• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN TATA RUANG PERMUKIMAN NELAYAN DI DUSUN UJUNG PESISI DESA TUMBU KARANGASEM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKEMBANGAN TATA RUANG PERMUKIMAN NELAYAN DI DUSUN UJUNG PESISI DESA TUMBU KARANGASEM."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERKEMBANGAN TATA RUANG PERMUKIMAN

NELAYAN DI DUSUN UJUNG PESISI

DESA TUMBU KARANGASEM

I KOMANG DODY KASTAMA YASA NIM. 139 186 1005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan juga manfaat penelitian secara singkat dasar permasalahan yang sesuai dengan judul penelitian.

1.1 Latar Belakang

Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dalam suatu permukiman akan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana di dalam permukiman itu sendiri. Semakin tingginya jumlah penduduk secara tidak langsung akan menyebabkan timbulnya beberapa permukiman hunian yang padat. Tinggkat kepadatan penduduk menciptakan berbagai permasalahan baru dalam suatu permukiman. Keadaan tersebut apabila tidak segera ditangani dengan baik berdampak pada masalah kerusakan lingkungan, masalah ekonomi, kesempatan kerja semakin tidak seimbang, dan penataan ruang menjadi tidak teratur.

Berbagai program penataan permukiman dengan metode pendekatan yang beragam telah diimplementasikan oleh pemerintah untuk mengatasi keberadaan permukiman yang padat. Permukiman yang terbentuk dari orang-orang yang masih mempunyai pertalian keluarga lewat perkawinan, akan berbeda dengan bentuk permukiman yang dibentuk oleh karena kesamaan mata pencaharian,

(3)

demikian juga dengan permukiman-permukiman yang pemukimnya didominasi oleh etnis-etnis tertentu akan berbeda pula. (Nurjannah, 2008).

Lingkungan permukiman terbentuk bukan hanya dari hasil kekuatan fisik tetapi juga terkait dengan faktor-faktor sosial budaya yang ada di dalamnya. Rapoport (1969) mengemukakan bahwa faktor utama dalam proses terjadinya bentuk adalah budaya sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik dan ekonomi merupakan faktor pengubah (modifiying factor). Jadi dalam hal ini karakteristik lingkungan adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terbentuknya tata ruang suatu permukiman dan arsitektur permukiman, selain faktor perilaku manusianya. Kawasan permukiman juga akan memiliki keunikan tersendiri yang terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spritualnya yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu daerah atau permukiman.

(4)

terjadinya banjir. Dasar-dasar perencanaan perumahan dan permukiman harus memperhatikan standar sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai.

Dusun Ujung Pesisi merupakan salah satu permukiman nelayan yang ada di Kabupaten Karangasem. Dusun Ujung Pesisi terletak di Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, yang bersebelahan dengan Taman Soekasada Ujung. Keberadaan Dusun Ujung Pesisi ini bersamaan dengan adanya Taman Soekasada Ujung, dimana masyarakat Ujung Pesisi sendiri merupakan penduduk asli Lombok yang dibawa oleh Raja Karangasem pada saat perang samplangan terjadi. Seakan diajaknya dari Lombok oleh Raja Karangasem, masyarakat Ujung Pesisi diberikan tugas sebagai pembantu di Taman Soekasada Ujung. Seiring dengan berjalanya waktu, Raja Karangasem memberikan tanah hak guna pakai di depan Taman Soekasada Ujung tepatnya di wilayah Ujung Pesisi. Keberadaan masyarakat Ujung Pesisi ini semakin berkembang hingga membentuk sebuah Dusun yang disebut dengan Dusun Ujung Pesisi.

(5)

Perkembangan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi sampai saat ini adalah peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Menurut data dari Kepala Dusun Ujung Pesisi, pada tahun 2015 jumlah penduduk Dusun Ujung Pesisi mencapai 256 kepala keluarga dan kurang lebih sekitar 967 jiwa, dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Padatnya jumlah penduduk di Dusun Ujung Pesisi diakibatkan oleh tingkat pertumbuhan penduduk baru dalam suatu keluarga. Hal itu tentunya tidak terlepas dari munculnya permukiman-permukiman baru yang kondisinya tidak teratur antara satu dengan yang lainnya. Penduduk di Dusun Ujung Pesisi ini rata-rata bermata pencaharian sebagai nelayan, sekitar 80% masyarakatnya mencari pekerjaan di laut dan sisanya bekerja sebagai pertukangan dan berkebun.

Selain dari perkembangan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun, perkembangan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi disebabkan oleh dampak fenomena alam yaitu terjadinya Gunung Agung meletus pada tahun 1963 dan abrasi pantai pada tahun 1997 sampai 1999. Dampak dari fenomena tersebut mengakibatkan perubahan tata ruang pada wilayah tepi pantai. Perkembangan permukiman yang terdapat di Dusun Ujung Pesisi secara tidak langsung akan memunculkan jalan-jalan lingkungan baru yang terdapat di dalam permukiman tersebut. Jalan lingkungan yang terdapat di Dusun Ujung Pesisi dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat sekitar dengan bantuan dari para donatur.

