berkulit hitam dan berambut keriting.
Bagi partisipan kedua, sindiran yang mengandung unsur kesukuan diberikan pada siswa yang
berasal dari semua suku yang ada di NTT kecuali Kupang, Rote dan Sabu karena bagi P2,
siswa yang berasal dari ketiga suku ini memiliki sikap, penampilan dan inteligensi yang lebih
baik dari suku lainnya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan partisipan kedua berikut:
Kalau biking “ehh Timor belakang tuh”. Nah keh gitu-gitu, atau Alor tuh. Jadi itu yang lebih dominan, nampak langsung.
Sindiran lain yaitu P2 memperbolehkan siswa untuk tidak hadir, tidak mengerjakan
tugas namun menjanjikan nilai yang baik, memanggil siswa menggunakan nama orang
tuanya dan kalimat-kalimat lainnya yang membuat siswa ditertawakan dan diejek oleh siswa
lainnya. Menurut partisipan pertama, apabila siswa belum ditertawakan dan diejek oleh siswa
lainnya maka ia akan terus melakukan kekerasan verbal dan baru merasa puas apabila
keinginannya terpenuhi. Begitu pula dengan yang dirasakan oleh partisipan kedua, ia merasa
puas setelah melakukan kekerasan verbal. P1 dan P2 juga mengakui bahwa kekerasan verbal
dijadikan sebagai metode untuk membantu siswa keluar dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan
mengubah perilaku siswa menjadi lebih baik. Melengkapi itu, kekerasan verbal digunakan
sebagai metode pendekatan dan sebagai bentuk kasih sayang, tutur partisipan ketiga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh KPAI (2013) menemukan bentuk-bentuk
kekerasan yaitu mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasikan dan
menyamakan seperti binatang. Demikian pula yang ditemukan oleh peneliti di SMA Negeri
Kota Kupang, partisipan ketiga dan keempat sering memanggil serta menyamakan siswa
dengan binatang seperti anjing, babi, monyet, komodo dan bangsat. Selain itu partisipan
keempat juga sering mendiskriminasikan atau mengecilkan siswa yang berasal dari kampung.
Tidak hanya itu, sikap diam yang dilakukan oleh partisipan kedua juga dapat di
16
Menurut partisipan kelima dan disetujui oleh partisipan ketiga dan keempat,
kekerasan verbal seringkali menjadi pintu masuk untuk guru melakukan kekerasan fisik dan
mereka pun melakukan kekerasan tersebut. Hal ini sependapat dengan pernyataan Dewi
(2010) bahwa penghinaan verbal yang berupa ejekan atau sumpah serapah seringkali
mengawali terjadinya kekerasan fisik. Bertumbuh dan berkembang di dalam lingkungan
kekerasan membuat partisipan ketiga dan kelima terbiasa dengan perilaku tersebut dan
cenderung ingin mendidik dengan menggunakan kekerasan. Seperti yang telah dijelaskan
pada hasil penelitian bahwa pada situasi tertentu partisipan ketiga memukuli siswa, partisipan
kelima mencubit siswa menggunakan kuku jari, sedangkan partisipan keempat juga sering
memberikan hukuman seperti menyuruh siswa berlutut bahkan partisipan keempat bersama
guru lainnya menginjak siswa.
Bagi kelima partisipan, kekerasan verbal maupun non verbal dilakukan sebagai wujud
persoalan pribadi dan anak sakit, guru dalam keadaan haus dan lapar, perilaku siswa yang mengganggu ketenangan kelas dan siswa tidak memberi salam.
Hasil penelitian Tomison & Tucci (dalam McEachern dkk., 2008) mengatakan
kekerasan verbal dapat merusak perkembangan kompetensi dan keterampilan kognitif siswa,
dan juga berdampak negatif terhadap kepercayaan mereka pada orang lain, cara mereka
membentuk hubungan serta mengekspresikan emosi. Senada dengan yang diungkapkan oleh
Nesbit & Philpott (2002) bahwa dampak psikologis dari kekerasan verbal pada remaja adalah
perasaan kecewa, sakit hati, dendam, kesulitan dalam berpikir dan tidak percaya diri.
