Ujian Tengah Semester Mata Kuliah. MP2G
(Manajemen Program Pangan & Gizi)
Take Home Exam
Waktu Pengumpulan : Selasa, 25 April 2017
DOKUMEN LENGKAP TENTANG :
PERENCANAAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN GIZI
SERTA MEKANISME PENGELOLAANNYA PADA KONDISI
STUNTING
Oleh :
Repa Kustipia
I151160061
Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Drajat Martianto, MS
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
UPAYA MEMERANGI
STUNTING DENGAN
PROYEKSI KETAHANAN
PANGAN
2017-2020
Fig. 1 Proportion of households without access to an improved latrine and prevalence of stunting in child stunting. Provincial estimates of the proportion of households without access to an improved latrine and the prevalence of stunting in children aged 0-59 months in Indonesia
Source of :Harriet Torlesse (2016), UNICEF Indonesia, World Trade Center 6 (10th Floor), Jalan Jenderal Sudirman Kav. 31, Jakarta 12920, Indonesia
I. RINGKASAN a. Masalah Stunting di Indonesia
Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.
Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata, Prevalensi Stunting pada saat ini mencapai 40 %. Hasil dari Analisis menggunakan data dari survei dasar yang dilakukan di tiga kabupaten di Indonesia untuk Uni Eropa yang didanai MYCNSIA proyek antara November dan Desember 2011. Kabupaten dengan fokus kepada 3 wilayah diantaranya adalah Sikka (pesisir di Provinsi Nusa Tenggara Timur) yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di negara ini, Jayawijaya adalah kabupaten dataran tinggi terpencil di Provinsi Papua di mana banyak indikator sosial dan kesehatan yang jauh di bawah rata-rata nasional, dan Klaten adalah sebuah distrik padat penduduk di Jawa Tengah di mana beban stunting tinggi.
Laporan UNICEF pada Tracking Kemajuan Anak dan Gizi ibu yang dirilis pada bulan November 2015 menunjukkan bahwa stunting, dibandingkan dengan bentuk lain dari gizi, adalah masalah proporsi yang lebih besar yang diantaranya adalah anak-anak yang berusia di bawah lima tahun (usia dalam perkembangan), diperkirakan sepertiga dari 195 juta anak – anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat. Di Asia, tingkat stunting yang sangat tinggi (36%). Di Asia Selatan, sekitar setengah dari anak-anak terhambat pertumbuhan dan perkembangannya mencapai 61 juta yang diwakili oleh Negara India saja. Menanggulangi gizi anak sangat penting untuk mencapai Sustainable Development Goals di ketiga wilayah ini di Indonesia, karena dampak stunting bukan pada saat anak mengalami stuntingnya namun akan ada berbagai penyakit jangka panjang yang akan dirasakan dan menambah beban masalah kesehatan yang harus diatasi,
dengan pencegahan dan upaya untuk memerangi stunting, maka diharapkan biaya penanggulangan masalah gizi yang ditimbulkan bisa diminimalisir dan derajat kesehatan masyarakat meningkat, sehingga menjadi generasi yang lebih baik.
Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menegaskan bahwa “Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya”. Ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 menginstruksikan perlunya disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat provinsi yang dalam proses penyusunannya melibatkan kabupaten dan kota. Rencana Aksi Pangan dan Gizi disusun dalam program berorientasi aksi yang terstruktur dan terintegratif dalam lima pilar rencana aksi yaitu perbaikan gizi masyarakat, peningkatan aksesibilitas pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kenyataannya peta penduduk rawan pangan yang diumumkan oleh BPS pada tahun 2009 masih menunjukkan situasi yang sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk sangat rawan pangan yaitu dengan asupan kalori kurang dari 1.400 Kkal per orang per hari mencapai 14,47 persen, meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 yaitu 11,07 persen. Rendahnya aksesibilitas pangan, yaitu kemampuan rumah tangga untuk selalu memenuhi kebutuhan pangan anggotanya, mengancam penurunan konsumsi makanan yang beragam, bergizi-seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya akan berdampak pada semakin beratnya masalah kekurangan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak.
Pentingnya keberlanjutan ketahanan pangan yang berkaitan dengan program gizi masyarakat untuk pengentasan stunting akan lebih mendorong penurunan prevalensi stunting untuk generasi mendatang dan memulihkan stunting dengan pelayanan kesehatan yang prima dengan didukung oleh ketahanan pangan yang berkelanjutan.
b. Rumusan Tujuan
(1) Tujuan Umum
Bertujuan untuk menjadi acuan bagi berbagai pihak terkait dalam menyusun perencanaan dan penganggaran serta pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan gizi yang bersifat spesifik dan sensitif.
(2) Tujuan Khusus
Tersedianya pilihan kegiatan gizi yang bersifat spesifik dan sensitif, sesuai dengan masalah gizi (stunting) dan tugas masing-masing pemangku kepentingan. Kegiatan gizi yang bersifat spesifik diantaranya : Promosi ASI dan Makanan Pendamping ASI yang bergizi, Pemberian tablet zat besi-folat atau multivitamin dan mineral untuk ibu hamil dan menyusui, Pemberian zat penambah gizi mikro untuk anak, Pemberian obat cacing pada anak, Pemberian suplemen vitamin A untuk anak balita, Penanganan anak dengan gizi buruk, Fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti Vitamin A, besi dan yodium, Pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi dan anak-anak. Kegiatan gizi yang sensitif diantaranya : Intervensi pola hidup bersih sehat (PHBS) seperti cuci tangan pakai sabun dan peningkatan akses air bersih, Stimulasi psikososial bagi bayi dan anak-anak, Keluarga Berencana, Kebun gizi di rumah/di sekolah, diversifikasi pangan, pemeliharaan ternak dan perikanan, Bantuan langsung tunai yang digabungkan dengan intervensi lain seperti pemberian zat gizi dan pendidikan terkait kesehatan dan gerakan 1000 HPK.
Teridentifikasinya kebutuhan sumber daya pendukung.
