• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten Kota di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten Kota di Jawa Barat"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA

DI JAWA BARAT

KAHFI HERIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul : “Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Februari 2009

Kahfi Heriyanto NRP H251064015

(3)

ii

ABSTRACT

KAHFI HERIYANTO. The Strategy of Regency/Municipality Economic Development of West Java Province. Guided by NUNUNG NURYARTONO and DEDI BUDIMAN HAKIM.

The study is carried out to identify income disparities among regencies/municipalities of West Java Province and the influencing factors to formulate economic development strategy and program. Calculated Theil index disparity based on Bakorwil group and rich-poor area incomes, which is further decomposed into disparity indexes between and within groups, it is known that the disparities of incomes between regency/municipality groups are larger than those within groups. The percentage of Theil index shows the disparity among Bakorwil groups during 1995-2006 is 97.1% on average, the aggregate of disparity within the Bakorwil groups: Purwakarta, Bogor, Priangan, and Cirebon is 2.9%. The theil index of rich-poor area groups is 98.8% on average, and the aggregate of disparity within rich-poor groups is 1.21%. The high level of disparity among Bakorwil groups is influenced by industrialization and agglomeration stimulating the centralization of economic activities in certain regency/municipality. Thus, disparity among rich-poor area groups shows that economic development opportunity and the availability of infrastructures and facilities have been the magnet for more economic activities. The estimation results of panel data regression model using fixed-effect method, demonstrates that the factors of inflation, local development expenditures, and

investment give positive impacts to the income disparities among

regencies/municipalities. Inflation plays its role as economic stimulator. The significant impact of local expenditures for development are improving private investment and fulfillment of community basic needs. Inadequate and uneven investments among regencies/municipalities have given impact to the income disparities among regencies/municipalities. Centralization of economic activities has stimulated rapid growth and development of regency/municipality. It is expected that regencies/municipalities with low rate income and left behind in development would be in convergence process heading for deterioration of disparity, when the even distribution of regency/municipality income takes place. Selected strategies to be formulated are inflation control, increase of local development expenditures, and investment development through spatial dimension approach and cooperation among regencies/municipalities.

(4)

iii

RINGKASAN

KAHFI HERIYANTO. Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan DEDI BUDIMAN HAKIM.

Potensi daerah dan kekayaan alam Jawa Barat dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti kualitas sumber daya manusia dan sumber modal dalam rangka memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi penentu kebijakan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat daerah kabupaten/kota. Akibatnya kondisi ekonomi antar kabupaten/kota secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan cenderung terdapat kesenjangan. Bertolak dari hal tersebut kajian ini akan membahas permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat serta strategi yang dapat dirumuskan dalam rangka peningkatan kinerja pembangunan kabupaten/kota. Kajian bertujuan untuk mengetahui bagaimana kesenjangan kondisi kesenjangan pendapatan, identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya dan usulan strategi pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat. Sehingga, akan dapat membantu pemerintah daerah dalam rangka pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan daerahnya.

Untuk mengukur besarnya kesenjangan pendapatan, digunakan Indeks Theil

sebagai alat analisis mengukur entropi dari ketidakmerataan. Theil’s Coefficient of

Concentration telah menjadi indeks yang sangat popular untuk menganalisa distribusi spasial. Indeks ketimpangan entropi theil mengukur ketimpangan secara rinci dalam sub unit geografis yang lebih kecil, yang berguna untuk mengetahui kecenderungan konsentrasi geografis. Untuk mengukur kondisi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat maka dihitung kesenjangan antar kelompok/group dan dalam kelompok/group yang dalam kajian ini mendekomposisi Jawa Barat menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dan kelompok daerah kaya-miskin. Hubungan

kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya dibentuk dalam suatu model regresi data panel.

(5)

iv dengan rata-rata 98,80%. Sedangkan sisanya sebesar 1,21% merupakan agregat dalam kelompok daerah kaya dan miskin. Hal ini menunjukan bahwa peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur dan regulasi yang terdapat di suatu kabupaten/kota kaya telah menarik lebih banyak aktivitas ekonomi. Sehingga, menjadikan kabupaten/kota tersebut lebih berkembang dan mempunyai pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota yang tergolong memiliki fasilitas infrastruktur dan regulasi yang kurang mendukung

Analisis statistik terhadap hubungan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dengan faktor-faktor : inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan investasi menunjukan bahwa inflasi dan investasi swasta tidak secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, dan variabel pengeluaran pembangunan pemerintah secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, hal ini memperkuat uji serempak terhadap model bahwa variabel inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan investasi secara bersama-sama mempengaruhi variabel Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota. Hasil estimasi parameter model regresi data panel memperlihatkan bahwa sekitar 64,5% variasi disparitas pendapatan dapat dijelaskan oleh variasi inflasi, pengeluaran pembangunan Pemda, dan investasi swasta. Sedangkan, 35,5% variasi disparitas pendapatan dapat dijelaskan oleh faktor lain. Peningkatan dari tiap variabel penjelas mempengaruhi pergerakan disparitas pendapatan. Hubungan positif dari masing-masing koefisien tersebut, yaitu : setiap kenaikan 1% inflasi akan menaikan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota sebesar 0,0008 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus, bila terjadi kenaikan 1% pengeluaran pembangunan pemerintah daerah maka akan menaikan disparitas sebesar 0,0244 diasumsikan variabel lain ceteris paribus, dan kenaikan 1% investasi swasta akan menaikan disparitas pendapatan sebesar 0,0012 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus.

Inflasi mempengaruhi upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi

kabupaten/kota di Jawa Barat. Pengaruh inflasi yang tidak nyata terhadap kesenjangan pendapatan memperlihatkan peranan inflasi di Jawa Barat yang bergerak lambat, sehingga menjadi stimulator dan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pembangunan pemerintah menjadi pendorong pembangunan kabupaten/kota dan mempunyai efek pada peningkatan penanaman modal swasta di kabupaten/kota yang bersangkutan dan terpenuhinya pasokan kebutuhan pokok masyarakat. Dengan adanya penstabil otomatis maka dapat mengurangi konjungtur perekonomian. Demikian halnya dengan kondisi disparitas pendapatan yang terjadi pada perekonomian antar kabupaten/kota di Jawa Barat, di mana dengan pengeluaran pembangunan akan berpengaruh menciptakan kestabilan melalui kegiatan yang diperuntukkan menciptakan

infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti :

pembangunan/pemeliharaan jalan, jembatan, rumah sakit, Puskesmas, dan sekolahan, guna memberikan akses dan dukungan peningkatan perekonomian. Untuk itu perlu diupayakan agar Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat merealokasi anggaran pembangunan dari bidang di luar pendidikan dan kesehatan ke sektor pembangunan infrastruktur yang akan memperbaiki akses bagi masyarakat hingga akhirnya berkontribusi positif meningkatkan pendapatan kabupaten/kota. Realokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan,

(6)

v satunya dapat ditempuh dengan merealokasi belanja aparatur pemerintah dan pengawasan.