Perlakuan yang tidak layak secara psikologis dapat mengganggu kemampuan korban untuk
menghayati kenyataan, merendahkan citra dirinya sendiri dan menyebabkan menyalahkan
dirinya sendiri. Hal ini menjadikan korban merasa tidak berharga, tidak dihargai dan tidak
dicintai (Dewi, 2010). Reaksi langsung dari siswa seperti membanting kursi, meja atau buku
setelah mendapat kekerasan tersebut karena merasa kecewa dan sakit hati. Penelitian ini juga
menemukan bahwa ada dua dampak kekerasan verbal pada siswa yaitu dampak negatif dan
positif. Dampak negatif yaitu siswa merasa malu dan partisipan pertama melihat siswa tidak
datang lagi untuk berlatih. Disamping itu, kelima partisipan sepakat dan menyadari bahwa
siswa akan memperlakukan dirinya seperti komentar-komentar negatif yang diberikan
kepadanya. Sedangkan dampak positif yaitu partisipan melihat adanya perubahan perilaku ke
arah yang lebih baik, meskipun hanya bersifat sementara.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa ternyata tidak hanya siswa yang merasakan
dampak kekerasan verbal, kelima partisipan pun merasakannya. Seperti yang telah dijelaskan
pada sub tema hasil penelitian bahwa partisipan merasa tidak nyaman, bersalah, berdosa dan
18
daripada itu partisipan pertama tidak dapat tidur dengan nyenyak karena terus terbayang hal
tersebut. Semua partisipan kecuali partisipan pertama mengatakan bahwa timbul rasa
penyesalan setelah melakukan kekerasan verbal sehingga mereka melakukan introspeksi diri
dan ada keinginan untuk melakukannya lagi. Namun bagi partisipan ketiga, ia baru merasa
menyesal apabila pada saat itu juga ia melihat perubahan pada ekspresi wajah siswa,
sedangkan partisipan kelima juga mengatakan bahwa ia tidak merasakan gangguan psikologis
apabila kekerasan tersebut dilakukan pada siswa yang selalu memancing kemarahannya atau
troublemaker. Melengkapi itu, partisipan kelima yang berasal dari suku Rote mengakui
bahwa ia merasa malu ketika memberikan sindiran yang mengandung unsur kesukuan “otak
Rote” karena sebutan ini diartikan oleh masyarakat NTT sebagai sesuatu yang negatif. Lebih
daripada itu, sebagai seorang guru dan juga seorang ibu, partisipan kedua merasa khawatir
serta takut apabila anaknya pun mengalami kekerasan di sekolah. Ketidaknyamanan secara
psikologis dan penyesalan membuat kelima partisipan berusaha melakukan pendekatan secara personal yaitu meminta maaf atas perbuatannya dan menasehati siswa. Namun diakui oleh semua partisipan bahwa tidak semua situasi perlu dilakukan pendekatan, pendekatan seperti itu hanya dilakukan apabila mereka melihat reaksi atau dampak pada siswa.
klub mata pelajaran multifungsi dan memberi pertanyaan yang kemudian jika siswa mampu menjawab maka pertanyaan yang sama akan diulangi lagi dengan harapan akan berefek pada timbulnya kesadaran pada diri siswa tersebut. Partisipan juga memberikan tugas mendadak yang harus dikerjakan di dalam kelompok atau di papan tulis serta memperbanyak kegiatan di kelas yang menuntut keaktifan siswa, sedangkan partisipan kelima lebih memilih untuk mengeluarkan siswa yang menjadi troublemaker dari kelas pada jam pelajarannya. P3 merupakan salah satu partisipan sangat vokal ketika FGD berlangsung dan memperbolehkan perlakuan kekerasan verbal meskipun menyadari bahwa hal tersebut tidak layak dilakukan. Namun yang mengejutkan, ketika peneliti melakukan wawancara tambahan P3 menceritakan bahwa FGD ini memberikan informasi baru tentang kekerasan verbal dan ia mengalami perubahan pola pikir serta perilaku. P3 pun sudah menemukan dan saat ini sudah mempraktekan alternatif lain seperti pernyataannya berikut:
Coba kamu berdiri, senyum. Lalu saya ngomong baik-baik, tadi kamu jangan ribut ya?.
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa
kekerasan verbal adalah dalam bentuk kata-kata seperti kata-kata yang menjatuhkan mental
dan makian serta dipengaruhi oleh situasi, intonasi, mimik dan gerak tubuh. Meskipun demikian, kelima partisipan mengakui bahwa kekerasan verbal tidak layak untuk dilakukan
dan guru harusnya menggunakan pendekatan yang lebih humanis. Bentuk-bentuk kekerasan
verbal yang sering dilakukan yaitu makian menggunakan nama binatang, menyindir dan
sindiran yang mengandung unsur-unsur kesukuan, ejekan, ancaman,
membanding-bandingkan kemampuan siswa, sikap diam, menciptakan” aturan yang mengandung unsur
-unsur kekerasan fisik untuk dilakukan oleh sesama siswa dan membuat komentar-komentar
yang menjatuhkan.