Tersedianya bahan advokasi yang sederhana dan mudah dipahami.
c. Indikator Kinerja
ASI ekslusif, MP-ASI (berbasis pangan lokal), dan PMT.
Ibu hamil mengkonsumsi TTD (Tablet Tambah Darah.
Distribusi Vitamin A untuk Balita.
Penanganan Gizi Buruk darurat dengan formula modisco.
Empat kali pemeriksaan kehamilan
Konsumsi tablet zat besi selama kehamilan dan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
Dua kali kunjungan perawatan nifas
Imunisasi anak secara lengkap
Penimbangan berat badan anak di bawah usia 3 tahun setiap bulan dan anak balita dua kali setahun.
Vitamin A dua kali setahun untuk balita.
Angka partisipasi sekolah dasar untuk anak-anak usia 7-12 tahun.
Angka kehadiran minimum 85 persen untuk anak-anak usia sekolah dasar.
Pemanfaatan Lahan Pekarangan.
Pemberdayaan Masyarakat.
Memaksimalkan keberadaan posyandu.
Bersinergi dengan wanita kelompok tani untuk akses pangan.
Sosialisasi dan realisasi prinsip 1000 HPK.
d. Lokasi Proyek.
Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan dilaksanakan pada pemilihan daerah dengan prevalensi stunting tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur dengan target menurunkan angka stunting dan gizi kurang yang tinggi dengan durasi waktu dimulai pada tahun 2017 sampai 2020.
e. Kegiatan Yang Akan Dilaksanakan Jenis Kegiatan (Intervensi Spesifik), Jangka Pendek Jenis Kegiatan (Intervensi Sensitif), Jangka Panjang
Sasaran : Ibu Hamil Sasaran : Seluruh Partisipan a. Suplementasi besi folat
b. Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK
c. Penanggulangan kecacingan pada ibu hamil
d. Pemberian kelambu berinsektisida dan pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria
a. Penyediaan air besih dan sanitasi b. Ketahanan pangan dan gizi c. Keluarga Berencana
d. Jaminan Kesehatan Masyarakat e. Jaminan Persalinan Dasar f. Fortifikasi Pangan
g. Pendidikan gizi masyarakat
h. Intervensi untuk remaja perempuan i. Pengentasan Kemiskinan
j. 1000 HPK
k. Alokasi Kebun Gizi/Pemanfaatan Lahan Pekarangan
l. Kegiatan Posyandu Sasaran : Usia 0- 6 bulan
a. Promosi menyusui (konseling individu dan kelompok)
Sasaran : Usia 7 – 23 bulan a. Promosi menyusui
b. KIE perubahan perilaku untuk perbaikan MP – ASI
c. Suplementasi Zink, Zink untuk manajemen diare
d. Pemberian Obat Cacing e. Fortifikasi besi
f. Pemberian kelambu berinsektisida dan malaria
m. Advokasi : (Pendataan,Pengadaan, Pelatihan, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), Pemantauan, Bimbingan teknis (supervisi),dan Regulasi).
Sumber Daya :
Pemerintah berperan sebagai inisiator, fasilitator, dan motivator gerakan 1000 HPK, yang terdiri dari K/L, mitra pembangunan, organisasi masyarakat, dunia usaha dan mitra pembangunan.
Mitra Pembangunan/Donatur/Perusahaan untuk memperkuat kepemilikan nasional dan kepemimpinan, berfokus pada hasil, mengadopsi pendekatan multisektoral, memfokuskan pada efektivitas, mempromosikan akuntabilitas dan memperkuat kolaborasi dan inklusi.
Organisasi Kemasyarakatan Tugas organisasi kemasyarakatan adalah memperkuat mobilisasi, advokasi, komunikasi, riset dan analisasi kebijakan serta pelaksana pada tingkat masyarakat untuk menangani kekurangan gizi.
Dunia usaha bertugas untuk pengembangan produk, control kualitas, distribusi, riset, pengembangan teknologi informasi, komunikasi, promosi perubahan perilaku untuk hidup sehat.
Mitra Pembangunan/ Organisasi PBB Mitra pembangunan bertugas untuk memperluas dan mengembangkan kegiatan gizi sensitif dan spesifik melalui harmonisasi keahlian dan bantuan teknis antar mitra pembangunan antara lain UNICEF, WHO, FAO dan IFAD, SCN (Standing Committee on Nutrition), UNDP.
Perguruan Tinggi untuk merekrut relawan atau tenaga akademik untuk kesempatan program internship dan mendapat pengalaman baru baik untuk tenaga pengajar atau mahasiswa.
Jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan ditentukan sesuai cluster dengan metode multi stage sampling.
Jadwal :
Pelaksanaan kegiatan : Upaya Memerangi Stunting dengan Proyeksi Ketahanan Pangan yang akan dilaksanakan di Nusa Tenggara Timur dimulai pada tahun 2017 sampai 2020, dengan daftar kegiatan sebagai berikut :
Persiapan Perangkat (3 bulan)
Advokasi (3 bulan)
Perumusan Sumber Dana (1 bulan)
Pengkajian Masalah (3 bulan)
Pemilihan Intervensi (1 bulan)
Seleksi Sumber Daya Manusia ( 3 bulan).
Pelatihan Sumber Daya Manusia (1 bulan)
Pemberian Intervensi (min. 3 bulan mak.12 bulan)
Pemberdayaan Masyarakat (6 bulan)
Milestone (6 bulan, optional)
Analisis Hasil (3 bulan)
Evaluasi dan Monitoring (3 bulan)
Mekanisme Monitoring dan Evaluasi :
- Pelaksanaan Monev : Identifikasi hasil dari setiap kegiatan yang dikumpulkan berdasarkan indikator proses yang ditetapkan
- Monitoring Indikator Intervensi yang dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ada dengan mengacu pada indikator kinerja kunci program kegiatan gizi spesifik dan Sensitif.
