SANGGAR FAMILY ART BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
DISUSUN OLEH: DEFRIYAN NIM: 106101003310
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYRAKAT PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1432 H/2011 M
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir setiap orang pernah mengalami nyeri punggung bawah (NPB)
sepanjang hidupnya. Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap kondisi ini dan
masing-masing sangat berpotensi untuk mengalami disabilitas akibat kondisi
tersebut. NPB dapat berhubungan dengan berbagai kondisi ataupun faktor risiko,
namun seringkali tidak ditemukan adanya faktor spesifik yang mendasarinya.
NPB termasuk salah satu dari gangguan muskuloskeletal, gangguan psikologis
dan akibat dari mobilisasi yang salah. Hal tersebut dapat menyebabkan
timbulnya rasa pegal, linu, ngilu, atau tidak enak pada daerah lumbal berikut
sakrum (www.prodiaohi.co.id).
Gejala utama dari NPB atau sering disebut low back pain adalah yang
ditandai dengan nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang
punggung bagian bawah. Dalam kejadian yang sesungguhnya di masyarakat,
NPB tidak mengenal perbedaan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial,
tingkat pendidikan, semuanya bisa terkena NPB. Lebih dari 70% umat manusia
dalam hidupnya pernah mengalami NPB, dengan rata-rata puncak kejadian
berusia 35-55 tahun (Andersson. 1997).
Klasifikasi NPB dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu
kronik dan akut. Nyeri punggung bawah akut akan terjadi dalam waktu kurang
bulan. Nyeri punggung berasal dari tulang belakang, otot, saraf atau struktur lain
pada daerah tersebut (Rakel, 2002). Dengan demikian nyeri punggung bawah
adalah gangguan muskuloskeletal pada daerah punggung bawah yang disebabkan
oleh berbagai penyakit dan aktivitas tubuh yang kurang baik.
Problematik keluhan nyeri yang paling banyak ditemukan dan sangat
mengganggu aktifitas kerja sehari-hari meskipun berbagai upaya
penanggulangan dan penatalaksanaan terapi selalu dikaji tetapi hasilnya masih
belum optimal. Insiden nyeri punggung bawah yang paling banyak dijumpai
pada pekerja atau karyawan sebagai akibat dari kelainan mekanika gerak atau
postural yang berlangsung dalam jangka waktu lama (Brown and Makckler,
1999 dalam Hartiyah, 2009).
Nyeri punggung bawah berhubungan dengan stress atau strain otot-otot
punggung, tendon dan ligamen yang biasanya ada bila melakukan aktivitas
sehari-hari secara berlebihan, seperti duduk atau berdiri terlalu lama juga
mengangkat benda berat dengan cara yang salah. Di industri manapun, sebagian
besar karyawan akan menghabiskan waktu dengan posisi duduk dan sebanyak 60
% orang dewasa mengalami nyeri pinggang bawah karena masalah duduk. Suatu
penelitian di sebuah rumah sakit menunjukkan bahwa pekerjaan dengan duduk
lama (separuh hari kerja) dapat menyebabkan hernia nukleus pulposus, yaitu
saraf tulang belakang terjepit di antara kedua ruas tulang belakang sehingga
menyebabkan selain nyeri pinggang juga rasa kesemutan yang menjalar ke
tungkai sampai ke kaki. Bahkan, bila parah,dapat menyebabkan kelumpuhan
Kebanyakan kejadian nyeri punggung bawah tidak mengakibatkan
kecacatan tapi menyebabkan gangguan aktivitas kerja. Di Inggris tahun 1993
menyebabkan 11% populasi kerja terganggu aktivitas kerjanya sampai 4 minggu
karena nyeri punggung. Lebih dari 50% penderita nyeri punggung membaik
dalam 1 minggu, sementara lebih dari 90% merasa lebih baik dalam 8 minggu.
Sisanya sekitar 5% mengalami keluhan yang berlanjut sampai lebih dari 6 bulan.
Dilihat dari data yang dikumpulkan dari penelitian Pusat Riset dan
Pengembangan Ekologi Kesehatan, Departemen Kesehatan. Penelitian ini
melibatkan 800 orang dari 8 sektor informal di Tanah Air. Hasilnya
menunjukkan, gangguan muskuloskeletal dialami oleh sekitar 31,6% petani
kelapa sawit di Riau, 21% perajin wayang kulit di Yogyakarta, 18% perajin onix
di Jawa Barat, 16,4% penambang emas di Kalimantan Barat, 14,9% perajin
sepatu di Bogor, dan 8% perajin kuningan di Jawa Tengah. Perajin batu bata di
Lampung dan nelayan di DKI Jakarta adalah kelompok pekerja yang paling
banyak menderita gangguan muskuloskeletal, masing-masingnya sekitar 76,7%
dan 41,6% dan rata-rata semua pekerja mengeluhkan nyeri di punggung, bahu,
dan pergelangan tangan (Herryanto, 2004). Di negara industri seperti Indonesia,
nyeri punggung banyak menyerang pekerja usia produktif sekitar 20-40 tahun
(Arda, 2007 dalam Hartiyah 2009).
Salah satu kegiatan yang memiliki potensi risiko terjadinya gangguan
NPB yaitu menyulam dikarenakan aktifitas yang dilakukan merupakan pekerjaan
statis dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan agar menjadi
menyelesaikan kain tapis serta bekerja dalam posisi duduk yang terlalu lama juga
dapat menimbulkan nyeri punggung bawah pada pekerja sulam kain tapis. Kain
Tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat
dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau
benang emas dengan sistim sulam (Lampung; "Cucuk"). Dengan demikian yang
dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif,
benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung.
Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah
berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif
alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak. Kain
Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang
bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi (Artha, 2008).
Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang
digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana
dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dikerjakan oleh wanita, pembuatan
kain tapis di Bandar Lampung merupakan industri rumahan (home industry)
dimana pekerja tidak terikat oleh suatu badan atau perusahaan (Artha, 2008).
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di bulan November 2010
pada 10 pengrajin kain tapis di Sanggar Family Art, Bandar Lampung dengan
menggunakan Nordic Body Map, diketahui proses pembuatan kain tapis dari
awal hingga akhir proses didapatkan postur kerja dalam posisi duduk dengan
proses kerja menyulam dilakukan secara berulang-ulang, serta diketahui bahwa
pekerja seluruhnya mengalami MSDs setelah bekerja, 80% merasakan sakit pada
punggung bawah atau pinggang, 50% nyeri pada lengan kanan atas, 40% nyeri
pada leher atau tengkuk kepala, dan 20% nyeri pada bokong.
