1 PENDAHULUAN
Manusia dalam kehidupannya mengalami beberapa periode perkembangan, dari kanak-kanak sampai lanjut usia. Diantara periode tersebut, masa remaja adalah salah satu fase perkembangan yang mendapat perhatian besar. Menurut Santrock (2003), masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada fase ini, remaja mengalami suatu tahap peralihan dan tidak mantap sehingga di fase ini para remaja mudah dipengaruhi oleh lingkungannya.
Stenberg (2002) membedakan remaja ke dalam 3 kategori, yatu: remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir. Periode remaja awal berkisar antara usia 11-14 tahun, remaja madya berlangsung pada usia 15-18 tahun, dan remaja akhir terjadi diantara usia 18-21 tahun. Erikson (dalam Shaffer, 2005) menyebutkan bahwa remaja awal akan mengalami kebingungan karena mengalami perubahan dari segi fisik, kognitif, dan sosial saat masa pubertas. Masa remaja awal yaitu pada usia 11-14 tahun, merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju
secara abstrak dan logis. Perkembangan emosional ditandai dengan membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu, serta orientasi peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran sosial-emosional dalam perkembangan remaja. Selain itu pada tahapan ini remaja menghadapi tugas
utama mencari dan menegaskan eksistensi dan jati dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, mencari arah dan tujuan, menjalin hubungan dengan orang yang dianggap penting (Sarwono, 2008).
Proses perkembangan biologis, kognitif, sosioemosional, dan identitas yang tergolong labil tersebut, remaja menjadi memiliki keinginan besar mengeksplorasi perilaku-perilaku di dalam kehidupan sosialnya yang berangkat dari keingintahuan yang besar yang dimiliki oleh remaja, salah satu perilaku yang menjadi perhatian besar adalah perilaku seksual. Akan tetapi perilaku seksual yang saat ini semakin marak adalah perilaku seksual yang tidak tepat, dan hal ini menimbulkan berbagai permasalahan pada remaja, salah satu diantaranya adalah adanya perilaku seksual pada remaja awal. Soetjiningsih (2004) menjelaskan bahwa perilaku seksual pada remaja adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Perilaku seksual mencakup berpegangan tangan, memeluk/ dipeluk bahu, memeluk-dipeluk
diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian, mencium/ dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian, meraba/ diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, mencium/ dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan
tanpa berpakaian, dan hubungan seksual.
Jadi perkembangan pada diri remaja yang mengarah pada eksplorasi dalam kehidupan sosial, dalam hal ini adalah perilaku seksual. Justru mengarah pada perilaku seksual yang tidak tepat. Menurut Sullivan (dalam Santrock, 2003) perilaku seksual pada remaja awal secara nyata menimbulkan berbagai dampak negatif, yaitu antara lain kehamilan pada remaja. Di Amerika Serikat, empat dari lima remaja hamil berstatus tidak menikah, selain kehamilan diluar nikah, dampak negatif lain yang mengikuti adalah aborsi (Santrock). Jika kehamilan tersebut dipertahankan, mereka juga diharuskan untuk menikah diusia sangat muda, dan tanggung jawab secara moral, sosial, ekonomi akan dibebankan terhadap remaja. Permasalahan-permasalahan hidup tentu akan sangat berat dirasakan karena tanggung jawab tersebut diluar tugas perkembangan remaja.
Di Indonesia maraknya perilaku seksual juga terus meningkat, tak terkecuali pada usia remaja awal, seperti yang dikatakan oleh Direktur Hotline Pendidikan, Isa Ansori, pihaknya
November 2011, pada siswa-siswi SMP (kisaran usia 13-15 tahun) terdiri dari 311 siswi dan 305 siswa SMP Negeri, Swasta, dan keagamaan pada SMP yang tersebar di 25 sekolah SMP di Surabaya, menunjukkan hasil bahwa 45% sampel 616 siswa berpikir, bahwa hubungan seks dalam berpacaran merupakan hal yang wajar, dan 14% lainnya telah melakukan hubungan seksual
(Detik Surabaya Serial Online, 30 Desember 2011). Di Semarang Jawa Tengah, berdasarkan sumber data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang (2008) jumlah remaja yang berusia 10-19 tahun di wilayah kota Semarang sebesar 495.351 jiwa, jumlah remaja terbanyak yaitu pada perempuan sebesar 53%. Untuk kasus yang ada pada perempuan diantaranya adalah hamil diluar nikah sebesar 0,015%, aborsi sebesar 0,017%.
