• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agraria-Oktober 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Agraria-Oktober 2008"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI OKTOBER 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a f t a r I si

Petani Karet Kalsel Kesulitan Pupuk --- 1

Harga Beras Dunia Turun --- 2

Petani Karet Kalsel Alami Kelangkaan Pupuk--- 4

Laju Ekspor Komoditas Pertanian Akan Melambat

--- 5

Petani Mengejar Musim Tanam --- 6

Petani Mengganti Tembakau, Jagung, dan Bawang Merah --- 8

Investasi Tanaman Pangan Terkendala Peraturan --- 9

Petani Dapat Bantuan Benih Padi --- 10

Harga Pupuk Normal Usai Lebaran --- 11

Konflik Tanah PLTU 1 Jawa Tengah Selesai --- 12

Petani Sumbar Minta Pemerintah Kendalikan Harga Pupuk --- 13

Petani Sayur di Pagar Alam Panen --- 14

Petani Grobogan Terpaksa Mengganti Benih yang Mati --- 16

Petani Kutoarjo Khawatirkan Pasokan Air --- 17

Deptan Minta Produsen Penuhi Benih Untuk MT 2008/2009 --- 18

Krisis Berdampak ke Petani --- 19

Pajak Sawah Akan Dihapus

---20

Tapsel Genjot Produksi Beras --- 21

Dilema Pupuk Bersubsidi --- 22

Jaminan Ketersediaan Pupuk di Tingkat Petani --- 24

Mengapa Pupuk Bersubsidi selalu Langka? --- 26

Pertanian Sumut Siap Hadapi Dampak Krisis --- 29

Kebutuhan Urea Tak Pernah Terpenuhi --- 30

Tantangan Masa Depan Pangan --- 31

(4)

Hari Pangan Sedunia dan Perubahan Iklim --- 39

PDI-P Ingkar Janji, Petani Bakar Padi --- 41

Ribuan Petani Menuntut Reformasi Agraria --- 42

Panen Jagung Melimpah, tapi Nasib Petani Tak Menentu --- 43

PDI-P Bayar Gabah Petani --- 45

Harga Anjlok, Petani Pasaman Barat Biarkan Sawit Busuk --- 46

Pangan Indonesia Tidak Terpengaruh Krisis Ekonomi Global--- 47

Mentan: Sulsel Bisa Ekspor Beras --- 48

Petani Tuntut Lahan Garapan

--- 49

Anjloknya Harga Jagung Bikin Petani Buntung --- 51

Reforma Agraria dan Rezin Orde Baru --- 52

Pangan dan Demokrasi --- 54

Sleman Berhasil Pertahankan Swasembada Beras --- 56

Musim Tanam Padi --- 57

Kebijakan Perberasan Nasional --- 58

Air Minim, Sawah Menganggur --- 60

Petani Kakao Diimbau Memfermentasi --- 61

Sampai Kapan Petani Berkorban? --- 62

Petani Depok Disarankan Pakai Pupuk Organik --- 65

Masa Sulit Petani Sawit --- 66

Pengadaan Beras di Sulteng 19 Ribu Ton

---68

Ribuan Petani Datangi Polda Bengkulu --- 69

Petani Kelapa Sawit Semakin Terpuruk --- 71

Petani Sulit Dapat Pupuk

---72

Petani Kalbar Diminta Percepat Tanam Padi --- 73

Puluhan Ribu Hektare Sawit Terancam Jadi Semak Belukar --- 74

Segera Tetapkan HPP Beras 2009

---75

Produksi Beras 40 Juta Ton --- 77

"Quo Vadis" Penyuluhan Pertanian? --- 78

Langka, Harga Pupuk Naik Tajam --- 80

Percepat Pasokan Pupuk --- 81

(5)

Jurnal Nasional Senin, 06 Oktober 2008

Ekonomi - Keuangan - Bisnis Even | Banjarmasin | Senin, 06 Okt 2008

Pe t a n i Ka r e t Ka lse l Ke su lit a n Pu p u k

by : Sapariah

PARA petani atau penyadap karet alam di beberapa lokasi sentra perkebunan karet rakyat di kawasan Banua Enam (enam kabupaten) Utara Kalimantan Selatan (Kalsel) kesulitan mendapatkan pupuk TSP. Meskipun bisa diperoleh namun harga melambung mencapai Rp17.000 per kilogram (kg). Padahal dibandingkan urea, harga hanya Rp3.000 per kg.

Petani di sana menggunakan pupuk TSP bukan untuk menyuburkan tanaman karet namun untuk pembekuan lateks karet di cawan (wadah menitis lateks setelah disadap pohon karetnya).

Talhah, petani setempat, mengatakan, pupuk TSP banyak dicari setelah banyak penjualan karet lum dengan pembekuan melalui cawan. Menggunakan alat pembeku pupuk TSP maka lateks karet cepat membeku hingga mudah dikumpulkan untuk dijadikan jenis karet lum. Jika menggunakan alat pombeku lateks cuka (asam semut) proses pembekuan lambat. “Sulit pula dikumpulkan menjadi karet lum,” katanya di Banjarmasin seperti dikutip Antara.

Selain itu, dengan menggunakan pembeku asam semut dapat mempercepat kerusakan cawan yang terbuat dari pelastik atau tempurung kelapa. Jika menggunakan pupuk TSP tidak merusak cawan.

Hal lain yang menguntungkan, jika terkena hujan pupuk TSP rembesan airnya menyuburkan tanaman pohon karet. Kalau menggunakan asam semut, maka air rembesan akan menambah tingkat keasaman tanah. Akibatnya, banyak pohon karet mati.

Melihat kenyataan ini, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu penyadap karet menggunakan pupuk TSP sebagai alat pembeku lateks. “Maka pupuk ini diburu dan dicari tetapi semain dicari makin sulit diperoleh,” ucap Talhah.

(6)

Kompas Senin, 06 Oktober 2008

H a r g a Be r a s D u n ia Tu r u n

Peluang Ekspor Tahun 2009 Terancam

Senin, 6 Oktober 2008 | 01:15 WIB

Jakarta, Kompas - Harga beras di pasar dunia terus mengalami penurunan. Kondisi itu juga menimpa harga beras di Thailand dan Vietnam sebagai eksportir beras utama dari Asia. Penurunan harga beras dunia mengancam rencana ekspor beras tahun 2009.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar, Minggu (5/10) di Jakarta, mengungkapkan, penurunan harga beras dunia ini patut diwaspadai mengingat produksi beras dalam negeri terus meningkat dan Indonesia menargetkan ekspor tahun depan.

”Apabila penurunan berlanjut dan akhirnya harga beras Indonesia sama atau kembali lebih tinggi dari harga beras dunia, peluang ekspor beras akan tertutup,” katanya.

Karena itu, kebijakan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras 2009 harus benar-benar mencermati perkembangan harga beras di pasar dunia.

”Tahun 2007, harga beras dalam negeri masih lebih tinggi dari harga beras dunia, sekarang sebaliknya. Namun, kalau penentuan harga beras melalui HPP tidak dilakukan dengan hati-hati, bukan tidak mungkin harga beras dalam negeri akan kembali berada 30 persen di atas harga beras dunia,” katanya.

Saat ini saja harga beras dalam negeri rata-rata 15-20 persen di atas HPP 2008 yang ditetapkan sebesar Rp 4.000 per kilogram.

Data menyebutkan, pekan pertama Oktober 2008 harga beras FOB asal Vietnam dengan patahan 15 persen 450 dollar AS per ton dan patahan 25 persen 425 dollar AS. Harga beras Thailand patahan 15 persen turun menjadi 640 dollar AS per ton dan patahan 25 persen 625 dollar AS.

Dibandingkan dengan harga beras bulan April 2008, beras Vietnam patahan 25 persen turun 36 persen atau sekitar 245 dollar AS per ton. Saat itu harga beras Vietnam untuk patahan 25 persen 670 dollar AS. Adapun beras Vietnam patahan 5 persen bulan April 2008 sebesar 700 dollar AS dan patahan 15 persen mencapai 680 dollar AS.

Begitu pula harga beras Thailand patahan 15 persen yang pada bulan April di atas 700 dollar AS kini hanya 640 dollar AS. Untuk kontrak pembelian tertentu, harga beras Thailand bahkan sempat di atas 1.000 dollar AS.

Sudah mendekati

Menurut Mustafa, dengan harga beras Vietnam 425 dollar AS per ton, bila tiba di Indonesia ditambah bea masuk, biaya transportasi, bunga bank, dan asuransi sudah mendekati harga beras dalam negeri.

Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Siswono Yudo Husodho, memperkirakan, tren penurunan harga beras di pasar dunia tidak akan berlangsung lama.

Pertimbangannya, saat ini pemasok beras terbesar di pasar dunia di luar Asia adalah Amerika Serikat. AS bukanlah negara yang basis konsumsi pangan utamanya beras.

(7)

Kompas Senin, 06 Oktober 2008

Karena itu, Bulog tetap harus membeli beras petani dalam jumlah besar. Kalaupun peluang ekspor nantinya ada, Bulog harus mengekspor beras yang sudah tersimpan tahun sebelumnya. Dengan demikian, ketahanan pangan bangsa bisa aman.

(8)

Kompas Senin, 06 Oktober 2008

Pe t a n i Ka r e t Ka lse l Ala m i Ke la n g k a a n Pu p u k

Senin, 6 Oktober 2008 | 01:30 WIB

Paringin, Kompas - Petani karet di Kabupaten Balangan dan Tabalong, Kalimantan Selatan tengah, kesulitan mendapatkan pupuk, khususnya jenis SP 36. Selain akibat keperluan pemupukan tanaman karet, kelangkaan dipicu oleh penggunaan pupuk yang cukup besar sebagai bahan baku pembekuan getah karet hasil sadapan.

Beberapa petani di dua kabupaten tersebut menyebutkan, kalaupun ada, pupuk SP 36 dijual dengan harga yang mahal, mencapai 800.000 per sak isi 50 kilogram. Padahal, harga subsidi pupuk ini hanya Rp 90.000-Rp 100.000 per sak.

”Tingginya penggunaan pupuk itu karena petani karet di daerah ini memakainya untuk membekukan getah karet yang baru disadap. Dengan memakai pupuk, proses pembekuannya lebih cepat,” kata Duwar, petani karet Desa Inan, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, Kalsel, Minggu (5/10).

Sebelumnya, kata Duwar, untuk membekukan getah karet sadapan menggunakan cuka atau tawas. Namun, beberapa tahun terakhir petani karet di daerah ini menggantinya dengan pupuk SP 36. ”Petani merasa, dengan memakai pupuk lebih menguntungkan karena selain pembekuannya lebih cepat, bahkan pada saat hujan, hasilnya juga lebih berat,” ujarnya.

Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, katanya, para petani kini banyak beralih ke jenis pupuk majemuk yang harga- nya Rp 150.000-Rp 200.000 per sak

Namun, kata H Kamdani, pedagang pengumpul dari Kecamatan Paringin Selatan, secara harga, lom (getah beku yang menggunakan SP 36) itu rendah. Di tingkat petani, harganya hanya Rp 4.000-Rp 6.000 per kg karena karet tidak layak ekspor akibat kadar air sangat tinggi. Karet demikian elastisitasnya rendah. Pada tingkat pengumpul, getah dijual Rp 9000 per kg ke perusahaan karet. Sementara itu, getah yang dibekukan dengan cuka, kadar airnya menjadi rendah sehingga harganya bisa lebih dari Rp 15.000 per kg.

Hariyadi, Kepala Bagian Sarana dan Prasarana Dinas Perkebunan Tabalong mengemukakan, penggunaan pupuk untuk pembekukan getah karet hasil sadapan tidak direkomendasikan pemerintah. Alasannya, cara yang demikian justru memperburuk kualitas karet karena elastisitasnya rendah. Namun, pemakaian pupuk seperti itu terus terjadi karena petani ingin hasil cepat tanpa menjaga kualitas karet.

(9)

Kompas Selasa, 07 Oktober 2008

Dampak Krisis AS

La j u Ek sp or Kom od it a s Pe r t a n ia n Ak a n M e la m b a t

Selasa, 7 Oktober 2008 | 01:11 WIB

Jakarta, Kompas - Menteri Pertanian Anton Apriyantono memperkirakan laju ekspor komoditas pertanian dalam jangka panjang mengalami pelambatan sebagai dampak krisis keuangan di Amerika Serikat. Komoditas yang dimaksud meliputi minyak sawit mentah, kakao, karet, teh, dan kopi.

”Selain pelambatan laju ekspor, kemungkinan juga terjadi penurunan harga komoditas yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan petani,” kata Anton, Senin (6/10) di Jakarta.

Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Halim Abdul Razak mengungkapkan, sampai saat ini pasar kakao dunia masih terbuka dan permintaan terus meningkat 3,6-4 persen tiap tahunnya. ”Konsumen cokelat di dunia itu tidak berbeda dengan penduduk Indonesia yang gemar makan nasi. Seberapa pun tingginya harga cokelat pasti akan dibeli,” ujar Halim.

Apalagi pasar ekspor kakao AS saat ini hanya 20 persen atau turun 40 persen dibandingkan dengan empat-lima tahun lalu. Penurunan terjadi karena pasar kakao di luar AS, seperti di Malaysia, Singapura, China, Brasil, dan Filipina, tumbuh.

Komoditas karet sampai saat ini terpengaruh krisis keuangan AS. Dihubungi di Kuala Lumpur, Sekretaris Jenderal Asosiasi Negara-negara Produsen Karet Alam (The Association of Natural Rubber Producing Countries/ ANRP) Djoko Said Damarjati mengatakan, saat ini harga karet alam masih stabil di kisaran 2,8 dollar AS per kilogram (kg) sampai 2,9 dollar AS per kg.

”Selama harga minyak mentah masih di kisaran 100 dollar AS per barrel, maka prospek karet alam masih tetap baik,” kata Djoko.

Kondisi ini juga didukung fakta bahwa konsumen karet alam terbesar saat ini telah bergeser dari AS ke China dan India. Pabrik ban merupakan konsumen terbesar karet alam, selain industri alat-alat kesehatan dan mainan.

Industri pertanian

Guru besar sosial ekonomi dan industri pertanian Universitas Gadjah Mada, M Maksum, menyatakan, ekspor komoditas pertanian bertumpu pada barang mentah. Barang mentah itu kemudian oleh negara importir diolah, lalu diekspor kembali. Nilai tambah industri pengolahan itu dinikmati oleh negara importir.

Adanya krisis keuangan AS, permintaan komoditas pertanian, seperti karet, kakao, dan minyak sawit mentah, akan menurun akibat melemahnya daya beli. Momentum itu harus dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk membangun industrialisasi pertanian.

(10)

Kompas Selasa, 07 Oktober 2008

Pe t a n i M e n g e j a r M u sim Ta n a m

Hujan Selama Sepekan di Sulut Menguntungkan Petani

Selasa, 7 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Ambon, Kompas - Kalangan petani di berbagai daerah kini mengejar musim tanam padi meski kondisi cuaca di antara mereka sering berkebalikan. Petani padi di Pulau Ambon, Buru, dan wilayah Seram Bagian Barat mulai menanam seiring datangnya musim kemarau. Di di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, petani menyiapkan lahan dan menyebar benih jagung meski curah hujan masih minim.

Ketiga wilayah di Maluku itu secara klimatologi berkebalikan dengan Jawa yang saat ini memasuki musim hujan. Adapun petani Blora optimistis hujan akan terus turun, tetapi siap menanggung risiko gagal panen jika tidak ada hujan.

Herman Rahalus, Kepala Kantor Meteorologi Ambon, Senin (6/10), menjelaskan, beberapa daerah di Maluku memiliki pola tanam yang spesifik. Pulau Ambon, Buru, dan sebagian Seram (Seram Bagian Barat) iklimnya berkebalikan dengan di Jawa yang mengikuti angin muson. Adapun di wilayah tenggara Maluku, seperti Kepulauan Aru, Tual, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, dan Maluku Barat Daya tipe iklimnya sama dengan di Jawa.

”Pada saat angin timur seperti saat ini, di Ambon, Buru, dan sebagian Seram sudah tidak ada hujan. Kondisi ini yang membedakan pola tanam dengan di Jawa,” ujar Rahalus.

Anto (31), petani di Pulau Buru, mengaku, para petani sudah memiliki perhitungan pola tanam. Pada saat memasuki musim kemarau seperti ini, petani mengejar musim tanam sehingga bisa panen sebelum puncak musim kemarau. Kondisi ini disebabkan juga oleh sarana irigasi yang belum menjangkau seluruh areal persawahan.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Buru tahun 2007, infrastruktur irigasi merupakan kendala utama bagi petani. Jaringan irigasi sekunder dan tersier sudah banyak yang rusak. Bendungan irigasi yang ada juga belum mampu memenuhi kebutuhan. Akibatnya, saat musim kemarau ada sekitar 1.000 hektar sawah yang tidak bisa ditanami dari 4.083 hektar lahan sawah irigasi. Adapun luas sawah tadah hujan 570 hektar.

Rahalus mengemukakan, musim tanam di wilayah tenggara Maluku sama dengan di Jawa. Saat ini tidak ada anomali cuaca. Awan hujan sudah mulai terkumpul di atas Aru dan Kepulauan Kei. Hujan diperkirakan akan mulai turun pada Januari hingga Februari.

Di Sulawesi Utara (Sulut), hujan selama seminggu terakhir, menurut Herry Rotinsulu, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Sulut, Senin, menguntungkan petani palawija dan tanaman keras. Meskipun demikian, petani buah-buahan merugi karena masa panen tertunda dan hasil panen berkurang akibat turunnya hujan.

Suyatinah (40), petani Desa Temurejo, Kecamatan Blora, di Blora, Jawa Tengah, Senin (6/10), mengatakan akan menanami setengah hektar lahannya dengan jagung karena hujan sudah turun empat kali.

Ripan (67), petani Desa Merah, Kecamatan Tunjungan, telah menabur benih jagung 25 kilogram saat hujan awal Oktober. Bagian permukaan tanah sudah cukup lunak sehingga sudah cukup baik sebagai media tanam jagung.

(11)

Kompas Selasa, 07 Oktober 2008

(12)

Kompas Selasa, 07 Oktober 2008

Pe t a n i M e n g g a n t i Te m b a k a u , Ja g u n g , d a n Ba w a n g

M e r a h

Selasa, 7 Oktober 2008 | 01:24 WIB

SEMARANG, KOMPAS - Akibat merugi, sebagian petani tebu di Jawa Tengah mulai beralih menanam komoditas lain yang dinilai lebih menguntungkan. Ini disebabkan anjloknya harga jual gula dari petani terkait maraknya peredaran gula rafinasi di pasaran.

”Para petani sudah mulai beralih menanam komoditas lain seperti jagung, tembakau, dan bawang merah sejak dua bulan lalu. Setidaknya, hingga kini terdapat 20 persen petani yang berganti tanaman,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Tengah Facthudin Rosyidi di Tegal, Senin (6/10).

Menurut Facthudin, petani yang beralih ke komoditas lain adalah mereka yang memiliki lahan dengan sistem pengairan teknis. ”Untuk petani dengan lahan di tegalan tidak bisa beralih karena lahannya tidak cocok untuk ditanami jenis tanaman lain.”

Oleh karena itu, lanjut Facthudin, setidaknya 13.000 hektar lahan tebu dari total 65.000 hektar luas lahan tebu di Jateng berkurang karena ditanami komoditas lain oleh petani. Akibatnya, produksi gula untuk tahun ini di Jawa Tengah diperkirakan menurun.

”Setiap tahunnya, Jateng bisa memproduksi gula hingga 245.000 ton. Namun, akibat banyaknya lahan yang ditanami komoditas lain dan ada juga yang terbakar, produksi gula bisa turun hingga 20 persen,” kata Facthudin. Adapun konsumsi gula di Jateng mencapai 330.000 ton per tahun.

Facthudin menuturkan, petani tebu merugi karena maraknya peredaran gula rafinasi di pasaran yang berimbas pada anjloknya harga jual gula dari petani. Saat ini harga gula dari petani hanya Rp 5.000 per kilogram.

Padahal, idealnya, kata Facthudin, petani bisa memperoleh harga jual Rp 5.300 per kilogram untuk menutup biaya operasional Rp 15 juta per hektar lahan tebu setiap tahunnya. ”Turunnya harga gula dari petani ini sangat drastis, mengingat tahun 2007 masih Rp 5.700-Rp 5.900 per kilogram,” ucap Facthudin.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI Abdul Wachid di Kudus menambahkan, sejak awal Maret 2008, pihaknya sudah ”berteriak-teriak” lewat media cetak maupun elektronik agar pemerintah membatalkan izin impor gula putih 110.000 ton.

Selain itu, pihaknya juga mendesak agar izin impor raw sugar dan gula rafinasi, beserta pemasarannya, sebaiknya ditinjau ulang, termasuk izin pendirian pabrik gula rafinasi baru.