- Monitoring Indikator Hasil : Dikumpulkan pengumpulan data melalui supervisi, survey atau studi yang sudah ada atau dirancang khusus untuk monitoring dan evaluasi pencapaian kegiatan gizi sensitif dan spesifik. - Tingkat Pusat : prosedur Bappenas , Tingkat Daerah : prosedur Bappeda
II. LATAR BELAKANG
Pangan dan Gizi untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan diawali dengan mengonsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dapat memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Gizi pada ibu hamil sangat berpengaruh pada perkembangan otak dan janin, sejak dari minggu ke empat pembuahan sampai lahir dan sampai anak berusia 2 tahun. Sejumlah penelitian telah menunjukkan peran penting zat gizi tidak saja bermanfaat pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan (Jalal, 2009). Martorell pada tahun 1996 telah menyimpulkan kekurangan gizi pada masa kehamilan dan anak usia dini menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan kognitif. Selain itu, akibat kekurangan gizi dapat berdampak pada perubahan perilaku sosial, berkurangnya perhatian dan kemampuan belajar sehingga berakibat pada rendahnya hasil belajar.
Penelitian lain juga menyimpulkan bahwa intervensi gizi hanya akan efektif jika dilakukan selama kehamilan dan 2-3 tahun pertama kehidupan anak. Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita lakilaki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005, bahkan pada kelompok usia 5-19 tahun kondisi ini lebih buruk karena anak perempuan pada kelompok ini tingginya 13,6 cm di bawah standar dan anak laki-laki 10,4 cm di bawah standar WHO. Kelompok ibu pendek juga terbukti melahirkan 46,7 persen bayi pendek. Karena itu jelas masalah gizi intergenerasi ini harus mendapat perhatian serius karena telah terbukti akan mempengaruhi kualitas bangsa.Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran berat badan terhadap umur (BB/ U) dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U)
Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan, Young Nutritionist Indonesia bertujuan mengurangi dan mencegah bayi lahir dengan berat badan rendah dan anak stunting, serta kekurangan gizi pada anak-anak. Dalam jangka panjang, proyek ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga melalui penghematan biaya kesehatan dan peningkatan produktivitas. Untuk mencapai tujuan itu, Young Nutritionist Indonesia melakukan beberapa kegiatan yang berorientasi pada perbaikan status gizi ibu hamil dan anak. Antara lain, melalui peningkatan peran serta masyarakat, perbaikan asupan gizi, meningkatkan ketersediaan makanan bergizi yang terjangkau, pemenfaatan pekarangan, ajakan mengonsumsi pangan lokal, PHBS, serta meningkatkan kesadaran Pemerintah
Indonesia dan masyarakat tentang pentingnya isu stunting, kegiatan ini menggabungkan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan peningkatan suplai bidang kesehatan. Pemberdayaan masyarakat, perbaikan sanitasi dan perilaku hidup sehat, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, penyediaan alat kesehatan, pemberian insentif bagi tenaga kesehatan, pelibatan pihak swasta, serta peningkatan kesadaran melalui kampanye. Melalui kegiatan yang lebih terintegrasi, diharapkan dapat lebih efektif melaksanakan upaya mengurangi dan mencegah prevalensi stunting di Indonesia. Young Nutritionist Indonesia dalam melaksanakan kegiatan tersebut bekerja sama dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Ketahanan Pangan,Dinas Pertanian, Relawan Indonesia dan Bank Dunia.
III. ANALISIS SITUASI
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi. Bagan dibawah ini menyajikan berbagai faktor penyebab kekurangan gizi yang diperkenalkan oleh UNICEF dan telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dari kerangka pikir ini terlihat tahapan penyebab timbulnya kekurangan gizi pada ibu dan anak adalah penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok masalah. Tolok ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005).
Terdapat dua faktor langsung penyebab gizi kurang pada anak balita, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong. Sebagai contoh, anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat pada gizi buruk. Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk. Berbagai faktor penyebab langsung dan tidak langsung terjadinya gizi kurang digambarkan dalam kerangka pikir UNICEF (1990) (Gambar 1). Faktor penyebab langsung pertama adalah makanan yang dikonsumsi, harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Makanan lengkap bergizi seimbang bagi bayi sampai usia 6 bulan adalah air susu ibu (ASI), yang dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun. Data menunjukkan masih rendahnya persentase ibu yang memberikan ASI, dan MP-ASI yang belum memenuhi gizi seimbang oleh karena berbagai sebab. Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini
dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Kedua faktor penyebab langsung gizi kurang itu memerlukan perhatian dalam kebijakan ketahanan pangan dan program perbaikan gizi serta peningkatan kesehatan masyarakat. Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila kondisi ketiganya kurang baik menyebabkan gizi kurang. Rendahnya kualitas konsumsi pangan dipengaruhi oleh kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses pangan karena masalah ketersediaan maupun tingkat pendapatan yang mempengaruhi daya beli rumah tangga terhadap pangan. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi, pelayanan keluarga berencana, serta kelembagaan sosial masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan, kerangka UNICEF tahun 1999 disajikan dibawah ini sebagai kerangka penyebab masalah gizi.
a. Mutu dan Keamanan Pangan
Kondisi keamanan pangan sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat di seluruh lapisan tanpa mengenal batas usia dangolongan ekonomi. Kondisi keamanan pangan sangat ditentukan oleh lingkungan dan perilaku personil yang menangani pangan dari sejak dipanen sampai di meja makan. Oleh karena itu, peningkatan keamanan pangan harus melibatkan berbagai instansi termasuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Terdapat produk industri pangan yang tidak memenuhi syarat (TMS) dari tahun ke tahun. Jika produk yang TMS tersebut dielaborasi lebih lanjut, terlihat bahwa penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) pemanis dan pengawet (benzoat) berlebih, penyalahgunaan bahan berbahaya formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, dan cemaran mikroba. Urutan penyebab masalah keamanan pangan tersebut berturut-turut adalah: cemaran mikroba, BTP pemanis berlebih, pewarna bukan untuk makanan, BTP pengawet (benzoat) berlebih, serta penyalahgunaan bahan berbahaya boraks dan formal in. Penyalahgunaan bahan berbahaya formalin telah dapat diturunkan kasusnya dari tahun ke tahun, demikian pula penggunaan BTP pemanis yang berlebihan. Sementara produk TMS terkait dengan cemaran mikroba masih cukup dominan. Hal ini dapat merupakan indikasi kondisi higienis dan sanitasi lingkungan yang masih memprihatinkan. Analisis terhadap kondisi sarana produksi pangan bai industri pangan besar, menengah dan kecil serta industri rumah tangga masih membutuhkan perbaikan, terutama sarana produksi industri rumah tangga (IRT).
Khusus untuk peningkatan kondisi sarana produksi IRT, partisipasi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sangat diperlukan, karena industri pangan kategori ini sertifikasi produknya diberikan oleh pemerintah daerah setempat. Berdasarkan hasil monitoring sarana produksi, di daerah masih banyak ditemukan sarana produksi tidak terdaftar. Memperhatikan hal tersebut diperlukan adanya pemberdayaan pemeri ntah provi nsi, kabupaten dan kota sehingga sarana produksi tersebut memperoleh sertifikat PIRT melalui penyuluhan. Pengawasan keamanan pangan jajanan anak sekolah merupakansalah satu kegiatan strategis mengingat anak-anak sekolah adalahcikal bakal generasi bangsa yang akan datang. Jenis produk yang diambil sampelnya difokuskan pada pengawasan terhadap penyalahgunaan bahan berbahaya seperti pewarna rhodamin B dan methanil yellow, boraks dan formalin. Selain itu, dilakukan monitoring terhadap penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi batas yang ditetapkan khususnya pengawet dan cemaran mikroba. Kegiatan pengawasan keamanan pangan dilakukan secara periodik setiap tahun Hasil pengawasan menunjukkan adanya penurunan produk TMS dari tahun 2006 ke tahun
2009, meskipun tidak terlalu nyata. Secara nasional produk pangan yang mengandung bahan berbahaya masih berfluktuasi di antara 10 persen sampai 13 persen, sedangkan produk yang mengandung bahan tambahan pangan berlebih juga berfluktuasi di sekitar 15 persen dan 30 persen.
Masalah utama dari produk pangan jajanan anak sekolah nampaknya adalah cemaran mikroba. Intervensi untuk meningkatkan higienis dan sanitasi para penjaja pangan jajanan anak sekolah ini perlu di lakukan. Kasus kejadian luar biasa (KLB) karena pangan beberapa kali terjadi dan dilaporkan di media masa. Hasil monitoring KLB khusus di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi menunjukkan bahwa KLB paling sering terjadi di sekolah dasar. Sebagian besar KLB ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya, apakah disebabkan karena mikroba atau bahan kimia.Pemantauan garam konsumsi beryodium yang beredar di kabupaten dan kota dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan pengawasan dan penegakan hukum agar garam yang beredar memenuhi syarat sebagai garam konsumsi beryodium.
b. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Program PHBS adalah upaya untuk memberi pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat. Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, dan setelah memegang unggas/binatang. Riskesdas 2007 mengumpulkan 10 indikator tunggal Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang terdiri dari enam indikator individu dan empat indikator rumah tangga. Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥8 m2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah. Dalam penilaian PHBS ada dua macam rumah tangga, yaitu rumah tangga dengan balita dan rumah tangga tanpa
balita. Untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi delapan (8). PHBS diklasifikasikan ―kurang‖ apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita.
c. Kelembagaan Pangan dan Gizi
Tahun 1974 dengan diberlakukannya Instruksi Presiden Nomor 14 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat telah terbentuk Kelompok Kerja Fungsional antar Kementerian yang mengkoordinasikan kegiatan perbaikan pangan dan gizi masyarakat. Kemudian diikuti dengan Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1979 sehingga di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota dibentuk Badan Perbaikan Gizi Daerah (BPGD) yang mengkoordi nasi kan kegiatan Usaha Per bai kan Gizi Kel uarga oleh sektor Kesehatan, Keluarga Berencana, Pertanian dan Agama. Selama 3 dekade, Indonesia mencapai keberhasilan dalam perbai kan gizi masyarakat melal ui kegiatan pemantauan tumbuh kembang dan konseling gizi, pemeriksaan ibu hamil, pelayanan kontrasepsi, imunisasi dan penanggulangan diare yang dilaksanakan di hampir 240.000 pos pelayanan terpadu (posyandu) oleh lebih dari satu juta kader desa. Kegiatan posyandu menurun seiring dengan tekanan ekonomi yang dialami masyarakat sebagai dampak krisis moneter pada tahun 1998. Dewan Ketahanan Pangan dipimpin langsung oleh Presiden terbentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006, dengan tugas utama mengevaluasi ketahanan pangan dan memformulasikan kebijakan peningkatan ketahanan pangan ditinjau dari sisi ekonomi, politik, geografis, dan gizi. Sektor pertanian bertanggung jawab dalam produksi pangan dan berkoordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan Daerah yang dipimpin gubernur. Standar industri makanan dan penegakan hukum dilaksanakan oleh sektor Industri, sementara mutu dan keamanan pangan yang layak di konsumsi masyarakat di pantau oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pelayanan gizi dan promosi gizi dilaksanakan oleh sektor kesehatan.
Para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang pangan dan gizi termasuk sektor swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah dalam dan luar negeri terlibat dalam perbaikan gizi, termasuk saat krisis gizi buruk di tahun 1998 dan saat terjadinya bencana alam nasional. Badan PBB dan mitra pembangunan berkontribusi memberikan hibah dan bantuan teknis untuk perbaikan pangan, kesehatan, dan gizi. Walaupun demikian,koordinasi lintas program dan lintas sektor/bidang di pemerintah maupun antar Badan PBB dan mitra pembangunan masih harus terus ditingkatkan. Koordinasi perlu dibangun untuk mengkoordi nasi kan
secara efektif kebijakan antar sektor/bi dang,memfasilitasi kolaborasi di tingkat operasional dan mengintegrasikan kegiatan program terkait dengan penurunan prevalensi kekurangan gizi dan peningkatan asupan kalori pada semua anggota keluarga yang mengalami rawan pangan (Landscape Analysis on Nutrition, Kemenkes, 2010). Saat ini tidak cukup tersedia data SDM gizi dan terkait gizi yang dapat diandalkan, maupun proyeksi kebutuhan SDM gizi yang realistis terkait dengan berbagai tantangan gizi yang dihadapi, begitupun halnya dengan SDM di bidang pangan. Beberapa pokok persoalan yang terkait dengan pengelolaan SDM terkait pangan dan gizi adalah: (1) Terbatasnya perencanaan SDM berdasar kebutuhan program; (2) Kurangnya analisis deskripsi pekerjaan agar SDM efektif dan efisien melaksanakan pelayanan di bidang pangan dan gizi; (3) Sistem pengadaan dan rekrutmen SDM dengan kompetensi yang memenuhi standar sangat tergantung pada alokasi anggaran pemeri ntah yang tersedia di daerah; serta(4) Sulitnya mempertahankan SDM terkait pangan dan gizi di daerah perdesaan karena tidak adanya insentif karir (diadaptasi dari Laporan Bank Dunia, 2010). Permasalahan kelembagaan yang memerlukan perhatian di NTT adalah masalah koordinasi antar insitutusi di tingka provinsi, koordinasi antar insitusi tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten, serta perlunya tenaga professional di tingkat pemerintahan bawah yakni tingkat kecamatan dan desa.
Aplikasi Analisis Situasi
Lokasi NTT
Tujuan Umum Membantu permasalahan pada balita (stunting), keluarga
dan ibu hamil.
Tujuan Khusus Meningkatkan status gizi balita
Menurunkan prevalensi stunting
Meningkatkan sadar gizi pada keluarga
Meningkatkan status gizi ibu hamil
Sasaran dan Target Sampel : 237 keluarga
Jumlah balita stunting 48
Operasional Terjun langsung ke masyarakat melalui kegiatan
penyuluhan, lomba pengolahan pangan lokal, kebun gizi, dan pendampingan balita stunting dan gizi buruk.
Kebijakan dan langkah-langkah
Tabel HIPPOPOC
Sumber daya yang
dimanfaatkan
Penduduk cukup ramah dan antusias terhadap program
Lahan cukup luas dan subur untuk peningkatan dan kesejahteraan masyarakat
Terdapat perkumpulan organisasi masyarakat
Tersedia tempat untuk melakukan kegiatan kemasyarakatan
Perkiraan faktor
penunjang dan
penghambat kegiatan
Tindakan pengawasan : - Memantau kadarzi
- Memantau keadaan balita stunting - Memantau kesehatan ibu hamil
- Memberikan penyuluhan
- Penyuluhan 1000 HPK, Gizi ibu hamil, gizi balita, PMT, ketahanan pangan dan kesehatan.
- Memberikan contoh menu untuk balita dan pengolahan pangan lokal serta teknik berkebun memanfaatkan halaman rumah.
Tindakan evaluasi :
- Mengukur antropometri ibu hamil yang KEK, balita stunting dan gizi buruk dan menanyakan asupan makan.
IV. TUJUAN DAN INDIKATOR KINERJA JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG
No Jangka Pendek (18 bulan) Jangka Panjang (36 bulan) Kolaborasi Parthner 1 Menetapkan Perpres Gerakan
1000 HPK, Ketahanan Pangan, dan Aksi Perbaikan Gizi, Germas.
Mobilisasi sumber dana dalam APBN dan APBD, termasuk PPP dan CSR dan mitra pembangunan internasional
Pemerintah
2 Menyusun Naskah Akademik Melakukan evaluasi pencapaian tujuan dan sasaran dan pelaksanaan
kegiatan
3 Menyusun Kerangka Program Nasional terkait perbaikan gizi
Meningkatkan kemitraan dengan mitra pembangunan
4 Menyusun Pedoman
Perencanaan Program kegiatan perbaikan gizi
Meningkatkan kemitraan dengan dunia usaha
5 Sosialiasi Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Perbaikan Gizi tingkat nasional dan di daerah
Meningkatkan kemitraan dengan Lembaga Kemasyarakatan
6 Penyusunan kerangka monitoring dan evaluasi
Meningkatkan kerjasama dalam rangka sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan antar K/L
7 Pertemuan berkala Gugus Tugas Nasional
Meningkatkan kerjasama dalam rangka sinkronisasi perencanaan dan pengganggaran antar Pusat dan Daerah
8 Pertemuan berkala Tim Teknis Gugus Tugas
Melakukan replikasi program/model yang terbukti efektif
9 Menyusun laporan berkala tentang kemajuan Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Perbaikan Gizi
Advokasi kepada legislatif dan eksekutif
10 Menjaga kesinambungan pelaksanaan
Gerakan 1000 HPK, Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi
11 Mengintegrasikan Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan dan
Perbaikan Gizi pada RPJMN 2015 – 2019
12 Menyusun laporan tahunan kemajuan
Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Perbaikan Gizi kepada Presiden
13 Memperkuat dan memperluas jaringan antarmitra pembangunan, untuk mendukung Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi
Meningkatkan skala dan kualitas bantuan kepada pemerintah
Mitra
Pembangunan
14 Mendukung gizi sebagai isu prioritas nasional dan daerah
Meningkatkan kerjasama antara mitra pembangunan untuk menjamin efisiensi bantuan yang diberikan
15 Mendukung intensitas kerjasama antar mitra pembangunan untuk menjamin efisiensi dan efektifitas antarmitra pembangunan
Mendorong kerjasama antarnegara dengan prevalensi kekurangan gizi yang tinggi
16 Bekerjasama dengan pemerintah untuk mengembangkan rencana pembiayaan Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi
Melakukan review sektor pangan dan gizi untuk basis kebijakan RPJMN 2015-2019
17 Memutakhirkan perkiraan biaya untuk intervensi gizi yang bersifat spesifik dan sensitif
18 Memberikan bantuan teknis kepada pemerintah untuk intervensi gizi yang spesifik, gizi sensitif, pertanian dan
kesejahteraan soial
19 Memperluas kepersertaan antar
sektor dan kelompok di tingkat nasional dan daerah
Mengintegrasikan Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, dan
Kegiatan Perbaikan Gizi dalam
kegiatan LSK (Lembaga Sosial Kemasyarakatan).
20 Memperkuat keterkaitan antara LSK dengan pemerintah dengan menggunakan mekanisme yang berlaku
Membantu mengembangkan rencana nasional dan menetapkan sasaran yang ingin dicapai
21 Mengembangkan dan menyetujui prinsip-prinsip mediasi jika tidak terjadi kesepahaman
Melakukan evaluasi dan penelitian yang mengaitkan antara gizi dengan gender, ketenagakerjaan, pertanian, pangan, kesehatan, kemiskinan, jaminan sosial, dan pendidikan
22 Memberikan kontribusi dalam perumusan kerangka program Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
Advokasi ke dunia internasional untuk mendukung Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan
Perbaikan Gizi.
23 Melakukan mobilisasi dalam rangka meningkatkan demand masyarakat
Advokasi kepada pemerintah untuk mobilisasi sumberdana yang lebih besar untuk menangani kekurangan gizi
24 Memfasilitasi keterlibatan dunia usaha dalam Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan,
Kegiatan Perbaikan Gizi.
Bekerja secara nyata untuk mendukung Gerakan 1000 HPK Nasional, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
Dunia Usaha
25 Memberikan pedoman dan contoh tentang keterlibatan dunia usaha dalam Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
Melaksanakan contoh bagaimana pengusaha internasional mendukung Gerakan 1000 HPK Global, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
26 Memberikan pedoman dan mediasi bila terjadi
ketidaksepahaman dalam kebijakan maupun pelaksanaan Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
Meningkatkan peran dunia usaha untuk memperbaiki keadaan gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak baduta melalui penerapan CSR sesuai dengan
27 Bekerja secara nyata untuk mendukung strategi Gerakan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
28 Tukar menukar pengalaman dalam sistem distribusi pangan dan gizi termasuk penggunaan teknologi/inovasi
29 Membangun jaringan dan
memperluas kerjasama UN System diluar 4 organisasi utama (UNICEF, WFP, FAO dan
WHO,UNDP)
Melakukan sinergitas agenda kegiatan nasional dan global dalam rangka menyelaraskan dan menghindari duplikasi kegiatan
PBB
30 Membangun sistem untuk
merespon permintaan pemerintah
31 Bekerjasama dengan pemerintah dan mitra pembangunan untuk mendukung rencana pembiayaan Gerakan 1000 HPK, PMT,
Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi.
32 Memutakhirkan perkiraan biaya untuk pelaksanaan program gizi spesifik dan program gizi sensitif
V. RENCANA IMPLEMENTASI DAN ALTERNATIF PEMILIHAN PROGRAM
a. Tabel HIPPOPOC
Kegiatan Input Proses Output Outcome
Penyuluhan 1000 HPK, PMT, Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Tenaga : Panitia, penyuluh, Dana : Rp. 1.000.000 per cluster
Media ; leaflet, poster, laptop, LCD, Alat Tulis
Alat lain ; sound system Brain Storming, Ceramah, Tanya Jawab, Diskusi
80% Ibu Balita Sikap dan
pengetahuan ibu balita tentang PMT,
Ketahanan Pangan, Kegiatan Perbaikan Gizi meningkat.
Balita sehat Tenaga : panitia
Dana : Rp. 2.500.00 per cluster
Media : KMS, alat tulis,
Tempat : Balai Desa
Alat lain : sound system, Souvenir balita sehat. Transport
Praktek 75% balita mengikuti cek balita sehat Ibu mehyadari pentingnya pertumbuhan dan perkembangan balita Konseling Gizi dan Stunting Tenaga : Panitia Dana : Rp. 2.000.000 per cluster
Media : leaflet, alat tulis, food model (real food khas NTT), dan pangan lokal yang ada di NTT. Tempat : balai desa/rumah kepala suku. Tanya jawab intensif 80% ibu yang konseling mengerti dan memahami tentang permasalahan yang dikonsultasikan, terutama mengenai stunting dan pencegahan stunting.
Ibu memahami tentang cara mengatasi
masalah gizi pada balita (terutama stunting)
Pendampingan Balita Gizi Buruk
Tenaga : Panitia, tenaga medis, penyuluh
Dana : Rp. 5.000.000 per cluster
Media : Alat tulis, laptop, data set
Media : alat screening, perlengkapan
antropometri
Praktek Seluruh balita gizi buruk dan stunting dapat didampingi Meningkatkan status gizi balita Penyuluhan Kadarzi Tenaga : Panitia, penyuluh Dana : Rp.500.000 per cluster
Media : leaflet, alat tulis, LCD
Tempat : Balai Desa/ rumah kepala suku
Ceramah, tanya jawab, diskusi 80% Kepala Keluarga, atau yang berperan dalam suatu keluarga Sikap dan pengetahuan keluarga tentang keluarga sadar gizi.
Mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
Alat lain : sound system
PMT Tenaga : Mahasiswa
Gizi (Poltekkes Mataram dan Bali sebagai Volunteer dan kegiatan Praktikum)
Media : leaflet
Bahan : PMT
Dana : Rp.1.000.000 per cluster
Praktek 100% balita Memperbaiki asupan balita Meningkatkan Penyuluhan Ketahanan Pangan (pemberdayaan masyarakat) Tenaga : panitia, penyuluh, staff pemerintah, aktivis pertanian Media : LCD, dan benih, berkas program
Tempat : balai desa / rumah kepala suku
Alat lain : sound system Ceramah, musyawarah 80% warga masyarakat Menambah pengetahuan dan keterampilan berkebun untuk memanfaatkan halaman Meningkatkan produksi komoditas lokal Mendapatkan inovasi pengolahan pangan Terciptanya kegiatan ketahanan pangan yang berkesinambungan.