Perumusan strategi dan program dalam rangka mengatasi permasalahan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat menggunakan metode kerangka logis, yaitu melalui proses identifikasi-identifikasi yang melibatkan keterwakilan kepentingan-kepentingan dari para pemangku kepentingan di daerah. Berbagai macam kepentingan yang muncul dalam proses identifikasi tersebut diselaraskan hingga tersusun aspek-aspek kegiatan yang terpadu dan melibatkan kerjasama antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Strategi yang diusulkan bertujuan untuk meningkatkan pembangunan perekonomian sehingga dapat menekan tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Strategi-strtaegi tersebut adalah : strategi pengendalian inflasi, strategi peningkatan alokasi dana pembangunan, dan strategi peningkatan investasi swasta. Implementasi strategi menjadi program diwujudkan melalui jalinan kerjasama dengan melihat aspek spasial kabupaten/kota yang menjadi pusat aktivitas perekonomian. Sehingga penjabaran kegiatan diarahkan pada kerjasama antar kabupaten/kota yang akan menjadikan beban lebih ringan dan tercapainya skala pembangunan yang lebih besar. Sehingga proses konvergensi sebagai upaya daerah yang memiliki perekonomian rendah untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah yang sudah maju/tinggi dapat terwujud.

Kata Kunci : disparitas pendapatan, indeks theil, inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, investasi, model regresi data panel, konvergensi.

(7)

vi © Hak cipta milik IPB milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(8)

vii

STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA

DI JAWA BARAT

KAHFI HERIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Magister Manajeman Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

ix

Judul Tesis : Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota

di Jawa Barat

Nama : Kahfi Heriyanto

NRP : H251064015

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.AEc

K e t u a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(11)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulisan panjatkan kepada Allah SWT, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2008 ini ialah kesenjangan pendapatan antar daerah, dengan judul Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Bapak Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.AEc selaku pembimbing, Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor beserta segenap tim sekretariat dan pengajar yang telah mencurahkan ilmu dan pengetahuan, Dr. Komara Djaja beserta jajarannya di Setmenko Bidang Perekonomian yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi, Para pegawai di Bagian Perpustakaan Badan Pusat Statistik dan Subbagian pengkajian peraturan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua di Tegal dan Sungai Penuh, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(12)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 4 Agustus 1976 dari ayah Ali Muchson dan ibu Ismiati Nurhikmah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1994 Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Palembang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk STAN-Prodip Keuangan dengan Jurusan Kebendaharaan Negara. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada STIA-LAN Bandung jurusan Administrasi Negara pada Tahun 1998.

(13)

xii 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi ……….... 2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Masalah Kemiskinan ………. 2.3 Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi ………...

2.8.1 Penelitian mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional ………... 2.8.2 Penelitian mengenai Ketimpangan Regional dan Krisis Ekonomi ...

III. METODE KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran ………..………. 3.2 Lokasi Dan Waktu Kajian ……….. 3.3 Model Pengumpulan Data ………. 3.4 Model Analisis Data ……… 3.4.1 Analisis Indeks Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota …. 3.4.2 Analisis Model regresi Data Panel ……… 3.5 Metode Perancangan Strategi dan Program ………

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi ………... 4.2 Kependudukan dan Sumber Daya Manusia ………. 4.3 Sarana Perhubungan Wilayah ……..………. 4.4 Sosial Ekonomi ………. 4.5 Potensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pembangunan

(14)

xiii V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Wilayah Jawa Barat ….. 5.1.1 Kelompok Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil)

Provinsi Jawa Barat ……… 5.1.2 Kelompok Daerah Kaya dan Miskin Provinsi Jawa Barat ………… 5.2 Model Estimasi Tingkat Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota …

5.2.1 Uji Stasioner Data ………... 5.2.2 Uji Pemilihan Model, Uji Serentak (Uji F), Uji Individual (Uji t) ……. 5.2.3 Interpretasi Model Regresi ……… 5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Perekonomian

Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat) ….………. 5.3.2 Inflasi Regional ……… 5.3.3 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah ……… 5.3.4 Investasi Swasta ……….

VI. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM

6.1 Perancangan Strategi dan Program dengan Logical Framework

Approach (LFA) ………. 6.2 Perumusan Strategi Peningkatan Perekonomian Kabupaten/Kota

di Jawa Barat .……….. 6.2.1 Startegi Pengendalian Inflasi ……… 6.2.2 Strategi Peningkatan Alokasi Dana Pembangunan ……….. 6.2.3 Strategi Peningkatan Investasi Swasta ………... 6.3 Perencanaan Program Peningkatan Perekonomian Kabupaten/Kota

di Jawa Barat ………... 6.3.1 Program Pemantauan dan Evaluasi Inflasi ……… 6.3.2 Program Kerjasama antar Kabupatten/Kota di Jawa Barat ………. 6.3.3 Program Peningkatan Investasi Swasta ……….

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perbedaan Pencapaian Tingkat Perekonomian Regional Kabupaten/Kota

di Jawa Barat (berdasarkan PDRB per Kapita Tahun 2005) ……….…

2 Hubungan beberapa Komponen PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006 (berdasarkan Angka Pertumbuhan) ……….

3 Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pembangunan Ekonomi

Kabupaten/Kota di Jawa Barat ………....

4 Proses Pelaksanaan Metode Logical Framework Approach ………...

5 Perkembangan Jumlah Penduduk Jawa Barat Tahun 2002-2007 ……...…..

6 Perkembangan Inflasi Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat) Tahun 2002-2006 (%) ………....

7 Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok berdasarkan

kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat Tahun 1995–2006 .………

8 Tren Kesenjangan dalam Kelompok atas Kelompok Daerah Kaya & Miskin Jawa Barat Tahun 1995–2006 ……..………...

9 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan rata-rata PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1997 ………..

10 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan rata-rata PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2006 ………..

11 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan rata-rata PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kurun Waktu 2001-2006 …..

12 Tren laju Inflasi beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat mewakili Region terdekat ……….

13 Rata-rata Proporsi Pengeluaran Pembangunan terhadap PDRB Pemda Kab/Kota di Jawa Barat Periode 1995-2006 ………

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rasio Jumlah Anak Usia Sekolah dengan Jumlah Sekolah di Jawa Barat Tahun 2007 ……….

2 Kontribusi Sektor-Sektor Lapangan Usaha terhadap Perekonomian Jawa Barat Tahun 2006-2007 ………

3 Jumlah Tenaga Kerja dan Sektor Pekerjaan di Jawa Barat Tahun 2003, 2005, dan 2007 ……….………

4 Porsi Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2004-2006 ……….………..

5 Nilai Investasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2006 ………

6 Koefisien Theil Kelompok Wilayah di Jawa Barat Tahun 1995-2006 ……..…

7 Koefisien Theil Kelompok Daerah Kaya & Miskin di Jawa Barat Tahun 1995-2006 ……….

8 Hasil Uji Secara Individual (uji t) ………

9 Hasil Pendugaan Parameter Model Disparitas ………...

10 Pergeseran Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar

(perbandingan Tahun 1997 dengan 2006) ………

11 Perbandingan persentse Dana Pembangunan dalam rangka Kebijakan Pertumbuhan dan Pemerataan Perekonomian ………

25

27

28

32

33

35

38

41

41

44

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Berlaku

Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Rp000.000) ...

2 Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (jiwa) ..

3 Data Inflasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (%) ………..

4 Jumlah Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Rp000.000)….………

5 Jumlah Investasi Swasta (PMA & PMDN) Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Rp000.000) ….………

6 a. Hasil Perhitungan Indeks Entropi Theil Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Kelompok/Group Bakorwil)……… b. Hasil Perhitungan Indeks Entropi Theil Kabupaten/Kota di Jawa Barat

Tahun 1995-2006 (Kelompok/Group Kaya-Miskin)………..