(6)

terjadinya perkembangan permukiman nelayan tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat digunakan oleh pemerintah kota sebagai dasar untuk mereview, mengelola, serta memeperbaiki penataan tata ruang yang ada di dalam sebuah permukiman. Selain itu juga dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kondisi fisik ruang suatu permukiman nelayan yang ada di perkotaan, khususnya di Kabupaten Karangasem.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dari penelitian ini yang akan dibahas dalam rumusan masalah yaitu terkait dengan perubahan perkembangan tata ruang permukiman nelayan di Dusun Ujung Pesisi. Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Bagaimana gambaran perkembangan tata ruang permukiman nelayan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem?

b. Bagaimana gambaran perkembangan infrastuktur jalan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem?

c. Apa aspek-aspek yang melatarbelakangi perkembangan permukiman nelayan di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

(7)

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perubahan tata ruang dan perkembangan infrastruktur jalan yang terdapat di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran perkembangan Dusun Ujung Pesisi, serta menganalisis aspek-aspek yang melatar belakangi terjadinya perkembangan yang disebabkan oleh Gunung Agung meletus dan abrasi pantai.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini dimaksud sebagai upaya pendekatan ilmiah dan analisis akademis terhadap kondisi perubahan perkembangan tata ruang permukiman nelayan di Dusun Ujung Pesisi dan bagaimana proses perkembangan infrastruktur jalan tersebut serta aspek-aspek yang mempengaruhi terjadinya perkembangan. 1.4.2 Manfaat Praktis

(8)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP PENELITIAN, DAN MODEL PENELITIAN

Pada bab ini dibahas mengenai kajian pustaka yang merupakan penelitian sejenis berupa tesis ataupun jurnal penelitian terkait dengan penelitian yang dilakukan. Konsep penelitian dijabarkan agar persepsi antara peneliti dan pembaca menjadi sejalan. Selain dari pada itu dibahas juga mengenai landasan teori yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian serta model penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka akan menjelaskan mengenai hasil penelitian sejenis yang terdahulu. Kajian pustaka ini digunakan untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian ganda tentang topik suatu penelitian. Selain dari pada itu juga sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan penelitian selanjutnya. Hasil-hasil penelitian yang digunakan adalah penelitian yang terkait dengan Perkembangan Tata Ruang Permukiman Nelayan di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem secara umum.

(9)

A. Konsep Penataan Kawasan Permukiman Nelayan Ngemplakrejo Sebagai Dampak Pengembangan Kota Pasuruan

Penelitian yang pertama dilakukan oleh Dwi Walojo, Johan Silas, Haryo Sulistiyarso (2010) dengan judul ”Konsep Penataan Kawasan Permukiman

(10)

kebutuhan kerja, di lingkungan Kelurahan Ngemplakrejo dan mendapatkan harga dan kualitas barang yang tidak bersaing; dan (g) pendidikan, di lingkungan Kelurahan Ngemplakrejo yang merupakan pendidikan rendah (SD dan SMP).

B. Pengembangan Infrastruktur Kampung Nelayan Malabero di Kawasan Wisata Pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu

Penelitian kedua dilakukan oleh Mas Syabirin Thaher (2010) dengan judul “Pengembangan Infrastruktur Kampung Nelayan Malabero di Kawasan Wisata Pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu” Kampung nelayan Malabero Kota Bengkulu di hadapkan pada permasalahan rendahnya kualitas fisik lingkungan, salah satunya adalah belum optimalnya kualitas infrastruktur. Hal ini dapat dilihat dari minimnya ketersediaan infrastruktur dasar permukiman yang meliputi; jalan, air bersih, drainase, air limbah, dan persampahan. Sebagai kawasan permukiman yang berada di kawasan wisata pantai, diupayakan jaringan infrastruktur yang ada dipermukiman ini teritegrasi dengan kawasan wisata di sekitarnya. Oleh sebab itu diperlukan suatu arahan pengembangan dalam peningkatan kualitas infrastruktur di kampung nelayan Malabero agar dapat mendukung keberlangsungan kegiatan penduduk kampung nelayan Malabero sekaligus menjadi kawasan permukiman yang menunjang keberadaan wisata pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan arahan pengembangan infrastruktur di kampung nelayan Malabero agar dapat mendukung keberadaan wisata pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu.

(11)

secara optimal dan menunjang keberadaan wisata pantai yang ada disekitar permukiman mereka, untuk mewujudkannya diperlukan suatu arahan pengembangan infrastruktur yang mencakup kriteria yang harus dicapai. Adapun arahan pengembangannya meliputi pengembangan infrastruktur jalan, air bersih, drainase, air limbah, dan persampahan. Kondisi yang diharapkan dari permukiman nelayan ini yaitu lingkungan hunian masyarakat nelayan yang mandiri dan berkualitas, infrastruktur permukiman yang memadai sekaligus mempunyai nilai-nilai estetika dan ciri khas lokal sehingga mendukung keberadaan pengembangan kawasan wisata pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu.

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka untuk mencapai tujuan penelitian dan studi ini diperlukan pendekatan kajian secara garis besar dengan metoda deskriptif. Sebelum hasil survey dianalisis harus dimasukkan dalam suatu kerangka tabel yang akan diolah, kemudian dibuat pengkodean hasil survey berdasarkan masalah-masalah yang dilihat.

