• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PROSES PENYULAMAN KAIN TAPIS DI SANGGAR FAMILY ART BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PROSES PENYULAMAN KAIN TAPIS DI SANGGAR FAMILY ART BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

SANGGAR FAMILY ART BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

DISUSUN OLEH: DEFRIYAN NIM: 106101003310

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYRAKAT PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hampir setiap orang pernah mengalami nyeri punggung bawah (NPB)

sepanjang hidupnya. Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap kondisi ini dan

masing-masing sangat berpotensi untuk mengalami disabilitas akibat kondisi

tersebut. NPB dapat berhubungan dengan berbagai kondisi ataupun faktor risiko,

namun seringkali tidak ditemukan adanya faktor spesifik yang mendasarinya.

NPB termasuk salah satu dari gangguan muskuloskeletal, gangguan psikologis

dan akibat dari mobilisasi yang salah. Hal tersebut dapat menyebabkan

timbulnya rasa pegal, linu, ngilu, atau tidak enak pada daerah lumbal berikut

sakrum (www.prodiaohi.co.id).

Gejala utama dari NPB atau sering disebut low back pain adalah yang

ditandai dengan nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang

punggung bagian bawah. Dalam kejadian yang sesungguhnya di masyarakat,

NPB tidak mengenal perbedaan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial,

tingkat pendidikan, semuanya bisa terkena NPB. Lebih dari 70% umat manusia

dalam hidupnya pernah mengalami NPB, dengan rata-rata puncak kejadian

berusia 35-55 tahun (Andersson. 1997).

Klasifikasi NPB dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu

kronik dan akut. Nyeri punggung bawah akut akan terjadi dalam waktu kurang

(20)

bulan. Nyeri punggung berasal dari tulang belakang, otot, saraf atau struktur lain

pada daerah tersebut (Rakel, 2002). Dengan demikian nyeri punggung bawah

adalah gangguan muskuloskeletal pada daerah punggung bawah yang disebabkan

oleh berbagai penyakit dan aktivitas tubuh yang kurang baik.

Problematik keluhan nyeri yang paling banyak ditemukan dan sangat

mengganggu aktifitas kerja sehari-hari meskipun berbagai upaya

penanggulangan dan penatalaksanaan terapi selalu dikaji tetapi hasilnya masih

belum optimal. Insiden nyeri punggung bawah yang paling banyak dijumpai

pada pekerja atau karyawan sebagai akibat dari kelainan mekanika gerak atau

postural yang berlangsung dalam jangka waktu lama (Brown and Makckler,

1999 dalam Hartiyah, 2009).

Nyeri punggung bawah berhubungan dengan stress atau strain otot-otot

punggung, tendon dan ligamen yang biasanya ada bila melakukan aktivitas

sehari-hari secara berlebihan, seperti duduk atau berdiri terlalu lama juga

mengangkat benda berat dengan cara yang salah. Di industri manapun, sebagian

besar karyawan akan menghabiskan waktu dengan posisi duduk dan sebanyak 60

% orang dewasa mengalami nyeri pinggang bawah karena masalah duduk. Suatu

penelitian di sebuah rumah sakit menunjukkan bahwa pekerjaan dengan duduk

lama (separuh hari kerja) dapat menyebabkan hernia nukleus pulposus, yaitu

saraf tulang belakang terjepit di antara kedua ruas tulang belakang sehingga

menyebabkan selain nyeri pinggang juga rasa kesemutan yang menjalar ke

tungkai sampai ke kaki. Bahkan, bila parah,dapat menyebabkan kelumpuhan

(21)

Kebanyakan kejadian nyeri punggung bawah tidak mengakibatkan

kecacatan tapi menyebabkan gangguan aktivitas kerja. Di Inggris tahun 1993

menyebabkan 11% populasi kerja terganggu aktivitas kerjanya sampai 4 minggu

karena nyeri punggung. Lebih dari 50% penderita nyeri punggung membaik

dalam 1 minggu, sementara lebih dari 90% merasa lebih baik dalam 8 minggu.

Sisanya sekitar 5% mengalami keluhan yang berlanjut sampai lebih dari 6 bulan.

Dilihat dari data yang dikumpulkan dari penelitian Pusat Riset dan

Pengembangan Ekologi Kesehatan, Departemen Kesehatan. Penelitian ini

melibatkan 800 orang dari 8 sektor informal di Tanah Air. Hasilnya

menunjukkan, gangguan muskuloskeletal dialami oleh sekitar 31,6% petani

kelapa sawit di Riau, 21% perajin wayang kulit di Yogyakarta, 18% perajin onix

di Jawa Barat, 16,4% penambang emas di Kalimantan Barat, 14,9% perajin

sepatu di Bogor, dan 8% perajin kuningan di Jawa Tengah. Perajin batu bata di

Lampung dan nelayan di DKI Jakarta adalah kelompok pekerja yang paling

banyak menderita gangguan muskuloskeletal, masing-masingnya sekitar 76,7%

dan 41,6% dan rata-rata semua pekerja mengeluhkan nyeri di punggung, bahu,

dan pergelangan tangan (Herryanto, 2004). Di negara industri seperti Indonesia,

nyeri punggung banyak menyerang pekerja usia produktif sekitar 20-40 tahun

(Arda, 2007 dalam Hartiyah 2009).

Salah satu kegiatan yang memiliki potensi risiko terjadinya gangguan

NPB yaitu menyulam dikarenakan aktifitas yang dilakukan merupakan pekerjaan

statis dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan agar menjadi

(22)

menyelesaikan kain tapis serta bekerja dalam posisi duduk yang terlalu lama juga

dapat menimbulkan nyeri punggung bawah pada pekerja sulam kain tapis. Kain

Tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat

dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau

benang emas dengan sistim sulam (Lampung; "Cucuk"). Dengan demikian yang

dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif,

benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung.

Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah

berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif

alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak. Kain

Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang

bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup

tinggi (Artha, 2008).

Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang

digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana

dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dikerjakan oleh wanita, pembuatan

kain tapis di Bandar Lampung merupakan industri rumahan (home industry)

dimana pekerja tidak terikat oleh suatu badan atau perusahaan (Artha, 2008).

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di bulan November 2010

pada 10 pengrajin kain tapis di Sanggar Family Art, Bandar Lampung dengan

menggunakan Nordic Body Map, diketahui proses pembuatan kain tapis dari

awal hingga akhir proses didapatkan postur kerja dalam posisi duduk dengan

(23)

proses kerja menyulam dilakukan secara berulang-ulang, serta diketahui bahwa

pekerja seluruhnya mengalami MSDs setelah bekerja, 80% merasakan sakit pada

punggung bawah atau pinggang, 50% nyeri pada lengan kanan atas, 40% nyeri

pada leher atau tengkuk kepala, dan 20% nyeri pada bokong.

