• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERTIFIKAT. Diberikan Kepada. Pdt. Ester Pudjo Widiasih, Ph.D. sebagai Pembicara dalam kegiatan Kursus Teologi Dasar Online Seri Pertama dengan judul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SERTIFIKAT. Diberikan Kepada. Pdt. Ester Pudjo Widiasih, Ph.D. sebagai Pembicara dalam kegiatan Kursus Teologi Dasar Online Seri Pertama dengan judul"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

SERTIFIKAT

Diberikan Kepada

Wakil Ketua I STFT Jakarta

Bidang Akademik

Pdt. Agustinus Setiawidi, Th.D.

sebagai Pembicara dalam kegiatan

Kursus Teologi Dasar Online Seri Pertama

dengan judul

Sakramen Perjamuan Kudus

yang diselenggarakan pada 10 September 2020

di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

(2)

Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada “Kuliah Dasar Teologi” Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

1. Sebagai salah satu upaya untuk pengabdian pada masyarakat, STFT Jakarta mengadakan kegiatan “Kuliah Dasar Teologi” (KDT) yang ditujukan kepada warga gereja. KDT bertujuan untuk memperkenalkan bahasan teologis dasar bagi para warga gereja.

2. Pada kesempatan seri KDT semester ini, saya mendapat tugas membahasa mengenai sakramen perjamuan (ekaristi).

3. Sesi mengenai sakramen diikuti oleh sekitar 30 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, beragam usia, dan berasal dari berbagai gereja.

4. Kegiatan ini dilaksanakan paa tgl. 10 September 2020 melalui Zoom Cloud Meeting.

5. Terlampir adalah makalah dan sertifikat.

Jakarta, 25 Februari 2020

(3)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

KURSUS TEOLOGI DASAR: SAKRAMEN PERJAMUAN

10 September 2020 Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.

Pendahuluan

Gereja-gereja Protestan mengenal dua macam sakramen, yaitu sakramen permandian (baptisan) dan sakramen perjamuan. Kedua ritus tersebut ditetapkan sebagai sakramen berdasarkan kepercayaan para reformator pada abad 16, misalnya Martin Luther dan Yohanes Calvin, bahwa Tuhan Yesus secara langsung

memerintahkan keduanya untuk dilaksanakan oleh para murid-Nya. Penetapan dua sakramen ini kemudian menjadi pembeda antara gereja-gereja Reformasi

(Protestan) dengan gereja Katolik Roma dan gereja-gereja Ortodoks, yang mengakui ada tujuh sakramen. Pada umumnya, gereja-gereja dari berbagai macam tradisi Kristen mengakui dasar alkitabiah dari sakramen perjamuan adalah Markus 14:22-25, Matius 26:26-29, Lukas 22:15-20, dan 1 Korintus 11:23-26, yang kemudian dikenal sebagai institution narratives (narasi ketetapan perjamuan). Pada saat gereja menyelenggarakan perjamuan kudus, biasanya salah satu ayat tersebut dibacakan untuk menandaskan bahwa pelaksanaan perjamuan tersebut merupakan perintah Tuhan Yesus.

Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebutkan sakramen perjamuan. Beberapa istilah tersebut bahkan digunakan untuk menyebutkan keseluruhan ibadah.

1. Ekaristi (Yunani): pengucapan syukur; istilah ini biasa dipakai di gereja Katolik Roma dan gereja-gereja Lutheran (di luar Indonesia).

2. Misa: missa berasal dari frasa bahasa Latin ite, missa est, yang diucapkan di akhir ibadah, yang berarti berarti berpencar, diutus, atau bubar (dismissal). 3. Liturgi ilahi (liturgi suci) (Divine liturgy) dipakai khususnya di kalangan

gereja Ortodoks Timur.

4. Kurban suci (holy qurbana); istilah ini biasa dipakai di gereja-gereja Ortodoks Orienal.

5. Perjamuan kudus (holy communion) 6. Perjamuan Tuhan (Lord’s supper)

(4)

7. Pengenangan akan Tuhan (Lord’s memorial) 8. Pelayanan (liturgi) meja

9. Persembahan (kurban): offering (of sacrifice), atau hanya disebut kurban. 10. Anaphora, istilah Yunani yang berarti persembahan. Anafora juga sering

dipakai untuk menyebutkan Doa Syukur Agung (Eucharistic prayer).

Asal-mula Sakramen Perjamuan

Makan bersama sebagai sebuah perayaan persekutuan merupakan praktik yang biasa terjadi dalam berbagai komunitas. Sakramen perjamuan, dari sudut ritual, merupakan salah satu bentuk ritus makan bersama komunitas keagamaan. Sakramen ini bukan “inovasi” baru dari komunitas Kristen. Ia berasal dari ritual makan bersama dalam komunitas Yahudi dan komunitas Yunani-Romawi. Namun, ritual makan bersama komunitas Kristen ini diberi pemaknaan baru yang

mencerminkan kepercayaan kristiani.

