• Tidak ada hasil yang ditemukan

Knowledge, attitude, and practice related to rabies incidence in Flores Timur, Sikka, Manggarai, and Ngada District, East Nusa Tenggara Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Knowledge, attitude, and practice related to rabies incidence in Flores Timur, Sikka, Manggarai, and Ngada District, East Nusa Tenggara Province"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

JHECDs, I (1), 2015, hal. 1-7

1

Penelitian

Pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam kaitannya

dengan kejadian rabies di Kabupaten Flores Timur, Sikka,

Manggarai, dan Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Knowledge, attitude, and practice related to rabies incidence in

Flores Timur, Sikka, Manggarai, and Ngada District, East Nusa

Tenggara Province

Ira Indriaty Paskalita Bule Sopi*, Fridolina Mau

Loka Litbang P2B2 Waikabubak, Kementerian Kesehatan RI.

Jln. Bassuki Rahmat Km. 5 Puuwei, Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. *Korespondensi: irasopi@yahoo.com

DOI : 10.22435/jhecds.v1i1.4801.1-7

Tanggal masuk 13 Juli 2015, Revisi pertama 9 Oktober 2015, Revisi terakhir 7 Desember 2015, Diterima 10

Desember 2015, Terbit daring 2 Januari 2016

Abstract. Rabies is an acute infectious disease in the central nervous system caused by Lyssavirus. This research was done by

cross-sectional approach. Data collection done by interview using questioner. Research population was society in Flores archipelago and the samples were societies who permanently live in research location of four district (East Flores, Sikka, Manggarai and Ende) number 120 people. Result showed that our respondent have moderate knowledge and attitude concerning prevention method, infection, and symptom of rabies. However, most of respondent were lack in practice concerning rabies. This was shown by 50,8% of the respondent were keeping their dog without vaccination, 66,6% did not examine their dog after biting incident, and 41,6% did not agree with counseling.

Keywords: knowledge, attitude, practice, rabies

Abstrak. Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus Lyssavirus. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Populasi penelitian adalah masyarakat di Pulau Flores dan sampelnya adalah masyarakat yang tinggal menetap di 4 kabupaten lokasi penelitian (Kabupaten Flores Timur, Sikka, Manggarai dan Kabupaten Ngada) sebanyak 120 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap responden dinilai cukup baik terhadap cara pencegahan, penularan, tanda, gejala rabies namun perilaku responden masih kurang baik dalam pemeliharaan anjing dengan tidak melakukan vaksinasi (50,8%), tidak melakukan pemeriksaan anjing jika menggigit (66,6%) dan tidak setuju adanya penyuluhan (41,6%).

(2)

I.I.P.B. Sopi dan F. Mau PSP masyarakat dan kejadian Rabies...

2

Pendahuluan

Rabies merupakan penyakit akut virus dalam system saraf pusat dengan gejala sindrom kelumpuhan progresif dan bersifat fatal.1 Rabies

disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus famili

Rhabdovirus yang terdapat pada air liur hewan

yang terinfeksi, dikeluarkan dan disebarkan mealui luka gigitan dan jilatan.2 Rabies dapat menyerang

semua jenis binatang berdarah panas dan manusia.3 Reservoir utama rabies adalah anjing

domestik.4 Kematian akibat rabies umumnya

disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan apabila tanpa terapi secara intensif akan menyebabkan kematian yang terjadi dalam 7 hari setelah onset penyakit. Kasus rabies sebagian besar (95%) berasal dari Asia dan Afrika dan korban umumnya berasal dari anak-anak di bawah umur 15 tahun (30%-60%).5

Di Indonesia rabies menyerang 24 propinsi dari 33 propinsi dengan rata-rata kematian tiap tahunnya sebanyak 150-300 kasus.6 Sejak bulan

Mei 1998 terjadi kasus gigitan anjing positif rabies di Flores Timur dan Tanjung Bunga dan sejak saat itu Flores Timur dinyatakan sebagai daerah tertular rabies dengan surat edaran Direktur Jendral Peternakan No. TN.506/17/B/0598 tanggal 8 Mei 1998.7

Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh aspek perilaku masyarakat setempat. Pengaruh perilaku di bidang kesehatan dilatarbelakangi pula oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang penyakit.8 Perilaku seseorang didukung oleh

individu itu sendiri dan lingkungan sekitarnya, dan bukan karena paksaan dari orang lain. Perubahan perilaku karena terpaksa biasanya kurang atau tidak berkelanjutan kecuali sudah memperoleh manfaat dari adanya perubahan perilaku tersebut.9

Sampai kini belum banyak informasi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat yang berkaitan dengan kejadian rabies. Masyarakat merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan upaya pencegahan dan pengendalian rabies di suatu daerah. Kurangnya pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat menjadikan mereka rentan terhadap penularan rabies. Program pemberantasan rabies ditentukan juga oleh pengetahuan masyarakat terhadap penyakit ini.10

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka dilakukan penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan kejadian rabies di Kabupaten Flores Timur, Sikka, Manggarai dan Kabupaten Ngada.

Metode

Artikel ini merupakan bagian dari penelitian Survei Data Dasar Kasus Rabies di Pulau Flores Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2010. Pengambilan data dilaksanakan di 4 (empat) kabupaten di Pulau Flores yaitu Kabupaten Flores Timur, Sikka, Manggarai dan Kabupaten Ngada. Penelitian menggunakan studi observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah masyarakat di Pulau Flores dan sampelnya yaitu masyarakat yang tinggal menetap di 4 kabupaten lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli 2010. Data yang dikumpulkan berupa karakteristik responden dan aspek pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di lokasi penelitian. Instrumen menggunakan kuesioner dan cara pengumpulan data dengan wawancara dan observasi.

Kegiatan pertama dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data kejadian rabies dengan cara melihat data sekunder yaitu data kasus gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) dan data kasus rabies pada manusia di Pulau Flores (Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Sikka, Ende, Flores Timur dan kabupaten Nagekeo). Selanjutnya menentukan 4 (empat) kabupaten yang terdapat kasus rabies 5 (lima) tahun terakhir berturut-turut, dari masing-masing kabupaten diambil 1 (satu) kecamatan dan selanjutnya desa dengan kasus rabies atau kasus meninggal terbanyak. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan bahwa di desa tersebut merupakan daerah dengan kasus rabies terbanyak. Kegiatan wawancara dilakukan, guna mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan kejadian rabies. Hasil wawancara secara deskriptif disajikan dalam tabel distribusi frekuensi (dalam persentase).

Hasil

a. Karakteristik Responden

Jumlah responden yang berhasil diwawancara adalah sebanyak 120 orang, berdasarkan jenis kelamin paling banyak laki-laki berjumlah 35 orang (29,16%) dengan umur antara 16-45 tahun sedangkan paling sedikit pada jenis kelamin perempuan berjumlah 6 orang (5%) dengan umur ≥46 tahun. Pendidikan responden paling banyak tamat SD berjumlah 51 orang (42,48%), paling sedikit tidak sekolah berjumlah 5 (4,42%). Sedangkan pekerjaan responden sebagian besar adalah pelajar sebanyak 45 orang (37,5%).

(3)

3

b. Pengetahuan Responden Tentang

Rabies

Pengetahuan responden tentang rabies dapat dikatakan cukup baik. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa semua responden pernah mendengar tentang rabies dengan memberikan lebih dari 1 (satu) jawaban terkait tanda-tanda anjing rabies, cara pencegahan, cara pemberantasan dan pengendalian rabies.

Sumber informasi tentang rabies tersebut sebagian besar diperoleh masyarakat yaitu dari kader, teman, tetangga (33,07%). Sejumlah responden mengatakan bahwa tanda-tanda rabies adalah takut dengan air (43,80%), namun ada sejumlah responden (4,38%) mengatakan bahwa demam merupakan tanda-tanda rabies. Cara penularan rabies lebih banyak diketahui responden yakni melalui gigitan HPR (66,24%).