Berdasarkan uraian didapat keluhan yang paling sering terjadi pada

pengrajin tapis di Sanggar Family Art yakni sakit atau nyeri pada punggung

bawah atau pinggang yakni sebesar 80% pengrajin mengalami keluhan pada

punggung bawah atau pinggang. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui

faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada

proses penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung. Selain itu

belum adanya penelitian yang dilakukan mengenai faktor-faktor terkait dengan

keluhan Nyeri Punggung Bawah pada proses penyulaman kain tapis di Sanggar

Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

1.2 Rumusan Masalah

Seharusnya setiap institusi formal atau non-formal menyediakan

lingkungan yang kondusif bagi pekerja agar terhindar dari penyakit akibat kerja

seperti NPB. NPB adalah sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama

nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang punggung bagian

bawah. sebagian besar karyawan akan menghabiskan waktu dengan posisi duduk

dan sebanyak 60 % orang dewasa mengalami nyeri pinggang bawah karena

masalah duduk. Menurut survey sektor HORECA, akibat kejadian NPB banyak

terjadi pada sektor ini yaitu sekitar 33% nyeri punggung, 20,3% mengalami nyeri

(24)

dan 34% dari pekerja dilaporkan menderita sakit punggung (European Agency

for Safety and Health at Work, 2000).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Sanggar

Family Art Bandar lampung pada bulan November 2010 terhadap 10 pengrajin

kain tapis di Bandar Lampung, delapan dari sepuluh pekerja mengalami atau

merasakan adanya keluhan nyeri punggung seperti nyeri ataupun pegal-pegal

setelah melakukan pekerjaan yang diakibatkan oleh posisi kerja yang statis dan

dalam waktu yang lama. Gangguan nyeri punggung bawah pada pekerja dapat

menurunkan tingkat produktivitas kerja, menurunkan performance kerja, serta

kualitas kerja, hubungan dalam kerja, kurangnya konsentrasi kerja dan

meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Serta belum pernah ada penelitian

terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung

bawah pada proses penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art Bandar

Lampung. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara pekerjaan, usia pekerja, masa kerja,

kebiasaan merokok, indeks masa tubuh, kebiasaan olahraga dengan keluhan

nyeri punggung bawah pada proses penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art

Bandar Lampung tahun 2011.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses

Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun

(25)

2. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan pada proses penyulaman kain tapis

Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011?

3. Bagaimana gambaran faktor pekerja (usia, indeks masa tubuh, kebiasaan

merokok kebiasaan olahraga, masa kerja) pada proses penyulaman kain tapis

di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011?

4. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family

Art Bandar Lampung tahun 2011?

5. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan keluhan Nyeri Punggung

Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar

Lampung tahun 2011?

6. Apakah ada hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family

Art Bandar Lampung tahun 2011?

7. Apakah ada hubungan antara indeks masa tubuh pekerja dengan keluhan

Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar

Family Art Bandar Lampung tahun 2011?

8. Apakah ada hubungan antara kebiasaan berolahraga dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family

Art Bandar Lampung tahun 2011?

9. Apakah ada hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family

(26)

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art

Bandar Lampung tahun 2011.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses

Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun

2011.

2. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan pada proses penyulaman kain

tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

3. Diketahuinya gambaran faktor pekerja (usia, indeks masa tubuh,

kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, masa kerja) pada proses

penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun

2011.

4. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar

Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

5. Diketahuinya hubungan antara faktor usia pekerja dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar

(27)

6. Diketahuinya hubungan antara indeks masa tubuh pekerja dengan

keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di

Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

7. Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok pekerja dengan

keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di

Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

8. Diketahuinya hubungan antara kebiasaan berolahraga pekerja dengan

keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di

Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

9. Diketahuinya hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan Nyeri

Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar

Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Program Kesehatan Masyarakat

Dapat dijadikan referensi mengenai risiko nyeri punggug bawah pada

pekerja informal untuk mahasiswa peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3).

1.5.2. Peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk

mengaplikasikan teori yang telah didapat dalam operasional lingkungan kerja,

serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti

(28)

1.5.3. Pengelola Usaha Tapis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan serta

pemahaman mengenai bahaya di tempat kerja khususnya keluhan nyeri

punggung bawah, sehingga para pengelola secara mandiri dapat melakukan

upaya-upaya perlindungan terhadap kesehatan kerja dan terhindar dari penyakit

akibat kerja.

1.5.4. Pemerintah

Adanya kebijakan atau peraturan yang dibuat untuk menanggulangi

masalah MSDs umumnya dan khususnya NPB, serta pemerintah lebih

memperhatikan kesehatan para pekerja di bidang informal.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilaksanakan oleh mahasiswa semester sepuluh program studi

Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian

ditujukan untuk meneiliti ada atau tidaknya keluhan Nyeri Punggung Bawah

Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar Lampung

tahun 2011, dikarenakan pada studi pendahuluan didapatkan delapan dari

sepuluh pekerja merasakan sakit pada punggung bawah serta berdasarkan hasil

pengamatan postur kerja para pengrajin statis dan duduk terlalu lama sehingga

dapat meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggug bawah pada pekerja

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

(29)

faktor pekerja atau individu (usia, masa kerja, indeks masa tubuh, kebiasaan

olahraga, dan kebiasaan merokok). Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011

sampai Februari 2011 pada pengrajin tapis di Sanggar Family Art Bandar

Lampung. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain

cross sectional study serta menggunakan Form RULA. Pengambilan data

dilakukan dengan cara pengambilan data primer. Data primer diperoleh melalui

pengukuran langsung keluhan nyeri punggung bawah pada pengrajin tapis dan

persentase paparan nyeri punggung bawah serta karakteristik pekerja. Data

karakteristik pekerja diperoleh melalui kuesioner, data persentase paparan nyeri

punggung bawah melalui observasi. Data data tersebut dianalisis secara univariat

(30)

12

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri Punggung Bawah 2.1.1 Definisi

Nyeri punggung bawah atau low back pain (LBP) adalah suatu keadaan

dengan rasa tidak nyaman atau nyeri akut pada daerah ruas lumbalis kelima dan

sakralis (L5-S1). Nyeri pada punggungg bawah dirasakan oleh penderita dapat

terjadi secara jelas atau samar serta menyebar atau terlokalisir (Pheasant 1991)

Nyeri punggung bagian bawah adalah salah satu dari sekian banyak akibat

yang bersumber dari ketidaknyamanan kerja. Tapi dapat juga terjadi dari aktivitas

sehari-hari, misalnya seperti mengendarai mobil, melakukan pekerjaan rumah

atau berkebun. Walaupun anatomi tulang belakang diketahui dengan baik,

menemukan penyebab nyeri pinggang bawah menjadi masalah yang cukup serius

bagi orang-orang klinis. LBP merupakan salah satu jenis kelainan

muskuloskeletal akibat kerja yang paling sering dan mengakibatkan biaya yang

paling tinggi. Stephen Pheasant (1999) menggambarkan prosentase distribusi

(31)

Gambar 2.1 Grafik Kejadian MSDs

SUMBER : Pheasant, 1999

Dari gambar diatas nampak jelas bahwa punggung mempunyai prosentase

cedera yang paling besar apabila dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain.

2.1.2 Stadium Penyakit

Stadium penyakit, derajat nyeri dan disfungsi akibat nyeri pinggang.

Stadium nyeri disebut akut bila nyeri hilang spontan kurang dari 4-5 minggu.

Nyeri lebih lama dari 5 minggu disebut stadium kronis. Klasifikasi derajat nyeri

dapat dilihat sebagai berikut:

1) Derajat minimal, keluhan nyeri hanya kadang-kadang. Bila ada keluhan tidak

menghambat kegiatan sehari-hari.

2) Derajat ringan (mild), bila nyeri pinggang menetap dan ada hubungannya

dengan kegiatan pada posisi tubuh membungkuk, duduk dan berdiri lama.

(32)

overused). Keluhan LBP tidak menyebabkan berhenti dari kegiatan normal

yang lama.

