• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong T2 902009102 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong T2 902009102 BAB I"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Di antara pelbagai bidang pembangunan, bidang pendidikan memiliki peranan sentral dalam pembangunan bangsa dan negara karena kecerdasan dan kemampuan bahkan watak bangsa di masa mendatang banyak ditentukan oleh pendidikan yang diberikan saat ini. Pendidikan berperan sebagai dasar dalam membentuk kualitas manusia yang mempunyai daya saing dan kemampuan dalam menyerap teknologi yang akan dapat meningkatkan produktivitas. Untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa melihat pada status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Maka pemenuhan atas hak dalam mendapat pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia (SDM).

Pentingnya pendidikan di dalam pembangunan tergambar dari prioritas di antara delapan kesepakatan yang tercantum di dalam Millennium Development Goals (MDGs). Pendidikan menempati urutan kedua sebagai tujuan dari delapan kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) yang hendak diwujudkan sampai pada tahun 2015. Seluruh anak baik laki-laki maupun perempuan di mana saja mereka berada, harus sudah menyelesaikan pendidikan dasar. Maka sebagai negara yang ikut meratifikasi MDGs/ Tujuan Pembangunan Millenium, Indonesia tidak bisa mengabaikan pembangunan di bidang pendidikan ini (Dyah dan Erwan, 2007).

(2)

pembangunan sumber daya manusia; besarnya peran sektor pendidikan ini mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian yang lebih pada sektor pendidikan. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI/2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal pemenuhan pemerataan pendidikan juga terlihat dalam gerakan wajib belajar. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau. Gerakan wajib belajar mulai dicanangkan pada 2 Mei 1984 yaitu program wajib belajar 6 tahun (tingkat SD), diteruskan dengan program wajib belajar 9 tahun (Tingkat SMP) pada pertengahan tahun 1990-an (2 Mei 1994), tetapi di tingkat SMA program wajib belajar baru mulai dicanangkan dan dikaji pada tahun 2008 (Statistik Pendidikan, 2009).

Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang secara teknis operasional dilakukan melalui pembelajaran. Program pembelajaran yang baik akan menghasilkan efek berantai pada kemampuan peserta didik/ individu untuk belajar secara terus menerus melalui lingkungannya sebagai sumber belajar yang tak terbatas (Anwar, 2006:12). Salah satu sarana yang efektif untuk membina dan mengembangkan manusia dalam masyarakat adalah pendidikan yang teratur rapi, berdaya guna, dan berhasil guna, maka pendidikan di negeri kita pun perlu diorganisasikan dan dikelola secara rapi, efektif, dan efisien melalui sistem dan metode yang tepat guna dan berhasil guna pula. Menurut Carter V. Good (dalam Djumransjah, 2006:24), pendidikan merupakan proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat, sebuah proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin (sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dalam mengembangkan pribadinya.

(3)

yang produktif. Hal ini merefleksikan konsep adanya tuntutan individual dan sosial dari orang dewasa kepada generasi muda. Tuntutan individual merupakan harapan orang dewasa agar generasi muda dapat mengembangkan pribadinya sendiri, mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga anak bisa bertingkah laku, berbuat dan hidup dengan baik dalam berbagai situasi dan lingkungan masyarakat (Sukmadinata, 2009:59).

Terdapat pendapat umum yang sudah dipandang lazim dan diterima begitu saja bahwa pendidikan (formal) mampu merubah keberadaan manusia dari yang alamiah menjadi semakin manusiawi. Proses dan buah pendidikan itu pula yang tentunya berujung pada perubahan tata nilai dalam masyarakat. Maka, proses pendidikan diletakkan dalam kerangka tujuan yang memampukan manusia memainkan perannya sebagai subyek bagi aneka perubahan dalam hidupnya (Heriyanto, 2007: 90). Justru pendapat umum yang diterima begitu saja ini, malah yang diakui sebagai patokan universal, mengundang pertanyaan entahkah proses, arah dan isi pendidikan formal yang diterapkan dalam masyarakat Indonesia sampai sekarang ini sudah mampu merubah keberadaan manusia Papua dari yang alamiah menjadi semakin manusiawi, dan entahkah itu sudah membuahkan perubahan tata nilai manusiawi dan apakah sudah dapat ambil bagian dalam pembangunan bangsa?

(4)

manusia Indonesia pada umumnya. Gambaran negatif ini nampaknya semakin dibenarkan dalam pengalaman sementara orang yang berkunjung ke daerah perkotaan di Papua dan mendapati banyak orang Papua yang mabuk sejak siang hari dan tidur-tiduran di emperan jalan.

Kebanyakan orang yang sudah lama hidup, bergaul dan berkarya di bumi Cenderawasih tentu saja tidak lagi mempertahankan gambaran negatif di atas ini, tetapi dalam benak mereka masih tetap mengganjal beberapa banyak pertanyaan kritis, seperti: mengapa banyak orang asli Papua dewasa yang biarpun sudah memperoleh pendidikan tingkat SMA tokh terkesan acuh tak acuh dan tidak bertanggungjawab dalam mengemban suatu tugas pekerjaan yang diterimanya? Misalnya, para guru di pedalaman yang dengan mudah meninggalkan pekerjaan mengajar di sekolahnya selama berbulan-bulan, dengan alasan untuk mengambil gajinya di kota, ataupun banyak bapa keluarga yang berkeliaran di kota tanpa mempedulikan nasib keluarganya di pedesaan. Mengapa banyak orang dewasa Papua lebih suka bekerja sendiri-sendiri daripada bekerja bersama-sama? Atau juga, mengapa begitu banyak uang, yang jumlahnya jutaan rupiah yang diperoleh entah lewat penjualan tanah ulayat ataupun lewat pembagian dana otonomi khusus, hilang begitu saja dalam sekejap tanpa kelihatan pembangunan dalam hidup masyarakat suatu desa?