Sumian, petani tebu andalan dari Kabupaten Kudus, menegaskan, pemerintah tidak konsekuen. Ketika sebagian petani tebu sudah mulai mampu mendongkrak produktivitas lahan maupun tanaman tebu sehingga swasembada gula nasional tahun 2009 terealisasi, pemerintah malah mengimpor gula putih, gula rafinasi, dan memberi izin pendirian pabrik gula rafinasi baru. ”Percuma saja bila petani tebu menggelar aksi besar-besaran, tetapi pemerintah tak mau mengubah kebijakan di bidang tebu dan pergulaan nasional,” tuturnya.

(13)

Bisnis I ndonesia Rabu, 08 Oktober 2008

I n v e st a si Ta n a m a n Pa n g a n Te r k e n d a la Pe r a t u r a n

Rabu, 8 Oktober 2008 | 01:32 WIB

Jakarta, Kompas - Dampak krisis keuangan AS dapat dijadikan momentum menarik investasi ke sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan. Namun, keinginan itu terkendala ketidakjelasan peraturan dan ketidakpastian hukum terkait status lahan.

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi Departemen Pertanian Muhammad Dani, Selasa (7/10) di Jakarta, mengungkapkan, sangat besar peluang membelokkan investasi ke subsektor tanaman pangan, seperti komoditas jagung, beras, dan kedelai. Ini mengingat permintaan pasar dunia terhadap komoditas jagung dan beras terus meningkat. Harga komoditas pangan di pasar dunia juga stabil tinggi.

”Banyak swasta asing yang tertarik berinvestasi, tetapi belum ada peraturan yang jelas yang mendukung investasi. Peraturan itu masih disiapkan,” katanya.

Ketidakjelasan peraturan investasi subsektor tanaman pangan antara lain menyangkut berapa persentase volume komoditas tanaman pangan yang dikembangkan boleh diekspor dan seberapa besar untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pembagian harus jelas agar ada kepastian usaha. Juga persoalan ketidakpastian hukum menyangkut status lahan yang akan disewakan.

”Lahan yang disewakan bisa dalam bentuk hak guna usaha (HGU) dengan jangka waktu 90 tahun melalui mekanisme perpanjangan. Namun, terkadang ada duplikasi status kepemilikan lahan yang membuat investor berpikir ulang,” katanya.

Menurut Dani, sejauh ini minat investasi di perkebunan sawit dan karet masih tinggi. Buktinya sepanjang Januari 2007-Agustus 2008 tercatat sebanyak 70 perusahaan swasta asing tertarik menanamkan modal. Dari jumlah itu, sekitar 90 persen terealisasi.

Industri pengolahan

Deputi III Kementerian BUMN Bidang Agro Industri Agus Pakpahan mengungkapkan, sektor pertanian banyak memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional, khususnya di sektor produksi primer.

(14)

Pikiran Rakyat Rabu, 08 Oktober 2008

Pe t a n i D a p a t Ba n t u a n Be n ih Pa d i

Rabu, 08 Oktober 2008 , 00:05:00

TASIKMALAYA, (PRLM).- Sebanyak 10.000 petani yang tergabung dalam 400 kelompok tani di Kab. Tasikmalaya, diminta untuk menanam padi dengan menggunakan benih padi varietas unggul baru, pada masa tanam Oktober-Maret. Tujuannya, agar produktivitas pertanian padi di daerah Tasikmalaya, mengalami peningkatan yang cukup berarti.

”Pemkab Tasikmalaya lewat Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Tasikmalaya, akan memberikan bantuan uang kepada petani untuk beli benih ungggul tersebut. Bantuan itu, rata-rata setiap kelompok tani sebesar Rp 4,7 juta untuk biaya beli benih,” kata Ir. Sony Paryatna, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Tasikmalaya, Selasa (7/10).

Petani yang dapat bantuan tersebut, kata Sony Paryatna akan menjadi pertanian percontohan di Tasikmalaya. Terutama, untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Mereka yang mendapatkan bantuan biaya untuk beli benih, terlebih dahulu mengikuti pendidikan PTT (pengolahan tanaman terpadu-red).

“Target kita lahan pertanian yang menggunakan benih padi varietas unggul, mencapai 10.000 ha. Kalau mereka berhasil meningkatkan produksi padi, maka akan sangat berarti dalam pengembangan pertanian di Tasikmalaya,” katanya.

Ketika ditanya jenis benih dimaksud, kata Sony, para petani sudah mengetahui, karena informasi benih varietas unggul baru sudah disebarkan. Contoh ada benih Ciherang yang baru dan lainnya. Masing-masing kelompok tani diberikan keleluasaan untuk memilih benih unggul dimaksud yang disesuaikan dengan iklim atau situasi di daerah masing-masing.

Bantuan tersebut akan segera diberikan kepada petani, terutama petani yang telah siap untuk pengolahan lahan sawahnya.

”Petani bisa memulai tanam sekarang, kalau memang lahannya sudah bisa diolah,” ujarnya.

(15)

Jurnal Nasional Kamis, 09 Oktober 2008

Nusantara Kilas | Lhokseumawe | Kamis, 09 Okt 2008

H a r g a Pu p u k N or m a l Usa i Le b a r a n

SEPEKAN usai hari raya Idul Fitri, pasokan pupuk ke Kota Lhokseumawe dan sekitarnya berlangsung normal. Kondisi itu membuat harga pupuk di pasaran stabil. Selain itu, permintaan pupuk dari konsumen usai Lebaran relatif berkurang.

Salah seorang pedagang pupuk eceran di Pasar Cunda, Kota Lhokseumawe, Efendi Wahab menyebutkan saat ini distribusi pupuk dari distributor stabil.

"Tidak ada kenaikan harga saat ini," kata Efendi, Rabu (8/10).

Dia menyebutkan untuk pupuk jenis urea dijual Rp67.000 per karung ukuran 50 kilogram. Sementara untuk jenis pupuk SP 18 dijual Rp100.000 per karung. Serta untuk jenis pupuk NPK Porscha Rp105.000 per karung.

"Umumnya petani di Lhokseumawe dan Aceh Utara saat ini hampir panen. Hanya sebagian daerah tertentu yang tadah hujan seperti Matang Kuli, Pirak Timue, Paya Bakong saja yang mulai musim tanam. Tapi, sebagian desa di kecamatan itu juga sudah mulai memasuki masa panen," kata Efendi.

Saat ini penjualan pupuk per hari hanya 400 kilogram, sedangkan ketika musim tanam tiba penjualan mencapai 1 ton per hari.

(16)

Kompas Kamis, 09 Oktober 2008

Konflik Ta na h PLTU 1 Ja w a Te nga h Se le sa i

Kamis, 9 Oktober 2008 | 02:41 WIB

REMBANG, KOMPAS - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 1 Jawa Tengah di Desa Leran dan Trahan, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bakal berjalan lancar.

Persoalan konflik lahan dengan warga telah selesai dan PT PLN berencana membayarkan ganti rugi lahan paling lambat Jumat (10/10) melalui Pengadilan Negeri (PN) Rembang.

Sekretaris Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Rembang, Gatot Sugiharso, Rabu (8/10) di Rembang, mengatakan, 18 warga telah setuju dengan harga ganti rugi tanah Rp 40.000 per meter persegi. Tiga warga bahkan telah mengambil terlebih dahulu, sedangkan 15 warga masih dalam proses pembuatan berkas pencairan uang ganti rugi.

”Tujuh warga sudah dapat mengambil uang di PN Rembang mulai Kamis (9/10), sedangkan delapan warga lagi baru bisa mengambil Jumat (10/10) lantaran berkas belum lengkap,” kata Gatot.

Berkas kedelapan warga itu masih belum disertai surat keterangan kepala desa dan sejarah tanah. Sebagian besar pemilik tanah itu pernah menjualbelikan tanah di bawah tangan atau tanpa ada pergantian hak milik.

Agar tidak bemasalah di kemudian hari, lanjut Gatot, perlu ada surat keterangan kepala desa dan surat pernyataan warga pemilik tanah menyerahkan tanah hak miliknya. Setelah semuanya kelar, Panitia Pengadaan Tanah akan memberikan berkas pencairan uang ganti rugi itu ke pengadilan.

Selasa kemarin, 15 warga mendatangi PN Rembang untuk mengambil uang ganti rugi. Namun, pengadilan tak dapat mencairkan dana itu lantaran belum mengantongi berkas pencairan dari Panitia Pengadaan Tanah dan PT PLN.

Warga terpaksa menerima ganti rugi itu lantaran ada dalam posisi tawar yang lemah. Mereka sudah tidak berpenghasilan sejak Februari 2008 dan pemimpin mereka, Syaeful Mu’min, diperkarakan di pengadilan.

Solahudin (30), ahli waris tanah Muridan (58), meminta pengadilan membebaskan Syaeful Mu’min. Ia bersama warga lain berharap Kepolisian Resor Rembang menemukan tersangka perusakan lahan milik warga saat pembangunan PLTU 1 Jateng dimulai.

(17)

Jurnal Nasional Senin, 13 Oktober 2008

Nusantara | Padang | Senin, 13 Okt 2008 07:15:00 WIB

Pe t a n i Su m b a r M in t a Pe m e r in t a h Ke n d a lik a n H a r g a

Pupuk

KALANGAN petani di sejumlah sentra perkebunan dan pertanian di Sumatera Barat (Sumbar), meminta pemerintah mengendalikan harga pupuk yang membumbung, sehingga biaya produksi petani tidak berimbang seiring nilai jual mengalami penurunan drastis.

Informasi dihimpun pada petani di sejumlah sentra kelapa sawit dan tanaman padi di Sumbar, mengeluhkan membumbungnya harga pupuk dan harga jual hasil pertanian dan perkebunan yang turun tajam.

Asril (44) ketua kelompok tani di SP III, Kecamatan Koto Baru, satu sentra kebun kelapa sawit rakyat di Kabupaten Dharmasraya, mengaku, harga pupuk cukup tinggi dan sangat memberatkan petani, apalagi harga tandan buah segar anjlok.

Sudah hampir berlangsung dua bulan harga beli pupuk tingkat petani perkebunan jenis urea non subsidi harganya mencapai Rp300 ribu/karung.

Bahkan, kata dia, untuk jenis pupuk NPK dan SP-36 tingkat pedagang mencapai Rp500 ribu/karung, sehingga biaya produksi kebun petani tidak berimbang dengan hasil diraih.

