KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan syukur kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga modul kerugian negara ini dapat diselesaikan.
Modul kerugian negara ini menjelaskan mekanisme penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara, pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain, dan pihak ketiga sehingga kerugian yang diderita negara dapat segera dipulihkan.
Modul kerugian negara ini ditujukan kepada para penyuluh perbendaharaan. Setelah mempelajari modul kerugian negara ini, para penyuluh perbendaharaan diharapkan dapat menjelaskan mekanisme penyelesaian kerugian negara kepada para pejabat perbendaharaan negara dan pengelola keuangan di lingkup satuan kerja mitra kerja KPPN dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa modul kerugian negara ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan dari para pembaca guna penyempurnaan modul kerugian ini di kemudian hari.
Jakarta, Desember 2015
CARA PENGGUNAAN MODUL
Sebagian besar modul kerugian negara ini berisi uraian/penjelasan mengenai kerugian negara dibandingkan contoh-contoh yang disajikan dalam modul kerugian negara ini. Oleh karena itu, untuk mempelajari modul kerugian ini para Penyuluh Perbendaharaan harus banyak memahami teori atau uraian yang terdapat dalam modul kerugian negara ini. Langkah-langkah yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pelajari isi modul secara berurutan mulai dari Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V, dan Bab VI.
2. Setelah memahami isi Bab I sampai dengan Bab VI, kerjakan soal-soal dalam modul kerugian negara ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
KATA PENGANTAR……….. ii
CARA PENGGUNAAN MODUL……….. iii
DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR……… v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….. 1 B.. Tujuan………. 3 C. Ruang Lingkup……….. 3
BAB II PENGANTAR KERUGIAN NEGARA A. Pengertian Kerugian Negara………... 5
B. Jenis Kerugian Negara ………... 6
C. Sumber Kerugian Negara ……….. 7
D. Penyelesaian Ganti Kerugian Negara ………. 10
E. Pemantauan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara……... 12
F. Kadaluwarsa……….. 12
BAB III PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN NEGARA TERHADAP BENDAHARA A.. Pengertian………. 13
B.. Penyebab Kerugian Negara……….. 13
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara/Tuntutan Perbendaharaan………. 14
BAB IV PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN NEGARA TERHADAP PEGAWAI NEGERI BUKAN BENDAHARA ATAU PEJABAT LAIN A. Pengertian………. 26
B. Penyebab Kerugian Negara……… 27
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain……… 28
BAB V PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN NEGARA TERHADAP PIHAK PIHAK KETIGA
A. Pengertian………. 40
B. Penyebab Kerugian Negara……….. 40
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Pihak Ketiga. 41
BAB VI HUBUNGAN TUNTUTAN GANTI KERUGIAN NEGARA
DENGAN SANKSI LAINNYA
A. Hubungan Tuntutan Ganti Kerugian Negara dengan
Sanksi Pidana……… 43
B. Hubungan Tuntutan Ganti Kerugian Negara dengan
Sanksi Administratif……….. 45
DAFTAR PUSTAKA SOAL-SOAL LATIHAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar-1 Hubungan Pengelolaan Keuangan Negara Dengan Kerugian Negara ... 2 Gambar-2 Pohon Kerugian Negara ... 8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara memerlukan sistem pengendalian intern yang andal. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan keuangan negara dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Secara garis besar, terdapat 2 (dua) sistem pengendalian intern dalam rangka pengelolaan keuangan negara, yaitu: 1) sistem pengendalian intern yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan 2) sistem pengendalian intern yang dilaksanakan melalui kewajiban penggantian kerugian negara.
Sistem pengendalian intern yang dilaksanakan melalui kewajiban penggantian kerugian negara ditegaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan:
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Hubungan pengelolaan keuangan negara dengan kerugian negara dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar-1
Hubungan Pengelolaan Keuangan Negara Dengan Kerugian Negara
Pengelolaan Keuangan Negara secara Efektif, Efisien, Transparan, dan Akuntabel
Pengendalian Intern yang Andal
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
Kewajiban Penggantian Kerugian Negara
Selain sebagai alat pengendalian intern yang andal, penyelesaian ganti kerugian negara dapat dikatakan merupakan salah satu subsistem penting dari keseluruhan sistem pengelolaan keuangan negara. Penyelesaian ganti kerugian negara tersebut menjadi penting karena pengaturan kerugian negara terdapat dalam seluruh paket undang-undang keuangan negara, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Nomor 1 Tahun 2004), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Nomor 15 Tahun 2004), dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU Nomor 15 Tahun 2006).
Sejak implementasi paket undang-undang keuangan negara, hingga saat ini pengelolaan keuangan negara masih dirasakan kurang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa selama menjalankan tugasnya dalam memeriksa pengelolaan keuangan negara BPK hampir selalu menemukan adanya kerugian negara/daerah pada penggunaan anggaran negara ataupun daerah. Dari temuan tersebut, BPK telah memberikan rekomendasi agar kerugian negara/daerah bisa dikembalikan ke Kas Negara/Daerah. Berdasarkan hasil temuan BPK, sepanjang tahun 2009 sampai dengan Semester I tahun 2013 BPK telah merekomendasikan sebanyak 193.600 temuan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara/daerah sebesar Rp73,28 triliun. Kerugian tersebut terjadi di pemerintah pusat sebesar Rp41,56 triliun, pemerintah daerah sebesar Rp15,62 triliun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp13,14 triliun. Sisanya lembaga pemerintahan sebesar Rp2,97 triliun. Namun, pengembalian aset negara dan daerah belum sebanding dengan hasil temuan BPK. Nilai pengembalian aset hanya sebesar Rp15,17 triliun dengan rincian pengembalian yang berasal dari instansi di pemerintah pusat sebesar Rp7,27 triliun, pemerintah daerah sebesar Rp3,75 triliun, BUMN sebesar Rp4,14 triliun, dan lembaga pemerintahan lainnya sebesar Rp1,63 miliar (http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2013/12/ Pengembalian-kerugian-keuangan-negara-minim.pdf). Berdasarkan uraian tersebut menunjukan bahwa kasus kerugian negara terhadap penggunaan anggaran negara harus
segera diselesaikan oleh pemerintah atau BPK sesuai dengan kewenangannya sehingga kekayaan negara dapat segera dikembalikan ke Kas Negara.
Pada prinsipnya setiap kasus kerugian negara harus segera diselesaikan oleh pejabat yang berwenang melalui mekanisme yang berlaku (sesuai peraturan perundang-undangan) sehingga kerugian negara yang timbul dapat segera dipulihkan. Mengingat pentingnya penyelesaian ganti kerugian negara dimaksud, maka setiap pejabat perbendaharaan negara dan para pengelola keuangan negara wajib memahami mekanisme penyelesaian ganti kerugian negara.