(5)

Malahan muncul suatu pertanyaan pembanding yang kritis terhadap sistem pendidikan formal sejak bangku sekolah dasar sampai pada jenjang perguruan tinggi ini: mengapa pendidikan formal tradisional lewat upacara inisiasi adat dengan mengisolasikan anak-anak lelaki dalam hutan selama satu-dua tahun (disebut „wuon‟ di Maybrat) bisa menghasilkan orang-orang dewasa yang mampu dan trampil hidup dalam masyarakatnya, sedangkan pendidikan formal modern lewat bangku sekolah selama bertahun-tahun mulai dari sekolah dasar tidak mampu menghasilkan manusia-manusia dewasa yang mampu dan trampil hidup sesuai dengan tuntutan masyarakat masa kini? Apa yang salah, atau keliru, ataupun kurang dalam sistem pendidikan formal yang sudah sejak tahun 1950-an sampai kini dilaksanakan di pelbagai daerah di bumi Cenderawasih ini?

Mochtar Buchori (Kompas, 20 Oktober 2010) membahas tentang masalah-masalah dasar sistem pendidikan di Indonesia, antara lain ujian nasional yang banyak dikeluhkan masyarakat pendidikan terhadap birokrasi pendidikan, karena yang mampu mengevaluasi kemajuan murid adalah guru-guru yang mengajar mereka sehari-hari, bukan orang luar. Dan juga pendidikan Indonesia masih saja menekankan pendidikan pengetahuan (transfer of knowledge) dan tidak cukup memberi perhatian kepada pemupukan ketrampilan (formation of skills) dan pembinaan watak (character building); pendidikan watak lebih banyak diberikan dalam bentuk kotbah-kotbah tentang manusia, manusia beriman dan bertakwa, dan betapa mengerikannya nasib manusia-manusia yang tersesat, tapi tidak diterjemahkan menjadi tindakan pendidikan yang cukup nyata. Masalah dasar lainnya ialah kurikulum sekolah yang kelihatan sukar sekali berubah. Dalam hal ini sekolah kita dan pendidikan Indonesia berwatak konservatif. Konservatisme memang perlu untuk mengimbangi progresivisme yang tanpa arah. Akan tetapi, kalau kita terlalu konservatif, kita akan menjadi kaku, murid-murid kita akan menjadi manusia Indonesia yang kaku dalam belajar.

(6)

metode, maupun proses) pendidikan harus mengikuti kehendak dan keputusan birokrasi pemerintah pusat (yaitu kementerian pendidikan) yang bercorak seragam untuk seluruh anak Indonesia tanpa mempertimbangkan tingkat kemajuan dan perubahan masyarakat dari yang tradisional menuju masyarakat yang terbuka, dan terlebih tanpa memperdulikan pelbagai pandangan hidup yang berbeda-beda dari tiap kelompok etnis yang berada di Nusantara. Filsafat dan politik pendidikan Indonesia condong memandang tiap manusia merupakan anggota atau bagian dari suatu kelompok sosial dan dituntut untuk berpartisipasi bagi dan dalam kelompoknya; dan kehendak pemimpin atau penguasa-patron kelompok inilah yang perlu diikuti oleh seluruh anggotanya.Justru filsafat dan pandangan hidup kebanyakan kelompok etnis Papua sangat berlainan dengan paham kemanusiaan paternalistic-kollektivistik ini, yaitu secara ringkas dapat dikatakan bahwa manusia Papua lebih mengedepankan paham „aku adalah tubuhku‟ (Boelaars, 1992) . Contohnya: ikatan orang tua dengan anak di Papua sangat berbeda dengan yang dialami keluarga-keluarga Indonesia; seorang anak Papua laki-laki yang marah terhadap bapanya bisa saja memukul bapanya, dan ini diterima sebagai tanda kemandiriannya. Atau juga seperti dalam suatu pertemuan antara orang tua murid dengan guru di sebuah SMP, yang sengaja dilaksanakan karena sudah satu bulan tidak ada siswa yang datang ke sekolah sebab mereka suka menghadiri suatu pesta babi yang dirayakan sekali dalam lima tahun di desanya, pihak orang tua mengatakan kepada guru: “kami sudah serahkan anak-anak kami kepada guru-guru, jadi apa saja yang guru ingin lakukan terhadap anak-anak kami, silahkan saja. Kalau anak-anak tidak datang ke sekolah, ya, itu kemauan mereka”(Renwarin, 2007) ; mendengar jawaban demikian, para guru menjadi bungkam dan tak mampu lagi berdalih apapun.

(7)

transformasi pendidikan harus dimulai. Dengan kata lain, sistem pendidikan dasar harus bertumpu pada pengetahuan etnografis suatu masyarakat agar dapat menghantar anak-anak didik ini menjadi semakin manusiawi, semakin terbuka bagi pergaulan masyarakat lebih luas dari komunitasnya, semakin rasional, semakin berwatak sosial, solider, dan bertanggungjawab, dan semakin trampil dalam hidup bersama.

Oleh karena itu salah satu tujuan mendasar dalam proses pembelajaran adalah untuk membudayakan manusia atau memanusiakan manusia. Dalam hal ini, pendidikan memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperlukan guna meningkatkan mutu bangsa secara menyeluruh. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan manusia yang memiliki kemampuan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pendidikan disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Usaha sadar yang dimaksud yaitu bahwa proses pendidikan haruslah senantiasa dalam suasana yang mendukung tujuan dari pendidikan.

(8)

pendidikan adalah perbaikan, perawatan, dan pengurusan terhadap pihak yang dididik dengan menggabungkan unsur-unsur pendidikan di dalam jiwanya, sehingga ia menjadi matang dan mencapai tingkat sempurna yang sesuai dengan kemampuannya. Adapun unsur-unsur tarbiyah „pendidikan‟ tersebut adalah pendidikan rohani, pendidikan akhlak, pendidikan akal, pendidikan jasmani, pendidikan agama, pendidikan sosial, pendidikan politik, ekonomi, pendidikan estetika.