7 Output EViews 5 Model Regresi Data Panel Pendekatan Fixed Effect ……..

8 Logical Framework Matrix Perencanaan Kegiatan Peningkatan

Pembangunan Perekonomian Regional (Kabupaten/Kota) Jawa Barat …… 75

76

77

78

79

80

81

82

(18)

1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin

sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan yang dilaksanakan melalui

serangkaian program dan kebijakan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang

dimiliki. Di tingkat daerah, pembangunan ekonomi merupakan suatu proses

antara Pemerintah Daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya

yang ada. Pemerintah Daerah dengan sektor swasta membentuk pola kemitraan

yang menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan

ekonomi (Arsyad,1999).

Tambunan (2001) menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan

(dekade 1980 hingga 1990) terjadi perbedaan laju pertumbuhan ekonomi

regional yang cukup besar antardaerah sehingga mengakibatkan disparitas

dalam distribusi perekonomian antardaerah. Kemudian ketika faktor-faktor

produksi di daerah semakin dioptimalkan maka perbedaan laju pertumbuhan

output antar daerah cenderung menurun. Sehingga terjadi pertumbuhan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) di setiap daerah seiring dengan berjalannya

waktu. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan PDRB dan ukuran kesenjangan

atau disparitas perekonomian merupakan fungsi dari waktu. Hipotesa Kuznet

yang dikenal dengan hipotesa U terbalik (inverted U hypothesis Kuznets)

menunjukan bahwa tingkat kesenjangan dan pertumbuhan pendapatan (PDRB)

mempunyai hubungan yang berbentuk U terbalik seiring dengan waktu yang

berjalan (Todaro,2003).

Pembangunan Jawa Barat yang berkesinambungan telah meningkatkan

perekonomian masyarakat. Hasil-hasil pembangunan yang dirasakan

masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 25 kabupaten/kota di Jawa

Barat yang tidak terlepas dari kerja keras secara bersama-sama antar komponen

pemerintah dan masyarakat. Potensi daerah dan kekayaan alam Jawa Barat

dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai

kendala seperti kualitas sumber daya manusia dan sumber modal dalam rangka

memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi penentu kebijakan baik di

(19)

2

ekonomi antar kabupaten/kota secara umum belum mencapai tingkat

pemerataan pendapatan yang sama dan cenderung terdapat kesenjangan.

Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat

haruslah menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan.

Isu kesenjangan perekonomian (pendapatan) antardaerah berkaitan erat dengan

usaha pertumbuhan ekonomi dan harmonisasi sosial. Bila antar kabupaten/kota

terjadi tingkat pendapatan tertentu yang menunjukan kenaikan kesenjangan

maka akan berimplikasi pada kondisi kesejahteraan dan tingkat pertumbuhan

ekonomi suatu kabupaten/kota. Dari uraian di atas menghantarkan kajian pada

pokok permasalahan yang berupaya menguraikan kesenjangan pendapatan

diukur dari PDRB antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat, dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi dan program sebagai

jawaban atas permasalahan tersebut.

I.2 Perumusan Masalah

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2005 menunjukan bahwa tingkat

perekonomian 25 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat bervariasi. Variasi

tersebut direpresentasikan dengan angka PDRB perkapita tanpa industri minyak

dan gas menurut harga berlaku 25 kabupaten/kota yang berbeda-beda. Gambar

1 menunjukan titik-titik sebaran besarnya PDRB perkapita yang dicapai tiap-tiap

kabupaten/kota di Jawa Barat pada Tahun 2005.

Sumber: BPS diolah.

(20)

3

PDRB perkapita tertinggi dicapai oleh Kabupaten Bekasi sebesar

Rp28.238.536,64, selanjutnya adalah Kota Cirebon dengan PDRB perkapita

sebesar Rp22.084.719,29, Kota Bandung sebesar Rp15.240.205,35. Besarnya

PDRB perkapita terendah dicapai oleh Kabupaten Majalangka yaitu

Rp4.297.550,38, Kabupaten Kuningan yaitu Rp4.373.069,19, dan Kabupaten

Tasikmalaya yaitu Rp4.479.931,47. Terdapat range yang cukup jauh antara

Kabupaten dengan PDRB perkapita terendah dengan Kabupaten dengan PDRB

perkapita tertinggi yaitu Rp28.238.536,64 – Rp4.297.550,38. Hal ini

mengindikasikan terdapat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di

Jawa Barat. Indikasi kesenjangan tersebut menjadi rumusan masalah pertama

dalam kajian ini, yaitu “bagaimanakah tingkat kesenjangan pendapatan antar

kabupaten/kota di Jawa Barat?”

Dalam kajian ini kesenjangan pendapatan antar daerah dilihat dari sudut

pandang Jumlah PDRB dari tahun ke tahun masing-masing kabupaten/kota.

PDRB merupakan agregat makro dari struktur/komposisi permintaan atau

penggunaan akhir komponen konsumsi, pengeluaran pemerintah, pembentukan

modal tetap bruto, dan permintaan luar negeri (ekspor dan impor). Hubungan

komponen-komponen tersebut adalah positif, artinya bila komponen-komponen

PDRB tersebut naik atau meningkat maka PDRB akan mengalami peningkatan.

Sesuai dengan lingkup kajian, gambar 2 menunjukan hubungan komponen

investasi, pengeluaran pembangunan pemerintah, dan inflasi, serta PDRB di

Provinsi Jawa Barat.

Sumber: BPS, diolah.

(21)

4

Dari Gambar 2 menunjukan bahwa turun naiknya PDRB Jawa Barat selaras

dengan pergerakan turun naiknya investasi swasta, pengeluaran pembangunan,

dan inflasi. Pada Tahun 2002 pertumbuhan PDRB sebesar 5,3,%, investasi

sebesar 182%, pengeluaran pembangunan sebesar 41%, dan inflasi sebesar

8,8%. Tahun berikutnya komponen-komponen tersebut mengalami penurunan

yaitu: investasi sebesar -32%, pengeluaran pembangunan -9%, dan inflasi

sebesar 5,1%, penurunan berimbas kepada pertumbuhan PDRB yang menurun

sebesar 11,2%. Pada tahun-tahun berikutnya komponen-komponen investasi,

pengeluaran pembangunan, dan inflasi meningkat, seperti Tahun 2005 investasi

meningkat dibanding Tahun 2003 dan 2004 sebesar 92%, demikian juga dengan

pengeluaran pembangunan dan inflasi yang masing-masing sebesar 21% dan

14,4%. Implikasinya terjadi pada peningkatan PDRB tahun 2005 sebesar 6%.

Pada Tahun 2006 trennya menurun menjadi: investasi -25%, pengeluaran

pembangunan 12%, inflasi 11,5%, dan tingkat pertumbuhan PDRB sebesar

6,14%. Selanjutnya, atas dasar fakta hubungan komponen-komponen tersebut,

dan melihat bahwa PDRB merupakan pendapatan atau jumlah nilai tambah yang

dihasilkan oleh seluruh sektor/lapangan usaha maka sebagai rumusan masalah

kedua adalah “faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kesenjangan

pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat?”