Tradisi Yahudi mengenal ibadah di Bait Allah yang berpusatkan pada

persembahan korban bakaran (misalnya, lihat Keluaran 29:38-39). Pelaksanaan doa harian pada pagi dan petang juga melibatkan pengorbanan hewan dan tumbuhan. Korban yang dibakar dipercaya sebagai persembahan bagi Allah untuk menyatakan adanya relasi antara Allah dengan jemaat (persekutuan umat) dan merupakan cara seseorang untuk bersekutu bersama Allah. Persembahan korban bertujuan pula sebagi pernyataan perjanjian antara Allah dengan umat-Nya dan berbagai macam tujuan lainnya. Salah satu tujuan mempersembahkan korban bakaran kepada Allah adalah sebagai sarana penghapusan dosa. Gambaran persembahan korban sangat kuat hadir dalam ayat-ayat penetapan perjamuan: “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Matius 26:28). Mazmur-mazmur yang dinyanyikan dalam ibadah Bait Allah yang

mengiringi persembahan korban juga dinyanyikan oleh para murid Yesus saat

perjamuan terakhir dan terus dimadahkan oleh komunitas Kristen hingga kini dalam perjamuan kudus (misalnya “Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan” –

Mazmur 11:9; 118:26).

Ketika orang-orang Yahudi berada di tanah pembuangan, mereka mendirikan sinagoge sebagai tempat belajar dan beribadah. Ibadah di sinagoge berpusat pada doa harian komunal dan pelayanan firman. Selain itu, ibadah di sinagoge melibatkan doa-doa, khususnya doa pengucapan syukur atas karya Allah. Dalam doa

(5)

pengucapan syukur itu disebutkanlah karya-karya Allah yang ajaib yang ditujukan bagi umat-Nya. Doa-doa seperti itu memiliki fungsi pengakuan iman (creedal

prayer). Allah dipuji karena karya penyelamatan di masa lampau dan kepercayaan

bahwa Allah akan terus berkarya bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, doa semacam ini juga berfungsi sebagai proklamasi akan kebesaran Allah. Unsur doa pengucapan syukur ini juga terkadung dalam praktik sakramen perjamuan. Gereja Katolik, Anglikan, sebagian gereja Lutheran, dan gereja-gereja Ortodoks mengenal doa syukur agung (atau anaphora) yang berisi ingatan akan karya Allah mulai dari penciptaan, penyelamatan bangsa Israel dari penjajahan, peristiwa penyelamatan oleh Tuhan Yesus Kristus, pencurahan Roh Kudus, hingga berdirinya Gereja Tuhan. Doa syukur agung merupakan doa pengucapan syukur atas karya penyelamatan Allah itu dan pujian kepada Allah. Selain dari makan/minum bersama, doa syukur agung merupakan bagian penting dari ritus perjamuan kudus di gereja-gereja tersebut, yang berfungsi sebagai persembahan korban syukur kepada Allah.

Tradisi makan bersama dalam keluarga Yahudi, khususnya perjamuan

Paskah, juga menjadi cikal-bakal sakramen perjamuan Kristen (Keluaran 12:25-27). Ketiga Injil sinoptik menceritakan mengenai Tuhan Yesus yang mengadakan

perjamuan Paskah bersama para murid, yang bagi mereka merupakan perjamuan terakhir. Perjamuan Paskah Yahudi merupakan peringatan akan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dan penantian akan kedatangan Mesias yang

menyelamatkan. Dalam perjamuan terakhir bersama dengan para murid-Nya, Tuhan Yesus mengubah pemaknaan perjamuan Paskah tersebut. Acara makan bersama dalam keluarga dalam rangka merayakan Paskah, yang sudah familiar bagi para murid, dimaknai secara baru. Mesias yang dinantikan sudah terjelma dalam diri Tuhan Yesus yang telah menetapkan perjanjian baru antara Allah dan umat-Nya. Dalam narasi penetapan perjamuan disebutkan bahwa penyelamatan yang Allah lakukan melalui Yesus, Sang Mesias, adalah pembebasan dari kuasa dosa, bukan lagi kuasa penjajahan bangsa asing. Darah yang digunakan sebagai simbol penyelamatan adalah darah-Nya sendiri, yang disebutkan sebagai “darah perjanjian, yang

ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” Pemaknaan baru ini dikenakan pada aksi ritual makan bersama yang biasa dilakukan di dalam keluarga Yahudi: mengambil roti (atau mengambil cawan), mengucap berkat (pengucapan syukur), memecahkan roti, dan memberikan kepada para murid. Setelah itu, barulah para murid memakan roti dan meminum anggur bersama.

(6)

Aksi Tuhan Yesus yang dicatat dalam kitab-kitab Injil sinoptik dan 1 Korintus kemudian juga dilanjutkan oleh gereja. Gregory Dix, seorang ahli liturgi dari gereja Anglikan, mencatat ada empat aksi dalam perjamuan kudus: mengambil, mengucap syukur, memecah-mecah, dan membagikan. Peristiwa perjamuan terakhir Tuhan Yesus dengan para murid-Nya inilah yang kemudian menjadi dasar dari pelaksanaan dan pemaknaan sakramen perjamuan. Hingga kini, banyak gereja masih

mendasarkan praktik perjamuan kudus dengan mengingat perjamuan terakhir Tuhan Yesus dan para murid sebelum Tuhan Yesus ditangkap, mengalami sengsara, wafat, dikuburkan, dan bangkit kembali pada hari yang ketiga. Ingatan ini seringkali menyebabkan pelaksanaan perjamuan kudus menjadi muram. Yang diingat

terutama adalah kesengsaraan dan wafat Tuhan. Namun, kitab-kitab Injil juga

mencatat perjamuan makan yang Tuhan Yesus lakukan bersama dengan para murid-Nya setelah kebangkitan-murid-Nya. Kisah perjalanan ke Emaus dalam Injil Lukas (Lukas 24:13-35) menegaskan aksi Tuhan Yesus yang sama dalam menjadi penjamu bagi murid-Nya: “Waktu Ia [Tuhan Yesus] duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka” (ayat 30). Perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit di meja makan

membuat para murid bersukacita dan mendorong mereka untuk menjadi para saksi kebangkitan-Nya. Suasana sukacita ini juga sebaiknya menyelimuti sakramen

perjamuan kudus gereja masa kini. Yang diperingati bukan hanya kesengsaraan dan kematian Tuhan Yesus, tetapi juga kebangkitan-Nya dan kehadiran Tuhan yang terus kita alami dalam kehidupan kita. Oleh sebab itu, perjamuan kudus disebut sebagai sebuah perayaan yang mengharukan sekaligus menggembirakan.

Gereja juga mengingat acara makan bersama lainnya yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari para pemimpin agama hingga orang-orang yang dicap berdosa. Dengan makan bersama Tuhan Yesus memberitakan mengenai Allah yang mengasihi, tetapi juga mewujudkan kasih Allah itu bagi semua orang. Oleh karena itu, sakramen perjamuan kudus juga menjadi dasar karya misional gereja: gereja yang hadir di tengah-tengah masyarakat, gereja yang merangkul orang-orang yang disingkirkan dalam masyarakat, dan gereja yang berbagi rezeki dengan orang-orang miskin.

Jemaat Kristen mula-mula, sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 2:42-46, tetap melaksanakan perintah Tuhan untuk mengenang-Nya dengan makan bersama. Suasana makan bersama yang gembira tergambar dari perikop tersebut. 1

(7)

Korintus 11:17-34 menceritakan pelaksanaan perjamuan malam yang, menurut Rasul Paulus, tidak menggambarkan perjamuan ideal para pengikut Kristus yang

dikenalnya. Perjamuan malam dalam jemaat Korintus sering dijadikan acuan bagaimana seseorang harus bersikap dalam ambil bagian dalam perjamuan kudus, khususnya bagaimana seseorang harus menilik diri dan menjauhkan diri dari hidup dalam dosa. Dalam cerita tersebut, kita dapat belajar bahwa orang-orang Kristen di kota Korintus melakukan perjamuan malam seperti tatacara perjamuan orang Yunani-Romawi, yaitu symposium. Dalam tatacara makan tersebut, status sosial seseorang menentukan di mana ia mendapat tempat duduk (berbaring) dan kapan seseorang dapat memulai makan. Praktik ini menjadikan jemaat Korintus terpecah berdasarkan status sosial mereka dalam masyarakat. Warga jemaat yang dapat datang ke perjamuan malam lebih dulu akan makan tanpa menunggu mereka yang belum datang. Biasanya, mereka ini adalah orang-orang kaya, yang tidak perlu bekerja hingga malam. Warga jemaat yang datang kemudian adalah para pekerja biasa atau malah pekerja rendahan yang harus bekerja hingga malam. Tentu saja, para pekerja yang datang terlambat tidak mendapatkan makanan yang cukup, padahal ada kemunginan mereka tidak mampu membeli makanan untuk makan malam. Menurut Paulus, perjamuan malam orang-orang Kristen harus dilakukan untuk mengingat Tuhan Yesus Kristus yang telah mengajarkan bagaimana

perjamuan seharusnya dilakukan, yaitu untuk mengenang karya penyelamatan Allah. Jemaat, sebagai tubuh Kristus, seharusnya makan bersama seperti layaknya memberitakan kematian Tuhan hingga Ia datang kembali. Latar belakang jemaat di Korintus adalah ada perpecahan dalam jemaat yang tampak juga dalam cara mereka makan bersama. Menurut Paulus, sebagai sebuah persekutuan, mereka harus

menunggu anggota jemaat yang belum datang untuk makan bersama, sehingga mereka yang belum datang (yang biasanya adalah para pekerja rendahan) dapat turut serta makan bersama. Makan bersama merupakan cara jemaat di Korintus untuk mewujudkan kasih antarsesama anggota jemaat. Oleh karena itu, praktik makan jemaat mula-mula dikenal pula sebagai love feast (perjamuan kasih), yang juga disebut perjamuan ekaristi (perjamuan pengucapan syukur). Bentuk perjamuan di gereja mula-mula adalah makan malam dengan jenis makanan yang biasa untuk perjamuan makan, dengan roti dan anggur sebagai makanan utama, seperti

(8)

Sakramen perjamuan di dalam sejarah gereja

Tidak jelas kapan perjamuan malam yang memakai menjadi perjamuan kudus seperti yang kita lakukan saat ini, yang hanya memakai roti dan anggur dalam

jumlah yang sangat terbatas. Dalam tulisannya pada abad kedua, St. Yustinus Martir menyebutkan adanya praktik perjamuan ekaristi yang menggunakan roti dan air yang dicampur anggur. Sejalan dengan perkembangan jumlah anggota jemaat Kristen, perjamuan makan dengan berbagai makanan menjadi sulit dilaksanakan. Persekusi terhadap umat Kristen menjadikan mereka harus beribadah dengan sembunyi-sembunyi yang menyebabkan perjamuan makan penuh tidak

memungkinkan, apalagi karena hari Minggu bukanlah hari libur menurut hukum Romawi pada waktu itu. Kedua alasan praktis inilah yang mungkin menjadi alasan perjamuan makan dengan beragam makanan menjadi sebuah perjamuan simbolis dengan makanan dan minuman yang terbatas.1

Tidak ada pula catatan adanya penyeragaman tata cara perjamuan. Dalam

Didakhe, sebuah risalah pengajaran Kristen dari abad pertama Kekristenan,

disebutkan bahwa pelayan perjamuan dapat menyusun doa syukur-nya sendiri. Hal ini dituliskan juga dalam tulisan St. Yustinus Martir. Tulisan St. Yustinus juga menyebutkan bahwa perjamuan ekaristi didahului dengan pembacaan tulisan para rasul atau para nabi dibacakan yang dilanjutkan dengan khotbah (homili). Setelah khotbah, roti dan anggur dibawa ke meja perjamuan. Doa syukur kemudian

diucapkan yang dilanjutkan dengan komuni (makan dan minum) bersama. Selesai makan-minum, para diaken membawa roti yang tersisa untuk diberikan kepada mereka yang tidak dapat hadir. St. Yustinus juga mencatat bahwa orang-orang yang berkecukupan mengumpulkan persembahan (sumbangan) untuk membantu para janda dan yatim piatu. Dari tulisan tersebut, gereja saat ini belajar mengenai kesatuan antara pemberitaan firman dan sakramen perjamuan, pelaksanaan

perjamuan di rumah-rumah bagi mereka yang karena kondisi fisik yang lemah tidak mungkin datang ke gereja untuk turut serta dalam perjamuan, dan penggunaan persembahan sebagai bagian dari pelayanan diakonia gereja sebagai perpanjangan dari pelayanan meja.2

1Laurence Hull Stookey, Eucharist: Christ’s Feast with the Church, (Nashville: Abingdon Press, 1993),

60-61.

2Teks tulisan St. Yustinus Martir yang berhubungan dengan perjamuan ekaristi dapat dibaca di E.

(9)

Teks liturgis yang ditulis oleh Hipolitus dari abad ketiga, dalam dokumen

Traditio Apostolica (Tradisi Rasuli) memberikan gambaran bagaimana perjamuan

kudus dilakukan di Roma. Hipolitus menekankan pelayanan perjamuan kudus hanya dapat dilakukan oleh seorang uskup. Pembaruan teks dan struktur dasar liturgi perjamuan kudus di gereja-gereja arus utama dari tradisi Kekristenan Barat pada pertengahan abad ke-20 dipengaruhi oleh teks perjamuan kudus tulisan Hipolitus ini. Dalam teks tersebut, perjamuan kudus dimulai dengan persembahan dan dilanjutkan dengan percakapan sursum corda (angkatlah hatimu), doa syukur agung, komuni, dan ditutup dengan doa setelah komuni. Doa syukur agung memperlihatkan pengucapan syukur atas karya penyelamatan Allah, seperti doa pengucapan syukur dalam perjamuan Yahudi. Bedanya, doa syukur agung menurut Hipolitus disusun berdasarkan pola trinitarian. Dalam doa itu pengucapan syukur dinaikkan berdasarkan pengenangan atas Bapa yang mencipta dan menyelamatkan bangsa Israel, atas karya penyelamatan Tuhan Yesus Kristus mulai kelahiran, karya-Nya selama hidup di dunia, kesengsaraan, kematian, kebangkitan-karya-Nya, hingga kenaikkan-Nya ke sorga, serta atas karya Roh Kudus yang melahirkan Gereja dan menjadi daya kehidupan baru bagi manusia dan seluruh ciptaan Allah. Selain itu, di dalam doa syukur agung menurut Hipolitus, ada penetapan perjamuan kudus (words of institution), yang dalam beberapa tradisi gereja (khususnya Kekristenan Barat) menjadi saat konsekrasi roti dan anggur.

Narasi pelaksanaan ekaristi (perjamuan kudus) dan teks perjamuan kudus menurut Hipolitus bukanlah satu-satunya cara dan teks doa. Berbagai gereja di berbagai tempat memiliki cara pelaksanaan dan teks liturgis ekaristi yang khas sesuai dengan pemahaman teologis dan tradisi kultural gereja tersebut. Misalnya, saat ini kita memiliki tata cara ekaristi dan teks doa syukur agung (anaphora) St. Yakobus yang berasal dari gereja di Alexandria dan Antiokhia, Addai dan Mari yang berasal dan diberlakukan di gereja Armenia dan Suriah Timur, Basilius dari Asia Kecil, Yohanes Krisostomus dari Bizantin, dan sakramentari Leonin, Gelasian, dan Gregorian berasal dari tradisi Romawi. Teks liturgis ini hingga sekarang masih dipakai oleh gereja-gereja dari tradisi Kekristenan tersebut atau mendasari teks liturgis mereka.

Setelah gereja menjadi semakin mapan dan menjadi gereja negara, liturgi menjadi semakin baku dan mengambil alih unsur budaya setempat. Di gereja Barat (berpusat di Roma), ekaristi dilakukan dalam bahasa Latin dengan menekankan

(10)

peran imam sebagai pelaku utama ibadah. Untuk menjaga misteri perjamuan kudus, teks doa diucapkan dengan lirih. Umat hampir tidak dapat mendengar suara imam. Pada bagian tertentu, “Inilah tubuh-Ku…,” imam memperkeras suaranya sehingga dapat didengar dengan jelas oleh umat. “Inilah tubuh-Ku” merupakan bagian dari kata-kata penetapan perjamuan (the words of institution), yang di Gereja Barat pada Abad Pertengahan merupakan bagian terpenting dalam doa syukur agung.

Substansiasi roti dan anggur dipercaya berubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus saat the words of institution tersebut diucapkan oleh imam. Peristiwa ini dikenal sebagai saat konsekrasi.

Pada Abad Pertengahan, muncul perdebatan antara Paschasius Radbertus dan Ratramnus mengenai penjelasan perubahan substansi roti dan anggur

perjamuan kudus menjadi substansi tubuh dan darah Kristus. Bagi Radbertus, perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus terjadi secara realistik. Artinya, apa yang disantap dalam ekaristi adalah benar-benar tubuh dan darah Yesus historis. Berbeda dengan Radbertus yang mengajarkan realisme, Ratramnus

menjelaskan perubahan tersebut dari sudut simbolisme. Roti dan anggur dalam ekaristi merupakan simbol atau gambaran dari tubuh dan darah Kristus yang mulia, yang tidak sama dengan tubuh dan darah Yesus historis yang dulu pernah hidup di Palestina. Menurut Martasudjita, pertentangan ini disebabkan oleh gagasan

anamnesis (mengingat yang menghadirkan sebagaimana ada dalam tradisi Yahudi) tidak dikenal lagi pada masa itu dan perbedaan pemahaman filsafat tentang simbol yang dipertentangkan dengan yang disimbolkan.

Pendapat Radbertus selanjutnya dikembangkan oleh Berengarius dari Tours pada abad XI, yang menolak perubahan roti dan anggur secara substansial dalam ekaristi dan, tentu saja, menolak kehadiran Kristus secara nyata (realis praesentia

Christi) dalam kedua elemen ekaristi tersebut. Setelah konsekrasi, roti dan anggur

tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus secara nyata (real, sungguh-sungguh), tapi secara simbolis. Oleh karena itu, seorang warga gereja yang makan roti dan minum anggur dalam ekaristi hanya menyantapnya secara spiritual. Pemahaman Berengarius ini bertentangan dengan ajaran Gereja Roma pada masa itu, sehingga ia dianggap sebagai sesat. Namun, ajaran Berengarius ini tidak hilang begitu saja. Beberapa reformator gereja pada tahun-tahun selanjutnya mendasarkan ajaran mereka pada kehadiran Kristus dalam perjamuan kudus secara simbolis.

(11)

Ajaran transubstansiasi semakin diperkuat oleh teologi Skolastik, khususnya menurut ajaran Thomas Aquinas. Menurut Aquinas, tubuh dan darah Kristus benar-benar hadir dalam roti dan anggur perjamuan. Perubahan substansi elemen

perjamuan itu terjadi setelah konsekrasi. Setelah kata-kata penetapan diucapkan oleh imam, substansi (hakikat atau esensi) roti dan anggur tidak ada lagi dan diubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus. Hal ini dapat terjadi karena kuasa Allah. Imanlah yang berperan untuk mengamini peristiwa transubstansiasi ini dan bukan nalar manusia.3Selain itu, Aquinas juga berpendapat bahwa ekaristi adalah

sakramen rahmat, karena melalui makan dan minum tubuh dan darah Kristus, umat dipersatukan dengan Kristus. Oleh karena persatuan tersebut, umat mendapatkan rahmat penyelamatan Allah, di antaranya termasuk pegampunan dosa dan hidup kekal.

Dengan menguatnya pemahaman transubstansiasi di Gereja Barat,

berkembanglah spiritualitas ekaristi yang menekankan kegentaran untuk menerima roti dan anggur yang adalah tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya.

Kegentaran ini juga disebabkan oleh rasa keberdosaan yang sangat kuat dan

kepercayaan akan purgatori sebagai tempat penyucian ketika seseorang telah wafat sementara dia dianggap belum masuk ke sorga. Akibatnya, umat pada waktu itu jarang makan roti (yang berupa hosti), apalagi minum anggur yang hanya diperuntukkan bagi para imam. Berkembang juga devosi kepada Sakramen Mahakudus, yaitu devosi yang dilakukan dengan memandang Tuhan yang hadir dalam Hosti yang telah dikonsekrasi. Praktik elevasi Hosti Suci terinspirasi dari keinginan umat untuk memandang Tubuh Tuhan yang hadir dalam hosti tersebut. Memandang Hosti Suci dipercaya dapat membawa berbagai mukjizat, seperti

kesembuhan, kesuksesan, dan memberikan karunia rohani. Umat merasa tidak perlu lagi menyantap Hosti Suci, karena hanya dengan komuni batin, yaitu memandang Hosti Suci, rahmat Allah telah diterima. Makna ekaristi menjadi menyempit. Kehadiran Kristus dalam keseluruhan liturgi juga dibatasi hanya dalam Hosti Suci tersebut yang dipercaya memiliki kuasa magis. Keterlibatan aktif umat dalam ekaristi menjadi sangat minim. Pada umumnya, umat hanya menyambut komuni setahun sekali (diwajibkan pada hari Paskah), karena merasa tidak layak menerima

(12)

langsung Tubuh Tuhan dan karena sebagai syarat menerima komuni adalah melakukan sakramen pengakuan dosa pribadi.

Pada Abad Pertengahan, umat tidak lagi meminum anggur perjamuan kudus. Doktrin concomitance, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa tubuh dan darah

kristus hadir dalam setiap remah roti dan tetesan anggur, menyebabkan umat hanya dapat menerima hosti saja. Ekaristi juga dipandang sebagai pengurbanan Kristus kembali, bukan sebagai anamnesis atas kurban Kristus di Golgota. Oleh sebab itu, ekaristi juga mengandung daya untuk memuaskan keadilan Allah dan sebagai pengampunan dosa.

Ajaran dan praktik perjamuan kudus semacam itu menjadi salah satu pemicu gerakan pembaruan gereja yang dilakukan oleh para reformator, dimulai oleh John Wycliff, Jan Hus, dan akhirnya oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, Martin Bucer, John Knox, dan lainnya. Para reformator sepakat bahwa perjamuan kudus, bersama dengan baptisan, merupakan sakramen yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus. Mereka tidak mengakui kelima sakramen lainnya (rekonsiliasi (tobat),

pernikahan, imamat, penguatan (krisma), dan pengurapan orang sakit), karena Alkitab tidak menuliskan bahwa Tuhan Yesus memerintahkan kelima sakramen tersebut untuk dilakukan oleh para murid-Nya. Para reformator menekankan sola

scriptura (berdasarkan pada sabda Allah) dan khotbah yang menjelaskan sabda

Allah. Oleh sebab itu, penekanan berikutnya adalah ibadah harus dapat dipahami oleh umat. Ibadah dalam Latin diganti menjadi ibadah (termasuk perjamuan kudus) dalam bahasa lokal yang dapat dipahami oleh umat. Dimulai oleh Jan Hus, para reformator memperbolehkan umat untuk minum anggur perjamuan. Perjamuan kudus harus diselenggarakan setiap Minggu atau sesering mungkin, karena melaluinya perintah Tuhan Yesus dituruti dan iman umat dikuatkan. Yohanes Calvin, misalnya, menghendaki agar perjamuan kudus dilayankan setiap Minggu. Sayangnya, dewan kota dan kebanyakan pemimpin jemaat Jenewa lebih memilih pendapat Zwingli yang menyelenggarakan perjamuan kudus di Zurich hanya empat kali setahun.

Para reformator menentang pemahaman transubstansiasi, tetapi mereka tidak sepakat bagaimana memaknai hubungan antara roti dan anggur dengan tubuh dan darah Kristus. Martin Luther memahami bahwa Kristus dapat hadir (secara material dan spiritual) di mana-mana (ubiquity). Kristus hadir dalam, dengan, di bawah (in, with and under) roti dan anggur perjamuan. Namun, Luther menolak

(13)

transubstansiasi. Bagi Luther, substansi dari roti dan anggur tidak berubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus. Substansi tubuh dan darah Kristus hadir

bersama dengan hakikat roti dan anggur. Menurut Luther, perjamuan kudus mengandung rahmat Allah, termasuk pengampunan dosa, bagi umat yang makan dan minum tubuh dan darah Kristus.

Ulrich Zwingli berpendapat bahwa perjamuan kudus berfungsi sebagai pengenangan akan penyelamatan Kristus dan tidak menghasilkan hal-hal rohani. Dengan kata lain, perjamuan kudus tidak mendatangkan anugerah Allah. Roti dan anggur adalah lambang yang secara spiritual mengingatkan umat akan kisah penderitaan Kristus. Bagi Zwingli, perjamuan kudus merupakan alat yang membangkitkan ingatan umat akan karya penyelamatan Kristus. Perjamuan di Zurich dilaksanakan dalam kesederhanaan, karena Zwingli menginginkan

perjamuan tersebut sama seperti perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus bersama para murid-Nya. Berbeda dari Luther, Zwingli tidak memercayai tubuh dan darah Kristus hadir dalam roti dan anggur, karena tubuh Kristus berada di sorga. Pendapat Zwingli tentang perjamuan kudus dapat disebut sebagai memorialisme.

Yohanes Calvin percaya bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus adalah tubuh dan darah Kristus. Tapi ia menentang trans-substansiasi yang diajarkan oleh Gereja Roma dan ubiquity menurut Luther. Tubuh Kristus ada di sorga dan tidak mungkin berada dalam roti dan anggur. Di lain pihak, Calvin tidak setuju dengan Zwingli yang menggangap roti dan anggur dalam perjamuan kudus adalah lambang kosong, yang hanya mengingatkan secara spiritual kisah

kesengsaraan Yesus. Menurut Calvin, dengan makan tubuh dan darah Kristus, umat dipersatukan dengan Kristus melalui karya Roh Kudus. Ketika ditanya bagaimana roti dan anggur dapat menjadi tubuh dan darah Kristus, Calvin mengaku tidak dapat menjelaskannya sesuai akal manusia. Roh Kudus-lah yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Umat juga diundang untuk mengangkat hati kepada Kristus yang ada di sorga dan tidak hanya memusatkan perhatian pada roti dan anggur di meja. Selanjutnya, Calvin tidak berkeberatan bila perjamuan kudus disebut ekaristi, karena perjamuan kudus juga merupakan ungkapan syukur umat kepada Allah atas

anugerah Allah yang ternyatakan dalam perjamuan tersebut.

Dalam sejarah gereja terlihat bahwa tidak ada keseragaman pemahaman dan praktik perjamuan kudus atau ekaristi di antara berbagai tradisi Kekristenan. Hal ini terjadi juga sampai saat ini. Ajaran dan praktik perjamuan kudus menurut para

(14)

reformator abad-16/17 masih sangat berpengaruh hingga kini dan menjadi tradisi-tradisi tersendiri yang diikuti oleh gereja-gereja di berbagai negara hasil penginjilan para misionaris dari tradisi tersebut, misalnya Lutheran, Calvinist, Methodist, Baptist, dsb. Di kalangan gereja-gereja Reformasi (Protestan) di Indonesia

khususnya, meskipun sama-sama menolak ajaran transubstansiasi, masing-masing (sinode) gereja memiliki ajaran dan praktik perjamuan kudus berdasarkan pada tradisi para misionaris, tetapi juga sedikit-banyak disesuaikan dengan pemahaman kontekstual komunitasnya.

Makna teologis sakramen perjamuan

Pada awal abad-20, gerakan ekumenis semakin menguat. Gereja dari berbagai macam tradisi Kekristenan berupaya untuk mewujudkan doa Tuhan Yesus “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa

Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:21). Dialog antar-gereja dengan tradisi yang berbeda dilakukan untuk saling mengenal, termasuk mengenal perbedaan dan persamaan ajaran dan praktik peribadahan. Berbagai organisasi ekumenis didirikan sebagai akibat dari dialog-dialog tersebut, di antaranya adalah Faith and Order yang kemudian bergabung menjadi salah satu komisi dalam Dewan Gereja se-Dunia (DGD – World Council of Churches).

Sebagai hasil dari dialog yang cukup panjang, pada tahun 1982 Komisi Faith and Order (Komisi Ajaran dan Tata Gereja) meluncurkan sebuah dokumen yang diberi judul Baptism, Eucharist, and Ministry (BEM). Dokumen tersebut berisi penjelasan dogmatis sakramen baptisan, ekaristi (perjamuan kudus), dan pelayan (jabatan) gerejawi, yang merupakan konsensus dari gereja-gereja anggota DGD yang berasal dari tradisi Kekristenan Timur (Gereja Ortodoks Timur dan Oriental) dan tradisi Kekristenan Barat (khususnya gereja-gereja Reformasi). Meskipun Gereja Katolik Roma tidak menjadi salah satu anggota DGD, perwakilan GKR turut menjadi rekan dialog yang setia, sehingga dogma dan praktik GKR juga mewarnai dokumen BEM. Ada lima makna sakramen perjamuan kudus (ekaristi) yang terdapat dalam

(15)

BEM, yang dapat pula dipertimbangkan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi pelaksanaan sakramen ini di jemaat lokal.4

1. Sakramen perjamuan merupakan sarana penyataan kasih dan anugerah Allah kepada umat-Nya, sekaligus penyataan rasa syukur umat kepada Allah.

Meskipun ada banyak kesulitan dan kesengsaraan di dunia, kita bersyukur kepada Alla akan anugerah kehidupan. Kita berterima kasih kepada Allah yang telah menjadi manusia dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan ciptaan-Nya. Kita pun bersyukur atas kehadiran Allah, dalam Roh Kudus, yang terus-menerus membarui kehidupan di dunia ini. Perjamuan kudus juga menjadi pengucapan syukur gereja atas karya penyelamatan Allah dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

2. Sakramen perjamuan merupakan pengenangan akan Kristus Yesus (bnd. 1 Korintus 11:23-25; bnd. Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20). Pengenangan yang dimaksud adalah tindakan anamnesis: mengingat yang menghadirkan kembali, bukan hanya mengingat peristiwa masa lampau. Gereja percaya bahwa kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus, meskipun terjadi di masa lalu, masih berdaya guna untuk menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan pada masa kini, bahkan hingga masa yang akan datang, sampai Tuhan datang kembali dalam kemuliaan-Nya. Dalam Perjamuan Kudus, gereja juga percaya bahwa Tuhan Yesus sendiri hadir, menyatakan diri-Nya sebagai Sang Sumber Kehidupan dalam simbol makanan dan minuman. Dengan makan dan minum dalam Perjamuan Kudus, jemaat merayakan penebusan dan penyucian dirinya. Oleh sebab itu, melalui Perjamuan Kudus, jemaat pun mempersembahkan korban syukur dan mempersembahkan diri-Nya untuk hidup dalam kekudusan dan menjadi pendamai di dunia.

3. Sakramen perjamuan merupakan doa kepada Roh Kudus. Kehadiran Tuhan Yesus Kristus dalam Perjamuan Kudus dan pengucapan syukur kepada Allah Bapa terjadi melalui karya Roh Kudus. Gereja memohon kepada Roh Kudus

4Lihat Baptism, Eucharist, and Ministry (Faith and Order Paper No. 111), (Geneva: World Council of

(16)

untuk dimampukan hidup sebagai komunitas perjanjian yang telah

dikuduskan dan diperbarui serta dipimpin untuk melakukan misi Allah di dunia. Roh Kudus juga menjadikan Perjamuan Kudus sebagai sarana

mencicipi Kerajaan Allah: Gereja dianugerahi kehidupan sebagai ciptaan baru dan jaminan kedatangan Tuhan kembali.

4. Sakramen perjamuan merupakan wujud persekutuan umat yang setia.

Sebagaimana peristiwa makan bersama biasanya mempersatukan komunitas, dalam Perjamuan Kudus Roh Kudus menyatukan umat, sebagai anggota tubuh Kristus, dengan Kristus, Sang Kepala, dan dengan umat percaya lainnya yang ada di berbagai tempat dan masa. Ikut serta dalam Perjamuan Kudus mengandaikan kehidupan berjemaat yang bersatu dalam kedamaian, saling mengasihi, mengampuni, memperhatikan, menolong, dan menanggung beban. “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Korintus 10:17). Ayat ini menunjukkan bahwa melalui Perjamuan Kudus umat, yang datang dengan latar belakang yang berbeda, dibentuk menjadi satu tubuh (satu persekutuan atau komunitas).

5. Sakramen perjamuan merupakan jamuan makan Kerajaan Allah. Tuhan Yesus memberi perumpamaan Kerajaan Allah sebagai jamuan pesta (Lukas 14:15-24; Matius 22:1-10). Semua orang, khususnya mereka yang

dipinggirkan dalam kehidupan bermasyarkat, diundang dalam perjamuan tersebut, yang merupakan ungkapan kasih Allah. Perjamuan Kudus

merupakan cicipan (tanda) dari perjamuan Allah tersebut. Melaluinya, gereja diajak untuk melatih diri hidup di dalam Kerajaan Allah. Umat yang turut serta dalam Perjamuan Kudus, yang telah diselamatkan melalui pengorbanan Tuhan Yesus Kristus, dipanggil untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam hidup sehari-hari. Sebagai bayangan akan perjamuan sorgawi, Perjamuan Kudus juga membawa pengharapan akan kedatangan Kerajaan Allah yang sempurna, di mana tidak ada lagi penderitaan dan tangisan.

Dokumen BEM dituliskan karena gereja-gereja anggota DGD sadar

(17)

karena kepelbagian ekaristis ini. Salah satu tujuan dari DGD adalah mewujudkan kesatuan ekaristis. DGD mengharapkan terjadinya kesatuan Gereja, yang

memungkinkan umat Kristen bersama-sama makan dan minum perjamuan ekaristi, mengenang dan merayakan karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, tanpa memandang tradisi Kekristenan asal gereja mereka. Diharapkan dengan adanya BEM gereja-gereja mencapai konsensus untuk mewujudkan kesatuan ekaristi, sehingga tidak ada umat Kristen dari gereja mana pun dapat menerima elemen perjamuan.

Penutup

Sakramen perjamuan kudus dilakukan dengan setia oleh Gereja di segala abad dan tempat. Sakramen ekaristi bermula dari praktik makan Tuhan Yesus bersama dengan para murid-Nya. Gereja percaya Tuhan Yesus memerintahkannya untuk tetap melakukan makan dan minum bersama sebagai sebuah jemaat dengan tujuan mengenang karya penyelamatan Allah. Dalam perjalanan sejarah

Kekristenan, perjamuan kudus justru menjadi titik tengkar yang menyebabkan konflik dan perpecahan Gereja. Penyatuan kembali Tubuh Kristus dilakukan dengan mengupayakan kesatuan di meja perjamuan. Oleh sebab itu, penting bagi gereja-gereja di Indonesia dari tradisi Kekristenan mana pun untuk terus melakukan dialog dan menemukan titik temu, sehingga setiap gereja dapat mengakui keabsahan ajaran dan praktik perjamuan kudus gereja lainnya dan memungkinkan anggota gereja tersebut untuk menikmati perjamuan Tuhan.

Daftar Bacaan

Baptism, Eucharist, and Ministry (Faith and Order Paper No. 111). Geneva: World

Council of Churches, 1982.

Martasudjita, Emanuel, Pr. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

________, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Stookey, Laurence Hull. Eucharist: Christ’s Feast with the Church. Nashville: Abingdon Press, 1993.

White, James F. Introduction to Christian Worship, 3rdedition., Nashville: Abingdon

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatur kualitas pelayanan panti asuhan, Kementrian Sosial bekerja sama dengan Save the Children, telah menyusun Standar Pengasuhan Nasional Pengasuhan untuk

Sedangkan tengkorak Jawa berdasarkan jenis kelamin keduanya menunjukkan kecenderungan frekuensi yang sama pada karakter jumlah “1”. Penelitian lainnya menunjukkan

Dari segi mikrobiologis, aplikasi asap cair pada ikan pindang dengan konsentrasi asap cair 1%, 2%, dan 3% memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol ikan pindang

kompresi, kondensasi, dan evaporasi c.. Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik Universitas

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terdapat pengaruh dari pemakaian masker daun sirsak (Annona muricata Linn) yang digunakan sebagai masker perawataan kulit

Perjalanan Dinas Jabatan yang dilaksanakan lebih dari 8 (delapan) jam. 1) Perjalanan dinas untuk kegiatan dalam kabupaten/kota yang memerlukan waktu tempuh melebihi 8 (delapan)

Adapun tujuan penelitian ini yaitu menentukan perencanaan dan pengendalian persediaan bahan baku dengan pendekatan JIT, menentukan dan membandingkan dengan metode

Hasil penelitian ini menunjukkan Kerjasama Badan Permusyawaratan Desa Dan Kepala Desa Dalam Penyusunan Peraturan Desa Pada Desa Julukanaya dengan pendekatan orientasi