Kekerasan verbal seringkali menjadi pintu masuk untuk seorang guru melakukan
kekerasa fisik, seperti yang dilakukan oleh tiga orang partisipan (P3, P4 dan P5). Kekerasan
fisik yang sering dilakukan yaitu memukul siswa, siswa disuruh berlutut dan diinjak oleh
partisipan keempat maupun guru lainnya dan mencubit siswa menggunakan kuku tangan
pada bagian lengan untuk siswa perempuan dan pada bagian dada untuk siswa laki-laki.
Kekerasan verbal sering dilakukan secara spontan sebagai koping dan wujud kejengkelan.
Kekerasan verbal memberikan dampak negatif dan positif bagi siswa maupun guru. Dampak
negatifnya yaitu siswa merasa kecewa dan sakit hati sehingga memberikan reaksi langsung
seperti membanting meja dan kursi, tidak datang berlatih dan siswa akan memperlakukan
dirinya seperti komentar-komentar negatif yang diberikan kepadanya. Sedangkan dampak
positif yaitu adanya perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik, disamping itu
partisipan kelima merasa hubungannya lebih dekat dengan siswa, meskipun perubahan ini
pada guru seperti rasa malu, perasaan tidak nyaman, bersalah, berdosa, terbeban dan
menyesal. Di samping itu partisipan kedua merasa khawatir serta takut apabila anaknya pun
mengalami kekerasan di sekolah. Ketidaknyamanan secara psikologis ini mendorong
partisipan untuk melakukan introspeksi diri dan timbul keinginan untuk tidak melakukannya
lagi.
Adapun alternatif lain yang saat ini digunakan dalam pembelajaran di sekolah untuk
meminimalisir perilaku kekerasan verbal yaitu memperbanyak aktifitas dalam pembelajaran,
mengabaikan perilaku siswa yang memancing partisipan melakukan kekerasan verbal, siswa terpandai di kelas diikutsertakan dalam klub mata pelajaran, memanggil siswa dan memintanya untuk tersenyum. Guru juga menegur siswa dengan bahasa dan intonasi yang halus, memberikan pertanyaan yang sama secara berulang-ulang, memberikan tugas mendadak, memberikan hukuman fisik (seperti lari, skot jump dan push up), memperbanyak kegiatan di kelas yang menuntut keaktifan siswa dan mengeluarkan siswa yang menjadi troublemaker dari kelas pada jam pelajarannya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Benbenishty, R., Zeira, A., & Astor, R. A. (2002). Children’s report of emotional, physical and sexual maltreatment by educational staff in Israel. Child Abuse & Neglect, 26, 763–782.
Briggs, F., & Hawkins, R. (1997). Child Protection: A guide for teachers and child care professionals. St. Leonards, New South Wales, Australia: Allen & Unwin.
Dewi Fauziah, (2010). Perlindungan anak korban kekerasan dalam keluarga (Studi kasus terhadap penanganan anak korban kekerasan dalam keluarga di lembaga perlindungan anak (LPA) DIY). Skripsi (tidak di terbitkan). Yogyakarta : Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Irwanto. (2006). Focused Group Discussion. Jakarta: Penerbit Yayasan obor Indonesia. Kemenkumham. (2013). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Diakses dari http://kemenkumham.go.id tanggal 10 Februari 2013.
KPAI. (2013). Kekerasan pada siswa di sekolah. Diakses dari http://www.kpai.go.id/ tanggal 15 Januari 2014.
Krugman, R. D., & Krugman, M. K. (1984). Emotional abuse in the classroom: The pediatrician’s role in diagnosis and treatment. American Journal of Diseases of Children, 138, 284–286.
Mceachern, Aluede, Kenny. (2008). “ Emotional abuse in the classroom: implications and interventions for counselors”. Journal of counseling & development. 86, 1 - 9.
Nesbit, W.C., & Philpott, D.F. (2002). Confronting subtle emotional abuse in classrooms. Guidance and Counseling, 17, 32-38.
O’Hagan, K. (1995). Emotional and psychological abuse: Problems of definition. Child Abuse and Neglect, 19, 449–461.
Sava, F. (2002). Causes of effects of teacher conflict-inducing attitudes toward pupils: A path analysis model. Teaching and TeacherEducation, 18, 1007–1021.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental; konsep cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit Andi.
24
Suprihatiningrum, J. (2013). Guru profesional: Pedoman kinerja, kualifikasi, dan kompetensi guru. Jogjakarta: Penerbit Ar-ruzz Media.
WHO (2014). Kekerasan pada anak. Diakses dari