MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN
(Mengorganisir Penguatan Pangan Melalui Optimalisasi Pekarangan dengan
Sekolah Lapang Sayur Di Desa Surenlor Dusun Jeruk Gulung Kecamatan
Bendungan Trenggalek)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh :
WULANSARI B02213053
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN
(Mengorganisir Penguatan Pangan Melalui Optimalisasi Pekarangan dengan
Sekolah Lapang Sayur Di Desa Surenlor Dusun Jeruk Gulung Kecamatan
Bendungan Trenggalek)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh :
WULANSARI B02213053
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
ABSTRAK
WULANSARI, NIM B02213053, 2017: “MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN” (Mengorganisir Penguatan Pangan Melalui Optimalisasi Pekarangan dengan Sekolah Lapang Sayur Di Desa Surenlor Dusun Jeruk Gulung Kecamatan Bendungan Trenggalek).
Skripsi ini membahas tentang proses pendampingan masyarakat yang mengalami rentan ketahanan pangan. Maksut dari penelitian ini yaitu untuk mengurangi, sikap ketergantungan masyarakat dari pihak luar dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Hal ini terjadi dikarenakan, mereka belum memanfaatkan pekarangan yang ada dengan maksimal. Mereka juga belum mampu untuk mengatur waktu yang ada dengan baik. Kegiatan yang dilakukan masyarakat, lebih sering berada di luar rumah. Sehingga mereka kesusahan untuk memanfaatkan pekarangannya, sebagai sumber pangan keluarga.
Dalam pendampingan ini peneliti menggunakan metode penelitian sosial Participatory Action Reserach (PAR). Metode tersebut menekankan terjadinya, bentuk partisipasi dari subyek dampingan. Sehingga pendampingan terjadi, berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Bukan atas kehendak dan paksaan dari pendamping. Dalam proses pendampingan ini, pendamping ingin merubah pemikiran masyarakat. Bahwa kebutuhan pangan keluarga, mampu untuk dipenuhi secara mandiri. Yaitu tanpa perlu bergantung dari pihak luar, karena banyak potensi lokal yang belum dimanfaatkan dengan maksimal. Dalam proses kegiatan berlangsung, pihak penyuluh pertanian desa juga ikut aktif. Sehingga dalam memudahkan proses pengorganisasian, maka dibentuklah kelompok belajar bersama. Kelompok tersebut yang dinamakan Sekolah Lapang Sayur, yang memiliki kegiatan seperti keinginan subyek dampingan.
Melalui Sekolah Lapang Sayur, subyek dampingan memiliki pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan lebih. Mulai dari belajar bersama, mengenai cara menanam sayur yang benar, dan juga pembuatan racun organik dan MOL (mikroorganisme lokal). Hal tersebut juga, diisi dengan pendidikan berupa diskusi dalam kelompok belajar tersebut. Sehingga mereka, sedikit demi sedikit mulai memahami pentingnya memproduksi kebutuhan pangan keluarga. Hasilnya terlihat dari, halaman rumah masyarakat yang sudah terdapat tanaman yang menunjang kebutuhan pangan mereka. Mulai dari terong, sawi, cabai, kacang panjang dan sebagainya. Perubahan yang terjadi atas dasar keinginan dan juga proses belajar bersama melalui Sekolah Lapang Sayur.
DAFTAR ISI
COFER DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
PERSEMBAHAN ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xvi
DAFTAR DIAGRAM ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Analisa Stakeholder ... 16
F. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II KAJIAN TEORI DAN RISET TERKAIT A. Membangun Ketahanan Pangan Masyarakat ... 22
B. Sekolah Lapang ... 34
C. Pemberdayaan Dalam Sekolah Lapang Sayur ... 46
D. Pandangan Islam Terhadap Pangan………...52
E. Penelitian Terdahulu ... 59
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 62
B. Prosedur PAR ... 67
C. Subyek Pemberdayaan ... 73
D. Tehnik Pengumpulan Data ... 75
E. Tehnik Validasi Data... 79
F. Tehnik Analisis Data ... 80
BAB IV SELAYANG PANDANG DESA SURENLOR A. Gambaran Umum ... 83
C. Profil KWT ... 101
D. Profil Ibu-ibu PAUD ... 104
BAB V MEMAHAMI PROBLEM MELEMAHNYA KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT A. Tingginya Pengeluaran Biaya Belanja Pangan Masyarakat... 105
B. Pekarangan Rumah Belum Termanfaatkan Dengan Maksimal ... 119
C. Penyempitan Lahan Karena Peningkatan Jumlah Penduduk ... 126
BAB VI DINAMIKA PROSES PENDAMPINGAN PEREMPUAN MENUJU TAHAN PANGAN A. Proses Pengorganisasian Sekolah Lapang Sayur ... 135
B. Menggerakkan Local Leader... 143
C. Proses Perencanaan Kegiatan Membangun Sekolah Lapang Sayur ... 151
D. Analisa Pendamping Mengenai Sumber Daya Sebagai Perencanaan Aksi ... 163
BAB VII AKSI PERUBAHAN UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN SAYUR (Membangun Perempuan Tahan Pangan Melalui “Sekolah Lapang Sayur”) A. Proses Pembelajaran Sekolah Lapang Sayur (SLS) ... 169
1. Memulai Pengolahan Demplot Untuk Media Belajar Petani ... 168
2. Proses Menanam Sayur Pada Lahan Demplot... 181
B. Pendidikan Perempuan Melalui Sekolah Lapang Sayur ... 186
1. Belajar Bersama Membuat MOl dan PESNAB ... 186
2. Bersama-sama Belajar Memahami Pertumbuhan Sayur ... 193
3. Evaluasi Bersama Mengenai Kegiatan yang Sudah Dilakukan ... 195
BAB VIII ANALISIS DAN REFLEKSI A. Analisis Pendamping Mengenai Subyek Dampingan ... 201
B. Ikhtisar Riset Pendampingan... 218
C. Belajar Bersama Melalui Sekolah Lapang Sayur Untuk Mengoptimalkan Pekarangan: catatan reflektif ... 218
BAB IX SIMPULAN A. Simpulan ... 225
B. Rekomendasi ... 227
DAFTAR PUSTAKA ... 228
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Prosentase Hasil Panen ... . 2
Tabel 1. 2 Produksi Pangan ... 4
Tabel 1. 3 Survei Belanja Rumah Tangga ... 7
Tabel 1. 4 Analisa Stakeholder ... 21
Tabe 4. 1 Transek wilayah ... 85
Tabel 4. 2 Jumlah penduduk ... 90
Tabel 4. 3 Contoh survei belanja rumah tangga ... 98
Tabel 4. 4 Profil anggota KWT rahayu ... 106
Tabel 5.1 Hasil survey belanja pangan ... 113
Tabel 5. 2 Kalender harian ... 127
Tabel 5. 3 Tata kelola rumah dan pekarangan ... 129
Tabel 5. 4 Kalender musim ... 124
Tabel 5. 5 Trend and Change dusun Jeruk Gulung ... 133
Tabel 6.1 Kurikulum Belajar Sekolah Lapang Sayur ... 161
Tabel 7. 1 Hasil evauasi bersama ... 202
Tabel 7. 2 Tingkat Partisipasi... 198
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Desa Surenlor ... 84
Gambar 4.2 Prosentase pendidikan ... 88
Gambar 4. 3 Prosentase pekerjaan KK ... 98
Gambar 5.1 Pengeluaran pangan ... 110
Gambar 5.2 Perbandingan kebutuhan keluarga ... 116
Gambar 5. 3 Gambar pekarangan rumah belum dimanfaatkan... 122
Gambar 6. 1 Inkulturasi dengan kepala desa ... 136
Gambar 6. 2 Wawacara dengan ketua RT ... 139
Gambar 6.3 Suasana yasinan RT 01 ... 143
Gambar 6. 4 Kordinasi dengan ketua KWT ... 144
Gambar 6. 5 Kordinasi dengan pihak BPP ... 148
Gambar 6. 6 FGD 1 Subyek KWT ... 152
Gambar 6. 7 FGD II KWT ... 155
Gambar 6. 8 FGD I ibu-ibu PAUD ... 158
Gambar 6. 9 FGD II ibu-ibu PAUD ... 159
Gambar 7. 1 Persiapan media tanam ... 171
Gambar 7. 2 Persemaiana bibit ... 172
Gambar 7. 3 Mempersiapkan konsumsi kegiatan ... 173
Gambar 7. 4 Persiapan media tanam ... 174
Gambar 7. 6 Penataan media tanam ... 177
Gambar 7. 7 Mempersiapkan media tanam dan bahannya ... 179
Gambar 7.8 Memasukkan bahan media tanam ke polybag... 180
Gambar 7. 9 Menyiapkan bibit persemaian ... 181
Gambar 7. 10 Penanaman bibit ke media tanam ... 183
Gambar 7. 11 Pemindahan bibit persemaian... 184
Gambar 7. 12 Perawatan rutin ... 186
Gambar 7. 13 Pemberian materi pihak BPP ... 187
Gambar 7. 14 Membuat MOL dan PESNAB KWT ... 189
Gambar 7. 15 Membuat MOL dan PSNAB PAUD ... 191
Gambar 7. 16 Mengamati pertumbuhan sayuran KWT ... 193
Gambar 7. 17 Mengamati pengamatan pertumbuhan PAUD ... 194
Gambar 7. 18 Evaluasi bersama ... 196
Gambar 8. 1 Foto rumah Bu Ririn dan Sriyanti ... 210
DAFTAR BAGAN
Bagan 4.1 Hasil survey belanja rumah tangga keluarga mampu ... 95
Bagan 4.2 Hasil survey belanja rumah tangga keluarga cukup mampu ... 96
Bagan 5. 1 Pohon masalah ... 130
DAF]TAR DIAGRAM
Diagram 2. 1 Proses daur belajar ... 40
Diagram 5. 1 Produksi Pangan ... 115
Diagram 5. 2 Bentuk kontribusi kelompok yang ada di masyarakat ... 121
Diagram 5. 3 Penjelasan dari diagaram venn ... 117
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desa Surenlor merupakan kawasan perbukitan dengan ketinggian 700
MDPL dan luas wilayah keseluruhan yaitu 1.151 Ha. Sedangkan untuk luas wilayah
yang dimanfaatkan masyarakat untuk bertani ada 91 Ha. Akan tetapi jumlah untuk
kawasan pemukiman masyarakat sendiri berbalik sedikit hanya berkisar 47 Ha. Dari
data tersebut terlihat bahwa, luas lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian masyarakat sekitar. Dari kawasan tersebut masyarakat Desa Surenlor
menggantungkan kebutuhan hidupnya dari bertani.1
Bertani merupakan pekerjaan yang bisa dibilang tidak mudah untuk
dilakukan, akan tetapi itu pekerjaan yang mulia. Dikatakan pekerjaan yang mulia,
dikarenakan mereka yang telah memberi makan orang banyak. Pangan merupakan
kebutuhan setiap orang yang ada di dunia ini. Maka dari itu jika tidak ada yang
menjadi petani, maka siapa nantinya yang akan memberi makan hajat orang banyak.
Usaha untuk menjadi seorang petani selayaknya, mendapat perhatian lebih dari
segala pihak yang terkait. Antara usaha yang dilakukan dan hasil yang didapatkan
tidak bisa selalu menguntungkan. Bahkan terkadang mereka pernah mengalami
kerugian yang tidak sedikit sampai bisa dibilang gagal panen.
Menurut keterangan Damis selaku KASUN (ketua dusun), hasil panen desa
Surenlor tidak bisa terus seimbang dalam tahun ke tahun. Hasilnya selalu
2
mengalami naik turun, dikarenakan serangan hama. 2 Pernyataan yang serupa
dinyatakan oleh Tubi selaku ketua GAPOKTAN (gabungan kelompok tani) bahwa
hasil panen padi selalu mengalami naik turun. Hasil panen tidak bisa selalu
seimbang ataupun naik, bahkan lebih banyak mengalami penurunan. Hal tersebut
dikarenakan banyak faktor penyebabnya.3
Dengan memiliki pekerjaan sebagai petani, mereka juga menanam singkong
atau biasa disebut dengan ubi kayu. Masyarakat RT 01 dengan 38 KK menanam
singkong selama satu tahun hanya sekali saja. Terhitung-hitung dengan
mengakumulasi data yang ada, bahwa masyarakat RT 01 bisa mencapai panen
singkong 60 KW dalam setahun. Mereka selama ini hanya menjual hasil panennya
secara mentah tanpa diolah dahulu. Sedangkan ada juga yang sebagian
mengolahnya, akan tetapi untuk konsumsi sendiri. Itu menandakan bahwa keahlian
dalam segi finansial untuk pengolahan hasil panennya masih rendah.
2 Wawancara Damis pada tanggal 13-11-2016 pukul. 17.30 di kediaman Damis
3 Wawancara Tubi pada tanggal 13-11-2016 pukul 15.30 di kediaman Tubi
Sumber: hasil survei belanja rumah tangga Tabel 1.1
0 50 100 150 200 250
Padi Jagung Ketela
3
Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa Desa Surenlor Dusun Jeruk Gulung
RT 01, hasil panen yang maksimal ditempati oleh Ketela. Mereka dapat
menghasilkan ketela dalam setahun berjumlah 225 KW, jumlah yang terbilang
tinggi. Sedangkan untuk hasil panen berupa Padi, makanan pokok mereka
berjumlah 185 KW dalam semusim. Mereka hanya mengandalkan irigasi dari air
hujan, sehingga hanya dapat panen dua kali dalam setahun. Dengan keadaan tanah
yang tidak mendukung untuk bertani, membuat mereka kesusahan dalam irigasi
sawahnya. Maka itu mereka hanya bisa mengandalkan ketika musim penghujan
telah datang. Sehingga mereka tidak memikirkan irigasi untuk sawahnya, karena
sudah mengandalkan air tadah hujan. Mereka dapat menghasilkan panen padi
meskipun terkadang tidak maksimal, akan tetapi dapat mencukupi kebutuhan.
Terdapat sebagian dari masyarakat yang menjual kembali hasil panennya.
Akan tetapi terdapat sebagian lagi dikonsumsi sendiri untuk kebutuhan
keluarganya. Mereka yang tidak menjual hasil panen padi, memiliki pemikiran
untuk lebih menekan biaya kebutuhan pangan keluaraga. Dengan mampu
menghasilkan padi sejumlah 180 KW seharusnya sudah mampu, memenuhi
kebutuhan pangan seluruh masyarakat.
Potensi ubi kayu di Indonesia sangat besar baik ditinjau dari sisi sumber
bahan pangan utama karbohidrat setelah padi dan jagung. Maupun sebagai bahan
pakan dan bahan baku industri. Dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, ubi kayu
memberikan kontribusi tanaman pangan terbesar ketiga setelah padi dan jagung
pada tahun 2003 sebesar RP.6,1 triliun (hanya dalam on farm). Kontribusinya
4
produksinya sebesar 16.913.104 ton, tahun 2003 sebesar 18. 523.810 ton, dan tahun
2004 sebesar 19.249. 169 ton.4 Dari data tersebut dapat terlihat, bahwa masyarakat
Dusun Jeruk Gulung RT 01 mampu menghasilkan singkong sejumlah 225 KW.
Jumlah yang tidak sedikit, dan akan sangat bermanfaat bagi masyarakat lokal. Akan
tetapi bentuk pemahaman itu belum ada pada masyarakat sekitar. Sehingga mereka
hanya menjualnya secara mentah. Dengan sedikit disisakan untuk dijadikan tiwul5
bahan pangan alternatif mereka. Akan tetapi tidak semua masyarakat mengolahnya
menjadi makanan tiwul,dengan alasan tidak terbiasa.
Dengan memiliki pemikiran-pemikiran yang individualis dan materalistis
mereka telah menjual hasil panennya. Keadaan akan lebih baik ketika seluruh hasil
panen masyarakat, dinikmati oleh mereka sendiri. Dinikmati untuk memenuhi
kebutuhannya dan keluarganya, dengan begitu maka uang yang nantinya keluar
untuk kebutuhan pangan berkurang. Masyarakat yang mampu memproduksi
kebutuhan pangannya, mereka akan menjadi mandiri. Berikut diagram pengeluaran
kebutuhan pangan baik dari dalam desa dan luar:
4Valeriana dkk, “Usaha Tani dan Pemasaran Ubi Kayu Serta Teknologi Pengolahan Tapioka di Kab.Pati Prov.Jawa Tengah” dalam buku Prosiding Seminar Nasional, (Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2010), hal. 325
5 Makanan lokal hasil olahan dari singkong
0 10 20 30 40
Dalam desa Luar desa
Produksi Pangan
5
Dari data di atas dapat terlihat bahwa masyarakat Desa Surenlor Dusun
Jeruk Gulung RT 01, membeli kebutuhan pangan dari pihak luar masih terbilang
cukup tinggi. Jika dari data tersebut masyarakat sekitar belum mampu produksi
kebutuhan pangan sendiri. Meskipun dengan kondisi alam yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Akan tetapi mereka belum memiliki kesadaran untuk
hal itu. Mulai dari kebutuhan pangan sayuran, umbi-umbian, kacang-kacangan dan
sejenisnya. Semua itu sebenarnya mampu untuk mereka produksi sendiri tanpa
harus membeli pada pihak luar. Sehingga jika akan ada kenaikan pada harga sayur
ataupun kacang-kacanagan mereka tidak akan terkena dampaknya.
Indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja konsumsi adalah
tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi pangan. Keduanya menunjukkan tingkat
aksebilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan Aksebilitas tersebut
menggambarkan pemerataan dan keterjangkauan penduduk terhadap pangan.
Pemerataan mengandung makna adanya distribusi pangan ke seluruh wilayah
sampai tingkat rumah tangga, sementara keterjangkauan adalah keadaan dimana
rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan
kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif. Indikator lainnya adalah mutu
pangan, yaitu dapat dinilai atas dasar kriteria keamanan pangan dan kandungan gizi.
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk
6
instrument yang dapat digunakan adalah skor pola pangan harapan.6
Dari data yang ada dapat terlihat bahwa masyarakat sekitar, masih
tergantung pada pihak luar dalam pemenuhannya. Lebih jelas lagi berikut adalah
survey belanja rumah tangga salah satu masyarakat Desa Surenlor Dusun Jeruk
Gulung RT 01:
6Ilham, Nyak dkk, “Efektifitas Harga Pangan Terhadap Pertahanan Pangan”, dalam jurnal Agro Ekonomi, Vol.24, No.2, (Bogor:Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2006), hal. 161
Belanja (rata-rata per bulan)
Banyaknya Harga Jumlah Dalam
desa atau luar Belanja pangan
Beras 30kg Rp.9.000 Rp.270.000 Dalam
Lauk-pauk
Aneka sayuran 30X Rp.10.000 Rp.300.000 Luar
Bumbu masak Rp.30.000 Rp.30.000 Luar
Minyak goring Rp.30.000 Rp.30.000 Luar
Gula+kopi/teh/susu Rp.50.000 Rp.40.000 Luar
Rokok Rp.80.000 Luar
Air bersih PAM
Rp.750.000 Belanja Energi
Gas 2kg/1x Rp.17.000 Rp.17.000 Luar
Rekening listrik Rp.100.000 Luar
BBM Rp.150.000 Luar
Rp.267.000 Belanja Pendidikan
SPP atau iuran sekolah Rp.200.000
Transport dan jajan harian sekolah anak
Rp.300.000
Perlengkapan sekolah Rp.50.000
Rp.550.000 Belanja Kesehatan
Periksa ke Dokter atau PUSKESMAS
Rp.40.000 Tabel: 1. 3
7
Sumber: hasil olahan wawancara dengan Damis
Dari data tersebut dapat terlihat jelas bahwa keluarga Damis mengeluarkan
kebutuhan pangan paling tinggi. Diantara pengeluaran kebutuhan lainnya, mereka
terbebani dengan kebutuhan pangan dengan jumlah Rp.750.000. Pada setiap
bulan,mereka mengeluarkan nominal tersebut hanya untuk belanja pangan.
Memenuhi kebutuhan pangan dari beberapa indikator, mulai dari sayuran juga
lauk-pauk. Karena mereka selalu membeli untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Mulai dari sesuatu yang sederhana, seperti cabai, sayuran, juga lainnya. Jika harus
menanam itu waktunya terlalu lama, dan tidak telaten dalam merawatnya. Karena
kami lebih memilih yang serba cepat.7
Menanam sayur merupakan sesuatu yang belum pernah dicoba dan
dilakukan secara baik dan benar. Pada dasarnya masyarakat belum memiliki
keahlian yang benar dalam hal menanam sayur, dan kebutuhan pangan lainnya.
Karena hal tersebut juga terdapat pengetahuan yang belum masyarakat dapatkan.8
Pengetahuan tersebut sebenarnya sangatlah penting, karena dapat menambah
wawsan masyarakat. Terutama hal tersebut beerhubungan dengan pertanian, karena
7 Wawancara dengan Damis (40) pada tanggal 13-11-2016 pukul 17.30 di kediaman Damis
8 Wawancara dengan Rulik (30) pada tanggal 08-11-2016 pukul 19.30 di kediaman Pini
Beli obat-obatan Rp.15.000 Luar
Perlengkapan kebersihan
Rp.80.000 Luar
Rp.135.000 Belanja Sosial dan Lainnya
Iuran warga Rp.35.000
Pulsa telepon Rp.50.000
Hiburan Rp.50.000
Rp.135.000
Total Pendapatan Rp.2.500.00
0
8
bertani adalah kehidupan masyarakat. Akan tetapi sifat individu tidaklah sama, ada
yang menerima pengetahuan dan juga ada yang tidak mau. Kehidupan
bermasyarakat juga terdiri dari hal tersebut, sehingga tida bisa disamakan.9 Bahkan
Misrin (35) menyatakan:
“wong kene kui akih sing males, tapi yo seneng maidu tonggone nek tandur-tandur. Ngkok nek wes panen malah dijaluk i, odak gelem soro tapi pengen enak e tok. Nandur yo sui, kudu ngramut sisan, yo kui sing marai wong-wong males. Padahal nandur yo dipangan-pangan dewe tapi akih sing males mbak, wong kene iku”10
Masyarakat sekitar banyak yang malas, tetapi jika ada tetangga yang
menanam itu dirasani11. Tetapi jika waktu panen tiba, mereka meminta sedikit hasil
yang didapatkan. Banyak yang tidak mau menanam, tetapi lebih suka meminta
tetangga yang menanam. Karena malas untuk melakukan perawatan. Pada dasarnya
ditanam juga untuk dimakan dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi banyak yang
malas.
Masyarakat sekitar memang memiliki banyak lahan pekarangan yang cukup
luas, akan tetapi sedikit sekali yang memanfaatkannya. Masih banyak dari mereka
yang kurang memperhatikan pekarangannya. Mulai dari waktu yang tidak
mendukung juga susah untuk mendapatkan benihnya. Jarak antara desa dengan kota
cukuplah jauh, dan memakan waktu yang cukup lama. Sehingga masyarakat
semakin malas untuk menanam di daearah pekarangannya.12 Mereka sadar
memiliki potensi yang belum termanfaatkan dengan baik, akan tetapi mereka belum
mampu mengatur waktu. Waktu yang digunakan lebih banyak di ladangnya, baik
9 Wawancara dengan Pini (45) pada tanggal 08-11-2016 pukul 19.50 di kediaman Pini
10 Wawancara dengan Misrini (40) pada tanggal 02-01-2017 pukul 12.40 di kediaman Misrini
11 Membicarakan seseorang dibelakangnya
9
dari suami maupun isteri. Karena masyarakat bekerja secara bersama-sama di
ladang, tidak bekerja secara individu. Keahlian yang masyarakat miliki juga masih
terbilang kurang maksimal, karena didapatkan dari leluhurnya dan
lingkungannya.13
Terbiasa untuk membeli daripada menanam merupakan hal yang kurang
baik, dengan memperhatikan potensi yang melimpah. Mulai dari lahan pekarangan
yang luas, memiliki suhu yang cukup dingin. Akan tetapi kebiasaan konsumtif
tersebut sudah melekat dalam diri masyarakat, sehingga kurang mampu untuk
bersikap produktif. Padahal jika masyarakat mempunyai keinginan belajar, maka
akan mampu untuk memiliki sikap produktif. Mengenai hal tersebut akan dapat
mempengaruhi perekonomian masyarakat.14
Menurut pernyataan Arifin, peranan sektor pertanian di Indonesia sangat
penting dilihat dari keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang
pada tahun 2005 berjumlah 219,3 juta, dan diprediksikan terus bertambah sebesar
1,25 persen. Pemerintah harus melaksanakan kebijakan pangan, yaitu menjamin
ketahanan pangan yang meliputi pasokan, diversifikasi, keamanan, kelembagaan,
dan organisasi pangan. Kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
pangan. Pembangunan yang mengabaikan keswadayaan dalam kebutuhan dasar
penduduknya, akan menjadi sangat tergantung pada negara lain, dan itu berarti
menjadi negara yang tidak berdaulat.15 Pangan merupakan kebutuhaan mendasar
13 Ibid
14 Wawancara dengan Sujiono (45) pada tanggal 15-11-2016 pukul 18.00 di kediaman Sujiono
15 Purwaningsih, Yunastiti, “Ketahanan Pangan:Situiasi, Permasalahan, Kebijakan Dan
Pemberdayaan Masyarakat”, dalam Jurnal Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9, No. 1,
10
bagi suatu negara, terutama negara berkembang. Kekurangan pangan yang terjadi
secara meluas di suatu negara akan menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial dan
politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut.16
Sedangkan dalam buku Sumardjo menyatakan, konsep ketahanan pangan
menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Berdasar konsep tersebut, maka
terdapat beberapa prinsip yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung
terhadap ketahanan pangan (food security), yang harus diperhatikan:
1. Ketersediaan pangan: ketercukupan jumlah pangan (food sufficiency),
2. Keamanan pangan (food safety): pangan yang bebas dari
kemungkinancemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
menganggu, merugikan dan membahayakan keadaan manusia, serta
terjamin mutunya (food quality) yaitu memenuhi kandungan gizi dan
standar perdagangan terhadap bahanmakanan dan minuman,.
3. Kemerataan pangan: sistem distribusi pangan yang mendukung
tersedianya pangan setiap saat dan merata.
4. Keterjangkauan pangan: kemudahan rumah tangga untuk memperoleh
pangan dengan harga yang terjangkau.17
Saat ini dunia tengah dilanda kerawanan pangan. Kenaikan harga pangan
yang berlangsung cepat, bisa mendorong penduduk terutama yang miskin menjadi
16Valeriana dkk, “Usahatani dan Pemasaran Ubi Kayu Serta Teknologi Pengolahan Tapioka di Kab.Pati Prov.Jawa Tengah” dalam buku Prosiding Seminar Nasional, ( Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2010), hal. 323
11
menderita. Untuk mengatasai hal itu maka maka harus digalakkan penanaman
tanaman pangan. Berbeda dengan produk non pertanian, produk pertanian memiliki
karakteristik yaitu mudah rusak, beragam kualitas, beragam kuantitas dan memiliki
resiko fluktuasi harga yang cukup tinggi. Apabila hal ini dibiarkan terus maka
pendapatan petani akan tetap rendah. Salah satu cara meningkatkan pendapatan
petani adalah dengan cara melakukan diversifikasi usaha tani secara horisontal dan
vertikal. Diversifikasi horisontal dilakukan dengan cara mengusahakan beberapa
komoditi pertanian dengan tujuan memperkecil resiko kegagalan pada usahatani
monokultur. Sedangkan diversifikasi vertikal merupakan upaya peningkatan nilai
tambah usahatani melalui pengolahan produk-produk pertanian atau disebut juga
dengan agroindustri.18
Pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat, akan tetapi mereka belum
produktif dalam hal tersebut. masyarakat masih banyak tergantung bpada pihak
luar, dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarganya. Terutama kebutuhan yang
terbilang sederhana, dan digunakan pada setiap harinya. Masalah sayur-mayur
adalah komponen utama dalam pangan, yang harus dipenuhi. Setiap kandungan
vitamin dalam sayur sangat dibutuhkan masyarakat, untuk menambah tenaga dalam
bekerja. Apalagi memiliki pekerjaan sebagai petani yang memerlukan tenaga lebih
dalam bekerja.19
Sektor pemenuhan utama dalam menunjang ketahanan pangan adalah,
dimulai dari tingkat keluarga. Dalam suatu keluarga jika sudah mampu untuk
18Gumoyo Mumpungningsih, “Nilai Tambah dan Penerimaan Pengolahan Keripik Singkong di
Malang” dalam Jurnal TROPIKA, Vol. 18 No. 2 ( Malang:UNMU Malang, 2010), hal. 184
12
memenuhi belanja pangannya, maka mereka sudah bersikap produktif. Bersikap
konsumstif tidak apa-apa, akan tetapi dengan potensi yang dimiliki, maka
setidaknya perlu adanya pengoptimalan hal tersebut. Potensi yang sudah ada jika
tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar, maka akan terbuang secara sia-sia.
Padahal jika hal tersebut mampu untuk dimanfaatkan dengan baik, setidaknya
mampu mengurangi beban yang ditanggung. Karena semua hal tersebut juga
memiliki prosesnya, tidak akan bisa langsung dalam mendapatkan hasilnya.
Terutama untuk menuju keluarga yang mampu bersikap produktif. Karena hal
tersebut juga memiliki kendala yang cukup sulit. Mulai proses perawatan jika
terkena hama, harus rutin dalam menyirami dan sebagainya.
Masyarakat sekitar perlu adanya motivasi untuk dapat melaukan sedikit
perubahan. Perlu adanya seseorang yang memberi pengetahuan lebih. Sehingga
pemikiran masyarakat sedikit terbuka, untuk menerima hal-hal baik. Sesuatu hal
yang baik perlu adanya pengawalan yang membutuhkan proses cukup lama. Karena
masyarakat sekitar lebih tertarik pada sesuatu yang serba cepat.20 Dengan cuaca
yang tidak bisa diduga, terutama jika hujan lebat dan juga angin kencang
merupakan kendala dalam menanam. Karena jika mendapatkan curah hujan yang
berlebihan, juga tidak akan baik untuk sayuran. Tanaman tersebut akan menjadi
mudah busuk dan diserang hama. Sehingga masyarakat sekitar malas untuk
menanam terutama sayuran, karena faktor cuaca yang tidak mendukung.21
20 Wawancara dengan Imbar ()tanggal 16-11-2016 pukul 18.00 di kediaman Imbar
13
Indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja konsumsi adalah
tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi pangan. Keduanya menunjukkan tingkat
aksebilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksebilitas tersebut
menggambarkan pemerataan dan keterjangkauan penduduk terhadap pangan.
Pemerataan mengandung makna adanya distribusi pangan ke seluruh wilayah
sampai tingkat rumah tangga, sementara keterjangkauan adalah keadaan dimana
rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan
kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif. Indikator lainnya adalah mutu
pangan, yaitu dapat dinilai atas dasar kriteria keamanan pangan dan kandungan gizi.
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk
mendapatkan kualitas gizi yang baik, diperlukan variasi konsumsi dengan
instrumen yang dapat digunakan adalah skor pola pangan harapan.22
Masyarakat melakukan itu semua, dikarenakan belum memiliki
pengetahuan mengenai pentingnya ketahanan pangan. Pengetahuan yang mereka
miliki juga sebagian dari leluhurnya sendiri, mereka hanya meneruskan ajaran dari
leluhurnya. Sedangkan menurut pernyataan (Arifin, 2004) dengan demikian
pemenuhan kebutuhan pangan ini menjadi sangat penting dan strategis dalam
rangka mempertahankan kedaulatan negara, melalui tidak tergantung pada impor
pangan dari negara maju. Ketergantungan suatu negara akan impor pangan (apalagi
14
dari negara maju), akan mengakibatkan pengambilan keputusan atas segala aspek
kehidupan menjadi tidak bebas atau tidak merdeka, dan karenanya negara menjadi
tidak berdaulat secara penuh.23
Terdapat hubungan yang negatif antara proporsi pengeluaran bahan pangan
dan ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
• Semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan,
maka akses terhadap bahan pangan adalah rendah. Semakin besar proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan juga menunjukkan
rendahnya kepemilikan bentuk kekayaan lain yang dapat ditukarkan dengan
bahan pangan.
• Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan,
maka akses terhadap bahan pangan adalah besar, atau menunjukkan
semakin tinggi ketahananpangannya
• Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan,
juga menunjukkan tingginya kepemilikan bentuk kekayaan lain yang dapat
ditukarkan dengan bahan pangan.24
Dari paparan data-data di atas dan teori bahwasannya kebutuhan pangan itu
mampu kita produksi secara mandiri. Akan tetapi semua itu juga tidak sesederhana
kelihatannya, karena semua itu juga harus melalui banyak proses. Terutama proses
akan kesadaran pada dirinya sendiri. Jika seseorang sudah mulai sadar maka mereka
akan menyadari kewajiban yang harus dilakukan. Terutama memenuhi kebutuhan
23 Purwaningsih, Yunastiti, “Ketahanan Pangan:Situiasi, Permasalahan, Kebijakan Dan
Pemberdayaan Masyarakat”, dalam Jurnal Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9, No. 1,
15
pangan keluarganya, dengan mengurangi beban biaya yang akan dikeluarkan.
Mulai dari sesuatu hal yang kecil bisa membawa perubahan yang cukup terlihat
hasilnya. Mereka mempunyai kemampuan dalam memanfatkan potensi pekarangan
yang ada. Akan tetapi mereka belum menyadari akan hal itu. Sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan pendampingan sebagai file project untuk meminimkan
beban biaya pengeluaran pangan melalui sekolah lapang sayur di Desa Surenlor
Dusun Jeruk Gulung Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek.
B. Fokus Masalah
Dari pernyataan data-data di atas, maka fokus masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana kondisi pangan masyarakat Desa Surenlor Dusun Jeruk gulung?
2. Bagaimana proses melemahnya ketahanan pangan pasyarakat Desa
Surenlor Dusun Jeruk Gulung?
3. Bagaimana strategi tindakan pemberdayaan dalam membentuk keluarga
yang mampu memproduksi kebutuhan pangannya secara mandiri di Desa
Surenlor Dusun Jeruk Gulung?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian adalah:
1. Memahami kondisi pangan masyarakat Desa Surenlor Dusun Jeruk gulung.
2. Mengetahui proses melemahnya ketahanan pangan masyarakat Desa
16
3. Menyusun strategi tindakan pemberdayaan dalam membentuk keluarga
yang mampu memproduksi kebutuhan pangannya secara mandiri di Desa
Surenlor Dusun Jeruk Gulung.
D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penulisan di atas maka penelitian ini diharapkan
memiliki manfaat mengenai beberapa hal sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai tambahan referensi tentang pengetahuan pengalaman yang
berkaitan dengan langkah-langkah pemberdayaan masyarakat secara
operasional.
b. Sebagai tugas akhir perkuliahan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi
program studi Pengembangan Masyarakat Islam Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel.
2. Secara Praktis
a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi catatan eksperimentasi dalam
upaya membangun ketahanan pangan.
b. Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan
informasi tentang, membangun kesadaran dalam memproduksi pangan
keluarga secara mandiri.
E. Analisa Stakeholder
Dalam suatu kegitan yang akan dilaksanakan, perlu kiranya untuk
melibatkan banyak lembaga juga orang-orang terkait. Semakin banyak orang atau
17
dengan lancar. Program dari kegiatan tersebut akan diakui secara resmi oleh aparat
desa. Karena dalam kegiatannya, melibatkan banyak kalangan dan hal itu
benar-benar dilakukan. Tidak hanya berupa omong kosong tanpa bukti yang nyata, bukti
berupa kegiatan bersama-sama dengan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat
sendirilah sebagai pelaku dan subyek dari perubahan tersebut. Maka jika mereka
tidak aktif di dalamnya, maka perubahan sosial tidak akan terjadi secara maksimal.
Bahkan masyarakat yang terlibat juga berperan sebagai informan, yaitu orang yang
menggambarkan wilayahnya sendiri. Adapun pihak yang terlibat dalam proses
kegiatan berlangsung yaitu:
1. Aparat Desa
Jajaran aparat desa merupakan tingkat tertinggi dalam pemerintahan yang
ada di suatu kawasan. Mereka merupakan pimpinan dari masyarakat sekitar, wakil
dari masyarakat untuk menjadi pemimpin. Sebagai seorang pemimpin memiliki
kekuasaan yang dapat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Maka dari itu
aparat desa memiliki peran yang penting juga, dalam proses pemberdayaan ini.
Karena dengan memiliki kekuasaan tersebut, maka akan mampu memperlancar
kegiatan pemberdayaan ini. Terutama jika dibentuk suatu kebijakan yang akan
mendukung kepentingan masyarakat. Aparat desa mengambil peran penting dalam
hal tersebut, dengan kekuasaan yang dimilikinya.
2. Tokoh Masyarakat atau Ketua Kelompok
Tokoh masyarakat merupakan seseorang yang menjadi bagian dari
masyarakat, yang memiliki wibawa lebih. Memiliki suatu pengaruh bagi
18
Karena sebagai seorang panutan mereka mempunyai pengaruh yang besar. Maka
dari itu mereka juga memiliki peran yang penting dalam proses pemberdayaan ini.
Karena dengan memiliki status tersebut, maka mereka akan dengan mudah dalam
menggerakkan masyarakat sekitar. Seseorang yang menjadi sesepuh biasanya
mendapatkan tempat tersendiri, dalam suatu desa tersebut. Bahkan perkataannya
akan menjadi panutan untuk masyarakat sekitar, karena dianggap sebagai tokoh
masyarakat.
3. Penyuluh Pertanian
Dinas Pertanian Kabupaten Trenggalek, telah memberikan petugas khusus
pertanian untuk setiap kecamatan. Merekalah yang akan menangani permasaalahan
pertanian, yang ada di desa. Sebuah lembaga yang menangani khusus pertanian
desa, jika pada suatu saat mereka mengalami masalah. Seperti jenis obat yang
digunakan untuk penyakit yang ada pada tanaman, dan juga hal lainnya. Tetapi
banyak masyarakat sekitar yang tidak memanfaatkan hal tersebut, karena banyak
yang belum mengetahui fungsi PPL. Pada dasarnya mereka ditugaskan pada setiap
desa, untuk mendampingi petani. Berusaha untuk bekerja bersama-sama dengan
masyarakat dengan baik, saling berbagi pengetahuan yang ada. Karena mereka
memiliki keahlian dalam hal pertanian, yang mendalam. Maka dari itu bentuk
keterlibatan PPL tersebut juga penting, karena akan semakin memperlancar
kegiatan. Mendapatkan hasil yang maksimal juga melibatkan banyak komponen
yang terkait di dalamnya.
4. Kader Posyandu
19
bagi masyarakat sekitar terutama hal kesehatan. Karena dalam kegiatan kader
posyandu tersebut, terdiri program-program menunjang kesehatan. Mulai dari
kesehatan MANULA, ibu hamil, juga hal-hal kesehatan lainnya. Wadah tersebut
juga melayani segala bentuk keluhan ataupun program mengenai kesehatan
masyarakat.
Setelah pendamping menganalisis stakeholder yang terlibat, maka untuk
memperjelasnya dibentuk dalam sebuah tabel di bawah ini:
Tabel: 1. 1
Analisis Stakeholder Terkait No Lembaga atau
kelompok
Karakteristik Sumber Daya Yang dimiliki
Bentuk Partisipasi
Tindakan yang harus Dilakukan
1 Aparat Desa Segala
jajaran aparat dan staf desa Kekuasaan yang disegani Memberi dukungan, arahan untuk mempermulus kegiatan 1.Pendataan yang dibutuhkan subyek 2.Mengawasi dan mengontrol
kegiatan yang akan dilaksanakan
2 Tokoh
Masyarakat Seseorang yang menjadi panutan dan disegani Mampu mengorganisir masyarakat Memberi dukungan, dan terlibat dalam kegiatan Menjadi motivator untuk masyarakat lainnya
3 Penyuluh
Pertanian Kecamatan Bagian ahli pertanian Tenaga ahli dalam pertanian dan memotivasi masyarakat sekitar Narasumber tentang pertanian menanam sayuran Memberi dampingan dan materi mengenai cara penanaman sayuran yang benar juga pembuatan MOL dan PESNAB
4 Kader
20
F. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Pada BAB ini akan membahas latar belakang peneliti mengambil
permasalahan tersebut. Hal tersebut akan didukung mulai latar
belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : KAJIAN TEORI dan RISET TERKAIT
Pada BAB ini peneliti membahas mengenai kajian teori. Dimana
kajian teori ini dianalisis dengan teori yang relevan dengan
permasalahan yang terjadi dengan komunitas. Terutama masalah
pangan untuk komunitas, pendidikan untuk petani, dan konsep
sekolah lapang petani terpadu.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Membahas tentang metode penelitian dan pemberdayaan
komunitas. Prinsip-prinsip penelitian, langkah-langkah
penelitian, dan juga pihak-pihak yang terkait dengan
pemberdayaan yang dilakukan.
BAB VI : SELAYANG PANDANG DESA SURENLOR
Membahas tentang pengenalan terhadap problematika yang
terjadi pada Desa Surenlor. Profil tentang desa dilihat dari segi
21
BAB V : MEMAHAMI PROBLEM MLEMAHNYA KETAHANAN
PANGAN MASYARAKAT
Membahas tentang dinamika proses pengorganisasian petani
yang ada di Desa Surenlor Dusun Jeruk Gulung. Dari awal
pengorganisasian pembentukan sekolah lapang sayur sampai
dengan kurikulum yang akan dilakukan oeh masyarakat.
BAB VI : AKSI PERUBAHAN UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN
PANGAN SAYUR ( Membangun Perempuan tahan Pangan Melalui “Sekolah
Lapang Sayur”)
Membahas tentang perkenalan pertanian yang alami dengan
memanfaatkan pekarangan sebagai alternatif sumber pangan.
Proses sekolah lapang sayur yang dijalankan, kurikulum, dan
pendidikan untuk para petani dengan sekolah lapang.
BAB VII : ANALISIS dan REFLEKSI
Membahas tentang refleksi dari hasil pengorganisasian petani di
Desa Surenlor Dusun Jeruk Gulung. Dari aspek metodologi dan
agent of change.
BAB VIII : SIMPULAN
Membahas tentang kesimpulan yang telah ditulis dalam bentuk
BAB II
KAJIAN TEORI DAN RISET TERKAIT
A. Membangun Ketahanan Pangan Masyarakat
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, yang pemenuhannya
merupakan hak asasi manusia. Pengertian hak untuk pangan ini, telah diperkuat
oleh Deklarasi Roma tentang “World Food Security and World Food Summit 1996”
yang ditandatangani oleh 186 pejabat tinggi negara setingkat menteri termasuk
Indonesia. Itu sebabnya kebijakan pangan menjadi sangat penting. Karena demikian
penting dan strategisnya, maka kebijakan pangan suatu bangsa harus lahir dari
sebuah kepemimpinan yang konsisten memiliki komitmen dan visi jauh ke depan
tentang bagaimana agar rakyatnya senantiasa berkecukupan pangan yang
berkelanjutan dan terhindar dari petaka kelaparan. Adapun masalah kelaparan erat
kaitannya dengan kemiskinan. Dalam konteks ini, penyelesaian masalah pangan
menjadi tidak sederhana lagi.25
Menurut Hemanto-Siregar mengemukakan beberapa hal sehubungan
dengan peranan ekonomi daerah, yaitu:
1. Menampung tenaga kerja yang yang laid-off dan yang di PHK (agriculture
asemployer of last resort).
2. Menopang pilar ketersediaan ketahanan pangan, di mana usaha tani pangan
hampir seluruhnya berada di pedesaan.
25 Anton, Murdijati, Pangan Nusantara Karakteristik dan Prospek untuk Percepatan Diversifikasi
23
Memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat
Memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
3. Pada saat yang sama juga menyerap produksi dalam negeri, bahkan menjadi
sumber terbentuknya multiplier effect dan economic linkages (pasar).
4. Bisa digunakan sebagai instrument untuk pemerataan (stabilizer).26
Membangun ekonomi daerah, tidak bisa tidak lain bertumpu pada
membangun segenap potensi sumber daya alam yang dimiliki daerah tersebut. Basis
sumber daya alam yang berhubungan dengan kebutuhan pangan adalah jawaban
logis membangun pertanian. Oleh karena itu, membangun perekonomian di negara
agraris untuk kesejahteraan rakyat yang mayoritas hidup di pedesaan, adalah tidak
bijaksana bila mengabaikan pembangunan pertanian yang dalam hal ini fokus pada
pembangunan kemandirian pangan, yang seyogyanya menjadi program strategis
dan utama untuk dilaksanakan.27
Maka di sini diyakini, siapapun para arif dan bijak, akan berpandangan yang
sama bahwa “kemandirian pangan dari desa ke masyarakat bangsa adalah fondasi
kedaulatan pangan yang akan memantapkan ketahanan pangan suatu bangsa, yang
pada gilirannya jika keberlimpahan (surplus pangan) menjadi pasokan pangan
bangsa lainnya”.28
Dari teori tersebut, disebutkan bahwa pentingnya untuk membangun
ketahanan pangan. Karena hal tersebut akan berpengaruh pada, pembangunan
ekonomi daerah setempat. Suatu kemandirian pangan perlu mendapat strategi
26
24
khusus, untuk melakukan hal tersebut. Pangan sendiri merupakan kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup manusia. Jika kebutuhan pokok
tidak terpenuhi dengan baik, hal itu juga akan berpengaruh pada kesehatan
masyarakat. Pangan berhubungan dengan banyak kebutuhan masyarakat lainnya.
Maka dari itu proses pemanfaatan SDA dan kualitas SDM juga perlu diperhatikan.
Dalam teori disebutkan bahwa, dengan memanfaatkan SDA secara maksimal
akan menunjang pangan pertanian masyarakat. Dalam pendampingan ini hal
tersebut dipraktekkan secara langsung. Yaitu dalam proses pembuatan MOL
(mikroorganisme lokal) dan PESNAB (pestisida nabati). Pembuatan MOL dan
PESNAB tersebut, berasal dari potensi lokal yang ada. Tumbuhan-tumbuhan yang
mengandung racun dan vitamin untuk merangsang pertumbuhan. Semuanya
dilakukan secara tradisional dan manual, bahkan cara membuatnya juga
menggunakan lumpang29.
Pertanian yang sehat, memiliki kualitas yang baik pula karena menggunakan
obat-obatan alami. Hal tersebut dimulai diterapkan dalam pendampingan sekolah
lapang sayur ini. Belajar memproduksi pangan yang sehat, tidak mengandung
bahan kimia yang berbahaya. Hal tersebut dimulai dengan sesuatu yang sederhana.
Yaitu proses belajar memanfaatkan potensi alam lokal yang ada. Pada kegiatan
pendampingan ini, kegiatan tersebut dimulai dengan belajar memanfaatkan alam
sebagai bahan penunjang pertanian. Mulai dari racun organik dan juga perangsang
pertumbuhan tanaman.
25
Pendamping berusaha untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat,
mengenai sumber potensi lokal. Karena dengan hal tersebut, mampu menjadi bahan
pendidikan untuk peserta SLS (sekolah lapang sayur). Belajar dari lingkungan
sekitar, dengan memanfaatkan potensi alam. Hal tersebut tidak akan merusak
lingkungan, karena tidak mengandung bahan kimia sama sekali. Karena dalam SLS
hanya akan memanfaatkan potensi alam yang ada, tanpa penggunaan bahan kimia
yang berbahaya.
Wacana kemandirian pangan bangsa bukan hal yang baru. Bapak pendiri
Republik Indonesia dan para tokoh dari semua kalangan ataupun pemimpin bangsa
ini telah menyadari bahwa persoalan pangan adalah persoalan “hidup mati bangsa
Indonesia”. Ini adalah pesan sekaligus peringatan Bung Karno. Kemandirian
pangan tinggal ungkapan semata manakala ketahanan pangan bangsa rapuh dan
acap kali goyah. Tidak kukuhnya ketahanan pangan nasional, dikhawatirkan oleh
karena terjadinya pengingkaran terhadap cita-cita Republik Indonesia saat
didirikan. Bangun perekonomian nasional yang semestinya “disusun sebagai usaha
bersama berdasar asas kekeluargaan”, terutama yang menyangkut “dan menguasai
hajat hidup orang banyak” digantikan dengan sistem ekonomi yang kapitalistik.
Sektor pertanian khususnya produksi pangan yang menyediakan kebutuhan pokok
hidup bagi semua orang, urusannya “diserahkan” pada pasar bebas. Pasokan pangan
ujungnya dimonopoli sekelompok pedagang besar (konglomerasi) dan petani
26
pangan (beras, terigu, kedelai, gula, daging, buah-buhaan dan lain-lainnya)
dipenuhi dengan impor.30
Pangan adalah hak asasi manusia, gizi pangan yang memadai merupakan
hak dasar dan esensial bagi kehidupan. Seperti dapat dilihat dalam Deklarasi HAM
PBB; the UN Declaration of Human Rights serta the UN Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights. Pernah terjadi bahwa hak katas pangan dan
penghapusan kelaparan serta keamanan pangan ditegaskan kembali oleh the World
Food Summit di Romat tahun 1996.31 Abad ke-21 yang sering disebut sebagai era
globalisasi akan merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi
para petani di negara-negara berkembang. Termasuk petani-petani di Indonesia
yang kebanyakan adalah petani subsistem. Salah satu masalah yang sangat penting
akan dihadapai oleh para petani di negara-negara berkembang adalah, bagaimana
mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi
mereka sendiri dan bangsa mereka.
Ketergatungan pangan pada dunia luar akan menimbulkan berbagai masalah
bagi petani dan masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang.32 Suatu
kebijaksanaan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur, yaitu;
ecological security, livelihood security; dan food security. Suatu sustainable
agricultiure adalah suatu system pertanian yang mendasarkan dirinya pada
pemanfaatan sumber alam (tanah, air dan keanekaragaman hayati pertanian) secara
lestari. Keanekaragaman hayati merupakan kekuatan petani dalam upaya
30 Murdijati, Anton, Pangan Nusantara Karakteristik dan Prospek untuk Percepatan Diversifikasi
Pangan.
31 Mansour Fakih, Dusta Industri Pangan, (Yogyakarta: Read Book, 2003), hal. 10
27
melestarikan ketahanan pangan. Keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber
alternative dalam penganekaragaman jenis-jenis tanaman budi daya.33
Dibawah pengelolaan negara, pertanian tidak memberikan kebebasan
kepada para petani, seperti halnya ketika pemerintah Indonesia “memaksa” petani
untuk menanam padi, demi keberhasilan program swasembada pangan. Dalam era
globalisasi dan perdagangan bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan
pengembangan sector pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan fungsi
petani untuk mengatur usaha tani mereka. Tetapi justru memfasilitasi penyerahan
penguasaan sumber-sumber alam, system produksi, serta system pemasaran dan
perdagangan kepada perusahaan agrobisnis global.34
Petani Indonesia khusunya petani Jawa, rata-rata memiliki tanah yang
sangat sempit, yakni tak lebih dari 0,5 hektar. Otomatis hasil panen mereka tak
pernah mampu mencapai skala ekonomi. Mereka jarang dapat menjual padi mereka
sesuai dengan standar harga yang ditentukan oleh pemerintah, karena para petani
gurem di Jawa menjual gabah kering sawah atau basah, demi membayar tuntutan
hutang yang mereka ambil ketika mereka mulai menanam padi. Meskipun
pemerintah menyediakan kredit usaha tani, tidak semua petani dapat ikut dalam
program kredit yang dananya cair dalam bentuk natural (pupuk) ini.35
Kuatnya teori atau logika yang mendasari pendapat bahwa sektor pertanian
harus mampu menyumbang devisa, dapat mengarah pada suatu keharusan bagi
negara-negara yang sedang berkembang untuk sekaligus juga mengekspor daging
28
sapi dan kerbau dapat menimbulkan berbagai masalah. Sapi yang merupakan
binatang yang dianggap suci oleh bangsa India yang memeluk agama Hindu,
sehingga pemotongan sapi akan menimbulkan masalah budaya. Untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, secara statistik pemerintah India mencatat
daging sapi sebagai “daging kerbau”. Ketergantungan dunia pada perusahaan
multinasional sebagai penyedia pangan pernah menyebabkan terjadinya krisis
pangan dunia pada tahun 1973-1974, ketika impor beras tidak dapat dilakukan
meskipun dengan harga yang tinggi. Perusahaan multinasional hanya menimbun
stok pangan mereka, dan menjualnya pada saat harga pangan membumbung
tinggi.36
Dalam hal pembangunan pertanian, pengalaman India dan Nigeria dapat
menjadi contoh bagi Indonesia. Indonesia juga berupaya untuk mengembangkan
pembangunan sektor pertanian kearah ekspor. Seperti halnya India, Indonesia juga
telah membangun usaha tani tambak udang, perkebunan dan sebagainya. Namun,
seperti halnya India, keuntungan tersebut belum dikurangi dengan ongkos yang
harus dibayar oleh masyarakat petani karena kerusakan lingkungan maupun
hilangnya tanah-tanah pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan
ketahanan pangan bangsa Indonesia.37
Nigeria memberi contoh yang berbeda, yakni pentingnya suatu negara
berswasembada pangan. Ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan pada
impor akan menyebabkan setiap saat negara tersebut dapat menghadapi krisis
29
pangan, karena perusahaan penyedia pangan dunia pada umumnya adalah para
perusahaan multinasional yang setiap saat dapat mempermainkan harga dan supply
bahan pangan.38
Di Indonesia, pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah
tangga masih relatif tinggi, yaitu 67,2% dan 52,36% dari rumah tangga di desa dan
kota. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan keluarga masih
dibelanjakan untuk pangan. Artinya pangan adalah komoditas dominan bagi
sebagian besar rumah tangga di Indonesia dan oleh karena itu ketergantungan orang
Indonesia terhadap ketersediaaan akses atas pangan sangatlah tinggi. Sebagai
pembanding, pangsa pengeluaran rumah tangga untuk di AS dan Jepang
masing-masing hanya 12,76% dan 22,28%. Di negara-negara ini, pangan bukan menjadi
masalah utama sehari-hari bagi sebagain besar masyarakatnya, sedangkan bagi
Indonesia tingginya pangsa pengeluaran pangan berarti penurunan pendapatan
dalam jumlah yang sedikit saja akan berdampak sangat signifikan terhadap
pemenuhan pangan. Dengan demikian, pemenuhan hak atas pangan di Indonesia
sangat tergantung dari perbaikan atau perburukan pengelolaan ekonomi oleh
negara.39
Lebih jauh lagi, perbaikan atas perburukan pemenuhan hak atas pangan
tergantung pada karakteristik hubungan antara orang dengan pangan. Karakteristik
hubungan ini signifikan pengaruhnya bagi pemenuhan hak atas pangan kecuali pada
masyarakat yang subsistem di mana pangan diperoleh dari hasil bercocok tanam
38 Loekman Soestrisno, Pembangunan Pertanian, (Yogyakarta: KANISIUS, 2002), hal 32
30
tanpa melalui mekanisme pasar. Dalam masyarakat, proses transaksi ekonomi di
pasar merupakan media pengaliran komoditas pangan dari satu pihak ke pihak lain.
Dengan demikian, sebelum mengukur pemenuhan hak atas pangan, harus dianalisis
lebih dahulu sifat pasar komoditi pangan yang bekerja.40
Oleh karena itu, pemenuhan hak atas pangan selama Orde Baru akan
melibatkan sedikitnya dua variabel yaitu kebijakan ekonomi negara termasuk
kebijakan pangannya, produksi pangan dan kepmilikan yang menjamin akses
terhadap pangan. Tugas variabel ini akan dianalisis pengaruhnya terhadap
pemenuhan hak atas pangan yang mencakup masalah kecukupan, keanekaragaman
dan tata niaga pangan.41
Maka dari itu, pada waktu terjadi krisis kenaikan harga beras yang
disebabkan oleh kekeringan tahun 1972-1973, pemerintah Orde Baru berusaha
sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan beras rakyat. Usaha pemerintah ini
tertolong oleh datangnya booming minyak pada tahun 1973-1977. Dari pendapatan
booming minyak ini pemerintah menginvestasikan dana dalam jumlah yang cukup
besar dalam bentuk infrastruktur pedesaan dan irigasi. Kebijakan ini bernama
Program Bimbingan Massal (Bimas) yang kemudian diganti dengan Program
Intensifikasi Khusus (Insus).42
Program ini telah menjadi pilar bagi usaha peningkatan produksi padi oleh
pemerintah hingga akhirnya menjadi kebijakan institusional pemenuhan kebutuhan
pangan selama Orde Baru. Bentuk operasional dari kebijakan ini adalah, pertama,
31
percobaan dan perluasan penggunaan varietas unggul. Kebijaka kedua, penyediaan
pupuk. Ketersediaan pupuk ini menjadi penting karena varietas baru yang
digunakan sangat tergantung pada pupuk. Ketiga adalah strategi harga beras. Sejak
semula pemerintah Orde Baru berusaha mempertahankan legitimasinya yairu beras
murah dan inflasi rendah.
Kebijakan institusional pemenuhan pangan Orde Baru tercatat berhasil
meningkatkan produksi beras tahun 1970-1990 secara spektakuler, dari 19.180.000
ton menjadi 43.864.000 ton. Hanya saja produktifitas Jawa dan luar Jawa berbeda
signifikan. Jawa secara konstan menyumbang 60% produksi beras nasional,
produktivitas per luas lahan yang senantiasa lebih tinggi. Namun selanjutnya andil
Jawa menurun, disesbabkan oleh konversi lahan pertanian rakyat yang produktif
secara besar-besaran untuk kepentingan industri. Pada periode 1983-1993,
misalnya telah menggusur tanah pertanian rakyat seluas 900.000 hektar.43
Standar yang ditetapkan di Indonesia untuk mengukur kecukupan pangan
adalah terpenuhinya 2045 kalori per kapita per hari untuk kebutuhan energi dan 45
gram per kapita per hari untuk kebutuhan protein. Dengan standar ini, konsumsi
energi dan protein per kapita secara nasional telah melebihi batas minimum. Yang
justru memprihatinkan adalah prosentase rumah tangga yang konsumsi energinya
di bawah 60%, empat dari 10 besar terburuk justru terdapat di pulau Jawa. Padahal,
kita ketahui bahwa pendapatan per kapita penduduk di Jawa paling dominan
dibandingkan pulau-pulau lain.
Dalam hal konsumsi protein yang di bawah 60%, lima dari 10 besar terburuk
32
terdapat di Jawa dan Bali. Propinsi yang prosentase rumah tangga dengan konsumsi
energi dan protein di bawah 60% terbanyak adalah DIY. Jika produksi pangan
terutama beras di Jawa tinggi, masalah rendahnya konsumsi energi dan protein
lebih disebabkan oleh kepemilikan akses atas pangan yang rendah. Atau dengan
kata lain, di pulau Jawa terjadi pemusatan kepemilikan akses atas pangan pada
sebagian kecil masyarakat.44
Pada kuartal pertama tahun 1998, Indonesia mengalami krisis pangan yang
cukup serius sehingga berdampak pada social unrest dan krisis ekonomi politik
yang lebih luas lagi. Hal ini dipicu oleh kelangkaan pangan pada kuartal terakhir
1997. Pada waktu itu Indonesia dilanda kekeringan yang cukup panjang dan
serangan hama yang ekstensif sehingga tidak cukup tersedia beras untuk rakyat.
Selain itu, kemarau panjang juga telah menunda masa penanaman padi di berbagai
tempat yang berakibat pada terganggunya keseimbangan stok beras nasional yang
selama ini ada.45
Pendekatan keberdayaan berperan penting terhadap pembangunan
alternatif, sebab hal tersebut menempatkan masyarakat untuk memperoleh
pengalaman dan penekanan pada otonomi dan pembuatan keputusan dari
masyarakat secara teritorial, kemandirian lokal (tapi bukan autarki), demokrasi
langsung (partisipatori) dan pembelajaran sosial. Menurut Friedmann, keberdayaan
masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja namun juga secara politis. Ini yang
menjadikan masyarakat memiliki posisi tawar menawar yang kompetitif, baik
33
secara nasional maupun internasional.46
Paradigma keberdayaan tersebut terpacu untuk mengubah kondisi yang
serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom. Hal ini dilakukan dengan cara
memberi kesempatan pada kelompok yang miskin untuk merencanakan dan
kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri. Mereka
pun diberi kesempatan untuk mengelola dana pembangunan baik yang berasal dari
pemerintah maupun pihak luar. Konsep dasar pemberdayaan tersebut, oleh
Friedmann disebut sebagai alternative development (pembangunan alternatif) yang
menghendaki “inclucive democracy, appropriate economic growth, gender
equality and intergeranational equality” (demokrasi inklusif, pertumbuhan
ekonomi yang memadai, kesetaraan gender dan persamaan antar generasi).47
Proses menjadi masyarakat yang tahan pangan, perlu melewati beberapa
tahapan yang dilalui. Termasuk diawali dari kelompok yang terkecil dalam
masyarakat, yaitu dalam sebuah keluarga. Suatu keluarga yang mampu mengurangi
pengeluaran belanja pangan setipa bulannya, merupakan tahap awal menjadi
keluarga yang produktif. Karena dalam menuju masyarakat yang tahan pangan,
perlu mengurangi sikap yang konsumtif. Beban belanja pangan dalam keluarga
cukup tinggi, karena hal tersebut merupakan kebutuhan pokok. Sehingga beban
yang ditanggung juga menjadi lebih banyak, daripada kebutuhan lainnya. Maka dari
itu, bersikap produktif akan mengurangi beban yang menjadi kebutuhan keluarga.
Kebutuhan pangan merupakan hal yang menjadi peran penting dalam
46 Ibid,
34
sebuah keluarga. Karena untuk memenuhi pangan keluarga, mereka memenuhinya
dengan bergantung dari pihak luar. Maka dari itu jumlah beban pengeluaran pangan
keluarga cukup tinggi. Untuk mampu bersikap menjadi keluarga yang produktif,
yaitu mulai berusaha memenuhi pangannya secara mandiri. Sehingga akan
mengurangi beban pangan ke pihak luar. Maka dari itu dari teori-teori di atas,
disebutkan bahwa tahan pangan harus bersikap produktif. Maka dari itu dalam
sebuah keluarga, harus mampu bersikap lebih produktif. Karena dengan produktif
akan membuat keluarga tersebut menjadi mandiri.
Sikap ketergantungan yang terjadi secara terus menerus, juga akan
membawa dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Hal tersebut juga akan
mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat. Terutama jika terjadii kenaikan
harga bahan pokok, maka pengeluaran pun akan semakin tinggi. Maka dari itu sikap
produktif juga penting untuk menjadi perhatian. Karena dapat mengurangi
ketergantungan masyarakat, dengan pihak luar. Meskipun akan terjadi kenaikan
harga bahan pangan, hal tersebut tidak berpengaruh bagi kehidupan masyarakat.
B. Sekolah Lapang
Pendidikan adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas SDM.
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, perlu
ditingkatkan kualitas manajemen pendidikan. Berkaitan dengan masalah ini,
menurut Engkoswara menyebutkan bahwa “manajemen pendidikan yang
diharapkan menghasilkan pendidikan yang produktif, yaitu efektif dan efisien,
memerlukan analisis kebudayaan atau nilai-nilai dan gagasan vital dalam berbagai
35
hidup”.48
Bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia dan dunia tersebut, Freire
kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakekat pendidikan dalam
suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan pembaharu. Bagi Freire,
pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif,
tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak
manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk
mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya,
yang obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal
yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis.
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang
ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang
saling bertentangan yang harus dipahaminya.
Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa menjebak
kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja
berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan
dialektis tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih
salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam
hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:49
48 Zudan Rosyidi, Sumber Daya Dan Kesejahteraan Masyarakat, (Suarabay:UIN Sunan Ampel
Press,2014), hal. 63
36
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara
yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan
dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama
ini. Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan
sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu
pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak
didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda
dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya
adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan
berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan
kepada anak didik.50
Suatu penyelenggaraan belajar-mengajar merupakan proses pendidikan
kritis., harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk
menjadi pelaku (subyek) utama, bukan sasaran perlakuan (obyek) dari proses
tersebut.
Ciri-ciri pokok:
1. Belajar dari realitas atau pengalaman
2. Tidak mnggurui.
3. Dialogis
37
Agar proses belajar tetap berpijak pada asas-asas pendidikan kritis sebagai
landasan filosofinya, maka panduan proses belajar dan pelaksanaannya harus
disusun dalam suatu proses ynang dikenal sebagai “daur belajar (dari) pengalaman
yang distrukturkan”. Proses belajar ini sudah teruji sebagai suatu proses belajar
yang memenuhi semua tuntutan atau prasyarat pendidikan kritis. Hal tersebut
terjadi karena urutan prosesnya memang memungkinkan bagi setiap orang untuk
mencapai pemahaman dan kesadaran atau suatu realitas sosial dengan cara terlibat
(partisipasi), secara langsung maupun tidak langsung, sebagai bagian dari realitas
tesrebut. Pengala