"Sejak pascalebaran 2008 harga tandan buah segar kelapa sawit plasma menjadi Rp600/kg atau turun dari sebelumnya Rp900/kg, untuk usia tanam 10 tahun ke atas," katanya dan menambahkan, kondisi ini cukup menjadi pukulan bagi petani kelapa sawit dan diharapkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan harga pupuk.

Posisi harga tandan buah segar di sentra lainnya di Sumbar, seperti Kabupaten Pasaman Barat, sepekan terakhir menjadi Rp600/kg atau turun dari sebelumnya Rp1.500/ kg dan di sentra Kabupaten Pesisir Selatan, menjadi Rp450/kg dan sebelumnya Rp1.200/Kg.

(18)

Kompas Senin, 13 Oktober 2008

Pe t a ni Sa y ur di Pa ga r Ala m Pa ne n

Harga Jual Mulai Membaik

Senin, 13 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Pagar Alam, Kompas - Sentra pertanian penghasil sayuran Sumatera Selatan di Kota Pagar Alam mulai memasuki musim panen raya. Hasil panen sejumlah komoditas, seperti kol dan bawang merah, kali ini relatif meningkat dari panen sebelumnya, mengingat serangan hama tidak terlalu banyak.

Suyitno (33), petani dari Kelurahan Dempo Makmur, Kecamatan Pagar Alam Utara, Sabtu (11/10), mengatakan, jika sebelumnya di areal pertanian miliknya yang seluas 450 meter persegi hanya menghasilkan 1,1 ton kol, panen kali ini bisa menghasilkan sekitar 2 ton.

”Harga jual kol saat ini sedikit meningkat. Pada panen sebelumnya, harganya hanya Rp 700 per kilogram. Pada panen kali ini, harganya Rp 1.000 per kilogram,” katanya.

Jasmin (46), petani di Kelurahan Bedeng Kresek, Kecamatan Pagar Alam Utara, pada panen dua pekan lalu, malah sempat menikmati harga jual kol Rp 1.400-Rp 1.500 per kilogram. Di areal pertanian kol miliknya yang seluas 675 meter persegi, ia hanya panen sekitar 1,9 ton.

”Kalau yang panen mulai banyak, harga jual di pasaran terus menurun,” kata Jasmin.

Menurut Atok (30), juga seorang petani kol, serangan hama ulat kali ini tidak begitu banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena petani rajin menyemprotkan pestisida untuk menangkal hama ulat.

”Saat ini, tiap pokok tanaman bisa menghasilkan kol seberat 2,5 kilogram,” katanya.

Salim (88), petani bawang merah di Kelurahan Dempo Makmur, mengatakan, harga jual hasil panen kali ini lebih baik dibandingkan panen sebelumnya.

Jika pada panen sebelumnya, harga jual bawang merah berkisar Rp 10.000 per kilogram, pada panen kali ini, harganya bisa mencapai Rp 12.000 per kilogram.

Sejauh ini, menurut Suyitno, penentuan harga jual komoditas sayur di Kota Pagar Alam masih dimonopoli oleh pedagang. Petani selama ini hanya mengikuti harga jual sayuran yang ditetapkan oleh pedagang.

”Sebelumnya, ada koperasi yang menampung hasil panen petani tetapi sekarang tidak berjalan lagi. Pemerintah daerah juga sudah membangun stasiun agrobisnis tetapi belum begitu dirasakan manfaatnya oleh petani,” katanya.

Selama ini, komoditas sayuran yang dihasilkan Kota Pagar Alam dijual hingga ke Lahat, Muara Enim, Prabumulih, Indralaya, dan Palembang.

Sebelumnya diberitakan, pasokan sayur-mayur di pasar tradisional Kota Palembang diperkirakan baru bisa kembali normal pada pekan ini.

Kondisi ini disebabkan oleh masih tersendatnya distribusi menuju Kota Palembang akibat berkurangnya pasokan dari petani di sejumlah sentra produksi sayur-mayur di Sumatera Selatan.

(19)

Kompas Senin, 13 Oktober 2008

Ia menjelaskan, kondisi kelangkaan sayur-mayur ini memang rutin terjadi menjelang akhir tahun. Diperkirakan, kondisi ini terjadi karena petani produsen sayur-mayur belum memasuki masa panen.

”Selain masalah penurunan produksi di sentra sayur-mayur, kondisi ini juga disebabkan tersendatnya pengiriman pasokan dari sejumlah daerah ke Kota Palembang,” kata dia.

(20)

Kompas Senin, 13 Oktober 2008

Urea Mahal, Tikus Datang

Pe t a n i Gr ob og a n Te r p a k sa M e n g g a n t i Be n ih y a n g

M a t i

Senin, 13 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Grobogan, Kompas - Di tengah tingginya harga pupuk urea bersubsidi karena stok terbatas, kalangan petani padi di Kabupaten Demak dan Grobogan, Jawa Tengah, pekan lalu menghadapi hama tikus yang mengganas. Harga pupuk di pengecer pun tinggi, yakni Rp 100.000 per zak atau Rp 2.000 per kilogram jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga eceran tertinggi sebesar Rp 1.200 per kilogram.

Petani padi di Dusun Daplang, Kecamatan Tegowanu, Grobogan, Sukirman, Minggu (12/10), menuturkan, jatah alokasi pupuk bersubsidi di desanya tercatat 50 ton untuk musim tanam 2008/ 2009 pada akhir Oktober 2008. Alokasi sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan 12 kelompok tani dan tak kurang menaungi 350 petani di desanya.

”Namun, alokasi itu tidak bisa terpenuhi seluruhnya karena stok baru 10 ton hingga November 2008,” kata Sukirman. Stok 10 ton itu diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan satu kelompok tani yang terdiri atas 50 petani.

Terbatasnya alokasi pupuk bersubsidi menyebabkan harga pupuk melonjak. Padahal, petani di Tegowanu sebagian besar telah mulai menanam padi di sawah. Rata-rata tanaman padi berumur 30 hari, umur padi saat penting membutuhkan pemupukan berimbang pupuk organik-kimia.

Petani lain di Desa Kejawan, Triyono, mengatakan, petani tidak paham mengapa pupuk masih langka saat petani tengah menyiapkan masa tanam Oktober 2008. Petani yang membutuhkan pupuk harus mencari urea ke sejumlah pengecer di Gubug, Tegowanu, sampai Godong. Pupuk bersubsidi tidak banyak tersedia di pengecer di tiga wilayah kecamatan itu.

Dengan masih terbatasnya stok pupuk bersubsidi, sejumlah petani di Kecamatan Tegowanu, Gubug, dan Godong belum berani membuka lahan tanaman padi terlalu luas. Rata-rata petani hanya menanam padi di lahan 4.000 meter persegi sampai 6.500 meter persegi. Jarang petani menanam padi hingga satu hektar hingga dua hektar.

”Sisa lahan pertaniannya tetap diolah, tetapi masih ditanami tanaman jagung. Mengingat lahan tanaman padi terbatas, petani memilih menanam padi jenis unggul, yakni varietas Ciherang yang menghasilkan 7 ton gabah per hektar dengan masa tanam lebih pendek,” kata Triyono.

Benih mati

Sementara itu, ratusan tikus menyerang puluhan hektar lahan pembenihan padi di Desa Getasrejo, Menduran, dan Penawangan, Grobogan. Petani merugi dan terpaksa membuat benih padi lagi untuk mengganti benih yang rusak.

(21)

Kompas Senin, 13 Oktober 2008

Pe r t a nia n

Pe t a n i Ku t oa r j o Kh a w a t ir k a n Pa sok a n Air

Senin, 13 Oktober 2008 | 01:33 WIB

Pesawaran, Kompas - Menjelang musim tanam, petani di Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, mengkhawatirkan minimnya pasokan air irigasi karena wilayah tersebut merupakan wilayah paling ujung dari wilayah daerah aliran sungai irigasi Way Semak, sementara debit air irigasi kecil.

Pemantauan Kompas, Minggu (12/10), di Kelurahan Kutaoarjo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, menunjukkan, para petani di wilayah itu sebagian besar tengah memanen padi musim tanam gadu. Namun, panen tersebut merupakan panen yang sangat terlambat lantaran areal sawah di wilayah itu tidak mendapatkan aliran air irigasi.

Supriyono, petani dari Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, mengatakan, dari 160 hektar areal sawah di wilayah itu, pada musim gadu Juni-Juli, hanya sekitar 40 hektar yang mendapatkan aliran air. Sisanya, 120 hektar, tidak mendapat aliran air sehingga bibit mati dan tidak berproduksi.

Sebanyak 40 hektar sawah yang mendapat air pun, ujar Suranto, terpantau hanya mendapat air sedikit. Akibatnya, pertumbuhan bibit lambat dan hasil padi juga turun jauh. Apabila penanaman dilakukan pada musim hujan, dalam satu petak sawah yang disebut bahu—satu bahu sekitar 1.700 meter persegi—mampu menghasilkan sembilan kuintal gabah kering panen (GKP). Akibat minimnya air, hasil produksi hanya sekitar dua hingga tiga kuintal GKP per satu bahu.

(22)

Jurnal Nasional Selasa, 14 Oktober 2008

Nasional | Jakarta | Selasa, 14 Okt 2008 07:00:00 WIB

D e p t a n M in t a Pr od u se n Pe n u h i Be n ih Un t u k M T

2 0 0 8 / 2 0 0 9

DEPARTEMEN Pertanian (Deptan) meminta produsen benih baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan benih padi pada musim tanam (MT) 2008/2009.

Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimoeso di Jakarta, Senin mengatakan, saat ini sudah mulai memasuki MT 2008/2009 yang berlangsung pada Oktober 2008 hingga Maret 2009.

Oleh karena itu, tambahnya, untuk mengantisipasi datangnya MT 2008/2009 Deptan melakukan berbagai upaya sehingga target pencapaian produksi pangan nasional tidak akan terganggu.

"Salah satu upaya yang dilakukan Deptan yakni meminta BUMN dan swasta untuk memenuhi kebutuhan benih," kata Sutarto.

Sutarto mengatakan, setiap tahun kebutuhan benih padi sebanyak 350 ribu ton yang mana terbanyak atau 250 ribu ton untuk pertanaman periode Oktober-Maret, sedangkan 100 ribu ton lainnya untuk periode April-September.

Namun demikian, dia mengungkapkan ketersediaan benih padi saat ini mencukupi bahkan tidak semua disediakan oleh produsen namun dapat dipenuhi petani.