3) Derajat berat (severe) keluhan LBP sangat berat sehingga hanya mampu

melaksanakan kegiatan minimal seperti bangkit dari tidur, duduk dan bangkit

untuk berdiri. Keluhan nyeri yang timbul hampir tak dapat ditahan.

2.1.3 Strategi pencegahan NPB

Secara garis besar terdapat dua jenis pencegahan terhadap NPB (Institute

for Occupational Safety and Health: 2000:30)

a. Pencegahan primer, dimana tujuannya adalah mencegah terjadinya serangan

NPB semenjak dari awal.

b. Pencegahan sekunder, tujuannya adalah mencegah serangan NPB kronik dan

kambuhnya kembali NPB

Strategi untuk mencegah NPB di tempat kerja dapat dilakukan melalui

usaha-usaha sebagai berikut:

a. Mengurangi kerja yang memerlukan tenaga fisik dalam jumlah yang besar.

Menghilangkan pekerjaan mengangkat atau jenis pekerjaan lain yang

membebani tubuh merupakan prioritas pertama untuk mencegah dan

mengurangi NPB yang terkait pekerjaan. Beberapa strategi mungkin untuk

dilakukan antara lain:

1) Mengoptimalkan faktor tempat kerja

a) Mendesain pekerjaan: mengurangi kebutuhan untuk menangani beban,

mengurangi ketajaman dan ukuran dari beban, mengurangi jumlah

(33)

b) Mendesain tempat kerja: menyediakan ruang yang cukup untuk

pergerakan tubuh, mengghindari membungkukan batang tubuh

c) Mendesain organisasi kerja: hubungan yang memadai antara tuntutan

pekerjaan dan istirahat, durasi dan frekuensi dari membawa beban

2) Peralatan penanganan bahan

3) Back Belt

Biasanya sabuk ini digunakan menopang punggung selama masa

rehabilitasi cedera punggung, namun penggunaannya kini semakin

meluas, salah satunya adalah untuk mencegah terjadinya NPB

Keuntungan dari penggunaan sabuj punggung adalah:

A. Usaha internal dari tulang belakang berkurang saat terjadi pergerakan

tenaga pada punggung.

B. Tekanan intra abdominal meningkat, yaitu mengimbangi besarnya

tekanan pada punggung

C. Bagian punggung mengeras sehingga dapat menurunkan tekanan atau

gaya

D. Pengguna selalu diingatkan untuk membawa beban dengan cara yang

tepat

b. Meningkatkan Organisasi kerja

c. Pendidikan dan pelatihan (sebagai bagian dari pendekatan yang terintegrasi).

Training yang perlu diberikan adalah pelatihan cara atau teknik membawa

(34)

dan kesadaran pekerja terhadap cedera punggung, pelatihan terhadap tubuh

melalui latihan kebugaran fisik sehingga tidak rentan terhadap cedera

d. Tindakan medis dan rehabilitasi

e. Strategi kognitif dan behavioral (contoh: strategi coping)

2.2 Anatomi Tulang Belakang

Tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang di bentuk oleh

sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Pada orang

dewasa panjang tulang belakang dapat mencapai 57-67 cm. Tulang

belakangmemiliki 33 ruas yang terdiri dari 24 buah ruas merupakan tulang-tulang

yang terpisah dan 9 ruas lainnya tergabung membentuk dua tulang.

Vertebra di kelompokkan menjadi beberapa bagian dan di beri nama

sesuai dengan daerah yang di tempati yaitu :

a. Vertebra Torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang

toraks atau dada yang terdiri dari 12 ruas

b. Vertebra Serukalis atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk

yang terdiri dari 7 buah

c. Vertebra Lumbalis atau ruas tulang punggung membentuk daerah lumbal atau

pinggang yang terdiri dari 5 buah

d. Vertebra Sakralis atau tulang kelangkang membentuk sacrum atau tulang

kelangkang yang terdiri dari 5 buah

e. Vertebra Kosigeus atau ruas tulang punggung membentuk tulang koksigeus

(35)

2.2.1 Fisiologi

Kolumna vertebralis memperlihatkan 4 lengkung anteroposterior yaitu

lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan, daerah torakal

melengkung kebelakang, daerah lumbal melengkung kedepan dengan daerah 20

pervil melengkung kebelakang. Kolumna vertebralis bekerja sebagai pendukung

badan yang kokoh dan sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan

perantara tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberi

fleksibilitas dan memungkinkan membomgkok tanpa patah. Cakramnya juga

berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakan badan seperti

waktu berlari dan meloncat. Dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang

terlindung terhadap goncangan. Kolumna vertebralis juga memikul berat badan,

menyediakan permukaan untuk kaitan otot dan membentuk tapal batas posterior

yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. (Peace

(36)

Gambar 2.2 Anatomi Tulang Belakang

Sumber : Eveline C. Pearce. Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang

2.3 Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah

Faktor risiko adalah sifat atau karakteristik pekerja atau lingkungan kerja

yang dapat meningkatkan kemungkinan pekerja menderita gejala MSDs (LaDao,

dalam Nur Jannah 2008). Ada beberapa faktor yang terbukti berkontribusi

menyebabkan MSDs, yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan postur janggal, kerja

statis, gerakan repetitif dan penggunaan tenaga yang besar merupakan faktor

risiko terjadinya MSDs (Pheasant, 1991). Selain itu telah adanya bukti ini

semakin kuat ketikapekerja diekspos oleh stressos ini secara bersamaan (Bridger,

(37)

Faktor risiko ergonomi didefinisikan sebagai kondisi suatu tugas atau

proses atau operasi yang berpengaruh bagi timbulya MSDs, dan nyeri punggung

bawah (NPB) terdapat dalam macam-macam gangguan MSDs. Oleh karena itu

pemaparan terhadap faktor risiko ergonomi sabaiknya dibatasi atau dihindarkan.

Faktor risiko ergonomi merupakan aspek dari pekerjaan atau tugas yang

memberikan “biomechanical stress” pada pekerja. Pemaparan dari faktor risiko

ergonomi pada tempat kerja yang dapat menyebabkan atau memberikan

konstribusi bagi perkembangan sistem musculoskeletal.

Faktor-faktor risiko tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu

pekerjaan, lingkungan dan manusia atau pekerja. Faktor risiko adalah sifat atau

karakteristik pekerja atau lingkungan kerja yang dapat meningkatkan

kemungkinan pekerja atau petugas yang memberikan “biomechanical stress”

pada pekerja. Faktor-faktor risiko ergonomi tersebut antara lain:

2.3.1 Faktor Pekerjaan

Berdasarkan karakteristik pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam

interaksinya dengan sistem kerja. Berdasarkan penelitian telah terbukti bahwa

tinjauan secara biomekanik serta data statistik menunjukkan bahwa faktor

pekerjaan berkontribusi pada terjadinya cedera otot akibat bekerja (Armstrong,

1979; Wisseman & Badger, 1970; Werner, 1997) dikutip Chaffin (1999).

Berdasarkan penelitian Anggraeni didapatkan ada hubungan bermakna dari faktor

pekerjaan dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.003.

Berikut ini faktor-faktor pekerjaan yang bisa menyebabkan terjadinya

(38)

1. Postur Janggal (Postur Kerja Tidak Alamiah)

Postur janggal adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi

bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan

terlalu tinggi, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan

sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh,

maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja

yang tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat

kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan

pekerja (Tarwaka et al, 2004)

2. Postur Statis

merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama dimana

pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan

beban pada otot tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang

membawa nutrisi dan oksigen serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot

menjadi terhalang. Gerakan yang dipertahankan >10 detik dinyatakan postur

statis. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh pakar fisiologi kerja

ditemukan bahwa sikap kerja yang tidak alamiah (sikap statis dalam waktu

yang lama) dapat mengakibatkan gangguan pada sistem otot rangka atau

MSDs.