B. Tujuan
Penyusunan modul kerugian negara ini bertujuan untuk memberikan pedoman/panduan bagi Penyuluh Perbendaharaan agar dapat menjelaskan mekanisme penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara, pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain, dan pihak ketiga kepada pejabat perbendaharaan negara dan para pengelola keuangan negara. Setelah mempelajari modul kerugian negara ini, para Penyuluh Perbendaharaan memiliki kompetensi di bidang penyelesaian ganti kerugian negara. Kompetensi tersebut meliputi:
1. Mampu menjelaskan definisi dan ruang lingkup kerugian negara.
2. Mampu menjelaskan penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara.
3. Mampu menjelaskan penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain.
4. Mampu menjelaskan penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pihak ketiga.
5. Mampu menjelaskan hubungan tuntutan ganti kerugian negara dengan sanksi pidana dan sanksi administratif.
C. Ruang Lingkup
Modul kerugian negara ini menjelaskan mekanisme penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara, pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain, dan pihak ketiga. Sistematika modul kerugian negara ini sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Ruang Lingkup
BAB II Pengantar Kerugian Negara A. Pengertian Kerugian Negara B. Jenis Kerugian Negara C. Sumber Kerugian Negara
D. Penyelesaian Ganti Kerugian Negara
E. Pemantauan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara F. Kadaluwarsa
BAB III Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara A. Pengertian
B. Penyebab Kerugian Negara
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap
Bendahara/Tuntutan Perbendaharaan
BAB IV Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain
A. Pengertian
B. Penyebab Kerugian Negara
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain
BAB V Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Pihak Ketiga. A. Pengertian
B. Penyebab Kerugian Negara
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Terhadap Pihak Ketiga
BAB VI Hubungan Tuntutan Ganti Kerugian Negara dengan Sanksi Lainnya
A. Hubungan Tuntutan Ganti Kerugian Negara dengan Sanksi Pidana
B. Hubungan Tuntutan Ganti Kerugian Negara dengan Sanksi Administratif
BAB II
PENGANTAR KERUGIAN NEGARA
A. Pengertian Kerugian Negara
Secara tata bahasa, kerugian negara dibentuk dari 2 (dua) kata yaitu kerugian dan negara. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “kerugian” memiliki arti: 1) menanggung atau menderita rugi; 2) perihal rugi; 3) sesuatu yang dianggap mendatangkan rugi; 4) ganti rugi. Sedangkan kata “negara” memiliki arti: 1) organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; 2) kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Sementara itu, Miriam Budiardjo (2007) menjelaskan mengenai unsur negara dan fungsi negara. Negara memiliki unsur-unsur yaitu: wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan. Sedangkan fungsi negara secara umum yaitu: 1) melaksanakan
penertiban; 2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; 3) pertahanan; 4) menegakan keadilan. Berdasarkan pengertian tersebut
dapat dikatakan bahwa pengertian kerugian negara adalah segala sesuatu yang dianggap mendatangkan rugi bagi negara sehingga mengakibatkan terhambatnya pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dari pengertian tersebut, kerugian negara memiliki unsur-unsur yang terdiri dari: 1) adanya kekurangan uang, surat berharga, dan barang; 2) jumlahnya nyata dan pasti; dan 3) akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau perbuatan melanggar hak orang lain atau berlawanan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat. Sedangkan yang dimaksud kelalaian adalah melakukan sesuatu dengan kurang melihat ke depan yang perlu atau kurang mempertimbangkan secara tepat apa akibat yang akan terjadi atau tidak melakukan kewajiban kehati-hatian dalam
melakukan suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu semestinya dilakukan yang merupakan tanggungjawabnya.
Berdasarkan pengertian di atas, sebuah kasus dikatakan sebagai kerugian negara apabila memenuhi ketiga kriteria, yaitu 1) adanya kekurangan uang, surat berharga, dan barang; 2) jumlahnya nyata dan pasti; dan 3) akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Apabila terjadi kekurangan uang, surat berharga, dan barang namun tidak memenuhi ketiga kriteria dimaksud, maka bukan disebut sebagai kerugian negara.
B. Jenis Kerugian Negara
Dilihat dari subyeknya, kerugian negara terdiri atas: 1) Kerugian negara yang dilakukan oleh bendahara; 2) Kerugian negara yang dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain; 3) Kerugian negara yang dilakukan oleh pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Yang dimaksud ”pengelola” termasuk pegawai perusahaan negara/daerah dan lembaga atau badan lain; dan 4) Kerugian negara yang dilakukan oleh pihak ketiga. Yang dimaksud pejabat lain adalah pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus pejabat negara, tidak termasuk bendahara dan pegawai negeri bukan bendahara. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 59 ayat (2), yang menyatakan bahwa bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut. UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (1), yang menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (3) huruf c, yang menyatakan bahwa penyelesaian ganti kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum pihak ketiga dilaksanakan melalui proses peradilan.
Kerugian negara yang dilakukan oleh bendahara merupakan kerugian negara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Sementara kerugian negara yang dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara atau
pejabat lain merupakan kerugian negara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif.
Dilihat dari obyeknya, kerugian negara terdiri atas: 1) kerugian negara atas uang, surat berharga, dan barang milik negara; dan 2) kerugian negara atas uang dan barang bukan milik negara, Hal ini sebagaimana diatur dalam UU 1 Tahun 2004, Pasal 67 ayat (1), yang menyatakan:
Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik negara/daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
C. Sumber Kerugian Negara
Theodorus M. Tuanakotta dalam buku Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi menyebutkan empat akun besar yang bisa menjadi sumber dari kerugian Negara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-2.
Gambar-2
Pohon Kerugian Negara
Pohon Kerugian Keuangan Negara (R.E.A.L. Tree)
Penerimaan (Receipt)
Pengeluaran (Expenditure)
Aset (Asset) Kewajiban (Liabilities) Wajib Bayar Tidak Setor Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif Pengadaan Barang Kewajiban Nyata Wajib Pungut Tidak Setor Dasar Pengeluaran
Tidak Berlaku Pelepasan
Kewajiban Bersyarat Jadi Nyata Pemotongan Penerimaan Negara Pengeluaran Dipercepat Pemanfaatan Kewajiban Tersembunyi Penempatan Aset
Sumber: Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Theodorus M.Tuanakotta terbitan Salemba Empat tahun 2009 sebagaimana dimuat dalam Buletin Teknis Akuntansi Pemerintahan Nomor 20.
Sebagaimana dijelaskan dalam Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah, Theodorus M. Tuanakotta menyebutkan dalam kasus kerugian keuangan Negara terdapat empat akun besar, yaitu: 1) Penerimaan (Revenue), 2) Pengeluaran (Expenditure), 3) Aset (Asset), dan 4) Kewajiban (Liability), atau dikenal dengan istilah R.E.A.L Tree.
1. Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Penerimaan (Receipt)
Pohon Kerugian Keuangan Negara berkenaan dengan Penerimaan dapat kita lihat ada tiga sumber kerugian keuangan negara, yaitu:
a. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya
Dalam beberapa Undang-Undang, wajib bayar menghitung dan menyetorkan kewajibannya ke kas negara. Kelalaian para wajib bayar akan menimbulkan kerugian keuangan negara. Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi kewajiban wajib bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan menyetor).
b. Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang Bertanggung Jawab
Misalnya, selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam pengurusan dokumen.
c. Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan Pendapatan Negara
Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun ada kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan negara.
Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan negara yang tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat waktu.
2. Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Pengeluaran (Expenditure)
Kerugian keuangan negara terjadi karena pengeluaran negara dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran negara seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran negara dilakukan lebih cepat. Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan negara berkenaan dengan
transaksi pengeluaran dapat terjadi antara lain karena hal-hal sebagai berikut.
a. Kegiatan fiktif/pengeluaran fiktif.
b. Pengeluaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku lagi.
c. Pengeluaran bersifat resmi, tetapi dilakukan lebih cepat.
3. Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Aset (Asset)
Terdapat 5 sumber kerugian keuangan negara terkait dengan aset seperti yang dijelaskan pada bagian di bawah ini:
a. Pengadaan Barang Dan Jasa
Bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya.
b. Pelepasan Aset
Bentuk kerugian keuangan negara yang dapat ditimbulkan dari pelepasan aset antara lain nilai aset yang dilepas lebih rendah dari yang seharusnya.
c. Pemanfaatan Aset
Bentuk kerugian keuangan negara yang dapat ditimbulkan dari pemanfatan aset antara lain negara tidak memperoleh imbalan yang layak jika dibandingan dengan harga pasar, negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional yang melibatkan aset negara yang “dikaryakan” kepada mitra usaha, dan negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga.
d. Penempatan Aset
Bentuk kerugian keuangan negara yang dapat ditimbulkan dari penempatan aset antara lain imbalan yang tidak sesuai dengan risiko,
4. Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban (Liabilities)
Terdapat 3 jenis kerugian negara/daerah berkaitan dengan kewajiban di antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi.
a. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban Nyata
Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya fiktif, dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud-nya adalah
penjarahan kekayaan negara melalui penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana.
b. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat
Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi kewajibannya sehingga lembaga negara yang menjadi penjaminnya memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban bersyarat. Bentuk kerugian keuangan negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian dana tersebut oleh terpidana.
c. Kewajiban Tersembunyi
Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor akuntan senantiasa memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legalexpenses merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara:
1) Menciptakan aset fiktif untuk menghindari pengeluaran fiktif,
2) Aset fiktif tersebut dihilangkan melalui kewajiban kepada pihak yang masih terafiliasi.
kerugian negara/daerah adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga sejak periode dana diterima oleh pelaku kejahatan sampai saat pengembaliannya.
D. Penyelesaian Ganti Kerugian Negara
Setiap kasus kerugian negara yang timbul harus segera diselesaikan. Penyelesaian kasus kerugian negara dilakukan oleh pejabat berwenang melalui mekanisme penyelesaian ganti kerugian negara. Yang dimaksud
ganti kerugian negara adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang harus dikembalikan kepada negara oleh seseorang atau badan yang telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Penyelesaian ganti kerugian negara bertujuan: 1) untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang; dan 2) meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara dan para pengelola keuangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 bahwa penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya. Disamping itu, tujuan penyelesaian kerugian negara adalah menciptakan tertib administrasi keuangan negara.
Dilihat dari subyek kerugian negara, penyelesaian ganti kerugian negara meliputi: 1) Penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara; 2) Penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain; 3) Penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara; dan 4) Penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pihak ketiga.
Sementara, dilihat dari caranya penyelesaian ganti kerugian negara dapat dilaksanakan dengan cara: 1) Penyelesaian secara damai; atau 2) Penyelesaian secara paksa. Penyelesaian ganti kerugian negara secara damai adalah upaya untuk memperoleh kembali pengembalian sepenuhnya atas kerugian yang diderita oleh negara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya baik yang dilaksanakan secara tunai maupun dengan mengangsur. Penyelesaian secara damai dilaksanakan dengan meminta pernyataan bersedia bertanggung jawab berupa Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) kepada pelaku kerugian negara. Sedangkan penyelesaian ganti kerugian negara secara paksa dapat dilaksanakan dengan cara melalui proses hukum perdata dan/atau proses hukum pidana.
Dilihat dari institusi yang berwenang untuk menyelesaikan kerugian negara, penyelesaian ganti kerugian negara meliputi: 1) Penyelesaian ganti
kerugian negara yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain, 2) Penyelesaian ganti kerugian negara yang ditetapkan oleh BPK terhadap bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, dan 3) Penyelesaian ganti kerugian negara yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
E. Pemantauan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara
BPK berwenang memantau penyelesaian ganti kerugian negara. Pemantauan tersebut bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian negara oleh penanggung jawab kerugian negara ke Kas Negara. Pemantauan meliputi: 1) Pemantauan atas penyelesaian ganti kerugian negara yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain, 2) Pemantauan atas penyelesaian ganti kerugian negara yang ditetapkan oleh BPK terhadap bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, dan 3) Pemantauan atas penyelesaian ganti kerugian negara yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hasil pemantauan tersebut disampaikan secara tertulis oleh BPK kepada DPR dan DPD.
F. Kadaluwarsa
Kadaluwarsa adalah jangka waktu tertentu yang menyebabkan gugurnya hak untuk melakukan tuntutan ganti rugi terhadap penanggung jawab kerugian negara. Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian negara atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian negara tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
Sementara itu, tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara.
BAB III
PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN NEGARA TERHADAP BENDAHARA
A. Pengertian
Dalam konteks pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang dimaksud Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara. Bendahara terdiri dari Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawab- kan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga. Sedangkan Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga.
B. Penyebab Kerugian Negara
Perbuatan melawan hukum atau kelalaian yang dilakukan oleh bendahara disebabkan antara lain sebagai berikut:
1. Kesalahan menghitung uang atau surat berharga, barang, dan dokumen pada waktu menerima, menyimpan, dan mengeluarkan.
2. Kelalaian dalam melakukan verifikasi dokumen penagihan yang menyebabkan dokumen tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
3. Menyimpan uang atau barang tidak pada tempatnya yang aman, sehingga memungkinkan terjadinya kehilangan.
4. Menyimpan barang yang menjadi tanggung jawabnya tidak sesuai dengan peraturan atau petunjuk cara penyimpanan sehingga memungkinkan adanya kerusakan barang dari pengaruh alam atau hal-hal lainnya.
5. Kesalahan atau kelalaian sehingga terjadi penyimpangan pembukuan atau dokumen.
6. Kesalahan atau kelalaian yang menguntungkan pihak lain. 7. Kelalaian dalam membuat pertanggungjawaban.
8. Kelalaian tidak menagih kepada wajib setor atau kelalaian tidak menagih pajak kepada wajib pajak; dan
9. Kesalahan membayar kepada yang tidak berhak.
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara/Tuntutan Perbendaharaan
Tuntutan ganti kerugian negara terhadap bendahara lebih dikenal dengan istilah ‘Tuntutan Perbendaharaan’. Tahapan tuntutan ganti kerugian negara terhadap bendahara sebagai berikut:
1. Pengungkapan Kasus Kerugian Negara 2. Pelaporan Kasus Kerugian Negara
3. Penyelesaian Kasus Kerugian Negara oleh TPKN 4. Pelaporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara 5. Pemeriksaan Kasus Kerugian Negara oleh BPK 6. Penerbitan SKTJM
7. Penerbitan Surat Keputusan Pembebanan Sementara 8. Penerbitan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu 9. Penerbitan Surat Keputusan Pembebanan
10. Pelaksanaan Surat Keputusan Pembebanan
11. Laporan Pelaksanaan Surat Keputusan Pembebanan
1. Pengungkapan Kasus Kerugian Negara
Kasus kerugian negara terhadap bendahara diawali oleh adanya indikasi kerugian negara. Indikasi tersebut diperoleh dari adanya informasi kerugian negara. Informasi kerugian negara dapat diketahui dari: a. pemeriksaan BPK; b. pengawasan aparat pengawasan fungsional; c. pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau Kepala Satuan Kerja; dan d. perhitungan ex-officio. Informasi tersebut dijadikan sebagai dasar bagi Kepala Satuan Kerja dalam melakukan tindak lanjut ganti kerugian negara.
a. Pemeriksaan BPK.
Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. LHP tersebut merupakan informasi tentang kerugian negara.
b. Pengawasan aparat pengawasan fungsional.
Pengawasan aparat pengawasan fungsional/internal pemerintah dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Negara/Lembaga dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Apabila dalam pelaksanaan pengawasan fungsional ditemukan/diduga terdapat kerugian negara, maka pengungkapan kerugian negara tersebut dilakukan segera pada kesempatan pertama.
c. Pengawasan dan/atau pemberitahuan Kepala Satuan Kerja.
Kepala Satuan Kerja wajib melaporkan setiap kerugian negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan memberitahukan kepada BPK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara diketahui.
d. Perhitungan Ex-Officio.
Dalam hal Bendahara lalai membuat pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, berada dalam pengampuan, melarikan diri atau meninggal dunia dan tidak dapat segera dilakukan pengujian/pemeriksaan kas, maka harus dibuatkan perhitungan secara ex-officio. Perhitungan yang dibuat secara ex-officio adalah perhitungan yang dibuat oleh orang lain (bukan Bendahara bersangkutan), yaitu pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Satuan Kerja setempat. Bila dalam perhitungan yang dibuat secara ex-officio tersebut terdapat kerugian negara, maka kekurangan itu menjadi tanggung jawab Bendahara bersangkutan.
Selain informasi di atas, sumber informasi kerugian negara dapat diperoleh dari pengawasan/pengaduan masyarakat serta media massa dan media eletronik. Informasi kerugian negara tersebut wajib dikelola oleh masing-masing Kepala Satuan Kerja. Setiap Kepala Satuan Kerja wajib meneliti apakah informasi yang diterima tersebut berhubungan dengan kekayaan negara yang diurus/menjadi tanggung jawabnya. Apabila informasi tersebut berhubungan dengan kekayaan negara yang diurus/menjadi tanggung jawabnya, maka Kepala Satuan Kerja wajib meneliti kembali apakah hal tersebut telah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dalam rangka proses penyelesaian kerugian negara.
Kepala Satuan Kerja dapat membentuk tim Ad Hoc untuk melakukan pengumpulan data/informasi dan verifikasi kerugian negara berdasarkan
penugasan dari Kepala Kantor/Satuan Kerja. Verifikasi dimaksudkan untuk memperoleh kepastian mengenai:
a. jumlah/besarnya kerugian negara;
b. pihak-pihak yang harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian negara; dan
c. bukti-bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mendukung huruf a dan b.
Hasil penelitian dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan/Berita Acara Pemeriksaan/Penelitian.
Contoh informasi kerugian negara dari pemeriksaan BPK:
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013 (Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan) menyebutkan:
a. Kekurangan volume pekerjaan dan tidak sesuai spesifikasi atas Belanja Barang sebesar Rp26.158.026.919,64 terjadi pada 24 KL dan atas Belanja Modal sebesar Rp83.187.043.322,67 terjadi pada 37 KL;
b. Perbedaan spesifikasi atas Belanja Barang sebesar Rp116.238.700,00 terjadi pada dua KL dan atas Belanja Modal sebesar Rp15.981.743.305,97 terjadi pada 12 KL;
c. Pemahalan harga dari prosedur pengadaan yang tidak sesuai ketentuan pada Belanja Modal sebesar Rp13.655.909.510,47 terjadi pada delapan KL;
d. Pembayaran 100% atas pekerjaan yang belum selesai pada akhir tahun tidak didukung dengan Bank Garansi dan/atau Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) sebesar Rp71.666.033.682,21 pada terjadi dua KL yaitu Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp65.958.981.041,79 dan Kementerian Koperasi dan UKM sebesar Rp5.707.052.640,42;
e. Terdapat pemutusan kontrak tanpa ada pencairan jaminan pelaksanaan dan/atau jaminan uang muka pada Belanja Modal sebesar Rp15.357.987.379,00 terjadi pada 10 KL; dan
f. Selain permasalahan-permasalahan tersebut, terdapat permasalahan kelebihan bayar lainnya pada Belanja Barang sebesar Rp56.710.940.203,07 terjadi pada 17 KL diantaranya sebesar Rp30.777.894.616,84 terjadi di Kementerian Komunikasi dan
Informatika berupa kelebihan bayar pada pekerjaan Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK).
g. Selain itu terdapat kelebihan bayar pada Belanja Modal sebesar Rp48.342.528.473,98 terjadi pada sepuluh KL, diantaranya sebesar Rp19.765.741.013,00 adalah kelebihan bayar di Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebesar Rp2.878.850.790,00 dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebesar Rp16.886.890.223,00.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Presiden untuk memerintahkan para Menteri/Kepala Lembaga agar melakukan pengenaan dan penagihan denda atas kerugian negara kepada pihak yang bertanggung jawab dan memberikan sanksi dan melakukan upaya hukum terkait indikasi tindakan melawan hukum dan merugikan negara.
2. Pelaporan Kasus Kerugian Negara
Berdasarkan informasi kerugian negara, Kepala Satuan Kerja melakukan pemeriksaan kas/surat berharga/barang yang dikelola atau dikuasai oleh bendahara. Dalam pemeriksaan tersebut dapat terjadi 2 (dua) kondisi terhadap bendahara yaitu Bendahara Mampu Bertanggung Jawab dan Bendahara di Bawah Pengampuan/Berhalangan Tetap/Melarikan Diri/Meninggal Dunia.
a. Bendahara Mampu Bertanggung Jawab
Pengungkapan pertama pada kasus kerugian negara pada umumnya tidak/belum cukup memberikan data/bukti yang kuat untuk keperluan suatu tuntutan perbendaharaan, maka langkah yang perlu dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja adalah membebastugaskan sementara Bendahara dari jabatannya dan segera mengadakan penelitian dan mengumpulkan bahan bukti tertulis untuk melengkapi laporan yang akan disampaikan, meliputi: 1) Peristiwa terjadinya kerugian negara (jelaskan penyebab/bila terjadinya
kerugian negara);
2) Jumlah kerugian negara yang pasti yang dapat diketahui dari perhitungan bendahara;
3) Siapa saja yang tersangkut (Bendahara, pejabat, pegawai maupun pihak ketiga) dengan melengkapi jawaban;
4) Unsur salah (besar/kecilnya kesalahan) dari masing-masing pihak (penilaian oleh Kepala Satuan Kerja);
5) Keterangan lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian adanya kerugian negara (misalnya adanya Keputusan Hakim, jumlah yang telah diganti dan sebagainya).
Kepala Satuan Kerja wajib menyimpan bukti-bukti/berkas-berkas yang berkaitan dengan kerugian negara tersebut.
b. Bendahara di Bawah Pengampuan/Berhalangan Tetap/Melarikan Diri/Meninggal Dunia
Apabila Bendahara di bawah pengampuan/berhalangan tetap/melarikan diri/meninggal dunia sehingga tidak dapat segera dilakukan pengujian/pemeriksaan kas, maka untuk menjaga kepentingan negara Kepala Satuan Kerja melakukan tindakan sebagai berikut:
1) Mengamankan
a) Buku Kas Umum/Buku Persediaan diberi garis penutup;
b) Semua buku dan bukti-bukti lain disimpan di dalam lemari dan disegel;
c) Brankas/tempat penyimpanan uang/gudang/tempat penyimpanan barang disegel.
Tindakan untuk menjamin kepentingan negara dengan penyegelan tersebut dilakukan dengan membuat Berita Acara Penyegelan dengan disaksikan oleh paling kurang 2 (dua) orang pegawai pada satuan kerja bersangkutan.
2) Membentuk Tim Ex-Officio
Kepala Satuan Kerja membentuk Tim yang secara ex-officio mempunyai tugas membuat perhitungan dengan melakukan pemeriksaan kas/gudang dan penutupan buku kas/buku persediaan dan menyelesaikan laporan/pertanggungjawaban perhitungan secara
ex-officio. Pengertian perhitungan ex-officio adalah suatu perhitungan
perbendaharaan yang dilakukan oleh pejabat ex-officio apabila bendahara meninggal dunia, melarikan diri, dibawah pengampuan atau tidak membuat pertanggungjawaban dan telah ditegur oleh atasan langsungnya namun sampai batas waktu yang diberikan bendahara yang bersangkutan tidak membuat perhitungan dan pertanggungjawaban.
Dalam melaksanakan tugasnya sedapat mungkin Tim memberi kesempatan kepada keluarga terdekat atau pengampu atau ahli waris bendahara atau mereka yang memperoleh hak untuk melihat/memeriksa buku-buku dan bukti-bukti mengenai pengurusan bendahara bersangkutan. Yang dimaksud ahli waris disini adalah seseorang yang menggantikan kedudukan pewaris terhadap warisan berkenaan dengan hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk sebagian atau seluruhnya. 3) Membantu pejabat pembuat perhitungan secara ex-officio dalam
pembuatan perhitungan tersebut.
4) Memberitahukan hasil perhitungan ex-officio kepada pengampu (wali) atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak peninggalan.
5) Menunjuk bendahara pengganti sementara guna kelancaran tugas sehari-hari. Sebelum bendahara pengganti melaksanakan tugas diadakan serah terima dari Tim Ex-Officio kepada bendahara.
6) Segera melaporkan penunjukan bendahara pengganti sementara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga secara berjenjang dan mengajukan usulan penggantian bendahara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
7) Menyampaikan perhitungan ex-officio dan jawaban dari pengampu (wali) atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak peninggalan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga secara berjenjang.
Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas/Surat Berharga/Barang. Selanjutnya Kepala Satuan Kerja melaporkan kasus kerugian negara dilampiri Berita Acara Pemeriksaan Kas/Surat Berharga/Barang kepada Menteri/Pimpinan Lembaga serta memberitahukannya kepada BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kasus kerugian negara diketahui.
3. Penyelesaian Kasus Kerugian Negara oleh TPKN
Menteri/Pimpinan Lembaga wajib membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) untuk menyelesaikan kasus kerugian negara. Anggota TPKN diangkat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. Anggota TPKN terdiri dari:
a. Sekretaris Jenderal/Kepala Kesekretariatan badan-badan lain, sebagai Ketua.
b. Inspektur Jenderal/Kepala Satuan Pengawasan internal, sebagai Wakil Ketua.
c. Kepala biro/bagian keuangan, sebagai Sekretaris.
d. Personil lain yang berasal dari unit kerja di bidang pengawasan, keuangan, kepegawaian, hukum, umum, dan bidang lain terkait, sebagai Anggota.
e. Sekretariat.
TPKN bertugas membantu Menteri/Pimpinan Lembaga dalam memproses penyelesaian kerugian negara yang pembebanannya akan ditetapkan oleh BPK. Dalam melaksanakan tugas tersebut, TPKN menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. Menginventarisasi kasus kerugian negara yang diterima. b. Menghitung jumlah kerugian negara.
c. Mengumpulkan dan melakukan verifikasi bukti-bukti pendukung bahwa bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara.
d. Menginventarisasi harta kekayaan milik bendahara yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara.
e. Menyelesaikan kerugian negara Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak.
f. Memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian negara sebagai bahan pengambilan keputusan dalam menetapkan pembebanan sementara.
g. Menatausahakan penyelesaian kerugian negara.
h. Menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian negara kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada BPK.
Berdasarkan laporan Kepala Satuan Kerja, Menteri/Pimpinan Lembaga menugaskan TPKN untuk menindaklanjuti kasus kerugian negara. Penugasan tersebut dilaksanakan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan dari Kepala Satuan Kerja. TPKN mengumpulkan dan melakukan verifikasi dokumen-dokumen setelah menerima penugasan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. Dokumen tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Surat keputusan pengangkatan sebagai bendahara atau sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi kebendaharaan.
b. Berita acara pemeriksaan kas/barang. c. Register penutupan buku kas/barang.
d. Surat keterangan tentang sisa uang yang belum dipertanggungjawabkan dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
e. Surat keterangan bank tentang saldo kas di bank bersangkutan.
f. Fotokopi/rekaman buku kas umum bulan yang bersangkutan yang memuat adanya kekurangan kas.
g. Surat tanda lapor dari kepolisian dalam hal kerugian negara mengandung indikasi tindak pidana.
h. Berita acara pemeriksaan tempat kejadian perkara dari kepolisian dalam hal kerugian negara terjadi karena pencurian atau perampokan.
i. Surat keterangan ahli waris dari kelurahan atau pengadilan.
Apabila diperlukan, TPKN dapat memerintahkan Kepala Satuan Kerja untuk membentuk tim ad hoc untuk melakukan inventarisasi, verifikasi, dan pemeriksaan di tempat terjadinya kerugian negara. Tim ad hoc mempunyai tugas:
a. menghimpun data, dokumen dan bukti lain serta informasi terdiri atas: 1) kronologis terjadinya kerugian negara;
2) waktu dan tempat terjadinya kerugian negara;
3) identitas Bendahara yang diduga mengakibatkan kerugian negara; dan
4) data obyek kerugian negara.
b. melakukan analisis dan verifikasi data, bukti dan dokumen serta kelengkapan lainnya yang mengarah kepada pembuktian terjadinya kerugian negara.
c. menyusun laporan pelaksanaan tugas kepada kepala satuan kerja. TPKN menyelesaikan verifikasi dokumen dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak mendapat penugasan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. Berdasarkan hasil verifikasi, TPKN menyusun Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara. Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara beserta dokumen-dokumen disampaikan oleh TPKN kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
4. Pelaporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara
Berdasarkan Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara beserta dokumen-dokumen yang disampaikan oleh TPKN, Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara beserta dokumen-dokumen dimaksud kepada BPK. Penyampaian tersebut dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari sejak Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara diterima dari TPKN.
5. Pemeriksaan Kasus Kerugian Negara Oleh BPK
Berdasarkan Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara yang diterima dari Menteri/Pimpinan Lembaga, BPK melakukan pemeriksaan kasus kerugian negara. Pemeriksan bertujuan untuk menyimpulkan telah terjadi kerugian negara. Kesimpulan memuat nilai kerugian negara, perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, dan penanggung jawab. Apabila hasil pemeriksaan terbukti ada perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, BPK menyampaikan surat kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk memproses penyelesaian kerugian negara melalui penerbitan Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM). Apabila hasil pemeriksaan ternyata tidak terdapat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, BPK menyampaikan surat kepada Menteri/Pimpinan Lembaga agar kasus kerugian negara dihapuskan dan dikeluarkan dari daftar kerugian negara.
6. Penerbitan Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak
Berdasarkan surat BPK untuk memproses penyelesaian kerugian negara melalui penerbitan SKTJM, Menteri/Pimpinan Lembaga memerintahkan TPKN agar bendahara yang merugikan negara bersedia untuk membuat dan menandatangani SKTJM. Penerbitan SKTJM tersebut dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat dari BPK.
Apabila bendahara yang merugikan negara menandatangani SKTJM, maka bendahara tersebut wajib menyerahkan jaminan kepada TPKN. Jaminan berbentuk dokumen-dokumen, yaitu: 1) bukti kepemilikan barang dan/atau kekayaan lain atas nama bendahara; 2) surat kuasa menjual dan/atau mencairkan barang dan/atau kekayaan lain dari bendahara. Surat kuasa tersebut berlaku setelah BPK mengeluarkan Surat Keputusan Pembebanan. SKTJM yang telah ditandatangani oleh bendahara tidak dapat ditarik kembali dan dibatalkan oleh bendahara.
Bendahara mengganti kerugian negara secara tunai paling lambat 40 (empat puluh) hari setelah SKTJM ditandatangani oleh bendahara. Penggantian secara tunai tersebut dilakukan dengan cara menyetorkannya ke Kas Negara. Apabila bendahara telah mengganti kerugian negara, TPKN mengembalikan bukti kepemilikan barang dan surat kuasa menjual kepada
bendahara. Dalam rangka pelaksanaan SKTJM, Bendahara dapat menjual/mencairkan harta kekayaan yang dijaminkan kepada TPKN setelah mendapat persetujuan dan di bawah pengawasan TPKN.
TPKN melaporkan hasil penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. Selanjutnya Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan hasil penyelesaian kerugian negara kepada BPK paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan dari TPKN.
Apabila bendahara telah mengganti kerugian negara, BPK menerbitkan surat rekomendasi kepada Menteri/Pimpinan Lembaga agar kasus kerugian negara dikeluarkan dari daftar kerugian negara.
7. Penerbitan Surat Keputusan Pembebanan Sementara
Penggantian kerugian negara dapat dilakukan dengan cara penerbitan Surat Keputusan Pembebanan Sementara (SKPS). SKPS adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga tentang pembebanan penggantian sementara atas kerugian negara sebagai dasar untuk melaksanakan sita jaminan. SKPS mempunyai kekuatan hukum untuk melakukan sita jaminan.
Menteri/Pimpinan Lembaga mengeluarkan SKPS apabila SKTJM tidak diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara. SKPS diterbitkan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak bendahara tidak bersedia menandatangani SKTJM. Menteri/Pimpinan Lembaga memberitahukan SKPS kepada BPK. Dalam rangka pelaksanaan sita jaminan, instansi yang bersangkutan mengajukan permintaan sita jaminan kepada instansi yang berwenang melakukan penyitaan. Permintaan sita jaminan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya SKPS.
8. Penerbitan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu
Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu (SK-PBW) adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh BPK tentang pemberian kesempatan kepada bendahara untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas tuntutan penggantian kerugian negara. BPK mengeluarkan SK-PBW apabila: a. BPK tidak menerima Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara dari Menteri/Pimpinan Lembaga; b. Bendahara tidak melaksanakan SKTJM. SK-PBW disampaikan kepada bendahara melalui atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja. Tembusan SK-PBW disampaikan kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga. SK-PBW yang diterima oleh bendahara harus dibuatkan tanda terima dari bendahara. Tanda terima tersebut disampaikan kepada BPK oleh atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja paling lambat 3 (tiga) hari sejak SK-PBW diterima bendahara.
Bendahara dapat mengajukan keberatan atas SK-PBW kepada BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal penerimaan SK-PBW yang tertera pada tanda terima. BPK menerima atau menolak keberatan bendahara dimaksud dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak surat keberatan dari bendahara diterima oleh BPK.
9. Penerbitan Surat Keputusan Pembebanan
Surat Keputusan Pembebanan (SKP) adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh BPK yang mempunyai kekuatan hukum final tentang pembebanan penggantian kerugian negara terhadap bendahara. Karakteristik SKP yaitu 1) SKP telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final, 2) SKP memiliki hak mendahulu, dan 3) SKP mempunyai kekuatan hukum untuk pelaksanaan sita eksekusi.
BPK mengeluarkan SKP apabila: 1) jangka waktu untuk mengajukan keberatan dari bendahara telah terlampaui dan bendahara tidak mengajukan keberatan; 2) bendahara mengajukan keberatan tetapi ditolak; 3) telah melampaui jangka waktu 40 (empat puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian negara belum diganti sepenuhnya. BPK menyampaikan SKP kepada bendahara melalui atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja, dengan tembusan disampaikan kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga.
BPK mengeluarkan surat keputusan pembebasan apabila BPK menerima keberatan yang diajukan oleh bendahara/pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris. Surat Keputusan Pembebasan adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh BPK tentang pembebasan bendahara dari kewajiban untuk mengganti kerugian negara karena tidak ada unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan terlampaui, BPK tidak mengeluarkan putusan atas keberatan yang diajukan bendahara maka keberatan dari bendahara diterima.
10. Pelaksanaan Surat Keputusan Pembebanan
Berdasarkan SKP dari BPK, bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke Kas Negara dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima SKP. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari telah terlampaui dan bendahara tidak mengganti kerugian negara secara tunai, instansi yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada instansi yang berwenang untuk melakukan penyitaan dan penjualan lelang atas harta kekayaan bendahara. Selama proses pelelangan, dilakukan pemotongan penghasilan yang diterima bendahara sebesar 50% (lima puluh persen) dari setiap bulan sampai lunas.
Apabila bendahara tidak memiliki harta kekayaan untuk dijual atau hasil penjualan tidak mencukupi untuk mengganti kerugian negara, maka Menteri/Pimpinan Lembaga mengupayakan pengembalian kerugian negara melalui pemotongan serendah-rendahnya sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan tiap bulan sampai lunas. Sementara itu, apabila bendahara memasuki masa pensiun maka dalam SKPP dicantumkan bahwa yang bersangkutan masih mempunyai utang kepada negara dan taspen yang menjadi hak bendahara dapat diperhitungkan untuk mengganti kerugian negara.
11. Laporan Pelaksanaan Surat Keputusan Pembebanan
Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan laporan kepada BPK tentang pelaksanaan SKP dilampiri dengan bukti setor penggantian kerugian negara ke Kas Negara.
BAB IV
PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN NEGARA TERHADAP PEGAWAI NEGERI BUKAN BENDAHARA ATAU
PEJABAT LAIN
A. Pengertian
Pegawai Negeri Bukan Bendahara adalah pegawai negeri yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan, atau diserahi tugas-tugas lainnya selain tugas Bendahara dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pengertian pegawai negeri adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara, yang dimaksud Pejabat Lain adalah pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus sebagai pejabat negara, tidak termasuk Bendahara dan Pegawai Negeri Bukan Bendahara. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pejabat negara meliputi:
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
5. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
6. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; 8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
9. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; 10. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
11. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
12. Gubernur dan wakil gubernur;
13. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
14. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
B. Penyebab Kerugian Negara
Kerugian negara yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain terjadi karena adanya perbuatan melanggar hukum atau kelalaian yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut antara lain disebabkan oleh perbuatan sebagai berikut:
1. Menyalahgunakan barang atau uang atau surat berharga milik negara. 2. Memiliki, menjual, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan,
menghilangkan, merusak dokumen, surat berharga dan/atau barang milik negara secara sah.
3. Melakukan kegiatan sendiri atau bersama atasan, teman sejawat, bawahan, atau pihak ketiga di dalam atau di luar lingkungan kerja menggunakan kekayaan negara dengan tujuan mencari keuntungan diri sendiri dan/atau orang lain dan/atau korporasi secara langsung maupun tidak langsung.
4. Menyalahgunakan wewenang atau jabatan.
5. Tidak menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya, sehingga rahasia tersebut dapat diketahui pihak lain.
6. Tidak melakukan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya sehingga pihak ketiga terhindar dari kewajiban membayar kepada negara.
7. Tidak menyimpan dan mengawasi secara khusus terhadap barang-barang yang dianggap atau dikategorikan atraktif yang menjadi wewenang penggunaannya atau lingkup tugasnya.
8. Tidak mengindahkan, atau tidak memperhatikan, tidak mengambil sikap, pada waktu mengetahui hilang atau rusaknya dokumen, surat berharga atau barang.
9. Mengambil keputusan atau tindakan yang salah sehingga ada pihak-pihak yang dirugikan dan menuntut kepada negara.
10. Tidak menyimpan dan memelihara barang yang menjadi tanggung jawabnya sehingga memungkinkan adanya kerusakan barang dari pengaruh alam atau hal-hal lainnya.
11. Kesalahan yang mengakibatkan terjadinya pembayaran kepada yang tidak berhak.
12. Kesalahan dalam membuat dan menandatangani konrak yang
mengakibatkan kerugian negara.
13. Kesalahan atau kelalaian yang menguntungkan pihak lain.
14. Kesalahan atau kelalaian dalam prosedur pengadaan barang/jasa yang mengakibatkan kerugian negara.
15. Kelalaian dalam membuat pertanggungjawaban.
C. Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain
Pada prinsipnya penyelesaian ganti kerugian negara terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini sebagaimana diatur dalam penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (3), yang menyatakan: Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau: huruf a: penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004, Pasal 63, yang menyatakan: ayat (1): Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota dan ayat (2): Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah. Sampai modul ini diterbitkan, peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain masih dalam tahap penyelesaian.
Dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 63 ayat (2), Pemerintah telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain. Rancangan peraturan pemerintah tersebut masih dalam proses pengharmonisasian.
Namun demikian, dalam rangka penyelesaian ganti kerugian negara terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain di lingkup kementerian negara/lembaga, masing-masing menteri/pimpinan lembaga telah menerbitkan peraturan menteri/pimpinan lembaga yang mengatur mengenai penyelesaian ganti kerugian negara di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Peraturan menteri/pimpinan lembaga tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1996 tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara di Jajaran Departemen Dalam Negeri.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
508/KMK.01/1999 Tanggal 14 Oktober 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.01/2014.
3. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tanggal 30 Juli 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Negara di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 Tanggal 14 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya.
5. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2011 Tanggal 30 Desember 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
6. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 Tanggal 27 Februari 2013 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Agama.
7. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh-03.Ku.03.01 Tahun 2009 Tanggal 29 Mei 2009 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.11/Menhut-Ii/2012 Tanggal 12 Maret 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara Di Lingkungan Kementerian Kehutanan.
9. Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.05/Men/2011 Tanggal 16 Februari 2011 Tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Kelautan Dan Perikanan.
10. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tanggal 29 Maret 2013 Tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Komunikasi Dan Informatika.
11. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tanggal 6 Maret 2014 Tentang Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.
12. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.24 Tahun 2011 Tanggal 22 Februari 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Perhubungan.
13. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 20/Permen/M/2006 Tanggal 03 Maret 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara Dllingkungan Kementerian Negara Perumahan Rakyat. 14. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 321 Tahun 2013 Tanggal 11 Desember 2013 Tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Kerugian Negara dan Piutang Negara Dilingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
15. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 Tanggal 26 Januari 2015 tentang Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
16. Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 Tanggal 28 Januari 2014 Tentang Pedoman
Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 Tanggal 7 September 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
18. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2012 Tanggal 21 Maret 2012 Tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara Dilingkungan Komisi Pemilihan Umum.
19. Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 8 Tahun 2013 Tanggal 3 Juni 2013 tentang Penyelesaian Kerugian Negara di Badan Informasi Geospasial.
20. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 19 Tahun 2012 Tanggal 28 November 2012 Tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Badan Narkotika Nasional.
21. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tanggal 21 September 2010 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
22. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tanggal 5 Juni 2015 Tentang Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Atas Barang Milik Negara Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan.
23. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 12 Tahun 2007 Tanggal 24 September 2007 Tentang Tuntutan Ganti Rugi Di Lingkungan Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
24. Peraturan Kepala Lembaga Sandi Negara Nomor 1 Tahun 2013 Tanggal 23 Januari 2013 Tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Lembaga Sandi Negara.
25. Peraturan Kepala Badan SAR Nasional Nomor: PK. 18 Tahun 2013 Tanggal 10 Oktober 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Badan SAR Nasional.
Berdasarkan peraturan menteri/pimpinan lembaga di atas, secara umum tahapan penyelesaian ganti kerugian negara terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain sebagai berikut:
2. Pemeriksaan/pembuktian informasi kerugian negara. 3. Pelaporan Indikasi Kerugian Negara.
4. Pembentukan Tim Penyelesaian Kerugian Negara.
5. Verifikasi dan Pemeriksaan Kasus Kerugian Negara oleh TPKN. 6. Pelaporan Hasil Verifikasi dan Pemeriksaan Kasus Kerugian Negara. 7. Tuntutan Ganti Kerugian Negara.
1. Pengungkapan Informasi Awal Kerugian Negara
Informasi awal adanya kerugian negara dapat diketahui dari berbagai sumber informasi. Sumber informasi tersebut antara lain sebagai berikut: a. Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
b. Laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
c. Laporan hasil pemeriksaan Inspektorat Jenderal/Badan Pengawasan Internal Kementerian Negara/Lembaga;
d. Pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung atau Kepala Satuan Kerja;
e. Hasil monitoring, evaluasi dan supervisi oleh Tim atau pejabat yang diberi kewenangan melakukan verifikasi;
f. Perhitungan ex-officio;
g. Yang bersangkutan; atau
h. Pengaduan/informasi masyarakat dan informasi lainnya.
Setiap pegawai negeri atau pejabat yang karena jabatannya mengetahui informasi kerugian negara wajib segera melaporkan kepada atasan langsung atau Kepala Satuan Kerja baik secara lisan maupun tulisan paling lama 7 (tujuh) hari sejak indikasi kerugian negara tersebut diketahui.
2. Pemeriksaan/Pembuktian Informasi Kerugian Negara
Kepala Satuan Kerja setelah memperoleh laporan dari pegawai atau pejabat berkenaan wajib melakukan pemeriksaan/pembuktian terhadap kebenaran laporan kerugian negara dan melakukan tindakan untuk memastikan:
a. peristiwa terjadinya kerugian negara; b. jumlah kerugian negara;
c. siapa saja yang tersangkut (pegawai negeri sipil, CPNS, atau pejabat lain);
e. keterangan lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan. Apabila informasi tersebut berhubungan dengan kerugian negara yang menjadi tanggung jawabnya, maka Kepala Satuan Kerja wajib meneliti ulang apakah hal tersebut benar-benar memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dalam proses penyelesaian tuntutan ganti rugi. Bila dipandang perlu Kepala Satuan Kerja tempat terjadinya kerugian negara dapat membentuk tim adhoc dengan mempertimbangkan bobot permasalahan kerugian negara. Berdasarkan penugasan dari Kepala Satuan Kerja tempat terjadinya kerugian negara, Tim adhoc melakukan pengumpulan data informasi dan verifikasi kerugian negara.
3. Pelaporan Indikasi Kerugian Negara
Apabila berdasarkan pemeriksaan/pembuktian informasi kerugian negara diketahui adanya indikasi kerugian negara, maka atasan langsung atau kepala satuan kerja wajib melaporkan indikasi kerugian negara tersebut kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan memberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara diketahui. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2004, Pasal 60 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui.
4. Pembentukan Tim Penyelesaian Kerugian Negara
Setelah menerima laporan indikasi kerugian negara dari atasan langsung atau kepala satuan kerja, Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan proses penyelesaian terhadap setiap kerugian negara di lingkungan kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Untuk melakukan proses penyelesaian tersebut, Menteri/Pimpinan Lembaga membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN).
TPKN adalah Tim yang dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga untuk menangani penyelesaian kerugian negara yang terjadi di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Pada prinsipnya TPKN bertugas membantu Menteri/Pimpinan Lembaga dalam menangani penyelesaian kerugian negara. Dalam melaksanakan tugasnya TPKN menyelenggarakan fungsi:
b. Mengumpulkan dan melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti pendukung bahwa Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum atau lalai dalam melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya baik secara langsung maupun tidak langsung, secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara.
c. Menginventarisasi harta kekayaan milik Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara.
d. Menyelesaikan kerugian negara melalui Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM), Surat Kesanggupan Membayar (SKM), Surat Keputusan Pembebanan.
e. Menatausahakan penyelesaian kerugian negara.
f. Apabila diperlukan dapat meminta kelengkapan data dan informasi tambahan pada Satuan Kerja.
g. Apabila diperlukan dapat menyelenggarakan rapat/pertemuan ke lokasi kasus dalam rangka tindak lanjut penyelesaian kerugian negara.
h. Memberikan saran terhadap penjatuhan hukuman/sanksi kepada pelaku kerugian negara.
i. Apabila dari hasil penelitian ternyata kerugian negara menyangkut beberapa instansi/lembaga pemerintah lainnya, instansi/lembaga pemerintah yang bersangkutan dapat membentuk tim gabungan dengan instansi/lembaga pemerintah terkait untuk melakukan pemeriksaan dan penyelesaian kerugian negara.
5. Verifikasi dan Pemeriksaan Kasus Kerugian Negara oleh TPKN
Berdasarkan penugasan Menteri/Pimpinan Lembaga, TPKN segera mengumpulkan dan melakukan verifikasi berbagai dokumen dan fakta pendukung yang relevan. Dokumen tersebut antara lain:
a. surat keputusan pengangkatan sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Lain.
b. surat keterangan bank tentang saldo kas di bank yang bersangkutan. c. surat tanda lapor dari kepolisian dalam hal kerugian negara mengandung
indikasi tindak pidana.
d. berita acara pemeriksaan tempat kejadian perkara dari kepolisian dalam hal kerugian negara terjadi karena pencurian atau perampokan.
e. surat keterangan ahli waris dari kelurahan atau pengadilan.
TPKN dalam melaksanakan pemeriksaan harus dilengkapi dengan data dan barang bukti sebagai bahan pertimbangan penyelesaian kerugian negara. Kelengkapan data dan barang bukti tersebut antara lain:
a. sebab-sebab kerugian negara. b. jumlah kerugian negara yang pasti. c. nama para pelaku yang terlibat.
d. tingkatan kesalahan, kelalaian atau kealpaan dari masing-masing pelaku atau yang terlibat.
e. bukti penyelesaian secara damai apabila sudah dilakukan. f. surat pengakuan atau SKTJM.
g. saran penyelesaian kasus dimaksud. h. keterangan lain yang dapat dipergunakan.
6. Pelaporan Hasil Verifikasi dan Pemeriksaan Kasus Kerugian Negara
TPKN menyelesaikan verifikasi dan menyusun laporan hasil verifikasi. Laporan tersebut disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penugasan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. Penyampaian laporan hasil verifikasi dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung. Dalam hal terdapat kerugian negara, laporan hasil verifikasi paling sedikit memuat:
a. besarnya kerugian negara;
b. jenis perbuatan melanggar hukum; dan
c. Pegawai Negeri bukan Bendahara atau Pejabat Lain yang diduga sebagai pelaku kerugian negara.
Dalam hal tidak terdapat kerugian negara, Menteri/Pimpinan Lembaga atas rekomendasi TPKN memerintahkan TPKN untuk menghapus kasus kerugian negara yang bersangkutan dan mengeluarkannya dari Daftar Kerugian Negara.
7. Tuntutan Ganti Kerugian Negara
Berdasarkan laporan hasil verifikasi TPKN yang menyatakan terjadinya kerugian negara, Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan Tuntutan Ganti Rugi (TGR). TGR adalah suatu proses yang dilakukan terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain dengan tujuan untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita oleh Negara/Daerah sebagai