i
melalui Tokoh Persik)
SKRIPSI
Di ajukan Untuk memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
ARGA FAJAR RIANTO
NPM. 0443010445
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Oleh :
ARGA FAJAR RIANTO NPM.0443010445
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
ii
“KU TUNGGU JANDAMU”
(Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme Melalui Tokoh
Persik)
Oleh :
ARGA FAJAR RIANTO
NPM.0443010445
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 9 Juni 2010
Menyetujui,
Pembimbing Utama Tim Penguji
1. Ketua
Dra. Dyva Claretta, M.Si Dra. Sumardjijati, M.Si NPT. 3 6601 94 0027 1 NIP. 19620323 199309 2001
2. Sekretaris
Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 19641225 199309 2001
3. Anggota
Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0027 1 Mengetahui,
iii
Persik)
Disusun Oleh :
Arga Fajar Rianto
NPM 0443010445Telah disetujui untuk mengikuti ujian skripsi :
Menyetujui, Pembimbing Utama
Dyva Claretta, MSi NPT 3 6601 94 00251
Mengetahui DEKAN
iv
hidup pada seluruh makhluk. Hanya kepadaNya-lah syukur dipanjatkan atas selesainya skripsi ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “REPRESENTASI FEMINISME DALAM FILM “KU TUNGGU JANDAMU” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme melalui Tokoh Persik)”, guna melengkapi syarat wajib tugas akhir dalam menempuh program Strata Satu jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
Dengan selesainya skripsi ini penulis tidak lupa “wajib” mengucapkan terima kasih kepada pihak atas segala bantuan, petunjuk serta bimbingannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan khususnya kepada :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Dra. Dyva Claretta, Msi, selaku pembimbing utama yang memiliki empati terhadap kondisi penulis.
3. Bapak Drs. Koesnarto, Msi, selaku dosen wali yang bersedia ‘direpoti’ untuk masalah penulis selama kuliah di Jurusan Ikom.
v seluruh keluarga besar.
6. Bapak dan Ibu dirumah terima kasih atas pengertiannya dan kerelaannya untuk selalu ‘direpoti’ baik waktu dan segalanya olehku.
7. Buat adekku Nanda dan Gizza dirumah, kalian udah bikin aku tertawa di kala aku stres.
8. My Man : Ubed, Indra, Acank (ayo lulus bareng..), Gayuh (aku akan menyusulmu dapat kerjaan..) , Afwan dan Supri (anak kost wiguna, cayo..), Hendra (suwun yo cak, wis ngancani tiap hari di kampus..), Nanda dan Yoyok (thank’s buat semua sarannya, you all the best..) anak-anak UKM Tenis (Angga, nina, p’ coach dan yang lainnya..) serta untuk semua temen-temen yang tidak bisa aku sebutkan satu-persatu. And finally, untuk mimiku tersayang (aku tidak akan bisa melewati ini semua tanpa kamu..)
Sungguh penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa skripsi ini Insya Allah akan berguna bagi rekan-rekan di Jurusan Ilmu Komunikasi, maka saran serta kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
Surabaya, Juni 2010
vi
Halaman Pengesahan Skripsi...ii
Kata Pengantar...iii
Daftar Isi...v
Daftar Gambar...ix
Daftar Lampiran...x
BAB I Pendahuluan...1
1.1. Latar Belakang Masalah...1
1.2. Perumusan Masalah...16
1.3. Tujuan Penelitian...16
1.4. Manfaat Penelitian...16
1.4.1.Manfaat Akademis...16
1.4.2.Manfaat Praktis...16
BAB II Kajian Pustaka...17
2.1. Landasan Teori ...17
2.1.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa...17
2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial...19
2.1.3. Perfilman Indonesia...22
vii
2.1.5.3. Feminisme Radikal...42
2.1.5.3.1. Feminisme Radikal-Kultural...45
2.1.5.4. Feminisme Sosialis...47
2.1.5.5. Feminisme Post Modern...51
2.1.5.6. Feminisme Eksistensialis...53
2.1.6. Analisis Semiotika...57
2.1.7. Model Semiotika Charles S. Pierce...59
2.1.8. Pendekatan Semiotik dalam Film...61
2.2. Respon Psikologi Warna...66
2.3. Film Ku Tunggu Jandamu...67
2.4. Kerangka Berfikir...69
BAB III Metode Penelitian...71
3.1. Metode Penelitian...71
3.2. Kerangka Konseptual...72
3.2.1. Corpus...72
3.2.2. Definisi Operasional Konsep...74
3.2.2.1. Representasi...74
3.2.2.2. Feminisme...75
viii
BAB IV Hasil Dan Pembahasan...81
4.1. Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data...81
4.1.1. Gambaran Umum Obyek...81
4.1.2. Penyajian Data...82
Karakter Tokoh Persik...84
4.2. Analisis Data...85
4.2.1. Level Realitas...86
4.2.1.1. Kostum dan Make Up...86
4.2.1.2. Setting...90
4.2.1.3. Dialog...90
1. Feminisme Liberal...91
2. Feminisme Marxis...96
3. Feminisme Radikal-Kultural...98
4. Feminisme Sosialis...101
5. Feminisme Post Modern...104
6. Feminisme Eksistensialis...107
4.2.2. Level Representasi...108
4.2.2.1. Teknik Kamera...108
4.2.2.2. Pencahayaan...112
ix
x
3. Gambar 4.2 : Make Up Persik...86
4. Gambar 4.3 : Di Ruang Keluarga...89
5. Gambar 4.4 : Persik memberi tips kepada dua perempuan...90
6. Gambar 4.5 : Persik sedang memberi tips kepada Tamtam...92
7. Gambar 4.6 : Persik sedang bermain kartu dengan Aldi, Sinyo dan Iwan...95
8. Gambar 4.7 : Persik sedang memberi keputusan kepada Rozak...97
9. Gambar 4.8 : Persik beradu mulut dengan Rozak...98