3. Peregangan Otot yang Berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering

dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan

(39)

menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena

pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot.

Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko

terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot

skeletal (Tarwaka et al, 2004).

4. Aktivitas Berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus

menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkat

dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat

beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk

relaksasi (Tarwaka et al, 2004)

5. Force atau Load

Force atau load adalah massa beban atau berat benda yang diangkat

oleh pekerja dalam satuan Kg. Massa beban atau objek merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Risiko yang

berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan frekuensi

beban yang akan ditangani. Risiko cedera punggung meningkat jika beban

yang diatangani lebih dari 4.5 kg pada posisi duduk atau >16 kg pada posisi

selain duduk. Menurut ILO, berat objek yang direkomendasikan adalah 23-25

kg. Ruas tulang belakang hanya diperbolehkan untuk menanggung beban

kurang dari 20 lb atau 9 kg.

Tangan, siku, bahu dan kaki hanya diperbolehkan mengangkat beban

(40)

boleh melebihi 2 lb atau 0,9 kg dengan durasi tidak melebihi 10 detik dan

durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% perhari (Humantech,

1995).

2.3.2 Karakteristik Lingkungan

1). Vibrasi

Vibrasi terjadi akibat adanya transfer energy mekanik osilasi ke

seluruh tubuh atau sebagian tubuh. Respon organ atau jaringan tubuh terhadap

getaran vertikaldiantaranya: 3-4 Hz (resonansi kuat pada membrane vertebra

cervicalis), 4 Hz (resonansi pada vertebra lumbalis), 4-5 Hz (resonansi pada

tangan), 4-5 Hz (resonansi sangat kuat pada sendi bahu) (Pulat, 1997 dalam

Atmaja, 2007). Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi

otot bertambah. Kontraksi stasis ini menyebabkan peredaran darah tidak

lancer, penimbunan asam laktat meningkat, dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1989). Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang

menggunakan tangan. Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika

berdiri atau duduk dalam lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika

mengoperasikan kendaraan atau mesin yang besar (Cohen et al, 1997).

2). Mikroklimat

Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,

kepekaan, dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi terhambat,

sulit gerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga

(41)

yang terlampau besar menyebabkan sebagian energy yang ada dalam tubuh

akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut.

Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka

akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran

darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme

karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat

menimbulkan nyeri otot (Tarwaka et al, 2004 dalam Zulaeha, 2008). Pada

temperatur di bawah 39.20F (40C), efek pengupan dingin dapat terjadi dan memperburuk faktor risiko MSDs lain (DiBerardinis, 1999 dalam Rahayu,

2004).

3). Iluminasi

Tingkat iluminasi berkaitan dengan sifat pekerjaan apakah

membutuhkan ketelitian atau tidak. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian

tinggi maka memerlukan iluminasi yang cukup banyak yakni mencapai 1000

Lux sedangkan pekerjaan yang tidak membutuhkan ketelitian hanya

memerlukan tingkat iluminasi yang lebih rendah. Jika tingkat iluminasi pada

suatu tempat tidak memenuhi persyaratan maka akan menyebabkan postur

leher untuk fleksi ke depan (menunduk) dan postur tubuh untuk fleksi

(membungkuk) yang berisiko mengalami MSDs (Bridger, 1995).

2.3.3 Karakteristik Individu

1). Usia

Umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu

(42)

keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Hal ini

terjadi karena pada usia setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai

menurun setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun

sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat (Tarwaka et al, 2004).

Usia berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu

dan mencapai puncaknya pada usia 24 tahun. Pada usia 50-60 tahun kekuatan

otot menurun sebesar 25%, kemampuan sensoris motoris menurun sebanyak

60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berusia 60 tahun

tinggal mencapai 50% dari usia manusia yang berusia 25 tahun.

Bertambahnya usia akan diikuti penurunan; VO2 max, tajam penglihatan,

pendengaran, kecepatan membedakan sesuatu, membuat keputusan dan

kemampuan mengingat jangka pendek. Dengan demikian pengaruh usia selalu

dijadikan pertimbangan dalam memberikan pekerjaan bagi seseorang

(Tarwaka et al, 2004)

Pada Penelitian Anggraeni (2010) pekerja yang berusia ≥ 35 tahun

memiliki risiko 4.018 kali untuk mengalami carpal tunnel syndrome

dibandingkan dengan pekerja yang berusia < 35 tahun dengan Pvalue sebesar

0.037.

Usia mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan

bahu, bahkan ada beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa usia

merupakan penyebab utama terjadinya keluahan. Usia berkaitan dengan

perubahan degenerative fungsi fisiologi tubuh. Pertambahan usia berarti

(43)

sehingga pada semakin bertambah usia makan semakin berisiko MSDs

(Riihimaki, 1998 dalam Zulaeha, 2008).

2). Jenis Kelamin

Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang

pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa

hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin

mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara

fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pria (Tarwaka

etal, 2004). Hasil penelitian Betti’e et al. (1989) menunjukkan bahwa rata-rata

kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria,

khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil

penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al. (1994), hales et al. (1994), dan

Johansonb(1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara

pria dan wanita adalah 1:3 (Tarwaka, et al. 2004).

3). Kebiasaan Merokok

Boshuizen et al (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara

kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan

yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok

dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan mineral pada tulang

sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada

(44)

Semakin lama semakin dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi

pula tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka et al, 2004 dalam Zulaeha,

20068). Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung

dari pada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari

pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk

setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991 dalam Zulaeha, 2008).

Anggraeni tahun 2010 didapatkan hasil bahwa kebiasaan merokok tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan NPB dengan Pvalue

sebesar 1.

4). Kebiasaan Olahraga

Aerobic fitness meningkatkan kemampuan kontraksi otot. Delapan

puluh persen (80 %) kasus nyeri tulang punggung disebabkan karena

buruknya tingkat kelenturan (tonus) otot atau kurang berolah raga. Otot yang

lemah terutama pada daerah perut tidak mampu menyokong punggung secara

maksimal.

Contoh Olahraga Kesehatan berbentuk senam (Aerobiks) ialah Senam

Pagi Indonesia seri D (SPI-D). Satu seri SPI-D memerlukan waktu 1’45”,

sehingga untuk memenuhi kriteria waktu yang adekuat maka SPI-D harus

dilakukan minimal 6x berturut-turut tanpa henti, yang akan mencapai waktu

10.5 menit. Ciri-ciri olahraga aerobik, olahraga yang mengaktifkan otot:

a. ≥ 40%

(45)

c. Dengan intensitas yang adekuat dan sesuai usia (mencapai

denyut nadi latihan 65-80% DNM)

d. Secara kontinyu dengan waktu adekuat (minimal 10 menit)

Contoh olahraga aerobik yaitu lari/joging, lari di tempat, renang,

senam, berjalan cepat selama 30 menit selama 6 hari dalam satu minggu dan

beristirahat pada hari Sabtu, bersepeda, selain itu olahraga lari juga dapat

mencapai tingkat edekuat sesuai kriteria Cooper jika dilakukan secara teratur

dan terus-menerus, disarankan tiga kali seminggu dengan latihan selang,

misalnya: Senin – Rabu – Jumat atau Selasa – Kamis – Sabtu. (Cooper, 1982

dalam Hazami, 2010)

Penelitian yang dilakukan Rahmat (2007) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian low back pain dengan

kebiasaan olahraga dengan p value 0,029.

5). Indeks Masa Tubuh (IMT)

Antropometri berasal dari bahasa Yunani yaitu Antropos (manusia)

dan metricos (pengukuran), antropometri merupakan suatu pengukuran yang

sistematis terhadap tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran

tubuh digunakan untuk merancang suatu sarana kerja yang sesuai dengan

ukuran tubuh pengguna sarana kerja yang bersangkutan. Desain ergonomis

pada suatu populasi, peralatan yang diperuntukan kepada kaum laki- laki dan

perempuan seharusnya berbeda, karena antropometri laki- laki dan perempuan

berbeda (Gempur Santoso, 2004). Menurut WHO (2005) indeks masa tubuh

(46)

gemuk ( >25). Jika seseorang mengalami kelebihan berat badan maka orang

tersebut akan berusaha untuk menyangga berat badan dari depan dengan

mengontraksikan otot punggung bawah. Dan apabila ini terus berlanjut maka

akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang

mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan HC dan Horn SE, 1998).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni menyatakan ada

hubungan yang bermakna keluhan yang dialami dengan indeks masa tubuh

dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.036.

6). Masa Kerja

Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali

pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung (Amalia, 2007).

Sedangkan menurut Sedarmayanti (1996) lama masa kerja adalah satu fakor

yang termasuk kedalam komponen ilmu kesehatan kerja. Pekerja fisik yang

dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh

terhadap mekanisme dalam tubuh (sistem peredaran darah, pencernaan, otot,

syaraf dan pernafasan).

Kejadian musculosksletal disorders dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor individu, salah satunya adalah pengalaman bekerja. Lamanya pekerja

bekerja di suatu industri, mempengaruhi kesakitan musculoskeletal yang

dirasakan. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa absen sakit dikarenakan

kesakitan pada upper limbs lebih tinggi pada pekerja yang baru dibandingkan

pekerja yang telah berpengalaman, terutama pada kelompok pekerja dengan

(47)

Dan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Rahardjo (2009) pekerja

yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,755 kali

dibandingkan pekerja dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Rihiimaki et al (1989)

menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan

keluhan otot.

2.4 Metode Penilaian Risiko NPB

2.4.1 Rapid Entire Body Assessment (REBA)

REBA adalah metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Lynn

McAtamney yang secara efektif digunakan untuk menilai postur tubuh pekerja.

REBA telah dikembangkan untuk menilai tipe dari ketidakpastian penemuan

postur pekerjaan dalam pelayanan kesehatan dan industri lainnya. Data

dikumpulkan tentang postur tubuh, gaya yang digunakan, tipe dari pergerakan dan

tindakan, pengulangan kerja, dan Coupling. Skor akhir dari REBA memberikan

indikasi dari level risiko dan tingkat keparahan dengan mengambil tindakan mana

yang harus didahulukan. (Hignett dan McAtamney, 2000). Metode ini relatif

mudah digunakan karena untuk mengetahui nilai suatu anggota tubuh tidak

diperlukan besar yang spesifik, hanya berupa range sudut.

Terdapat tiga tahapan proses perhitungan yang dilalui yaitu:

mengumpulkan data mengenai postur pekerja tiap kegiatan menggunakan video

atau foto.

1. menentukan sudut pada postur tubuh saat bekerja pada bagian tubuh seperti:

(48)

b. Leher (neck)

c. Kaki (leg)

d. Lengan bagian atas (upper arm)

e. Lengan bagian bawah (lower arm)

f. Pergelangan tangan (hand wrist)

2. Menentukan berat beban, pegangan (coupling) dan aktivitas kerja

3. Menentukan nilai REBA untuk postur yang relevan dan menghitung skor

akhir dari kegiatan tersebut.

2.4.2 Job Strain Index (JSI)

JSI membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang diukur atau menilai 6

variabel-variabel tugas berikut yaitu intesitas penggunaan, durasi waktu

penggunaan persiklus, jumlah dari kegiatan per menit, postur pergelangan tangan,

kecepatan penggunaan, dan durasi tugas per hari. JSI digunakan hanya untuk

gerakan-gerakan berulang pada tubuh bagian atas yaitu siku, lengan bawah,

tangan, dan pergelangan tangan.

2.4.3 Quick Exposure Checklist (QEC)

Quick Exposure Checklist (QEC) merupakan metode untuk mengukur

risiko terkait penyakit akibat musculoskeletal disorder (MSDs) dalam hal ini NPB

(Li dan Buckle, 1999). Penggunaan QEC mudah diterapkan, berfungsi untuk

mengevaluasi tempat kerja dan desain peralatan kerja serta memudahkan untuk

mendesain ulang tempat kerja. QEC membantu mencegah bahaya NPB yang ada

di tempat kerja. Metode ini telah dikembangkan oleh praktisi di bidang

(49)

a) Mengidentifikasi faktor risiko untuk pekerjaan terkait cidera bagian belakang.

b) Mengevaluasi level risiko untuk bagian tubuh yang berbeda.

c) Mengukur perbedaan risiko NPB pada sebelum dan sesudah pekerjaan.

d) Mengembangkan tempat kerja menjadi sarana dalam mengurangi risiko NPB

pada sebelum dan sesudah pekerjaan.

e) Meningkatkan kesadaran tingkat manager, teknisi, desainer, kesehatan dan

pelaksana keselamatan terhadap faktor risiko ergonomi di tempat kerja.

Membandingkan tingkat paparan yang diterima oleh dua pekerja atau

lebih dengan pekerjaan yang sama, atau perbandingan risiko dengan pekerjaan

lainnya.

2.4.4 RULA (Rapid Upper Limb Assessment)

RULA adalah sebuah metode untuk menilai postur, gaya dan gerakan

suatu aktifitas kerja yang berkaitan dengan penggunaan tubuh bagian atas (upper

limb). RULA digunakan untuk menilai postur, beban dan pergerakan yang

berhubungan dengan pekerjaan yang menetap. Seperti pekerjaan yang termasuk

pekerjaan yang menggunakan komputer, manufaktur dan pedagang dimana

pekerja duduk atau berdiri tanpa berpindah. (Nigel corlett, 2005). Metode ini

dikembangkan untuk menyelidiki risiko kelainan yang akan dialami oleh

seseorang pekerja dalam melakukan aktivitas kerja yang memanfaatkan anggota

tubuh bagian atas (upper limb). RULA memberikan sebuah kemudahan dalam

menghitungkan rating dari beban kerja otot dalam menghitungkan rating dari

beban kerja pada anggota tubuh bagian atas. Alat ini memasukkan skor tunggal

(50)

besarnya gaya atau beban dan pergerakan yang diharapkan. (McAtamney, 1993

dalam Zulaeha, 2008).

2.4.4.1 Prosedur Penggunaan RULA

Adapun prosedur dalam penggunaan RULA menjelaskan 3 tahapan yaitu:

a. Postur tubuh untuk dilakukan penelian telah diseleksi/ditentukan.

b. Postur tubuh adalh hasil skor dari lembar penilaian, diagram bagian tubuh,

dan tabel

c. Skor tersebut adalah konversi untuk satu dari empat level gerakan/aksi

RULA digunakan untuk intervensi dan penilaian risiko berhubungan

dengan masalah ketegangan dan keseleo pada otot.