Menurut Maksudin (2006:45) penanaman nilai merupakan rohnya penyelenggaraan pendidikan. Oleh karenanya pola-pola pendidikan hendaknya mengembangkan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang sebagai nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga berfungsi untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan secara spesifik sesuai keyakinan agama. Maka setiap pembelajaran yang dilakukan hendaknya selalu diintegrasikan dengan perihal nilai di atas, sehingga menghasilkan anak didik yang berkepribadian utuh, yang bisa mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai yang diyakini untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup dan sistem kehidupan manusia.

Menurut Suprawito (2010) pendidikan sistem asrama merupakan sistem pembelajaran yang sangat relevan untuk lembaga pendidikan yang bertujuan mencetak para pemimpin serta mencetak aspek kemandirian dan kepribadian yang utuh sesuai dengan visi dan misi dari lembaga yang bersangkutan. Dalam perencanaan dan implementasinya, maka aspek akademis yang terdiri atas kurikulum dan pola pembelajaran yang dilaksanakan harus didukung oleh para instruktur, dosen atau guru yang memiliki tauladan serta kemampuan dalam mengasuh dan membina peserta didiknya dalam jangka waktu yang cukup.

(9)

sistem asrama yaitu: 1) Menghilangkan rasa kesukuan; 2) Mengembangkan potensi sosial; 3) Mengembangkan potensi spiritual atau kerokhanian; 4) Mengembangkan watak, sikap, akhlak, dan kepribadian penghuninya; 5) Mengembangkan kemandirian dan etos kerja keras; 6) Mengembangkan kedisiplinan; 7) Mencetak kader sesuai yang diharapkan; 8) Mengkondisikan siswa atau mahasiswa sebelum belajar lebih lanjut di lembaga pendidikan yang bersangkutan; 9) Mempersingkat waktu studi karena adanya bimbingan belajar dari mahasiswa senior yang sama-sama tinggal di asrama; 10) Efisiensi waktu karena jarak asrama yang dekat dengan tempat sekolah atau kuliah; 11) Memperlancar penggunaan bahasa asing.

Agar pendidikan dengan sistem asrama ini optimal maka Iswanti (2010: 7) mengajukan prasyarat yang harus dipenuhi yaitu: 1) Suasana dan lingkungan asrama yang dibuat aman, nyaman, dan kondusif untuk mengembangkan aspek akademik, sosial, spiritual, akhlak dan kepribadian, kemampuan serta etos kerja keras; 2) Adanya fasilitas yang memadai untuk mengembangkan berbagai aspek tersebut di depan; 3) Tersedianya sumber daya manusia yaitu guru/dosen dan pembina asrama yang bertindak sebagai edukator, motivator, dan fasilitator; 4) Pengelolaan yang baik untuk menunjang perkembangan fisik dan kesehatan, akademik, psikologis, sosial, maupun spiritual; 5) Jarak yang dekat dengan kampus, sehingga efisien dari sudut waktu dan biaya transportasi.

(10)

pendidikan dengan lebih baik dan lebih dari itu untuk turut serta dalam pembangunan itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian yang dilakukan penulis, yakni berupaya untuk mengetahui praktik terbaik di dalam pengelolaan lembaga pendidikan dengan judul penelitian, “Keunggulan Pengelolaan Pendidikan Berpola Asrama Seminari Menengah „Petrus van Diepen‟di Kabupaten Sorong”.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi pengelolaan Seminari Menengah „Petrus van Diepen‟ di Kabupaten Sorong?

2. Bagaimana hasil pengelolaan Seminari Menengah „Petrus van Diepen‟ di Kabupaten Sorong?

3. Manakah keunggulan atau „best practices‟ pengelolaan sekolah berpola-asrama SM PvD di Kabupaten Sorong?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan strategi pengelolaan Seminari Menengah „Petrus van Diepen‟ di Kabupaten Sorong.

2. Mengetahui dan mendeskripsikan hasil pengelolaan Seminari Menengah „Petrus van Diepen‟ di Kabupaten Sorong.

(11)

Kegunaan Penelitian

Walaupun terkait pada konteksnya, sistem sekolah berpola asrama diyakini sebagai alternatif yang menawarkan berbagai macam kelebihan di antara sistem sekolah formal lainnya. Sistem berpola asrama memiliki sejumlah kelebihan, antara lain karena sistem pendidikan di asrama dapat diupayakan sepanjang hari. Pengelola pendidikan asrama dapat membuat berbagai kegiatan dalam kerangka proses pendidikan bagi siswanya. Selain itu, situasi dan lingkungan yang mendukung menjadikan siswa asrama lebih dapat konsentrasi menjalani proses pendidikan di asrama. Namun demikian, belum banyak orang yang melakukan kajian secara ilmiah mengenai sistem sekolah berpola asrama. Penelitian yang dilakukan penulis ini menjadi salah satu upaya untuk mengetahui sekaligus memberikan informasi kepada seluruh stakeholder, baik pembuat kebijakan pendidikan maupun pelaksana pendidikan di lapangan, sehingga hal-hal yang baik dapat dibuat dan merevisi praktik-praktik yang tidak mendukung terwujudnya tujuan proses pendidikan secara efektif dan efisien di dalam pengelolaan Sekolah-sekolah ber-asrama lainnya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan dalam pembuatan kebijakan di masa mendatang, terutama untuk memperbaiki pengelolaan sekolah berpola asrama di dalam upaya untuk mengoptimalkan pembentukan peserta didiknya.

Asumsi Penelitian

(12)

asrama diciptakan bagi siswa untuk menjalani proses pendidikan selama tinggal di asrama. Oleh karena itu, segala kegiatan di asrama diupayakan dalam kerangka proses pendidikan tersebut. Dan selama satu dasawarsa terakhir ini pemerintah propinsi Papua dan Papua Barat secara lantang menegaskan pilihannya untuk menyelenggarakan pendidikan asrama, tetapi jarang diungkapkan bagaimana keterpaduan hidup berasrama itu dengan penyelenggaraan kegiatan pendidikan formal.

Mengingat kedudukan asrama yang penting tersebut, dan menurut hemat kami cocok untuk menjawabi pembangunan di Papua, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengukur keberhasilan pengelolaan pendidikan sistem asrama. Dalam hal ini, penulis mengupayakan untuk menganalisis praktik terbaik (best practices) di dalam pengelolaan Seminari Menengah „Petrus van Diepen‟ Kabupaten Sorong; yang bukan hanya merupakan sekolah yang didukung dengan asrama melainkan kami sebut sebagai sekolah „berpola asrama‟, yaitu terdapat komunikasi dan integrasi antara pengelolaan sekolah formal dan pembinaan di asrama.

Kerangka Konseptual/Teoritik

Standar Nasional Pendidikan Sebagai Basis Manajemen Pendidikan

(13)

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan

peradaban serta kesejahteraan umat manusia

(www.psp.kemdiknas.go.id).

Sementara itu UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu:

a. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;

b. Satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna, diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;

c. Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran;

d. Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan

(14)

Berdasarkan hal tersebut, maka ditetapkanlah tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah sebagai berikut:

a. Meningkatkan iman, takwa, akhlak mulia;

b. Meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi;

c. Meningkatkan sensitifitas dan kemampuan ekspresi estetis;

d. Meningkatkan kualitas jasmani;

e. Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual;

f. Menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun secara efisien, bermutu, dan relevan sebagai landasan yang kokoh bagi pengembangan kualitas manusia Indonesia;

g. Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara;

h. Memperluas akses pendidikan non-formal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan;

i. Meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang bermutu, terampil, ahli dan profesional, mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan dalam pembangunan;

(15)

k. Meningkatkan relevansi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan melalui peningkatan hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh perguruan tinggi serta penyebarluasan dan penerapannya pada masyarakat;

l. Menata sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin efisien, produktif, dan demokratis dalam suatu tata kelola yang baik dan akuntabel;

m. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas manajemen pelayanan pendidikan melalui peningkatan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan; dan

n. Mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mewujudkan Depdiknas yang bersih dan berwibawa.

Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional menyusun PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mewajibkan setiap satuan pendidikan menyusun 8 (delapan) standar minimal wajib yang harus dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Kriteria yang dimaksud meliputi standar Isi, Proses, Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK), Pengelolaan, Sarana dan Prasarana, Pembiayaan, Kompetensi lulusan, dan Penilaian.

(16)

hasil yang diharapkan dalam diri para lulusan. Sedangkan standar penilaian berhubungan erat dengan tolok ukur untuk mengevaluasi kinerja seluruh lembaga pendidikan.

Isi standar ini saling terkait, misalnya standar PTK terkait dengan standar Isi, proses, dan penilaian. Kemampuan pendidik dan tenaga pendidik (Standar PTK) sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang kurikulum yang ingin diajarkan (standar isi), Bagaimana rencana kegiatan pengajaran, pelaksanaan dan penilaian pengajaran (standar proses), cara menilai pengajaran (standar isi), serta apakah tersedia ruangan dan media belajar yang memadai (standar sarana dan prasarana) dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Di samping itu, Sarana prasarana yang dimiliki serta PTK yang ada harus dikelola dengan baik dengan menggunakan dana yang tersedia secara efisien dan tepat sasaran (standar keuangan).

 Standar Isi

Secara garis besarnya standar isi meliputi materi dan tingkat kompetensi minimal yang harus dimiliki peserta didik dalam mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu yang dialokasikan pada sejumlah waktu tertentu. Standar ini meliputi:

a. Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang dapat digunakan oleh

tenaga pendidik dalam menyusun kurikulum pada tingkat satuan pendidikan,

b. beban belajar,

c. kurikulum tingkat satuan pendidikan, serta

d. kalender pendidikan.

(17)

agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah-raga dan kesehatan. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa standar tersebut menekankan keseimbangan bagian kognitif, fisik, mental-rohani terhadap peserta didik, walaupun penekanan setiap aspek tersebut akan berbeda untuk setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Salah satu penamaan istilah pada Permendiknas ini adalah Kelompok Mata Pelajaran. Dilihat dari penamaannya, Permendiknas tersebut cenderung menganut kurikulum dengan mata pelajaran yang berkaitan atau Correlated Subject Curriculum (CSC). Akan tetapi, pada pelaksanaannya kurikulum yang digunakan di tingkat sekolah dasar dan menengah ada dua yakni adalah Kurikulum Mata Pelajaran yang Berkaitan (CSC) dan mata pelajaran terpisah atau Separated Subject Curriculum (SSC). Jenis kurikulum ini disesuaikan dengan jenis sekolah.

CSC banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Misalnya saja untuk tingkat SD dan SMP, mata pelajaran IPS merupakan gabungan dari mata pelajaran ekonomi, geografi, sosiologi dan antropologi. Sementara, di tingkat SMA, kurikulum yang digunakan adalah SSC. Misalnya, pelajaran IPS telah dipisah-pisahkan menjadi beberapa mata pelajaran tersendiri seperti: akuntansi, tatanegara, ekonomi dan seterusnya.