(23)

Seputar I ndonesia Selasa, 14 Oktober 2008

Kr isis Be r da m pa k k e Pe t a ni

Tuesday, 14 October 2008

MEDAN(SINDO) – Krisis global mulai menggeregoti rakyat.Petani meminta pemerintah menurunkan harga pupuk karena biaya produksi tidak sebanding lagi dengan hasil penjualan.

Ketua Himpunan Petani Jagung Indonesia (Hipajagin) Jemat Sebayang menyatakan, biaya yang harus dikeluarkan petani untuk bercocok tanam tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan untung dari hasil penjualan. Sebab, harga pupuk merupakan biang keladi utama. ’’Harga-harga hasil pertanian semakin anjlok, sedangkan harga pupuk tidak turun, malah semakin meningkat. Ini menyebabkan petani malas turun ke ladang,” ujar Jemat di Medan kemarin.

Dia menyatakan,harga jagung Rp1.800 di tingkat petani tidak lagi sesuai karena biaya produksi mencapai Rp1.600 per kg. Sebab, harga pupuk merupakan faktor utama penyebab naiknya biaya produksi. Menurut Jemat, harga pupuk urea nonsubsidi di Sumut kini melambung tinggi hingga Rp400.000 per sak (50 kg). Meski harganya selangit, tetap saja pupuk sulit ditemukan.

Padahal, harga normalnya sebesar Rp100.000 per sak (50 kg).Sementara itu,pupuk subsidi sudah lama menghilang karena harganya yang jauh di bawah harga nonsubsidi, yakni Rp60.000 per sak (50 kg). Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad menyatakan, petani semakin terpuruk karena harga kelapa sawit terus anjlok hingga Rp400–500 per kg.

Sementara itu, biaya produksi sawit saat ini sudah mendekati Rp800 per kg. Penurunan harga-harga komoditas pertanian ini cenderung dipengaruhi turunnya harga minyak dunia. Hal itu diakibatkan melemahnya daya konsumsi global. Penurunan permintaan dari negara luar menyebabkan hargaharga di tingkat petani jatuh.

’’Banyak petani yang tak panen karena biaya operasional tidak sebanding.Permintaan kami, pemerintah menurunkan harga pupuk,”tandasnya. Petani meminta harga pupuk diturunkan karena harga komoditas saat ini dipengaruhi perdagangan internasional. Menurut dia,pemerintah masih mampu mengatasi masalah ini. Kepala Subdinas Bina Agrobisnis Dinas Pertanian Sumut Ratna Gultom mengakui pupuk subsidi maupun nonsubsidi semakin langka dan mahal.

Dinas Pertanian Sumut telah melayangkan surat ke Departemen Pertanian (Deptan) agar menambah alokasi pupuk ke Sumut. ’’Memang biaya produksi semakin mahal dan harga jual semakin rendah.Namun, keduanya juga masih dipengaruhi perdagangan internasional. Jadi,saat ini kami mencari solusi dengan alternatif pupuk alami dan pemasaran hasil pertanian oleh petani itu sendiri,”paparnya.

(24)

Seputar I ndonesia Selasa, 14 Oktober 2008

Pa j a k Sa w a h Ak a n D ih a p u s

Tuesday, 14 October 2008

LUWU(SINDO) – Duet Rischal Anton Pasombo- Sahardi Mulia (Perisai) menggelar kampanye dialogis di Gedung PKK Kecamatan Larompong,Kabupaten Luwu,kemarin.

Dalam kegiatan yang dihadiri 500 pendukung itu, Perisai berjanji membebaskan pajak sawah dan kebun bagi petani. Calon bupati yang diusung PDK dan PDI, Rischal Anton Pasombo menegaskan, janji itu akan terwujud jika dia terpilih sebagai Bupati Luwu pada periode 2008– 2013. Hanya Perisai yang berani berkomitmen tentang pembebasan pajak sawah dan kebun di hadapan rapat paripurna DPRD Luwu pada Minggu (12/10).

“Jadi, jika ada calon yang memberi janji serupa, itu hanya cerita kosong karena tak tahu teknisnya,” ungkap Rischal. Selain itu, Perisai juga berjanji mengalokasikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN) sebesar 80% untuk pembangunan pedesaan. “Kami mampu mendatangkan anggaran dari pusat (APBN) karena kami memang berasal dari birokrasi yang dekat dengan pemerintah pusat,jadi sudah tahu jalannya,”jelas dia.

Terkait dengan program pemerintah provinsi yang dicanangkan Gubernur Syahrul Yasin Limpo tentang pendidikan dan kesehatan gratis,pihaknya tidak perlu memusatkan dan menjual hal itu kepada masyarakatkarenamutlakada di daerah ini.“Yang perlu kami lakukan adalah mendukung dan mengawal program tersebut,” ungkapnya. Warga juga diimbau tak terpengaruh iming-iming pemberian uang Rp10.000– 20.000 atau sembako agar memilih salah satu pasangan calon karena akan merusak tatanan pemerintahan di Luwu.

“Jangan mau terperosok ke dalam lubang sama kedua kalinya. Keledai pun tak akan mau terperosok dalam lubang sama,”ucapnya. Ketua Tim Kampanye Perisai Irham As’ad menyatakan, Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Luwu memilih duet Rischal-Sahardi karena mereka ahli dalam bidangnya. “Cabup ahli dalam bidang infrastruktur, sedangkan cawabup ahli di bidang pertanian,” jelas Irham dalam orasinya.

Sekretaris PDK Luwu ini menambahkan, Rischal dan Sahardi adalah figur bersih dan tak terjerat hukum.“Calon kami dari pusat sehingga tahu persis melobi APBN yang berpihak ke Luwu,”tuturnya. Sementara itu,calon wakil bupati Luwu pendamping Rischal,Sahardi Mulia dalam orasi politiknya yang juga menggelar kampanye dialogis di Kecamatan Ponrang mengungkapkan, pihaknya akan memberikan bantuan modal pertanian Rp100–200 juta per desa dan menyediakan bibit unggul serta pupuk murah bagi para petani di daerah tersebut.

”Kami yakin dapat mewujudkan program tersebut karena kami berdua adalah ahli pertanian dan teknologi. Kami tak akan kaku dalam mewujudkan program itu yang penting kesejahteraan masyarakat terwujud,” ungkap Sahardi. Selain itu, pihaknya akan menerapkan Kabupaten Luwu maju dan terkemuka dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berwawasan kewirausahaan dan berorientasi global, membangun infrastruktur yang andal dalam rangka memacu minat investor.

(25)

Seputar I ndonesia Selasa, 14 Oktober 2008

Ta p se l Ge n j ot Pr od u k si Be r a s

Tuesday, 14 October 2008

PADANGSIDIMPUAN(SINDO) – Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) surplus beras.Daerah ini memiliki kelebihan 69.825 ton beras di luar kebutuhan warganya yang mencapai 40.425 ton.

Produktivitas beras di Kabupaten Tapsel mencapai 5,5 ton per hektare (ha).Secara keseluruhan produksi yang ditargetkan adalah 111.185 ton. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tapanuli Selatan Bahrian Lubis menyatakan, jika dibandingkan dengan standar nasional, produksi beras di Tapsel sudah melampaui target yang ditetapkan. ’’Pemerintah pusat menargetkan produksi beras di Kabupaten Tapsel sebanyak 60.000 ton lebih, sedangkan yang dicapai daerah ini sudah 111.185 ton,’’ tuturnya.

Dia menambahkan, produktivitas yang ditargetkan ke Pemkab Tapsel hanya 5,1 ton beras per hektare (ha). Pencapaian Kabupaten Tapsel melebihi standar nasional tersebut. ’’Produktivitas pertanian di Kabupaten Tapsel sebanyak 5,5 ton atau lebih 0,4 ton per ha,’’ ungkapnya. Namun,masyarakat Kabupaten Tapsel rata-rata mengonsumsi beras 285 kg setiap tahun.

Kebutuhan itu sudah melebihi standar nasional untuk kebutuhan warga. ’’Standar nasional konsumsi beras setiap orang 165 kg per tahun, tapi di Tapsel lebih. Jumlahnya mencapai 285 kg setiap tahun.Hanya,itu dapat dipenuhi,’’ tuturnya. Sementara itu,Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Tapsel Sofian Siregar menyatakan, target swasembada pangan di Tapsel pada 2008 mencakup pertanian pada lahan seluas 33.401 ha.

’’Saat ini di Tapsel sudah ada 23.000 ha lahan pertanian. Sementara itu, areal persawahan mencapai 17.000 ha, dengan asumsi masyarakat bisa panen dua hingga tiga kali setahun,’’ tandasnya. Dia menambahkan, produksi beras akan ditingkatkan apabila pemerintah dan masyarakat yang berada di Kabupaten Tapsel bisa saling bekerja sama. ’’Kalau masyarakat menemukan masalah, segera laporkan ke Distan untuk diberi solusinya,’’ ujarnya.

Selain itu, masyarakat juga diharapkan memanfaatkan lahan secara maksimal sehingga tidak ada lahan mubazir. ’’Pemerintah berharap masyarakat memanfaatkan lahan itu untuk bercocok tanam,’’ tuturnya. Sementara itu,Kepala Bidang Sarana dan Prasaran Distan Kabupaten Tapsel Bismar Maratua mengungkapkan, untuk meningkatkan produksi pertanian,Pemkab Tapsel sudah memperbaiki sarana dan prasarana yang berhubungan dengan areal persawahan, seperti irigasi dan bendungan.’’Kami sudah memaksimalkan sarana dan prasarana dengan cara memperbaikinya dan membuat sarana yang belum ada,” ungkapnya.

(26)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

PROFIT Palembang | Rabu, 15 Okt 2008

D ile m a Pu p u k Be r su b sid i

Pusat tidak pernah percaya dengan data yang berasal dari daerah.

SEBETULNYA, permasalahan pupuk bersubsidi ini terjadi di seluruh Indonesia, dan tidak hanya terjadi disaat musim tanam saja. Teriakan petani akan kekurangan pupuk dari tahun ke tahun tidak pernah berhenti apabila tata niaga pupuk bersubsidi itu tidak secara komprehensif ditangani. Pupuk selalu kurang dari kebutuahn riil sebagai akibat terbatasnya alokasi nilai subsidi rupiah yang dijatahkan pemerintah untuk membantu petani.

Tetapi ada pemikiran yang mestinya menjadi renungan para penentu kebijakan. Apakah tidak mungkin jika subsidi itu dihapuskan saja, sebab kecenderungan di lapangan petani terkadang tidak peduli akan harga pupuk. Apabila dibutuhkan berapapun harganya pasti dibeli mereka. “Percuma pupuk murah kalau stoknya justru dibatasi. Mendingan di beli dengan harga pasar tetapi pupuknya tetap ada,” kata Imron petani karet dari desa Rasuan Kecamatan Madang Suku I, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Senada dengan suara hati Sudadi. “Saya memilih pupuk yang dengan harga pasar ketimbang besubsidi tapi barangnya ‘entek’, katanya.

Apa yang diungkapkan petani itu, bisa saja ekspresi kekecewaan mereka akan pengadaan pupuk bersubsid. Kondisi miris juga terjadi di depertemen pertanian sendiri. Silang pendapat antara Dinas Pertanian dan Departemen Pertanian soal kebutuhan pupuk juga tidak pernah ada jalan keluar. Anehnya lagi, tidak ada solusi sebagai jalan keluar atas persoalan ini.

Pusat tidak pernah percaya dengan data yang berasal dari daerah. Contohnya kebutuhan riil pupuk di Sumatera Selatan versi Dinas Pertanian Tanaman Pangan setempat sebesar 540.570 ton per tahun. Sementara ketersediaan sebesar 165.483 ton. Penentuan jumlah alokasi ini hanya sebesar 31 persen dari kebutuhan riil Sumsel. Jadi dasar penentuan pusat itu rumus yang dipakai dari mana.

Begitu juga daerah-daerah lainnya, seperti Sumatera Utara, kebutuhan teknis 298.000 dan ketersediaan 168.532 atau 57 persen. Lampung kebutuhan 354.930 alokasi 243.883 atau 69 persen. Angka ini akan jauh jika dibanding Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Yang rata-rata di atas 75 persen. Sementara Sumsel yang ureanya di buat di bumi Sriwijaya itu justru dapat alokasi sedikit. Tapi ini bukan karena sentimen ke daerah saya yang tinggi. Saya mengerti bahwa kepentingan nasional harus lebih diutamakan ketimbang sentimen ke daerahan. Luar Sumatera memang membutuhkan pupuk yang jauh lebih tinggi karena tanahnya sudah tak lagi subur.

Permasalahan pupuk bersubsidi ini akan tetap terus berlanjut. Mungkin ada alternatif pemikiran yang sudah pernah terlontak kepermukaan. Misalnya dengan memutar subsidi di akhir produk. Maksudnya subsidi itu diatur pada saat panen saja, sebab kecenderungan turunnya harga terjadi pada saat panen tiba. Ada semacam BLT kepada petani dan bukan sarana produksi yang disubsidi, seperti benih dan pupuk. Sarana produksi disesuaikan dengan mekanisme pasar, namun menjaga stabilitas harga panen petani agar jangan sampai turun Jadi hasil panennya semua dibeli oleh pemerintah. Tidak salah mencontoh sistem buperstok hasil panen petani, seperti yang dilakukan negara-negara lain, diantaranya Thailand, Jepang dan negara-negara di Eropa.

(27)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

Masalah pokok adanya disparitas harga anatara sektor pangan dan kebun. Ke dua pengecer menjadi bulan-bulananya yang selalu diawasi oleh pihak keamanan, sehingga para pengecer merasai diawasi, dan kaku.

(28)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

PROFIT Jakarta | Rabu, 15 Okt 2008

Ja m in a n Ke t e r se d ia a n Pu p u k d i Tin g k a t Pe t a ni

by : N. Syamsuddin CH. Haesy

PUPUK adalah bagian penting dan strategis dalam keseluruhan proses upaya peningkatan produksi pertanian. Salah satu alasan dibangunnya berbagai pabrik pupuk, terutama PUSRI di masa lalu, bukan sekadar memproduksi pupuk. Melainkan, bagaimana menjamin ketersediaan pupuk di tingkat petani.

Karena itu, distribusi pupuk berperan sangat strategis dalam upaya meningkatkan produksi, yang akhirnya berdampak langsung dan tak langsung terhadap ketahanan pangan nasional. BUMN yang bergerak di industri pupuk, tak bisa tidak harus menjamin, pupuk yang merek produksi sampai kepada petani.

Mata rantai distribusi pupuk harus ditata sedemikian rupa, sehingga petani tidak lagi kesulitan memperoleh pupuk. Paling tidak, para produsen pupuk ikut bertanggungjawab secara langsung mencegah terjadinya kejahatan yang biasa dilakukan oleh para spekulan.

Membiarkan para spekulan mempermainkan penyediaan pupuk, apalagi di musim tanam, merupakan tindakan kriminal, yang dapat dikategorikan menghambat program pemerintah. Sekaligus perbuatan merampas harapan petani. Kita memandang serius distribusi pupuk, karena setiap tiba musim tanam, seringkali ketersediaan petani di tingkat petani, menghadapi persoalan.

Semua pihak yang terlibat dalam proses penyediaan pupuk bagi petani, mesti menjamin, pupuk yang diproduksi seluruh pabrik pupuk nasional sampai ke tangan petani sebagaimana mestinya. Tak ada alasan bagi siapapun, termasuk distributor dan agen penyalur pupuk melakukan aksi spekulatif yang dapat mengganggu kelancaran produksi.

Peralihan pola subsidi kepada petani, tidak serta-merta memberi peluang atau celah bagi para pelaku bisnis pupuk, mempermainkan keadaan untuk kepentingannya sendiri. Apalagi, keberadaan produsen pupuk, khususnya BUMN, mempunyai tugas dan tanggungjawab nasional membantu dan melayani petani.

Seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan ketersediaan pupuk bagi petani, harus berani melawan para spekulan pengadaan pupuk. Lalu, bahu membahu menciptakan kondisi yang kondusif (di jelang dan) pada saat musim tanam. Dalam situasi kondisi perekonomian global yang sedang terguncang saat ini, setiap kita wajib bersinergi menghadapi masalah. Khususnya dalam menguatkan posisi ketahanan pangan nasional.

Setiap aparatur negara, termasuk penegak hukum, sejak dini mesti mewaspadai kemungkinan terjadinya manipulasi dan tindakan spekulatif dalam hal pegadaan pupuk di tingkat petani. Tidak ada toleransi bagi siapapun juga melakukan tindakan yang menyebabkan petani menghadapi kendala, sebagaimana kita tidak bertoleransi kepada siapapun juga yang berusaha menjadikan petani sebagai ‘tunggangan politik’.

(29)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

(30)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

PROFIT Palembang | Rabu, 15 Okt 2008

M e nga pa Pupuk Be r subsidi se la lu La ngk a ?

Pola distribusi pupuk bersubsidi tertutup memperpanjang birokrasi dan membikin

ribet

HAMPIR dapat dipastikan setiap tahun atau setiap kali musim tanam (MT) tiba, terjadi masalah, dan keributan karena pupuk bersubsidi. Kekurangan pasokan adalah hal yang menjadi pemicu timbulnya masalah, dan keributan tersebut. Apakah itu urea, SP-36, ZA, NPK hingga pupuk organik selalu mengalami defisit. Ibarat kata, mintanya lima namun yang dipenuhi cuma satu. Itupun harus dibagi-bagi pula

Ribut-ribut soal pupuk bersubsidi ini sudah bukan rahasia lagi bagi seluruh masyarakat petani Indonesia. Apakah itu petani penggarap, pemilik lahan tanaman pangan, atau yang punya perkebunan rakyat. Tiap tahun pasti ribut. Tidak di Jawa, Sumatera atau daerah-daerah sentra pangan lainnya yang ada di tanah air. Mesti ribut.

Pertanyaannya adalah, sampai kapan ribut-ribut soal bagi-bagi jatah pupuk bersubsidi ini akan terus berlangsung. Apakah pola yang sudah dan tengah diterapkan pemerintah saat ini sudah cukup efektif untuk mengatasi keributan. Setelah pola terbuka dianggap gagal, kini diterapkan pola tertutup yang mengacu pada RDKK. Lalu, kalau pola ini gagal juga, sistem apala lagi yang akan dibuat pemerintah, sehingga permasalahan subsidi pupuk ini tidak akan menimbulkan masalah dan kelangkaan. Bilakah tata niaga pupuk subsidi ini bisa diperbaiki.

Mencermati penerapan sistem yang sedang hangat dibicarakan saat ini, Jurnal Nasional pada empat hari pertama di minggu ke dua Oktober 2008 menelusuri empat kabupaten yang ada di Sumatera Selatan, (Sumsel) guna mencari tahu bagaimana penyaluran urea subsidi dengan pola RDKK. Pola RDKK yang di Sumsel penerapannya tidak dilakukan serentak. Ada yang telah dimulai sejak Agustus 2008 lalu, namun ada juga daerah yang belum sama sekali melakukannya.

Penyaluran urea bersubsidi dengan pola distribusi di beberapa daerah di Sumsel memang terkesan lambat karena telatnya penerbitan SK yang dilakukan masing-masing daerah. Di sisi lain, jumlah pupuk yang dialokasikan juga sedikit sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan riil dilapangan.

Daerah pertama yang dikunjungi, adalah Kabupaten Ogan Ilir, (OI) yang bertetangga dengan Palembang ibukota Sumatera Selatan. Perjalanan kemudian diteruskan menuju Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), lalu Ogan Komering Ulu Timur (OKUT) dan Ogan Komering Ulu (OKU). Dua kabupaten terakhir yang bertetangga dengan Provinsi Lampung. Sementara kabupaten OKU Timur, merupakan salah satu daerah yang menjadi penyangga pangan Sumsel.

Dari empat kabupaten dimaksud, baik petani, ketua kelopok tani, pengecer, distributor hingga kepala penjualan pupuk daerah, dan kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Holtikultura setempat mengungkapkan aspirasi yang berbeda.

(31)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

Tri Cahyono dari Mulia Tani yang bermukim di Kelurahan Timbangan, Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten OI ini mengatakan masih banyak petani yang belum masuk dalam kelompok tani, sehingga ketika harus menerapkan pola distribusi pupuk urea bersubsidi melalui RDKK kesulitanpun muncul. “Tidak diberi pupuk kita kasihan, karena kita sudah kenal petaninya. Sementara di satu sisi kita dituntut untuk menjual pupuk bersusidi harus dengan petani yang sudah terdaftat dalam RDKK. Jadi atas faktor kasihan saya beri saja petaninya,” kata Eko.

Menurut Eko, selaku pengecer dirinya agak kesal dengan pola baru ini. Betapa tidak, dia harus sibuk dengan urusan data-mendata. Belum lagi jika harus berhadapan dengan kepala desa dan PPL. Untuk mengesahkan satu lembar RDKK, dengan membubuhkan tandatangan Kades, dan PP tidak diperolehnya secara gratis. Ada ‘uang kopi’ yang besarnya tidak ditetapkan harus berapa, tetapi sewajarnya saja, harus dikeluarkan Eko. Itupun satu lembar. Sementara kelompok tani yang ada dibawah tanggung jawabnya tidak sedikit. Kendati tidak menyebut angka pasti, tapi uang jasa itu pasti ada.

Faktor kasihan dan tidak tega ini tanpa disadari Eko telah memperkecil jumlah persediaan pupuk yang semestinya dibagikan kepada petani yang sudah masuk dalam kelompok tani. Sudah barang tentu, ini akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Belum lagi adanya uang jasa itu. Sudah ada tambahan ongkos yang harus dikeluarkan Eko, sehingga harga pupuk besubsidi bisa jadi tidak akan pernah sesuai dengan harga ketentuan dari pemerintah yang berpatokan dengan harga eceran tertinggi, (HET).

Sementara dalam memenuhi ketentuan RDKK, kata Eko, dirinya bekerjasama dengan Ketua Kelompok Tani atau Petugas Penyuluh Lapangan, (PPL) dalam menginventarisir petani yang akan memperoleh urea bersubsidi. Eko cenderung mempercayakan sepenuhnya dengan daftar RDKK tersebut.

Hal yang sama terjadi di Batumarta. Di tempat ini ada satu distributor yang membawahi empat pengecer yang mempercayakan satu orang untuk melakukan inventarisir data patani. Orang kepercayaan ini digaji untuk menyelesaikan masalah administrasi khusus petani. “Kita menggaji satu orang, dengan cara sumbangan sebab kalau kita yang mengerjakannya manalah sempat. Belum mau mengurus pupuknya, ditambah lagi administrasinya, repot,” kata Musir pengecer Berkat Toba Tani, desa Batumarta Unit II Kecamatan Lubuk Raja, Kabupaten OKU, Sumsel.

Sementara pembelian pupuk pola RDKK, menurut dua petani karet rakyat, dari Batumarta IV, masing-masing Habli dan Sudadi merupakan hal yang berbelit-belit. “Sudah berbelit-belit pupuknya masih harus menunggu pula. Kalau begini, percuma saja disubsidi dengan harga khusus kalau barangnya tak ada,” kata Sudadi,

(32)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

Berbeda dengan yang diungkapkan tiga distributor yang ada di Kabupaten OKI. Mereka masing-masing Lufti dari Tiga Putra, Agung, dari Jaya Tani, dan Rahman dari Rahmat Tani. Ketiganya mengatakan perubahan pola distribusi, dari sistem terbuka jadi tertutup justru tidak memperbaiki keadaan.

Sebaliknya pola ini banyak membuat petani, dan kelompok tani menjadi repot, dan tidak mengerti. Sistem RDKK membuat urea menjadi susah dicari. Keterangan dari Distributor Pusri di Kabupaten Ogan Komering Ilir, (OKI) Rahman dari RahmanTani, di PPK, urea itu ada, tetapi belum waktunya dibagikan dan harus menunggu RDKK. Diakuinya pola sejak pemberlakuan pola tertutup distribusi urea semakin ketat.

Ungkapan senada berasal dari Tri pengecer dari OKU Timur. Dia dirinya mengatakan masih menjual pupuk kepada petani yang tidak masuk dalam kelompok tani karena rasa iba dan kasihan. Rata-rata yang diberi pupuk di luar RDKK itu umumnya petani yang sudah dikenal.

Menurut Tri dia tidak mempersoalkan apakah pupuk itu memakai sistem RDKK atau sebaliknya. Namun yang paling penting pupuknya ada pada saat dibutuhkan. Kondisi di lapangan justru sebaliknya

Sementara Ketua KUD Karya Pembangunan, Agus Suparno. Desa Cidawang Kecamatan Martapura, OKU Timur yang membawahi 12 pengecer. KUD membagikan pupuk di sini langsung kepada petani melalui UPTD. Hail ini sebetulnya menyalahi prosedur dan membuat rancu sebab dinas pertanian mengatakan ini bisa, padahal ini menyalahi prosedur.

Pendistribusian ini, ujarnya, khusus dilakukan pada bulan September karena bersifat emergency,dan stok pupuk tidak ada. Kebijakan ini memang menyalahi aturan, namun kata ketua KPUD ini darurat karena petani sudah membutuhkan pupuk, sementara jika harus melalui prosedur justru masih panjang.

Dimatanya, pola RDKK, memiliki banyak kelemahan dan tidak akan menyelesaikan masalah bahkan cenderung menimbulkan masalah baru. Alasannya, di gudang miliknyua yang berada di tingkat kecamatan tidak ada pesediaan pupuk. Untuk meminta pupuk ke Pusri harus ada RDKK. Minta tanpa RDKK tidak mungkin diberikan pupuk. “Kalau ada stok di gudang nanti dicurigai malah ditangkap petugas. Jadi pola ini, jangankan di tingkat pengecer, di tingkat distributor saja tidak ada stok pupuk. Padahal kalau mau jujur pada saat pupuk di bagikan sesuai RDKK itu tidak semua anggota dalam Kelompok Tani, membutuhkan pupuk pada saat yang bersamaan. Hal ini memicu petani untuk menjual pupuknya ke sektor lain yang memiliki harga tinggi, sehingga pada saat mereka membutuhkan petani meminta lagi padahal pupuk jelas sudah tidak ada.

Disparitas harga pupuk bersubsidi antara sektor pertanian dan perkebunan swasta itu katanya telah menjadi pemicu kelangkaan pupuk. “Coba hitung harga subsidi berapa dan harga untuk kebun berapa. Kebun Rp 7585/kg harga sementara subsidi Rp 1.200. Jadi ada selisih Rp 6.385/kg. Harga ini hanya berlaku di Sumsel. Tapi di daerah lain bisa lebih mahal,” katanya.

(33)

Jurnal Nasional Rabu, 15 Oktober 2008

Nusantara Medan | Rabu, 15 Okt 2008

Pe r t a n ia n Su m u t Sia p H a d a p i D a m p a k Kr isis

DINAS Pertanian Provinsi Sumatera Utara (Sumut) menyatakan Wilayah Sumatera Utara aman Kepala Seksi Data Statistik dan Perumusan Program Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, Lusiantini mengatakan, sektor pertanian Sumut dalam waktu dekat akan terkena imbas krisis finansial Amerika Serikat, menggigat selama ini salah satu bahan baku pendukung, yakni pupuk masih diimpor dari beberapa negara. Meskipun demikian pihaknya meyakini, hingga saat ini stok komoditas padi di Sumut masih surplus hingga memasuki awal tahun 2009 mendatang.

Berdasarkan data yang terhimpun, terjadi peningkatan produktivitas komoditas padi pada tahun ini, yakni sebesar 1,68 persen. Di mana pada tahun 2007 lalu, produktivitas padi untuk triwulan ke tiga hanya sebanyak 4,353 kwiltal per hektare, atau meningkat menjadi 4,442 kwintal per hektare tahun ini.

"Harga dolar naik, harga pupuk pasti naik, karena kita masih impor, jadi kewalahan juga pemerintah ini. Tetapi disisi lain ini merupakan peluang untuk memperbanyak produksi. Sebab, yang kita budidayakan ini seperti jagung dan padi permintaannya tinggi. Karena itu kita mendorong petani mengembangakan pangan. Paling tidak tidaklah terjdi krisis pangan," ujarnya.

Lusiantini menambahkan, meskipun tahun ini produktivitas komoditas padi meningkat, tidak diikuti dengan penambahan luas areal panen. Bahkan luas areal mengalami penurunan. Tahun lalu, luas areal panen di Sumut mencapai 750,232 hektare, menurun tahun ini menjadi 747,583 hektare. Penurunan itu terjadi karena sebagian petani mengalihfungsikan lahannya ke areal permukiman atau perkebunan.

(34)

Kompas Rabu, 15 Oktober 2008

Ke but uha n Ur e a Ta k Pe r na h Te r pe nuhi

Rabu, 15 Oktober 2008 | 01:33 WIB

Palembang, Kompas - Kesenjangan yang tinggi antara kebutuhan dan produksi menyebabkan sebagian petani padi di Indonesia sulit mendapatkan pupuk urea, terutama setiap awal musim tanam tiba. Kondisi itu juga diperparah oleh saling berebutnya petani mendapatkan pupuk urea dengan harga subsidi.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengutarakan itu dalam Kongres Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Tahun 2008 di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (14/10). Turut hadir dalam acara itu yaitu Gubernur Sumsel Mahyuddin.

Anton mengatakan, selama musim tanam tahun 2008 kebutuhan pupuk urea di seluruh Indonesia 9 juta ton, sedangkan produksinya 5,7 juta ton. ”Sebenarnya petani tidak perlu mutlak harus menggunakan pupuk urea jika memang sulit dicari mengingat ada substitusinya seperti pupuk NPK,” katanya.

Memasuki musim tanam padi sekarang, persediaan pupuk urea di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tinggal 10.951 ton. Padahal, para petani membutuhkan sekitar 15.000 ton untuk dua kali pemupukan. Para kelompok tani mendesak Pemerintah Kabupaten Blora untuk menutup kekurangan pupuk itu.

Kepala Subdinas Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Blora, Pujiyanto, Selasa, mengatakan, sisa pupuk itu cukup jika petani menerapkan sistem pemupukan berimbang. Namun, sebagian besar petani tak mempraktikkan itu sehingga kekurangan pupuk selalu terjadi.

Sebulan lalu Bupati Blora Yudhi Sancoyo meminta tambahan 8.000 pupuk kepada Gubernur Jateng. Namun, gubernur hanya menyetujui 1.700 ton.

Menurut pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Demak, Muhammad Gufron, Selasa, di tengah kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi, petani di Jateng sebagian telah menanam padi. Luas tanaman padi seluruhnya di Jateng diperkirakan 648.307 hektar.

Di Karawang, Jawa Barat, pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi secara tertutup pada 2009 diperkirakan akan terkendala pola tanam yang tak serempak dan minimnya modal petani. Camat Tirtamulya I Sujana mengatakan, Bupati Karawang menginstruksikan seluruh camat terlibat aktif dalam pendistribusian pupuk bersubsidi.

(35)

Kompas Rabu, 15 Oktober 2008

Ta n t a n g a n M a sa D e p a n Pa n g a n

Rabu, 15 Oktober 2008 | 01:15 WIB

Toto Subandriyo

Tema internasional peringatan Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2008 yang ditetapkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) adalah ”World Food Security: the Challenges of Climate Change and Bio-Energy”.

Adapun tema nasional yang ditetapkan Pemerintah Indonesia adalah ”Ketahanan Pangan, Perubahan Iklim, Bioenergi, dan Kemandirian Petani”.

Saat ini, dunia sedang dilanda krisis pangan serius. Situasi ini, antara lain, disebabkan oleh naiknya permintaan komoditas pangan, pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging countries, cepatnya pengembangan biofuel. Selain itu juga disebabkan turunnya pasokan komoditas pangan akibat pengaruh perubahan iklim, di antaranya banjir dan kekeringan. Saat ini dilaporkan kondisi stok sereal dunia hanya mencapai 409 juta ton, jumlah terendah sejak tiga dekade terakhir.

Banyak pakar menilai, kondisi krisis pangan dunia saat ini merupakan buah dari tindakan komunitas internasional yang mengabaikan sektor pertanian di negara-negara berkembang dalam jangka panjang. Statistik menunjukkan bantuan pertanian internasional tahun 1980 menempati porsi sebesar 17 persen, tetapi angka itu menurun menjadi hanya 3 persen pada tahun 2006. Investasi riset pertanian negara-negara berkembang kurang dari 0,6 persen produk domestik bruto (PDB), sedangkan di negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan angkanya lebih dari 5,0 persen PDB.

Meroketnya harga minyak mentah dunia beberapa waktu lalu, langsung atau tidak langsung, menjadi pemicu terjadinya krisis pangan. Langkah revolusioner banyak ditempuh oleh negara-negara industri untuk meredam krisis bahan bakar fosil ini, antara lain, dengan melipatgandakan anggaran riset energi alternatif dan bioenergi berbahan baku komoditas pertanian.

Presiden George W Bush pernah menegaskan akan mengurangi ketergantungan pada minyak impor dari Timur Tengah hingga 75 persen pada tahun 2025. Untuk itu Bush mengalokasikan 22 persen dana lebih banyak untuk riset energi ramah lingkungan mulai tahun 2007.

Saat ini terjadi rebutan komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bioenergi. Komoditas pertanian, seperti gandum, kedelai, jagung, beras, gula, dan minyak nabati, menjadi rebutan di pasar dunia sehingga harganya meroket. Kondisi ini merupakan bahasa lain dari terancamnya kondisi ketahanan pangan nasional yang masih menggantungkan pemenuhan pangan dari impor.

Bukan tragedi Yunani

(36)

Kompas Rabu, 15 Oktober 2008

Kelompok paling rentan terkena dampak perubahan iklim ini adalah masyarakat miskin. Kelompok ini memiliki kemampuan adaptasi amat rendah akibat minimnya sumber daya yang dimiliki serta kecenderungan bergantung pada sumber daya yang rentan terhadap kondisi iklim.

Mau tidak mau, suka tidak suka, semua pemangku kepentingan harus segera mengakhiri kondisi tidak menguntungkan ini. Untuk menghadapi berbagai tantangan itu ada beberapa hal yang harus ditempuh Pemerintah Indonesia. Pertama, secepatnya menyusun regulasi yang mengatur sinergi antara kebutuhan pangan dan bioenergi. Regulasi ini dimaksudkan agar tidak terjadi benturan kepentingan yang membahayakan ketahanan pangan bangsa.

Kedua, menyusun kebijakan dan instrumen untuk direkomendasikan dalam usaha mitigasi perubahan iklim. Menurut IPCC peluang mengurangi gas rumah kaca masih terbuka melalui gaya hidup dan konsumsi. Kebijakan dan instrumen yang direkomendasikan harus mencakup semua sendi kehidupan, antara lain sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan manajemen limbah.

Sektor energi, antara lain, dengan mengurangi subsidi bahan bakar fosil, pajak karbon untuk bahan bakar fosil, penetapan harga listrik dari energi terbarukan (renewable energy), kewajiban menggunakan energi terbarukan, subsidi bagi produsen. Sektor transportasi, antara lain, wajib menggunakan biofuel, standar karbon dioksida untuk alat transportasi jalan raya, kenaikan pajak pembelian kendaraan, merancang transportasi melalui regulasi penggunaan lahan dan perencanaan infrastruktur, investasi pada fasilitas angkutan umum, dan transpor tak bermotor.

Untuk sektor gedung, antara lain, perlu menerapkan standar dan label peralatan, sertifikasi, dan regulasi gedung. Sektor industri perlu ada regulasi tentang subsidi, penerapan standar industri, pajak untuk kredit. Untuk sektor pertanian perlu insentif finansial dan regulasi untuk perbaikan manajemen lahan, mempertahankan kandungan karbon dalam tanah, penggunaan pupuk dan irigasi yang efisien.

Sektor kehutanan, perlu diciptakan insentif finansial untuk gerakan reboisasi, mengurangi penggundulan hutan, regulasi pemanfaatan lahan serta upaya penegakan regulasi itu. Sektor manajemen limbah, dilakukan dengan memberi insentif finansial untuk manajemen sampah dan limbah cair yang lebih baik, insentif menggunakan energi terbarukan, serta regulasi manajemen limbah.

Hanya dengan political will yang kuat kita dapat terhindar dari situasi yang lebih buruk sebagaimana ditegaskan Dirjen FAO, Jacques Diouf. ”Krisis pangan ini bukan tragedi Yunani, di mana nasib ditentukan oleh Dewa karena manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Dunia memiliki kemampuan untuk memengaruhi masa depan.”

(37)

Kompas Kamis, 16 Oktober 2008

D a n a I r ig a si D ip a n g k a s

Infrastruktur Dasar Tetap Menjadi Prioritas

Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:44 WIB

Jakarta, Kompas - Departemen Pertanian berencana memangkas sebagian anggaran perawatan, perbaikan, dan pembangunan infrastruktur tahun 2009. Kebijakan ini adalah tindak lanjut program pemangkasan anggaran untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan. Berbagai pihak menyayangkan kebijakan tersebut.

Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Departemen Pertanian Hilman Manan, Rabu (15/10) di Jakarta, mengungkapkan, rasionalisasi anggaran untuk infrastruktur pertanian itu belum ditetapkan besarannya.

”Kami tengah mempersiapkan penghitungan ulang alokasi anggaran,” kata dia.

Menurut Sekjen Departemen Pertanian Hasanuddin Ibrahim, rasionalisasi anggaran tersebut masih menunggu pembahasan pengurangan anggaran di tiap departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. ”Jadi, kita masih menunggu pembahasan di tingkat Menteri Keuangan dengan departemen dan lembaga pemerintah,” katanya.

Hilman menjelaskan, tahun 2009 rencana alokasi anggaran infrastruktur pertanian di bawah pengelolaan Direktorat PLA sebesar Rp 1,1 triliun. Idealnya Rp 2 triliun.

Rencana alokasi Rp 1,1 triliun itu pun, menurut Hilman, akan dipangkas karena pemerintah menginginkan program efisiensi.

Program pembangunan yang dilakukan Direktorat PLA terbagi atas tiga aspek, yaitu pengelolaan lahan, pengelolaan air, dan perluasan areal.

Pengelolaan lahan meliputi optimalisasi dan konservasi lahan. Adapun pengelolaan air meliputi pembangunan jaringan irigasi tingkat usaha tani, irigasi desa, pembangunan tata air mikro, irigasi tanah dangkal, tanah dalam, irigasi bertekanan, irigasi tetes, irigasi air permukaan, dan irigasi partisipatif. Ada juga pembangunan embung, dam parit, sumur resapan, balai subak, pompa hidran, dan sekolah lapang.

Sementara aspek perluasan areal meliputi perluasan sawah, pembukaan areal nonsawah, dan pembuatan areal nonsawah.

Langkah mundur

Menanggapi kebijakan memangkas anggaran untuk infrastruktur pertanian, Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan menyatakan hal itu sebagai langkah mundur pembangunan pertanian.

Infrastruktur pertanian, khususnya irigasi, menurut Agusdin, terkait erat dengan upaya meningkatkan pendapatan petani. ”Irigasi yang baik akan mendukung peningkatan produktivitas,” ujarnya.

(38)

Kompas Kamis, 16 Oktober 2008

H a r i Pa n g a n Se d u n ia d a n Ke m a n d ir ia n Pe t a ni

Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:27 WIB

Khudori

Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2008, bertema ”Ketahanan Pangan, Perubahan Iklim, Bioenergi dan Kemandirian Petani”. Empat matra ini secara implisit menegaskan, kian tidak mudah mencapai ketahanan pangan.

Pemanasan global membuat cuaca kian kacau dan sulit diprediksi. Periode musim hujan dan kemarau kian tak menentu sehingga pola tanam, estimasi produksi pertanian, dan persediaan pangan sulit diprediksi.

Krisis pangan

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), setiap kenaikan suhu dua derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian China dan Banglades 30 persen pada tahun 2050. Masalahnya dampak tak dibagi rata. Rakyat miskin seperti petani dan nelayan di negara miskin paling menderita karena daya adaptasi rendah dan ketergantungan kehidupan mereka pada sumber daya alam yang rentan terhadap perubahan iklim.

Dalam kondisi demikian, dunia diempaskan krisis pangan. Penyebabnya bukan cuma suplai pangan menyusut, tetapi karena pergeseran

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Cost Driver, sehinggan sistem Activity-Based Costing mampu mengalokasikan biaya aktivitas ke setiap produk secara tepat berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas.Perbedaan

Menurut asumsi peneliti pelaksanaan teknik menyusui yang benar sangat mempengaruhi produksi ASI karena apabila teknik menyusui dilakukan dengan benar, maka puting

Pendidikan adalah salah satu proses memanusiakan manusia. Upaya pendidikan untuk memberikan solusi perkembangan dan perubahan kemanusiaan secara dinamik berkaitan erat

Uji t merupakan alat uji statistik secara parsial untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh tingkat profitabilitas yang terinci dalam rasio ROA dan ROE serta likuiditas

Kemudian setelah itu memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan perbuatan itu, dalam proses hijrahnya subjek mendapatkan seperti kebutuhan akan agama dalam

Adapun hasil penelitian ini adalah Setelah mengurai tentang dasar-dasar hukum dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sakit jiwa, hakim

 Adalah cara terminasi kabel serat optik dengan menggunakan konektor (tanpa menggunakan pig tail dan end closure).  Dengan demikian dari segi ekonomis, terminasi ini

• Dosen membentuk kelompok, membagikan topik materi perkelompok dan mahasiswa secara aktif menemukan materi dengan menggunakan berbagai cara. Dosen memberikan kesempatan untuk