2.4.4.2 Langkah- Langkah Penilaian RULA

Dalam rangka melakukan evaluasi mengenai postur tubuh, teknik RULA

membagi menjadi 2 kelompok anggota tubuh, kelompok A yaitu lengan dan

pergelangan tangan, kelompok B yaitu leher, punggung dan kaki. Langkah dan

observasi penilaiannya yaitu:

1). Kelompok A

a) Observasi dan tentukan postur lengan atas sesuai kriteria metode RULA

Posisi lengan atas yang baik yaitu ketika lengan berada pada posisi 20 –

20 karena pada posos ini memiliki skor terkecil. Posisi yang beresiko

terkena MSDs adalah posisi dengan ektensi, pada sudut 20 – 45, 45 – 90,

dan > 90. Skor ini bertambah besar jika bahu terangkat dan lengan atas

abduksi karena terdapat perubahan 1 untuk setiap keadaan tersebut. Tetapi

(51)

b) Observasi dan tentukan postur lengan bawah sesuai kriteria metode RULA

Posisi yang memiliki skor terkecil adalah posisi lengan bawah yang

berada pada 60 – 100 sehingga posisi ini dikatakatakan bahwa memiliki

risiko terkecil untuk dapat menderita MSDs. Posisi yang lainnya (0 – 100

dan >100) memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita MSDs. Skor

akan bertambah besar jika lengan bawah menyilang ke garis tengah tubuh

dan menjauh dari tubuh karena skor bertambah 1 untuk tiap keadaan

tersebut. Semakin besar skor maka semakin besar risiko MSDs. Hal ini

dilihat pada gambar di bawah ini.

c) Observasi postur pergelangan tangan dan tentukan skornya

Posisi pergelangan tangan yang baik adalah posisi normal pada sudut 0

yang mendapat skor 1 (skor terkecil). Jika posisi pergelangan tangan

memiliki risiko MSDs. Posisi pergelangan tangan fleksi >15 dan ekstensi

merupakan posisi yang berisiko. Risiko akan bertambah besar jika pada

pergelangan tangan terjadi deviasi ulnar atau radial karena skor

bertambah 1 untuk keadaan tersebut.

Selain posisi pergelangan tangan, kelompok A RULA juga mengobservasi

putaran pergelangan tangan (pronasi dan supinasi). Menurut metode

RULA perputaran pergelangan tangan yang berisiko adalah yang

melakukan perputaran keluar (supinasi) karena memiliki skor lebih besar

daripada perputaran ke dalam (pronasi). Selain itu, pada saat gerakan

supinasi terjadi perlawanan terhadap gaya gravitasi sehingga diperlukan

(52)

Gambar 2.3 Posisi Pergelangan Tangan yang Diamati

Sumber: Doc RULA

d) Memasukan tiap skor yang di dapat (skor lengan atas, bawah, pergelangan

tangan dan perputarannya) ke dalam tabel A (upper limb posture score) untuk

mendapatkan skor postur .

Tabel 2.1 Skor A

Postur A: Skor Postur Pergelangan Tangan

1 2 3 4 Lengan Lengan Bawah Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 4 2 1 2 3 3 3 3 4 4 4 2 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 5 5 3 1 3 3 4 4 4 4 5 5 2 3 4 4 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 1 4 4 4 4 4 5 5 5 2 4 4 4 4 4 5 5 5 3 4 4 4 5 5 5 6 6 5 1 5 5 5 5 5 6 6 7 2 5 6 6 6 6 7 7 7 3 6 6 6 7 7 7 7 8 6 1 7 7 7 7 7 8 8 9 2 8 8 8 8 8 9 9 9 3 9 9 9 9 9 9 9 9 Sumber : Stanton, 2005

(53)

e) Mengobservasi dan menentukan skor penggunaan otot (muscle use)

Penggunaan otot yang berisiko adalah otot yang digunakan secara statis yakni

jika otot digunakan selama >1 menit atau digunakan berulang- ulang selama 4

kali atau lebih per menit, sedangkan penggunaan otot yang tidak berisiko

adalah tidak termasuk kategori tersebut. Penggunaan otot yang berisiko

mendapatkan skor terbesar yaitu 1.

f) Observasi dan menentukan skor beban (force)

Beban yang tidak berisiko terhadap MSDs adalah beban seberat kurang dari 2

kg yang dilakukan secara intemitten, sedangkan beban yang termasuk kategori

berisiko adalah beban yang memiliki berat >2 kg dan dilakukan baik secara

intermitten maupun berulang- ulang.

g) Menjumlahkan skor postur A dengan skor pengguanaan otot dan beban untuk

mendapatkan skor A

Skor A = skor postur A + skor penggunaan otot + skor beban

2). Kelompok B

a) Mengobservasi dan menentukan skor postur leher

Posisi leher yang memiliki risiko terkecil untuk menderita MSDs adalah pada

posisi 0. Leher yang membungkuk >20 atau lebih akan semakin memperbesar

risiko terkena MSDs. Hal ini dibuktikan dengan semakin besarnya skor untuk

tiap postur yang berisiko. Skor akan memiliki nilai yang lebih tinggi jika

posisi leher berputar dan miring ke samping karena untuk tiap keadaan ini

(54)

Gambar 2.4 Posisi Leher yanga Diamati

Sumber : Documen RULA

b) Observasi dan menentukan skor postur punggung

Skor terkecil dimiliki ketika punggung berada pada posisi 0. Skor akan

bertambah besar jika badan membungkuk mulai 10 atau lebih, dan untuk tiap

keadaan badan berputar atau miring ke samping, maka skor akan bertambah 1.

Untuk jelasnya apat dilihat pada gambar di bawah ini.

c) Observasi dan menentukan skor kaki

Posisi kaki yang baik adalah kaki yang diberikan tempat penyangga dan kaki

dalam keadaan seimbang. Untuk kaki yang disangga dan seimbang diberi skor

1, sedangkan jika kaki tidak disangga dan tidak seimbang diberi skor 2.

d) Memasukkan nilai tiap postur untuk mendapatkan nilai skor postur B yang di

dapat dari tabel B (neck, trunk, leg posture score)

Tabel 2.2 Skor B Skor

Postur Leher

Postur B: Skor Postur Punggung

1 2 3 4 5 6

Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7 2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7 3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7 4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8 5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8 6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 Sumber : Stanton, 2005

(55)

e) Mengobservasi dan menentukan skor penggunaan otot dan beban sesuai

kriteria

f) Memasukan dan menjumlahkan skor postur B dengan pengguanaan otot dan

beban untuk mendapatkan skor B

Skor B = skor postur B + skor penggunaan otot + skor beban

g) Memasukkan ke dalam matriks masing- masing nilai skor A dan skor B untuk

mendapatkan nlai skor final (tabel C)

Gambar 2. 5

Diagram Alur Skor Final RULA

Skor Tabel A

Skor Tabel B

Nilai skor final merupakan nilai akhir dalam pengukuran dengan

menggunakan metode RULA. Nilai ini memberikan pedoman untuk prioritas

investigasi yang berikutnya. Nilai skor final RULA bervariasi dan dinilai menurut Lengan Atas Lengan Bawah Pergelangan Tangan Perputaran Pergelangan Muscle Use Forces Skor A Leher Kaki Punggung Muscle use Skor B Force Tabel C Skor Final/ grand score RULA

(56)

prioritas pengendaliannya yaitu mulai dari skor 1- 7. Tabel nilai skor fianl RULA

dapat dilihat pada tabel C di bawah ini.