Di salah satu SMP N di Salatiga, berdasarkan observasi yang telah peneliti lakukan di SMP N 7 Salatiga, terdapat beberapa pasangan siswa dan siswi SMP yang pulang sekolah bergandengan tangan, memeluk dibagian bahu, memeluk dibagian pinggang di tempat-tempat umum seperti jalan raya, warung makan, pos ojek, dan tempat duduk umum. Menurut pengamatan peneliti, mereka tampak terbiasa dengan apa yang mereka lakukan, terlihat dari tidak ada perubahan posisi atau ekspresi wajah ketika peneliti/warga melihat perilaku remaja tersebut.
Fakta dan gejala-gejala yang ditunjukkan tersebut
pada siswa-siswi SMP. Terdapat beberapa faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku seksual. Menurut Soetjiiningsih (2008) faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja diantaranya: faktor individual (self-esteem/ harga diri, dan religiusitas), faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), dan faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media
pornografi).
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, self-esteem
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual. Coopersmith (dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa
Self-Esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kekuasaan, keberartian, kebijakan, dan kemampuan. Sedangkan Aspek-aspek self esteem menurut Coopersmith (dalam Andarini, dkk. 2012) antara lain kekuasaan (Power) yaitu kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain, lalu keberartian (Significant) yaitu adanya kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain, hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya, kemudian kebajikan (Virtue) yaitu ketaatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan
dan agama, dan yang terakhir yaitu kompetensi (Competence) yaitu sukses memenuhi tuntutan prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik.
Secara singkat, harga diri adalah “Personal judgment”
mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan
dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Senada dengan hal tersebut, Tambunan (2001) mengatakan bahwa Self-esteem
adalah suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif atau negatif. Orang yang memiliki self-esteem yang tinggi, ialah orang yang mengalami proses hubungan positif dengan dirinya. Memiliki perasaan positif tentang dirinya, dan mempunyai penilaian yang positif terhadap dirinya. Pengalaman dan proses hubungan yang positif inilah yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang positif (Tambunan).
berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).
Menurut Leary, Schreindorfer, & Haupt, 1995 (dalam Santrock, 2003), dalam kebanyakan kasus, self-esteem yang tinggi memiliki konsekuensi yang positif, sementara self-esteem
yang rendah memiliki efek sebaliknya. Remaja yang memiliki
self-esteem yang tinggi cenderung memperkuat inisiatif, daya tahan, dan perasaan senang (Baumeister, Champbell,Kreuger, &Vohs, dalam Santrock 2003), sedangkan remaja yang merasa tidak dibutuhkan dan tidak dihargai (self-esteem rendah) akan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyimpangan perilaku karena ia merasa bahwa dirinya tidak penting di mata orang lain (Santrock). Selaras dengan hal tersebut Kartono (1995), menyatakan adanya rasa tidak mampu akan dicoba untuk ditutupi oleh remaja dengan melakukan suatu tindakan atau perilaku tertentu, terutama perilaku yang menyimpang.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang, Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat
rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media- media massa (Rahardjo, 2009).
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa seks bebas adalah salah satu bentuk kenakalan remaja, dan perilaku seksual pada remaja awal merupakan bagian dari perilaku seks bebas yang kini marak terjadi. Remaja yang merasa tidak mampu ( Self-esteem rendah) akan mudah terlibat dalam perilaku seksual karena remaja ingin meningkatkan rasa mampunya dan meningkatkan penilaian pada dirinya. Remaja dengan harga diri yang rendah akan cenderung mencari pemuasan kebutuhan keluar dari keluarga, misalnya teman sebaya, geng dan cenderung terlibat dalam aktivitas bersama orang lain yang dianggap dapat memberikan perhatian dan penghargaan pada remaja, akibatnya banyak remaja yang terjebak dalam perilaku kenakalan termasuk di dalamnya adalah perilaku seksual pada remaja awal (Kartono, 1995).