b. Rencana Kegiatan (Alternatif) Tindakan Pemecahan Masalah Gizi di NTT
No Masalah Kegiatan Uraian Kegiatan Sasaran Indikator
Keberhasilan 1 Sosialis asi MMD/ Musyawarah Masyarakat Desa Koordinasi dengan Kepala Desa Koordinasi dengan perangkat Desa (Kesra) dan kepala dusun/suku Koordinasi dengan dosen apabila melibatkan mahasiswa Pendistribusi an undangan Pelaksanaan MMD Kepala desa Kesra RT, RW, Kader, PKK, Pemuda-Pemudi Kepala desa menyetujiu pelaksanaan MMD Kesra,PKK,Pemu da-pemudi, RT, RW bersedia membantu dari program yang akan dilaksanakan (jangka panjang dan jangka pendek). Kehadiran 80% dari undangan 2 KEK Ibu Hamil
Home visit ibu hamil KEK , Koordinasi dengan Kepala puskesmas Kepala puskesmas dan
Pemberian konsultasi dan mengaplikasik an prinsip 1000 HPK puskesmas dan kader posyandu Home visit ibu hamil KEK Pelaksanaa konsultasi dan pemberian PMT Follow up ke pusat kesehatan jika perlu tindakan darurat dan ahli gizi puskesmas . Kader posyandu Ibu hamil dan keluargany a. ahli gizi menyutujui pelaksanaan home visit KEK
Kader posyandu menyutui dan membantu
pelaksanaan home visit KEK
Ibu hamil bersedia diberi konsultasi, arahan dan rujukan yang diberikan
Ibu hamil mengerti dan memahami materi yang telah disampaikan dan aktif bertanya. Remaja Putri Penyuluhan WUS Koordinasi dengan kepala dusun Koordinasi dengan kader posyandu Koordinasi dengan ketua remaja putri desa (NTT) Pelaksanaan penyuluhan tentang Anemia, Usia pernikahan, Pengenalan Stunting, dan Cara pengolahan pangan lokal untuk kebutuhan gizi. Kepala desa Kader posyandu Ketua remaja Putri NTT Remaja putri Kader posyandu menyetujui pelaksanaan penyuluhan kepada WUS
Ketua remaja putri di NTT bersedia membantu pelaksanaan dan mengkoordinir teman-temannya untuk penyuluhan WUS. 80% remaja putri di NTT datang ke penyuluhan dan aktif menanyakan serta bisa memberikan edukasi kepada teman-temannya. c. Pembiayaan Kegiatan
Pendanaan bagi pelaksanaan Upaya Memerangi Stunting dengan Proyeksi Ketahanan Pangan bersumber dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan, serta dari sponsor perusahaan-perusahaan makanan yang memiliki tujuan peduli gizi dan berpartisipasi pada program stunting serta dana tahunan yang diberikan oleh PBB dalam rangka pengentasan masalah stunting dunia.
d. Organisasi Pelaksana
e. Peranan Stakeholder
No Instansi Tugas pada Program yang terkait dengan
Proyek Young Nutritionist Indonesia pada Upaya Memerangi Stunting dengan Proyeksi Ketahanan Pangan
1 Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten
Pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular dan Penyakit Menular
Peningkatan pelayanan imunisasi
Surveilans Gizi dan Stunting
Penanggulangan wabah penyakit
Model percontohan kawasan lingkungan sehat
Pembinaan dan pengawasan hygiene sanitasi
Pengawasan kualitas air
Pengelolaan limbah kayanan kesehatan
Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
Berkolaborasi dengan Lembaga Sosial Masyarakat dan Swasta dalam pengentasan masalah gizi di NTT
2 Puskesmas 6 Upaya Pokok Puskesmas :
a. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
b. Program Kesehatan Lingkungan
Project Leader Kemenkes, Kementan,
Bappenas
UN Local Government Company
Project Manager : Young Nutritionist Indonesia
c. Balai Pengobatan
d. Program Gizi (berkolaborasi dengan dinas pertanian dan badan ketahanan pangan setempat)
e. Program Kesehatan Ibu dan Anak
f. Program Unggulan Puskesmas (Kesehatan Lansia, Pendidikan dan Laboratorium)
3 Pemerintah Desa
(Kepala Desa dan Sekretariat Desa)
Memimpin penyelenggaraan pemerintah desa
Membina kehidupan masyarakat desa (NTT)
Membina perekonomian desa, memajukan komoditas pertanian, ketahanan pangan, ketersediaan pangan dan memastikan tidak ada kelaparan di desa.
Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa ketika adanya intervensi kesehatan, pertanian atau sosial yang didanai dari dalam negeri maupun luar negeri dan menjelaskan tujuan dan dampak yang dirasakan masyarakat kedepannya.
Menyelaraskan rancangan peraturan desa dengan visi misi instansi yang akan mengintervensi penduduk desa
Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa (NTT).
f. Monitoring dan Evaluasi
Untuk Program 1000 HPK Indikator 1 : Meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam berbagi pengalaman pelaksanaan Indikator 2: Terjaminnya kebijakan
yang koheren dan adanya kerangka legalitas program Indikator 3: Menyelaraskan program-program sesuai dengan Kerangka Program Gerakan 1000 HPK Indikator 4: Teridentifikasinya sumber-sumber pembiayaan Adanya komitmen tertulis untuk bergabung dalam Gerakan 1000 HPK Global
Direviewnya kebijakan, rencana dan strategi yang ada
Teridentifikasinya program-program gizi spesifik dan gizi sensitif Terselesaikannya kerangka pembiayaan spesifik gizi Terbentuknya Gugus Tugas Gerakan 1000 HPK Finalisasi review kebijakan Didiskusikannya kerangka program dan hasil dari Gerakan 1000 HPK yang akan dicapai
Dipahaminya sumber sumber pembiayaan untuk perbaikan gizi antarsektor
Berfungsinya Gugus Tugas Gerakan 1000 HPK secara efektif
Peraturan dan kebijakan divalidasi dan disetujui
Disepakatinya Kerangka Program Gerakan 1000 HPK dan diidentifikasinya kesenjangan Mobilisasi dan harmonisasi sumber pembiayaan untuk mendukung kegiatan prioritas
Dicapainya komitmen politik tingkat tinggi untuk Gerakan 1000 HPK
Dilaksanakannya
kebijakan dan berbagai peraturan secara efektif untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat Diatasinya kesenjangan melalui upaya bersama Teriidentifikasinya kesenjangan sumber pembiayaan
Indikator hasil merupakan indikator yang digunakan untuk menilai dampak pelaksanaan Gerakan 1000 HPK pada akhir tahun 2025. Indikator hasil tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
No Indikator
1 Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40 %
2 Menurunkan proporsi anak balilta yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5 %.
3 Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30 % 4 Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih
5 Menurunkan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50 % 6 Meningkatkan prosentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan
paling kurang 50 %
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
Untuk Kegiatan Gizi Spesifik
Kegiatan Indikator
Ibu Hamil
Perlindungan terhadap kekurangan zat besi, asam folat dan kekurangan energi dan protein kronis
% cakupan Suplementasi besi-folat
% cakupan Supplemen ibu dengan zat gizi mikro % ibu hamil mengkonsumsi energi < 70% AKG) % Ibu hamil terkespose asap rokok (perokok pasif) Jumlah inisiasi Menyusui Dini dan ASI Ekslusif
termasuk konseling KB
Perlindungan terhadap kekurangan Iodium % ibu mengkonsumsi garam beriodium
Perlindungan ibu hamil terhadap malaria % cakupan ibu hamil mendapat pengobatan malaria % Kelambu berinsektisida
Ibu Menyusui
ASI Ekslusif % cakupan Promosi ASI perorangan dan kelompok % cakupan sasaran ter-ekspos KIE Gizi
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI), imunisasi, zat gizi mikro
% Cakupan KIE Pemberian MP-ASI
% cakupan Pemberian MP-ASI anak usia > 6 bulan;
% anak memperoleh akses garam beriodium % cakupan Management Zinc pada diare % cakupan Penanganan gizi buruk akut pada
anak baduta
% cakupan Suplementasi Vitamin A % cakupan baduta yang mengkonsumsi
sprinkle;
% cakupan Pengobatan kecacingan; % penurunan prevalensi kecacingan % cakupan program PKH
% cakupan Pemberian kelambu berinsektisida % Cakupan imunisasi dasar
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
Untuk Kegiatan Gizi Sensitif
Kegiatan Indikator
Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi % cakupan Akses terhadap air bersih Persentase sanitasi yang layak % cakupan Cuci tangan dan PHBS; Ketahanan Pangan dan Gizi Persentase penduduk dengan konsumsi
Kkal
Persentase rumahtangga rawan pangan Tingkat Konsumsi Energi/kapita/hari; tingkat Konsumsi Protein/kapita/hari; Keluarga Berencana Angka pemakaian kontrasepsi/CPR bagi
perempuan menikah usia 15 – 49 tahun Persentase angka kelahiran
Jaminan Kesehatan Masyarakat Persentase penduduk yang miskin yang tercakup program kesehatan
Persentase puskesmas yang memebrikan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin Persentase rumah sakit yang
memberikan pelayanan rujukan bagi penduduk miskin
Jaminan Persalinan Dasar Persentase ibu hami hamil yang mendapatkan penggantian biaya persalinan melalui jampersal
Fortifikasi Pangan Persentase penduduk yang menikmati produk pangan difortifikasi
Jumlah jenis produk pangan yang difortifikasi
Pendidikan Gizi Masyarakat Meningkatnya materi KIE untuk sosialisasi dan advokasi
Meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat
Remaja Perempuan Usia menikah pertama anak perempuan Jumlah remaja yang mengalami
kehamilan
Pengentasan Kemiskinan Menurunnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
nasional
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan : 1. Aspek input :
Sejauhmana sumber daya yang digunakan dalam melaksanan kegiatan setiap SKPD pelaksana yang terlibat. Serta sumber dana yang digunakan dalam kegiatan- kegiatan dan tugas-tugas untuk menghasilkan capaian dari suatu kegiatan
2. Aspek Proses:
Tahapan kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan program atau kegiatan yang apakah sesuai dengan prosedur (pedoman) yang ditentukan
3. Ouput :
Capaian hasil kegiatan setelah kegiatan dilakukan tiap tahun 4. Dampak:
Perubahan jangka panjang yang dicapai dari program dan kegiatan yang dilaksanakan melalui serangkaian efek-efek hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut bisa menurunkan prevalensi stunting dengan upaya perbaikan gizi dan kesehatan dan proyeksi ketahanan pangan dan tujuan dari kegiatan gizi sensitif dan spesifik tercapai dengan cakupan dan target maksimal.
5. Pemantauan dan Evaluasi Awal Pelaksanaan Program :
Mengkonfirmasi kondisi yang tertulis dalam keputusan hasil MMD dan Advokasi dengan Project Leader dan Project Manager dengan kondisi riil di lapangan;
Penentuan dan kesepakatan indikator kinerja pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan.
Memberikan alternatif pemecahan masalah tentang: - strategi pencapaian tujuan, kemungkinan keberhasilan yang dapat diraih, serta - kendala yang akan dating
Memberikan penjelasan pada pihak terkait mengenai mekanisme kerja implementasi. 6. Pemantauan dan Evaluasi Pertengahan Pelaksanaan Program
Melihat langsung dampak dari pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan pada pertengahan implementasi melalui: SKPD terkait – Stakeholders
Melihat arah pengembangan pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan apakah sesuai dengan tujuan yang dicapai
Menggali kemungkinan keberlangsungan hasil pengembangan dan peningkatan yang telah dicapai.
7. Pemantauan dan Evaluasi Akhir Pelaksanaan Program :
Melihat langsung dampak dari pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan pada akhir implementasi melalui: - SKPD terkait – Stakeholders.
Melihat arah pengembangan selanjutnya di SKPD terkait
Menggali informasi pada: - Indikator capaian - Kendala dan masalah serta solusinya.
Melihat usaha-usaha dalam rangka menjaga keberlangsungan hasil pengembangan dan peningkatan yang telah dicapai oleh SKPD terkait
Lampiran : Jadwal Implementasi Kegiatan Keterangan :