C. Identifikasi Pengembangan Permukiman Nelayan Oleh Neighborhood Upgrading And Shelter Sector Project (NUSSP)

Penelitian ketiga dilakukan oleh Marly Valenti Patandianan & Zenaide Toban (2011) dengan judul “Identifikasi Pengembangan Permukiman Nelayan Oleh

(12)

desa dan kampung termasuk permukiman nelayan (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project–NUSSP). Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan rumah, prasarana dan sarana permukiman nelayan di Permukiman Nelayan Sicini yang dilakukan oleh NUSSP. Simpulannya bahwa pengembangan permukiman nelayan oleh NUSSP telah berhasil membuat permukiman yang lebih layak huni dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai. Namun keberhasilan ini tidak disertai dengan sosialisasi ataupun pendekatan kepada masyarakat untuk menjelaskan pentingnya pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah ada. Prasarana yang dibangun oleh NUSSP cukup lengkap, yang belum tersedia hanyalah tambatan perahu, pemecah gelombang dan drainase. Sarana yang berhubungan dengan kegiatan utama nelayan seperti sarana perdagangan dan pabrik es juga belum ada. Sebagian besar sarana yang telah tersedia telah memenuhi standar permukiman nelayan yaitu sarana kesehatan, pendidikan, sarana sosial dan tempat penjemuran ikan. Prasarana dan sarana yang telah ada perlu dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya untuk mendukung kegiatan nelayan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara pihak NUSSP, pemerintah dan masyarakat dalam menjaga dan memelihara prasarana dan sarana yang telah ada.

D. Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya

(13)

fasilitas penunjang ke arah kota metropolitan. Akan tetapi, disisi lain kondisi alam kota masih bersifat natural. Sejauh ini kondisi kota, khususnya pola perumahan di wilayah pantai Timur adalah bersifat rural, dan umumnya mempunyai kegiatan tambak/nelayan. Dengan mengetahui kondisi ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan bagi Surabaya menuju kota metropolitan sesuai dengan fungsi dan perannya. Ruang lingkup ini mengidentifi kasikan permukiman nelayan Kalisari, yang meliputi lokasi kawasan studi, kedudukan kawasan studi terhadap struktur tata ruang kota, dan intensitasnya serta prasarana dan sarana lingkungan. Karakteristik kependudukan, meliputi demografi, tingkat perekonomian, dan kondisi sosial ekonominya. Tahap analisis meliputi analisis kondisi penggunaan lahan, analisis kependudukan, analisis kondisi bangunan, serta analisis aspek pembiayaannya.

E. Penataan Permukiman Nelayan di Kawasan Pasar Sentral Raha

(14)

NO PENELITI WAKTU JUDUL PENELITIAN METODE

Rasionalistik Hasil: terdapat aspek sosial dan ekonomi yang menjadi indikator kekuatan-keuatan dinamis Kota Pasuruan belum sepenuhnya mampu memberi pengaruh positif yang

maksimal pada kawasan permukiman nelayan Ngemplakrejo Relevansi: Penataan kawasan permukiman

Deskriptif Hasil: mencapai tujuan penelitian dan studi ini diperlukan pendekatan kajian secara garis besar

Kualitatif Hasil: melahirkan perubahan sudut dan cara pandang, peningkatan ekonomi, perbaikan perumahan dan hunian berikut lingkungannya.

Kualitatif Hasil: mengetahui kondisi ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan bagi Surabaya menuju kota metropolitan sesuai dengan fungsi dan perannya.

Relevansi:perencanaan permukiman nelayan

5 Shamsul Bahri 2010 Penataan Permukiman Nelayandi Kawasan Pasar Sentral Raha(Studi Kasus : Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna

Kualitatif

Hasil: menemukan arahan penataan sekitar kawasan Pasar Sentral Raha, khususnya di Permukiman Nelayan Laino Pantai, sesuai dengan Misi KSNPP dengan pendekatan perlindungan dan perbaikan kualitas dan keseimbangan lingkungan permukiman di Kota Raha.

Relevansi: penataan permukiman nelayan

(15)

2.2 Landasan Teori

Landasan teori merupakan suatu teori-teori yang digunakan sebagai dasar ataupun batasan dalam melakukan suatu penelitian. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. Menurut definisi ini teori mengandung tiga hal. Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya (Singarimbun, 2006).

2.2.1 Teori Perkembangan Ruang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), "perkembangan" adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata "berkembang" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian, kata "berkembang" tidak saja meliputi aspek yang berarti abstrak seperti pikiran dan pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret. Dalam Dictionary of Psychology (1972) dan

(16)

Yunus dalam bukunya Manajemen Kota Perspektif Spasial (2005) menjelaskan bahwa ditinjau dari prosesnya, perkembangan ruang (spasial) secara fisik tampak ada dua macam bentuk perkembangan yang dapat diidentifikasi, yaitu: proses perkembangan spasial secara horizontal, dan proses perkembangan spasial secara vertikal. Pada penelitian ini perkembangan ruang yang akan dibahas secara horizontal, oleh sebab itu pembahasan mengenai teori perkembangan ruang hanya sebatas perkembangan ruang secara horizontal.

Proses perkembangan ruang secara horizontal menjadi penentu bertambah luasnya area kekotaan dan makin padatnya bangunan bagian dalam kota, yang secara definitif dapat dirumuskan sebagai suatu proses penambahan ruang yang terjadi secara mendatar dengan cara menempati ruang-ruang yang masih kosong, baik di daerah pinggiran kota maupun di daerah-daerah bagian dalam kota. Perkembangan keruangan secara horizontal terdiri dari proses perkembangan spasial sentrifugal (centrifugal spatial development) dan proses perkembangan spasial secara sentripetal (centripetal spatial development). Dua macam proses perkembangan ini menandai bentuk perkembangan kota-kota di negara-negara berkembang.

A. Proses Perkembangan Spasial Sentrifugal

(17)

faktor-faktor penarik yang terdapat di daerah pinggiran kota terhadap penduduk dan fungsi-fungsi, makin cepat pula proses bertambahnya ruang perkotaan.