dengan penelitian yang dilakukan oleh Goodson, et al (2006) dalam penelitiannya yang dilakukan di Texas dengan judul “
Self-esteem and adolescent sexual behaviors, attitudes, and intentions: a systematic review” yang menghasilkan tidak adanya hubungan antara self-esteem dengan intensitas, sikap, dan perilaku seksual pada remaja, senada dengan hal tersebut Sanjaya
(2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan melakukan perilaku seksual
dalam jurnalnya yang berjudul “Hubungan Antara Self-Esteem
dan Kualitas Persahabatan dengan Kecenderungan Melakukan Hubungan Seks pada Remaja”. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan terdapat perbedaan hasil penelitian mengenai self-esteem dengan perilaku seksual.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya hubungan antara self-esteem dengan perilaku seks pada remaja awal.
Hubungan antara self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal.
Hipotesis
Hipotesis Empirik
rendah self-esteem maka semakin tinggi perilaku seksual pada remaja awal.
Hipotesis Statistik
Ho : rxy ≥ 0, berarti tidak terdapat hubungan negatif antara
self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal.
H1 : rxy < 0, berarti terdapat hubungan negatif antara
self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian korelasional, yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Pengukuran korelasional digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan (Sevilla, dkk, 1993).Lalu Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif yaitu penelitian yang yang mengumpulkan informasi mengenai suatu gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto S, 2003). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian dengan hasil data yang berbentuk angka-angka dan dianalisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2011)
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 7
berjumlah 83 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling yaitu pengambilan dampel pada siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti, dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang ditemui cocok sebagai sumber data (Sugiyono. 2004), pengambilan jumlah sampel mengacu pada rumus Yamane (dalam Sukandarrumidi, 2006.
Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data, peneliti menggunakan metode skala, yaitu skala yang pertama yaitu self-esteem peneliti menggunakan skala yang dibuat oleh Coopersmith (dimodifikasi oleh Rayden, dalam Coopersmith Self-Esteem Inventory, nd)
yang terdiri dari 58 item pertanyaan dalam bentuk skala Likert. Skala yang kedua adalah skala perilaku seksual mengacu pada tahapan perilaku seksual yang diungkapkan oleh Soetjiningsih (2008), yaitu tahapan perilaku seksual dengan memodifikasi Diagram Group dalam buku sex: A user’s manual, dalam bentuk skala Guttman.
Analisis Data
HASIL PENELITIAN
Pengujian validitas pada penelitian ini dilakukan proses validasi skala dengan menggunakan validitas isi. Azwar (2004) mengatakan bahwa relevansi item dengan indikator keperilakukan dan dengan tujuan ukur sebenarnya sudah dapat dievaluasi lewat nalar dan akal sehat yang mempu menilai apakah
isi skala memang mendukung konstrak teoretik yang diukur. Proses ini disebut dengan validasi logik sebagai bagian dari validasi isi. Proses ini pun tidak hanya didasarkan oleh penilaian penulis sendiri, tetapi juga dibantu dengan kesepakatan penilaian dari beberapa penilai yang kompeten (expert judgement) yaitu para dosen pembimbing sebagai peneliti ahli.
Pengujian reliabilitas dan daya diskriminasi item menunjukan bahwa jumlah item untuk skala self-esteem yang memiliki daya diskriminasi baik adalah 40 item sesuai dengan
batas koefisien korelasi item total ≥ 0, 3 (Azwar, 2012) dengan
nilai reliabilitas sebesar 0,927 yang berarti sangat reliabel. Untuk skala perilaku seksual menunjukan bahwa seluruh item sebanyak 12 item memiliki daya diskriminasi yang baik dengan nilai reliabilitas sebesar 0,933 yang berarti sangat reliabel
Penelitian selanjutnya adalah uji asumsi, yang pertama adalah uji normalitas untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing-masing variabel. Berdasarkan hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
nilai K-S-Z sebesar 1,018 dengan nilai sign. = 0,251 (p > 0,05), dan pada variabel perilaku seksual memiliki nilai K-S-Z sebesar 1,264 dengan nilai sign. = 0,082 (p > 0,05) dengan demikian kedua variabel tersebut berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan pengujian linearitas, pada variabel
self-esteem dan perilaku seksual dapat diketahui nilai F beda sebesar 0,977 dengan signifikansi sebesar p = 0,531 (p > 0,05 ) yang menunjukan hubungan antara kedua variabel tersebut sejajar atau linear.