10. Gambar 4.9 : Persik sedang diperebutkan oleh para Tukang Ojek...101
11. Gambar 4.10 : Persik sedang dipandangi oleh beberapa laki-laki...103
12. Gambar 4.11 : Persik menolak pemikiran Rozak...104
13. Gambar 4.12 : Persik dalam bayangan Aldi, Sinyo dan Iwan...107
14. Gambar 4.13 : Persik sedang berjalan...109
15. Gambar 4.14 : Persik di depan Kantor Pengadilan...110
16. Gambar 4.15 : Persik sedang marah...111
17. Gambar 4.16 : Kondisi kompleks siang hari...112
xi
Scene 3 Scene 4(1)
Scene 5 Scene 8
xii
Scene 83 Scene 84(1)
xiii
Penelitian ini didasarkan pada sebuah fenomena mengenai feminisme yang sedang menuai pro dan kontra di masyarakat. Film “Ku Tunggu Jandamu” merupakan film yang berani merekam gerakan emansipasi wanita, dan memproyeksikan melalui tokoh utama perempuannya yaitu Persik. Feminisme yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, telah ada dalam berbagai sisi kehidupan, termasuk dalam bidang dosmetik perempuan itu sendiri. Film adalah media komunikasi massa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana feminisme direpresentasikan dalam film. Perempuan dalam media massa sering digambarkan sebagai korban laki-laki dan sebagai sosok yang pasif.
Feminisme menunjukkan bahwa perempuan dapat setara dengan laki-laki dan juga dapat memiliki kekuasaan terhadap laki-laki. Dimana perempuan yang memiliki kemampuan, keahlian, dan dapat menggali potensi diri dengan optimal, serta dapat menguasai dan tidak diremehkan oleh laki-laki dijadikan sebagai tolak ukur feminisme. Film sebagai komunikasi massa dan kontruksi realitas sosial, serta semiotika dalam film, kemudian konsep feminisme yang digunakan adalah feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal-kultural, feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce dengan Triangle Meaning dan analisis sinema televisi oleh John Fiske melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi.
Data dibagi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting, dan dialog. Sedangkan pada level representasi dianalisis penandaan yang terdapat pada kerja kamera, pencahayaan, dan penataan suara. Pada level ideologi dianalisis dengan menggunakan konsep yang melibatkan hubungan tanda (sign), obyek-obyek (object) dan interpretant, serta mengunakan ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol) yang menjadi penandaan terhadap representasi melalui tokoh Persik.
xiv
menentukan keputusan. Pada feminisme sosialis, Persik sebagai sosok yang mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status. Pada feminisme post modern, Persik sebagai sosok yang menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang harus diterima dan dipelihara, gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. Pada feminisme eksistensialis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis yang selalu dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarkhi.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Film merupakan salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagian kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya massa yang popular. Sebagai media, film tidak bersifat netral, pasti ada pihak-pihak yang mendominasi atau terwakili kepentingannya dalam film tersebut. Film adalah seni yang sering dikemas untuk dijadikan komiditi dagang, karena film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.
Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No. 8 th 1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam padapita seluloid, pita video, yang ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik. (Dewan Film Nasional, 1994 : 15)
Film merupakan gambaran yang bergerak. Film dapat disebut juga sebagai transformasi kehidupan masyarakat, karena dalam film kita dapat melihat gambaran atau cerminan yang sebenarnya, dan bahkan kita terkadang tidak menyadari. Sebagai gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya.
Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan sebagai representasi kenyataan berarti film tersebut membentuk dan menghadirkan kembali kenyataan berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaan. (Sobur, 2003 : 128)
Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan harusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan tidak tersampaikan tapi sebaliknya efek negatif dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonnya.
(http:www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html)
bermanfaat, namun di sisi lain film dapat membahayakan masyarakat. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat seperti kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupannya.
Industri film Indonesia sering mengalami masa jatuh bangun. Terlepas dari masalah krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia, minat penonton terhadap film karya sineas negeri sendiri juga kurang di sukai. Banyaknya film negeri sendiri yang kurang mempertimbangkan isi film dan mutunya membuat penonton lebih tertarik pada film barat.