B. Proses Perkembangan Spasial Sentripetal

Merupakan suatu proses penambahan bangunan perkotaan yang terjadi di bagian dalam kota (the inner parts of the city). Proses ini terjadi pada lahan-lahan yang masih kosong di bagian dalam kota, baik berupa lahan yang terletak di antara bangunan-bangunan yang sudah ada, maupun pada lahan-lahan terbuka lainnya.

2.2.2 Teori Struktur Ruang Kota

Teori struktur ruang dan kota dalam penelitian terkait proses terbentuknya sebuah kota berdasarkan struktur pada umumnya dan faktor-faktor daya tarik dan pendukung. Pada teori ini juga disampaikan pola keruangan kota menurut para ahli.

(18)

Kota dapat dipandang sebagai suatu wilayah di permukaan bumi yang sebagian besar arealnya terdiri atas benda-benda hasil rekayasa dan budaya manusia, serta tempat pemusatan penduduk yang tinggi dengan sumber mata pencaharian di luar sektor pertanian. Pengertian tersebut juga berarti suatu kota dicirikan oleh adanya prasarana perkotaan, seperti bangunan yang besar-besar bagi pemerintahan, rumah sakit, sekolah, pasar, taman dan alun-alun yang luas serta jalan aspal yang lebar-lebar.

Berikut ini beberapa definisi kota menurut pandangan para ahli. Menurut Bintarto (1979), kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alamiah dan non alami dengan gejala gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah sebelumnya.

Pendapat ahli lainnya seperti yang dikemukakan Dickinson yang dikutip Jayadinata (1992), kota adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Menurut Ray Northam (1979), menyebutkan bahwa kota adalah suatu lokasi dimana kepadatan penduduk lebih tinggi dibandingkan dengan populasi, sebagian besar penduduk tidak bergantung pada sektor pertanian atau aktivitas ekonomi primer lainnya, dan pusat kebudayaan administratif dan ekonomi bagi wilayah di sekitarnya.

(19)

dalam perundang-undangan. Kedua, kota sebagai suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan, dan berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pemukiman.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas kaitannya dengan pusat kegiatan, maka kota merupakan daerah pusat keramaian karena di dalamnya berbagai pusat kegiatan manusia (di luar pertanian) terdapat di sini, seperti pusat industri baik industri besar sampai industri kecil, pusat perdagangan mulai dari pasar tradisional sampai regional dan pusat pertokoan, pusat sektor jasa dan pelayanan masyarakat seperti rumah sakit, pusat pendidikan, pusat pemerintahan, pusat hiburan dan rekreasi, dan lain sebagainya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota itu sendiri dan daerah-daerah di sekitarnya.

Berbicara tentang kota sebagai pusat kegiatan, ada yang dinamakan inti kota atau pusat kota (core of city) merupakan pusat dari kegiatan ekonomi, kegiatan politik, kegiatan pendidikan, kegiatan pemerintahan, kegiatan kebudayaan dan kegiatankegiatan lainnya. Akan tetapi, daerah seperti ini dinamakan Pusat Daerah Kegiatan (PDK) atau Central Business Districts (CBD). PDK berkembang dari waktu ke waktu sehingga meluas ke arah daerah di luarnya, daerah ini disebut Selaput Inti Kota (SIK).

Jenis kegiatan ekonomi di kota pada dasarnya terdiri dari:

(20)

B. Kegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yang memproduksi dan mendistribusi barang dan jasa untuk keperluan penduduk kota sendiri. Kegiatan ekonomi dasar merupakan hal penting bagi suatu kota, yaitu merupakan dasar agar kota dapat bertahan dan berkembang. Mengenai pengelompokan dan penyebaran jenis-jenis kegiatan di kota sangat bergantung pada beberapa faktor yang meliputi: ketersediaan ruang di dalam kota, jenis-jenis kebutuhan dari warga kota, tingkat teknologi yang diserap, perencanaan kota dan faktor-faktor geografi setempat.

Pusat-pusat kegiatan di kota sering mengalami perubahan daya tarik. Keadaan ini sebagai akibat dari pasang surutnya penduduk serta perkembangan kotanya sendiri. Keramaian yang ada di kota tergantung pada beberapa faktor, antara lain: kemampuan daya tarik dari bangunan dan gedung-gedung tempat menyalurkan kebutuhan sehari-hari, tingkat kemakmuran warga kota dilihat dari daya belinya, tingkat pendidikan dan kebudayaan yang cukup baik, sarana dan prasarana dalam kota yang memadai, pemerintahan, dan warga kota yang dinamis. Mengingat fungsi kota sebagai pusat dari segala kegiatan manusia dan suatu yang komplekan, maka penataan ruangnya selain harus tersedia juga harus melalui suatu perencanaan yang matang agar pertumbuhan dan perkembangannya teratur, dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

(21)

dalam tata ruang kota diantaranya perkantoran, pemukiman, pendidikan, pasar, pertokoan, bioskop, rumah sakit. Jalur-jalur jalan yang menghubungkan kota dengan tempat-tempat lain diluarnya berupa jalan kabupaten, jalan propinsi dan jalur-jalur jalan dalam kota yang berfungsi seperti urat nadi dalam tubuh manusia yaitu mensuplai segala kebutuhan ke setiap sudut kota. Taman-taman kota, alun-alun, taman olahraga, taman bermain dan rekreasi keluarga. Areal parkir yang luas dan memadai. Tempat-tempat tersebut selain harus layak, mudah dijangkau, juga harus memikirkan kemungkinan pengembangannya.