Gambaran disparitas dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/kota di

Propinsi Jawa Barat dalam merencanakan pembangunan daerah untuk

menentukan prioritas, khususnya dalam era otonomi saat ini dimana pemerintah

kabupaten/kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah

kebijakan pembangunan agar mencapai peningkatan perekonomian dan

diharapkan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota semakin rendah. Dari

rumusan permasalahan kedua di atas akan diperoleh suatu model yang berguna

dalam penentuan strategi peningkatan perekonomian. Melalui intepretasi model

maka sebagai rumusan permasalahan ketiga, adalah “strategi apa yang

ditempuh untuk meningkatan perekonomian guna mengurangi kesenjangan

pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Kajian

Melalui pendalaman pembahasan disparitas pendapatan antar

(22)

5

kabupaten/kota di Jawa Barat, maka dari hasil kajian diharapkan akan tercapai

tujuan-tujuan antara lain:

1. Menganalisis disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di wilayah

Jawa Barat.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan

antar kabupaten/kota di Jawa Barat.

3. Merekomendasikan kebijakan strategis regional bagi Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam lingkup variabel kajian guna meningkatkan

perekonomian regional (di Jawa Barat).

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini meliputi dua hal

pokok yaitu:

1. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan disparitas

pendapatan antar daerah dapat dijadikan dasar sebagai salah satu

pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah.

2. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah

Kabupaten/Kota di Jawa Barat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat

dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan

program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan kinerja

(23)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara

dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan

dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi

dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat.

Kemampuan suatu Negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan

meningkat dari suatu periode ke periode berikut lainnya. Kemampuan yang

meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami

pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Perkembangan atau pertambahan

barang modal dan teknologi diperoleh dari adanya investasi. Di samping itu

pertambahan tenaga kerja diakibatkan perkembangan penduduk seiring

pengalaman kerja dan pendidikan yang menambah keterampilan mereka.

Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan

data Produk Domestik Bruto (PDB). Komponen-komponen dalam PDB

dikelompokkan menjadi konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G),

dan ekspor neto (NX) (Mankiw, 2003). Terdapat dua cara dalam melihat statistik

PDB, yaitu: PDB sebagai pendapatan total dari setiap orang dalam

perekonomian, dan PDB sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa

dalam perekonomian.

Studi teori pertumbuhan dapat dicatat dalam dua periode studi yang

dilakukan secara intensif. Periode pertama pada akhir tahun 1950-an sampai

1960-an yang menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik. Periode kedua

dilakukan ada akhir tahun 1980-an sampai 1990-an yang menghasilkan teori

pertumbuhan endogen atau teori pertumbuhan baru yang merupakan

pengembangan dari teori pertumbuhan klasik. Teori pertumbuhan ini menolak

asumsi model klasik tentang perubahan teknologi yang berasal dari luar

(eksogen). Teori pertumbuhan endogen memberikan penjelasan yang lebih

lengkap tentang proses inovasi teknologi dan memiliki bidang yang luas (Mankiw,

2003).

Menurut Todaro (2003) terdapat tiga komponen pertumbuhan ekonomi,

yaitu: akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi. Suatu

(24)

7

tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa

sebelumnya. Ekonom Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya menekankan

bahwa berapa lokasi yang merupakan pusat perekonomian terjadi pertumbuhan

dengan intensitas yang berbeda-beda (Perroux, 1988).

2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Masalah Kemiskinan

Masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan sampai sekarang

tetap menjadi pembahasan terutama di negara-negara berkembang. Dampak

dari pembangunan ekonomi terhadap golongan miskin masih menjadi

perdebatan. Sebagian berasumsi bahwa meningkatnya pendapatan per kapita

akibat pembangunan akan menjadikan setiap orang lebih sejahtera. Apabila

sekelompok masyarakat belum memperoleh manfaat, hal itu hanya masalah

waktu sampai manfaat pembangunan tersebut betul-betul menetes kepada

mereka. Namun sebaliknya pihak lain tetap meragukan apakah dampak

pembangunan betul-betul dapat dinikmati oleh kelompok miskin.

Aliran ekonomi klasik yang berpegang pada konsep keseimbangan

alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas, dimana harga menjadi acuan

dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antarsektor akan menyebabkan

pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan

pemerintah (konsep pasar bebas) hingga mencapai kondisi pareto optimal.

Pertukaran tersebut pada hakekatnya merupakan proses pembangunan

(Djojohadikusumo, 1994). Ketidakmerataan pendapatan akan muncul pada

awalnya dan akan menghilang setelah dicapai hasil pembangunan. Ada dua

alasan meningkatnya ketidakmerataan pendapatan pada awal pertumbuhan.

Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat pada saat peran sektor modern

meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik

modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat

dengan bertambahnya tenaga kerja (namun masih dalam jumlah yang masih

sedikit) yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor

modern yang lebih tinggi. Namun, ketidakmerataan tersebut berubah manakala

seluruh surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan

tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah

kemudian meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat

ketidakmerataan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan. Setiap orang akan

(25)

8

berlangsung sampai selesai. Peningkatan sementara dalam ketidakmerataan

pendapatan hanya merupakan biaya untuk memperoleh manfaat proses

pembangunan tersebut. Tanpa adanya campur tangan pemerintah pemerataan

akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat

pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi.

Aliran Strukturalis memandang pembangunan ekonomi sebagai transisi

yang ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung perubahan mendasar

pada ekonomi yang disebut sebagai perubahan struktural. Perubahan struktural

tersebut merupakan masa ketidakseimbangan yang dapat menyebabkan

kesenjangan penyesuaian yang panjang (Djojohadikusumo, 1994). Aliran

Strukturalis skeptis terhadap efektifitas mekanisme kekuatan harga dan meyakini

bahwa perencanaan dan kontrol pemerintah dapat menanggulangi kegagalan

pasar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi negara-negara kurang maju tidak

dapat diserahkan kepada mekanisme kekuatan pasar, tetapi pemerintah harus

mengambil peranan aktif dengan menjalankan kebijakan untuk menanggulangi

ketimpangan yang melekat pada keadaan ketidakseimbangan tersebut agar

sistem pasar dan perkembangan harga dapat berjalan secara memadai Berbeda

dengan aliran Klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi

dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran

Strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan

harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini terdapat dua

pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu Aliran

Ekstrim (radikal) Kanan atau aliran yang menganut faham Kapitalis yang

memfokuskan pada pertumbuhan (“grow first, then redistribute”) dan Aliran

Ekstrim Kiri atau aliran yang menganut faham Sosialis, yang memfokuskan pada

masalah pemerataan (“redistribute first, then grow”). Sebagai alternatif dari dua

aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk

mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi

dengan pertumbuhan (“redistribution with growth/RWG”) yang dikembangkan

oleh Bank Dunia (Djojohadikusumo, 1994) . Sasaran pembangunan ekonomi

bagi Aliran Ekstrim Kanan bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar

melalui mekanisme trickle-down, tetapi melalui pemusatan pendapatan pada

masyarakat yang telah kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru

diredistribusi untuk memperoleh distribusi pendapatan yang diinginkan melalui

(26)

9

ini telah gagal. Contoh empiris kegagalan tersebut adalah kebijakan

pembangunan ekonomi di Brazil, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat

sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan sangat tinggi dan

perkembangan pengurangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan

aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata,

pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar

dan teknologi padat kapital. Sebaliknya Aliran Ekstrim Kiri memiliki kebijakan

redistribute first, then grow”. Pemerintah mengambil alih pemilik modal dan

pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil, yang

seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut membawa dua

dampak terhadap distribusi pendapatan. Pertama, dampak secara langsung,

yaitu tingkat kemerataan pendapatan akan segera meningkat secara nyata.

Kedua adalah dampak dalam jangka panjang. Apabila usaha-usaha berskala

lebih kecil dan melalui pemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan

keuntungan besar dan dikelola secara efisien dan produktif, maka efek

redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara

produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan

memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang termasuk dalam aliran

ini adalah negara-negara Uni Soviet dan Republik Rakyat China (RRC).

Kebijakan pembangunan berbasis industri yang dilakukan Uni Soviet adalah

mengambil alih kekayaan yang seharusnya menjadi hak masyarakat secara

umum, terutama petani, dan menekan konsumsi yang hasilnya diinvestasikan

kembali ke sektor produktif. Dengan kebijakan tersebut, ketidakmerataan

pendapatan masyarakat memang mengecil karena hasil pendapatan diambil oleh

pemerintah. Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan

dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang

telah diuraikan diatas kurang disukai. Di banyak negara penganut Aliran Ekstrim

Kanan, meskipun terjadi pertumbuhan pesat, masalah kemiskinan dan

ketidakmerataan pendapatan juga masih menjadi masalah besar. Argumen

bahwa ketimpangan pendapatan merupakan kondisi sementara yang tak

terelakkan guna mencapai akumulasi kapital, memang memungkinkan

terakumulasinya tabungan dan investasi yang lebih besar sehingga menciptakan

laju pertumbuhan yang lebih cepat dan pada akhirnya menciptakan pendapatan

nasional dan pendapatan per kapita tinggi untuk diredistribusikan ke masyarakat

(27)

10

tiba, setiap usaha pendistribusian kembali pendapatan akan menurunkan laju

pertumbuhan secara tajam. Karena perlambatan dianggap negatif, maka saat

pendistribusian terpaksa ditunda dan terjadi penundaan secara terus menerus.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi akan terus melaju sementara

ketimpangan pendapatan tidak membaik. Sementara negara-negara penganut

aliran ekstrim kiri pada umumnya mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah,

karena setiap usaha redistribusi akan menurunkan stok modal yang pada

akhirnya menurunkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, harus ada cara

bagaimana manfaat pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan, sehingga

distribusi pendapatan meningkat sepanjang waktu dengan meningkatnya

pertumbuhan. Konsep tersebut dikembangkan oleh World Bank, dinamakan

redistribusi dengan pertumbuhan atau “redistribution with growth/ RWG”

(Chenery, 1974). Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti

untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk

sampingan dari pertumbuhan, melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan.

Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola

pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang

pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan

berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan.

2.3 Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomika regional berusaha untuk manjawab pertanyaan terjadinya

aktivitas ekonomi yang cenderung terkonsentrasi secara geografis di beberapa

tempat saja. Minimalisasi biaya transpor atau biaya produksi menjadi suatu

sebab munculnya pengelompokan atau kluster (Isard, 1956). Pendekatan

interdependensi lokal (location interdependence) merupakan jawaban atas

keterbatasan mekanisme persaingan sempurna. Pendekatan ini mencoba

menerangkan bahwa pilihan lokasi adalah upaya perusahaan untuk menguasai

pasar melalui maksimisasi penjualan dan penerimaan (Ohta dan Thisse, 1993).

Selanjutnya, menurut Greenhut bahwa faktor lokasi dikelompokkan menjadi:

permintaan, biaya, dan murni pertimbangan pribadi (Greenhut, 1955).

Konsentrasi ekonomi akan membawa pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda

bagi lokasi tertentu.

Pertumbuhan regional merupakan studi yang dianggap menarik karena

(28)

11

dipengaruhi pula oleh faktor non ekonomi, misalnya: keragaman suku, budaya,

dan sistem politik. Pertumbuhan ekonomi regional merupakan upaya untuk

memacu perkembangan ekonomi dengan arah mengurangi kesenjangan antar

wilayah dan menjaga kelestarian hidup suatu wilayah. Dengan menciptakan

pertumbuhan ekonomi regional dapat menyerasikan berbagai kegiatan

pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan sumber daya yang

ada dapat optimal mendukung peningkatan kehidupan masyarakat. Optimalisasi

berarti tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek

dan kondisi wilayah. Dalam konsep pertumbuhan ekonomi regional dibutuhkan

strategi kebijakan pemerintah agar mekanisme pasar tidak menimbulkan dampak

yang merugikan lingkungan dan masyarakat miskin. Kebijakan tersebut meliputi

upaya pengembangan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi infrastruktur,

potensi kawasan dan daya dukung lainnya.

Pertumbuhan ekonomi regional yang didekati dengan hipotesa

konvergensi dapat dibagi dalam dua pendekatan, yaitu konvergensi absolut

(absolute convergence) berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik dan

konvergensi kondisional (conditional convergence) yang berdasarkan pada teori

pertumbuhan endogenous (Wibisono,2003). Konvergensi kondisional diartikan

sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang

walaupun terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar daerah,

namun perbedaan tersebut relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar

negara (bersifat lebih homogenitas daerah-daerah dalam satu negara).

Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang melihat perilaku dan

karakteristik antar negara atau antar daerah dalam satu negara. Menurut

Wibisono (2003) bahwa dengan melakukan tes hipotesis konvergensi kondisional

maka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dalam jangka panjang

dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi

regional dengan cara memasukkan variable-variabel terpilih yang dianggap

mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional ke dalam suatu model

persamaan. Konvergensi dikatakan sebagai suatu cara dari daerah yang

memiliki perekonomian rendah untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah

(29)

12

2.4 Disparitas Pendapatan

Menurut Williamson (1965) di dalam Kuncoro (2004) menyebutkan bahwa

proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan dengan

memandang bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar setelah

melalui tiga fase pembangunan, tahap awal pembangunan hingga tahap

kematangan (maturity). Hal ini didukung dengan pendapat Akita dan Lukman

(1995) yang menemukan bahwa disparitas Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) per kapita mengalami penurunan yang berkesinambungan antara tahun

1975-1992. Namun, Garcia dan Soelistianingsih (1998) mengemukaan bahwa

antara 1975-1993 terdapat tendensi penurunan disparitas walaupun sempat

terhenti pada tahun 1983.

Wibisono (2003) menemukan bahwa pada tahun 1975 hingga 1980-an

kesenjangan antar propinsi di Indonesia terlihat menurun dengan cepat. Tren

penurunan disparitas mengalami stagnasi pada periode 1985-1997, dan indeks

kembali naik pada tahun 1997-1998. Nampak bahwa pada dekade 1970-an

hingga 1980-an terjadi penurunan disparitas yang cepat. Pada pertengahan

tahun 1980-an hingga tahun 1990-an terjadi perlambatan penurunan disparitas.

Indeks kesenjangan antar daerah mengalami kenaikan pada saat perekonomian

mengalami gunjangan eksternal.

2.5 Inflasi

Inflasi adalah kenaikan tingkat harga secara umum dan merupakan

fenomena ekonomi yang mempunyai dampak luas terhadap perekonomian,

termasuk pertumbuhan ekonomi. Mankiw (2003) menyatakan bahwa tingkat

inflasi adalah perubahan persentase dalam tingkat harga. Melihat bahwa

faktor-faktor produksi dan fungsi produksi telah menentukan PDB riil, maka perubahan

PDB nominal mencerminkan perubahan tingkat harga. Sehingga muncul apa

yang disebut dengan Deflator PDB yang mencerminkan apa yang terjadi pada

seluruh tingkat harga dalam perekonomian.

Penggolongan inflasi, menurut Boediono (1985) berdasarkan lajunya per

tahun dibagi menjadi: (1) inflasi ringan (dibawah 10% setahun), (2) inflasi sedang

(10%-30% setahun), (3) inflasi berat (30%-100% setahun), dan (4) hiperinflasi

(lebih 100% setahun). Sukirno (1994) menggolongkan inflasi berdasarkan

penyebabnya menjadi 2 macam, yaitu inflasi tarikan permintaan (demand pull

(30)

13

yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat akan berbagai

barang terlalu kuat dimana permintaan masyarakat ini tidak bisa diimbangi

dengan tersedianya barang yang disediakan oleh perekonomian, sehingga

mendorong kenaikan harga-harga. Pada Kondisi seperti ini,

perusahaan-perusahaan akan beroperasi pada kapasitas yang maksimal sehingga

berdampak positif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi

desakan biaya adalah inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya

produksi. Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan

untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka

menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang

diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva

penawaran agregat ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi

outputnya justru menurun dan berdampak negatif.

Menurut laporan Bank Indonesia Tahun 2001, faktor-faktor yang

mempengaruhi inflasi di Indonesia antara lain:

1. Meningkatnya Kegiatan Ekonomi

Meningkatnya kegiatan ekonomi mendorong peningkatan permintaan agregat

tetapi tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran agregat.

2. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

Kebijakan pemerintah menaikkan harga barang dan jasa seperti BBM, listrik,

air minum dan rokok serta menaikkan upah minimum tenaga kerja swasta

dan gaji pegawai negeri akan memberikan tambahan inflasi IHK (Indeks

Harga Konsumen).

3. Melemahnya Nilai Tukar Rupiah

Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah dari hasil penelitian Bank

Indonesia, antara lain:

a) perilaku harga cenderung mudah meningkat karena pengaruh

melemahnya nilai tukar rupiah.

b) perilaku harga cenderung sulit untuk turun apabila nilai tukar rupiah

menguat.

4. Tingginya ekspektasi inflasi masyarakat

Tingginya inflasi IHK tidak lepas dari pengaruh ekspektasi inflasi oleh

produsen dan pedagang serta konsumen. Tingginya ekspektasi inflasi pada

produsen dan pedagang terutama dipengaruhi oleh tingginya inflasi tahun

(31)

14

oleh ekspektasi kenaikan harga barang-barang yang dikendalikan pemerintah

dan ekspektasi nilai tukar rupiah.

Tingkat inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase

sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut diantaranya:

1. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang

baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.

2. Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah

indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh

konsumen.

Menurut Mankiw (2003) terdapat beberapa perbedaan di antara dua ukuran

tersebut. Deflator PDB mengukur harga seluruh barang dan jasa yang

diproduksi, meliputi barang dan jasa yang diproduksi secara domestik, dan

mengagregatkan berbagai tingkat harga (memungkinkan kelompok barang

berubah setiap saat bila komposisi PDB berubah). Sedangkan, CPI hanya

mengukur harga barang dan jasa yang dibeli konsumen, dan menggunakan

timbangan tetap terhadap harga barang-barang yang berbeda (dihitung dengan

menggunakan sekelompok barang tetap).

2.6 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah

Pemerintah tidak hanya berperan menyusun regulasi untuk mengatur

kehidupan bernegara namun juga melaksanakan kegiatan ekonomi melalui

instrumen belanja pemerintah. Dewasa ini peran pemerintah meningkatkan

kesejahteraan masyarakat masih sangat dibutuhkan seperti penyelenggaran

pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan penyediaan

infrastruktur. Kegiatan tersebut tertuang dalam APBD yang digunakan untuk

keperluan belanja rutin pegawai dan keperluan pembiayaan pembangunan.

Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran untuk membiayai

proyek-proyek pembangunan. Peran yang dimiliki oleh pemerintah ini digunakan

terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatan pelayanan yang tidak dapat

dilakukan oleh pihak swasta. Jumlah pengeluaran pemerintah ini merupakan

salah satu komponen penting dari PDRB.

Anaman (2004) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah yang terlalu

kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang

proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya bila

(32)

15

pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi

pertumbuhan ekonomi. Belanja pembangunan pemerintah meliputi seluruh

pengeluaran yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan

investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Belanja Pembangunan

dirinci atas belanja modal aset tetap/fisik, dan belanja modal aset

lainnya/non-fisik.

2.7 Investasi

Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal

maupun faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa tabungan domestik,

tenaga kerja, teknologi, dan sebagainya. Faktor eksternal bisa berupa investasi

dari luar daerah dan ekspor ke luar daerah. Investasi merupakan prasyarat bagi

peningkatan produksi. Investasi merupakan unsur PDB yang paling sering

berubah. Bila selama resesi pengeluaran atas barang dan jasa turun, maka

penurunan tersebut terkait dengan turunnya pengeluaran investasi (Mankiw,

2003). Investasi atau dikenal juga dengan penanaman modal merupakan unsur

yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu kegiatan pembangunan, sebab dengan

penanaman modal dapat mengubah sumber daya manusia menjadi kekuatan

ekonomi yang nyata. Melalui penanaman modal akan dihasilkan barang dan

jasa, memperluas kesempatan berusaha, melaksanakan alih teknologi yang

bermuara pada pengentasan kemiskinan dan memperkecil kesenjangan

pendapatan antar daerah.

Otonomi daerah telah ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan

berbagai cara. Berdasarkan alasan untuk meningkatkan pendapatan daerah

(PAD), Pemda menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela,

dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan

bisnisnya. Penerapan tersebut mengakibatkan distorsi perdagangan dan tidak

sesuai dengan semangat UU No.32/2004, dan menyebabkan kekhawatiran

pihak investor. Dalam menetapkan peraturan terdapat lemahnya perencanaan

dan koordinasi peraturan perundangan, baik pada tingkat vertikal (antara

pemerintah pusat-provinsi-kabupaten/kota) maupun pada tingkat horizontal

(antar kementerian dan badan/instansi lainnya). Akibatnya, muncul peraturan

dan kebijakan daerah yang dibuat berdasarkan fanatisme kedaerahan yang

(33)

16

2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu

2.8.1 Penelitian Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

Regional

Dalam penelitiannya, Kuncoro (2004) mengambil judul “Pertumbuhan

Ekonomi dan Ketimpangan antar Kecamatan: Kasus Kabupaten Banyumas,

Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan alat analisis indeks ketimpangan

regional yaitu tipologi daerah, indeks Williamson, indeks entropi Theil, hipotesis

Kuznets dan korelasi Pearson. Dalam penelitiannya dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa dalam periode pengamatan 1993-2000, terjadi

kecenderungan peningkatan ketimpangan, baik di analisis dengan indeks

Williamson maupun dengan indeks entropy Theil. Ketimpangan antar kecamatan

yang terjadi di Kabupaten Banyumas dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2000

cenderung meningkat. Dimana yang menyebabkan ketimpangan ini salah

satunya adalah disebabkan oleh aktivitas ekonomi secara spasial.

Berdasarkan tipologi daerah menurut pertumbuhan dan pendapatan per

kapita, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan

menjadi empat kelompok:

1. Daerah/kecamatan yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high

income): Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Ajibarang, Sokaraja, Purwokerto

Selatan, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur.

2. Daerah/kecamatan maju tapi tertekan (high income but low growth):

Kecamatan Wangon, Somagede, dan Baturaden.

3. Daerah/kecamatan yang berkembang cepat (high growth but low income):

Kecamatan Kebasen, Purwojati, Cilongok, Karanglewas, dan Purwokerto

Utara.

4. Daerah/kecamatan yang relatif tertinggal (low growth and low income):

Kecamatan Lumbir, Jatilawang, Ralawon, Kemranjen, Sumpih, Tambak,

Patikraja, Gumelar, Pekuncen, Kedungbanten, dan Sumbang.

Dalam penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets dapat

dikatakan berlaku di Kabupaten Banyumas. Hal ini berarti bahwa, pada masa

awal pertumbuhan ketimpangan memburuk dan pada tahap-tahap berikutnya

(34)

17

2.8.2 Penelitian Mengenai Ketimpangan Regional dan Krisis Ekonomi

Dalam penelitiannya yang berjudul “Regional of Inequality in Indonesia

and The Initial Impact of The Economic Crisis”, Akita dan Alisyahbana (2002)

mengukur ketimpangan dengan menggunakan indeks entropi Theil berdasarkan

pada district-level GDP dan data populasi pada periode 1993-1998. Total

kesenjangan pendapatan regional meningkat secara signifikan pada periode

1993-1997 yaitu dari 0,262-0,287. Selama itu pula Indonesia mencapai angka

pertumbuhan rata-rata pertahun lebih dari 7%. Sehingga, kesenjangan dalam

propinsi memainkan peran yang semakin penting di dalam penentuan total

kesenjangan pendapatan regional, atau mencapai kira-kira setengah dari seluruh

kesenjangan pendapatan regional pada tahun 1997. Kesenjangan antar propinsi

dan antar daerah memberi konstribusi secara berturut-turut sebesar 43,1% dan

7,2%. Akan tetapi akan sangat menyesatkan jika meningkatnya atau

berkurangnya kesenjangan regional hanya didasarkan pada data propinsi,

khususnya pada saat ekonomi berkembang dengan sangat cepat dan

mengalami perubahan struktural yang signifikan.

Dilihat dari segi GDP per kapita, krisis ekonomi menyebabkan ekonomi

Indonesia kembali ke level di tahun 1995. Tetapi dampaknya sangat berbeda

antara propinsi dan kabupaten, namun demikian total kesenjangan pendapatan

regional, seperti diukur menggunakan data tingkat kabupaten, turun ke 0,266

pada tahun 1998 yang sesuai dengan level pada tahun 1993-1994. Daerah

Jawa-Bali memainkan peran yang menyolok dalam penurunan ini. DKI Jakarta

merupakan provinsi yang terkena implikasi terparah di Indonesia. Dikarenakan

adanya ketergantungan pada sektor-sektor penghasil non-migas, keuangan dan

konstruksi, yang berdampak tidak menguntungkan terhadap adanya krisis. GDP

per kapita DKI Jakarta turun sampai hampir 20%, kembali pada tingkat terendah

pada tahun 1993. Ekonomi propinsi-propinsi Jawa lainnya juga menyusut secara

signifikan, tetapi dampaknya tidak separah di Jakarta. Sebagai akibatnya, jurang

pemisah GDP per kapita antara DKI Jakarta dan provinsi-provinsi Jawa-Bali

lainnya menjadi menyempit.

Selain pulau Jawa-Bali, Sumatra juga mengalami penurunan GDP per

kapita sebesar 7% sebagai akibat adanya krisis. Akan tetapi krisis ekonomi tidak

begitu berpengaruh yang sangat kuat terhadap Kalimantan dan Sulawesi.

(35)

18

perkotaan di Jawa-Bali. Di DKI Jakarta dan Jawa Barat, serta

kabupaten-kabupaten Jabotabek sangat terpengaruh, dengan pengecualian Jakarta Pusat,

semuanya mencatat penurunan 20% atau lebih dalam GDP per kapita. Akibatnya

kesenjangan dalam propinsi untuk propinsi Jawa Barat mengalami penurunan.

Begitu juga di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, hal ini disebabkan karena

(36)

19

III. METODE KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Kebijakan ekonomi disusun dengan menggunakan berbagai macam

indikator makro, seperti PDRB beserta komponen-komponennya, inflasi,

pertumbuhan penduduk, nilai tukar rupiah, harga dasar minyak, dan lain–lain

yang sesuai dengan sifatnya ditujukan untuk memberikan “warning”.

Penggunaan indikator makro ke dalam bentuk perencanaan program yang lebih

spesifik bertujuan agar dapat mengidentifikasi pencapaian pertumbuhan

perekonomian. PDRB dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja

perekonomian suatu daerah.

Pengeluaran pemerintah daerah dan investasi swasta adalah komponen

yang diperhitungkan dalam PDRB. Kedua komponen tersebut memberikan nilai

tambah pada kegiatan ekonomi daerah. Inflasi yang dilihat sebagai perubahan

PDRB nominal, menunjukan adanya perubahan seluruh tingkat harga dalam

perekonomian daerah. Komponen-komponen dalam PDRB menunjukan

kemampuan pengelolaan unit ekonomi di suatu daerah yang berdampak pada

kemakmuran masyarakat di daerah tersebut, oleh sebab itu angka PDRB

digunakan sebagai alat pembanding tingkat kemakmuran antar daerah. Dalam

pengertian lain, PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam

mengelola sumber daya yang dimilikinya. Oleh karena itu, nilai PDRB yang

dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat tergantung pada potensi sumber

daya alam, sumberdaya manusia dan teknologi (faktor produksi) di daerah

tersebut. Kondisi terbatasnya sumberdaya alam dan penyediaan faktor-faktor

produksi tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Ditinjau

dari aspek spasial, analisis antar region menurut kabupaten/kota akan

memberikan gambaran perbedaan pola tentang hasil–hasil pembangunan

ekonomi antar suatu kabupaten/kota. Akibat perbedaan tersebut dapat

menyebabkan kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota. Untuk itu, diperlukan

strategi dan program yang berorientasi pada kondisi daerah disekitarnya.

Strategi dan program tersebut adalah upaya pemerintah menuju peningkatan

pembangunan agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Berdasarkan Hubungan variabel-vaiabel tersebut di atas, maka kerangka

(37)

20

Pembangunan Ekonomi (Pertumbuhan Ekonomi)

Disparitas Pendapatan Inflasi

Rancangan Strategi & Program

Perencanaan Pembangunan Daerah/Regional Pengeluaran

Pemb.Pemda

Investasi Swasta

PDRB

Barat berdasarkan pendekatan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota

dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian

Kontribusi ekonomi Jawa Barat terhadap perekonomian Nasional

rata-rata, selama tahun 2004-2006, adalah 13,8%. Kontribusi ini terbilang besar bila

dibandingkan dengan provinsi lainnya. Fakta ini menggambarkan Jawa Barat

mempunyai potensi ekonomi yang dapat terus dikembangkan dan diolah secara

lebih baik lagi. Kedekatan dengan pasar, ketersediaan bahan baku dan

ketersediaan faktor produksi lainnya merupakan potensi sumber daya dan nilai

tambah bagi Jawa Barat. Selain menjadi lokasi penting bagi aktivitas ekonomi

(38)

21

penduduk dengan dipadukan tingginya aktivitas ekonomi dapat menjadi sumber

pertumbuhan ekonomi bagi Jawa Barat di masa mendatang.

Namun demikian, pada analisis tingkat regional (Kabupaten dan Kota)

cenderung terjadi perbedaan tingkat perekonomian yang dipengaruhi berbagai

faktor, misalnya jumlah penduduk, kekayaan alam, kedekatan dengan kota

pusat-pusat pertumbuhan, aksesibilitas dan kondisi geografis. Disparitas yang

terlalu lebar memang sepantasnya dikurangi sebagai wujud dari pemerataan

kesejahteraan antar kabupaten/kota. Dengan pertimbangan-pertimbangan

tersebut di atas maka Jawa Barat penulis pilih sebagai lokasi kajian dengan

estimasi waktu 3 bulan dari bulan September hingga November 2008.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari

publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, BPS Provinsi Jawa Barat, dan

Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat. Pengumpulan data sekunder

dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumen. Dari pengumpulan

data sekunder tersebut maka diperoleh dua jenis data, yaitu data antar waktu

(time series) dan data antar individu (cross section).

Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu

terhadap suatu kabupaten/kota yang terdiri dari data 12 tahun yaitu tahun

1995-2006. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu

terhadap banyak individu (kabupaten/kota), dalam kajian ini terdiri dari 25

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Jenis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data PDRB kabupaten/kota tanpa minyak dan gas

berdasarkan harga berlaku, angka inflasi, angka pengeluaran pembangunan

pemerintah dalam APBD dan angka investasi swasta kabupaten/kota di Jawa

Barat. Sehingga, jumlah observasi terdiri atas deret waktu t>1 dan jumlah

observasi deret lintang n>1, dengan t adalah tahun 1995-2006 (12 tahun) dan n

adalah jumlah kabupaten/kota, yaitu 25 kabupaten/kota.

3.4 Metode Analisis Data

Dalam kajian ini digunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis

diskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi kesenjangan pendapatan

antar kabupaten/kota di Jawa Barat berdasarkan hasil perhitungan indeks

(39)

22

faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota

yang kemudian digunakan untuk menyusun strategi pembangunan ekonomi

kabupaten/kota di Jawa Barat.

3.4.1 Analisis Indeks Kesenjangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota

Untuk mengukur besarnya kesenjangan pendapatan sesuai dengan

tujuan pertama kajian, digunakan Indeks Theil sebagai alat analisis mengukur

entropi atau ketidakteraturan dari ketidakmerataan (Etharina, 2005). Theil’s

Coefficient of Concentration telah menjadi indeks yang sangat popular untuk

menganalisis distribusi spasial dan memiliki keunggulan dibanding dengan

indeks kesenjangan lainnya. Indeks ketimpangan entropi theil mengukur

ketimpangan secara rinci dalam sub unit geografis yang lebih kecil, yang

berguna untuk mengetahui kecenderungan konsentrasi geografis.

Wibisono (2003) menyatakan bahwa Indeks Theil mempunyai beberapa

keunggulan yaitu: independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat

digunakan sebagai pembanding disparitas dari sistem regional yang

berbeda-beda, dan dapat didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra

kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas within wilayah

kelompok atau group.

Menurut Kuncoro (2004) ukuran Indeks Theil tidak memiliki batas atas

atau batas bawah, apabila semakin besar maka semakin timpang dan semakin

kecil maka semakin merata. Untuk pendapatan perkapita yang merata

sempurna, Indeks Theil diberi bobot nilai nol (Wibisono, 203). Rumus indeks

entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000 dalam Kuncoro, 2004):

Dimana:

Itheil = Indeks entropi Theil;

yj = PDRB per kapita di kabupaten/kota j;

Y = rata-rata PDRB per kapita Jawa Barat;

xj = jumlah penduduk di kabupaten/Kota j;

X = jumlah penduduk Jawa Barat.

Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana kondisi kesenjangan di

provinsi Jawa Barat maka dihitung kesenjangan antar kelompok/group dan

(40)

23

Dimana:

Ibetween = kesenjangan antar group (between-region inequality);

Iwithin = kesenjangan dalam group (within-region inequality);

Yi = jumlah pangsa PDRB masing-masing group ( Yj/Y tiap group);

Xi = jumlah pangsa penduduk masing-masing group ( Xj/X tiap group);

Koefisien theil dapat diinterpretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri

tertimbang dari pendapatan per kapita kabupaten/kota yang dideflasikan dengan

rata-rata provinsi.

Langkah mendekomposisi disparitas pendapatan di Jawa Barat dengan

Indeks Theil dalam kajian ini menggunakan pengelompokan kabupaten/kota.

Pengelompokan yang digunakan adalah terdiri dari: (1) kelompok kewilayahan,

dan (2) kelompok daerah kaya dan miskin. Mengacu pada Keputusan Gubernur

Jawa Barat nomor 68 Tahun 2000 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian

Tugas Unit Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Provinsi Jawa Barat,

pembagian kabupaten/kota kedalam kelompok Bakorwil adalah sebagai berikut:

a. Bakorwil Purwakarta terdiri dari: Kabupaten Purwakarta, Subang, Karawang,

Bekasi; dan Kota Bekasi.

b. Bakorwil Bogor terdiri dari: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur; Kota Bogor,

Sukabumi, dan Depok.

c. Bakorwil Priangan terdiri dari: Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut,

Tasikmalaya, Ciamis; Kota Bandung, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar.

d. Bakorwil Cirebon terdiri dari: Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka,

Kuningan; dan Kota Cirebon.

Selanjutnya, pembagian kelompok kaya dan miskin adalah merujuk pada

Etharina (2005), yaitu bahwa batasan daerah kaya dan miskin adalah dengan

membandingkan rata-rata pendapatan per kapita daerah kabupaten/kota dengan

rata-rata pendapatan per kapita propinsi pada kurun waktu yang sama, sehingga:

(i) Kabupaten/kota yang masuk dalam Kelompok Kaya, bila rata-rata PDRB per

kapitanya > rata-rata PDRB perkapita propinsi;

(ii) Kabupaten/kota yang masuk dalam Kelompok Miskin, bila rata-rata PDRB

Gambar

Gambar 2  Hubungan Beberapa Komponen PDRBProvinsi Jawa Barat (PDRB menurut harga konstan 2000)
Gambar 3  Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Gambar 4  Proses Pelaksanaan Metode Logical Framework Approach.
Gambar 5  Perkembangan Jumlah Penduduk Jawa Barat Tahun 2002-2007.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian tersebut dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia yaitu variabel Pendapatan Asli Daerah , Dana Perimbangan (Dana Alokasi

Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan dalam penelitian terbatas pada beberapa variabel yaitu DAU yang diperoleh dari kementerian keuangan, PDRB atas

Terkait dengan hal itu penulis ingin menganalisis pokok permasalahan kemiskinan yang terdapat di kabupaten Ponorogo tentang naiknya jumlah penduduk miskin dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mengalami kemajuan pada masa Otonomi Daerah, mengukur dan menganalisis kondisi kesenjangan

Hal ini penting untuk merumuskan permasalahan mendasar dalam merumuskan kebijakan pembangunan antar regional sehingga penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor yang

Berdasarkan diagram jalur variabel pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh tidak langsung terhadap variabel kesenjangan pendapatan melalui pertumbuhan ekonomi sebesar

Apalagi kesenjangan distribusi pendapatan ini diprediksi akan semakin meluas ke depan, Yang juga menarik adalah seberapa jauh faktor-faktor yang ada dalam kebudayaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mengalami kemajuan pada masa Otonomi Daerah, mengukur dan menganalisis kondisi kesenjangan