Tabel 1. Persentase pengetahuan responden tentang rabies di Pulau Flores, NTT

Pengetahuan rentang rabies N %

Pernah mendengar tentang rabies Pernah

Tidak Pernah 120 0 100,0 0,0

Dari mana

Mengalami sendiri

Tenaga Kesehatan (Paramedis, Penyuluh kesehatan) Mayarakat (kader,teman,tetangga)

Media (TV, radio, koran, majalah, leaflat, spanduk) Tidak tahu/tidak menjawab

30 69 85 64 9 11,67 26,85 33,07 24,90 3,50 Tanda-tanda rabies Takut air Kejang Lumpuh Demam

Tidak tahu/tidak menjawab

60 28 6 43 43,80 20,44 4,38 31,39 Cara penularan rabies

Melalui gigitan HPR Melalui cakaran HPR

Lainnya

Tidak tahu/tidak menjawab

104 33 8 12 66,24 21,02 5,10 7,64 Cara mencegah rabies

Suntik vaksin dan serum anti rabies Tidak kontak dengan HPR Lainnya, tidak pelihara HPR Tidak tahu/tidak menjawab

61 61 18 14 39,61 39,61 11,69 9,09 Tanda-tanda HPR rabies

Tidak turut perintah pemilik

Air liur keluar berlebihan dan menjadi ganas Ekor melengkung kedalam celah paha Liar dan menyerang apa saja

Lainnya

Tidak tahu/tidak menjawab

38 73 55 30 27 20 15,64 30,04 22,63 12,35 11,11 8,23 Cara memberantas rabies

HPR diberi suntikan vaksin Eliminasi HPR

Diikat atau dikandangkan Lainnya

Tidak tahu/tidak menjawab

73 93 35 9 5 33,95 43,26 16,28 4,19 2,33 Pengobatan rabies Mengobati sendiri Dokter Puskesmas Dukun

Tidak tahu/tidak menjawab

7 29 112 2 4 4,55 18,83 72,73 1,30 2,60 Jenis obat rabies

VAR (Vaksin Anti Rabies) SAR (Serum Anti Rabies) Obat Lainya

Tidak tahu/tidak menjawab

85 10 5 30 65,38 7,69 3,85 23,08

(4)

I.I.P.B. Sopi dan F. Mau PSP masyarakat dan kejadian Rabies...

4

Sejumlah responden (33,61%) menyebutkan bahwa cara mencegah rabies melalui suntik vaksin dan serum anti rabies serta tidak kontak dengan HPR sedangkan tanda-tanda HPR terkena rabies yakni air liur keluar berlebihan dan menjadi ganas (30,04%) lebih dikenal responden dibanding dengan tanda-tanda yang lain.

Sebagian responden menyebutkan bahwa untuk memberantas rabies melalui eliminasi HPR (43,26%) walaupun terdapat responden yang menyebutkan pula dengan cara HPR diberi suntikan vaksin, diikat atau dikandangkan. Apabila terkena rabies sebagian besar responden berobat ke puskesmas (72,73%) walapun ada yang menyebutkan pergi ke dukun (1,30%). Jenis obat rabies yang pada umumnya diketahui oleh responden yaitu berupa AR (65,38%).

c. Sikap Responden

Kriteria responden dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu responden yang bersikap setuju dan responden yang bersikap tidak setuju terhadap rabies. Tabel 2 menunjukkan sikap responden sebagian besar menunjukkan sikap setuju yang terlihat dari pernyataan responden (89,1%) menyetujui bahwa rabies merupakan penyakit menular, menyebabkan kematian (93,3%) dan rentan terkena pada anak-anak (83,3%). Selain itu sebagian besar responden menyetujui bahwa rabies dapat sembuh jika memperoleh vaksin (87,5%), hampir seluruh responden menjawab setuju adanya penyuluhan tentang pencegahan, pengobatan diberikan vaksin (90,8%) serta HPR dieliminasi (80,8%) walaupun terdapat (19,1%) responden tidak setuju.

Tabel 2. Presentase sikap responden terhadap rabies di Pulau Flores, NTT

Komponen Sikap Terhadap Rabies N %

Rabies penyakit menular Setuju

Tidak setuju 107 13 89,1 10,8

Rabies dapat mengakibatkan kematian Setuju

Tidak setuju 112 8 93,3 6,6

Rentan terkena pada anak-anak Setuju

Tidak setuju 100 20 83,3 16,6

Rabies bisa sembuh bila memperoleh vaksin Setuju

Tidak setuju 105 15 87,5 12,5

Perlu adanya penyuluhan Setuju

Tidak setuju 113 7 94,1 5,8

Perlu adanya pemeriksaan darah Setuju Tidak setuju 108 12 90,0 10,0 HPR diikat Setuju Tidak setuju 100 20 83,3 16,6 HPR divaksin Setuju Tidak setuju 109 11 90,8 9,1 HPR dieliminasi Setuju Tidak setuju 97 23 80,8 19,1 d. Perilaku Responden

Tabel 3 menunjukkan perilaku responden terhadap upaya pencegahan, pengobatan dan pengendalian rabies pada umumnya baik. Sebanyak 29,52% responden menyatakan untuk mencegah gigitan anjing adalah dengan membawa serta kayu tudung/tongkat, sedangkan untuk tindakan awal jika terkena gigitan HPR sebagian besar responden mencuci luka bekas gigitan dengan air mengalir (38,79%), ada juga yang

menggunakan moke arak (2,16%). Cara mengatasi jika terkena gigitan HPR (54,59%), berobat ke puskesmas walapun ada responden yang menjawab berobat ke dukun sebagai pengobatan alternatif (2,16%). Sebanyak 85,8% responden setuju jika dilakukan pengobatan pada penderita gigitan HPR akan mengalami kesembuhan masing-masing sebanyak 85,8%. Untuk HPR terdapat 49,51% responden melakukan vaksinasi secara rutin, walaupun demikian terdapat sebagian besar

(5)

5

responden (50,8%) yang tidak memeriksakan

anjing mereka jika mengigit. Sebanyak 58,3% responden yang menyetujui adanya penyuluhan dalam bentuk ceramah 78,32%. Tabel 3. Persentase perilaku responden terhadap rabies di Pulau Flores, NTT

Perilaku tentang rabies N %

Mencegah gigitan anjing

Menghindar jika melihat anjing Membawa serta kayu kudung/tongkat Biasa-biasa saja

Tidak tahu/tidak bersedia menjawab

53 62 29 6 35,33 41,33 19,33 4 Tindakan awal jika terkena gigitan HPR

Mencuci luka bekas gigitan dengan air mengalir Membersihkan dengan menggunakan deterjen/sabun Menggunakan Alkohol 70 %

Menggunakan Moke Arak

Tidak tahu/tidak bersedia menjawab

90 87 17 5 3 44,55 43,06 84,15 2,47 1,49 Cara mengatasi jika terkena gigitan HPR

Mengobati sendiri (beli obat di toko obat/warung) Berobat ke dokter

Berobat ke Puskesmas

Berobat ke dukun (pengobatan alternatif) Tidak tahu/tidak bersedia menjawab

5 43 101 4 1 3,24 27,92 65,58 2,60 0,65 Pengobatan Ya Tidak 103 17 85,8 14,1 Hasil pengobatan Sembuh Tidak 103 17 85,8 14,1

Hewan yang dipelihara rutin divaksinasi Ya

Tidak 59 61 49,1 50,8

Memeriksa anjing jika menggigit Ya Tidak 40 80 33,3 66,6 Penyuluhan Ya Tidak 70 50 58,3 41,6 Bentuk penyuluhan Ceramah Poster Leaflet Lainnya 112 6 11 14 78,32 4,20 7,69 9,79

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan responden cukup baik mengenai gejala, tanda-tanda, cara penularan, pencegahan dan pengobatan rabies. Informasi tersebut diperoleh dari kader, teman dan tetangga. Pengetahuan responden tentang cara penularan rabies, sebagian besar responden menyatakan penularan melalui gigitan HPR, hal ini diketahui oleh responden mengingat bahwa penularan rabies yang paling umum ditemui adalah melalui gigitan HPR yang memiliki virus rabies pada salivanya.11 Selain itu diketahui bahwa rabies yang

terjadi di lokasi penelitian merupakan rabies tipe ganas dengan ciri hewan suara parau, tidak menuruti perintah, kejang-kejang disusul kelumpuhan, menjadi ganas, menyerang, menggigit apa saja yang ditemui serta ekor dilekungkan

kebawah perut diantara dua paha, biasanya mati dalam 4-7 hari setelah gejala pertama muncul.12,13

Pengetahuan responden mengenai cara mencegah rabies pada umumnya menyebutkan melalui pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR), terdapat pula responden yang menjawab tidak kontak dengan HPR. Cara memberantas rabies sebagian besar responden sudah mengetahui melalui eliminasi dan pemberian suntikan vaksin, diikat atau dikandangkan. Program pemberantasan rabies di Indonesia secara umum dilakukan dengan dua cara pendekatan utama yaitu melalui program eliminasi dengan membunuh HPR dan program vaksinasi rabies secara massal terhadap HPR.14

Sejumlah responden lebih mengenal tanda-tanda HPR terkena rabies yaitu air liur keluar

(6)

I.I.P.B. Sopi dan F. Mau PSP masyarakat dan kejadian Rabies...

6

berlebihan dan menjadi ganas. Tanda ini memang merupakan salah satu tanda rabies pada hewan dengan bentuk ganas (furious rabies). Menurut Akoso (2007), sebagian besar atau kurang lebih 80% kejadian rabies pada manusia adalah tipe

furious.15 Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Jeany, dkk di Ambon yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang perawatan anjing dengan kejadian rabies pada anjing. 16 Hal

ini membuktikan bahwa pengetahuan yang tidak baik bagi pemilik anjing memberikan risiko bagi anjingnya untuk terkena rabies, pemilik anjing dengan pengetahuan baik dapat mengambil keputusan yang baik tentang cara pemeliharaan dan penanganan anjing. Pada penelitian yang dilakukan di Bali oleh Nugroho, dkk (2013), menemukan bahwa peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit rabies, kesadaran untuk mencari pengobatan medis dan memberikan laporan pasca terkena gigitan serta adanya post-exposure prophylaxis untuk manusia akan memberikan kontribusi untuk penurunan kasus gigitan dan kematian akibat rabies pada manusia.17

Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi yang menunjukkan bahwa seseorang bereaksi dengan stimulus yang diterimanya.18 Partisipasi

dalam pelaksanaan pencegahan penyakit rabies adalah gambaran keikutsertaan pemilik anjing dalam pelaksanaan program pencegahan penyakit rabies yang meliputi pemberian vaksin pada anjing peliharaan, mengikat anjing dengan rantai yang tidak lebih dari 2 meter, mengikat anjing dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter dan menutup moncongnya ketika dibawa keluar rumah, dan melaporkan anggota keluarga ke pelayanan kesehatan terdekat bila terjadi kasus gigitan.19

Sikap responden sebagian besar menyetujui terhadap upaya pencegahan dan pengobatan rabies melalui pemberian vaksin. Sebagian besar responden telah mengetahui benar bahwa jika tidak mendapatkan vaksin anti rabies maka akan menyebabkan kematian akibat dari gigitan HPR. Selain itu sikap responden sebagian besar menyetujui HPR diikat. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki sikap yang baik terhadap pemeliharaan anjing karena jika anjing peliharaan tidak diawasi oleh pemilik anjing, maka semakin bebas anjing berkeliaran sehingga semakin besar pula peluang anjing tersebut terinfeksi rabies.

Bila dilihat dari sikap responden terhadap upaya eliminasi HPR, pada umumnya responden menyetujui tindakan tersebut. Menurut Direktorat Kesehatan Hewan (2007), kebijakan

memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama yaitu untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwaliar.20 Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Lumbantoruan (2007) yang menyebutkan bahwa sikap pemilik anjing mempunyai kontribusi kuat dibandingkan dengan faktor pendidikan dan pengetahuan dalam pencegahan penyakit rabies.21 Sejalan pula dengan

penelitian Malahayati (2009), penularan rabies berawal dari suatu kondisi anjing yang dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan, hal ini merupakan suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis rabies.19

Berdasarkan hasil menunjukkan sikap responden baik namun perilaku responden kurang baik. Menurut Notoatmodjo (2007), partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri.22

Penelitian Jeany, dkk (2010) di Ambon menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap dalam pemeliharaan anjing dengan kejadian rabies.16 Sikap responden yang baik tidak

selalu nyata dalam perilaku baik yang dapat menghindarkan responden dari kejadian penyakit. Perilaku merupakan respons terhadap rangsangan dari luar dan terjadi melalui proses adanya rangsangan terhadap organisme dan organisme tersebut merespon.23 Perilaku responden

terhadap upaya pencegahan rabies menunjukkan perilaku yang kurang baik, terdapat sebagian responden tidak memeriksakan anjing mereka jika menggigit. Hal ini berkaitan pula dengan perilaku pemilik anjing dalam pemeliharaan anjing untuk mencegah anjing terkena rabies. Pada penelitian yang pernah dilakukan di Ambon menujukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara praktik pemeliharaan anjing dengan kejadian rabies pada anjing.16

Dalam penelitian terlihat bahwa banyak responden memiliki sikap baik tetapi tidak dilandasi oleh perilaku yang baik. Masyarakat dapat terhindar dari suatu penyakit apabila pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan sehingga perilaku seseorang dan keadaan sosialnya juga menjadi sehat.24

Kelemahan pada penelitian ini yaitu data yang diperoleh tidak dapat mewakili data provinsi, hanya dapat mewakili beberapa wilayah di 4 kabupaten tersebut di Provinsi Nusa Tenggara Timur tempat penelitian dilakukan.

(7)

7

Kesimpulan dan Saran

Pengetahuan dan sikap responden dinilai cukup baik terhadap cara pencegahan, penularan, tanda, gejala rabies namun perilaku kurang baik dari pemilik anjing yang ditunjukkan dengan beberapa responden tidak melakukan vaksinasi secara rutin dan tidak melakukan pemeriksaan anjing apabila menggigit. Perlu penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang pencegahan dan penanggulangan rabies untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Sikka, Kabupaten Manggarai dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada beserta staf. Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada Kepala Puskesmas di masing-masing lokasi penelitian beserta staf yang telah mendukung dan memfasilitasi dalam pelaksanaan penelitian di wilayah tersebut.

Daftar Pustaka

1. Rupprecht CE. A tale of two worlds:public health managemen decisions in human rabies prevention. Clin Infect Dis. 2004;39(2):281-3. 2. Ludra IN. Pemantauan Daerah Sebar Penyakit

Anjing Gila (Rabies) di Wilayah Pemantauan Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram. Seminar Pemantauan. Denpasar; 2010.

3. Soedijar IL, Dewa M.N.D. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Review Rabies. [update terakhir 28 September 2008] Tersedia di

kalteng.litbang.pertanian.go.id/eng/pdf/all-pdf…/fullteks/…/ikz0o5-20.pdf.

4. Jawatz E, Melnick J, Adelberg E. Medical Microbiology. New York: Mc Graw-Hill; 2010. 5. Tanzil, K. Penyakit Rabies dan

Penatalaksanaannya. Jurnal Widya Kesehatan dan Lingkungan. 2014;1(1):61-67.

6. Nugroho D.K., Pudjiatmoko, Diarmitha I.K, Tum S, Schoonman L. Analisis Data Surveilans Rabies (2008-2011) di Propinsi Bali, Indonesia. Outbreak, Survaillance and Investigation Reports (OSIR). 2013; 6(2):8-12.

7. Dinas Peternakan Kabupaten Sikka. Laporan Pemberantasan Rabies Tahun 1998-2008. Maumere; 2008.

8. Media Y, Trinabasilih, Syaiful Sofyan. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kaitannya Dengan Penularan dan Pencegahan Malaria di Kabupaten Kepualauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2011;10(3) :187-194.