Pertumbuhan dan perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor alamiah dan faktor sosial wilayah, serta kebijakan pemerintah. Faktor alamiah yang mempengaruhi perkembangan kota antara lain lokasi, fisiografi, iklim dan kekayaan alam yang terkandung di daerah tersebut. Termasuk dalam faktor sosial di antaranya kondisi penduduk dan fasilitas sosial yang ada. Kebijakan pemerintah adalah menyangkut penentuan lokasi kota dan pola tata guna lahan di wilayah perkotaan tersebut.

(22)

Semakin tinggi tingkat ekonomi dan kebutuhan warga kota akan fasilitas kota maka semakin beragam penggunaan tanah di kota.

Kenampakan penggunaan ruang perkotaan adalah keanekaragaman fungsi tanah sebagai cerminan dari keanekaragaman kebutuhan warga kota terhadap berbagai jenis fasilitas kehidupan. Penggunaan tanah akan menjadi salah satu karakter kota, sebagai hasil perpaduan antara kondisi fisik seperti topografi, morfologi, hidrografi, dan kondisi sosial seperti sejarah, ekonomi warga kota, budaya, pemerintah dan keterbukaan kota terhadap daerah lainnya. Segmentasi ruang dalam kota sangat tergantung ke pada lokasi kota, karakteristik fisik, kebijakan penggunaan lahan, dan kondisi sosial ekonomi penduduk.

Pengunaan tanah di kota, umumnya dapat dilihat dari kenampakan yang ada. Di mana kota merupakan pusat dari segala kegiatan manusia, sehingga penggunaan tanahnya jauh lebih beragam dibandingkan dengan di desa. Semua kegiatan ekonomi kota memerlukan tanah. Dengan demikian, sebagian besar dari tanah di kota digunakan untuk kegiatan industri dan jasa, disamping untuk tempat tinggal.

(23)

Struktur ruang kota dapat diukur berdasarkan kerapatan bruto dan kerapatan netto. Kerapatan bruto bagi industri adalah ukuran yang meliputi bangunan gudang, tempat parkir, tempat bongkar muat, rel kereta api dan jalan di dalam kawasan pabrik, ruang terbuka (taman), ruang yang belum terpakai, dan sebagainya. Kerapatan netto bagi industri adalah ukuran yang hanya meliputi bangunan pabrik, gudang, tempat parkir dan tempat bongkar muat saja. Kedua ukuran ini digunakan untuk menganalisis penggunaan tanah yang sedang berlaku; untuk perencanaan, akan lebih mudah jika hanya digunakan kerapatan bruto yaitu untuk tanah yang kosong.

Berbagai fasilitas dan beragamnya aktivitas masyarakat kota, telah membentuk struktur kota yang berbeda dengan struktur di desa. Menurut Johara (1986), segala yang dibangun di daerah kota, baik oleh alam seperti bukit, gunung dan sebagainya, maupun oleh manusia seperti gedung-gedung, rumah, pabrik dan sebagainya, biasanya yang tersembul dari permukaan bumi dianggap sebagai suatu struktur ruang kota.

Struktur ruang wilayah perkotaan yang terdapat di negara-negara lain ternyata memperlihatkan bentuk-bentuk tertentu. Indonesia khususnya di Pulau Jawa, hampir semua kota di pusatnya selalu ada alun-alun, mesjid agung, penjara, pamong praja atau kantor pemerintahan, dan pertokoaan.

(24)

wilayahnya sehingga kota berbentuk tidak teratur dan menimbulkan kesan sebagai kota yang tidak terencana.

Banyak para ahli telah berusaha mengadakan penelitian mengenai struktur ruang kota yang ideal, di antaranya adalah teori memusat (konsentris) menurut Ernest W. Burgess dalm Yunus (2000) yang meneliti struktur kota Chicago. Teori konsentris menyatakan daerah kekotaan dapat dibagi dalam enam zone, yaitu:

A. Zone pusat daerah kegiatan (PDK/CBD), terdapat pusat pertokoan besar (Dept. Store), gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran, dan lain sebagainya.

B. Zona peralihan atau zone transisi, merupakan daerah yang terikat dengan pusat daerah kegiatan. Penduduk zone ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonominya. Dikategorikan sebagai daerah berpenduduk miskin. Dalam rencana pengembangan kota daerah ini diubah menjadi lebih baik untuk komplek industri manufaktur, perhotelan, tempat parkir, gudang, apartemen, dan jalan-jalan utama yang menghubungkan inti kota dengan daerah luarnya. Pada daerah ini juga sering ditemui daerah slum atau daerah pemukiman penduduk yang kumuh.

(25)

menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar.

D. Zone pemukiman kelas menengah (residential zone), merupakan komplek perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan daerah klas ploretar. E. Zone penglaju (commuters), merupakan daerah yang memasuki daerah

belakang (hinterland) atau merupakan daerah batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran kota.

Selain teori konsentris, juga terdapat teori sektoral (sector theory) menurut Homer Hoyt dalam Yunus (2000). Menurut teori ini struktur ruang kota cenderung berkembang berdasarkan sektor-sektor daripada berdasarkan lingkaran-lingkaran konsentrik. PDK atau CBD terletak di pusat kota, namun pada bagian lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang bentuknya menyerupai irisan kue bolu. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor geografi seperti bentuk lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana komunikasi dan transportasi.