Tabel 2.3 Skor C

Tabel C: Skor Leher, Punggung dan Kaki

1 2 3 4 5 6 7+ 1 1 2 3 3 4 5 5 2 2 2 3 4 4 5 5 3 3 3 3 4 4 5 6 4 3 3 3 4 5 6 6 5 4 4 4 5 6 7 7 6 4 4 5 6 6 7 7 7 5 5 6 6 7 7 7 8+ 5 5 6 7 7 7 7 Sumber : Stanton, 2005

Skor ini kemudian dikelompokkan menjadi action level. Hal ini dapat

dilihat sebagai berikut:

1. Action level 1

Action level 1 berarti postur masih dapat diterima (acceptable) jika tidak

dipertahankan dalam waktu yang lama. Berlaku untuk skor 1- 2.

2. Action level 2

Action level 2 berarti dibutuhkan investigasi lebih lanjut (investigate further)

pada pekerjaan ini dan mungkin dibutuhkan perubahan. Kategori ini untuk

skor final 3- 4.

3. Action level 3

Action level 3 berarti pekerjaan ini harus segera diinvestigasikan dengan

segera dalam waktu singkat (investigate further and change soon). Kategori

(57)

4. Action level 4

Action level 4 berarti investigasi dan modifikasi dari pekerjaan ini dibutuhkan

secara cepat (investigate and change immediatly) untuk mengurangi beban

yang berlebihan pada sistem musculosceletal dan risiko cedera atau sakit pada

pekerja. Kategori ini berlaku untuk skor 7.

2.4.4.3 Aplikasi RULA

Terdapat empat pokok utama dalam penerapan metode RULA yaitu

(Stanton et al, 2004), untuk:

1. Mengukur risiko musculosceletal otot, biasanya sebagai bagian dari

investigasi ergonomic secara luas.

2. Membandingkan beban otot dari desain saat ini dan modifikasi desain tempat

kerja.

3. Evaluasi hasil seperti produktivitas atau keserasian alat.

4. Pendidikan bagi pekerja tentang risiko musculosceletal yang ditimbulkan oleh

perbedaan postur dalam bekerja.

2.4.4.4 Kelebihan dan Kelemahan RULA

Metode RULA memiliki banyak kelebihan, antara lain:

1. Menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk

menyiapkan sebuah profil dari beban otot.

2. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan investigasi lebih lanjut

(58)

3. Pemberian skor pada RULA terperinci, misalnya penambahan sudut derajat

pada setiap postur, gaya dan beban mendapat tambahan nilai 1.

4. Mudah digunakan, cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode

lainnya, dan

5. Dapat digunakan untuk menilai secar teliti pekerjaan atau postur untuk satu

orang pekerja atau kelompok.

Selain memiliki beberapa kelebihan, metode RULA ini pun memiliki

beberapa kelemahan atau keterbatasan, sehingga diperlukan usaha untuk

merekamnya, antara lain (Corlett, 1998):

1. Hanya untuk pekerjaan dengan postur kerja duduk terus- menerus dan berdiri

statis, kurang cocok untuk pekerjaan dengan gerakan yang dinamis.

2. Tidak ada tinjauan rekam medis.

3. Metode ini tidak bisa mengukur gerakan tangan menggenggam, meluruskan,

memutar dan memerlukan tekanan pada telapak tangan, dan

4. Metode ini tidak mengukur antropometri tempat kerja yang dapat

menyebabkan terjadinya postur janggal.

Penulis memilih menggunakan metode RULA ini dikarenakan beberapa

alasan, antara laian:

1. Karena metode RULA sangat cocok dengan jenis pekerjaan yang dilakukan

pada proses penyulaman kain tapis.

2. Cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode lainnya.

(59)

Tabel 2.4 Kelebihan dan Kelemahan Metode Penilaian Risiko MSDs

No Metode Penilaian Risiko

MSDs

Kelebihan Kelemahan Keterangan

1. Rapid Entire Body Assessment (REBA)

1. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang).

3. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil. 4. Skor akhir dapat digunakan dalam

menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan. 5. Fasilitas kerja dan metode kerja yang

lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan.

1. Hanya menilai aspek postur dari pekerja.

2. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang berkaitan dengan faktor psikososial.

3. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperatur, dan jarak pandang

Untuk pekerjaan yang menggunakan seluruh tubuh, pekerjaan mengangkut, seperti penjahit, kuli

2. Job Strain Index (JSI) 1. Dapat menilai eksposure dan patogenesis gangguan terjatuh 2. Menjumlahkan untuk efek-efek yang

merugikan yang berkaitan dengan besar dampak, durasi, frekuensi,

1. Bukan metode yang cepat diuji 2. Baik digunakan oleh individu yang

berpengalaman dan terlatih

3. Tidak bisa dijumlahkan untuk bahaya-bahaya yang berkaitan dengan tekanan

Untuk pekerjaan yang benyak menggunakan tangan, pada operator komputer

(60)

peregangan dan kekuatan dan efek-efek yang bermannfaat untuk masa pemulihan dan batas pekerjaan

3. Metode semi kuantitatif menggunakan prosedur yang berkaitan dengan waktu dan studi gerakan.

4. Dampak yang diahsilkan untuk klasifikasi dikotomis dari pekerjaan atau tugas mudah diketahui dan praktis dan memungkinkan untuk mensimulasi intervensi potensial 5. Memprediksi validitas yang

telahditunjukkan dan model statistik dalam beberapa pengaturan

atau getaran lengan tangan 4. Metode yang digunakan untuk

menganalisis karakteristik pekerjaan dengan beberapa tugas yang dilakukan perhari (rotasi pekerjaan) atau

beberaapa tugas yang dilakukan dalam suatu siklus pekerjaan (tugas-tugas kompleks) sedang dalam

pengembangan, tetapi ini cenderung rumit dan tidak valid.

3. QEC 1. Dapat mengkover beberapa risiko

fisik yang besar untuk MSDs 2. Mempertimbangkan kebutuhan

pengguna dan dapat digunakan oleh peneliti yang tidak pengalaman. 3. Mempertimbangkan kombinasi dan

interaksi dari berbagai faktor risiko di tempat kerja

4. Mudah digunakan 5. Reability

6. Mudah dipelajari dan mudah digunakan

1. Fokus metode hanya pada tempat kerja 2. Membutuhkan ketepatan dalam

penilitian

3. Dibutuhkan penambahan latihan pada pengguna untuk meningkatkan

ketepatan penilaian

Baik untuk

pengguna komputer dan pekerja di perusahaan

4. RULA (Rapid Upper Limb

Assessment)

1. menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk menyiapkan sebuah profil dari beban otot.

1. Hanya untuk pekerjaan dengan postur kerja duduk terus- menerus dan berdiri statis, kurang cocok untuk pekerjaan dengan gerakan yang dinamis

Untuk pekerjaan yang statis duduk ataupun berdiri, seperti pekerja kerajinan tangan

(61)

2. dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan investigasi lebih lanjut dan tindakan perbaikan.

3. Pemberian skor pada RULA

terperinci, misalnya penambahan sudut derajat pada setiap postur, gaya dan beban mendapat tambahan nilai 1. 4. Mudah digunakan, cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode lainnya, dan

5. dapat digunakan untuk menilai secar teliti pekerjaan atau postur untuk satu orang pekerja atau kelompok.