Perfilman Indonesia mulai bangun dari keterpurukannya sekitar tahun 2000 dengan munculnya film Petualangan Sherina, yang disambut antusias oleh masyarakat. Kemudian disusul dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta yang bergenre percintaan remaja mampu menyedot ribuan animo masyarakat. Sebagai tonggak kebangkitan perfilman Indonesia yang sedang lesu ini AADC mampu memberikan nafas baru pada insan film untuk membuat film yang lebih baik, terbukti dengan kemunculan film-film seperti : Andai Ia Tahu, Rumah Ketujuh, Jelangkung, Ca Bau Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan, Berbagi Suami, dan lain-lain.
anak, dan merawat rumah tangga. Tidak ada tempat bagi perempuan yang tak kawin. Karena itu, orang tua dengan segenap kekuasaan yang dibungkus sopan santun adat tradisi merasa berhak anak-anak perempuan mereka yang masih sangat muda untuk kawin (Subandy, 1998 : 29).
Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, memang perjuangan sepanjang hidupnya. Dapat ditinjau bahwa pada dasarnya perempuan Indonesia mempunyai kesulitan dan pengalaman getir yang sama seperti saudara-saudara di negara-negara terbelakang yang masih mempertahankan patriarki atau struktur sosial yang menempatkan kekuasaan terpusat di tangan laki-laki juga bergantung dengan sistem budaya, ekonomi, sosial dan politik setempat.
Sehingga fenomena tentang perempuan sangat menarik untuk divisualisasikan dalm bentuk karya di film.
Seperti halnya dalam kesenian kita (Film dan Sinetron), selalu menunjukkan posisi perempuan sebagai subjek kehidupan yang mendudukan titik ordinat. Kelemahan ketertindasan, yang menjadi alur cerita yang selalu berkepanjangan, menjadikan perempuan layak untuk dijadikan obyek yang selalu mengeluarkan air mata, berpikir keras untuk melakukan sesuatu yang terindah untuk kaum laki-laki
Mencari tahu bagaimana wajah perempuan dalam perfilman Indonesia bukanlah sesuatu yang susah, karena perempuan merupakan faktor yang mempunyai kedudukan yang penting dalam setiap film. Hal ini seperti penggambaran posisi perempuan dalam perfilman Indonesia pada tahun 2000 sampai sekarang (data ini diambil berdasarkan kebangkitan perfilman indonesia).
monogamy, melahirkan, mendidik anak, dan merawat rumah tangganya. Perempuan dalam perspektif ini harus taat pada laki-laki. (Sobary, 1998:30). Oleh karenanya disadari atau tidak, selama ini perempuan telah dijadikan bahan konsumsi publik, perempuan dalam film sekiranya telah menjadi korban dalam kapitalisme global dari kaum industrialis yang sangat kuat ideologi patriarkinya. Hal tersebut sudah banyak ditemui, dari beragamnya produk media massa dengan memanfaatkan perempuan sebagai nilai jual produknya, ataupun demi mendapatkan rating tinggi. Penggunaan perempuan sebagai objek eksploitasi ini sangat terasa terutama ketika kita menyaksikan tayangan film. Terkait dengan hal tersebut, maka bisa dinilai superioritas laki-laki semakin ditekankan, dengan mempersuasi publik secara terus-menerus melalui konstruksi perempuan pada media tersebut. Hal tersebut menjadikan terbentuknya suatu persepsi tertentu mengenai perempuan dalam superstruktur masyarakat kita. Maka media perfilman selama ini telah sangat berperan terkait dengan pembentukan dana peningkatan image perempuan.
mungkin bersifat subjektif atau menjadi bisa, karena dalam menanggapi nilai pesan dari film dilihat dari tanda, yaitu adanya interaksi antara tokoh-tokoh lainnya yang digambarkan berbeda dengan tayangan pada umumnya, hal itu ditunjukkan melalui adegan yang harus dilakukan.
membuatnya menjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan bagi semua orang ?”, serta “Dan bagaimana dengan perbedaan diantara perempuan ?” Perempuan hanya menginginkan agar pria dan wanita, suami dan istri, mempunyai tingkat kedudukan yang sama di dalam keluarga, tidak ada yang lebih superior, dan bersama-sama saling mengisi. Sehingga tidak ada lagi tindak kekerasan, pelecehan, dan ketimpangan hak serta kewajiban dalam rumah tangga. Perempuan tidak menuntut karier tinggi yang membuatnya merasa bebas dari tanggung jawab mengasuh anak. Perempuan hanya menginginkan sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan mengeluarkan potensi. Perempuan menginginkan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, memilih pekerjaan yang ia sukai (termasuk pekerjaan yang masih dipandang sebelah mata jika dikerjakan wanita, seperti supir bis, petinju, dan sebagainya).
yang akan terus diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan yang egaliter. (www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com).
Dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini, adalah menampilkan sebuah realitas kehidupan perkotaan dengan berbagai masalah sehari-hari tetapi tetap dikemas dalam drama komedi. Diperkuat dengan penokohan-penokohan yang sering muncul di layar kaca, salah satunya peran janda sebagai sentral dan penompang dalam film tersebut. Penggambaran karakter pada tokoh Persik (Dewi Persik) yang sangat ditonjolkan dalam film ini, mengundang perhatian peneliti dan masyarakat pada umumnya, karena dianggap sebagai bentuk sindiran terhadap maraknya gerakan feminisme yang dilakukan perempuan-perempuan di jaman sekarang. Suatu sinema dinamakan feminis menurut seorang Aquarini adalah bahwa tokoh perempuan harus diberikan peran berbeda dari pada stereotipe di “dunia nyata” dalam hal ini, sinema atau film feminis diharapkan dapat menjadi perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas stereotipe peran tradisional berdasarkan jenis kelamin (Aquarini, 2006: 335).
1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan, dalam pendidikan, hak politik, dan ekonomi.
2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom. 3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara
sosial.
4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata, dan juga sebaliknya.
5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan.
6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan.
Untuk konsep feminisme marxis, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :
1. Perempuan sebagai feminis memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
2. Perempuan sebagai feminis berasumsi penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.
konsekuensinya mereka mondiminasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property.
Untuk konsep feminisme radikal kultural, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :
1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi, dimana laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan.
2. Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing.
3. Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan, dan dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu.
4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena semua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”.
5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari tambahan-tambahan sifat maskulin.
Untuk konsep feminisme sosialis, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :
2. Perempuan sebagai feminis mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status.
Untuk konsep feminisme post modern, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :
1. Perempuan sebagai feminis menolak cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki dan cara berfikir feminis yang fanatik / tradisional.
2. Perempuan sebagai feminis menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Untuk konsep feminisme eksistensialis, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :
1. Perempuan sebagai feminis mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri.
2. Perempuan sebagai feminis melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang merenggut kebebasan perempuan.
yang sangat menghibur. Penulis ingin melakukan penelitian dengan mensemiotikkan film tersebut melalui representasi feminis yang mewujud dalam tokoh ini janda yaitu Persik (Dewi Persik). Terdapatnya banyak tanda dan lambang di dalam film drama komedi “Ku Tunggu Jandamu” tersebut adalah faktor yang menarik perhatian untuk diteliti dan mengkaji lebih jauh tentang kekuatan perempuan melalui tokoh Persik (Dewi Persik) sebagai penguat cerita.
Film kedua Findo Purnowo HW, setelah film Tulalit (Komedi Salah Sambung) ini merupakan road movie yang jalan ceritanya berawal dari perceraian antara tokoh utama dalam film ini yaitu Persik (Dewi Persik) dan Rozak. Pada saat itu juga, Rozak kembali mempersulit persik dengan kembali mengajak rujuk akan tetapi persik menolaknya. Perjuangan Persik diawali dengan pengusiran. Sebuah lingkungan apartemen ribut, ibu-ibu menuntut seorang janda muda, Persik, agar minggat karena dia dianggap sebagai biang kekacauan rumah tangga mereka. Suami-suami mereka terobsesi dengan Persik tetapi Persik cuek saja menanggapinya.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, serta dengan menggunakan pendekatan semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce. Terdiri dari tiga term, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant) yang membentuk sebuah
hubungan segitiga. Masing-masing term tersebut akan membentuk sebuah hubungan yang sangat dekat, sehingga salah satu term akan dapat dipahami apabila kita memahami term yang lain. Model elemen Pierce yang berbentuk segitiga tersebut antaar sign, interpretasi dan realitas eksternal sebagai hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu tanda (Sobur, 2004: 41-42). Serta mempresentasikan film “Ku Tunggu Jandamu” dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol). Peneliti memilih model semiotik milik Pierce karena memiliki kelebihan yaitu dapat diterapkan untuk segala macam tanda dan tidak mengkhususkan analisisnya pada studi linguistic. Selain itu pemilihan model semiotik ini menanggapi kritik yang
Tunggu Jandamu” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme melalui Tokoh Persik)”.
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas dapat dikemukakan suatu perumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana Representasi Feminisme dalam film Ku Tunggu Jandamu Melalui Tokoh Persik ?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana representasi feminisme melalui tokoh Persik dalam film “Ku Tunggu Jandamu”.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan studi analisis semiotika film dalam kajian media massa.
1.4.2. Manfaat Praktis
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Film dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film cerita yaitu film menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di
gedung-gedung bioskop atau cinema. Film ini didistribusikan sebagai barang
perdagangan dan dipertunjukkan bagi masyarakat dimana saja (Onong, 2000 :
211). Film jenis ini berbeda dengan film televisi (TV Film) atau sinetron
(Cinema Elektronik). Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film
televisi dibuat secara elektronik (Effendy, 1993 : 201). Namun film dan film
televisi memiliki bahasa sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda
(Sardar dan Loon, 2001 : 156 dalam Sobur). Tata bahasa itu sendiri terdiri atas
semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat
(close up), pemotretan dua (two-shot), pemotretan jarak jauh (long shot),
pembesaran gambar (zoom in), pengecilan gambar (zoom out), slow motion
dan spesial effect.
Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan
hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita,
peristiwa, musik, drama. Lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat
umum (Mc. Quail, 1994 : 13).
Banyak perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang
sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama memandang bahwa
bila dilihat dari isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan atau
refleksi dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu
sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung dan para kru produksi yang ada
di dalamnya. Kedua, film dianggap sebagai refleksi atau pencerminan dari
masyarakat karena di dorong oleh sifat komersialnya agar menyajikan isi yang
dapat menyedot animo khalayak yang sebanyak-banyaknya.
Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat
memandang sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama,
memandang bahwa apabila dilihat dari isi pesannya, film sesungguhnya
merupakan pencerminan (refleksi) dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat
tempat membuat film itu sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung, dan
awak produksi didalamnya (Jowet, 1971 : 74).
Media massa sudah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat,
demikian halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk
masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah
berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas
argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.
Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dan kemudian memproyeksikannya keatas layar. (Irawanto, 1999
2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu
merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan
memproyeksikannya ke dalam layar (Irawanto, 1999 : 13 dalam Alex Sobur,
2004 : 127).
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili
realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk
imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film
menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa yang akan
datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha
menampilkan citra bergerak (moving images) namun juga telah diikuti oleh
kepentingan tentang politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.
Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunikasi
tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi yang
sifatnya universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan
dampak negatif. (Victor C. Mambor)
(http:f/situskunci.tripod.com/teks/victor1.html).
Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger,
seorang sosiologi interpretatif. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah
risalat teoritis utamanya, The Social Construction of Reality (1966). Menurut
Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalitas,
dunia sosial secara obyektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh
Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk
yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain
adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali
terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari
masyarakat (Eriyanto, 2002 : 13).
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan menyatakan realitas
terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi
realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap
berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari
pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki
karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Berger setuju
dengan peryataan fenomologis bahwa terdapat realitas ganda dari pada hanya
realitas tunggal. Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas
kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas
yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan
terpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam
interaksi-interaksi yang terpola (typified) realitas sama-sama dimiliki dengan
orang lain. Akan tetapi, bebeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa
realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan
obyektif manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial
yang obyektif melalui proses eksternalisasi (yang mencerminkan realitas
subyektif). Dalam model yang dialektis, Berger melihat masyarakat sebagai
Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial mempunyai
tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan, ekspeksi diri
manusia ke dalam dunia, baik dalam Negara, mental maupun fisik. Kedua,
obyektifikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif yang
bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai faktisitas yang
berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga,
Internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia obyektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial. Berbagai macam unsur dunia yang telah terobyektifkan tersebut akan
ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran melalui internalisasi, manusia
menjadi hasil masyarakat (Eriyanto, 2002 : 14).
Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi, dan eksternalisasi
merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini, merupakan perubahan
dialektis yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang
membentuk individu-individu; dalam arti manusia dalam produk dari
masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk
hukum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas
obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa
mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh
anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap
menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia
Dengan kata lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang
tuntas. Manusia memiliki peluang untuk mengekspresikan atau secara kolektif
membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya
perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk
manusia yang tidak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau
tidak telah mencoba mengubah masyarakat itu (Poloma, 2000 : 316).
2.1.3. Perfilman Indonesia
Menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini
berjudul ”Lely van Java” yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh
seorang yang bernama David. Ini disusun oleh ”Eulis Ajih” produksi Krueger
Corporation pada tahun 1927/1928. Dan sampai dengan tahun 1930
masyarakat pada waktu itu telah dihidangi film-film berikutnya, yaitu ”Lutung
Kasarung”, ”Si Conat”, dan ”Pareh”. Sampai tahun itu, film yang disajikan
masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang
Belanda dan Cina.
Film bicara yang pertama berjudul ”Terang Bulan” yang dibintangi
Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia
Saerun.
Di penghujung tahun 1941 Perang Asia Timur Raya pecah, dunia film
pun berubah wajah. Perusahaan-perusahaan film, seperti Wong Brothers,
South Pacific, dan Multi Film diambil alih Jepang, ketika pemerintah Belanda
NV Multi Film diambil alih oleh pemerintah nippon dan diganti nama
menjadi ”Nippon Eiga Sha” dibawah pengawasan Sandenbu, yakni Barisan
Propaganda bala tentara Jepang. Sudah tentu yang menjadi kepalanya Jepang,
tetapi wakilnya adalah R.M. Soetarto, seorang Indonesia yang memang
banyak pengalaman sebelumnya.
Yang di produsir Nippon Eiga Sha adalah film-film berita yang diberi
judul ”Djawa Baharu”, kemudian diganti menjadi ”Nampo Hado”, lalu
film-film dokumenter, film-film feature, dan lain-lain.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Maka dunia perfilman pun ikut berubah, Nippon Eiga Sha
diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang dalam serah terimanya dilakukan Ishimoto dari
pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili
Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 itu lahirlah
Berita Film Indonesia atau B.F.I.