Gambar. 2.1

(26)

Menurut Homer Hoyt, kota tersusun pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri atas: bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan. Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut, yaitu bagian sebelah menyebelahnya terdapat sektor murbawisma, yaitu tempat tinggal kaum buruh. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas.

2.2.3 Teori Proses Pemekaran dan Pertumbuhan Kota

Teori proses pemekaran dan pertumbuhan kota dalam penelitian terkait bagaimana proses pemekaran dan pertumbuhan permukiman yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi berdasarkan teori.

Suatu kota atau bagian kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Menurut Herbert dalam Yunus (2000) makna perkembangan pemukiman menyoroti eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati

Gambar. 2.2

(27)

dari kenampakan kota secara fisik antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik dari daerah hunian maupun bukan hunian dan juga bangunan individual. Proses perembetan kenampakaan fisik kota ke arah luar disebut ‘urban sparwl’. Adapun macam ‘urban sparwl’ sebagai berikut:

A. Tipe Perembetan Konsentris (concentric development/ low density continous development)

Dikemukan pertama kali oleh Harvey Clark (1971) menyebut tipe ini sebagai 'low density, continous development'. Tipe perembetan paling lambat, berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang kompak. Peran transportasi terhadap perembetaannya tidak begitu besar.

B. Tipe Perembetan Memanjang (ribbon development/ linear development/ axial development)

Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan arel perkotaan di semua bagian sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di koridor jalan yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Kawasan di sepanjang koridor merupakan tekanan paling berat dari perkembangan (Yunus, 2000)

Gambar. 2.3 Perembetan Konsentris

(28)

Tipe ini perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang koridor jalan.

C. Tipe Perembetan Meloncat (leap frog development/ checkkeroard development)

Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar lingkungan, sebab tidak efisien dan tidak menarik. Perkembangan lahannya berpencar secara sporadis dan tumbuh ditengah-tengah lahan kosong, sehingga cepat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga alih fungsi lahan pertanian akan lebih cepat terjadi.

Gambar. 2.4 Perembetan Linear Sumber : Yunus, 2000

(29)

2.2.4 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)

Teori kutub pertumbuhan atau sering disebut teori pusat pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh Perroux (1995). Teori ini menyatakan bahwa pembangunan sebuah kota atau wilayah merupakan hasil proses dan tidak terjadi secara serentak, melainkan muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda. Tempat atau lokasi yang menjadi pusat pembangunan atau pengembangan dinamakan kutub pertumbuhan. Dari tempat inilah selanjutnya proses pembangunan berlanjut ke wilayah-wilayah di sekitarnya.

Teori ini menjelaskan perkembangan ekonomi kota dalam suatu wilayah yang luas dengan adanya sumber daya yang timpang. Teori ini juga ditopang oleh alat-alat ukur ekonomi sehingga dapat menjelaskan implikasinya pada perencanaan dan bersifat dinamis. Teori ini berkembang sejak tahun 1950-an dan cukup mampu menjelaskan perkembangan di negara maju maupun berkembang. Konsep-konsep yang ada dalam teori ini meliputi :

a. Prospulsive Industry, industri sebagai pemicu perkembangan.

b. Circular and Cumulative Causation, proses yang memungkinkan akumulasi perkembangan.

c. Multiplier Effect, menurut teori ini ketimpangan dapat diatasi oleh tricling down process dan spread effect.

(30)

sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (wilayah belakangnya). Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut dan penduduk datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinannya tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut.

Menurut Tarigan (2005) tidak semua kota dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.

2.2.5 Teori Infrastruktur

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), infrastruktur dapat diartikan sebagai sarana dan prasarana umum. Sarana secara umum diketahui sebagai fasilitas publik seperti rumah sakit, jalan, jembatan, telepon, sanitasi dan lainnya. Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg, 2000).

(31)

pengusaha. Menurut Chapin (1995), guna lahan harus memiliki akses terhadap jaringan umum dan struktur umum serta pelayanan umum. Struktur umum di sini disebut dengan infrastruktur, fasilitas umum atau terkadang disebut sebagai fasilitas pelayanan umum. Secara umum istilah infrastruktur biasanya berhubungan dengan air bersih, fasilitas air limbah, jalan raya, dan transportasi umum, sementara fasilitas umum berhubungan dengan sekolah, taman, dan fasilitas lain yang sering dikunjungi masyarakat. Terkadang fasilitas umum dapat digunakan secara bergantian dengan infrastruktur untuk menunjukan segala sesuatu yang terkandung dalam bangunan umum baik secara fisik maupun sistem pelayanannya. Penggunakan istilah fasilitas umum (communal facility) guna mempersatukan keduanya, infrastruktur dan struktur dan tempat di mana pelayanan masyarakat dilakukan.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Infrastruktur merupakan fasilitas-fasilitas publik yang diadakan oleh pemerintah maupun swasta merujuk pada sistem fisik seperti jaringan jalan, air bersih, drainase, telekomunikasi, listrik, limbah, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi.

Elemen dasar lingkungan perumahan menurut Dirjen Cipta Karya, secara garis besar dapat dikelompokkan dalam infrastruktur fisik, antara lain:

A.Jaringan jalan

(32)

bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air serta di atas permukaan air (Adji Adisasmita, 2012:79). Dalam suatu kota, pola jaringan jalan biasanya terbentuk melalui proses yang sangat panjang dan merupakan bagian atau kelanjutan dari pola yang ada sebelumnya (Rinaldi Mirsa, 2011:54).