Ada beberapa keuntungan menggunakan CSC menurut Suryosubroto (2006):

a. Pengetahuan murid menjadi terintegrasi

b. Dapat meningkatkan minat siswa akan mata pelajaran karena siswa

dapat melihat keterkaitan antar mata pelajaran

c. Memberikan pemahaman yang luas terhadap siswa

(18)

Standar isi dirancang dimaksudkan sebagai dasar bagi pendidik dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan di sekolahnya. Ada beberapa inovasi kurikulum yang sekarang dikembangkan oleh pemerintah yaitu kurikulum berbasis sekolah, kurikulum berbasis kompetensi dan pendidikan kecakapan hidup. Sukmadinata dkk. (2006) menjelaskan lebih lanjut:

a. Kurikulum berbasis sekolah (School based curriculum)

Kurikulum berbasis kompetensi (Competence Based Curriculum) lebih menekankan pada penguasaan siswa terhadap sejumlah kecakapan/kompetensi. Kompetensi adalah perilaku atau performance yang diperlihatkan seseorang dalam beraktivitas, melaksanakan tugas, menyelesaikan pekerjaan, dan menyelesaikan masalah.

b. Pendidikan Kecakapan Hidup

Pendidikan kecakapan hidup dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa banyaknya siswa lulusan sekolah menengah tidak melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya sehingga banyak dari mereka yang bekerja menjadi pekerja kasar, penjaga toko, atau bahkan menganggur sehingga membebani keluarga atau bahkan mengganggu masyarakat. Oleh karenanya dengan pemberian pendidikan kecakapan hidup mereka dapat mandiri di masyarakat.

Tim Broad Based Education Dinas Pendidikan Nasional merumuskan penjabaran pendidikan kecakapan hidup sebagai:

a. Kemampuan siswa untuk menghadapi masalah secara wajar

b. kecakapan mengatasi masalah yang dihadapi secara kreatif

c. kecakapan dalam mencari dan menciptakan pekerjaan.

 Standar Proses

(19)

menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kecakapan sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Menurut Permendiknas No. 41 tahun 2007, Standar proses merupakan standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar ini meliputi tiga hal yakni perencanaan, pelaksanaan penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran. Isi standar ini merupakan kegiatan dasar yang harus dilaksanakan oleh guru sebelum, selama dan sesudah kegiatan mengajar.

Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran,penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

 Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Guru merupakan salah satu faktor penting penentu keberhasilan siswa. Ada beberapa karakteristik guru yang dapat mempengaruhi siswa, yaitu; kemampuan guru, motivasi guru, dan situasi sekolah dan ruang kelas (Rowan & Chiang & Miller, 1997). Oleh karena itu, dalam Pasal 28 ayat (1) disebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan kualifikasi pendidik usia dini dan dikdasmen minimum diploma empat (D IV) atau Sarjana (S1).

(20)

dorongan guru untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak didiknya. Sementara situasi sekolah dan ruang kelas adalah keadaan di dalam ruang kelas yang membantu guru dalam melaksanakan pekerjaannya misalnya, pengaturan ruang pengajaran, alokasi waktu dan ketersediaan alat bantu pengajaran.

Porter & Brophy (1988) mengidentifikasi ada beberapa karakteristik guru yang efektif yaitu :

a. Mengetahui dengan jelas tujuan pengajarannya

b. Mengetahui isi pengajarannya dan strategi mengajarkannya

c. Mengkomunikasikan terhadap siswa apa yang diharapkan darinya dan mengapa

d. Memanfaatkan bahan pengajaran yang ada dan memberikan waktu yang cukup untuk memperkaya dan memperjelas isinya

e. Memahami siswanya, mengadaptasikan bahan pengajaran sesuai kebutuhan mereka dan mengantisipasi kesalahpahaman terhadap pengetahuan sebelumnya yang mereka miliki

f. Mengajar dengan strategi metakognitif dan memberikan kesempatan bagi dirinya untuk menguasainya

g. Menetapkan tujuan pembelajaran dengan tingkat pemikiran kognitif tingkat rendah dan tinggi

h. Menerima tanggung jawab atas hasil pekerjaan siswanya

i. Berfikir reflektif dan penuh pertimbangan atas kegiatan pengajarannya selama ini.

 Standar Sarana Dan Prasarana

(21)

seterusnya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2007 tentang Sarana dan Prasarana membedakan antara sarana dan prasarana. Sarana merupakan perlengkapan sekolah yang dapat dipindah-pindahkan. Ketentuan minimalnya meliputi „perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, sumber belajar, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lainnya‟. Sementara Prasarana merupakan „fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah‟. Prasarana merupakan dua kata: pra dan sarana. Pra berarti sebelum, jadi prasarana seharusnya ada sebelum diadakan sarana. Prasarana yang minimal dimiliki sekolah sesuai peraturan di atas adalah adanya „lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa‟ (Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2007).

Pasal 42 ayat (1): Setiap Satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Pasal 42 ayat (2): Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tatausaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

(22)

Hal tersebut wajar mengingat waktu yang dihabiskan anak di sekolah lebih banyak pada kegiatan belajar dan bersosialisasi dengan teman dan guru (Sanoff, 1994). Menurut Kepmen No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, waktu yang digunakan untuk tatap muka di tingkat Sekolah dasar dan Menengah berkisar antara 884 untuk kelas 1-3 SD sampai dengan 1026 untuk SMK atau sekitar 15 – 17 % dari dari 5840 jam waktu aktif anak. Akan tetapi nilai 15-17 % masih merupakan jumlah jam minimal anak di sekolah karena belum dimasukkan jam istirahat sekolah.

 Standar Pengelolaan

Pengelolaan sekolah meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program sekolah. Tujuan dari pengelolaan tersebut agar sekolah dapat secara efektif mendayagunakan sumber-sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan mutu siswa yang unggul. Pengelolaan sekolah lebih banyak dipengaruhi oleh kepala sekolah sehingga keberhasilan pengelolaan sekolah tidak lepas dari kepemimpinan seorang kepala sekolah.

(23)

Salah satu inovasi dalam pengelolaan sekolah adalah penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Miarso (dalam Idris, 2007) menawarkan beberapa hal dalam mengelola sekolah dalam kerangka MBS:

1. Manajemen siswa

Siswa merupakan salah satu komponen pokok dalam pendidikan. Sesuai dengan Undang-undang, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karenanya dalam penerimaan sewajarnyalah kalau siswa tidak dibedakan menurut jenis kelamin, agama, ras maupun tingkat ekonomi akan tetapi diseleksi menurut ketentuan umum yang ada atau ketentuan yang dibuat bersama dengan pihak Komite Sekolah.

2. Manajemen kurikulum

Dalam manajemen kurikulum perlu diketahui oleh pendidik bahwa tidak semua materi dapat diajarkan kepada siswa. Yang terpenting adalah siswa diajarkan kemampuan dasar dari tiap mata pelajaran sehingga mengarah ke pencapaian akademik siswa.

3. Manajemen tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

Guru merupakan tenaga yang menyelenggarakan proses belajar mengajar. Oleh karenanya kompetensinya perlu terus ditingkatkan. Sementara itu, tenaga kependidikan merupakan pendukung guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga perannya juga perlu diperhatikan. Oleh karenanya pihak sekolah perlu terus meningkatkan kemampuan baik tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolahnya.

d. Manajemen sarana dan prasarana

(24)

e. Manajemen keuangan

Pengelolaan sekolah akan membutuhkan dana baik dalam pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah maupun dalam kegiatan pengelolaan sekolah yang lain. Akan tetapi dana yang dimiliki sekolah amat terbatas. Oleh karenanya sekolah harus pandai-pandai dalam mengelolanya.

f. Manajemen proses belajar-pembelajaran

Guru perlu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak didik. Oleh karenanya dalam proses belajar mengajar pendidik perlu menempatkan siswa sebagai pusat pendidikan (student centered).

g. Manajemen hasil

Wujud kinerja sekolah dapat dilihat dari hasil pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari lulusan, efesiensi dalam penggunaan dana, produktifitas, pembaharuan yang dilakukan, dan etos kerja pegawainya.

h. Manajemen lingkungan

Sekolah dapat dipandang sebagai organisme yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan geografis, sosial dan teknologi. Sekolah dapat memanfaatkan lingkungan ini untuk mencapai tujuannya.

i. Manajemen dampak

Dampak yang dimaksudkan adalah hasil pendidikan secara jangka panjang dari hasil pembelajaran di sekolah. Dampak ini baik terhadap individu siswa maupun terhadap masyarakat umum.

j. Manajemen sistem

(25)

Beberapa karakteristik sekolah yang berhasil menerapkan KBM:

a. Adanya pengembangan kemampuan guru melalui Kelompok Kerja Guru

b. Pembuatan keputusan demokratis, partisipatif dan transparan

c. Adanya kesadaran guru bahwa orang tua perlu dilibatkan dalam pengajaran di ruang kelas

d. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan baik Komite Sekolah maupun asosiasi orang tua lainnya

e. Kesadaran semua pemangku kepentingan dalam menekankan akan kesejahteraan dan prestasi siswa

Semuanya diharapkan akan mengarah ke tujuan dasarnya yakni meningkatkan prestasi siswa.

 Standar Pembiayaan

Standar biaya yang ditetapkan oleh pemerintah adalah standar biaya operasional yang dikelola oleh sekolah. Pendanaan ini sangat penting mengingat bahwa kegiatan operasional sekolah tergantung dari pendanaan yang dilakukan sekolah. Standar ini tidak mencakup biaya untuk personalia mengingat pemerintah memberikan dana tersendiri untuk pembiayaan ini khususnya gaji guru dan pegawai negeri. Dana untuk gaji guru diberikan tersendiri melalui dana alokasi daerah. Namun dalam Sekolah berpola asrama ini diusahakan agar pembiayaan seluruhnya diatur oleh penyelenggara dan tidak dari pemerintah secara khusus tentang penggajian. Hal ini diatur agar tidak terhalang dengan perasaan dua tuan.

(26)

pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi meliputi: gaji, peralatan, pemeliharaan, dan sebagainya.

Dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan, sekolah memiliki banyak program yang membutuhkan dana tidak sedikit. Oleh karenanya sekolah harus mampu memilah program yang bermanfaat serta layak secara ekonomis. Beberapa analisa keuangan dapat digunakan untuk menilai program tersebut seperti analisis biaya dan manfaat (cost benefit analysis), analisis biaya dan keefektifan (cost effectiveness).

Berkaitan dengan manfaat pendanaan, studi yang dilakukan oleh Bidwell & Kasarda (1975) mengungkapkan ada hubungan antara prestasi siswa dalam membaca dan matematika dengan jumlah dana yang diterima sekolah tersebut. Hal ini memungkinkan sekolah merekrut guru yang lebih berkualitas dan dengan jumlah yang lebih banyak dibanding sekolah yang kurang memiliki dana.

(27)

pengertian biaya pendidikan dalam penelitian ini. Demikian juga biaya penyusutan/depresiasi atau nilai bangunan tidak diperhitungkan dalam penelitian ini, karena sulit diprediksi dan tidak tersedia.

 Standar Penilaian Pendidikan

Pasal 63 ayat (1) “Penilaian pendidikan pada jenjang dikdasmen terdiri atas: a. penilaian hasil belajar oleh pendidik, b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Dalam penelitian ini perhatian terutama diarahkan pada proses pembelajaran atau model kegiatan belajar-mengajar sebagai pokok bahasan atau titik pijakan, sambil memperhatikan juga standar-standar pendidikan lainnya, sejauh standar-standar ini mempengaruhinya.

 Standar Kompetensi Lulusan

Kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. Standar Kompetensi Lulusan tersebut meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran1.

Multiple Intelligence

Howard Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (Paul Suparno, 2004:17). Gardner juga mendefinisikan kecerdasan sebagai potensi

1

(28)

biopsikologi untuk memproses bentuk-bentuk informasi yang spesifik dalam cara-cara tertentu (Gardner, 2006:36).

Multiple intelligence is a natural way to structure learning. All the aspects of the person are taught to, meaning can be extracted, and applications can be made to life. The children in our classrooms are multifaceted and have many abilities.2.

Menurut Gardner arti dari multiple intelligence di sini adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, untuk mendapatkan jawaban yang spesifik dan untuk belajar materi baru dengan cepat dan efisien. Intelligence has the ability to solve problems, to find the answers to specific questions, and to learn new material quickly and efficiently (Gardner, 1993:14). Gardner tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor tes standar semata, namun Gardner menjelaskan kecerdasan sebagai berikut: a) Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata; b) Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; c) Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.

Teori kecerdasan ganda merupakan validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting. Pemakaiannya dalam pendidikan sangat tergantung pada pengenalan, pengakuan dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing. Teori kecerdasan ganda bukan hanya mengakui perbedaan individual ini untuk tujuan-tujuan praktis, tetapi juga menganggap sebagai sesuatu yang normal, wajar dan sangat berharga.

Pada sisi lain Gardner menjelaskan bahwa kecerdasan ganda mempunyai karakteristik konsep sebagai berikut: a). Semua inteligensi itu berbeda-beda; b). Semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang berbeda. Semua kecerdasan dapat dieksplorasi, ditumbuhkan dan

2

(29)

dikembangkan secara optimal; c). Adanya indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan, seseorang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki; d). Semua kecerdasan tersebut bekerjasama mewujudkan aktivitas yang dilakukan individu; e). Semua jenis kecerdasan ditemukan di semua lintas kebudayaan di dunia dan kelompok usia; f). Kecerdasan dapat diekspresikan melalui profesi dan hobi.

Teori ini menyatakan bahwa setiap anak memiliki sedikitnya tujuh kecerdasan ganda. Dalam proses perkembangannya, anak-anak itu kemudian akan memiliki satu atau dua kecerdasan yang dominan. Tidak ada kecerdasan yang berdiri sendiri saat digunakan oleh seseorang. Penggunaan satu kecerdasan akan melibatkan dua atau lebih kecerdasan lain. Berikut ini teori tujuh kecerdasan ganda:

a. Linguistic Intelligence (kecerdasan linguistik)

Linguistik berasal dari bahasa Inggris yang artinya ilmu bahasa. Terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para pakar tentang kecerdasan linguistik, di antaranya adalah Linda Campbell. Menurutnya kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks (Campbell Linda, Bruce Campbell dan Dee Dickinson, 2006:2).

Thomas Armstrong, dalam bukunya 7 Kinds of Smart mengartikan kecerdasan linguistik adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Ini merupakan kecerdasan para jurnalis, penyair, dan pengacara. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat berargumentasi, meyakinkan orang, menghibur atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkannya (Armstrong, 2002:3).

(30)

linguistik mempunyai kepekaan yang tajam terhadap bunyi atau fonologi (Tientje & Iskandar, 2004:38).

Di awal sejarah manusia, bahasa mengubah spesialisasi dan fungsi otak manusia untuk menggali dan mengembangkan kecerdasan manusia. Membaca telah memungkinkan manusia untuk mengetahui objek, tempat, proses dan konsep yang secara personal tidak dialaminya. Kemampuan berpikir melalui kata-kata dapat mengingat, menganalisis, menyelesaikan masalah, merencanakan ke depan dan mencipta sesuatu (Campbell & Campbell & Dickinson, 2006:10).

b. Logical Mathematical Intelligence (Kecerdasan Logika Matematika)

Merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operasi matematis (Tientje & Iskandar, 2004:2). Kecerdasan logis matematis melibatkan keterampilan mengolah angka dan kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Ciri-ciri orang yang cerdas secara logis matematis mencakup kemampuan dalam penalaran, berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis (Armstrong, 2002:3). Pusat kecerdasan logika matematika adalah terletak pada otak kiri.

Kecerdasan logis matematis dapat dilatih dan dikembangkan melalui banyak tantangan dan inovasi dari bermacam-macam teknologi multimedia. Peserta didik dari berbagai tingkat kemampuan dapat belajar dengan efektif dan praktek. Satu cara untuk memperkenalkan pemikiran secara logis matematis dalam bidang pelajaran melalui tema yang digambarkan dari konsep-konsep secara matematis. Pendidik dapat mengatur unit pelajaran berdasarkan tema, dan meminta peserta didik untuk meneliti dengan menggunakan potensi atau kecerdasan yang dimiliki.

c. Visual Intelligence (kecerdasanvisual)

(31)

dua atau tiga dimensi (Armstrong, 2002:20). Kecerdasan visual adalah kemampuan untuk melihat dan mengamati dunia visual secara akurat, dan kemudian bertindak atas persepsi tersebut. Kecerdasan ini melibatkan kesadaran akan warna, garis, bentuk, ruang dan ukuran. Jenis kecerdasan ini sangat menonjol dalam diri pemain catur, navigator, arsitek maupun desainer. Kemampuan kecerdasan visual terlihat pada peserta didik bermain dengan melibatkan imajinasi mereka. Hemisfer kanan atau otak kanan berperan besar dalam mengendalikan kegiatan ini (Gunawan, 2004:234-235).

Peserta didik memiliki kemampuan untuk menggambarkan yang mereka lihat dengan penuh ketelitian. Ciri anak yang memiliki potensi visual menikmati waktu luangnya dengan menggambar dan melukis dengan jelas.

d. Kinesthetic Intelligence (kecerdasan kinestetik)

Kecerdasan kinestetik, menurut Gardner adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan (Suparno, 2004:34). Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan dan kecepatan. Kecerdasan ini sangat menonjol pada diri seorang penari, atlit, pematung, pemusik, aktor, mekanik, dokter; peserta didik dapat diberdayakan dengan menggunakan teknik simulasi, permainan peran, dan drama (Gunawan, 2004:240-241).

Untuk mengoptimalkan kecerdasan kinestetik diperlukan ruang kelas yang kondusif, artinya ruang kelas dalam proses belajar mengajar harus memberikan pemahaman bahwa ruang kelas harus menjadi sebuah hal yang aktif yaitu ruang kelas bisa menjadi sarana bagi pengembangan lingkungan pembelajaran. Para peserta didik lebih banyak berorientasi pada gerakan dalam kebutuhan sebuah proses belajar (Campbell et al, 2006:78-86).

(32)

pelajaran bahasa: peserta didik dapat mempelajari kosakata dengan menggambarkan bagian kata atau ucapan tersebut. Secara individual mereka dapat mengembangkan jari atau tubuh kemudian mempraktikkan di kelas.

e. Musical Intelligence (kecerdasan musik)

Gardner menjelaskan kecerdasan musik sebagai kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Di dalamnya termasuk kepekaan akan ritme, melodi dan intonasi kemampuan memainkan alat musik, kemampuan menyanyi, kemampuan untuk mencipta lagu (Suparno, 2004:36-37).

Terbentuknya keterkaitan terhadap musik bisa terjadi pada usia yang sangat dini melalui aktivitas yang dilakukan. Musik di dalam rumah dan lingkungan awal memberikan dasar yang penting bagi pengalaman bermusik yang di kemudian hari dapat menyatu dengan mata pelajaran sekolah. Karena adanya hubungan yang kuat antara musik dan emosi, musik di ruang kelas dapat membantu menciptakan keadaan emosi yang kondusif bagi pendidikan.

Selama abad pertengahan dan renaissance, musik dianggap sebagai salah satu dari empat pilar pendidikan, sejajar dengan geometri, astronomi dan aritmatika. Upaya mengidentifikasi peserta didik yang memiliki bakat musik atau kecerdasan musik yang berkembang dengan baik adalah persoalan yang kompleks. Kelas musik dapat menciptakan suasana yang positif yang akan membantu peserta didik untuk fokus pada pelajaran (Campbell, et al, 2006:145-147).

f. Interpersonal Intelligence (Kecerdasan Interpersonal)

(33)

Peserta didik yang mempunyai kecerdasan interpersonal tinggi mudah bergaul dan berteman. Dalam konteks belajar peserta didik lebih suka belajar bersama dengan orang lain, lebih suka mengadakan studi kelompok. Kecerdasan interpersonal dapat stimulus melalui pertemuan dan diskusi dan mampu menyelesaikan konflik dengan baik. Peserta didik yang mempunyai kecerdasan interpersonal yang tinggi mempunyai kepekaan untuk memahami orang lain. Pemahaman sosial ini diarahkan ke dalam dirinya untuk disalurkan menjadi sebuah karya. Peserta didik yang dominan interpersonal akan mudah menangkap pelajaran bila dilakukan dengan diskusi kelompok (Tientje, & Iskandar, 2004:39). Kecerdasan interpersonal ini berada pada otak bagian lobus depan dan hemisfer kanan (Armstrong, 2002:13).

g. Intrapersonal Intelligence (Kecerdasan Intrapersonal)

Kecerdasan intrapersonal tercermin dalam kesadaran mendalam akan perasaan, kecerdasan seseorang memahami diri sendiri, kemampuannya dan pilihannya sendiri. Orang dengan kecerdasan intrapersonal tinggi pada umumnya tidak tergantung orang lain dan yakin dengan pendapat diri yang kuat tentang hal-hal yang kontroversial, serta senang sekali bekerja berdasarkan program sendiri dan hanya dilakukan sendirian (Jasmine, 2007: 27-28).

Lingkungan sekolah dapat diorganisasikan untuk memotivasi para peserta didik dengan menciptakan atmosfer yang hangat dan peduli, menggunakan prosedur-prosedur yang demokratis, sehingga sekolah dapat membantu peserta didik merasa diterima dan diakui. Proses belajar mengajar dapat bergantung pada emosi yang mempengaruhi semua proses-proses berpikir merupakan komponen dari kecerdasan intrapersonal. Para pendidik dapat membantu peserta didik dalam pencapaian dan penemuan cara-cara yang positif untuk mengekspresikan emosi mereka.

(34)

Isi 2006:201-217). Pusat kecerdasan terletak pada lobus depan, lobus pariental.

Alur Penelitian

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini, maka kerangka kerja penelitian ini menggunakan Standard Nasional Pendidikan (selanjutnya disingkat menjadi SNP) dan teori Multiple Intelligence. Penggunaan SNP dalam hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mencakup standard isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan, penilaian dan kompetensi lulusan. Kedua teori tersebut akan menyoroti SM PvD dalam aspek pengelolaan sekolah dan pengelolaan asrama. Adapun kerangka kerja dalam penelitian ini secara skematis sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Komplek Perkantoran dan Permukiman Terpadu Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah.. Nomor :

formulir isian Kualifikasi, maka Perusahaan saudara dinyatakan gugur Pembuktian Kualifikasi sena dinyatakan tidak memenuhisyarat untuk diusulkan sebagai Peserta yang

Apabila5audaratidakdapathadirsesuaidenganjadwaltersebutdiatasseftatidakdapatmernperlihatkandataasli formulir isian Kualifikasi, maka Perusahaan saudara dinyatakan gugur Pembuktian

Kritik sosial dapat disampaikan melalui media komunikasi massa, seperti pada media film, karena dalam sebuah film, paling tidak memiliki sebuah pesan tertentu dalam pembuatanya,

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Sinyal Nirkabel WiFi-N yang Baik. Pencahayaan

Hasil penelitian menunjukkan Tingkat Keusangan Literatur yang paling tinggi pada International Journal of Library and Information Science periode 2013- 2015 adalah pada