Pengujian terakhir adalahuji uji korelasi produst moment-Pearson diperoleh r = -0,446 dengan sig. = 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi negatif dan signifikan antara self-esteem dengan perilaku seksual . Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel tersebut:
Correlations variabel
Self_esteem Perilaku_seksual
Self_esteem Pearson
Correlation 1 -.446
**
Sig. (1-tailed) .000
N 83 83
Perilaku_
seksual
Pearson
Correlation -.446
** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 83 83
Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi product
moment-Pearson antara variabel self-esteem dengan perilaku seksual menunjukan r = -0,446 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut menandakan H0 ditolak dan H1 diterima dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan
antara self-esteem dengan perilaku seksual.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa variabel X ( self-esteem) dan variabel Y (perilaku seksual) memiliki hubungan negatif dan signifikan. Hubungan tersebut dapat terjadi karena remaja dengan self-esteem yang tinggi, ialah remaja yang mengalami proses hubungan positif dengan dirinya. Memiliki perasaan positif tentang dirinya, dan mempunyai penilaian yang positif terhadap dirinya begitu pula sebaliknya. Pengalaman dan proses hubungan yang positif inilah yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang positif (Tambunan, 2001). Remaja yang memiliki self-esteem yang tinggi cenderung memperkuat inisiatif, daya tahan, dan perasaan senang (Baumeister & Dkk, 2003 dalam Santrock 2003), sedangkan remaja yang merasa tidak dibutuhkan dan tidak dihargai (self-esteem rendah) akan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyimpangan perilaku karena ia merasa bahwa dirinya tidak penting di mata orang lain (Santrock).
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat
Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian
obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media massa (Rahardjo, 2009). Seperti yang telah disebutkan bahwa seks bebas adalah salah satu bentuk kenakalan remaja, dan perilaku seksual pada remaja awal merupakan bagian dari perilaku seks bebas yang kini marak terjadi.
Berdasarkan penjelasan di atas, siswa SMPN 7 Salatiga diketahui memiliki self-esteem tinggi maka ia mempunyai pengalaman dan proses hubungan yang positif tentang dirinya yang kemudian melahirkan tindakan positif, sehingga ia pun akan cenderung tidak melakukan perilaku yang dianggap negatif atau perilaku-perilaku menyimpang, salah satu perilaku yang dikategorikan perilaku menyimpang adalah perilaku kenakalan-kenakalan remaja, salah satu bentuk kenakalan-kenakalan remaja tersebut adalah perilaku seks bebas, dan perilaku seksual pada remaja awal merupakan bagian dari perilaku seks bebas.
Selain itu menurut Coopersmith (dalam Andarini, dkk. 2012), aspek-aspek yang membentuk self-esteem antara lain
mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain, lalu Keberartian (Significant) dalam hal ini merupakan adanya kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya, kemudian Kompetensi (Competence) dalam hal ini merupakan
sukses memenuhi tuntutan prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda, dan terakhir Kebajikan (Virtue) dalam hal ini merupakan ketaatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan oleh moral, etika dan agama.
Jika ditinjau dari setiap aspek tersebut diatas, siswa SMPN 7 Salatiga dapat mengontrol diri mereka sendiri karena mereka merasa bahwa mereka yakin pada diri mereka sendiri dan cenderung menyaring dirinya dari pengaruh negatif yang datang dari dirinya maupun dari luar dirinya (lingkungan) sehingga mampu mengalihkan pengaruh dari orang lain. Lalu siswa SMPN 7 Salatiga cenderung melihat diri mereka berharga. Artinya, pada umumnya siswa SMPN 7 Salatiga merasa yakin bahwa dirinya itu berharga dibandingkan dengan orang lain dan mampu untuk berinteraksi dengan orang lain, hal ini juga dipengaruhi oleh
menghargai baik antar siswa maupun antara siswa terhadap gurunya atau guru terhadap siswanya. Selanjutnya dalam hal prestasi secara umum para siswa berhasil mengerjakan tugas sekolah maupun mengembangkan bakatnya dengan baik, karena dari pihak sekolah menerapkan sistem yang seimbang antara prestasi akademik maupun non akademik, sehingga
masing-masing siswa dapat mengembangkan prestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Siswa SMPN 7 Salatiga juga merupakan siswa yang secara umum mematuhi kode moral, etika dan agama. Hal tersebut terlihat dari dipatuhinya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah, selain itu walaupun SMPN 7 Salatiga merupakan sekolah negeri namun penanaman moral, etika dan agama cukup memadai.
Berdasarkan penjelasan tersebut siswa SMPN 7 Salatiga yang merasa dirinya berharga, yakin terhadap kemampuan dirinya, dan memiliki konsentrasi terhadap prestasinya baik akademik maupun non akademik serta bekal penanaman moral, etika maupun agama sehingga mereka mampu menyaring dirinya dari pengaruh negatif yang datang dari dirinya maupun dari luar dirinya (lingkungan), termasuk pengaruh negatif dalam hal perilaku seksual. Siswa dengan perasaan dihargai, percaya pada kemampuan dirinya akan cenderung bertindak positif, fokus terhadap prestasi yang ingin diraihnya, serta mereka mengetahui bahwa perilaku seksual merupakan perilaku yang dilarang baik
Hasil temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Hidayat (2013) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Harga Diri dan Penalaran Moral terhadap Perilaku Seksual Remaja Berpacaran di SMK Negeri 5
Samarinda” dengan r = -0,493 dengan signifikansi sebesar 0,000
(p < 0,05), yang berarti harga diri memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perilaku seksual remaja berpacaran. Selain itu temuan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soetjiningsih (2008) bahwa self-esteem merupakan prediktor bagi perilaku seksual yang berarti menunjukan bahwa variabel self-esteem
berpengaruh terhadap munculnya perilaku seksual .
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa self-esteem
yang dimiliki oleh siswa SMPN 7 Salatiga tergolong ke dalam kriteria yang tinggi dengan persentase 72,2%. Sehingga siswa SMPN 7 Salatiga cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi, merasa dihormati, dan merasa memiliki kemampuan, serta cenderung puas dengan karakteristiknya, tidak terpaku pada kesukaran-kesukaran personal individu, selain itu juga memiliki keajegan persepsi dan pandangan, serta mampu mengalihkan pengaruh dari orang lain (Coopersmith, dalam Andarini, dkk 2012). Maka dari itu perilaku seksual siswa SMPN 7 Salatiga tergolong ke dalam kriteria sedang dengan persentase 32,5%.
Berdasarkan perhitungan uji korelasi juga ditemukan bahwa
penyebab munculnya perilaku seksual dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain misalnya faktor individual lainnya yaitu religiusitas, faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), serta faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media pornografi), (Soetjiningsih, 2008).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara variabel
self-esteem dengan perilaku seksual pada siswa SMPN 7 Salatiga dengan r = -0,446 dengan sig. = 0,000 (p > 0,05).
2. Berdasarkan perhitungan uji korelasi juga ditemukan bahwa self-esteem memiliki sumbangan sebesar 19,89% terhadap munculnya perilaku seksual, maka sisanya yaitu 80,11% penyebab munculnya perilaku perilaku seksual dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain misalnya faktor individual lainnya yaitu religiusitas, faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), serta faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media pornografi). 3. Self-esteem yang dimiliki oleh siswa SMPN 7 Salatiga
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Saran bagi siswa
Berdasarkan hasil peneitian perilaku seksual siswa
tergolong sedang, sehingga diharapkan dapat semakin mengembangkan diri dalam hal positif, dapat memilih lingkungan bersosialisasi yang positif, mengenali diri sendiri dan teman-teman sepergaulan sehingga dapat memaksiamalkan prestasi belajar di sekolah dan dapat terhindar dari perilaku seksual.
2. Saran bagi sekolah
Berdasarkan hasil penelitian, perilaku seksual yang dimiliki siswa SMPN 7 Salatiga tergolong sedang dengan presentase 32,5%, dan telah muncul perilaku-perilaku seksual sesuai tahapan perilaku seksual yang dikemukakan oleh Soetjiningsih (2008) dan terdapat 7 siswa yang sudah sampai pada tahap terakhir perilaku seksual yaitu telah melakukan hubungan seksual layaknya suami istri, mengingat bahwa usia siswa masih berada pada usia remaja awal dan masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Oleh sebab itu bagi pihak sekolah untuk dapat memberikan
siswa siswinya misalnya dengan memberikan seminar mengenai bahaya perilaku seksual dan dilakukan pelatihan mengenai pengembangan diri. Sehingga perilaku seksual oleh siswa dapat diminimalisir.
3. Saran bagi Peneliti selanjutnya
Penelitian ini masih terbatas, karena hanya meneliti
hubungan self-esteem terhadap perilaku seksual. Dengan demikian masih ada variabel lain yang turut memberi pengaruh pada perilaku seksual yang belum dijelaskan dan diteliti, maka direkomendasi untuk penelitian selanjutnya yaitu menambah seperti faktor individual lain yaitu religiusitas, faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), serta faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media pornografi).
DAFTAR PUSTAKA
Andarini, dkk. (2012). Hubungan antara “self esteem” dengan derajat stres pada siswa Akselerasi SDN Banjarsari 1 Bandung. Jurnal Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, 3, 1 Diunduh 30 September 2013, dari http://prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/sosial/art icle/view/229
Atkinson, R L., Atkinson, R. C, & Hilgard, E. R. (1983).
Pengantar psikologi. Editor: Agus, D & Michael, A. Jakarta: Erlangga
Azwar, S. (2004). Validitas dan reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Branden, N. (1999). Kiat jitu meningkatkan harga diri. Jakarta: Pustaka Delaprasa
Burn, R. B. (1998). Konsep diri: Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku. Alih bahasa. Eddy. Jakarta: Arcan
Coopersmith self-esteem inventory, nd. Self-report measures for love and compassion research: Self-esteem. Fetzer Institute. Diunduh pada 10 September 2014, dari http://fetzer.org/sites/default/file/images/stories/pdf/se lfmeasures/Self_Measures_for_SelfEsteem_COOPER SMITH_SELF-ESTEEM_INVENTORY.pdf
Damayanti . (2010, 12 Februari). 5 dari 10 pelajar DKI lakukan seks pranikah. Detik Surabaya. Diunduh 12 Juli 2013, dari
7078/486/5-dari-10-pelajar-DKI-lakukan-seks-pranikah
Hidayat, K. (2013), Pengaruh harga diri dan penalaran moral terhadap perilaku seksual remaja berpacaran di SMK Negeri 5 Samarinda. Ejournal Psikologi, 1(1), 80-87. http://ejournal.psikologi,fisip-unmul.ac.id
Hurlock, E. (1991). Perkembangan anak, edisi keenam. Alih Bahasa : Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga
Kartono, Kartini. (1995). Perkembangan remaja. Bandung: Mandar Maju
Rahardjo, W. (2009). Konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang dan perilaku seks beresiko: Suatu studi meta analisis.
Jurnal Psikologi, 35(1), 80-100. Diunduh 20 Juli 2013.http://wahyu_r.staff.gunadarma.ac.id/Publicatio ns
Sanjaya, E. L. (2013). Hubungan Antara Self-Esteem Dan Kualitas Persahabatan Dengan Kecenderungan Melakukan Hubungan Seks Pranikah Pada Remaja. Ejournal Psikologi. Diunduh 19 Juli 2013, dari http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/7969836582_a bs.pdf
Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaj.
Jakarta: Erlangga
Sarwono, S. W. (2008). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto
Soetjiningsih, C. H. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja. Diunduh
pada 10 juni 2013, dari
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/824_RD0906004. pdf
__________. (2008). Remaja usia 15-18 tahun lebih banyak lakukan perilaku seksual pranikah. Diunduh tanggal 20 Januari 2013 dari http://ugm.ac.id/id/berita/551-dr.soetjiningsih:.remaja.usia.15..18.tahun.banyak.laku kan.perilaku.pranikah
Shaffer, D. R. (2005). Social personality development. USA: Thomson
Sinaga. (2009, 27 April 2013). Hasil survei, 31% remaja di kupang pernah berhubungan seks. Kompas, h.4
Sukandarrumidi. (2006). Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Semula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Stuart & Sundeen (1998). Principle and practice of psychiatric nursing. 6th. Ed. Philadelphia: C V Mosby.
Tambunan, R.( 2001). Harga diri remaja. Jurnal Psikologi.
Diunduh 2 juli 2013, dari