9. Sudiman H, Jauhari AB. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Remaja Tentang Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi): Dengan Perhatian Khusus Pada Memantau Berat Badan dan Mengonsumsi

Makanan Beragam. Media Litbang Kesehatan. 2012;22(2): 93-105.

10. Direktorat Kesehatan Hewan. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular. Jakarta: Departemen Pertanian; 2004. 11. Eka ATJ. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat

Pengetahuan Tentang Penyakit Rabies pada Siswa Sekolah Dasar di Provinsi Sumatera Barat. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor; 2009.

12. Muslimah, S. Pandangan Budaya Orang Desa Baha di Bali Tentang Anjing dan Pengaruhnya Terhadap Penanganan Rabies. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; 2011.

13. Gallaran LN. Ekologi dan Studi Demografi Rabies Pada Anjing di Kecamatan Tallungpilu Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin; 2015. 14. Depkes RI. Petunjuk pemberantasan rabies.

Jakarta: Direktorat Jenderal P2PL: 2003.

15. Akoso BT. Pencegahan dan Pengendalian Rabies (Penyakit Menular Pada Hewan dan Manusia). Yogyakarta: Kanisius; 2007.

16. Jeany Ch, Wattimena, Suharyo. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Rabies Pada Anjing di Ambon. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2010; 6(1): 24-9. 17. Nugroho DK., Pudjiatmoko, Diarmitha IK, Tum

S, Schoonman L. Analisis Data Surveilans Rabies (2008-2011) di Propinsi Bali, Indonesia. Outbreak, Survaillance and Investigation Reports (OSIR). 2013; 6(2):8-12.

18. Sitorus, Ambarita. Pengetahuan Sikap Perilaku Masayarakat Desa Pagar Desa Terhadap Malaria (Pemukiman Suku Anak Dalam) Kabupaten Musi Banyuasin. Spirakel. 2010; 4-10.

19. Malahayati E. Pengaruh karakteristik pemilik anjing terhadap partisipasinya dalam program pencegahan penyakit rabies di Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara; 2009.

20. Direktorat Kesehatan Hewan. Kiat Vetindo Rabies Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Penyakit Rabies. Jakarta: Departemen Pertanian; 2007.

21. Lumbantoruan E. Pengaruh karakteristik individu terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies di Desa Namoriam Kecamatan Pancor Batu Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara; 2007

22. Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2007.

23. Notoatmodjo, S. Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2002.

24. Herlinae, Yemima, Roda’I J. Hubungan Pengetahuan Masyarakat Pemelihara Anjing Tentang Bahaya Rabies Terhadap Partisipasi Pencegahan. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 2013;2(2):57-63.

Gambar

Tabel 1. Persentase pengetahuan responden tentang rabies di Pulau Flores, NTT
Tabel 2. Presentase sikap responden terhadap rabies di Pulau Flores, NTT
Tabel 3. Persentase perilaku responden terhadap rabies di Pulau Flores, NTT

Referensi

Dokumen terkait

masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah hasil belajar siswa menggunakan model pembelajaran rotating trio exchange lebih baik dibandingkan dengan

Meskipun mempunyai persentase wanita dengan pendidikan tidak tamat SD terendah yaitu 11,24%, memiliki wanita aktif bekerja cukup tinggi yaitu 50,83% dan

Data biaya yang tercantum dalam elemen biaya tenaga kerja langsung pada perhitungan harga pokok produk adalah data biaya tenaga kerja yang terdapat pada tabel

Ketakutan akan tes CEPT telah menjadi salah satu problematika yang terjadi di lingkungan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, tidak terkecuali mahasiswa PAI FIAI

3.Dari hasil penelitian diperoleh data peningkatan hasil belajar peserta didik dalam 1 rombel, dan untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada rombel

Kesimpulan : Terdapat hubungan antara karakteristik individu dan lingkungan dengan kejadian tuberculosis di Puskesmas Bojongsari Purbalingga.. Kata Kunci :

[r]

Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Mortalitas Telur Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck). Dari perlakuan ternyata ekstrak biji