Sementara revolusi, B.F.I. terpaksa memindahkan kegiataannya ke
Surakarta dan berjalan dengan baik, meskipun segalanya serba sederhana.
Sementara itu, ketika Pemerintah RI meninggalkan Jakarta dan berpusat
di Yogyakarta, maka gedung, studio dan laboratorium BF3 diduduki tentara
Nica. Sejak itu prasarana tersebut dipergunakan oleh Reegerings Film Bedrijf
untuk juga membuat film dokumenter, film berita dan film cerita,
Pada tahun 1950, setelah kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah Belanda
kepada Pemerintah RI maka Reegerings Film Bedrijf diserahkan kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian diberi nama
Perusahaan Pilem Negara (PPN) dalam lingkungan Kementrian Penerangan
pada waktu itu.
Bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta ke Jakarta,
berpindah pula B.F.I. kembali ke ibukota Negara untuk bergabung dengan
PPN. Namanya pun menjadi Perusahaan Film Negara (P.F.N).
Dengan menginjak dekade lima puluhan itu, dunia perfilman di Indonesia
memasuki alam yang cerah. Tampaklah kegiatan yang dilakukan para sineas
film nasional dalam bentuk perusahaan-perusahaan film. Dengan dipelopori
”Sticoting Hiburan Mataram” yang sudah berdiri sejak jaman revolusi, mulai
dekade itu diikuti oleh Perusahaan Film Nasional (Perfini) dibawah pimpinan
Usmar Ismail dan Persatuan Artis Republik Indonesia (Persari) yang dipimpin
Djamaludin Malik. Ini diikuti pula oleh Surya Film Trading, Java Industrial
Film, Bintang Surabaya, Tan & Wong Brothers Film Corp., Golden Arrow,
Ksatrya Dharma Film dan Benteng Film.
2.1.4. Representasi
Representasi berasal dari kata ”Represent” yang bermakna stand for
artinya berarti atau juga ”act as delegate for” yang bertindak sebagai
perlambang atas sesuatu (Kerbs, 2001 : 456). Representasi juga dapat berarti
lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol
(Piliang, 2003 : 21).
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video,
film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi
makna melalui bahasa. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan
atau gambar) tersebut itulah seseorang dapat mengungkapkan pikiran, konsep
dan ide-ide tentang sesuatu (Juliastuti, 2000).
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan
pandangn baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena
makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi
dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah : makna akan inheren
dalam suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses
representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat
sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti, 2000 : 1).
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi
mental, yaitu konsep tentang ”sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing
(peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang
abstrak. Kedua, adalah bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala kita harus diterjemahkan
dalam bahasa yang ”lazim”, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
sistem ”peta konseptual” kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat rantai koresponden antara ”peta konseptual” dengan bahasa atau
simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu.
Relasi antara ”sesuatu”, ”peta konseptual”, dan ”bahasa atau simbol” adalah
jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan
ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi.
Isi atau makna dari sebuah film dikatakan dapat merepresentasikan suatu
realita yang terjadi. Karena menurut Fiske, representasi merupakan sesuatu
yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam
komunikasi melalui kata-kata, bunyi atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282).
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting
yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat
luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan
berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu
membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang
sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep
yang sama.
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang
bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditunjukkan
dalam media massa (Eriyanto, 2001 : 113). Dalam film, alat-alat representasi
beberapa unsur lain didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991 : 128), makna
film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar
sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar
memindahkan ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai
representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas
berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi dan ada idiologi kebudayaannya
(Irawanto, 1999 : 15).
Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap sebagai
aspek ekonomis dan idiologis. Film senantiasa berkisar pada produksi
representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk berharap (Turner,
1991 : 129). Pentingnya kajian film dalam dunia Marxis terletak pada fokus
film dalam hubungannya dengan produksi, ailh-alih pada konsumsi. Film
sebagai produksi makna melibatkan pembuat maupun penonton film.
Bagaimanapun, hubungan antara film dan idiologi kebudayaan bersifat
problematik, karena film adalah produk dari struktur sosial, politik dan budaya
serta sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut
(Irawanto, 1990 : 15).
2.1.5. Feminisme
Feminisme adalah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa
Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia :
pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur
kehidupannya lainnya. (http://alislamu.com/index.php)
Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa
kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Fakih, 2001 : 99). Sedangkan
feminisme menurut M. Shiddiq, dapat diberi pengertian sebagai suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, dalam keluarga maupun ditempat kerja, serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Menurut
definisi ini, seorang yang mengenali adanya sexism (diskriminasi atas dasar
jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarkhi dan melakukan suatu
tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis.
(http://swaramuslim.co.id//feminis.html)
Dalam sepanjang perkembangannya yang ada di masyarakat di berbagai
belahan dunia, ada banyak jenis gerakan feminisme, diantaranya : feminisme
liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme
post modern, feminisme psikoanalitik dan feminisme eksistensialis.
