• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Nilai Konsentrasi Partikel Debu di Udara

Tercemarnya udara oleh partikel debu dapat diketahui dengan membandingkan hasil pengukuran dengan baku mutu ambien yang telah ditetapkan pemerintah (PP RI No. 41 Tahun 1999). Nilai baku mutu untuk debu/Total Suspended Particle (TSP) yang ditetapkan dalam PP tersebut adalah sebesar 230 µg/N m³ dengan waktu pengukuran 24 jam, menggunakan metode gravimetri dan bantuan alat pengukur kualitas udara High Volume Air Sampler (HVAS). Besarnya konsentrasi debu di udara berdasarkan hasil pengukuran telah melebihi nilai baku mutunya, seperti terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Perbandingan konsentrasi partikel debu hasil pengukuran dengan baku mutu debu di udara ambien

Plot contoh

24 Jam 1 Jam 1 Jam

Baku Mutu TSP (µg/Nm³)*

Konsentr asi de bu pada jar ak 500 m (µg/Nm³)

Konsentr asi de bu pada jar ak 1000m (µg/Nm³)

K 230,00 925,51 3194,74

TR 230,00 544,78 337,57

R 230,00 398,86 230,24

SR 230,00 368,64 124,93

Keterangan : *) Ketetapan PP RI No. 41 Tahun 1999.

Selain hasil pengukuran konsentrasi partikel debu di plot contoh SR pada jarak 1000 m, hasil pengukuran plot-plot contoh lainnya yang menggunakan metode dan bantuan alat yang sama dengan waktu pengukuran selama ± 1 jam sudah menunjukkan nilai konsentrasi yang lebih besar dibandingkan baku mutunya (Tabel 12) sehingga dapat dikatakan bahwa udara di lokasi penelitian telah tercemar oleh partikel debu. Berdasarkan hasil uji kualitas udara ambien yang dilakukan pada bulan November tahun 2008 (BLH Bogor 2009) di Kecamatan Gunung Putri diketahui bahwa konsentrasi beberapa zat pencemar termasuk partikel debu juga sudah melebihi baku mutunya (Tabel 13).

Tabel 13 Hasil pengukuran parameter pencemar udara di Kec. Gunung Putri Parame ter pe nce mar Hasil pe ngukuran Baku Mutu*)

TSP (Pa rtikel debu) 303,30 (µg/Nm³) 230,00 (µg/Nm³)

NH3 (A monia ) 2,22 (pp m) 2,00 (pp m)

NO2 (Nitrogen dioksida) 216,00 (µg/Nm³) 100,00 (µg/Nm³)

Sumber : BLH Bogor (2009).

(2)

Kandungan debu dalam udara secara kuantitatif sering lebih besar akibat aktivitas manusia. Debu di udara dapat dihasilkan/bersumber dari kegiatan industri dan transportasi. Tjasyono (1999) mengklasifikasikan sumber pencemar udara berdasarkan pola penyebarannya menjadi sumber titik kontinyu dan sumber garis. Sumber titik kontinyu pada umumnya disebabkan oleh pabrik-pabrik yang memancarkan zat pencemar ke udara melalui cerobong pembuangan. Pencemaran udara yang terjadi di lokasi penelitian ini diduga karena tingginya aktivitas perindustrian. Dinas Tata Ruang Bogor (2009) mencatat sedikitnya terdapat 38 perusahaan industri terdapat di Kecamatan Gunung Putri, enam diantaranya berada di Desa Gunung Putri dengan beragam b idang perindustrian.

Sumber garis adalah sumber yang mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, misalnya transportasi pada jalan raya. Tingginya aktivitas industri juga menyebabkan laju lalulintas di kawasan perindustrian menjadi salah satu permasalahan yang tidak dapat dihindark an. Lalulintas menjadi sangat padat akibat dari berbagai macam kegiatan seperti distribusi hasil produksi, aktivitas karyawan yang bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan. Pola aktivitas seperti ini apabila dilakukan terus- menerus berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara akibat dari emisi buangan kendaraan, Wardhana (1994) bahkan menyatakan bahwa sektor transportasi menyumbang sebesar 60% dari total pencemaran udara.

5.2. Kajian Nilai Fisik Vegetasi Pekarangan terhadap Konsentrasi Partikel Debu di Udara

5.2.1. Pengaruh jarak pengukuran

Pengukuran konsentrasi partikel debu di udara pada penelitian kali ini dilakukan pada dua jarak pengukuran yang berbeda yaitu 500 m dan 1000 m dari titik acuan (PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk.). Hal ini bertujuan untuk melihat apakah perbedaan jarak pengukuran secara nyata mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu di udara. Konsentrasi partikel debu di udara pada kedua jarak pengukuran tersebut seperti dijelaskan Tabel 14.

(3)

Tabel 14 Konsentrasi partikel debu di udara pada kedua jarak pengukuran Plot c ontoh Konsentr asi par tikel de bu (µg/Nm³)*

500 m 1000 m K 925,51 3194,74 TR 544,78 337,57 R 398,86 230,24 SR 368,64 124,93 Keterangan:

K = Kontrol (tanpa vegetasi) R = Rindang

TR = Tidak Rindang SR = Sangat Rindang

*) Nila i d iperoleh setelah dilaku kan analisis sampe l partike l debudi laboratoriu m.

Plot-plot contoh pada jarak 500 m memiliki nilai konsentrasi partikel debu yang lebih tinggi dibandingkan plot-plot contoh pada jarak 1000 m kecuali plot contoh Kontrol (K). Lebih tingginya konsentrasi partikel debu pada jarak 500 m dibandingkan pada jarak 1000 m dapat disebabkan antara lain karena pada jarak 500 m merupakan jalur utama lalulintas distribusi kendaraan pengangkut dari PT. Indocement Tiga Roda serta padatnya jumlah kendaraan jenis lain yang melintasi kawasan ini. Dinas Lalu Lintas dan Angkuta n Jalan Raya (DLLAJR) Bogor (2009) mencatat sebanyak 1544 kendaraan aktif beroperasi setiap harinya di Kecamatan Gunung Putri. Selain itu kondisi jalan banyak yang rusak akibat tingginya intensitas kendaraan besar melewati jalan ini (Gambar 7a), sebesar 31,64% dari total panjang jalan rusak ringan dan 8,08% rusak berat (DLLAJR Bogor 2009). Nilai konsentrasi partikel debu plot Kontrol (K) pada jarak 500 m jauh lebih rendah dibanding pada jarak 1000 m karena pada saat pengukuran sampel pada jarak 500 m baru saja dilakukan penyiraman jalan raya (Gambar 7b) secara rutin oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. menyebabkan debu yang bersumber dari jalan raya bercampur dengan air dan mengendap di tanah sehingga tidak terhisap oleh HVAS.

a b

(4)

Pengendapan debu dipengaruhi jarak vegetasi terhadap sumber pencemar (DPU 2008) sehingga secara teoritis, semakin jauh jarak pengukuran dari acuan (sumber pencemar) akan menyebabkan akan konsentrasi partike l debu di udara semakin rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa nilai konsentrasi partikel debu pada jarak 500 m lebih tinggi dibandingkan pada jarak 1000 m. Namun hasil analisis uji pengaruh jarak pengukuran dari titik acuan terhadap nilai konsentrasi partikel debu di udara menunjukkan bahwa jarak pengukuran tidak mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu di udara (terima Ho) karena P-value (0,604) > α. Hasil uji (taraf α 0,1; r = 0,218) menunjukkan bahwa memang ada perbedaan nilai konsentrasi di kedua jarak pengukuran namun perbedaannya tidak signifikan (Lampiran 5).