B. Sistem drainase

Sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interseptor drain),

saluran pengumpul (colector drain), saluran pembawa (conveyor drain),

saluran induk (main drain) dan badan air penerima (receiving waters)

(Grigg, 2000).

(33)

C.Jaringan air bersih

Jaringan air bersih di permukiman merupakan suatu prasarana yang sangat penting untuk menunjang keberlangsungan suatu permukiman tersebut untuk berkembang. Pesatnya pembangunan serta tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan permukiman dengan prasarana yang mendukungnya. Sejalan dengan meningkatnya permukiman, maka kebutuhan untuk air bersih pun meningkat, baik dalam kualitas maupun kuantitas (Kodoatie, 2002).

D.Pengelolaan sampah

Sampah adalah sesuatu yang sudah tidak dapat digunakan lagi, tidak terpakai, tidak disenangi dan sesuatu yang sudah dibuang yang berasal dari aktifitas manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (American Public Health Association, 1976). Sampah adalah limbah yang bersifat padat yang berasal dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak menganggu lingkungan (Tri Nalarsih, 2007).

Pengelolaan sampah atau limbah padat pada dasarnya dibagi menjadi dua sistem, yaitu sistem on-site dan off-site (Istiawan, 1996). Sistem on-site

(34)

E. Pengelolaan air limbah

Kriteria air limbah domestik yang berasal dari pusat permukiman dan non permukiman antara lain: a) Air mandi, air cucian, air dapur merupakan air limbah grey water b) Air jamban/water closet (WC) merupakan air limbah black water.

Kriteria pengumpulan dan pengaliran air limbah dibedakan menjadi: (1) sistem sanitasi terpusat (off site system) di mana air limbah yang dikumpulkan dari sambungan rumah adalah dari air mandi, cuci, dapur dan jamban. Pengumpulan air limbah domestik dari sambungan rumah dialirkan ke pipa pengumpul dengan kecepatan aliran minimum 0,6 m/det dan maksimum 3 m/det. Air limbah dari pipa pengumpul dialirkan ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL); (2) sistem sanitasi setempat (on site system)

dimana pengumpulan air limbah (Black Water) melalui kakus ke bangunan tangki septik dan cubluk. Pengaliran air limbah (grey water) langsung ke saluran drainase kota, atau diresapkan ke tanah. Pengumpulan/penyedotan lumpur tinja dengan truk tinja untuk dibawa ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).

2.2.6 Teori Permukiman

(35)

tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Jadi perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.

Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di dalam kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan, dan rekreasi.

(36)

sebagai pribadi maupun dalam hubungan sosial) dan tempat yang mewadahi manusia yang berupa bangunan (baik rumah maupun elemen penunjang lain). Menurut Constantinos A. Doxiadis (1968: 21-35) ada lima elemen dasar permukiman:

a. Nature (alam) yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah dan difungsikan semaksimal mungkin.

b. Man (manusia) baik pribadi maupun kelompok.

c. Society (Masyarakat) bukan hanya kehidupan pribadi yang ada tapi juga hubungan sosial masyarakat.

d. Shells (rumah) atau bangunan dimana didalamnya tinggal manusia dengan fungsinya masing-masing.

e. Networks (jaringan atau sarana prasarana) yaitu jaringan yang mendukung fungsi permukiman baik alami maupun buatan manusia seperti jalan lingkungan, pengadaan air bersih, listrik, drainase, dan lain-lainnya.

(37)

A.Pengertian Permukiman Nelayan

Menurut Khadija (1998) arti kata nelayan terbagi dalam dua pengertian nelayan yaitu :

a. Nelayan sebagai subjek/orang; merupakan sekelompok masyarakat manusia yang memiliki kemampuan serta sumber kehidupan di sekitar pesisir pantai.

b. Nelayan sebagai predikat/pekerjaan; suatu sumber penghasilan masyarakat yang berkaitan erat dengan sektor perikanan dan perairan (laut dan sungai).

(38)

Kawasan permukiman nelayan ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai untuk kelangsungan hidup dan penghidupan para keluarga nelayan. Kawasan permukiman nelayan merupakan merupakan bagian dari sistem permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses terhadap kegiatan perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan jaringan transportasi.

Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang Cipta karya tentang karakteristik permukiman nelayan adalah :

a. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan permukiman yang memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan penghuninya.

b. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki akses yang tinggi terhadap kawasan perairan.

c. Sekitar 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya yang terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan.

d. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.

(39)

maupun persyaratan lingkungan. Dari berbagai parameter tentang permukiman dan karakteristik nelayan dapat dirumuskan bahwa permukiman nelayan merupakan suatu lingkungan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang mendukung, di mana masyarakat tersebut mempunyai keterikatan dengan sumber mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

B.Karakteristik Kehidupan Masyarakat Nelayan

a. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Sosial

Hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat nelayan adalah akibat interaksi dengan lingkungannya. Adapun ciri-ciri sosial masyarakat nelayan sebagai berikut:

 sikap kekerabatan atau kekeluargaan yang sangat erat, dan

 sikap gotong royong/paguyuban yang tinggi.

Kedua sikap telah banyak mewarnai kehidupan masyarakat nelayan yang pada umumnya masih bersifat tradisional. Lahirnya sikap ini sebagai akibat dari aktivitas nelayan yang sering meninggalkan keluarganya dalam kurun yang waktu cukup lama, sehingga timbul rasa keterkaitan serta keakraban yang tinggi antara keluarga-keluarga yang ditinggalkan untuk saling tolong menolong.