Berdasarkan uraian didapat keluhan yang paling sering terjadi pada
pengrajin tapis di Sanggar Family Art yakni sakit atau nyeri pada punggung
bawah atau pinggang yakni sebesar 80% pengrajin mengalami keluhan pada
punggung bawah atau pinggang. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada
proses penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung. Selain itu
belum adanya penelitian yang dilakukan mengenai faktor-faktor terkait dengan
keluhan Nyeri Punggung Bawah pada proses penyulaman kain tapis di Sanggar
Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
1.2 Rumusan Masalah
Seharusnya setiap institusi formal atau non-formal menyediakan
lingkungan yang kondusif bagi pekerja agar terhindar dari penyakit akibat kerja
seperti NPB. NPB adalah sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama
nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang punggung bagian
bawah. sebagian besar karyawan akan menghabiskan waktu dengan posisi duduk
dan sebanyak 60 % orang dewasa mengalami nyeri pinggang bawah karena
masalah duduk. Menurut survey sektor HORECA, akibat kejadian NPB banyak
terjadi pada sektor ini yaitu sekitar 33% nyeri punggung, 20,3% mengalami nyeri
dan 34% dari pekerja dilaporkan menderita sakit punggung (European Agency
for Safety and Health at Work, 2000).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Sanggar
Family Art Bandar lampung pada bulan November 2010 terhadap 10 pengrajin
kain tapis di Bandar Lampung, delapan dari sepuluh pekerja mengalami atau
merasakan adanya keluhan nyeri punggung seperti nyeri ataupun pegal-pegal
setelah melakukan pekerjaan yang diakibatkan oleh posisi kerja yang statis dan
dalam waktu yang lama. Gangguan nyeri punggung bawah pada pekerja dapat
menurunkan tingkat produktivitas kerja, menurunkan performance kerja, serta
kualitas kerja, hubungan dalam kerja, kurangnya konsentrasi kerja dan
meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Serta belum pernah ada penelitian
terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung
bawah pada proses penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art Bandar
Lampung. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara pekerjaan, usia pekerja, masa kerja,
kebiasaan merokok, indeks masa tubuh, kebiasaan olahraga dengan keluhan
nyeri punggung bawah pada proses penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art
Bandar Lampung tahun 2011.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses
Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun
2. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan pada proses penyulaman kain tapis
Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011?
3. Bagaimana gambaran faktor pekerja (usia, indeks masa tubuh, kebiasaan
merokok kebiasaan olahraga, masa kerja) pada proses penyulaman kain tapis
di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011?
4. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family
Art Bandar Lampung tahun 2011?
5. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan keluhan Nyeri Punggung
Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar
Lampung tahun 2011?
6. Apakah ada hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family
Art Bandar Lampung tahun 2011?
7. Apakah ada hubungan antara indeks masa tubuh pekerja dengan keluhan
Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar
Family Art Bandar Lampung tahun 2011?
8. Apakah ada hubungan antara kebiasaan berolahraga dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family
Art Bandar Lampung tahun 2011?
9. Apakah ada hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art
Bandar Lampung tahun 2011.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses
Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun
2011.
2. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan pada proses penyulaman kain
tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
3. Diketahuinya gambaran faktor pekerja (usia, indeks masa tubuh,
kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, masa kerja) pada proses
penyulaman kain tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun
2011.
4. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar
Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
5. Diketahuinya hubungan antara faktor usia pekerja dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar
6. Diketahuinya hubungan antara indeks masa tubuh pekerja dengan
keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di
Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
7. Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok pekerja dengan
keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di
Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
8. Diketahuinya hubungan antara kebiasaan berolahraga pekerja dengan
keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di
Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
9. Diketahuinya hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar
Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Program Kesehatan Masyarakat
Dapat dijadikan referensi mengenai risiko nyeri punggug bawah pada
pekerja informal untuk mahasiswa peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3).
1.5.2. Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk
mengaplikasikan teori yang telah didapat dalam operasional lingkungan kerja,
serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti
1.5.3. Pengelola Usaha Tapis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
pemahaman mengenai bahaya di tempat kerja khususnya keluhan nyeri
punggung bawah, sehingga para pengelola secara mandiri dapat melakukan
upaya-upaya perlindungan terhadap kesehatan kerja dan terhindar dari penyakit
akibat kerja.
1.5.4. Pemerintah
Adanya kebijakan atau peraturan yang dibuat untuk menanggulangi
masalah MSDs umumnya dan khususnya NPB, serta pemerintah lebih
memperhatikan kesehatan para pekerja di bidang informal.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan oleh mahasiswa semester sepuluh program studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian
ditujukan untuk meneiliti ada atau tidaknya keluhan Nyeri Punggung Bawah
Pada Proses Penyulaman Kain Tapis Di Sanggar Family Art Bandar Lampung
tahun 2011, dikarenakan pada studi pendahuluan didapatkan delapan dari
sepuluh pekerja merasakan sakit pada punggung bawah serta berdasarkan hasil
pengamatan postur kerja para pengrajin statis dan duduk terlalu lama sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggug bawah pada pekerja
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
faktor pekerja atau individu (usia, masa kerja, indeks masa tubuh, kebiasaan
olahraga, dan kebiasaan merokok). Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011
sampai Februari 2011 pada pengrajin tapis di Sanggar Family Art Bandar
Lampung. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain
cross sectional study serta menggunakan Form RULA. Pengambilan data
dilakukan dengan cara pengambilan data primer. Data primer diperoleh melalui
pengukuran langsung keluhan nyeri punggung bawah pada pengrajin tapis dan
persentase paparan nyeri punggung bawah serta karakteristik pekerja. Data
karakteristik pekerja diperoleh melalui kuesioner, data persentase paparan nyeri
punggung bawah melalui observasi. Data data tersebut dianalisis secara univariat
12
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyeri Punggung Bawah 2.1.1 Definisi
Nyeri punggung bawah atau low back pain (LBP) adalah suatu keadaan
dengan rasa tidak nyaman atau nyeri akut pada daerah ruas lumbalis kelima dan
sakralis (L5-S1). Nyeri pada punggungg bawah dirasakan oleh penderita dapat
terjadi secara jelas atau samar serta menyebar atau terlokalisir (Pheasant 1991)
Nyeri punggung bagian bawah adalah salah satu dari sekian banyak akibat
yang bersumber dari ketidaknyamanan kerja. Tapi dapat juga terjadi dari aktivitas
sehari-hari, misalnya seperti mengendarai mobil, melakukan pekerjaan rumah
atau berkebun. Walaupun anatomi tulang belakang diketahui dengan baik,
menemukan penyebab nyeri pinggang bawah menjadi masalah yang cukup serius
bagi orang-orang klinis. LBP merupakan salah satu jenis kelainan
muskuloskeletal akibat kerja yang paling sering dan mengakibatkan biaya yang
paling tinggi. Stephen Pheasant (1999) menggambarkan prosentase distribusi
Gambar 2.1 Grafik Kejadian MSDs
SUMBER : Pheasant, 1999
Dari gambar diatas nampak jelas bahwa punggung mempunyai prosentase
cedera yang paling besar apabila dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain.
2.1.2 Stadium Penyakit
Stadium penyakit, derajat nyeri dan disfungsi akibat nyeri pinggang.
Stadium nyeri disebut akut bila nyeri hilang spontan kurang dari 4-5 minggu.
Nyeri lebih lama dari 5 minggu disebut stadium kronis. Klasifikasi derajat nyeri
dapat dilihat sebagai berikut:
1) Derajat minimal, keluhan nyeri hanya kadang-kadang. Bila ada keluhan tidak
menghambat kegiatan sehari-hari.
2) Derajat ringan (mild), bila nyeri pinggang menetap dan ada hubungannya
dengan kegiatan pada posisi tubuh membungkuk, duduk dan berdiri lama.
overused). Keluhan LBP tidak menyebabkan berhenti dari kegiatan normal
yang lama.
3) Derajat berat (severe) keluhan LBP sangat berat sehingga hanya mampu
melaksanakan kegiatan minimal seperti bangkit dari tidur, duduk dan bangkit
untuk berdiri. Keluhan nyeri yang timbul hampir tak dapat ditahan.
2.1.3 Strategi pencegahan NPB
Secara garis besar terdapat dua jenis pencegahan terhadap NPB (Institute
for Occupational Safety and Health: 2000:30)
a. Pencegahan primer, dimana tujuannya adalah mencegah terjadinya serangan
NPB semenjak dari awal.
b. Pencegahan sekunder, tujuannya adalah mencegah serangan NPB kronik dan
kambuhnya kembali NPB
Strategi untuk mencegah NPB di tempat kerja dapat dilakukan melalui
usaha-usaha sebagai berikut:
a. Mengurangi kerja yang memerlukan tenaga fisik dalam jumlah yang besar.
Menghilangkan pekerjaan mengangkat atau jenis pekerjaan lain yang
membebani tubuh merupakan prioritas pertama untuk mencegah dan
mengurangi NPB yang terkait pekerjaan. Beberapa strategi mungkin untuk
dilakukan antara lain:
1) Mengoptimalkan faktor tempat kerja
a) Mendesain pekerjaan: mengurangi kebutuhan untuk menangani beban,
mengurangi ketajaman dan ukuran dari beban, mengurangi jumlah
b) Mendesain tempat kerja: menyediakan ruang yang cukup untuk
pergerakan tubuh, mengghindari membungkukan batang tubuh
c) Mendesain organisasi kerja: hubungan yang memadai antara tuntutan
pekerjaan dan istirahat, durasi dan frekuensi dari membawa beban
2) Peralatan penanganan bahan
3) Back Belt
Biasanya sabuk ini digunakan menopang punggung selama masa
rehabilitasi cedera punggung, namun penggunaannya kini semakin
meluas, salah satunya adalah untuk mencegah terjadinya NPB
Keuntungan dari penggunaan sabuj punggung adalah:
A. Usaha internal dari tulang belakang berkurang saat terjadi pergerakan
tenaga pada punggung.
B. Tekanan intra abdominal meningkat, yaitu mengimbangi besarnya
tekanan pada punggung
C. Bagian punggung mengeras sehingga dapat menurunkan tekanan atau
gaya
D. Pengguna selalu diingatkan untuk membawa beban dengan cara yang
tepat
b. Meningkatkan Organisasi kerja
c. Pendidikan dan pelatihan (sebagai bagian dari pendekatan yang terintegrasi).
Training yang perlu diberikan adalah pelatihan cara atau teknik membawa
dan kesadaran pekerja terhadap cedera punggung, pelatihan terhadap tubuh
melalui latihan kebugaran fisik sehingga tidak rentan terhadap cedera
d. Tindakan medis dan rehabilitasi
e. Strategi kognitif dan behavioral (contoh: strategi coping)
2.2 Anatomi Tulang Belakang
Tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang di bentuk oleh
sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Pada orang
dewasa panjang tulang belakang dapat mencapai 57-67 cm. Tulang
belakangmemiliki 33 ruas yang terdiri dari 24 buah ruas merupakan tulang-tulang
yang terpisah dan 9 ruas lainnya tergabung membentuk dua tulang.
Vertebra di kelompokkan menjadi beberapa bagian dan di beri nama
sesuai dengan daerah yang di tempati yaitu :
a. Vertebra Torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang
toraks atau dada yang terdiri dari 12 ruas
b. Vertebra Serukalis atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk
yang terdiri dari 7 buah
c. Vertebra Lumbalis atau ruas tulang punggung membentuk daerah lumbal atau
pinggang yang terdiri dari 5 buah
d. Vertebra Sakralis atau tulang kelangkang membentuk sacrum atau tulang
kelangkang yang terdiri dari 5 buah
e. Vertebra Kosigeus atau ruas tulang punggung membentuk tulang koksigeus
2.2.1 Fisiologi
Kolumna vertebralis memperlihatkan 4 lengkung anteroposterior yaitu
lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan, daerah torakal
melengkung kebelakang, daerah lumbal melengkung kedepan dengan daerah 20
pervil melengkung kebelakang. Kolumna vertebralis bekerja sebagai pendukung
badan yang kokoh dan sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan
perantara tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberi
fleksibilitas dan memungkinkan membomgkok tanpa patah. Cakramnya juga
berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakan badan seperti
waktu berlari dan meloncat. Dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang
terlindung terhadap goncangan. Kolumna vertebralis juga memikul berat badan,
menyediakan permukaan untuk kaitan otot dan membentuk tapal batas posterior
yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. (Peace
Gambar 2.2 Anatomi Tulang Belakang
Sumber : Eveline C. Pearce. Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang
2.3 Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah
Faktor risiko adalah sifat atau karakteristik pekerja atau lingkungan kerja
yang dapat meningkatkan kemungkinan pekerja menderita gejala MSDs (LaDao,
dalam Nur Jannah 2008). Ada beberapa faktor yang terbukti berkontribusi
menyebabkan MSDs, yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan postur janggal, kerja
statis, gerakan repetitif dan penggunaan tenaga yang besar merupakan faktor
risiko terjadinya MSDs (Pheasant, 1991). Selain itu telah adanya bukti ini
semakin kuat ketikapekerja diekspos oleh stressos ini secara bersamaan (Bridger,
Faktor risiko ergonomi didefinisikan sebagai kondisi suatu tugas atau
proses atau operasi yang berpengaruh bagi timbulya MSDs, dan nyeri punggung
bawah (NPB) terdapat dalam macam-macam gangguan MSDs. Oleh karena itu
pemaparan terhadap faktor risiko ergonomi sabaiknya dibatasi atau dihindarkan.
Faktor risiko ergonomi merupakan aspek dari pekerjaan atau tugas yang
memberikan “biomechanical stress” pada pekerja. Pemaparan dari faktor risiko
ergonomi pada tempat kerja yang dapat menyebabkan atau memberikan
konstribusi bagi perkembangan sistem musculoskeletal.
Faktor-faktor risiko tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu
pekerjaan, lingkungan dan manusia atau pekerja. Faktor risiko adalah sifat atau
karakteristik pekerja atau lingkungan kerja yang dapat meningkatkan
kemungkinan pekerja atau petugas yang memberikan “biomechanical stress”
pada pekerja. Faktor-faktor risiko ergonomi tersebut antara lain:
2.3.1 Faktor Pekerjaan
Berdasarkan karakteristik pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam
interaksinya dengan sistem kerja. Berdasarkan penelitian telah terbukti bahwa
tinjauan secara biomekanik serta data statistik menunjukkan bahwa faktor
pekerjaan berkontribusi pada terjadinya cedera otot akibat bekerja (Armstrong,
1979; Wisseman & Badger, 1970; Werner, 1997) dikutip Chaffin (1999).
Berdasarkan penelitian Anggraeni didapatkan ada hubungan bermakna dari faktor
pekerjaan dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.003.
Berikut ini faktor-faktor pekerjaan yang bisa menyebabkan terjadinya
1. Postur Janggal (Postur Kerja Tidak Alamiah)
Postur janggal adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terlalu tinggi, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan
sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh,
maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja
yang tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat
kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
pekerja (Tarwaka et al, 2004)
2. Postur Statis
merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama dimana
pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan
beban pada otot tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang
membawa nutrisi dan oksigen serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot
menjadi terhalang. Gerakan yang dipertahankan >10 detik dinyatakan postur
statis. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh pakar fisiologi kerja
ditemukan bahwa sikap kerja yang tidak alamiah (sikap statis dalam waktu
yang lama) dapat mengakibatkan gangguan pada sistem otot rangka atau
MSDs.
3. Peregangan Otot yang Berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering
dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan
menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena
pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot.
Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko
terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot
skeletal (Tarwaka et al, 2004).
4. Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus
menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkat
dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat
beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk
relaksasi (Tarwaka et al, 2004)
5. Force atau Load
Force atau load adalah massa beban atau berat benda yang diangkat
oleh pekerja dalam satuan Kg. Massa beban atau objek merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Risiko yang
berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan frekuensi
beban yang akan ditangani. Risiko cedera punggung meningkat jika beban
yang diatangani lebih dari 4.5 kg pada posisi duduk atau >16 kg pada posisi
selain duduk. Menurut ILO, berat objek yang direkomendasikan adalah 23-25
kg. Ruas tulang belakang hanya diperbolehkan untuk menanggung beban
kurang dari 20 lb atau 9 kg.
Tangan, siku, bahu dan kaki hanya diperbolehkan mengangkat beban
boleh melebihi 2 lb atau 0,9 kg dengan durasi tidak melebihi 10 detik dan
durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% perhari (Humantech,
1995).
2.3.2 Karakteristik Lingkungan
1). Vibrasi
Vibrasi terjadi akibat adanya transfer energy mekanik osilasi ke
seluruh tubuh atau sebagian tubuh. Respon organ atau jaringan tubuh terhadap
getaran vertikaldiantaranya: 3-4 Hz (resonansi kuat pada membrane vertebra
cervicalis), 4 Hz (resonansi pada vertebra lumbalis), 4-5 Hz (resonansi pada
tangan), 4-5 Hz (resonansi sangat kuat pada sendi bahu) (Pulat, 1997 dalam
Atmaja, 2007). Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi
otot bertambah. Kontraksi stasis ini menyebabkan peredaran darah tidak
lancer, penimbunan asam laktat meningkat, dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1989). Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang
menggunakan tangan. Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika
berdiri atau duduk dalam lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika
mengoperasikan kendaraan atau mesin yang besar (Cohen et al, 1997).
2). Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,
kepekaan, dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi terhambat,
sulit gerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga
yang terlampau besar menyebabkan sebagian energy yang ada dalam tubuh
akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka
akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran
darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan nyeri otot (Tarwaka et al, 2004 dalam Zulaeha, 2008). Pada
temperatur di bawah 39.20F (40C), efek pengupan dingin dapat terjadi dan memperburuk faktor risiko MSDs lain (DiBerardinis, 1999 dalam Rahayu,
2004).
3). Iluminasi
Tingkat iluminasi berkaitan dengan sifat pekerjaan apakah
membutuhkan ketelitian atau tidak. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian
tinggi maka memerlukan iluminasi yang cukup banyak yakni mencapai 1000
Lux sedangkan pekerjaan yang tidak membutuhkan ketelitian hanya
memerlukan tingkat iluminasi yang lebih rendah. Jika tingkat iluminasi pada
suatu tempat tidak memenuhi persyaratan maka akan menyebabkan postur
leher untuk fleksi ke depan (menunduk) dan postur tubuh untuk fleksi
(membungkuk) yang berisiko mengalami MSDs (Bridger, 1995).
2.3.3 Karakteristik Individu
1). Usia
Umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu
keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Hal ini
terjadi karena pada usia setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai
menurun setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun
sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat (Tarwaka et al, 2004).
Usia berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu
dan mencapai puncaknya pada usia 24 tahun. Pada usia 50-60 tahun kekuatan
otot menurun sebesar 25%, kemampuan sensoris motoris menurun sebanyak
60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berusia 60 tahun
tinggal mencapai 50% dari usia manusia yang berusia 25 tahun.
Bertambahnya usia akan diikuti penurunan; VO2 max, tajam penglihatan,
pendengaran, kecepatan membedakan sesuatu, membuat keputusan dan
kemampuan mengingat jangka pendek. Dengan demikian pengaruh usia selalu
dijadikan pertimbangan dalam memberikan pekerjaan bagi seseorang
(Tarwaka et al, 2004)
Pada Penelitian Anggraeni (2010) pekerja yang berusia ≥ 35 tahun
memiliki risiko 4.018 kali untuk mengalami carpal tunnel syndrome
dibandingkan dengan pekerja yang berusia < 35 tahun dengan Pvalue sebesar
0.037.
Usia mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan
bahu, bahkan ada beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa usia
merupakan penyebab utama terjadinya keluahan. Usia berkaitan dengan
perubahan degenerative fungsi fisiologi tubuh. Pertambahan usia berarti
sehingga pada semakin bertambah usia makan semakin berisiko MSDs
(Riihimaki, 1998 dalam Zulaeha, 2008).
2). Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang
pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa
hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin
mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara
fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pria (Tarwaka
etal, 2004). Hasil penelitian Betti’e et al. (1989) menunjukkan bahwa rata-rata
kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria,
khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al. (1994), hales et al. (1994), dan
Johansonb(1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara
pria dan wanita adalah 1:3 (Tarwaka, et al. 2004).
3). Kebiasaan Merokok
Boshuizen et al (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan
yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok
dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan mineral pada tulang
sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada
Semakin lama semakin dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi
pula tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka et al, 2004 dalam Zulaeha,
20068). Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung
dari pada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari
pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk
setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991 dalam Zulaeha, 2008).
Anggraeni tahun 2010 didapatkan hasil bahwa kebiasaan merokok tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan NPB dengan Pvalue
sebesar 1.
4). Kebiasaan Olahraga
Aerobic fitness meningkatkan kemampuan kontraksi otot. Delapan
puluh persen (80 %) kasus nyeri tulang punggung disebabkan karena
buruknya tingkat kelenturan (tonus) otot atau kurang berolah raga. Otot yang
lemah terutama pada daerah perut tidak mampu menyokong punggung secara
maksimal.
Contoh Olahraga Kesehatan berbentuk senam (Aerobiks) ialah Senam
Pagi Indonesia seri D (SPI-D). Satu seri SPI-D memerlukan waktu 1’45”,
sehingga untuk memenuhi kriteria waktu yang adekuat maka SPI-D harus
dilakukan minimal 6x berturut-turut tanpa henti, yang akan mencapai waktu
10.5 menit. Ciri-ciri olahraga aerobik, olahraga yang mengaktifkan otot:
a. ≥ 40%
c. Dengan intensitas yang adekuat dan sesuai usia (mencapai
denyut nadi latihan 65-80% DNM)
d. Secara kontinyu dengan waktu adekuat (minimal 10 menit)
Contoh olahraga aerobik yaitu lari/joging, lari di tempat, renang,
senam, berjalan cepat selama 30 menit selama 6 hari dalam satu minggu dan
beristirahat pada hari Sabtu, bersepeda, selain itu olahraga lari juga dapat
mencapai tingkat edekuat sesuai kriteria Cooper jika dilakukan secara teratur
dan terus-menerus, disarankan tiga kali seminggu dengan latihan selang,
misalnya: Senin – Rabu – Jumat atau Selasa – Kamis – Sabtu. (Cooper, 1982
dalam Hazami, 2010)
Penelitian yang dilakukan Rahmat (2007) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian low back pain dengan
kebiasaan olahraga dengan p value 0,029.
5). Indeks Masa Tubuh (IMT)
Antropometri berasal dari bahasa Yunani yaitu Antropos (manusia)
dan metricos (pengukuran), antropometri merupakan suatu pengukuran yang
sistematis terhadap tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran
tubuh digunakan untuk merancang suatu sarana kerja yang sesuai dengan
ukuran tubuh pengguna sarana kerja yang bersangkutan. Desain ergonomis
pada suatu populasi, peralatan yang diperuntukan kepada kaum laki- laki dan
perempuan seharusnya berbeda, karena antropometri laki- laki dan perempuan
berbeda (Gempur Santoso, 2004). Menurut WHO (2005) indeks masa tubuh
gemuk ( >25). Jika seseorang mengalami kelebihan berat badan maka orang
tersebut akan berusaha untuk menyangga berat badan dari depan dengan
mengontraksikan otot punggung bawah. Dan apabila ini terus berlanjut maka
akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang
mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan HC dan Horn SE, 1998).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni menyatakan ada
hubungan yang bermakna keluhan yang dialami dengan indeks masa tubuh
dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.036.
6). Masa Kerja
Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali
pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung (Amalia, 2007).
Sedangkan menurut Sedarmayanti (1996) lama masa kerja adalah satu fakor
yang termasuk kedalam komponen ilmu kesehatan kerja. Pekerja fisik yang
dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh
terhadap mekanisme dalam tubuh (sistem peredaran darah, pencernaan, otot,
syaraf dan pernafasan).
Kejadian musculosksletal disorders dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor individu, salah satunya adalah pengalaman bekerja. Lamanya pekerja
bekerja di suatu industri, mempengaruhi kesakitan musculoskeletal yang
dirasakan. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa absen sakit dikarenakan
kesakitan pada upper limbs lebih tinggi pada pekerja yang baru dibandingkan
pekerja yang telah berpengalaman, terutama pada kelompok pekerja dengan
Dan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Rahardjo (2009) pekerja
yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,755 kali
dibandingkan pekerja dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Rihiimaki et al (1989)
menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan
keluhan otot.
2.4 Metode Penilaian Risiko NPB
2.4.1 Rapid Entire Body Assessment (REBA)
REBA adalah metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Lynn
McAtamney yang secara efektif digunakan untuk menilai postur tubuh pekerja.
REBA telah dikembangkan untuk menilai tipe dari ketidakpastian penemuan
postur pekerjaan dalam pelayanan kesehatan dan industri lainnya. Data
dikumpulkan tentang postur tubuh, gaya yang digunakan, tipe dari pergerakan dan
tindakan, pengulangan kerja, dan Coupling. Skor akhir dari REBA memberikan
indikasi dari level risiko dan tingkat keparahan dengan mengambil tindakan mana
yang harus didahulukan. (Hignett dan McAtamney, 2000). Metode ini relatif
mudah digunakan karena untuk mengetahui nilai suatu anggota tubuh tidak
diperlukan besar yang spesifik, hanya berupa range sudut.
Terdapat tiga tahapan proses perhitungan yang dilalui yaitu:
mengumpulkan data mengenai postur pekerja tiap kegiatan menggunakan video
atau foto.
1. menentukan sudut pada postur tubuh saat bekerja pada bagian tubuh seperti:
b. Leher (neck)
c. Kaki (leg)
d. Lengan bagian atas (upper arm)
e. Lengan bagian bawah (lower arm)
f. Pergelangan tangan (hand wrist)
2. Menentukan berat beban, pegangan (coupling) dan aktivitas kerja
3. Menentukan nilai REBA untuk postur yang relevan dan menghitung skor
akhir dari kegiatan tersebut.
2.4.2 Job Strain Index (JSI)
JSI membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang diukur atau menilai 6
variabel-variabel tugas berikut yaitu intesitas penggunaan, durasi waktu
penggunaan persiklus, jumlah dari kegiatan per menit, postur pergelangan tangan,
kecepatan penggunaan, dan durasi tugas per hari. JSI digunakan hanya untuk
gerakan-gerakan berulang pada tubuh bagian atas yaitu siku, lengan bawah,
tangan, dan pergelangan tangan.
2.4.3 Quick Exposure Checklist (QEC)
Quick Exposure Checklist (QEC) merupakan metode untuk mengukur
risiko terkait penyakit akibat musculoskeletal disorder (MSDs) dalam hal ini NPB
(Li dan Buckle, 1999). Penggunaan QEC mudah diterapkan, berfungsi untuk
mengevaluasi tempat kerja dan desain peralatan kerja serta memudahkan untuk
mendesain ulang tempat kerja. QEC membantu mencegah bahaya NPB yang ada
di tempat kerja. Metode ini telah dikembangkan oleh praktisi di bidang
a) Mengidentifikasi faktor risiko untuk pekerjaan terkait cidera bagian belakang.
b) Mengevaluasi level risiko untuk bagian tubuh yang berbeda.
c) Mengukur perbedaan risiko NPB pada sebelum dan sesudah pekerjaan.
d) Mengembangkan tempat kerja menjadi sarana dalam mengurangi risiko NPB
pada sebelum dan sesudah pekerjaan.
e) Meningkatkan kesadaran tingkat manager, teknisi, desainer, kesehatan dan
pelaksana keselamatan terhadap faktor risiko ergonomi di tempat kerja.
Membandingkan tingkat paparan yang diterima oleh dua pekerja atau
lebih dengan pekerjaan yang sama, atau perbandingan risiko dengan pekerjaan
lainnya.
2.4.4 RULA (Rapid Upper Limb Assessment)
RULA adalah sebuah metode untuk menilai postur, gaya dan gerakan
suatu aktifitas kerja yang berkaitan dengan penggunaan tubuh bagian atas (upper
limb). RULA digunakan untuk menilai postur, beban dan pergerakan yang
berhubungan dengan pekerjaan yang menetap. Seperti pekerjaan yang termasuk
pekerjaan yang menggunakan komputer, manufaktur dan pedagang dimana
pekerja duduk atau berdiri tanpa berpindah. (Nigel corlett, 2005). Metode ini
dikembangkan untuk menyelidiki risiko kelainan yang akan dialami oleh
seseorang pekerja dalam melakukan aktivitas kerja yang memanfaatkan anggota
tubuh bagian atas (upper limb). RULA memberikan sebuah kemudahan dalam
menghitungkan rating dari beban kerja otot dalam menghitungkan rating dari
beban kerja pada anggota tubuh bagian atas. Alat ini memasukkan skor tunggal
besarnya gaya atau beban dan pergerakan yang diharapkan. (McAtamney, 1993
dalam Zulaeha, 2008).
2.4.4.1 Prosedur Penggunaan RULA
Adapun prosedur dalam penggunaan RULA menjelaskan 3 tahapan yaitu:
a. Postur tubuh untuk dilakukan penelian telah diseleksi/ditentukan.
b. Postur tubuh adalh hasil skor dari lembar penilaian, diagram bagian tubuh,
dan tabel
c. Skor tersebut adalah konversi untuk satu dari empat level gerakan/aksi
RULA digunakan untuk intervensi dan penilaian risiko berhubungan
dengan masalah ketegangan dan keseleo pada otot.
2.4.4.2 Langkah- Langkah Penilaian RULA
Dalam rangka melakukan evaluasi mengenai postur tubuh, teknik RULA
membagi menjadi 2 kelompok anggota tubuh, kelompok A yaitu lengan dan
pergelangan tangan, kelompok B yaitu leher, punggung dan kaki. Langkah dan
observasi penilaiannya yaitu:
1). Kelompok A
a) Observasi dan tentukan postur lengan atas sesuai kriteria metode RULA
Posisi lengan atas yang baik yaitu ketika lengan berada pada posisi 20 –
20 karena pada posos ini memiliki skor terkecil. Posisi yang beresiko
terkena MSDs adalah posisi dengan ektensi, pada sudut 20 – 45, 45 – 90,
dan > 90. Skor ini bertambah besar jika bahu terangkat dan lengan atas
abduksi karena terdapat perubahan 1 untuk setiap keadaan tersebut. Tetapi
b) Observasi dan tentukan postur lengan bawah sesuai kriteria metode RULA
Posisi yang memiliki skor terkecil adalah posisi lengan bawah yang
berada pada 60 – 100 sehingga posisi ini dikatakatakan bahwa memiliki
risiko terkecil untuk dapat menderita MSDs. Posisi yang lainnya (0 – 100
dan >100) memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita MSDs. Skor
akan bertambah besar jika lengan bawah menyilang ke garis tengah tubuh
dan menjauh dari tubuh karena skor bertambah 1 untuk tiap keadaan
tersebut. Semakin besar skor maka semakin besar risiko MSDs. Hal ini
dilihat pada gambar di bawah ini.
c) Observasi postur pergelangan tangan dan tentukan skornya
Posisi pergelangan tangan yang baik adalah posisi normal pada sudut 0
yang mendapat skor 1 (skor terkecil). Jika posisi pergelangan tangan
memiliki risiko MSDs. Posisi pergelangan tangan fleksi >15 dan ekstensi
merupakan posisi yang berisiko. Risiko akan bertambah besar jika pada
pergelangan tangan terjadi deviasi ulnar atau radial karena skor
bertambah 1 untuk keadaan tersebut.
Selain posisi pergelangan tangan, kelompok A RULA juga mengobservasi
putaran pergelangan tangan (pronasi dan supinasi). Menurut metode
RULA perputaran pergelangan tangan yang berisiko adalah yang
melakukan perputaran keluar (supinasi) karena memiliki skor lebih besar
daripada perputaran ke dalam (pronasi). Selain itu, pada saat gerakan
supinasi terjadi perlawanan terhadap gaya gravitasi sehingga diperlukan
Gambar 2.3 Posisi Pergelangan Tangan yang Diamati
Sumber: Doc RULA
d) Memasukan tiap skor yang di dapat (skor lengan atas, bawah, pergelangan
tangan dan perputarannya) ke dalam tabel A (upper limb posture score) untuk
mendapatkan skor postur .
Tabel 2.1 Skor A
Postur A: Skor Postur Pergelangan Tangan
1 2 3 4 Lengan Lengan Bawah Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 4 2 1 2 3 3 3 3 4 4 4 2 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 5 5 3 1 3 3 4 4 4 4 5 5 2 3 4 4 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 1 4 4 4 4 4 5 5 5 2 4 4 4 4 4 5 5 5 3 4 4 4 5 5 5 6 6 5 1 5 5 5 5 5 6 6 7 2 5 6 6 6 6 7 7 7 3 6 6 6 7 7 7 7 8 6 1 7 7 7 7 7 8 8 9 2 8 8 8 8 8 9 9 9 3 9 9 9 9 9 9 9 9 Sumber : Stanton, 2005
e) Mengobservasi dan menentukan skor penggunaan otot (muscle use)
Penggunaan otot yang berisiko adalah otot yang digunakan secara statis yakni
jika otot digunakan selama >1 menit atau digunakan berulang- ulang selama 4
kali atau lebih per menit, sedangkan penggunaan otot yang tidak berisiko
adalah tidak termasuk kategori tersebut. Penggunaan otot yang berisiko
mendapatkan skor terbesar yaitu 1.
f) Observasi dan menentukan skor beban (force)
Beban yang tidak berisiko terhadap MSDs adalah beban seberat kurang dari 2
kg yang dilakukan secara intemitten, sedangkan beban yang termasuk kategori
berisiko adalah beban yang memiliki berat >2 kg dan dilakukan baik secara
intermitten maupun berulang- ulang.
g) Menjumlahkan skor postur A dengan skor pengguanaan otot dan beban untuk
mendapatkan skor A
Skor A = skor postur A + skor penggunaan otot + skor beban
2). Kelompok B
a) Mengobservasi dan menentukan skor postur leher
Posisi leher yang memiliki risiko terkecil untuk menderita MSDs adalah pada
posisi 0. Leher yang membungkuk >20 atau lebih akan semakin memperbesar
risiko terkena MSDs. Hal ini dibuktikan dengan semakin besarnya skor untuk
tiap postur yang berisiko. Skor akan memiliki nilai yang lebih tinggi jika
posisi leher berputar dan miring ke samping karena untuk tiap keadaan ini
Gambar 2.4 Posisi Leher yanga Diamati
Sumber : Documen RULA
b) Observasi dan menentukan skor postur punggung
Skor terkecil dimiliki ketika punggung berada pada posisi 0. Skor akan
bertambah besar jika badan membungkuk mulai 10 atau lebih, dan untuk tiap
keadaan badan berputar atau miring ke samping, maka skor akan bertambah 1.
Untuk jelasnya apat dilihat pada gambar di bawah ini.
c) Observasi dan menentukan skor kaki
Posisi kaki yang baik adalah kaki yang diberikan tempat penyangga dan kaki
dalam keadaan seimbang. Untuk kaki yang disangga dan seimbang diberi skor
1, sedangkan jika kaki tidak disangga dan tidak seimbang diberi skor 2.
d) Memasukkan nilai tiap postur untuk mendapatkan nilai skor postur B yang di
dapat dari tabel B (neck, trunk, leg posture score)
Tabel 2.2 Skor B Skor
Postur Leher
Postur B: Skor Postur Punggung
1 2 3 4 5 6
Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7 2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7 3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7 4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8 5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8 6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 Sumber : Stanton, 2005
e) Mengobservasi dan menentukan skor penggunaan otot dan beban sesuai
kriteria
f) Memasukan dan menjumlahkan skor postur B dengan pengguanaan otot dan
beban untuk mendapatkan skor B
Skor B = skor postur B + skor penggunaan otot + skor beban
g) Memasukkan ke dalam matriks masing- masing nilai skor A dan skor B untuk
mendapatkan nlai skor final (tabel C)
Gambar 2. 5
Diagram Alur Skor Final RULA
Skor Tabel A
Skor Tabel B
Nilai skor final merupakan nilai akhir dalam pengukuran dengan
menggunakan metode RULA. Nilai ini memberikan pedoman untuk prioritas
investigasi yang berikutnya. Nilai skor final RULA bervariasi dan dinilai menurut Lengan Atas Lengan Bawah Pergelangan Tangan Perputaran Pergelangan Muscle Use Forces Skor A Leher Kaki Punggung Muscle use Skor B Force Tabel C Skor Final/ grand score RULA
prioritas pengendaliannya yaitu mulai dari skor 1- 7. Tabel nilai skor fianl RULA
dapat dilihat pada tabel C di bawah ini.
Tabel 2.3 Skor C
Tabel C: Skor Leher, Punggung dan Kaki
1 2 3 4 5 6 7+ 1 1 2 3 3 4 5 5 2 2 2 3 4 4 5 5 3 3 3 3 4 4 5 6 4 3 3 3 4 5 6 6 5 4 4 4 5 6 7 7 6 4 4 5 6 6 7 7 7 5 5 6 6 7 7 7 8+ 5 5 6 7 7 7 7 Sumber : Stanton, 2005
Skor ini kemudian dikelompokkan menjadi action level. Hal ini dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Action level 1
Action level 1 berarti postur masih dapat diterima (acceptable) jika tidak
dipertahankan dalam waktu yang lama. Berlaku untuk skor 1- 2.
2. Action level 2
Action level 2 berarti dibutuhkan investigasi lebih lanjut (investigate further)
pada pekerjaan ini dan mungkin dibutuhkan perubahan. Kategori ini untuk
skor final 3- 4.
3. Action level 3
Action level 3 berarti pekerjaan ini harus segera diinvestigasikan dengan
segera dalam waktu singkat (investigate further and change soon). Kategori
4. Action level 4
Action level 4 berarti investigasi dan modifikasi dari pekerjaan ini dibutuhkan
secara cepat (investigate and change immediatly) untuk mengurangi beban
yang berlebihan pada sistem musculosceletal dan risiko cedera atau sakit pada
pekerja. Kategori ini berlaku untuk skor 7.
2.4.4.3 Aplikasi RULA
Terdapat empat pokok utama dalam penerapan metode RULA yaitu
(Stanton et al, 2004), untuk:
1. Mengukur risiko musculosceletal otot, biasanya sebagai bagian dari
investigasi ergonomic secara luas.
2. Membandingkan beban otot dari desain saat ini dan modifikasi desain tempat
kerja.
3. Evaluasi hasil seperti produktivitas atau keserasian alat.
4. Pendidikan bagi pekerja tentang risiko musculosceletal yang ditimbulkan oleh
perbedaan postur dalam bekerja.
2.4.4.4 Kelebihan dan Kelemahan RULA
Metode RULA memiliki banyak kelebihan, antara lain:
1. Menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk
menyiapkan sebuah profil dari beban otot.
2. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan investigasi lebih lanjut
3. Pemberian skor pada RULA terperinci, misalnya penambahan sudut derajat
pada setiap postur, gaya dan beban mendapat tambahan nilai 1.
4. Mudah digunakan, cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode
lainnya, dan
5. Dapat digunakan untuk menilai secar teliti pekerjaan atau postur untuk satu
orang pekerja atau kelompok.
Selain memiliki beberapa kelebihan, metode RULA ini pun memiliki
beberapa kelemahan atau keterbatasan, sehingga diperlukan usaha untuk
merekamnya, antara lain (Corlett, 1998):
1. Hanya untuk pekerjaan dengan postur kerja duduk terus- menerus dan berdiri
statis, kurang cocok untuk pekerjaan dengan gerakan yang dinamis.
2. Tidak ada tinjauan rekam medis.
3. Metode ini tidak bisa mengukur gerakan tangan menggenggam, meluruskan,
memutar dan memerlukan tekanan pada telapak tangan, dan
4. Metode ini tidak mengukur antropometri tempat kerja yang dapat
menyebabkan terjadinya postur janggal.
Penulis memilih menggunakan metode RULA ini dikarenakan beberapa
alasan, antara laian:
1. Karena metode RULA sangat cocok dengan jenis pekerjaan yang dilakukan
pada proses penyulaman kain tapis.
2. Cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode lainnya.
Tabel 2.4 Kelebihan dan Kelemahan Metode Penilaian Risiko MSDs
No Metode Penilaian Risiko
MSDs
Kelebihan Kelemahan Keterangan
1. Rapid Entire Body Assessment (REBA)
1. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang).
3. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil. 4. Skor akhir dapat digunakan dalam
menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan. 5. Fasilitas kerja dan metode kerja yang
lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan.
1. Hanya menilai aspek postur dari pekerja.
2. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang berkaitan dengan faktor psikososial.
3. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperatur, dan jarak pandang
Untuk pekerjaan yang menggunakan seluruh tubuh, pekerjaan mengangkut, seperti penjahit, kuli
2. Job Strain Index (JSI) 1. Dapat menilai eksposure dan patogenesis gangguan terjatuh 2. Menjumlahkan untuk efek-efek yang
merugikan yang berkaitan dengan besar dampak, durasi, frekuensi,
1. Bukan metode yang cepat diuji 2. Baik digunakan oleh individu yang
berpengalaman dan terlatih
3. Tidak bisa dijumlahkan untuk bahaya-bahaya yang berkaitan dengan tekanan
Untuk pekerjaan yang benyak menggunakan tangan, pada operator komputer
peregangan dan kekuatan dan efek-efek yang bermannfaat untuk masa pemulihan dan batas pekerjaan
3. Metode semi kuantitatif menggunakan prosedur yang berkaitan dengan waktu dan studi gerakan.
4. Dampak yang diahsilkan untuk klasifikasi dikotomis dari pekerjaan atau tugas mudah diketahui dan praktis dan memungkinkan untuk mensimulasi intervensi potensial 5. Memprediksi validitas yang
telahditunjukkan dan model statistik dalam beberapa pengaturan
atau getaran lengan tangan 4. Metode yang digunakan untuk
menganalisis karakteristik pekerjaan dengan beberapa tugas yang dilakukan perhari (rotasi pekerjaan) atau
beberaapa tugas yang dilakukan dalam suatu siklus pekerjaan (tugas-tugas kompleks) sedang dalam
pengembangan, tetapi ini cenderung rumit dan tidak valid.
3. QEC 1. Dapat mengkover beberapa risiko
fisik yang besar untuk MSDs 2. Mempertimbangkan kebutuhan
pengguna dan dapat digunakan oleh peneliti yang tidak pengalaman. 3. Mempertimbangkan kombinasi dan
interaksi dari berbagai faktor risiko di tempat kerja
4. Mudah digunakan 5. Reability
6. Mudah dipelajari dan mudah digunakan
1. Fokus metode hanya pada tempat kerja 2. Membutuhkan ketepatan dalam
penilitian
3. Dibutuhkan penambahan latihan pada pengguna untuk meningkatkan
ketepatan penilaian
Baik untuk
pengguna komputer dan pekerja di perusahaan
4. RULA (Rapid Upper Limb
Assessment)
1. menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk menyiapkan sebuah profil dari beban otot.
1. Hanya untuk pekerjaan dengan postur kerja duduk terus- menerus dan berdiri statis, kurang cocok untuk pekerjaan dengan gerakan yang dinamis
Untuk pekerjaan yang statis duduk ataupun berdiri, seperti pekerja kerajinan tangan
2. dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan investigasi lebih lanjut dan tindakan perbaikan.
3. Pemberian skor pada RULA
terperinci, misalnya penambahan sudut derajat pada setiap postur, gaya dan beban mendapat tambahan nilai 1. 4. Mudah digunakan, cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode lainnya, dan
5. dapat digunakan untuk menilai secar teliti pekerjaan atau postur untuk satu orang pekerja atau kelompok.
2. Tidak ada tinjauan rekam medis.
3. Metode ini tidak bisa mengukur
gerakan tangan menggenggam,
meluruskan, memutar dan memerlukan tekanan pada telapak tangan, dan
4. Metode ini tidak mengukur
antropometri tempat kerja yang dapat menyebabkan terjadinya postur janggal.
2.5 Kerangka Teori
Terdapat beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian
nyeri punggung bawah. Faktor risiko tersebut dapat dikategorikan menjadi
tiga, yakni faktor risiko pekerjaan, faktor risiko individu, dan faktor
lingkungan.
Nyeri punggung bawah terjadi sebagai akibat dari faktor pekerjaan,
pekerja atau individu, dan lingkungan (Cohen et al, 1997). Faktor pekerjaan
adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri termasuk gerakan
repetitive, beban, postur statis, postur janggal, frekuensi, durasi. Faktor
pekerja yakni berupa usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, lama bekerja,
dan riwayat penyakit, sedangkan faktor lingkungan kerja yaitu vibrasi, suhu,
dan tingkat iluminasi (Bridger, 1995). Dan menurut Cohen et al (1997),
Gambar 2.6 Kerangka Teori
Sumber: Cohen et al (1997), Bridger (1995) Faktor Pekerjaan
Postur
Peregangan Otot yang Berlebihan
Aktivitas Berulang
Force atau Load
Faktor Personal Usia Jenis kelamin Kebiasaan merokok Kebiasaan Olahraga
Indeks Masa Tubuh
Masa kerja
Keluhan Nyeri Punggung Bawah
Faktor Lingkungan
Mikroklimat
Vibrasi
46
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada proses penyulaman
kain tapis di Sanggar Family Art Bandar Lampung tahun 2011.
Cohen (1997) menyatakan bahwa selain usia dan jenis kelamin,
karakteristik individu yang mempengaruhi risiko kejadian nyeri punggung bawah
yaitu masa kerja, akan tetapi variabel jenis kelamin dalam faktor pekerja tidak
diteliti karena pekerja yang akan diteliti pada pekerjaan menyulam umumnya
wanita dan bersifat homogen, untuk variabel lingkungan tidak diteliti karena
pekerja mengerjakan penyulaman di tempat yang sama. Secara umum faktor yang
berkontribusi adalah postur ketika bekerja, beban yang ditanggung ketika bekerja,
serta gerakan berulang anggota tubuh ketika bekerja.
Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variabel independen.
Variabel independen yaitu faktor pekerjaan, usia, kebiasaan merokok, IMT,
kebiasaan olahraga, masa kerja. Sedangkan keluhan nyeri punggung bawah
Gambar 3.1 Kerangka konsep
Faktor Pekerjaan
(Berdasarkan Postur RULA)
Postur
Peregangan Otot yang Berlebihan Aktivitas Berulang Faktor Personal Usia Kebiasaan Merokok IMT Masa Kerja Kebiasaan Olahraga
Keluhan Nyeri Punggung Bawah
48
3.2 Definis Operasional No
.
Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1. Keluhan Nyeri Punggung Bawah
Keadaan dengan rasa tidak nyaman atau nyeri akut pada daerah ruas
lumbalis kelima dan
sakralis (L5-S1) oleh
pekerja sulam kain tapis. (Pheasant, 1991)
Kuesioner Menyebarkan kuesioner
kepada pekerja 0. Tidak pernah 1. Ada Keluhan Ordinal 2. Faktor Pekerjaan (RULA)
Skor akhir dari hasil mengidentifikasi postur pekerja sulam kain tapis dengan menggunakan metode RULA 1. Kamera 2. Busur 3. Form RULA 4. Timbangan 1. Merekam kegiatan pekerja sulam dengan menggunakan kamera 2. Menilai penjahit dengan menggunakan RULA serta mengukurnya dengan menggunakan busur 0. Skor ≤ 2 yaitu risiko masih dapat diterima, dan tidak perlu ada perubahan. 1. Skor ≥ 3 yaitu investigasi lanjut dan mungkin perlu ada perubahan. Ordinal
49
3. Usia Lamanya pekerja sulam
hidup dihitung sejak tahun kelahiran sampai penelitian berlangsung
Kuesioner Menyebarkan kuesioner
kepada pekerja
0. < 35 tahun 1. ≥ 35 tahun (Tarwaka,2004)
Ordinal
4. Kebiasaan Merokok Banyaknya jumlah
batang rokok yang dikonsumsi per hari oleh responden
Kuesioner Menyebarkan kuesioner
kepada pekerja
0. Tidak merokok 1. Merokok
Ordinal
5. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Kondisi status gizi responden saat dilakukan penelitian. Dihitung dengan rumus IMT = BB (Kg) / TB (cm/1002). (Depkes, 1994) 1. Timbangan 2. Microtoise 1. Melakukan penimbangan berat badan pekerja sulam kain tapis 2. Melakukan pengukuran tinggi badan pekerja kain tapis 0. Kurus <18,5 1. Normal 18,5-25 2. Gemuk > 25,0 (Depkes, 1994) Ordinal
6. Masa Kerja Lama bekerja sebagai
pekerja sulam kain tapis
Kuesioner Menyebarkan kuesioner
kepada pekerja
50
7. Kebiasaan Olahraga Aktivitas olahraga yang dilakukan
pekerja sulam kain tapis
Kuesioner Menyebarkan kuesioner
kepada pekerja 0. Sering (≥ 3 kali seminggu dan ≥10 menit) 1. Jarang (0-3 kali/bulan ≥10 menit) 2. Tidak pernah (Cooper, 1982) Ordinal
51
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
studi cross sectional (potong lintang) dimana pada penelitian ini variabel
independen dan dependen diamati pada waktu (periode) yang bersamaan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011
di Sanggar Family Art yang beralamat di Perumnas Beringin Raya Kemiling
Bandar Lampung.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pekerja sulam di Sanggar Family Art.
Sedangkan sampel yang diambil adalah pekerja yang mewakili populasi. Sampel
yang diambil adalah pekerja yang dapat mewakili populasi. Sedangkan
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus uji beda dua proporsi
berikut ini: (Sumber : Ariawan, 1998) [Z 1-α/2 √2 P (1-P) + Z1-ß√P1 (1-P1) + P2(1-P2) ]2 n = (P1 - P2) 2