Jarak pengukuran tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai konsentrasi partikel debu di udara sebelumnya juga dapat dilihat pada Tabel 14. Perbedaan nilai konsentrasi partikel debu terukur tidak terlalu jauh dapat mengindikasikan bahwa distribusi partikel debu merata di sekitar lokasi penelitian hingga jarak 1000 m dari titik acuan. Berdasarkan hasil observasi lapang, ruang yang diperuntukan bagi kawasan hijau (RTH) baik berupa taman, jalur hijau maupun pekarangan di lokasi penelitian sangat minim sehingga menyebabkan tingginya konsentrasi partikel debu di udara.

5.2.2. Pengaruh parameter vegetasi

Vegetasi yang digunakan sebagai pembentuk ruang dapat memberikan suasana yang sunyi dan nyaman. Pepohonan yang terdapat dalam pekarangan dapat menutupi pemandangan yang kurang indah. Selain merekayasa estetika, vegetasi pekarangan rumah yang berada di kawasan padat industri dan transportasi juga efektif mengurangi pencemaran udara akibat debu.

Parameter vegetasi yang meliputi luas proyeksi tajuk, indeks luas daun (Leaf

Area Index/LAI) dan tinggi pohon diduga dapat mempengaruhi besarnya

konsentrasi partikel debu pencemar di udara. Hasil pengukuran parameter-parameter vegetasi tersebut di kedua jarak pengukuran untuk masing- masing plot contoh ditunjukkan pada Tabel 15, sedangkan hasil inventarisasi jenis pohon pada masing- masing plot contoh dapat dilihat pada Lampiran 2.

(5)

Tabel 15 Hasil pengukuran parameter vegetasi di kedua jarak pengukuran Plot

Contoh

Luas Proyeksi Tajuk (m²)

Leaf Area Index

(LAI)* Rata-rata Tinggi Pohon (m) 500 m 1000 m 500 m 1000 m 500 m 1000 m K 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 TR 154,35 124,23 2,03 1,59 7,00 5,67 R 208,91 259,34 2,56 2,96 7,50 6,88 SR 765,08 257,48 8,82 3,03 9,70 13,00

Keterangan : *) LA I sebagai penentu klasifikasi kerindangan pekarangan.

Hasil analisis konsentrasi partikel debu menunjukkan bahwa nilai konsentrasi partikel debu di udara mengalami penurunan (Gambar 8) dengan meningkatnya kerindangan pekarangan plot-plot contoh pada kedua jarak pengukuran.

Gambar 8 Penurunan konsentrasi partikel debu di udara berdasarka n tingkat kerindangan pekarangan.

Plot contoh Kontrol (K) merupakan plot contoh dimana alat HVAS diletakkan di ruang terbuka tanpa terhalang bangunan/gedung sehingga menghasilkan nilai konsentrasi partikel debu yang tinggi. Konsentrasi partikel debu di udara pada kedua plot Kontrol (K) menunjukkan nilai konsentrasi terbesar dibanding plot contoh lainnya. Pekarangan yang semakin rindang terbukti dapat menurunkan konsentrasi partikel debu di udara (Tabel 16).

925,51 544,78 398,86 368,64 3194,74 337,57 230,24 124,93 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang

Penurunan Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³)

(6)

Tabel 16 Reduksi konsentrasi partikel debu (µg/Nm³) dari plot K berdasarkan kriteria kerindangan pekarangan

Plot Contoh Re duksi de bu pada jar ak 500 m Re duksi de bu pada jar ak 1000 m

K 0,00 0,00

TR 380,73 2857,17

R 526,65 2964,5

SR 556,87 3069,81

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 16 diketahui bahwa konsentrasi partikel debu dapat direduksi sebesar 556,87 µg/Nm³ dari plot Kontrol (K) oleh pekarangan dengan tingkat vegetasi Sangat Rindang (SR) pada jarak 500 m, bahkan tingkat vegetasi Sangat Rindang (SR) pada jarak 1000 m mampu mereduksi konsentrasi partikel debu sebesar 3069,81 µg/Nm³ dari plot Kontrol-nya. Terjadinya penurunan/pereduksian konsentrasi partikel debu dari plot Kontrol oleh plot contoh lainnya (TR, R dan SR) secara langsung dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi yang terdapat di dalam plot-plot contoh tersebut (Gambar 9).

a b

c d

Gambar 9 Plot-plot contoh pada jarak pengukuran 500 m a) Kontrol (K); b) Tidak Rindang (TR); c) Rindang (R); d) Sangat Rindang (SR).

(7)

Berdasarkan kenyataan bahwa konsentrasi partikel debu di udara mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kriteria kerindangan vegetasi (parameter vegetasi) kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat sejauh mana parameter vegetasi dapat mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter vegetasi mempunyai korelasi negatif terhadap penurunan konsentrasi partikel debu di udara (Tabel 17), artinya bahwa setiap terjadi kenaikan nilai parameter vegetasi seiring dengan terjadinya penurunan nilai konsentrasi partikel debu di udara.

Tabel 17 Korelasi antara parameter vegetasi dengan nilai konsentrasi partikel debu di udara

Parame ter Vegetasi Jarak (m) Korelasi (r) P-value

Luas Proyeksi Ta juk 500 -0,709 0,291

1000 -0,885 0,115

Leaf Area Index (LAI) 500 -0,726 0,274

1000 -0,908 0,092*

Tinggi Pohon 500 -0,979 0,021*

1000 -0,830 0,170

*) : Signifikan pada selang kepercayaan 90%

5.2.2.1. Pengaruh luas proyeksi tajuk pohon

Tumbuhan dapat mengurangi konsentrasi debu dengan tajuk yang rindang (Irwan 1994). Luas proyeksi tajuk merupakan luas bidang dasar dari tajuk pohon strata bawah yang diasumsikan bahwa strata tajuk bagian bawah sudah

meng-cover strata tajuk bagian atasnya. Hasil penelitian Rini (2005) dan Adiputra

(2007) diacu dalam Munifah (2008) menunjukkan bahwa strata tajuk bawah mampu menjerap dan menyerap partikel timbal lebih banyak dibandingkan strata tengah atau atas, hal ini dapat menjadi dasar untuk melihat kemampuan strata tajuk pohon dalam menjerap dan menyerap partikel debu yang diperkuat oleh penelitian Dahlan (1989) yang menujukkan bahwa tanaman memilik i kemampuan dalam mereduksi partikel debu dengan cara adsorpsi (terjerap) maupun absorpsi (terserap).

Selain karena strata tajuk pohon bagian bawah secara langsung mampu menyerap serta menjerap partikel debu, tajuk pohon dengan jumlah daun lebih banyak dan lebih rapat akan membuat udara menjadi lebih bersih sehingga pengukuran parameter luas proyeksi tajuk pohon diharapkan sesuai untuk menduga penurunan konsentrasi partikel debu di udara. Luas proyeksi tajuk pohon

(8)

pada kedua jarak pengukuran (500 m dan 1000 m) meningkat dengan meningkatnya kerindangan pekarangan. Tajuk pohon terluas terdapat pada plot contoh Sangat Rindang (SR) dan tersempit pada plot contoh Tidak Rindang (TR), seperti terlihat pada Gambar 10.

a b

Gambar 10 Pengaruh luas proyeksi tajuk terhadap penurunan konsentrasi partikel debu.

Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa terdapat hubungan/korelasi antara luas proyeksi tajuk dengan konsentrasi partikel debu pada jarak pengukuran 500 m dan 1000 m dengan nilai koefisien korelasinya berturut-turut sebesar (-0,709) dan (-0,885). Setelah nilai korelasi diperoleh selanjutnya dilakukan uji hipotesis. Keputusan dari hasil uji hipotesis korelasi antara luas proyeksi tajuk dan konsentrasi partikel debu pada kedua jarak pengukuran adalah luas proyeksi tajuk tidak mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu (terima Ho) karena baik P-value yang dihasilkan (0,291) pada jarak 500 m maupun P-P-value pada jarak 1000 m (0,115) melebihi taraf alpha.

Parameter luas proyeksi tajuk dalam penelitian ini tidak mempengaruhi penurunan konsentrasi partikel debu secara signifikan kemungkinan dikarenakan parameter yang digunakan ini tidak terlalu efektif dimana pengukuran hanya dilakukan pada tajuk lapisan bawah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Karyono (1980) diacu dalam Soemarwoto (1983) bahwa dengan adanya keanekaragaman jenis tanaman pekarangan memungkinkan terbentuknya stratifikasi tinggi

925,51 544,78 398,86 368,64 0 154,35 208,91 765,08 Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³) pada jarak 500 m

Luas Proyeksi Tajuk

absis (x) = Plot contoh; ordinat (y) = NilaiTSP

3194,74 337,57 230,24 124,93 0 124,23 259,34 257,48 Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³) pada jarak 1000m

Luas Proyeksi Tajuk

(9)

sehingga tajuk tanaman pekarangan menjadi berlapis- lapis. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1996) diacu dalam Ruhiko (2007), tajuk pohon merupakan keseluruhan bentuk dan kelebaran maksimal tertentu dari ranting dan daun suatu tanaman.

5.2.2.2. Pengaruh Leaf Area Index (LAI)

Leaf Area Index (LAI) atau Indeks Luas Daun (ILD) didefinisikan sebagai

perbandingan total luas penampang daun dengan luas tanah yang ditutupi. Campbell (1986) diacu dalam Wood (2001) mengemukakan tujuan dilakukannya penghitungan LAI adalah untuk menentukan ke- ideal-an sebuah kanopi/tajuk pohon. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai LAI pada kedua jarak pengukuran meningkat dengan meningkatnya kerindangan pekarangan. Plot contoh Sangat Rindang (SR) memiliki nilai LAI terbesar, sebaliknya plot contoh Tidak Rindang (TR) nilai LAI terkecil (Gambar 11).

a b

Gambar 11 Pengaruh Leaf Area Indeks (LAI) terhadap penurunan konsentrasi partikel debu.

Tabel 17 hasil analisis menunjukkan koefisien korelasi antara LAI dengan konsentrasi partikel debu pada jarak pengukuran 500 m dan 1000 m berturut-turut sebesar (-0,726) dan (-0,908) yang kemudian dilakukan pengujian hipotesis terhadap korelasi tersebut sehingga diperoleh besar P-value untuk melihat apakah ada/tidak pengaruh dari LAI terhadap nilai konsentrasi partikel debu. Berdasarkan

925,51 544,78 398,86 368,64 0 2,03 2,56 8,82 Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³) pada jarak 500 m

LAI

absis (x) = Plot contoh; ordinat (y) = NilaiTSP

3194,74 337,57 230,24 124,93 0 1,59 2,96 3,03 Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³) pada jarak 1000 m

LAI

(10)

uji hipotesis yang telah dilakukan ternyata menghasilkan keputusan yang berbeda untuk kedua jarak pengukuran, hanya uji korelasi LAI dengan konsentrasi partikel debu pada jarak pengukuran 1000 m yang menghasilkan keputusan tolak Ho, sedangkan terima Ho untuk jarak 500 m. Tolak Ho berarti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari LAI terhadap nilai konsentrasi partikel debu di udara jarak pengukuran 1000 m dengan selang kepercayaan 90% dan terima Ho berarti tidak ada pengaruh yang signifikan dari LAI terhadap nilai konsentrasi partikel debu di udara jarak pengukuran 500 m.

Berdasarkan keputusan uji hipotesis, LAI pada jarak 1000 m secara signifikan mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu di udara. Atas dasar itu kemudian dilakukan analisis regresi linear sederhana untuk mengetahui seberapa besar LAI mampu mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu di udara. Hasil analisis regresi linear sederhana dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Besar pengaruh LAI dalam menurunkan konsentrasi partikel debu di udara ambien pada jarak 1000 m.

Analisis pola hubungan linear antara pengaruh LAI terhadap penurunan konsentrasi partikel debu memperoleh model persamaan sebagai berikut:

y = 2762 - 944,8 x dengan R² = 0,824

persamaan ini menginterpretasikan bahwa setiap peningkatan nilai LAI (x), akan menurunkan konsentrasi partikel debu di udara (y) secara linear sebesar (2762 - 944,8 x) satuan debu (µg/Nm³). Berdasarkan model tersebut, R² yang diperoleh sebesar 0,824 atau 82,4% artinya sebesar 82,4% dari keragaman nilai konsentrasi partikel debu dapat dijelaskan oleh nilai LAI dan sisanya dijelaskan oleh faktor

y = 2762 - 944,8 x R² = 0,824 -1000 0 1000 2000 3000 4000 0 1 2 3 4 K o n se n tr as i P ar ti ke l D e b u g/ N m ³)

Leaf Area Index

Pengaruh LAI terhadap Penurunan Konsentrasi Partikel Debu pada Jarak 1000 m

(11)

lain.Nilai R² yang dihasilkan oleh model persamaan cukup tinggi dapat dijelaskan oleh letak titik-titik pengamatan terhadap garis regresi. Letak titik-titik amatan pada persamaan tersebut mendekati kurva regresi (Gambar 12), sehingga persamaan model dugaan yang diperoleh fitted (pas). Pengaplikasian model untuk mengetahui penurunan konsentrasi partikel debu yang dipengaruhi LAI ini hanya layak digunakan jika data LAI yang dimiliki berada pada selang yang telah diujikan (0-3,03).

5.2.2.3. Pengaruh tinggi pohon

Tinggi pohon didefinisikan sebagai jarak atau panjang garis terpendek antara suatu titik pada pohon dengan proyeksinya pada bidang datar. Istilah tinggi pohon hanya berlaku untuk pohon yang masih berdiri, sedangkan untuk pohon rebah digunakan istilah panjang pohon. Menurut Suharlan dan Sudiono (1975) diacu dalam Kapisa (1984), tinggi pohon dibedakan atas tinggi total pohon dan tinggi bebas cabang pohon. Tinggi total pohon yaitu jarak antara titik puncak dengan proyeksinya pada bidang datar/horizontal, sedangkan tinggi bebas cabang yaitu jarak antara titik bebas cabang/lepas dahan dengan proyeksinya pada bidang datar atau bidang horizontal dengan cabang yang dimaksud adalah cabang yang turut berperan dalam membentuk tajuk utama, selanjutnya tinggi pohon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tinggi total pohon.

Menurut Samingan (1975) diacu dalam Irwan (2005), pohon dengan stratum C disebut lapisan pepohonan tingkat bawah terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 8-14 m, cenderung rapat dan tegak. Tinggi pohon yang dihasilkan pada setiap plot contoh dari masing- masing individu kemudian dijumlah dan dirata-ratakan. Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata tinggi pohon pada kedua jarak pengukuran (500 m dan 100 m) termasuk ke dalam strata C (Gambar 13). rata tinggi pohon meningkat dengan meningkatnya kerindangan pekarangan. Rata-rata pohon tertinggi terdapat pada plot contoh Sangat Rindang (SR) dan terendah pada plot contoh Tidak Rindang (TR).

(12)

a b

Gambar 13 Pengaruh rata-rata tinggi total pohon terhadap penurunan konsentrasi partikel debu.

Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa koefisien korelasi antara rata-rata tinggi pohon dengan konsentrasi partikel debu pada jarak pengukuran 500 m dan 1000 m berturut-turut sebesar (-0,979) dan (-0,830). Setelah diperoleh koefisien korelasi kemudian dilakukan pengujian hipotesis. Keputusan uji hipotesis korelasi yang dihasilkan untuk kedua jarak pengukuran ternyata berbeda. Hanya rata-rata tinggi pohon pada jarak pengukuran 500 m yang mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu di udara secara signifikan (tolak Ho). Rata-rata tinggi pohon pada jarak pengukuran 1000 m tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai konsentrasi partikel debu (terima Ho).

Berdasarkan keputusan uji hipotesis, rata-rata tinggi pohon pada jarak 500 m secara signifikan mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu di udara. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa besar terjadi penurunan nilai konsentrasi partikel debu perlu dilakukan analisis regresi linear sederhana. Hasil analisis regresi linear sederhana dapat dilihat pada Gambar 14.

925,51 544,78 398,86 368,64 0 7 7,5 9,7 Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³) pada jarak 500 m

Tinggi Total (m)

absis (x) = Plot contoh; ordinat (y) = NilaiTSP

3194,74 337,57 230,24 124,93 0 5,67 6,88 13 Kontrol Tidak Rindang Rindang Sangat Rindang Konsentrasi Partikel Debu (µg/Nm³) pada jarak 1000 m

Tinggi Total (m)

(13)

Gambar 14 Besar pengaruh rata-rata tinggi total pohon dalam menurunkan konsentrasi partikel debu di udara ambien pada jarak 500 m.

Analisis pengaruh rata-rata tinggi total pohon terhadap penurunan konsentrasi partikel debu di udara dengan menggunakan regresi linear sederhana memberikan hasil model regresi sebagai berikut:

y = 920,4 - 59,66 x dengan R² = 0,959

persamaan ini menginterpretasikan bahwa setiap peningkatan tinggi total pohon (x) sebesar satu-satuan (m), akan menurunkan konsentrasi partikel debu (y) di udara secara linear sebesar (920,4 - 59,66 x) satuan debu (µg/Nm³). N ilai R² yang diperoleh sebesar 0,959 atau 95,9% artinya sebesar 95,9% dari keragaman nilai konsentrasi partikel debu dapat dijelaskan oleh tinggi total pohon dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain.

Nilai R² pada persamaan ini sangat tinggi mendekati 100%, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel x (rata-rata tinggi total pohon) pada model persamaan ini mampu menerangkan peubah respon y (konsentrasi partikel debu) dengan sangat baik. Letak titik-titik pengamatan terhadap garis regresi pada model persamaan dapat menjelaskan nilai R². Letak titik-titik amatan pada persamaan tersebar menyinggung kurva regresi (Gambar 14) sehingga sehingga persamaan model dugaan yang diperoleh sangat fitted (pas)/sangat layak. Model ini dapat diaplikasikan untuk mengetahui besar penurunan konsentrasi partikel debu yang dipengaruhi tinggi total pohon tetapi hanya layak digunakan jika data tinggi pohon yang dimiliki berada pada selang yang telah diujikan (0-9,7).

y = 920,4 - 59,66 x R² = 0,959 0 200 400 600 800 1000 0 5 10 15 K ons e nt ra si P ar ti ke l D e bu g/ N m ³) Tinggi Pohon

Pengaruh Tinggi Pohon terhadap Penurunan Konsentrasi Partikel Debu pada Jarak 500 m

(14)

5.2.3. Peran vegetasi dalam menciptakan iklim mikro

Elemen-elemen iklim utama yang sangat mempengaruhi kehidupan adalah cahaya matahari, suhu udara, kelembaban dan angin (Irwan 2005). Salah satu masalah yang sering muncul pada daerah kawasan industri yang padat pemukiman serta lalulintas yang ramai adalah berkurangnya kenyamanan akibat meningkatnya suhu udara yang secara langsung dipengaruhi oleh radiasi matahari dan kelembaban. Pembangunan kawasan indusrti berperan besar dalam peningkatan suhu di udara (Tjasyono 1999), hasil penelusuran data series suhu udara di BMKG Bogor (2009) menunjukkan suhu udara rata-rata untuk bulan Juni dan Juli pada tahun 1973, 1988, 2006 dan 2009 seperti dijelaskan Tabel 18.

Tabel 18 Perbandingan suhu udara (°C) di Desa Gunung Putri pada bulan Juni dan Juli Bulan Tahun 1978 1988 2006 2009 Juni 25,2 25,4 25,7 27,0 Juli 24,8 25,7 26,1 27,5 Sumber: BM KG Bogor (2009).

Titik tolak beralihnya fungsi kawasan di Desa Gunung Putri adalah dengan dibangunnya pabrik semen terbesar dikawasan tersebut (PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk.) yaitu pada tahun 1985, karena setelah dibangunnya pabrik industri semen ini Desa Gunung Putri mengalami perkembangan pembangunan yang pesat baik dari segi industri- industri lain yang bermunculan maupun kawasa n pemukiman yang semakin padat.

Berdasarkan data suhu udara pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa terjadi kenaikan suhu sebesar ±2 ºC di Desa gunung Putri dari sebelum menjadi kawasan perindustrian sampai setelah menjadi kawasan perindustrian. Masyarakat yang dijadikan responden juga menyatakan sangat setuju (55,81%) dan setuju (34,88%) bahwa telah terjadi kenaikan suhu udara di daerah mereka sehingga dirasakan semakin tidak nyaman. Peningkatan suhu tersebut tidak terlepas dari kegiatan pembangunan dan pengembangan kawasan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan, pola aktivitas penduduk maupun perusahaan industri yang tidak/belum memiliki sistem penyaring/pembuang limbah yang tepat dan memadai. Hal ini diperkuat dengan pernyataan 65,12% responden yang sependapat dengan hal tersebut.

(15)

Vegetasi dalam pekarangan dapat berfungsi sebagai pengatur suhu udara, dimana pada siang hari vegetasi mampu menahan sinar matahari sehingga suhu menjadi tidak teralu panas dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi radiasi cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada siang hari (Grey dan Deneke 1978). Hasil penelitian pada Tabel 19 menunjukkan bahwa semakin rindang vegetasi di pekarangan maka suhu udara semakin rendah.

Tabel 19. Suhu udara pada setiap plot contoh di kedua jarak pengukuran

Plot Contoh Suhu Udara (ºC)

500 m 1000 m

K 33 33

TR 32,5 32

R 31 30

SR 29,5 29

Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa suhu terendah yaitu di pekarangan rumah dengan kriteria vegetasi Sangat Rindang (SR) dan tertinggi di pekarangan rumah yang Tidak Rindang (TR). Sejalan dengan hasil ini, berbagai hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa keberadaan vegetasi mampu menurunkan suhu. Hasil penelitian Irwan (1994) menyatakan bahwa vegetasi dapat menurunkan suhu kota di sekitarnya hingga 3,46% di siang hari pada awal musim penghujan. Selain itu, penelitian Wenda (1991) diacu dalam Dahlan (2004) menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban udara di wilayah yang bervegetasi lebih tinggi dibandingan dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan (aspal), dan bangunan (tembok). Penurunan suhu udara akan disertai meningkatnya kelembaban udara. Kelembaban udara serta kecepatan dan arah angin pada setiap plot contoh seperti dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil pengukuran parameter fisik udara pada setiap plot contoh Plot

Contoh

Kele mbaban (% ) Kece patan Angin (m/s) Arah Angin 500 m 1000 m 500 m 1000 m 500 m 1000 m

K 73 73 0,65 1,80 Barat Laut Barat

TR 73 73 0,45 0,85 Barat Barat Laut

R 78 78 0,35 0,70 Barat Daya Barat Daya

SR 78 78 0,35 0,60 Barat Daya Barat Laut

5.2.4. Peran vegetasi untuk me reduksi partikel debu pence mar

Sebesar 46,51% responden menyatakan sangat setuju dan 37,21% responden setuju bahwa kualitas fisik lingkungan di Desa Gunung Putri

(16)

mengalami penurunan. Menurunnya kualitas fisik lingkungan di kawasan padat perindustrian, pemikiman dan transportasi selain d itandai dengan peningkatan suhu udara juga dikarenakan terjadinya pencemaran udara oleh partikel debu. Menurut PP RI No 41 Tahun 1999, tercemarnya udara oleh partikel debu dapat diketahui apabila konsentrasi partikel debu di udar telah melebhi nilai baku mutu debu yang telah ditetapkan (230 µg/Nm³). Hasil penelitian pada Tabel 12 menunjukkan konsentrasi partikel debu di udara sudah melebihi nilai baku mutunya sehingga dapat dikatakan bahwa udara di lokasi penelitian telah tercemar oleh partikel debu.

Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin, kepadatan kendaraan bermotor yang dapat menambah asap hitam pada total emisi partikel debu, pembakaran sampah dan berbagai proses industri seperti proses penggilingan dan penyemprotan (Wardhana 1994). Pernyataan ini juga ditanggapi sangat setuju (27,91% responden) dan setuju (67,44% responden) bahwa tingginya konsentrasi partikel debu di daerah mereka disebabkan oleh limbah dari pabrik serta padatnya transportasi yang menyebabkan debu tanah beterbangan. Tingginya konsentrasi partikel debu di udara secara umum dapat menyebabkan kondisi yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat. Sebesar 88,37% responden menyatakan pendapat yang mendukung bahwa tingginya kadar debu di udara menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat cenderung menurun.

Masyarakat Desa Gunung Putri umumnya memanfaatkan lahan pekarangan rumah mereka dengan menanami jenis vegetasi yang menghasilkan buah-buahan seperti jambu air (Syzigium samarangense), mangga (Mangifera indica), rambutan (Nephelium lappaceum), kelengkeng (Dimocarpus longan) dan sebagainya. Irwan (2005) mengemukakan bahwa vegetasi sangat bermanfaat untuk merekayasa permasalahan lingkungan salah satunya untuk mengurangi polusi udara. Berdasarkan hasil penelitia n yang ditunjukkan oleh Tabel 16, konsentrasi partikel debu di udara dapat direduksi oleh vegetasi yang berada di pekarangan. Sejalan dengan hasil penelitian ini, penelitian Wawo (2009) menyatakan bahwa beberapa jenis tanaman buah (jambu air, mangga dan rambutan) yang mendominasi di Desa Gunung Putri memiliki kemampuan dalam

(17)

menjerap partikel debu sehingga menurunkan konsentrasinya di udara. Selain itu, hasil penelitian juga diperkuat oleh hampir seluruh responden (93,02%) yang sependapat bahwa keberadaan vegetasi di pekarangan mampu mereduksi konsentrasi partikel debu.

5.3. Kajian Nilai Sosial Vegetasi Pekarangan

Berdasarkan kajian pengaruh faktor- faktor fisik vegetasi pekarangan terhadap nilai konsentrasi partikel debu di udara, diketahui bahwa keberadaan vegetasi pada RTH tipe pekarangan secara langsung mempengaruhi nilai konsentrasi partikel debu. Selain memberikan kenyamanan fisik, vegetasi di pekarangan juga memberikan kenyamanan sosial Irwan (1979). Menurut Soemarwoto (1983) pekarangan mempunyai fungsi ganda yang merupakan integrasi antara fungsi alam dengan fungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan ekonomi manusia. Fungsi ganda dari vegetasi pekarangan tersebut antara lain berupa efek iklim mikro, estetika, sosial dan produksi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pekarangan dengan segala corak, bentuk dan aneka komposisi penataan vegetasi di dalamnya tidak terlepas dari berbagai pengaruh faktor sosial, antara lain kearifan, cita rasa manusia, serta nilai sosial dan budaya penghuninya (Prasetyo 2006). Lingkungan fisik pekarangan yang meliputi kualitas dan keberadaan vegetasi secara langsung dipengaruhi oleh sikap penghuniya. Sikap adalah salah satu faktor pembentuk perilaku yang sebelumnya didasari oleh pengetahuan, pengalaman serta kemampuan seseorang dalam menterjemahkan apa yang terjadi di sekelilingnya, sehingga sikap setiap individu belum tentu sama dalam menanggapi permasalahan lingkugan yang terjadi di sekitar mereka.

5.3.1. Peran vegetasi dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Pengaruh partikel debu yang berada di udara bagi kesehatan sangat tergantung pada ukurannya (Pudjiastuti 2004). Ukuran partikel debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Dampak dari tercemarnya udara oleh debu bagi kesehatan manusia umumnya menyerang saluran pernapasan/Infeksi SaluranPernafasan Akut (ISPA) dan iritasi mata. Hal ini sesuai dengan keadaan 69,77% responden yang

(18)

menyatakan pernah mengalami ISPA dan 86,05% responden pernah mengalami iritasi mata. Hasil penelusuran data di Puskesmas Kecamatan Gunung Putri, juga menunjukkan bahwa ISPA adalah jenis penyakit yang paling banyak (45,3%) diderita warga di Kecamatan Gunung Putri (Gambar 15).

Sumber : Puskesmas Keca matan Gunung Putri (2009).

Gambar 15 Jumlah serta jenis penyakit yang diderita warga Kecamatan Gunung Putri selama tahun 2008.

Gambar 15 menunjukkan beberapa data yang berhasil dihimpun dari total kunjungan pasien selama tahun 2008 yang diklasifikasikan berdasarkan 10 besar jenis penyakit yang paling banyak diderita warga. Jenis-jenis penyakit tersebut yaitu ISPA, febris, diare, dermatitis, batuk, faringitis, sakit kepala, mialgia, arteritis dan hipertensi. Namun tidak diketahui data sumber pencemar yang mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit tersebut karena penyakit yang diduga akibat pencemaran udara sulit diidentifikasi secara pasti penyebabnya (dr. Prima¹ 30 Juli 2009, komunikasi pribadi).

Setiap warga negara berhak mendapat kesehatan dan kesejahteraan sosial, dan hidup dalam lingkungan fisik, sosial dan budaya yang sehat ( DPU 2008). Perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan serta mencegah resiko terjadinya penyakit dapat dilihat dari kepedulian mereka terhadap kualitas dan keberadaan vegetasi di pekarangan rumah. Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh responden (97,67%) sependapat bahwa semakin hijau pekarangan rumah maka akan semakin besar kemungkinan terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh partikel debu se hingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan mereka.

45,3% 9,3% 8,7% 8,7% 5,8% 5,4% 5,1% 4,4% 3,6% 3,6%

Jenis penyakit yang diiderita warga Kec. Gunung Putri tahun 2008 ISPA Febris Diare Dermatitis Batuk Faringitis Sakit kepala/pusing Mialgia Arteritis Hipertensi

(19)

Perwujudan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat selain dengan membangun kesadaran atau sikap yang baik masyarakat perlu juga did ukung oleh upaya dari pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu pemerintah daerah setempat harus segera mencari jalan keluar terhadap berbagai permasalahan lingkungan untuk mengantisipasi penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Pernyataan ini ditanggapi sangat setuju oleh 32,56% responden dan setuju oleh 62,79% responden.

5.3.2. Peran vegetasi dalam estetika dan kesehatan jiwa

Dahlan (2004) mengatakan bahwa nilai estetika yang muncul dari pekarangan rumah yang hijau dan tertata indah selain bermanfaat untuk pemilik rumah juga dirasakan manfaatnya oleh orang lain, baik tetangga rumah maupun yang melewatinya merasakan kesejukan, kesegaran dan keindahan. Memperhatikan manfaat- manfaat pekarangan sebagai salah satu bentuk dari RTH maka sebaiknya masyarakat mempunyai pekarangan rumah yang hijau seperti yang terlihat pada pekarangan beberapa responden (Gambar 16).

a b

c d

Gambar 16 Penataan pekarangan rumah yang hijau. (a) dan (b) bagian depan rumah; (c) dan (d) bagian belakang rumah.

(20)

Ukuran, bentuk, warna dan tekstur tana man serta unsur komposisi dan hubungannya dengan lingkungan sekitarnya merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas estetika (Irwan 2005). Keseluruhan unsur tersebut jika dipadu dengan konstruksi fisik kota seperti seperti gedung, pabrik, jalan dan sebagainya akan menghasilkan ataupun menambah nilai keindahan kota. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut pada bangunan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan atas keberadaan hutan kota terhadap nilai estetika menunjukkan bahwa masyarakat bersedia untuk membayar keberadaan hutan kota karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan (Tyrväinen 1998 diacu dalam Tinambunan 2007).

Sebesar 46,51% responden menanggapi sangat setuju dan 44,19% responden setuju terhadap pernyataan sebaiknya masyarakat memiliki pekarangan rumah yang hijau karena selain suasana sejuk, tenang, dan indah yang diciptakan vegetasi, pekarangan juga memberikan kesan alami sehingga secara psikologis vegetasi juga berfungsi untuk kesehatan jiwa dengan membantu mengurangi

stress. Meskipun sebagian besar responden sependapat bahwa pekarangan yang

hijau akan meningkatkan estetika dan kesehatan jiwa, faktanya dilapangan hanya sedikit responden yang memiliki pekarangan rumah yang hijau, bahkan berdasarkan hasil observasi di lapangan sangat sulit sekali menjumpai rumah-rumah dengan pekarangan yang hijau. Kawasan industri yang berada di sekitar lokasi penelitian juga sangat jarang yang memiliki sistem penghijauan yang baik. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dimiliki kawasan perindustrian umumnya dimiliki industri semen dengan skala besar seperti PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. dan PT. Holcim, Tbk.) seperti terlihat pada Gambar 17. Lokasi kedua industri ini pun hanya berbatasan dan tidak termasuk dalam kawasan Kecamatan Gunung Putri.

(21)

a b Gambar 17 RTH Tipe Kawasan Industri. 5.3.3. Fungsi produksi oleh vegetasi pekarangan

Pekarangan adalah ekosistem darat yang memiliki potensi produktivitas yang tinggi (Irwan 1992). Produksi yang dapat dihasilkan oleh lahan pekarangan antara lain buah-buahan, tanaman obat, tanaman hias dan sayur- mayur. Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pekarangan oleh masyarakat Desa Gunung Putri umumnya dengan menanami tanaman buah-buahan seperti jambu air (Syzygium samarangense), mangga (Mangifera indica), rambutan (Nephelium lappaceum), kelengkeng (Dimocarpus longan) dan sebagainya. Hal ini diperkuat dengan informasi yang diperoleh dari responden bahwa masyarakat di Desa Gunung Putri menanami pekarangan mereka dengan tanaman yang menghasilkan buah karena beberapa alasan antara lain; bibit mudah diperoleh, harga terjangkau, cepat tumbuh, pohon besar serta menghasilkan buah.

Menurut Soemarwotto (1983) fungsi produksi oleh pekarangan dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi produksi subsisten dan fungsi produksi komersial. Penggunaan lahan untuk pekarangan di Desa Gunung Putri mengikuti kedua fungsi tersebut, namun saat ini pekarangan cenderung hanya mengikuti fungsi subsistennya yaitu hasil produksi digunakan untuk keperluan sendiri. Hal ini diketahui dari salah seorang responden yang menetap di kawasan sudah lebih dari 24 tahun, menurutnya Desa Gunung Putri dahulunya adalah desa penghasil buah dan menjadi desa penyuplai buah utama bagi daerah-daerah di sekitarnya. Namun seiring dengan kemajuan pembangunan yang pesat, banyak masyarakat yang lebih memilih mengalihfungsikan pekarangan rumah mereka untuk keperluan yang lebih mendukung perekonomian.

(22)

5.3.4. Fungsi sosial vegetasi pekarangan

Pekarangan yang indah dan asri merupakan tempat yang nyaman untuk melakukan interaksi sosial baik dengan keluarga, teman, tetangga dan kerabat. Memanfaatkan pekarangan rumah sebagai tempat sarana interaksi sosial akan menciptakan suasana keakraban antar warga. Fungsi sosial dari sebuah pekarangan yang sangat terlihat adalah bahwa pekarangan merupakan simbol status penghuninya (Irwan 1992).

Salah seorang responden yang memiliki pekarangan rumah yang sangat rindang, besar dan asri menjadikan pekarangan rumahnya sebagai tempat berkumpul para keluarga dan kerabatnya secara rutin setiap minggu dengan mengadakan kegiatan arisan keluarga. Responden lain yang memenuhi lahan pekarangannya dengan tanaman obat juga mengemukakan bahwa setiap minggu ia mengadakan kegiatan terapi massal denga n kemampuan pengobatan tradisio nal yang dimilikinya. Hal- hal tersebut menunjukkan bahwa lahan pekarangan juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana interaksi sosial.

5.4. Kategori Sikap Masyarakat

Tanggapan yang diberikan responden merupakan data kualitatif. Data tersebut kemudian diubah menjadi data kuantitatif menggunakan skala Likert, sehingga dihasilkan skor sikap masing- masing responden. Sikap responden dikategorikan menjadi tiga yaitu buruk, sedang dan baik. Interval skor nilai tanggapan 1,00 - 2,99 termasuk kategori buruk, skor 3,00 - 3,99 termasuk kategori sedang dan skor 4,00 - 5,00 termasuk kategori baik. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa 76,74% responden memiliki sikap yang baik terhadap fungsi RTH tipe pekarangan (Gambar 18).

Gambar 18 Persentase kategori sikap responden.

0% 23,26% 76,74%

Kategori Sikap Responden

buruk sedang baik

(23)

Sikap masyarakat yang tergolong baik dapat didefinisikan bahwa masyarakat memahami benar fungsi RTH tipe pekarangan, terutama fungsi pekarangan rumah mereka untuk menghalangi banyaknya partikel debu yang akan masuk ke rumah. Mereka menyadari bahwa debu yang masuk kedalam rumah akan berdampak negatif bagi kondisi kesehatan, bahkan salah seorang reponden yang diwawancarai mengemukakan bahwa salah satu anggota keluarganya meninggal dunia karena penyakit asma keturunan yang diperparah dengan tingginya konsentrasi partikel debu di udara di kawasan mereka tinggal.

Tidak ada responden yang bersikap buruk karena pada dasarnya mereka menghendaki pekarangan rumah yang hijau dan asri. Responden yang memiliki pekarangan rumah yang tidak rindang karena keterbatasan lahan milik mereka. 5.4.1. Hubungan karakteristik responden dengan sikap responden

Karakteritik responden yang diduga mempengaruhi sikap reponden adalah umur, pendidikan, pekerjaan dan lama tinggal responden di lokasi penelitian (Lampiran 6). Jenis kelamin dianggap sebagai faktor yang kurang berpengaruh dalam pembentukan sikap sehingga tidak dimasukkan dalam karakteristik responden. Sikap seseorang sebagai salah satu faktor pembentuk perilaku tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, hal ini sesuai dengan penelitian Saragih (2007) yang menjelaskan bahwa perbedaan yang dapat dilihat antara responden pria dan wanita adalah responden wanita lebih terpengaruh perasaan mereka sedangkan responden pria tidak. Selain itu, Harihanto (2001) dalam penelitiannya juga tidak memasukkan jenis kelamin sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat.

Hasil analisis uji pengaruh karakteristik responden terhadap pembentukan sikap responden (Lampiran 7) menunjukkan bahwa umur, pekerjaan dan lama tinggal responden di kawasan penelitian memiliki pengaruh yang dalam proses pembentukan sikap (Tabel 20).

Tabel 20 Korelasi/hubungan antara karakteristik responden dengan kategori sikap yang terbentuk terhadap fungsi RTH pekarangan

Kar akteristik Responden Korelasi (rs) P-value

Umur 0,371 0,014 (*)

Pendidikan Forma l -0,033 0,832

Pekerjaan 0,475 0,001 (*)

La ma Tinggal 0,395 0,009 (*)

(24)

Umur merupakan salah satu faktor internal seseorang yang ikut mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis (Sujarwo 2004) sehingga biasanya umur menentukan kematangan sesorang sebelum bertindak. Berdasarkan Tabel 20 hasil uji korelasi Spearman (taraf α 0,1; r = 0,371), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur responden dengan kategori sikapnya. Semua responden (100%) pada kelas umur > 55 tahun memiliki sikap yang baik terhadap fungsi dan keberadaan pekarangan, hal ini karena mereka lebih sering mengikuti penyuluhan mengenai pentingnya tanaman dan penghijauan untuk menanggulangi permasalahan pencemaran udara sehingga dapat memahami isi penyuluhan yang diberikan serta mempengaruhi sikap mereka.

Pendidikan formal responden tidak mempengaruhi pembentukan sikap secara signifikan (taraf α 0,1; r = -0,033). Hasil ini dapat dilihat dari perolehan nilai setiap tingkat pendidikan: semua responden dengan tingkat pendidikan SD (100%) memiliki sikap yang baik terhadap pekarangan, responden yang berpendidikan sampai SMA dan Perguruan Tinggi berturut-turut hanya 78,95% dan 75% responden yang bersikap baik, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SMP hanya 58,33% yang bersikap baik. Tidak berpengaruhnya tingkat pendidikan formal terhadap pembentukan sikap menegaskan bahwa walaupun sebagian besar responden berpendidikan tinggi namun tidak berarti mereka mempunyai banyak pengetahuan tentang pencemaran udara oleh debu maupun fungsi pekarangan dalam mereduksi debu. Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan bahwa pemahaman mengenai polusi udara dari partikel debu dan fungsi vegetasi dalam pekarangan tidak diberikan dalam pendidikan formal yang telah ditempuh oleh sebagian besar responden.

Pekerjaan. Hasil uji korelasi pada Tabel 20 menunjukkan pekerjaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sikap masyarakat (taraf α 0,1; r = 0,475). Menurut Harihanto (2001), pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku. Pengaruh ini dapat bersifat langsung maupun melalui pengetahuan dan pengalaman. Seluruh responden dengan jenis pekerjaan PNS, pelajar, POLRI memiliki sikap yang baik terhadap fungsi RTH pekarangan. Sebaliknya, hasil penelitian menunjukkan pegawai industri yang memiliki s ikap baik hanya 40%, padahal secara teoritis seseorang yang pekerjaannya

(25)

berhubungan dengan dampak langsung dari partikel debu pencemar akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dibanding orang dengan pekerjaan lainnya. Hal ini dapat dikarenakan mereka sudah terbiasa dengan keadaan tempat bekerjanya sehingga tidak terlalu peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan.

Lama tinggal seseorang di suatu kawasan berkontribusi terhadap tingkat pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya (Harihanto 2001). Berdasarkan hasil analisis (Tabel 18), lama tinggal responden di lokasi penelitian berpengaruh nyata terhadap sikapnya (taraf α 0,1; r 0,395). Semakin lama responden tinggal di lokasi penelitian maka semakin tinggi tingkat pengalaman dan pengetahua nnya sehingga semakin baik pula sikap mereka terhadap fungsi dan keberadaan RTH. Sebanyak 86,67% dari responden yang sudah menetap di lokasi penelitian lebih dari 24 tahun bersikap baik terhadap fungsi dan keberadaan pekarangan rumah mereka. Analisis ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Harihanto (2001) dalam penelitiannya tentang persepsi, sikap dan perilaku masyarakat terhadap air sungai, bahwa persepsi, sikap dan perilaku masyarakat semakin baik seiring dengan semakin lamanya responden tinggal di lokasi penelitian.

5.5. Konservasi Lingkungan Hidup Kota

Manusia sering berusaha mengubah lingkungan untuk memperoleh dan melengkapi keperluannya, sehingga semakin besar dan maju suatu kawasan perkotaan akan semakin besar bahaya serta kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan. Menurut DTR Bogor (2009), Desa Gunung Putri yang merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Putri adalah wilayah dengan sebagian besar kawasan diperuntukkan bagi perindustrian dan pemukiman, padahal berdasarkan informasi yang diperoleh dari penduduk asli yang sudah menetap lebih dari 40 tahun diketahui bahwa Desa Gunung Putri dahulunya menyerupai kawasan hutan karena berada di kaki Gunung Putri yang terdapat bermacam- macam jenis pohon-pohon yang besar dan kokoh, suasana lingkunga nnya pun sejuk dan bersih.

Seiring semakin berkembangnya desa ini, sekitar tahun 1970-an terjadi pembangunan perusahaan industri secara besar-besaran, salah satunya adalah dengan dibangunnya pabrik industri semen yang kemudian diikuti dengan

(26)

pembangunan industri- industri menengah dan kecil lainnya. Pesatnya kemajuan pembangunan kota yang tidak dapat dipungkiri dipengaruhi dan akan mempengaruhi lingkungan hidup (Soemarwoto 1983). Dampak positif dari berbagai macam kemajuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat. Selain dampak positif adanya kebutuhan ruang untuk pembangunan kota juga membawa berbagai dampak negatif seperti berkurangnya kawasan hijau karena mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun serta masalah pencemaran lingkungan. Sebesar 81,40% responden sependapat bahwa pesatnya pembangunan kota telah mengorbankan sejumlah kawasan hijau. Padahal kawasan hijau dengan keberadaan vegetasi di dalamnya mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi dengan berbagai fungsi yang telah dijelaskan pada sub bab 5.3.

Prinsip utama upaya pembangunan berkelanjutan didasarkan pada prinsip landasan pelestarian fungsi sumberdaya alam terhadap setiap jenis kegiatan apapun agar bisa menopang pembangunan jangka panjang (DPU 2008). Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi sangat penting dalam mengendalikan dan memelihara kualitas lingkungan. Pekarangan rumah merupakan salah satu bentuk dari RTH, sehingga sifat-sifat/fungsi- fungsi dari RTH juga dimiliki pekarangan. Oleh karena itu setiap warga diharapkan juga dapat berpartisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat sudah memahami konsep penghijauan kota dengan adanya RTH, sebesar 93,02% responden sependapat dengan hal ini.

Pemerintah Kota Bogor dewasa ini sedang giat-giatnya melakukan upaya pembangunan dan pengembangan RTH yang pelaksanaannya diwujudkan melalui: (a) pembatasan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kecuali bagi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang memiliki fungsi vital, (b) rencana pembangunan dan pengembangan jalur hijau, taman kota, pekarangan di pemukiman sebagai bagian dari RTH dan (c) perlindungan dan pemeliharaan kawasan lindung (Hendrik Suherman² 30 Juli 2009 komunikasi pribadi). Lebih jelas ia menambahkan bahwa pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus disertai dengan siteplan yang akan diajukan, IMB baru diberikan apabila dalam

(27)

siteplan sebesar 60% sebagai Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau luasan

maksimal untuk lahan yang tertutupi/dibangun dan 40% disediakan sebagai lahan kosong yang difungsikan untuk membangun kawasan hijau.

Struktur penggunaan lahan di Desa Gunung Putri untuk lahan pertanian sawah kategori lahan tidak berpengairan (pekarangan rumah) seluas 27 ha dan lahan non pertanian (perumahan, industri, perkantoran, pertokoan dan sebagainya) seluas 217 ha, sehingga luas wilayah Desa Gunung Putri adalah 244 ha (BPS 2009). Berdasarkan data tersebut maka dapat dianalisa bahwa RTH yang ada hanyalah RTH tipe pekarangan rumah dengan luasan hanya 11,07% dari luas keseluruhan wilayah. Mengacu pada Undang- undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa luas minimum bagi RTH di wilayah perkotaan adalah sebesar 30% maka luasan RTH tipe pekarangan rumah yang ada di Desa Gunung Putri belum memenuhi kondisi ideal.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah perlunya campur tangan pemerintah setempat baik tingkat desa, kecamatan maupun daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta pemeliharaan RTH. Kawasan lokasi penelitian pernah dilakukan sosialisasi/pengenalan mengenai kawasan hijau dan program One Man One Tree (OMOT) oleh pemerintah daerah setempat serta beberapa kali penyuluhan tentang pentingnya peranan kawasan hijau untuk mengatasi permasalahan pencemaran udara. Harapan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah membangun kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam program penghijauan kawasan. Perusahaan industri di sekitar kawasan juga pernah membagikan bibit tanaman bagi setiap keluarga untuk ditanam di pekarangan mereka. Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut sebesar 90,70% responden memahami definisi, komponen penyusun serta bentuk-bentuk dari RTH.

Gambar

Tabel 12  Perbandingan konsentrasi partikel debu  hasil pengukuran dengan  baku   mutu debu di udara ambien
Tabel 14  Konsentrasi partikel debu di udara pada kedua jarak pengukuran
Tabel 15  Hasil pengukuran parameter vegetasi di kedua jarak pengukuran
Tabel  16    Reduksi  konsentrasi  partikel  debu  (µg/Nm³)  dari  plot  K  berdasarkan  kriteria kerindangan pekarangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi informasi sarana dan prasarana pendidikan berbasis WebGIS dipilih karena dalam penyampaian dan tampilan sebuah sistem informasi geografis lebih menarik dan

Ketika PT.PLN (Persero) melakukan pemadaman listrik dalam bentuk pemeliharaan maupun kerusakan maka pihak konsumen dapat menuntut haknya sesuai dalam Pasal 4 huruf

Dari tabel 3 menunjukkan bahwa mata jaring ukuran 2,5 inchi jenis ikan yang tertangkap sebanyak 14 jenis yaitu menurut persentase berat dan persentase jumlah ekor secara

Kesalahan ini terjadi karena pada penulisan aksara Latin, fonem ê, è, dan é hanya dituliskan dengan lambang fonem e saja. Siswa masih belum bisa membedakan kata atau kalimat

Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak melebihi Rp4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh mulai

Komposisi karya “Komposisi Kitab Kejadian : 7 Hari Penciptaan Untuk Piano Dan Strings” ini menggunakan metode eksplorasi dan merupakan karya musik program

Dengan sntralisasi baru birokrasi pemerintah dan efisiensi yang lebih besar dalam perpajakan, juga menjadi mungkin untuk mengkonsolidasi dan memerluas sistem hidrolis besar di

Berdasarkan hasil penelitian, semakin banyak penambahan serat ampas tebu maka tekstur kertas akan semakin kasar dikarenakan serat yang terdapat pada ampas tebu lebih