(40)

b. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau dari Aspek Budaya

Beberapa hal yang telah membudaya dalam masyarakat nelayan adalah kecenderungan hidup lebih dari satu keluarga dalam satu rumah atau mereka cenderung untuk menampung keluarga serta kerabat mereka dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan sering dijumpai jumlah anggota keluarga dalam satu rumah melebihi kapasitas daya tampung, sehingga ruang gerak menjadi sempit dan terbatas. Dampaknya itu pula, mereka cenderung untuk memperluas rumah tanpa terencana.

Masyarakat nelayan pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menghambat kemajuan nelayan itu sendiri, antara lain sulitnya bagi pemerintah untuk memberi bantuan dalam bentuk penyuluhan maupun modernisasi peralatan (Mubyarto, 1985). Hal ini juga berpengaruh dalam lingkungan permukimannya, karena rendahnya pengetahuan akan pentingnya rumah sehat yang mengakibatkan mereka menganggapnya sebagai suatu kebutuhan.

c. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Ekonomi

(41)

bertani dan berdagang maupun pekerjaan atau kerajinan dalam mengelola hasil laut lainnya.

2.2.7 Teori Dampak Perubahan Eksternal dan Internal

Suatu kota dikembangkan berdasarkan pada potensi yang dimiliki oleh kota tersebut. Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan suatu kekuatan yang terbentuk akibat kedudukan kota dalam konstelasi regional atau wilayah yang lebih luas, sehingga memiliki kemampuan untuk menarik perkembangan dari daerah sekitarnya. Faktor internal adalah kekuatan suatu kota untuk berkembang dan ditentukan oleh keuntungan letak geografis (fungsi kota). Beberapa faktor internal yang memepengaruhi perkembangan kota adalah sebagai berikut.

A. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul jalur transportasi, dipertemukan jalur tranfortasi regional atau dekat pelabuhan laut.

B. Tapak merupakan faktor-faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi.

(42)

D. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakteristik fisik dan sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan adan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awal tumbuh secara organik.

E. Unsur-unsur seperti jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota kearah tertentu.

2.3 Konsep Penelitian

Konsep merupakan dasar pemikiran atau pemikiran awal yang dijadikan sebagai patokan untuk melakukan suatu penelitian, sehingga nantinya tidak menyimpang dari ruang lingkup penelitian yang dilakukan. Konsep juga digunakan untuk menyamakan persepsi dari peneliti kepada pembaca mengenai topik penelitian. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

(43)

A. tersedianya rencana pembangunan permukiman di daerah yang aspiratif dan akomodatif, yang dapat diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D);

B. tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terselenggaranya pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya;

C. terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;

D. tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman di daerah sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan Pemerintah serta bagi berbagai pihak yang akan terlibat/melibatkan diri.

Kaitan antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang adalah sebagai berikut :

(44)

ruang untuk berbagai penggunaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan, dan efisiensi agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni.

Dalam Kawasan perkotaan, alokasi ruang untuk perumahan dan permukiman merupakan yang terbesar dibandingkan dengan alokasi penggunaan lainnya. Lingkup pembangunan perumahan dan permukiman senantiasa mencakup aspek penataan ruang dan aspek penyediaan prasaranadan sarana lingkungan. Dalam mendukung pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta mewujudkan visi dan misi pembangunan perumahan dan permukiman yang tertuang dalam KSNPP (Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman), maka telah disiapkan Pedoman Penyusunan RP4D. 2.3.2 Infrastruktur Permukiman

(45)

sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun demikian sebagian dari mereka masih terikat dengan daratan.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang dipilih sesuai dengan permasalahan penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah dimana melihat perkembangan yang terjadi pada permukiman nelayan yang ada di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem yang telah di kemukakan pada rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran perkembangan yang terjadi baik itu secara tata ruang maupun sistem infrastruktur jalan dan apa aspek-aspek yang melatar belakangi terjadinya perubahan tersebut. Lebih jelas mengenai model penelitian akan dijelaskan pada Diagram 2.1 berikut.

(46)

2.5 Kerangka Berfikir

(47)

Gambar

Tabel 2.1 Kajian Pustaka
Gambar. 2.1
Gambar. 2.2
Gambar. 2.3
+2

Referensi

Dokumen terkait

a. 7 Tahun 1983 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000, dan terakhir di ubah kembali

Kelompok Negara Non-ASEAN yaitu Amerika Serikat, Belanda dan India secara parsial memiliki bentuk kerjasama yang berbeda dengan konsep yang dibangun oleh ASEAN

Pada tingkatan madrasah, kepala madrasah sebagai figur dalam pendorong perkembangan dan kemajuan madrasah. Perlu disadari bahwa warga madrasah maupun masyarakat

5.. Fakultas Teknik Universitas 13rawijaya. yang niemrlrk~ dimensi relatif'kecil. Penclitlan in1 membahas tentan? bagaimana rnerancalig dan mernbuat antena biqued

Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya, pada penelitian yang dilakukan Prasad tahun 2007 yang meneliti kadar antioksidan pada 100 pasien

Berdasarkan pasal 3 ayat (1) Undang-undang No..13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia, maka Bank Indonesia berkedudukan serta berpuusat di ibukota Republik Indonesia dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada, serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan

Upaya dan langkah-langkah peran ASEAN dalam penanganan konflik laut China Selatan terkait perebutan kepulauan Spartly dan Paracel sudah dilakukan oleh ASEAN denagn