2. Tidak ada tinjauan rekam medis.

3. Metode ini tidak bisa mengukur

gerakan tangan menggenggam,

meluruskan, memutar dan memerlukan tekanan pada telapak tangan, dan

4. Metode ini tidak mengukur

antropometri tempat kerja yang dapat menyebabkan terjadinya postur janggal.

(62)

2.5 Kerangka Teori

Terdapat beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian

nyeri punggung bawah. Faktor risiko tersebut dapat dikategorikan menjadi

tiga, yakni faktor risiko pekerjaan, faktor risiko individu, dan faktor

lingkungan.

Nyeri punggung bawah terjadi sebagai akibat dari faktor pekerjaan,

pekerja atau individu, dan lingkungan (Cohen et al, 1997). Faktor pekerjaan

adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri termasuk gerakan

repetitive, beban, postur statis, postur janggal, frekuensi, durasi. Faktor

pekerja yakni berupa usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, lama bekerja,

dan riwayat penyakit, sedangkan faktor lingkungan kerja yaitu vibrasi, suhu,

dan tingkat iluminasi (Bridger, 1995). Dan menurut Cohen et al (1997),

(63)

Gambar 2.6 Kerangka Teori

Sumber: Cohen et al (1997), Bridger (1995) Faktor Pekerjaan

Postur

 Peregangan Otot yang Berlebihan

Aktivitas Berulang

Force atau Load

Faktor Personal Usia Jenis kelamin Kebiasaan merokok Kebiasaan Olahraga

Indeks Masa Tubuh

Masa kerja

Keluhan Nyeri Punggung Bawah

Faktor Lingkungan

Mikroklimat

Vibrasi

(64)

46

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada proses penyulaman

kain tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.

Cohen (1997) menyatakan bahwa selain usia dan jenis kelamin,

karakteristik individu yang mempengaruhi risiko kejadian nyeri punggung bawah

yaitu masa kerja, akan tetapi variabel jenis kelamin dalam faktor pekerja tidak

diteliti karena pekerja yang akan diteliti pada pekerjaan menyulam umumnya

wanita dan bersifat homogen, untuk variabel lingkungan tidak diteliti karena

pekerja mengerjakan penyulaman di tempat yang sama. Secara umum faktor yang

berkontribusi adalah postur ketika bekerja, beban yang ditanggung ketika bekerja,

serta gerakan berulang anggota tubuh ketika bekerja.

Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variabel independen.

Variabel independen yaitu faktor pekerjaan, usia, kebiasaan merokok, IMT,

kebiasaan olahraga, masa kerja. Sedangkan keluhan nyeri punggung bawah

(65)

Gambar 3.1 Kerangka konsep

Faktor Pekerjaan

(Berdasarkan Postur RULA)

Postur

 Peregangan Otot yang Berlebihan Aktivitas Berulang Faktor Personal  Usia  Kebiasaan Merokok  IMT  Masa Kerja  Kebiasaan Olahraga

Keluhan Nyeri Punggung Bawah

(66)

48

3.2 Definis Operasional No

.

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1. Keluhan Nyeri Punggung Bawah

Keadaan dengan rasa tidak nyaman atau nyeri akut pada daerah ruas

lumbalis kelima dan

sakralis (L5-S1) oleh

pekerja sulam kain tapis. (Pheasant, 1991)

Kuesioner Menyebarkan kuesioner

kepada pekerja 0. Tidak pernah 1. Ada Keluhan Ordinal 2. Faktor Pekerjaan (RULA)

Skor akhir dari hasil mengidentifikasi postur pekerja sulam kain tapis dengan menggunakan metode RULA 1. Kamera 2. Busur 3. Form RULA 4. Timbangan 1. Merekam kegiatan pekerja sulam dengan menggunakan kamera 2. Menilai penjahit dengan menggunakan RULA serta mengukurnya dengan menggunakan busur 0. Skor ≤ 2 yaitu risiko masih dapat diterima, dan tidak perlu ada perubahan. 1. Skor ≥ 3 yaitu investigasi lanjut dan mungkin perlu ada perubahan. Ordinal

(67)

49

3. Usia Lamanya pekerja sulam

hidup dihitung sejak tahun kelahiran sampai penelitian berlangsung

Kuesioner Menyebarkan kuesioner

kepada pekerja

0. < 35 tahun 1. ≥ 35 tahun (Tarwaka,2004)

Ordinal

4. Kebiasaan Merokok Banyaknya jumlah

batang rokok yang dikonsumsi per hari oleh responden

Kuesioner Menyebarkan kuesioner

kepada pekerja

0. Tidak merokok 1. Merokok

Ordinal

5. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Kondisi status gizi responden saat dilakukan penelitian. Dihitung dengan rumus IMT = BB (Kg) / TB (cm/1002). (Depkes, 1994) 1. Timbangan 2. Microtoise 1. Melakukan penimbangan berat badan pekerja sulam kain tapis 2. Melakukan pengukuran tinggi badan pekerja kain tapis 0. Kurus <18,5 1. Normal 18,5-25 2. Gemuk > 25,0 (Depkes, 1994) Ordinal

6. Masa Kerja Lama bekerja sebagai

pekerja sulam kain tapis

Kuesioner Menyebarkan kuesioner

kepada pekerja

(68)

50

7. Kebiasaan Olahraga Aktivitas olahraga yang dilakukan

pekerja sulam kain tapis

Kuesioner Menyebarkan kuesioner

kepada pekerja 0. Sering (≥ 3 kali seminggu dan ≥10 menit) 1. Jarang (0-3 kali/bulan ≥10 menit) 2. Tidak pernah (Cooper, 1982) Ordinal

(69)

51

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif dengan desain

studi cross sectional (potong lintang) dimana pada penelitian ini variabel

independen dan dependen diamati pada waktu (periode) yang bersamaan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011

di Sanggar Family Art yang beralamat di Perumnas Beringin Raya Kemiling

Bandar Lampung.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah pekerja sulam di Sanggar Family Art.

Sedangkan sampel yang diambil adalah pekerja yang mewakili populasi. Sampel

yang diambil adalah pekerja yang dapat mewakili populasi. Sedangkan

pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus uji beda dua proporsi

berikut ini: (Sumber : Ariawan, 1998) [Z 1-α/2 √2 P (1-P) + Z1-ß√P1 (1-P1) + P2(1-P2) ]2 n = (P1 - P2) 2

Gambar

Gambar 2.1 Grafik Kejadian MSDs
Gambar 2.2 Anatomi Tulang Belakang
Gambar 2.3 Posisi Pergelangan Tangan yang Diamati
Gambar 2.4 Posisi Leher yanga Diamati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkumpulan wanita yang didirikan tahun 1920-1930 dapat dibagi menjadi tiga yakni: (1) perkumpulan yang menjadi bagian wanita dari partai politik atau perkumpulan pergerakan

(2) Hasil dari perumusan strategi samudra biru pada DP Mall Semarang yaitu sebagai berikut: (a) tidak perlu ada faktor yang dihapuskan karena semua faktor penting dan

[r]

Upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan berhasil tanpa didukung oleh sikap dan perilaku warga negaranya yang mencerminkan perhormatan terhadap hak asasi

(2-tailed) N Pearson

Tujuan dari penyusunan skripsi ini guna untuk memenuhi salah satu syarat untuk bisa menempuh ujian akhir pada Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi Keperawatan

Kurikulum yang digunakan SD Negeri Duwet adalah KTSP untuk kelas 3 dan kelas 6, disusun oleh sekolah disesuaikan dengan kultur sekolah serta pengembangan

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu