• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF INTERNASIONAL (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor) DESTY PUJIANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF INTERNASIONAL (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor) DESTY PUJIANTI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN

KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF

INTERNASIONAL

(Studi Kasus di SMAN 1 Bogor)

DESTY PUJIANTI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN

KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF

INTERNASIONAL

(Studi Kasus di SMAN 1 Bogor)

DESTY PUJIANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada program studi gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(3)

JUDUL :

HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM

KELUARGA DENGAN KECERDASAN

EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF

INTERNASIONAL

(Studi Kasus di SMAN 1 Bogor)

NAMA MAHASISWA : DESTY PUJIANTI NOMOR POKOK : A54103019

Menyetujui,

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc MSc NIP131640679

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Diah K Pranadji M.S NIP131476543

(4)

RINGKASAN

DESTY PUJIANTI. Hubungan Interaksi Anak dalam Keluarga dengan

Kecerdasan Emosional Siswa Kelas Bertaraf Internasional (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor). Di Bawah Bimbingan HERIEN PUSPITAWATI dan DIAH K

PRANADJI.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas

bertaraf internasional. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga; 2) Mengidentifikasi

interaksi anak dalam keluarga, dan kecerdasan emosional; 3) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, dan keluarga dengan interaksi dalam keluarga; 4) Menganalisis hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional.

Penelitian ini menggunakan disain Cross Sectional Study yang dilakukan pada siswa SMA kelas bertaraf internasional. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Bogor, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2007. Contoh yang akan diteliti adalah siswa Kelas X dan XI. Contoh diperoleh dengan menggunakan sensus yaitu meneliti seluruh siswa kelas bertaraf internasional. Total sampel penelitian yang diteliti sebanyak 73 siswa.

Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh contoh, sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak sekolah. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program Microsoft Excel dan SPSS

versi 13.0 for windows. Tahap pengolahan data terdiri dari pengkodean,

pengentrian, dan editing. Data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif, uji beda Mann Whitney, dan Korelasi Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan. Rata-rata umur contoh pada Kelas X yaitu 16 tahun sedangkan Kelas XI yaitu 17 tahun. Sebagian besar contoh mempunyai tujuan hidup dan cita-cita meneruskan ke perguruan tinggi, bekerja keras dan belajar tekun, berbakti pada orangtua dan guru, bertanggung jawab atas perbuatannya, berteman yang baik, dan menghindari masalah di sekolah. Rata-rata uang saku per bulan yang diterima contoh Kelas XI lebih tinggi (Rp 460 945.95) dibandingkan Kelas X (Rp 441 527.78). Sebagian besar umur orangtua contoh berada pada kelompok umur produktif yaitu pada rentang umur 36-55 tahun. pendidikan ayah contoh pada Kelas XI lebih tinggi (S2) dibandingkan Kelas X (S1), sedangkan persentase terbesar pendidikan tertinggi ibu contoh yaitu S1. Proporsi terbesar ayah contoh bekerja sebagai PNS sedangkan proporsi terbesar ibu contoh sebagai ibu rumah tangga. Persentase terbesar pendapatan keluarga pada kisaran Rp >6 000 000. Proporsi terbesar contoh berasal dari keluarga kecil (<4 orang). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik contoh, dan karakteristik keluarga pada kedua kelas.

Lebih dari separuh contoh memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya. Hubungan yang banyak dilakukan antara contoh dan ayahnya yaitu dalam hal saling membantu apabila memerlukan sesuatu (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan yang dilakukan keduanya. Perlakuan ayah kepada contoh baik dalam hal dimensi kehangatan maupun kekasaran memiliki total skor yang lebih tinggi daripada perlakuan contoh kepada ayahnya. Ibu memiliki skor tertinggi dalam mempedulikan masalah yang sedang dihadapi contoh dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada contoh juga memiliki total skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ayah kepada contoh baik

(5)

dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran. Skor tertinggi dari variabel hubungan yang terjadi antara ayah dan ibu yaitu dalam hal saling mempedulikan masalah yang sedang dihadapi (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan (dimensi kekasaran).

Kualitas hubungan antara contoh dan ibu adalah lebih besar dobandingkan antara contoh dan ayah. Lebih dari separuh contoh memiliki kualitas hubungan yang tergolong puas/bahagia dengan orangtuanya dan rata-rata skor Kelas X sedikit lebih besar (20.1) dibandingkan Kelas XI (19.9). Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, dengan rata-rata skor kecerdasan emosional tertinggi yaitu kemampuan empati dan terrendah dalam hal memotivasi diri. Rata-rata skor kecerdasan emosi onal contoh Kelas X lebih tinggi (102.0) dibandingkan Kelas XI (98.6). Namun hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua Kelas.

Hasil uji Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan nyata positif antara: (1) tujuan hidup dan cita-cita dengan interaksi antara ibu dan contoh; (2) Interaksi antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, ayah dan ibu, dan kualitas hubungan dengan interaksi keluarga; (3) Interaksi antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, dan kualitas hubungan dengan sedangkan kecerdasan emosional.

Tujuan hidup dan cita-cita mempunyai hubungan yang erat dengan interaksi yang terjadi antara ibu dan contoh, dan kecerdasan emosional. Bagi lingkungan keluarga dan sekolah diharapkan menciptakan interaksi yang baik, sehingga anak merasa berharga terutama dalam pencapaian tujuan hidup dan cita-cita. Akhirnya akan meningkatkan kecerdasan emosional. Bagi siswa agar lebih memotivasi dirinya dengan lebih baik terutama dalam hal membuat jadwal agenda harian yang dilakukan setiap harinya. Sebaiknya dalam mata pelajaran tertentu seperti agama juga perlu dimasukkan muatan kecerdasan emosional.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1985. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Suparman dan Sri Hartati. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1991 sampai tahun 1997 di SDN Kampung Utan 2 Ciputat. Tahun 1997 penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 2 Ciputat sampai tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMUN 2 Ciputat dan memperoleh kelulusan pada tahun 2003.

Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2003 melalui jalur USMI di Program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Selama menyelesaikan studinya di IPB, penulis cukup aktif dalam mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan dan organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai staf biro pers dan media forum keluarga rohis Fakultas (2003-2004), staf biro PSDM forum keluarga musholla GMSK (2003-(2003-2004), staf biro seni budaya departemen minat dan bakat BEM Faperta IPB (2004-2005), kepala biro Pengembangan Organisasi BEM Faperta IPB (2005-2006), dan Wakil ketua departemen PSDM Bina Desa IPB (2005-2006). Penulis juga pernah menjadi finalis tingkat Nasional dalam LKTM Seni (2006), finalis lomba cerpen dalam

writing competition tingkat IPB (2006), Juara tiga penulisan artikel untuk media

massa tingkat Fakultas (2006), dan juara umum dalam penulisan essay peringatan hari ibu tingkat IPB (2006). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Metode Penulisan dan Penyajian Ilmiah (2007), serta mata kuliah Gender dan Keluarga (2007).

(7)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis haturkan salam serta shalawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orangtua (Suparman dan Sri Hartati) yang telah memberikan kasih sayang, semangat, perhatian, dan doa yang tulus.

2. Dr.Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc dan Dr.Ir. Diah K Pranadji, MS yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal pembuatan proposal hingga terselesaikannya skripsi ini, serta atas dukungannya baik moril maupun spiritual yang telah diberikan.

3. Tien Herawati, SP, MS, yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan pada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ir Melly Latifah, MSi selaku dosen pemandu dan penguji yang telah bersedia memandu dan menguji, serta memberikan saran-saran.

5. Adik-adik (Setiya, de’Ika dan kaka Ipat), serta Tyan yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, keceriaan, do’a, dan waktunya untuk penulis. 6. Seluruh warga SMA Negeri 1 Bogor atas dukungan, kerjasama, dan

semangatnya untuk penulis

7. Keluarga Sekolah Tanah Tingal (Bu Enni dan keluarga, Pa Inong, Pa Ikin, Bu Ati, Bu Eka, Mba Novi, Mba Ina, Mas Rifa, Mas Agus, Indra, Taufik, dan Didin) atas do’a dan dukungannya.

8. Teman-teman satu penelitian (Ita Agustriyani dan Juliani), dan sahabat terbaik (Indy Fitria Adicita) terima kasih atas cinta, kasih sayang, dukungan, kerja sama, semangat, dan waktunya dalam suka maupun duka.

9. Para pembahas (Dina, Ita, dan Pritha) yang telah memberikan masukan saran, dan dukungan untuk penulis.

10. Saudara-saudariku tersayang di GMSK 40, Ira, Eva, Novera, Inna, Widi, Vivi, Dewi, Mutia, Jowie, Wirna, Ursula, Sanya, Sendi, Yudith, Kuswan, Tirta, Anna, dan Tintin terimakasih atas perhatian dan doanya.

11. Teman-teman GMSK 40-41, GM42, IKK42 dan para staf GMSK, atas dorongan semangat untuk penyelesaian skripsi ini.

(8)

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan dapat dijadikan sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para pembaca umumnya.

Bogor, Januari 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman RIWAYAT HIDUP... PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang... Perumusan Masalah... Tujuan Penelitian ... Kegunaan penelitian... TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Emosional... Kecerdasan Emosional dan Proses Belajar... Interaksi Anak dalam Keluarga... Pendekatan Teori... Masa Remaja... Karakteristik keluarga... KERANGKA PEMIKIRAN... METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu... Penarikan Contoh... Jenis dan Cara Pengumpulan Data... Pengolahan dan Analisis Data... Definisi Operasional... HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... Karakteristik Individu ... Karakteristik Keluarga... Interaksi dalam Keluarga... Hubungan Contoh dengan Ayahnya... Hubungan Contoh dengan Ibunya... Hubungan Ayah dan Ibu... Kualitas Hubungan ... Kecerdasan Emosional... Hubungan Antar Variabel...

Hubungan Karakteristik Individu dengan Interaksi Anak dalam Keluarga... Hubungan Karaktersitik Keluarga dengan Interaksi Anak dalam Keluarga... i ii iv vi viii ix 1 3 5 5 6 9 10 15 17 19 21 24 24 25 26 27 28 28 30 32 36 36 39 41 43 46 49 49 50

(10)

Hubungan Antara Interaksi Anak dalam Keluarga dengan Kecerdasan Emosional... Pembahasan Umum... KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN…..………...…..……… 50 51 54 55 57 60

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Peubah, skala, jenis data, item pertanyaan, dan α Cronbach………... 2. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ... 3. Sebaran contoh berdasarkan umur ... 4. Sebaran contoh berdasarkan tujuan/cita-cita... 5. Sebaran contoh berdasarkan tingkat tujuan/cita-cita... 6. Sebaran contoh berdasarkan besarnya uang saku per bulan... 7. Sebaran contoh berdasarkan umur orangtua ... 8. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua... 9. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua ... 10. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per bulan ... 11. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ... 12. Sebaran contoh berdasarkan interaksi ayah dan contoh... 13. Sebaran contoh berdasarkan tingkat interaksi ayah dan contoh... 14. Sebaran contoh berdasarkan interaksi ibu dan contoh... 15. Sebaran contoh berdasarkan tingkat interaksi ibu dan contoh... 16. Sebaran contoh berdasarkan interaksi ayah dan ibu... 17. Sebaran contoh berdasarkan tingkat interaksi ayah dan ibu... 18. Sebaran contoh berdasarkan kualitas hubungan... 19. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kualitas hubungan... 20. Sebaran contoh rata-rata skor ayah dan ibu dalam berinteraksi

dengan keluarga... 21. Sebaran contoh berdasarkan berdasarkan kecerdasan emosional... 22. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecerdasan emosional... 23. Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi

anak dalam keluarga... 25 31 31 32 32 33 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 44 45 48 49 50

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran hubungan antara interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional... 23

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Cara pengukuran variabel... 2. Rata-rata skor interaksi dalam keluarga dan kecerdasan emosional.. 3. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecerdasan emosional ... 4. Tabulasi silang antar variabel... 5. Matriks korelasi hubungan antar variabel penelitian...

60 62 67 68 69

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu modal yang penting dalam pembangunan suatu bangsa. Suatu bangsa akan lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia apabila memiliki SDM yang bermutu tinggi.

Kualitas SDM suatu bangsa dapat diukur melalui Human Development

Index (HDI). Semakin tinggi HDI suatu bangsa maka semakin tinggi kualitas.

Angka HDI diolah berdasarkan tiga dimensi yaitu kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Indikator pendidikan diantaranya menyangkut angka melek huruf (literacy rate) dan angka partisipasi pendidikan. Kualitas SDM Indonesia menurut HDI mengalami sedikit peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 1999 angka HDI Indonesia sebesar 64.3, sedangkan pada tahun 2002 menjadi 65.8. Data terakhir pada tahun 2005 HDI Indonesia telah mencapai 69.6.

Pemerintah bertanggung jawab terhadap pencapaian indikator pendidikan melalui sekolah formal. Sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional dalam mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi maka diperlukan upaya untuk memaksimalkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional terutama pada remaja.

Kelompok remaja yang berjumlah sekitar 22.5 persen dari jumlah penduduk Indonesia memiliki tanggung jawab sebagai penerus pembangunan di masa yang akan datang. Studi-studi komparatif Internasional seperti Program of

Internasional Student Assesment (PISA) pada tahun 2000 menempatkan prestasi

belajar siswa Indonesia pada peringkat yang amat rendah. Hal itu juga tercermin dari nilai Ebtanas SMA empat tahun terakhir yang memiliki rata-rata nasional 5.46 dalam standar 0-10. Hal ini menunjukkan keprihatinan karena dapat dikategorikan sebagai nilai kurang. Namun, di satu sisi remaja Indonesia berprestasi dalam olimpiade fisika pada tingkat Asia dan Internasional dengan meraih dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu dalam olimpiade Fisika Asia di Almaty, Kazakhstan. Terdapat sekitar 150 pelajar dari 18 negara yang mengikuti olimpiade fisika. Hal ini menunjukkan remaja Indonesia dapat bersaing secara global (Kompas 2006).

Keberhasilan para remaja dalam memperoleh prestasi tidak terlepas dari dukungan keluarga dan lingkungan sekolah dalam bentuk interaksi. Interaksi

(15)

sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Hubungan yang baik dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik. Selain komunikasi, kualitas dan keeratan hubungan yang baik juga dapat menentukan keberhasilan dan kesuksesan anak di sekolah (Freeman & Munandar 2000).

Perkembangan intelektual anak sangat terkait erat dengan keadaan emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri dan kemampuan dapat berpengaruh besar terhadap keberhasilan di sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial dapat mempengaruhi prestasi belajar dan anak membutuhkan waktu untuk mengejar ketertinggalannya. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan kemampuan kognitifnya, sedangkan kecerdasan emosional adalah kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali, mengendalikan emosi serta kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain sehingga akan memberikan dampak positif bagi diri sendiri maupun orang lain.

Selama ini ada anggapan bahwa kecerdasan intelektual merupakan faktor utama yang menentukan masa depan. Anak yang memiliki skor intelegensi (IQ) tinggi kemungkinan besar akan diterima di sekolah yang terbaik dan kelak akan mendapatkan pekerjaan yang baik pula di masa dewasa. Tetapi, pada kenyataannya, pendapat ini tidak selalu berlaku demikian (Goleman 1995). Hasil penelitian beberapa ahli yang bergerak di bidang tes kecerdasan menemukan ada anak yang cerdas, tetapi mengalami kegagalan dibidang akademis, dalam karir, dan juga dalam kehidupan sosialnya. Sebaliknya, anak yang memiliki taraf kecerdasan rata-rata mencapai kesuksesan di kemudian hari. Penjelasan dari fenomena tersebut adalah tes intelegensi hanya mengukur sebagian kecil kemampuan manusia saja, dan belum melihat keterampilan menghadapi aneka tantangan hidup. Faktor IQ dianggap hanya menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan seseorang. Sementara sisanya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan yang tidak berkaitan dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan tingkat kecerdasan emosinya (Goleman 1995).

Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi saling berhubungan, dan tidak dapat dipisahkan. Sebagai

(16)

contoh, hasil tes IQ juga ditentukan oleh kecerdasan emosi, seperti ketekunan, dan motivasi. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi merupakan bagian yang integratif dalam jiwa raga. Kecerdasan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan masa depan anak (Goleman 1999).

Hasil penelitian di bidang psikologi anak telah membuktikan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah anak-anak-anak-anak yang bahagia, percaya diri, popular, dan lebih sukses di sekolah. Anak-anak tersebut lebih mampu menguasai gejolak emosi, menjalin hubungan yang manis dengan orang lain, bisa mengelola emosi, dan memiliki kesehatan mental yang baik (Shapiro 1999). Selain itu, anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, oleh gurunya dipandang sebagai murid yang tekun, dan disukai oleh teman-temannya sehingga mempengaruhi prestasi belajar.

Prestasi belajar tidak hanya ditentukan oleh faktor kecerdasan emosi melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain seperti motivasi, konsentrasi, kesehatan jasmaniah, ambisi dan tekad, lingkungan, cara belajar, perlengkapan dan sikap di sekolah (Thabrany & Hasbullah 1997, diacu dalam Hulu 2004). Oleh karena itu, sekolah ikut berperan penting dalam mewujudkan prestasi belajar anak. Dalam upaya meningkatkan pendidikan dan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah menggulirkan program pengembangan Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di seluruh wilayah Indonesia. Sekolah bertaraf Internasional adalah salah satu sekolah yang didirikan oleh pemerintah dengan tujuan meningkatkan kualitas SDM. Bahasa Inggris dijadikan bahasa pengantar dan di dukung dengan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan sekolah pada umumnya.

Perumusan Masalah

Tuntutan globalisasi semakin mendesak Bangsa Indonesia untuk meningkatkan SDM terutama di bidang pendidikan baik laki-laki maupun perempuan. Human Development Index (HDI) merupakan angka untuk mengukur kualitas SDM. HDI Indonesia pada tahun 2005 sebesar 69.6, sedangkan di Jawa Barat 69.9. Kota Bogor sebagai salah satu wilayah di Jawa Barat menduduki peringkat tiga tertinggi di Jawa Barat (74.3) setelah Kota Depok (77.1), Kota Bekasi (74.6), dan Kota Bandung (74.3). HDI Kota Bogor memiliki

(17)

nilai yang tinggi dari tahun ke tahun, pada tahun 1999 sebesar 69.7, tahun 2002 sebesar 71.9 dan tahun 2005 sebesar 74.3 (BPS 2004).

Tahun 2004/2005 jumlah siswa SMA negeri dan swasta di Jawa Barat sebesar 13.5 persen (459 368) dari total 33 provinsi (3 402 615). Jumlah ini adalah jumlah terbesar dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Jumlah siswa yang memasuki sekolah negeri lebih besar (249 810) dibandingkan yang memasuki sekolah swasta (209 558) (BPS 2005).

Meningkatnya jumlah siswa menandakan semakin baiknya angka partisipasi pendidikan guna mencapai keberhasilan belajar. Selama ini orang beranggapan bahwa IQ merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosi sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual dalam menentukan keberhasilan studi anak (Shapiro 1999).

Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Jawa Barat sebanyak 12 dari 100 sekolah baik negeri maupun swasta yang terdaftar di seluruh Indonesia (8.33%). Sekolah yang terdaftar sebagai SNBI di Jawa Barat meliputi SMAS Krida Nusantara, SMAN 3 Bandung, SMAN 1 Subang, SMAN 2 Depok, SMAS Cakrabuana, SMAS Lazuardi, SMAN 1 Tambun, Islamic Boarding School, SMAN 5 Bekasi, SMAN 1 Bogor, SMAN 2 Cirebon, dan SMAN 2 Tasikmalaya (Anonim 2006).

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosi siswa kelas bertaraf internasional. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana interaksi antara anak dalam keluarga; (2) Bagaimana kecerdasan emosional, serta; (3) Bagaimana hubungan antara interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional.

(18)

Tujuan Penelitian Tujuan umum

Mengetahui hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf Internasional

Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik individu, dan keluarga 2. Mengidentifikasi interaksi anak dalam keluarga

3. Mengidentifikasi kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, dan keluarga

dengan interaksi anak dalam keluarga

5. Menganalisis hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagi orangtua dan pihak sekolah tentang hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa. Selain itu, orangtua juga dapat mengetahui interaksi yang efektif untuk diterapkan pada remaja sehingga dapat tercipta remaja yang memiliki perkembangan kecerdasan emosional yang baik. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah bahan pertimbangan organisasi yang berhubungan dengan pendidikan untuk mengembangkan usaha-usaha yang membantu perkembangan emosional anak.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kecerdasan Emosional Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosi diciptakan oleh Peter Salovey dan John Mayer 1990. Kecerdasan emosional amat penting peranannya bagi seseorang karena manusia merupakan makhluk emosi. Sering kali seseorang membuat keputusan seharian dengan tidak berlandaskan logika tetapi karena terbawa oleh perasaan atau emosi diri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah akan terombang-ambing dengan perasaan yang tidak menentu, sehingga sukar dalam membuat keputusan yang cepat (Segal 2000, diacu dalam Tanmella 2002).

Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan emosi dan keterampilan-keterampilan dalam mengatur emosi yang menyediakan kemampuan untuk menyeimbangkan emosi sehingga dapat memaksimalkan kebahagiaan hidup jangka panjang. Kehidupan emosi memang merupakan wilayah yang dapat ditangani dengan keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan membutuhkan keahlian tersendiri (Goleman 1999).

Emosi atau perasaan merupakan suasana psikis atau suasana batin yang dihayati seseorang pada suatu saat. Dalam kehidupan sehari-hari keduanya sering diartikan sama. Namun, sesungguhnya perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, terbuka, dan menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah. Emosi seperti halnya perasaan juga membentuk suatu kontinum, bergerak dari emosi positif sampai yang bersifat negatif (Sukmadinata 2003).

Minimal ada empat ciri emosi, yaitu adanya pengalaman emosional bersifat subjektif/pribadi, adanya perubahan aspek jasmaniah, adanya ekspresi dari emosi dalam bentuk perilaku, dan emosi sebagai motif yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan (Sukmadinata 2003).

Emosi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena merupakan aspek dari kemampuan pengembangan pola tingkah laku seseorang. Emosi dikatakan penting karena orang yang matang adalah orang yang telah memiliki pengendalian dan kemandirian dalam tingkah lakunya, karena sangat penting bagi cara pengambilan keputusan yang rasionalitas (Goleman 1999).

Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional memegang peranan dalam keberhasilan seseorang dibandingkan dengan IQ, yang sudah

(20)

lama dipercaya orang dapat meramalkan keberhasilan. IQ tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. IQ tidak menawarkan persiapan menghadapi gejolak dan kesempatan-kesempatan atau kesulitan-kesulitan yang ada dalam kehidupan, sedangkan orang yang secara emosional terampil memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan.

Dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, individu dapat menghadapi berbagai macam kejadian yang tidak terduga dalam kehidupannya. Hal ini sangat menolong dalam melakukan penyelesaian dengan lingkungan dan orang lain (Goleman 1995).

Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan-kemampuan seperti mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertindak gigih/bertahan menghadapi keadaan-keadaan yang frustasi; mengendalikan dorongan hati/rangsangan dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Layaknya kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional anak-anak ditentukan oleh kepribadian yang dibawa sewaktu anak lahir (genetik) dan dibentuk juga oleh interaksi-interaksi dengan orangtua dan lingkungannya (Gottman & DeClaire 1998). Oleh karena itu, orangtua dan lingkungan sekolah sebenarnya memiliki peluang besar untuk mempengaruhi kecerdasan emosional anak-anak dengan menolong anak mempelajari suatu emosi yang cerdas.

Menurut Sarwono (1976) pertumbuhan dan perkembangan emosi ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Kecerdasan emosi menurut Goleman (1995) meliputi mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan seni membina hubungan.

Mengenali emosi diri. Adanya kesadaran akan perasaan diri sendiri

sewaktu perasaan itu terjadi dibutuhkan dalam mengenali emosi diri. Kesadaran diri (self awarness) menurut Goleman (1995) berarti waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Penggolongan emosi menurut Goleman (1997) yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan (bahagia), cinta, terkejut, jengkel, dan malu.

Mengelola emosi. Pengendalian emosi dilakukan bukan dengan

menekan emosi melainkan mampu menyalurkan emosi dan mengalihkan suasana hati melalui kegiatan positif seperti nonton, membaca buku, aerobik,

(21)

mandi air panas, makan makanan kegemaran, pergi berbelanja, mencoba untuk melihat permasalahan dari sudut pandang baru, dan menolong orang lain (Goleman 1999). Emosi yang terlalu ditekan akan tercipta kebosanan dan kesenjangan. Emosi yang tidak dapat dikendalikan dapat menyebabkan gangguan emosi. Bila emosi berlangsung dengan intensitas tinggi dan melampaui titik wajar, emosi akan beralih menjadi hal-hal ekstrim yang menekan seperti kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali, bahkan depresi. Tujuan pengelolaan emosi adalah tercapainya emosi yang wajar, yang merupakan keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci kesejahteraan emosi (Goleman 1995). Bila emosi mengalahkan konsentrasi, yang dilumpuhkan adalah kemampuan mental yang sering disebut dengan ingatan kerja, yakni kemampuan untuk menyimpan dalam benak semua informasi yang berkaitan dengan tugas yang sedang dihadapi (Goleman 1995).

Memotivasi diri. Memotivasi merupakan salah satu dasar kecerdasan

emosional yang akan meningkatkan keberhasilan dalam segala bidang suatu kumpulan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi. Banyak orang mencapai prestasi tinggi karena mempunyai tingkat ketahanan dan ketekunan yang bergantung pada sifat emosional antusiasme serta kegigihan menghadapi tantangan (Goleman 1995). Orang dapat menjadi tahan dan tekun dalam mengerjakan sesuatu jika menunda kepuasan sementara. Emosi-emosi seperti kepuasan pada hasil kerja dapat mendorong untuk berprestasi. Kecerdasan emosional mempunyai kemampuan yang mendalam untuk mempengaruhi semua kemampuan lain, baik memperlancar maupun menghambat kemampuan-kemampuan lain (Goleman 1995).

Mengenali emosi orang lain. Empati adalah kemampuan untuk

mengetahui perasaan orang lain. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang terhadap emosinya sendiri, semakin terampil membaca perasaan. Kegagalan untuk mengetahui perasaan orang lain merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional. Cara untuk menunjukan empati adalah mengidentifikasikan perasaan orang lain, yaitu dengan menempatkan diri secara emosional pada posisi orang lain (Goleman 1995).

Seni membina hubungan. Mampu memahami emosi orang lain

(22)

kecerdasan emosi. Untuk dapat menangani emosi orang lain dibutuhkan keterampilan emosional yang lain yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan itu, keterampilan berhubungan dengan orang lain akan menjadi matang. Kemampuan sosial seperti ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi, dan membuat orang lain merasa nyaman (Goleman 1995).

Berangkat dari dua keterampilan emosi dasar dalam menangani emosi orang lain, maka kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaan diri sendiri. Semakin terampil seseorang secara sosial, semakin baik mengendalikan emosi (Goleman 1995).

Kecerdasan Emosional dan Proses Belajar

Perkembangan intelektual anak sangat terkait erat dengan keadaan emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri dan kemampuan dapat berpengaruh besar terhadap keberhasilan di sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial dapat mempengaruhi prestasi belajar dan anak butuh waktu untuk mengejar ketertinggalan. Pendapat ini diperkuat oleh Freeman dan Munandar (2002) bahwa masalah emosional bisa mengganggu kegiatan belajar. Menurut Schaefer dan DiGeronimo ada anak-anak yang tidak cukup dewasa dalam perkembangannya untuk bisa mengikuti pelajaran dengan baik, mungkin anak sebenarnya cukup pintar, hanya karena ketertinggalan perkembangan emosional dan sosial membuat anak bisa tinggal kelas (Nakita 2001).

Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak cerdas bisa menyesuaikan diri secara emosional, lebih baik daripada anak-anak biasa. Anak lebih sedikit mempunyai masalah-masalah emosional dan lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. Secara emosional anak yang cerdas lebih stabil dan lebih matang dibanding teman-teman seusianya, anak cerdas lebih bergembira,dan lebih antusias terhadap hidup (Beck 1998).

Goleman (1995) menjelaskan bahwa EQ lebih utama daripada kemampuan kognitif. Ketika seseorang terganggu emosi sulit baginya untuk berpikir jernih, mengingat, konsentrasi belajar dan kapasitas intelektualnya terganggu. Hasil penelitian Terman, anak yang EQ nya tinggi punya prestasi yang baik, yaitu lebih original, lebih ulet, lebih bermotivasi untuk dapat berprestasi yang paling baik. Selain itu juga lebih baik dalam penyesuaian sosial,

(23)

sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik (Monk, Knoers, Haditono 1987)

Sukiat (1986) menyatakan bahwa anak-anak yang berhasil dan dapat berprestasi secara optimal, memiliki ciri–ciri antara lain punya tanggung jawab pribadi yang lebih besar dan bersikap positif dalam hubungan dengan orang lain, kurang punya hambatan emosional, serta mampu mengatasi hambatan-hambatan yang berhubungan dengan taraf perkembangan fisik.

Anak-anak cerdas ada yang memiliki sifat lincah, bisa bergaul dengan siapapun, sangat bersahabat, tetapi ada juga yang pemalu dan suka menyendiri (Freeman & Munandar 2000). Hari pertama anak masuk sekolah, anak-anak cerdas lebih mandiri dan cukup dalam pelajaran-pelajaran. Umumnya sangat peka terhadap orang lain, terlebih pada kedua orang tua.

Pengaruh teman sangat penting bagi perkembangan emosi dan intelektual anak (Freeman & Munandar 2000). Anak-anak yang tidak memiliki teman lebih suka tumbuh menjadi orang dewasa yang stabil dan seimbang. Selain itu, anak-anak yang cerdas menerima banyak simpati dan kasih sayang serta memiliki kemampuan beradaptasi, dan suka berteman. Anak-anak yang memiliki bakat untuk bergaul memiliki banyak teman dan mudah mengerti perasaan anak-anak lain, meskipun tidak berarti lebih cerdas daripada teman-teman yang lain.

Puspitawati (2006) menyatakan bahwa faktor pendukung yang berkontribusi signifikan secara langsung dalam mempengaruhi kenakalan pelajar adalah tingkat hubungan dengan teman-temannya. Pelajar bersama-sama dengan teman seusianya merasa memiliki keterkaitan dan hubungan atau emotional bonding dengan peer grupnya, sehingga tercipta suatu perasaan ikatan kesamaan baik tujuan, nasib, pengalaman, maupun motivasi hidup. Ikatan perasaan inilah kemudian melahirkan adanya komitmen bersama dalam melakukan tindakan.

Interaksi Anak Dalam Keluarga

Orangtua berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orangtua menjadi faktor dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran seseorang setelah dewasa. Jadi gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja banyak ditentukan oleh keadaan dan proses yang ada dan yang terjadi sebelumnya (Gunarsa & Gunarsa 1990).

(24)

Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak. Hubungan yang baik dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al 1995, diacu dalam Kunarti 2004).

Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Dalam pemberian stimulasi mental pada anak maka peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar. Interaksi ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Puspitawati (2006) dalam penelitiannya mengindikasikan orangtua yang berkompeten adalah yang melakukan pengasuhan dengan hangat dan mendukung, menghargai anaknya, mencintai anaknya, melakukan kegiatan bersama, menanyakan pendapat, dan membantu memecahkan masalah bersama. Gaya pengasuhan yang dilakukan baik oleh ibu maupun ayah merupakan variabel mediator antara keadaan sosial-ekonomi keluarga dan outcome pelajar di SMK TI dan SMU (tingkat penghargaan diri, tingkat kecerdasan emosional, dan perilaku kenakalan pelajar).

Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role

development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia juga terjadi dalam konteks budaya tertentu, mempunyai batas-batas tertentu. Keluarga mempunyai interaksi yang memberikan ikatan

(25)

bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai suatu interaksi umum antar anggota keluarga, suatu seri interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak (dyadic), sejumlah interaksi antara sub-kelompok keluarga: dyadic, triadic, tetradic, dan sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial yang lebih luas ( Klein dan White 1996, diacu dalam Puspitawati 2006).

Hubungan diadik antara orangtua dan anak dibagi menjadi dimensi kehangatan dan kekasaran. Hubungan diadik adalah hubungan dua arah antara dua individu yang mengindikasikan aspek pengaruh individu yang diakibatkan karena kontak hubungan. Penelitian Puspitawati (2006) menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat jumlah contoh dari sekolah negeri maupun sekolah swasta melaporkan adanya hubungan yang hangat dan mendukung dari pihak ayah maupun ibu terhadap anaknya. Sikap tersebut tercermin dari perilaku ayah dan ibu dalam hal menanyakan pendapat, mendengarkan pendapat, menghargai pendapat, memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, membantu pekerjaan, tertawa bersama, bertindak sportif dan pengertian, dan menyatakan cinta kepada anaknya. Hubungan diadik antara orangtua dan anak adalah hubungan timbal balik dua arah yang didasari oleh perasaan dan perilaku saling menyayangi, menolong atau membenci antara satu dengan yang lainnya.

Merujuk pada Rohner (1986) bahwa perilaku kekasaran orangtua mengarah pada tindakan penolakan, kasar, dan keras dari orangtua terhadap anaknya. Pada penelitian Puspitawati (2006) ditemukan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh dari sekolah negeri maupun swasta mendapatkan perlakuan dan hubungan yang keras dan kasar dari orangtuanya. Hal tersebut tercermin dari perlaku orangtua yang mengancam, membuat perasaan bersalah, memukul, menarik rambut, bertengkar, menangis, tersedu-sedu apabila tidak puas dengan perbuatan anaknya, menyindir atau sumpah serapah, berbicara dengan kasar, dan memanggil dengan panggilan yang jelek terhadap anaknya.

Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan

(26)

teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario 1995, diacu dalam Puspitawati 2006).

Komunikasi dan interaksi dalam keluarga adalah bagian dari proses sosialisasi anak yang dilakukan oleh orangtua. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam proses sosialisasi, yaitu: pola perilaku yang disosialisasikan, agen yang berpartisipasi dalam proses sosialisasi (termasuk orangtua, anak, teman, guru), dan teknik pelaksananan dari proses sosialisasi (Kalish dan Collier 1981, diacu dalam Puspitawati 2006). Kreppner dan Lerner (Zeitlin 1995) mengemukakan pendapat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang menekankan pada dimensi interaksi keluarga, suatu seri dari interaksi timbal balik dua arah, dan gabungan dari interaksi dari semua sub kelompok keluarga, dan suatu sistem hubungan internal yang menyangkut dukungan sosial, dan hubungan intergenerasi.

Suatu sikap yang sering terlihat pada orangtua yang lupa bahwa anaknya yang mulai menginjak remaja, justru membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk menciptakan hubungan timbal balik, hubungan komunikatif dan dialogis, agar permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh remaja memperoleh bantuan, dorongan, dan dukungan dari orangtua untuk mengatasinya (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Orangtua diharapkan memiliki kesadaran penuh dalam membimbing remaja dalam memperoleh nilai-nilai sebagai pegangan hidup. Hal ini bisa dicapai dengan pemeliharaan hubungan baik antara orangtua dan remaja, dan kesempatan yang cukup banyak untuk berbicara antara orangtua dan remaja. Anak yang menghadapi masalah, baik kecil maupun besar mengidamkan orangtua sebagai tempat bernaung yang dapat diperoleh melalui komunikasi. Komunikasi akan terbentuk bila hubungan timbal balik selalu terjalin antara ayah, ibu, dan remaja. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga(Gunarsa & Gunarsa 2004).

Kualitas Hubungan Antar Anggota Keluarga

Hubungan antar pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antara anak dengan tokoh yang dekat dalam kehidupannya berpengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian anak yang dalam hal-hal tertentu bisa menjadi sumber permasalahan perilaku anak. Hubungan kasih sayang antara

(27)

orangtua dan anak akan mendekatkan anak dengan orangtuanya, memudahkan orangtua memberikan hadiah dan hukuman yang sepadan jika anak berbuat tidak baik. Anak juga akan lebih mudah menerima nilai-nilai orangtua dan menirunya (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Eratnya keterikatan antara anak dengan orang dewasa yang ada dalam rumah tangga bisa berbeda-beda, sesuai dengan intensitas jalinan hubungan antara orangtua dan anak. Rasa cemas yang sering dialami anak dapat meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan aman kedekatan dengan ibu atau pengasuhnya. Akan tetapi hubungan antara orangtua dan anak yang terlalu dekat dapat menyebabkan anak tidak mau lepas dan anak akan menjadi sangat bergantung pada orangtuanya. Sebaliknya jika hubungan antara keduanya renggang atau orangtua bersikap acuh tak acuh terhadap anaknya menyebabkan dalam diri anak timbul reaksi frustasi, begitu juga jika orangtua terlalu keras terhadap anaknya dapat menyebabkan hubungan menjadi jauh(Gunarsa & Gunarsa 2004).

Pengasuhan

Berbicara mengenai pengasuhan, ditemukan adanya korelasi antara pengasuhan dengan kemampuan kontrol diri anak. Perilaku anak dipengaruhi oleh perlakuan orang tua terhadap dirinya. Orangtua yang menerapkan pengasuhan dengan gaya permisif akan menyebabkan kurangnya kemampuan kontrol diri pada diri anak-anaknya, dan sebaliknya. Adapun pengasuhan anak dan kurangnya kontrol diri pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti kecenderungan genetik, kemiskinan atau lingkungan sosial dan sejarah keluarga (Santrock dan Yussen 1989).

Schaefer (Hughes dan Noppe 1985) menyoroti dimensi pengasuhan dari perpaduan baik sisi tingkatan afeksi maupun sisi kekuasaan (power) yang dijabarkan ke dalam dua dimensi yang kontinyu yaitu cinta (hangat, diterima, dan diakui) versus kekerasan (dingin, ditolak, dan tidak diakui), dan otonomi (bebas dan fleksibel) versus kontrol (posesif dan rigid). Hampir sama dengan Schaefer, Rohner (1986) menyebutkan pola pengasuhan yang terdiri atas: kehangatan kasih sayang orangtua (parental acceptance) yang meliputi dua ekspresi yaitu secara fisik (seperti memeluk, mencium, membelai, dan tersenyum) dan secara verbal (memuji, dan mengatakan hal-hal yang menyenangkan), dan penolakan orangtua (parental rejection) yang meliputi sikap: (a) kekerasan dan agresi (hostility dan agression) dengan ciri memukul, menendang, mendorong,

(28)

meremehkan, dan memberi kata-kata kasar, (2) sikap tidak peduli dan melalaikan (indifference dan neglect) dengan ciri ketidakmampuan orangtua secara fisik dan psikologi dalam memenuhi kebutuhan anak, dan mengabaikan, serta (c) penolakan (unindifference rejection) dengan ciri tidak dicintai, tidak diinginkan dari penolakan orangtua tanpa adanya indikator yang secara jelas verbal maupun fisik.

Pendekatan Teori

Pendekatan struktural-fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Eshleman (1991, Gelles (1995) dan Newman dan Grauerholz (2002) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional dapat digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Adapun Farington dan Chertok (Boss et al 1993) menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostatis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara kestabilan agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun didalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan.

Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan peraturan yang diterapkan. Chapman (2000) menyatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai daya kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.

Prasyarat dalam teori struktural fungsional menjadikan suatu keharusan yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun tingkat keluarga. Levy (Megawangi 1999) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi : (1) diferensisasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antara anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam

(29)

keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.

Saxton (1990) menyatakan bahwa keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat.

Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan teori struktural-fungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set dengan set yang lainnya, sedangkan teori struktural-fungsional lebih menekankan pada mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur, Kedua teori tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis kehiduoan keluarga. Pendekatan teori sistem sosial diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi Adam Smith yang menyangkut adanya konsep kesatuan dan saling ketergantungan antar individu dan masyarakat (Campbell 1981). Pendekatan ini digunakan dalam menganalisis keluarga dengan menerapkan konsep keluarga sebagai ekosistem dan keluarga sebagai suatu sistem sosial. Keluarga sebagai suatu sistem terdiri dari suatu set bagian berbeda, namun berhubungan dan saling tergantung satu dengan yang lainnya.. Keluarga juga menerapkan praktek komunikasi antar organisasi yang menyangkut kemampuan manusia dan perilakunya dalam menggunakan bahasa dan penafsiran simbol-simbol yang berkaitan dengan sistem sosial di sekelilingnya (Ruben 1988; Nisjar dan Winardi 1997).

Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam mengerti sosialisasi anak-anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut

(30)

lingkungan exosistem yang merupakan lingkungan anak tidak secara langsung mempunyai peran secara aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.

Masa Remaja

Steinberg (2001) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, remaja menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dan dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan. Santrock (1998) mengemukakan bahwa bersamaan dengan berkembangnya aspek kognitif, sering muncul perbedaan pendapat dengan orang tua atau orang dewasa lainnya. Remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai sosok manusia yang mengetahui segalanya, sehingga banyak orang berpikir bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh dengan pertentangan dan menolak nilai-nilai yang digariskan oleh orang tuanya.

Bila dilihat dari keseluruhan perjalanan dan perkembangan hidup manusia, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa remaja adalah masa yang paling menarik dan paling banyak mendapat perhatian, karena sifatnya yang khas dan perannya yang cukup menentukan dalam kehidupan individu dan dalam masyarakat (Sarwono S W 2003). Sebagian masyarakat ada yang memandang bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa-biasa saja tidak berbeda dengan kelompok orang-orang lainnya. Ada juga orang yang memandang bahwa remaja merupakan kelompok yang sering membuat masalah dalam masyarakat. Ada juga yang berpendapat bahwa remaja merupakan generasi penerus bangsa sehingga potensinya perlu dimanfaatkan (Monks 1987).

Para ahli psikologi pada umumnya membagi masa remaja menjadi beberapa fase seperti diungkapkan oleh Monks (1987) yaitu fase remaja awal usia antara 12-15 tahun, fase remaja pertengahan berusia antara 15-18 tahun dan fase remaja akhir berusia antara 18-21 tahun. Pada remaja awal biasanya ditandai oleh adanya pertumbuhan fisik yang cukup. Pada remaja pertengahan biasanya sudah mulai mengembangkan cara berpikir yang lebih baik, sudah mulai melakukan peran-peran orang dewasa dan berpandangan realistik, sedangkan individu yang berada pada masa remaja akhir biasanya ditandai oleh

(31)

telah selesainya persiapan-persiapan menjadi orang dewasa dan masa ini dipandang sebagai masa konsolidasi.

Masa remaja merupakan masa yang paling potensial dalam kehidupan manusia karena memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam melakukan berbagai aktivitas. Ada lima aspek menurut Gymnastiar yang harus diperhatikan dalam mempelajari remaja, yaitu kondisi fisik, kebebasan emosi, interaksi sosial, dan pengetahuan tentang kemampuan diri, dan penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama (MQS 2004).

Tujuan Hidup dan Cita-Cita

Remaja biasanya memiliki minat tertentu dalam kehidupannya. Minat yang paling penting dan paling universal pada remaja salah satunya adalah minat terhadap pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan yaitu sikap teman sebaya, sikap orangtua, nilai-nilai, relevansi atau nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, derajat dukungan sosial di antara teman-teman sekolah. Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan pribadi dan ketenaran. Hal ini menyebabkan prestasi baik dalam olahraga, akademik ataupun prestasi lainnya menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja (Hurlock 1980).

Minat remaja pada pekerjaan sangat mempengaruhi besarnya minat mereka terhadap pendidikan. Pendidikan tinggi dianggap sebagai batu loncatan untuk meraih pekerjaan. Pada umumnya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang nantinya dapat bermanfaat dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya. Remaja terutama anak sekolah menengah atas, mulai memikirkan masa depan dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki lebih bersungguh-sungguh dalam hal pekerjaan dibandingkan anak perempuan yang memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu luang sebelum pernikahan (Al-Mighwar 2006).

Cita-cita merupakan perwujudan dari minat, yang berkaitan dengan masa depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya, baik yang berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal lain yang berkaitan dengan dirinya kelak. Selama masa remaja, minat dan cita-cita terus berkembang. Minat atau cita-cita-cita-cita remaja awal terhadap sekolah dan jabatan banyak dipengaruhi oleh minat orangtua dan kelompoknya. Remaja awal akan berminat pada sekolah yang menghantarkannya ke perguruan tinggi dan

(32)

menuju cita-cita jabatannya jika orangtua dan kelompoknya berorientasi ke sana. Ane Roe dalam Al-Mighwar (2006) menyatakan bahwa pola pendidikan orangtua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pilihan jabatan. Pada masa remaja akhir, minat dan cita-cita pendidikan atau jabatan telah mantap. Sehingga faktor yang mempengaruhi pemilihan cita-cita yaitu minat dan aspirasi sendiri, minat dan aspirasi orangtua, kesan-kesan teman sebaya.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah tempat yang paling penting bagi anak dalam memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar menjadi orang yang berhasil. Keluarga khususnya orang tua bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Herni (2000) dan Wade (2004) menyatakan bahwa pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orang tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama kali dikenal oleh anak dan tempat anak dididik. Segala nilai-nilai dan norma-norma dalam keluarga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Karakteristik keluarga diantaranya meliputi tingkat pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, dan besar keluarga.

Tingkat Pendidikan Orangtua

Setiap orang memiliki tIngkat pendidikan yang berbeda-beda, baik dari segi jenis maupun kualitas. Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan tingkat pendidikan orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki pendidikan formal yang rendah dan tidak bekerja memiliki partisipasi yang sedikit pada segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas sekolah anaknya dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan tinggi. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orangtua berperan sebagai pengetahuan/disiplin, pengembangan karir, memberikan fasilitas belajar , dan pembentukan karakter anak.

Pendapatan Keluarga

Salah satu faktor yang penting pada kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga. Ekonomi keluarga akan digunakan sebagai salah satunya pemeliharaan anak dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan rendah menyebabkan orangtua memperlakukan

(33)

anak dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang mengikuti peraturan, kurangnya latihan dari penanaman nilai moral (Gunarsa & Gunarsa 2000)

Jenis Pekerjaan

Peranan orangtua terhadap pengasuhan anak sangat dibutuhkan, seorang ayah sebaiknya tidak menyerahkan tugas membimbing anak hanya kepada ibunya saja. Ibu masa kini disamping mengurus rumah tangga, juga sibuk bekerja diluar rumah, baik di organisasi maupun bekerja untuk menambah pendapatan keluarga (Santoso & Karyadi 1986, diacu dalam Tanmella 2002).

Besar Keluarga

Semakin banyak anggota keluarga maka jumlah interaksi interpersonal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo &Hastuti 1992). Adanya kepadatan dalam keluarga akan mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga jaringan komunikasi antara anggota keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya (Gunarsa & Gunarsa 2000).

(34)

KERANGKA PEMIKIRAN

Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam memahami proses sosialisasi pada anak. Model tersebut menempatkan posisi anak pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya yang meliputi lingkungan mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Lingkungan mikrosistem merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan exosistem yang merupakan lingkungan anak tidak secara langsung mempunyai peran secara aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.

Perkembangan intelektual atau kecerdasan anak sangat terkait erat dengan keadaan emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri sendiri dan terhadap kemampuan dapat berpengaruh besar terhadap keberhasilan di sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi dan sosialnya dapat mempengaruhi prestasi belajarnya dan anak butuh waktu untuk mengejar ketertinggalannya. Hasil penelitian Terman, anak yang kecerdasan emosionalnya (EQ) tinggi punya prestasi yang baik, lebih ulet, lebih bermotivasi untuk dapat berprestasi yang paling baik. Selain itu anak akan dapat melakukan penyesuaian sosia dengan lebih baikl, sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan lebih memuaskan.

Freeman & Munandar (2000) mengungkapkan bahwa anak-anak akan menunjukkan prestasi terbaiknya di sekolah jika orangtua dan guru bekerjasama secara harmonis. Orangtua yang kehilangan keterlibatan dalam keberhasilan dan kesuksesan sekolah anak dapat menyebabkan anak merasakan bahwa orangtua tidak menghargai keberhasilannya sehingga berakibat anak tidak termotivasi untuk mencapainya. Hasil penelitian Hidayanti (1998) menyatakan bahwa pada anak yang memiliki prestasi tinggi, motivasi belajar, hubungan interaksi siswa

(35)

dengan orangtua dan gurunya sangat berpengaruh pada pola belajar siswa tersebut.

Interaksi anak terhadap keluarga yang terdiri dari pengasuhan yang dilakukan orangtua kepada anak dan kualitas hubungan sangat erat hubungannya dengan kecerdasan emosional yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, dan keluarga. Beberapa faktor individu yang diduga dapat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional adalah jenis kelamin, usia, cita-cita/tujuan, dan uang jajan. Faktor keluarga yang diduga dapat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional adalah umur orangtua, tingkat pendidikan orangtua, pendapatan orangtua, jenis pekerjaan orangtua, dan besar keluarga yang dapat dihubungkan dengan interaksi anak dalam keluarga. Latar belakang keluarga misalnya karakteristik sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan orangtua dan posisi sosial orangtua menjadi determinan dari perkembangan kreativitas anak dan penyebab yang sangat kuat terhadap pencapaian prestasi akademik. Latar belakang status sosial ekonomi yang baik mempengaruhi terhadap peningkatan pencapaian pendidikan (Thonthowi 1991, diacu dalam Hulu 2004).

Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa. Lebih jelasnya mengenai hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa dapat dilihat pada Gambar 1.

(36)

Karakteristik contoh: • Jenis kelamin • Umur • Cita-cita/ tujuan • Uang saku Karakteristik keluarga: • Umur orangtua

• Tingkat pendidikan orangtua • Jenis pekerjaan orangtua • Pendapatan orangtua • Besar keluarga

Interaksi dalam keluarga:

• Hubungan contoh dengan ayah • Hubungan contoh dengan ibu • Hubungan ayah dengan ibu • Kualitas hubungan

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional

(37)

60

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu

Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Bogor, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan secara Purposive dengan pertimbangan sekolah tersebut adalah satu-satunya sekolah bertaraf internasional di Kota Bogor. Waktu penelitian berlangsung bulan April hingga Juli 2007.

Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas internasional di SMAN 1 Bogor. Contoh diperoleh dengan menggunakan sensus yaitu meneliti seluruh siswa kelas bertaraf internasional di sekolah tersebut. Total sampel penelitian yang akan diambil adalah seluruh siswa di Kelas X dan XI yaitu sebanyak 73 siswa seperti yang terlihat pada kerangka sampel berikut ini.

Sekolah di Kota Bogor

SMAN 1

Kelas Bertaraf Internasional

Kelas X Kelas XI

12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan

Gambar 2. Kerangka sampling penelitian

purposive

purposive

purposive

(38)

61

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Tabel 1 Peubah, skala, jenis data, item pertanyaan, dan α Cronbach

No Peubah Skala Jenis

Data Pertanyaan α Cronbach 1 Karakteristik individu Nominal primer

Jenis kelamin Nominal primer Umur Rasio primer

Cita-cita/tujuan Ordinal primer 10 0.657 Uang jajan Rasio primer

2 Karakteristik Keluarga

Tingkat pendidikan ayah/ibu Ordinal primer Pendapatan Ordinal primer Pekerjaan ayah/ibu Nominal primer

Besar keluarga Rasio primer

3 Interaksi dalam keluarga 86 0.682 Hubungan ayah dan contoh Ordinal primer 18 0.893 Hubungan ibu dan contoh Ordinal primer 18 0.693 Hubungan ayah dan ibu Ordinal primer 18 0.882 Kualitas hubungan Ordinal primer 6 0.892 4 Kecerdasan emosional Ordinal primer 25 0.715

Tabel 1 menjelaskan mengenai peubah, skala, jenis data, jumlah item pertanyaan, dan α cronbach dari variabel yang diteliti. Adapun cara pengukuran variabel disajikan pada Lampiran 1. Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (1) Karakteristik contoh; (2) Karakteristik keluarga contoh; (3) interaksi yang dilakukan contoh; dan (4) kecerdasan emosional. Data sekunder adalah profil SMAN 1.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, skoring, entry data ke komputer, cleaning data dan analisis data dengan bantuan komputer menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan SPSS versi 13.0 for Windows. Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan, untuk mengetahui pilihan bentuk kuesioner (pernyataan atau pertanyaan), kedalaman pertanyaan, ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan ditanyakan, pilihan jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal wawancara dan mengukur reliabilitas kuesioner (alpha cronbach).

Data karakteristik contoh terdiri dari jenis kelamin, usia, tujuan hidup, dan besarnya uang saku. Tujuan hidup di kategorikan menjadi tidak penting (<24), cukup penting (24-37), dan sangat penting (>37) berdasarkan sebaran interval. Uang saku dikategorikan menjadi Rp 150 000-300 000, Rp 300 001-450 000, Rp 450 001-600 000, dan Rp >600 001.

Data karakteristik keluarga contoh terdiri dari umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua, dan besar keluarga.

(39)

62

Pendidikan orangtua dikategorikan berdasarkan lama pendidikan yang ditempuh atau jumlah tahun pendidikan (tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, D3, S1, S2, dan S3). Pekerjaan orangtua dikelompokkan menjadi PNS, Pegawai BUMN, TINI/Polri, Pegawai swasta, Wiraswasta, Ibu rumahtangga, dan lainnya. Pendapatan keluarga dikelompokkan menjadi tujuh macam yaitu: <Rp 1 000 001, Rp 1 000 001-2 000 000, Rp 2 000 001-3 000 000, Rp 3 000 001-4 000 000, Rp 4 000 001-5 000 000, Rp 5 000 001-6 000 001, dan Rp >6 000 000. Besar keluarga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (<4), sedang (5-6), dan besar (>6).

Data interaksi yang dilakukan contoh dalam keluarga dikategorikan menjadi kurang baik, cukup baik, dan baik serta tidak puas, cukup puas, dan puas. Data kecerdasan emosional contoh dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Uji beda dilakukan untuk melihat adanya perbedaan variabel

dependent dan independent antara Kelas X dan Kelas XI, uji beda yang digunakan adalah uji beda Mann-Whitney untuk skala data yang bersifat ordinal. Analisis korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti.

(40)

63

Definisi Operasional

Karakteristik individu adalah ciri-ciri khas contoh yang diteliti yang meliputi

jenis kelamin, umur, tujuan hidup dan cita-cita, dan uang saku.

Contoh adalah siswa yang berusia 12-17 tahun siswa di kelas bertaraf

internasional.

Tujuan dan cita-cita adalah hal yang dianggap penting untuk dicapai di masa

depan (goals) yang berhubungan dengan pendidikan tinggi, etos kerja, kepemilikan material, budi pekerti, dan menghindari masalah.

Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi umur orangtua,

tingkat pendidikan orangtua, jenis pekerjaan orangtua, pendapatan total keluarga, dan besar keluarga.

Besar keluarga adalah jumlah orang yang memiliki hubungan keluarga yang

terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan hidup dari sumberdaya yang sama.

Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan tertinggi yang dilalui oleh orangtua.

Pekerjaan orangtua adalah pekerjaan utama yang dilakukan oleh orangtua

yang memberikan penghasilan terbesar.

Pendapatan total orangtua adalah jumlah uang yang diterima anggota

keluarga, dapat berasal dari kepala keluarga, istri, anak, anggota keluarga yang lain, maupun sumbangan setiap bulannya.

Interaksi dalam keluarga adalah tindakan konkrit yang terjalin antara contoh

dengan orangtua yang meliputi pengasuhan (hubungan kehangatan dan kekasaran) ayah-anak, ibu-anak, dan ayah-ibu; keeratan hubungan; komunikasi; dan kualitas hubungan.

Pengasuhan (kehangatan dan kekerasan) adalah praktek yang biasa

dilakukan orangtua dalam mendidik dan mengasuh contoh yang banyak dilandasi oleh perilaku mencintai, menanyakan pendapat, menghargai, mendukung, mempedulikan, marah, mengkritik, membentak, bertengkar, dan memukul baik hubungan ayah dan anak, hubungan ibu dan anak, serta hubungan ayah dan ibu.

Kualitas Hubungan adalah perasaan puas dan bahagia yang dirasakan contoh

dalam berhubungan dengan orangtua baik hubungan ayah dan anak, hubungan ibu dan anak, serta hubungan ayah dan ibu..

(41)

64

Kecerdasan emosional adalah kemampuan contoh dalam mengenali emosi,

mengelola emosi, memotivasi diri, berempati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

(42)

65

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN1) Bogor merupakan satu-satunya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Kota Bogor yang beralamat di Jl Ir H Juanda No 16 Kelurahan Paledang, Kecamatan Kota Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Anonim 2006). Sekolah ini dikepalai oleh Drs H Agus Suherman. Tenaga pengajar terdiri dari 56 orang guru tetap, dan 14 orang guru tidak tetap. Sarana dan prasarana yang dimiliki yaitu tanah dan halaman sekolah dengan status milik Negara dan memiliki luas tanah 3 135 meter persegi, lapangan olahraga dan upacara 480 meter persegi dan pagar 30 meter. Gedung bangunan sekolah yang dimiliki status milik Negara dengan luas bangunan 1 619 meter persegi. Bangunan terdiri dari satu ruang kepala sekolah, satu ruang tata usaha, satu ruang guru, dua ruang perpustakaan, satu ruang Bimbingan Konseling (BK), satu ruang dapur, 18 ruang Kelas, satu ruang laboratorium komputer, dua ruang laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dua ruang musholla, delapan ruang Organisasi Intra Sekolah (OSIS), tujuh ruang sanitasi, satu lokal kantin sekolah, satu ruang koperasi, satu ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), satu ruang gedung, satu ruang penjaga sekolah, satu ruang laboratorium bahasa, satu ruang broadcast, dan satu ruang seni.

Kegiatan ekstrakurikuler terdiri dari ekstrakurikuler akademik dan non akademik. Ekstrakurikuler akademik meliputi kegiatan komputer, Kelompok Ilmiah Remaja, Praktikum IPA, dan kelompok Bahasa Inggris. Kegiatan ekstrakurikuler non akademik meliputi pembinaan terhadap Tuhan YME, pembinaan berbangsa dan bernegara, pembinaan pendidikan pendahuluan bela Negara, pembinaan kepribadian dan budi pekerti luhur, pembinaan berorganisasi, pendidikan politik dan kepemimpinan, pembinaan keterampilan kewirausahaan, pembinaan kesegaran jasmani dan daya kreasi, pembinaan persepsi, apresiasi dan kreasi seni. Kegiatan ekstrakurikuler non akademik dilaksanakan melalui wadah Organisasi Intra Sekolah (OSIS), Dewan Keluarga Masjid (DKM), Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Pecinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Olah Raga dan Seni, serta perkumpulan bela diri.

Kurikulum yang diterapkan pada SNBI menggunakan kurikulum 2004 plus dengan penambahan jam pelajaran MIPA untuk pengembangan penelitian ilmiah. Bahasa pengantar yang digunakan berupa 40 persen bahasa Inggris untuk Kelas X, 60 persen untuk Kelas XI, dan 80 persen untuk Kelas XII. Sarana

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa  kelas bertaraf  internasional
Gambar 2. Kerangka sampling penelitian  purposive
Tabel 1 Peubah, skala, jenis data, item pertanyaan, dan α Cronbach
Tabel 2  Sebaran contoh Kelas X  dan XI berdasarkan jenis kelamin (n=73)
+7

Referensi

Dokumen terkait

As noted above, CIRCA does not know how long the light has been green when it is observed; therefore, in the worst case, it is assumed that the temporal transition to the yellow state

This study aims to find translation procedures from source language (English) to target language (Indonesian) used in translating the Eclipse novel which have

There are 3 main glass manufactures in Indonesia; Asahi (the oldest and the largest), Mulia, and Tossa (the youngest). Asahi glass dominates the use of glass in Indonesia; it

Dengan demikian hipotesis 1 yang menyatakan bahwa Entrepreneurship Education memiliki pengaruh terhadap Entrepreneurial Intention diterima , berarti pendidikan

1) Negara-negara peserta wajib membuat peraturan- peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan

Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyelesaian kredit macet yang terjadi dalam perjanjian pemberian Kredit Tanpa

Dari hasil pengujian dengan simulasi komputer menunjukkan bahwa rangkaian boost-up chopper efektif untuk mendapatkan tegangan DC yang stabil dari sistem panel surya dan tegangan

Penentuan dosis kaporit berdasarkan kadar bahan organik yang terkandung dalam sampel limbah cair memperlihatkan bahwa, semakin tinggi nilai kadar bahan organik,