Untuk mendapatkan gambaran pemahaman perihal gerakan-gerakan
feminisme, berikut ini uraian mengenai pandangan dari berbagai paham
feminisme tersebut :
1. Feminisme Liberal, ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia –demikian menurut
mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional,
begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada
perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia
dalam kerangka ”persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan
lelaki.
Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa mereka
adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor
domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan
menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat
Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita
tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi
pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan
laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.
Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bisa gender.
Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan
mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan
menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi,
maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang
berprespektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam
parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
2. Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini –status perempuan jatuh karena
adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan produksi
yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi
untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mondiminasi
hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan
mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat- borjuis dan
prolentar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat
diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
3. Feminisme Radikal, teorinya mempersoalkan fungsi reproduksi dan
melahirkan, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan
perempuan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, feminis radikal
mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian
4. Feminisme Sosial, pandangannya berusaha menggabungkan teori
feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi
umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang
perlu, tapi tidak akan selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis
sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih
berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status (M. Fakih,
2001 : 93-95)
5. Feminisme Post Modern, penekanannya pada text dimana realitas adalah
text/ intertextual baik berbentuk lisan, tulisan dan image, sehingga yang
menjadi perhatian dari aliran feminisme post modern adalah penolakan
cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki dan cara
berfikir feminis yang fanatik / tradisional. Dalam teori ini dikatakan bahwa
perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara.
Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
6. Feminisme Psikoanalitik, mengatakan bahwa tingkat perkembangan super
ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki, karena mereka tidak
pernah bisa terlalu impersonal, atau terlalu mandiri terhadap emosi
mereka. Perempuan selalu menunjukkan kurang peka terhadap keadilan,
kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan selalu terpengaruh
perasaannya ketika harus melakukan penilaian. Perempuan adalah
makhluk yang tidak lengkap.
7. Feminisme Eksistensialis, perempuan selalu menjadi obyek dari laki-laki
Simon De Beauvoir mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa
perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya
perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap
perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri.
Beauvoir juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi
yang merenggut kebebasan perempuan.
(http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme)
2.1.5.1. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary
Wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women
(1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of Women
dan Harriet Taylor Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women,
kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The
Second Stage.
Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal yang
menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai hak
yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia
berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan
rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas (pembuat
keputusan yang otonom) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri).
Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan. Setiap individu
merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang
adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya
dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil),
Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis
Egalitarian setiap orang yang memasukki pasar terlebih dahulu mempunyai,
keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Apabila perbedaan
tersebut sangat besar maka sulit bagi mereka untuk mengejarnya. Oleh sabab
itu Negara harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat
merata. Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan
kesehatan, kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin.
Bagi Liberallis ini negara sebaiknya memfokuskan pada keadilan ekonomi
bukan kebebasan sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas
setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama mengakumulasi
keuntungannya.
Mereka juga menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan sipil
seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan.
Akan tetapi dalam hal intervensi Negara untuk menjamin hak individu, kaum
Liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik
dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur
Feminis Liberal pada abad 18, pendidikan yang sama untuk perempuan
Mary Wollstonecrat dalam bukunya A Vindication of the Right of Women
dimana perempuan dikekang didalam rumah tidak diberikan kesempatan
untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri soptimal
mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga
bisa mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan
pendidikan yang sama dengan pria.
Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques Rosseau
yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan laki-laki
lebih menekankan rasionalitas & mempelajari ilmu alamiah, ilmu sosial dan
humaniora, karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga
sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan pada emosional,
mempelajari puisi, seni, karena perempuan akan menjadi istri yang penuh
pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar yang ditawarkan
Wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan mendidik laki-laki
dengan mengajarkan kepada perempuan juga rasionalitas sehingga perempuan
mampu menjadi diri sendiri, tidak menjadi mainan laki-laki.
Feminis Liberal pada abad 19 tentang hak sipil dan ekonomi bagi
perempuan dan laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill
bergabung dengan Wollestonecraft menekankan pentingnya rasionalitas untuk
perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan agar
persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan
pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan
berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik
pribadi, serta hak-hak sipil lainnya.
Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya
menekankan pentingnya pendidikan, kemitraan dan persamaan. Mill lebih
menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan
kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki,
menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari
perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang
ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena
perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang
dikehendaki masyarakat.
Feminisme Liberal pada abad 20, The Feminis Mistique yang ditulis oleh
Betty Frieden, bila dibandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh
Wollestone, J S Millsdan Harriet Taylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty
perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa hampa
dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk berbelanja,
mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan keluar yang
ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi dalam
ekonomi keluarga dengan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga dengan
tetap masih mencintai suami dan anak.
Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan seiring.
Baru duapuluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The Second
melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia memberikan jalan
keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan sehingga menyadari
keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga bisa
memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan laki-laki untuk merubah pola pikir
masyarakat pada bidang publik, kepemimpinan, struktur institusi dan privat
suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu ekonomi, rumah dan
anak-anak secara bersama-sama.
Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan
gender yang opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat yang
patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada sifat
feminin seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb. Penentangan
stereotipe tersebut harus melalui pendidikan androgini –yang mempunyai
dimensi laki-laki dan perempuan- baik di sekolah maupun dirumah. Androgini
telah membantu mereka dalam meraih kebebasan, persamaan hak dan
keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin tidak ada lagi
diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan dan menjamin
perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan.
Feminis Liberal sangat penting dalam pergerakan feminis dengan
perjuangannya untuk perempuan di barat untuk meraih persamaan hak,
peniadaan diskriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih
menguntungkan perempuan. Kritik pada Feminis Liberal pertama Jean Bethke
Elshtain dalam bukunya A Polotical Theorist. Mengkritik bahwa semua
mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukkan sifat emosionalnya
untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak boleh
mengadopsi cara berfikir laki-laki. Perempuan mempuyai cara berfikir sendiri
yang bisa dipertahankan. Laki-laki maupun perempuan harus mengadopsi
dua-duanya baik cara berfikir laki-laki maupun perempuan. Kita tidak boleh
mendikotomikan nurture dan nature.
Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok kecil.
Karena dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan
kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa
(komunal), untuk itu penting sekali adanya committe organizer yang bisa
mengorganisasi massa. Kritik kedua dalam Feminist politics dan Human
Nature, Alison Jaggar menfomulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain
jaggar juga mengkritik feminis Liberal bahwa perempuan harus mengadopsi
nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar tidak
boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan
perempuan harus mengadopsi nilai kedua-keduanya secara seimbang. Jaggar
juga mengkritik feminis liberal yang melihat perempuan itu satu, padahal
menurut Jaggar perempuan tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak
bisa melalui pendidikan dan dianggap akan menyelesaikan seluruh persoalan
perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaanya.
Maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula. Kritik
ketiga Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, padahal
menengah dan dari kelompok terpelajar, tetapi juga ada PSK, buruh, ada
perbedaan suku / budaya, agama, sehingga penyebab ketertindasan
perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun
tidak bisa sama. Misalnya : perempuan kulit putih dari kelas menengah tentu
berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah.
(http://www.asppuk.or.id)
2.1.5.2. Feminisme Marxis
Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme
hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan
sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah.
Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah
kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah
persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap
perempuan dalam kapitalisme.
Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang
memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa
untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan
minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan
perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari
mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung yaitu : pemerintah,
Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum
tertindas untuk memenangkan pembebasan adalah dengan melawan untuk
sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk
menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari
minoritas yang haus keuntungan.
Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis
baru ini adalah kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat.
Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas
pekerja-rasisme, seksisme, penindasan bangsa- adalah tak dapat dihindari untuk
menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup
kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan
perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.
Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi
kapitalisme yaitu keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk
menghapuskan semua tanggung jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan
perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam
kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke
generasi lainnya dalam kelas mereka.
Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk
bertahan hidup, mendorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan
dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk
mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang
Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah
tangga, semuanya dilakukan dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk
menggaji perempuan lebih sedikit. Semua perempuan tertindas sebagai
perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas
yang berbeda.
Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasan perempuan
memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan
masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan
menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi, orientasi, dan kepemimpinan
karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati.
Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua
perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam
masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme. Sebuah
gerakan akan menuntut hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka
sendiri legal penuh, kesamaan politik dan sosial, hak untuk merdeka secara
ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara, hak untuk bebas dari
kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.
Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini,
memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam
keluarga, mengambil pertanggung jawaban sosial bagi tugas-tugas yang
tadinya dilakukan dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan
Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau
laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih
akan membiarkan perkembangan penuh hubungan kebutuhan manusia bebas
dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh
masyarakat kelas.
Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bisa meniadakan penindasan
lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia
ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenangkan
masyarakat baru ini dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan
perjuangan pembebasan lain dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan.
Laki-laki sebagai individual maupun kelompok, mempunyai kepentingan
material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai
kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan, pekerjaan
dan upah yang lebih baik. Mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan
buruh domestik gratis, karena situasi ekonomi mereka yang lebih baik mereka
mempunyai akses seksual terhadap perempuan, melalui industri seksual.
Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima
keistimewaan yang melembaga dan keuntungan terhadap perempuan.
Bagaimanapun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan
kelas laki-laki kelas pekerja, karena ia memisahkan kelas pekerja dan
memperlemah kemampuan mereka untuk berjuang dan menggulingkan sang
penindas, yaitu kapitalis. Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja
kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya
mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur
melawan seksisme mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai
anggota kelas berkuasa dahulu.
Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas
pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa
perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan
dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaksetaraan kelas berjalan terus.
Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka
sampai "setelah revolusi". Sebaliknya hubungan yang erat antara penindasan
gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah
perjuangan terpadu juga, "Tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan
perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis".
(WordPress.com)
2.1.5.3. Feminisme Radikal
Pada tahun 1967 dibentuklah “Student for a Democratic Society” (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di
Chicago. Dari sinilah mulai muncul kelompok “Feminisme Radikal” dengan
membentuk “Women’s Liberation Workshop” (Women Lib’s). Organisasi ini
mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum
laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih