• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA TEORITIS. kemiskinan. Beberapa ukuran yang sering digunakan dalam studi empirik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. KERANGKA TEORITIS. kemiskinan. Beberapa ukuran yang sering digunakan dalam studi empirik"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

III. KERANGKA TEORITIS

3.1 Pengukuran Kemiskinan

Banyak ukuran yang sering digunakan dalam studi empirik mengenai kemiskinan. Beberapa ukuran yang sering digunakan dalam studi empirik kemiskinan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Blackwood dan Lynch, 1994) :

1. Poverty headcount, yang mengukur besaran atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam persamaan matematis, poverty headcount, dapat ditulis :

H = --- ...(1) dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau

persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan n adalah jumlah penduduk. Ini berarti poverty headcount adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line) terhadap jumlah penduduk. Ukuran ini juga bisa dipergunakan untuk mengetahui perubahan dalam proporsi penduduk yang hidup di dalam kemiskinan. Permasalahan dalam poverty headcount adalah ukuran ini tidak menunjukkan keparahan dari kemiskinan dan menganggap distribusi pendapatan di antara penduduk miskin bersifat homogen.

2. Poverty gap, yang menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari

q n

(2)

kemiskinan. Dalam bentuk persamaan matematis, poverty gap dapat dinyatakan :

I = z – µ

...(2) dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall) yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dari rata-rata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, z adalah garis kemiskinan dan µ adalah pendapatan rata-rata dari penduduk miskin.

3. Distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Ukuran ini hanya berhubungan dengan pembagian atau distribusi pendapatan di antara penduduk miskin, dan bukan di antara penduduk secara keseluruhan karena ukuran kemiskinan absolut bergantung secara eksklusif pada pendapatan dari penduduk miskin.

Ketiga ukuran di atas adalah ukuran untuk kemiskinan absolut. Selain ukuran untuk kemiskinan absolut, Blackwood dan Lynch (1994) juga mengemukakan ukuran kemiskinan komposit (composite poverty measures), yang terdiri dari :

1. Sen index, yang mencoba mengatasi berbagai kekurangan pada ukuran-ukuran kemiskinan sebelumnya. Indeks Sen selain menggambarkan persentase penduduk miskin, juga menggambarkan luasnya kemelaratan dan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Dalam persamaan matematis, Sen index :

(3)

I = (z – yi/qz) ...(4) dimana S adalah indeks Sen (Sen poverty index), H adalah headcount index, I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall) sebagai suatu persentase dari garis kemiskinan, yi adalah pendapatan dari rumah tangga miskin ke-i, z adalah garis kemiskinan, qz adalah jumlah rumah tangga dengan pendapatan lebih kecil dari z, H = q/n adalah poverty headcount, n adalah jumlah total rumah tangga atau penduduk, Gp adalah

Gini index di antara penduduk miskin (dimana 0 ≤ Gp ≤ 1).

2. Foster-Greer-Thorbecke (FGT) index, yang merupakan indeks kemiskinan yang dikemukakan oleh Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Indeks di atas sering digunakan dalam studi empiris kemiskinan karena keunggulannya dalam mengukur kedalaman kemiskinan (depth of poverty) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Indeks Foster-Greer-Thorbecke secara matematis dapat dinyatakan :

Pα = (1/n)[

Σ

(gi/z)α] untuk α≥0...(5)

dimana n adalah jumlah individu di dalam populasi, q adalah jumlah individu atau rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan, gi adalah poverty gap dari rumah tangga ke-i, z adalah garis kemiskinan. Jika nilai α = 0, maka Pα = headcount ratio dan persamaan (5) akan

berubah menjadi :

P0 = q/n = H ...(6) Indeks P0 ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis

Σ

I=1 q

q

(4)

3.2 Tingkat Pengangguran

Mankiw (2007) menyatakan bahwa pengangguran adalah masalah makroekonomi yang paling berat dan mempengaruhi manusia secara langsung. Tingkat pengangguran yang biasa dipelajari adalah tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), yang mempengaruhi gravitasi perekonomian dalam jangka panjang, dengan adanya ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja yang menyulitkan pekerja dari proses perolehan pekerjaan dengan segera.

Persamaan matematis yang biasa digunakan dalam mengkaji mengenai pengangguran (Mankiw, 2007) adalah :

L = E + U ...(7) dimana, L adalah angkatan kerja, E adalah jumlah orang yang bekerja dan U adalah jumlah pengangguran. Tingkat pengangguran sendiri dinyatakan dengan U/L yang dapat dirumuskan menjadi :

U/L = --- ...(8) dimana, s adalah tingkat pemutusan hubungan kerja dan f adalah tingkat perolehan pekerjaan. Persamaan ini menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang bertujuan menurunkan tingkat pengangguran alamiah akan menurunkan tingkat pemutusan hubungan kerja atau meningkatkan tingkat perolehan pekerjaan, begitu juga sebaliknya.

Mankiw (2007) juga menyatakan beberapa alasan munculnya pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara pekerja dengan pekerjaan karena pekerja dan seluruh pekerjaan tidak identik. Hal inilah

s s + f

(5)

yang menyebabkan orang yang kehilangan pekerjaan tidak segera mendapatkan pekerjaan barunya.

Kedua, adanya kekakuan upah yang menyebabkan upah tidak segera menyesuaikan begitu ada perubahan penawaran dan permintaan tenaga kerja seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran Sumber : Mankiw (2007)

Begitu ada penurunan permintaan tenaga kerja misalnya, upah yang kaku menyebabkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan menjadi lebih sedikit dari jumlah tenaga kerja yang ingin bekerja sampai kemudian penawaran tenaga kerja sama dengan permintaan. Jika tidak ada kekakuan upah, begitu ada perubahan penawaran dan permintaan tenaga kerja, upah juga langsung ikut menyesuaikan sehingga tidak terjadi pengangguran.

Dornbusch et al. (2004) kemudian menjelaskan hubungan antara tingkat pengangguran dan perubahan inflasi yang ditunjukkan dalam bentuk Kurva

Tingkat pengangguran (persen)

Upah riil yang kaku Penawaran Jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan Jumlah tenaga kerja yang ingin bekerja Jumlah pengangguran

Permintaan

(6)

Phillips. Kurva Phillips menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat pengangguran dan tingkat kenaikan upah nominal dimana semakin tinggi tingkat pengangguran, maka semakin rendah laju inflasi upah. Kurva Phillips menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya tingkat pengangguran. Laju inflasi upah sendiri menurut Dornbusch et al. (2004) dapat dinyatakan :

gW = --- ...(9)

dimana gW adalah laju inflasi upah, W adalah tingkat upah dalam periode saat ini, W-1 adalah tingkat upah periode yang lalu.

Kurva Phillips dalam bentuk modern menyatakan bahwa tingkat inflasi bergantung pada tiga faktor yaitu inflasi yang diharapkan (expected inflation), deviasi pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut juga pengangguran siklikal (cyclical unemployment) dan goncangan penawaran (supply shock). Ketiga faktor tersebut dirumuskan oleh Mankiw (2007) dalam persamaan matematis menjadi :

π = πe – β(u – un) + v ...(10) dimana π adalah tingkat inflasi aktual, πe adalah tingkat inflasi yang diharapkan, u adalah tingkat pengangguran aktual, un adalah tingkat pengangguran alamiah, v adalah goncangan penawaran, (u – un) adalah tingkat deviasi pengangguran atau cyclical unemployment dan β adalah parameter atau konstanta yang mengukur

respon inflasi terhadap pengangguran siklikal. Tingkat inflasi yang diharapkan atau πe sendiri menurut Mankiw (2007) sama dengan inflasi tahun lalu atau π

-1. Ini

W – W-1

(7)

menunjukkan bahwa inflasi dipengaruhi oleh inflasi tahun lalu, pengangguran siklis dan goncangan penawaran.

3.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Hubungan antara laju pertumbuhan ekonomi riil dengan perubahan tingkat pengangguran dikenal sebagai Hukum Okun. Menurut Hukum Okun, satu poin tambahan pengangguran akan menurunkan PDB sebesar dua persen. Hubungan ini dinyatakan dalam persamaan (11) sebagai berikut (Dornbusch et al., 2004) :

--- = - ω ( u – u* ) ...(11)

dimana Y adalah tingkat output aktual, Y* adalah tingkat output alamiah, u adalah tingkat pengangguran aktual, u* adalah tingkat pengangguran alamiah dan ω = 2.

Pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penting untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat persamaan (12) yang merupakan model pertumbuhan neoklasik yang diperluas.

Dy = F( y, y*)...(12) dimana, Dy adalah laju pertumbuhan output per kapita, y adalah tingkat output per kapita sekarang dan y* adalah tingkat target output per kapita atau tingkat output per kapita jangka panjang.

Dalam model neoklasik, kenaikan hasil yang semakin berkurang (the diminishing returns) pada akumulasi modal mengimplikasikan adanya suatu laju

pertumbuhan ekonomi (Dy), yang berhubungan secara berkebalikan (inverse) dengan tingkat output (y), pada nilai y* tertentu. Variabel y dipengaruhi oleh

Y – Y*

(8)

modal fisik, modal manusia dan input-input lainnya termasuk teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Nilai y* dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, jumlah penduduk dan lain sebagainya.

Suatu kebijakan pemerintah berpotensi menaikkan laju pertumbuhan (Dy), yang kemudian akan secara berangsur-angsur menaikkan tingkat output per kapita (y). Ketika output naik, laju pertumbuhan (Dy) meningkat, dan peningkatan tersebut mengalami diminishing returns. Pada jangka panjang, dampak kebijakan tersebut hanya berpengaruh pada peningkatan output per kapita, sedangkan dampak terhadap laju pertumbuhan semakin mengecil hingga sama dengan nol.

Teori mengenai pertumbuhan ekonomi pada awalnya dikembangkan oleh Rostow (1980) melalui teori tahapan pertumbuhan yang menyatakan bahwa perubahan dari keterbelakangan menuju kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam suatu seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara sebagai berikut : 1. Tahap pertama adalah traditional society, dimana perekonomian didominasi

oleh aktivitas subsisten dimana hasil panen lebih banyak digunakan untuk konsumsi dari pada dijual. Pertanian merupakan industri yang paling penting, bersifat produksi intensif tenaga kerja dengan penggunaan modal yang terbatas.

2. Tahap kedua adalah prasyarat untuk lepas landas, yang ditandai oleh adanya perbaikan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, lapangan terbang yang dapat meningkatkan pendapatan, tabungan dan investasi serta menumbuh kembangkan banyak pelaku usaha.

(9)

3. Tahap ketiga adalah lepas landas, yang merupakan tahap peningkatan industrialisasi, dimana sebagian pekerja berpindah dari sektor pertanian ke sektor industri.

4. Tahap keempat adalah proses pematangan, yang merupakan tahap dimana perekonomian sedang melakukan diversifikasi ke area-area baru

5. Tahap kelima adalah konsumsi tinggi dari masyarakat, yang merupakan tahap dimana perekonomian disesuaikan ke arah kebutuhan konsumsi masyarakat luas.

Teori pertumbuhan ekonomi berikutnya yang terkenal adalah Teori Harrod-Domar yang menyatakan bahwa investasi berperan ganda, disatu sisi meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity) dari perekonomian dan disisi lain menciptakan atau meningkatkan permintaan (demand creating) dalam perekonomian. Investasi dalam Teori Harrod-Domar merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi dianggap sebagai kekuatan sentral di balik pertumbuhan ekonomi.

Kaitan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam model Harrod-Domar dapat dinyatakan sebagai berikut (Mankiw, 2007) :

Misalkan tabungan (S) merupakan bagian tertentu atau s, dari pendapatan nasional (Y). Hubungan ini dapat dituliskan dalam persamaan matematis sederhana :

S = sY ...(13) Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang diwakili oleh ∆K, sehingga dapat dituliskan juga dalam persamaan matematis :

(10)

Karena jumlah stok modal K berhubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y sebagaimana ditunjukkan oleh rasio modal-output maka : K/Y = k atau ∆K/∆Y = k, sehingga :

∆K = k∆Y ...(15) Mengingat jumlah keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I) maka hubungan tersebut dapat ditulis dalam persamaan :

S = I ...(16) Dari persamaan (16) dengan demikian maka identitas tabungan yang merupakan persamaan modal dapat tulis :

S = sY = k∆Y = ∆k = I ...(17) atau dapat disederhanakan menjadi :

sY = k∆Y ...(18) Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan dibagi dengan Y dan k, maka akan diperoleh persamaan :

s/k = ∆Y/Y ...(19) dimana ∆Y/Y adalah pertumbuhan ekonomi, s adalah tingkat tabungan nasional, k adalah incremental capital output ratio (∆K/∆Y atau I/∆Y), Y adalah output nasional atau GNP, K adalah stok kapital dan I adalah investasi.

Persamaan (19) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modal output nasional (k). Ini bisa diartikan bahwa agar suatu perekonomian dapat tumbuh, maka perekonomian itu haruslah menabung dan menginvestasikan sebesar proporsi yang tertentu dari GNP-nya (Todaro dan Smith, 2006).

(11)

Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar kemudian dikembangkan menjadi Teori Pertumbuhan Solow dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Perbedaan antara Teori Harrod-Domar dengan Teori Pertumbuhan Solow adalah, jika Teori Harrod-Harrod-Domar mengasumsikan skala hasil tetap (constant return to scale) dengan koefisien baku, maka Teori Pertumbuhan Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis terpisah, jika keduanya dianalisis bersamaan atau sekaligus maka Solow juga menggunakan asumsi skala hasil tetap.

Model Teori Pertumbuhan Solow dalam bentuk formal dapat dituliskan dalam bentuk fungsi produksi agregat (Dornbusch et al., 2004) :

Y(t) = F(K(t)α , [A(t)L(t)]1-α) ...(20) dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen serta α merupakan elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan GDP akibat penambahan satu persen modal fisik dan modal manusia). Model Pertumbuhan Solow sering disebut juga model pertumbuhan eksogen karena tingkat kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Model pertumbuhan Solow menyatakan bahwa perekonomian berbagai negara akan konvergen pada tingkat pendapatan yang sama jika negara-negara tersebut memiliki tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktivitas yang sama. Berbeda dengan Model Harrod-Domar, Model pertumbuhan Solow membolehkan substitusi antara modal dan tenaga

(12)

kerja. Dengan asumsi skala hasil konstan, jika input dinaikkan dengan jumlah yang sama maka output akan meningkat dengan jumlah yang sama, yang dapat dituliskan dalam bentuk matematis :

γY = F(γK, γL) ...(21) dimana γ > 0. Jika γ = 1/L maka persamaan di atas dapat dituliskan menjadi :

Y/L = F(K/L, 1) …….. ...(22) atau

y = f(k) ...(23) sehingga penyederhanaan di atas menghasilkan fungsi produksi yang hanya berhubungan dengan satu variabel.

Adanya ketidakpuasan terhadap Teori Pertumbuhan Solow mendorong munculnya Teori Pertumbuhan Baru karena adanya anggapan bahwa kinerja teori pertumbuhan neoklasik atau Solow tidak memuaskan dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Teori neoklasik menyatakan bahwa sebagian besar sumber pertumbuhan ekonomi merupakan faktor eksogen atau proses yang sama sekali independen dari kemajuan teknologi (Todaro dan Smith, 2006).

Teori Pertumbuhan Baru memberikan kerangka teoritis dalam menganalisis pertumbuhan endogen yang ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi, bukan oleh kekuatan di luar sistem. Model pertumbuhan baru menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan konsekuensi alamiah dari keseimbangan jangka panjang. Teori Pertumbuhan Baru berusaha untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang sedang diobservasi.

(13)

Teori Pertumbuhan Baru sering digambarkan dalam persamaan sederhana yaitu Y = AK (Dornbusch et al., 2004), dimana A adalah semua faktor yang mempengaruhi teknologi dan K adalah modal fisik dan modal sumberdaya manusia. Dalam persamaan ini tidak terdapat hasil yang semakin menurun (diminishing returns) atas modal, sehingga ada kemungkinan investasi modal fisik dan modal sumberdaya manusia dapat meningkatkan produktivitas, yang berbeda dengan hasil yang semakin menurun. Hasil akhir dari teori pertumbuhan endogen adalah diperolehnya pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan.

3.4 Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit 3.4.1 Hubungan Produksi Biodiesel dengan Harga Minyak Bumi

Banyaknya produksi biodiesel sangat berhubungan dengan harga minyak bumi. Salah satu hubungan produksi biodiesel di Amerika Serikat (Hartoyo et al., 2009) dengan harga minyak bumi dinyatakan sebagai berikut :

Ln Y = 0.68 + 3.12 Ln P ...(24) dimana Y adalah produksi biodiesel dan P adalah harga minyak mentah. Dari persamaan di atas diketahui bahwa jika harga minyak mentah meningkat 1 persen maka produksi biodiesel akan meningkat sebesar 3.12 persen. Data produksi biodiesel di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa rata-rata produksi biodiesel meningkat 60 persen per tahun.

Penelitian Lopez dan Laan (2008) di Malaysia juga menunjukkan bahwa produksi biodiesel dari kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit dan harga minyak kelapa sawit sendiri juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi sehingga produksi biodiesel dari kelapa sawit juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi. Harga minyak bumi sendiri selama empat tahun terakhir sejak biodiesel dari

(14)

kelapa sawit dikembangkan di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23.88 persen.

3.4.2 Biodiesel dari Kelapa Sawit

Biodiesel secara teknologi bukanlah hal yang baru. Ketika Dr. Rudolf Diesel mengembangkan mesin diesel pertama kali tahun 1912, desainnya untuk bahan bakar minyak kacang tanah. Minyak kacang tanah merupakan bahan bakar yang aman, tidak beracun, dapat terurai secara biologis dan dapat diperbarui serta dapat digunakan dengan mudah pada mesin diesel yang tidak dimodifikasi (Boyd et al., 2004).

Produksi biodiesel dari bahan baku yang sesuai dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan lingkungan di sejumlah negara sedang berkembang, menciptakan tambahan lapangan kerja, mengurangi beban energi impor dan membuka potensi pasar ekspor (COM, 2006). Untuk Indonesia, biodiesel yang dapat digunakan berasal dari minyak kelapa sawit karena ketersediaan lahan tanaman tersebut, kesesuaian iklim, produktivitas yang cukup baik dan jumlah produksi yang mencapai lebih dari 20 juta ton per tahun. FAO (2008) mencatat tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan biodiesel 2500 – 6000 liter/ha, sementara tanaman jarak pagar hanya menghasilkan biodiesel 400 – 2200 liter/ha.

Biodiesel dari kelapa sawit diproduksi menggunakan minyak kelapa sawit (crude palm oil). Minyak kelapa sawit (crude palm oil) yang dihasilkan dari tandan buah segar kelapa sawit dapat diolah menjadi tiga kelompok produk yaitu Olein, Stearin dan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate). Olein dapat diolah lagi menjadi asam lemak (fatty acid), alkohol lemak (fatty alcohol), minyak goreng

(15)

alkohol lemak (fatty alcohol) dan biodiesel. PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) sendiri dapat diolah lagi menjadi sabun dan tepung lemak (fat powder). Dengan demikian, biodiesel dari kelapa sawit dapat dihasilkan, baik dari Olein maupun Stearin seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Sederhana Produk Turunan dari Minyak Kelapa Sawit Sumber : SBRC, 2009

Malaysia telah memulai program pengembangan biodiesel dari kelapa sawit sejak tahun 1982 melalui riset yang dibiayai oleh iuran dari para produsen minyak kelapa sawit di Malaysia. Pabrik biodiesel komersial resmi beroperasi tahun 2006 dan pada akhir 2007 ada 92 proyek biodiesel yang telah disetujui oleh pemerintah Malaysia. Pengembangan industri biodiesel di Malaysia didukung secara penuh oleh pemerintah Malaysia melalui berbagai insentif pajak dan subsidi (Lopez dan Laan, 2008).

Pengembangan bahan bakar nabati termasuk biodiesel dari kelapa sawit memberikan dampak terhadap indikator makroekonomi suatu perekonomian

(16)

terutama terkait dengan kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Raswant et al. (2008) menyatakan pengembangan bahan bakar nabati, walaupun ada kecemasan akan berdampak pada kenaikan harga pangan, dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi terutama dari perdesaan melalui tambahan aliran modal masuk, menciptakan permintaan untuk pangan dan jasa yang membuka lapangan kerja, menurunkan perpindahan dari perdesaan ke perkotaan dan menciptakan efek pengganda bagi perekonomian. Pengembangan bahan bakar nabati dapat berkontribusi pada penurunan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja karena produksi bahan bakar nabati yang padat karya dapat menciptakan lapangan kerja yang signifikan.

3.4.3 Skenario Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit

Trend kenaikan harga bahan bakar fosil, akibat keterbatasan sumber daya telah menarik banyak negara untuk menggunakan biodiesel sebagai salah satu bahan bakar nabati. Pada tahun 2001 sekitar 79.4 persen dari energi primer dunia masih berasal dari bahan bakar fosil dimana 44 persen diantaranya berupa bahan bakar minyak (UNDP, 2004). Kombinasi dari harga, permintaan, cadangan dan penurunan biaya produksi biodiesel telah menarik banyak negara untuk bergabung dengan trend bahan bakar nabati ini (IEA, 2006).

Sielhorts et al. (2008) dari Wetlands International menyatakan bahwa terdapat dua skenario yang sering digunakan sebagai dasar dalam pengembangan bahan bakar nabati yang terjadi di seluruh dunia termasuk untuk biodiesel dari kelapa sawit. Skenario tersebut adalah sebagai berikut :

(17)

Skenario substitusi impor digunakan berdasarkan asumsi negara-negara pengembang bahan bakar nabati akan melakukan substitusi impor bahan bakar bensin dan diesel dengan etanol dan biodiesel. Besarnya tingkat substitusi disesuaikan dengan ketersediaan lahan, investasi yang dibutuhkan dan kemampuan teknologi yang dimiliki.

2. Skenario peningkatan ekspor

Skenario peningkatan ekspor digunakan berdasarkan kemampuan negara-negara pengembang bahan bakar nabati memenuhi permintaan bahan bakar nabati dari konsumen dunia. Besarnya permintaan yang dapat dipenuhi tergantung pada daya saing masing-masing produsen bahan bakar nabati. Permintaan bahan bakar nabati ini jika terpenuhi dapat menjadi tambahan nilai ekspor bagi negara bersangkutan.

Pengembangan bahan bakar nabati terutama biodiesel memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan ketahanan energi nasional melalui pengurangan pengeluaran dan ketergantungan mereka terhadap sumber energi impor yang tidak stabil dan berbiaya tinggi (Raswant et al., 2008). Faktor lain yang berperan dalam pengembangan biodiesel adalah skala potensial produksi, ukuran pasar nasional dan regional, investasi infrastruktur yang diperlukan, dukungan dari rezim kebijakan, pilihan negara untuk ekspor dan harga pasar dari bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel (COM, 2006).

Untuk Indonesia, Triyanto (2007) menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi dalam pengembangan biodiesel dari kelapa sawit. Pertama, bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit berkembang dengan pesat dan tidak mengganggu stabilitas pasokan bahan baku minyak goreng (55.56 persen). Kedua,

(18)

bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak berkembang (27.27 persen). Ketiga, bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit berkembang sangat pesat dalam waktu yang singkat, sehingga mengganggu stabilitas pasokan bahan baku minyak kelapa sawit untuk minyak goreng (17.17 persen). Untuk itu agar pengembangan biodiesel dari kelapa sawit berhasil dengan baik maka strategi yang dapat dilakukan adalah pengembangannya dilakukan bertahap, teknologi yang digunakan fleksibel untuk multi bahan baku, pembangunan industrinya terpadu dan dilakukan aliansi dengan negara maju.

3.5 Teori Produksi

3.5.1 Tandan Buah Segar Kelapa Sawit

Produksi tandan buah segar kelapa sawit, jika diasumsikan terdapat tiga input yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut :

QTBS = f (X1, X2, X3)...(25) Dimana :

QTBS = Produksi tandan buah segar kelapa sawit X1 = Jumlah input 1 yang digunakan

X2 = Jumlah input 2 yang digunakan X3 = Jumlah input 3 yang digunakan

Permintaan input untuk memproduksi tandan buah segar kelapa sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

X1 = f (P1, PTBS, P2, P3)...(26) X2 = f (P2, PTBS, P1, P3)...(27) X3 = f (P3, PTBS, P1, P3)...(28) Dimana :

(19)

P2 = Harga input 2 P3 = Harga input 3

PTBS = Harga tandan buah segar kelapa sawit

Penawaran untuk tandan buah segar kelapa sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

STBS = f (PTBS, P1, P2, P3)...(29) Dimana :

STBS = Penawaran tandan buah segar kelapa sawit PTBS = Harga tandan buah segar kelapa sawit P1 = Harga input 1

P2 = Harga input 2 P3 = Harga input 3

3.5.2 Minyak Kelapa Sawit

Produksi minyak kelapa sawit, jika diasumsikan selain tandan buah segar kelapa sawit terdapat dua input yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut :

QCPO = f (Y1, Y2, Y3)...(30) Dimana :

QCPO = Produksi minyak kelapa sawit Y1 = Jumlah TBS yang digunakan Y2 = Jumlah input 2 yang digunakan Y3 = Jumlah input 3 yang digunakan

Permintaan input untuk memproduksi minyak kelapa sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

Y1 = f (PTBS, PY2, PY3)...(31) Y2 = f (PY2, PTBS, PY3)...(32) Y3 = f (PY3, PTBS, PY2)...(33)

(20)

PTBS =Harga tandan buah segar kelapa sawit PY2 = Harga input 2

PY3 = Harga input 3

PTBS = Harga tandan buah segar kelapa sawit

Penawaran untuk minyak kelapa sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

SCPO = f (PCPO, PTBS, PY2, PY3)...(34) Dimana :

SCPO = Penawaran minyak kelapa sawit PCPO = Harga minyak kelapa sawit

PTBS = Harga tandan buah segar kelapa sawit PY2 = Harga input 2

PY3 = Harga input 3

3.5.3 Olein

Produksi olein, jika diasumsikan selain minyak kelapa sawit terdapat dua input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut :

QOL = f (Z1, Z2, Z3)...(35) Dimana :

QOL = Produksi olein

Z1 = Jumlah minyak kelapa sawit yang digunakan Z2 = Jumlah input 2 yang digunakan

Z3 = Jumlah input 3 yang digunakan

Permintaan input untuk memproduksi olein dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

Z1 = f (PCPO, PZ2, PZ3)...(36) Z2 = f (PZ2, PCPO, PZ3)...(37)

(21)

Dimana :

PCPO =Harga minyak kelapa sawit PZ2 = Harga input 2

PZ3 = Harga input 3

Penawaran untuk olein sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

SOL = f (POL, PCPO, PZ2, PZ3)...(39) Dimana :

SOL = Penawaran olein POL = Harga olein

PCPO = Harga minyak kelapa sawit PZ2 = Harga input 2

PZ3 = Harga input 3

3.5.4 Minyak Goreng Sawit

Produksi minyak goreng sawit, jika diasumsikan selain olein terdapat dua input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut :

QMG = f (V1, V2, V3)...(40) Dimana :

QMG = Produksi minyak goreng sawit V1 = Jumlah olein yang digunakan V2 = Jumlah input 2 yang digunakan V3 = Jumlah input 3 yang digunakan

Permintaan input untuk memproduksi minyak goreng sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

V1 = f (POL, PV2, PV3)...(41) V2 = f (PV2, POL, PV3)...(42)

(22)

Dimana :

POL =Harga olein PV2 = Harga input 2 PV3 = Harga input 3

Penawaran untuk minyak goreng sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

SMG = f (PMG, POL, PV2, PV3)...(44) Dimana :

SMG = Penawaran minyak goreng sawit PMG = Harga minyak goreng sawit POL = Harga olein

PV2 = Harga input 2 PV3 = Harga input 3

3.5.5 Stearin

Produksi stearin, jika diasumsikan selain minyak kelapa sawit terdapat dua input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut :

QST = f (W1, W2, W3)...(45) Dimana :

QST = Produksi minyak goreng sawit

W1 = Jumlah minyak kelapa sawit yang digunakan W2 = Jumlah input 2 yang digunakan

W3 = Jumlah input 3 yang digunakan

Permintaan input untuk memproduksi stearin dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

W1 = f (PCPO, PW2, PW3)...(46) W2 = f (PW2, PCPO, PW3)...(47)

(23)

Dimana :

PCPO =Harga minyak kelapa sawit PW2 = Harga input 2

PW3 = Harga input 3

Penawaran untuk stearin sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

SST = f (PST, PCPO, PW2, PW3)...(49) Dimana :

SST = Penawaran stearin PST = Harga stearin

PCPO = Harga minyak kelapa sawit PW2 = Harga input 2

PW3 = Harga input 3

3.5.6 Biodiesel dari Kelapa Sawit

Produksi biodiesel dari kelapa sawit menggunakan bahan baku dari olein dan stearin. Jika diasumsikan selain olein dan stearin terdapat input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut :

QBIODL = f (R1, R2, R3)...(50) Dimana :

QBIODL = Produksi biodiesel dari kelapa sawit R1 = Jumlah olein yang digunakan R2 = Jumlah stearin yang digunakan R3 = Jumlah input lain yang digunakan

Permintaan input untuk memproduksi biodiesel dari kelapa sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

R1 = f (POL, PST, PW3)...(51) R2 = f (PST, POL, PW3)...(52)

(24)

Dimana :

POL = Harga olein PST = Harga stearin PW3 = Harga input lain

Penawaran untuk biodiesel dari kelapa sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

SBIODL = f (PBIODL, POL, PST, PW3)...(54) Dimana :

SBIODL = Penawaran biodiesel dari kelapa sawit PBIODL = Harga biodiesel

POL = Harga olein PST = Harga stearin PW3 = Harga input lain

3.6 Keterkaitan Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi

Keterkaitan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap harga dan produksi tandan buah segar kelapa sawit, harga dan produksi minyak goreng sawit dan harga dan produksi olein-stearin sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat meningkatkan permintaan terhadap olein dan stearin sebagaimana terlihat pada Gambar 5a. Naiknya permintaan terhadap olein-stearin yang berdampak kepada peningkatan permintaan terhadap minyak kelapa sawit seperti terlihat pada Gambar 5b, akan menggeser kurva permintaan minyak kelapa sawit dari DCPO ke D’CPO. Pergeseran ini membuat permintaan terhadap minyak kelapa sawit naik dari q0cpo ke q1cpo sehingga harga minyak kelapa sawit

(25)

Perubahan permintaan dan harga dari minyak kelapa sawit berdampak pada perubahan permintaan dan harga pada komoditas tandan buah segar kelapa sawit sebagaimana terlihat pada Gambar 5c. Kenaikan permintaan terhadap minyak kelapa sawit menyebabkan kurva permintaan tandan buah segar kelapa sawit bergeser dari D0TBS menjadi D1TBS yang berdampak pada harga dan produksi tandan buah segar kelapa sawit dimana harga tandan buah segar kelapa sawit naik dari p0tbs menjadi p1tbs dan produksi tandan buah segar kelapa sawit naik dari q0tbs

menjadi q1tbs (Pindyck and Rubinfeld, 2001).

Penggunaan minyak kelapa sawit untuk bahan bakar biodiesel di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi industri hilir yang menggunakan minyak kelapa sawit terutama industri pangan seperti minyak goreng. Meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit membuat harga minyak kelapa sawit juga meningkat dari p0cpo menjadi p1cpo. Ini berarti harga input minyak goreng meningkat sehingga

input yang digunakan berkurang dari x0 menjadi x1 dan output yang dihasilkan juga berkurang dari q0 menjadi q1 sebagaimana terlihat pada Gambar 5d dan Gambar 5e. Berkurangnya output yang dihasilkan menyebabkan kurva penawaran minyak goreng bergeser dari S0MG menjadi S1MG sehingga harga minyak goreng kelapa sawit naik dari p0MG menjadi p1MG seperti terlihat pada Gambar 5g.

Perubahan yang terjadi pada produksi tandan buah segar kelapa sawit akan mempengaruhi produksi sektor pertanian karena pangsa komoditas kelapa sawit pada sektor pertanian sekitar 36 persen (BPS, 2010). Perubahan yang terjadi pada produksi olein-stearin dan produksi minyak goreng kelapa sawit karena pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit juga akan mempengaruhi produksi sektor industri karena pangsanya sekitar 8 persen (BPS, 2010).

(26)
(27)

Total produksi nasional biasanya dikelompokkan berdasarkan sektor-sektor utama dan memiliki pangsa yang signifikan dalam perekonomian misalnya produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya. Secara keseluruhan, total produksi nasional yang terdiri dari produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya karena pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit akan berubah. Secara matematis, total produksi nasional (Mankiw, 2007) dapat ditulis :

AS = GDPA + GDPI + GDPO ...(55) dimana :

AS = Total produksi nasional (Trilyun rupiah) GDPA = Produksi sektor pertanian (Trilyun rupiah) GDPI = Produksi sektor industri (Trilyun rupiah) GDPO = Produksi sektor lainnya (Trilyun rupiah)

Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi dimana terjadi kenaikan total produksi nasional dari tahun sebelumnya (Mankiw, 2007) yang dapat ditulis : EGRO = ((ASt – ASt-1)/ASt-1) * 100%...(56) dimana :

EGRO = Pertumbuhan ekonomi (%)

ASt = Total produksi nasional (Trilyun rupiah)

ASt-1 = Total produksi nasional tahun sebelumnya (Trilyun rupiah)

Jika pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat meningkatkan produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya sehingga total produksi nasional menjadi lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya berarti kebijakan pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit

(28)

Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan karena pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat membantu menurunkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di perkotaan akan berubah karena kontribusi pertumbuhan ekonomi walaupun juga terjadi perubahan harga pangan terutama harga minyak goreng dan perubahan faktor lainnya yang terkait. Jumlah penduduk miskin di perdesaan juga akan berubah karena kontribusi pertumbuhan ekonomi walaupun juga terjadi perubahan faktor-faktor lainnya yang terkait.

Jika pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat meningkatkan produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya maka tercipta banyak lapangan kerja di sektor pertanian, sektor industri dan sektor lainnya sehingga terjadi peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja. Peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja jika jumlahnya lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja maka dapat menurunkan jumlah pengangguran (Mankiw, 2007) sesuai dengan persamaan berikut :

UNM = SEM – DEM ...(57) dimana :

UNM = Jumlah pengangguran (orang)

SEM = Jumlah penawaran tenaga kerja (orang) DEM = Jumlah permintaan tenaga kerja (orang)

Gambar

Gambar 3.  Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran      Sumber : Mankiw (2007)
Gambar 4.   Diagram Sederhana Produk Turunan dari Minyak Kelapa Sawit      Sumber : SBRC, 2009
Gambar 5.   Dampak Penggunaan Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Biodiesel

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan ini memiliki tujuan untuk memberikan informasi mengenai seni tradisional Bantengan yang ada di kota Batu kepada masyarakat dengan jangkauan yang lebih

Pembuatan situs ini didasarkan pada tuntutan terhadap kemajuan teknologi komputer dalam berbagai bidang, seperti munculnya teknologi internet dimana web merupakan suatu

Proses pengiriman pesan merupakan salah satu proses yang dapat dilakukan oleh member melalui aplikasi messaging berbasis voice interaction bagi penyandang tunanetra

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan penelitian berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Watung (2010) GHQJDQ MXGXO ³$QDOLVLV IDNWRU-faktor

Penelitian kesesuaian lahan untuk kawasan industri pernah dilakukan Sanjoto (1996) dengan mengambil lokasi di sub Wilayah Pembangunan I Kabupaten Kendal. Oleh

Analisis statistik deskriptif dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai hasil belajar Bahasa Indonesia sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberikan perlakuan

Kasasi Demi Kepentingan Hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu

 Panitera Pengganti wajib melaporkan tanggal dan amar putusan kepada Kepaniteraan Perdata pada hari itu juga setelah putusan diucapkan dan disertai perintah untuk