• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA ERIKA REVIDA. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA ERIKA REVIDA. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA ERIKA REVIDA

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini, pemerintah sedang giat-giatnya mencanangkan produktivitas sebagai salah satu jurus pembangunan yang dikembangkan, untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara maju.

Presiden Suharto dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1986 mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk melaksanakan gerakan nasional dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas di segala bidang. Sejak itu, secara perlahan-lahan telah tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pemerintah dan dunia usaha tentang pentingnya gerakan produktivitas nasional.

Produktivitas nasional mencakup banyak hal, dimulai dari produktivitas tenaga kerja, produktivitas organisasi, produktivitas modal, produktivitas pemasaran, produktivitas produksi, produktivitas keuangan dan produktivitas produk. Pada tahap awal revolusi industri di negara-negara Eropah, perhatian lebih banyak tertuju pada bidang produktivitas tenaga kerja, produktivitas produksi dan produktivitas pemasaran. Sedangkan di negara Jepang, perhatian peningkatan produktivitas tertuju pada produktivitas tenaga kerja dan produktivitas organisasi, sehingga keharmonisan kepentingan buruh dan majikan dipelihara dengan baik.

Riggs (dalam Prisma. 1986:5) menyatakan ada 3 tahapan penting yang perlu ditempuh untuk mensukseskan gerakan produktivitas, yaitu dengan ringkasan A-I-M (Awareness, Improvement, dan Maintanence).

Indonesia, pada saat ini masih pada tahap Awareness, belum mencapai Inprovement dan Maintanance. Untuk sampai pada tahap Improvement dan Maintanance banyak cara yang ditempuh, diantaranya dengan meningkatkan produktivitas total, yang terdiri dari (a). Tingkat ekonomi makro; (b). Tingkat sektor lapangan usaha; (c). Tingkat unit organisasi secara individual dan; (d). Tingkat manusia secara individual.

Simanjuntak (1983) menyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh faktor yang bersumber dari individu itu sendiri, lingkungan sosial pekerjaan, dan faktor yang berhubungan dengan kondisi pekerjaan.

Batu Bara (1989) menyatakan bahwa produktivitas itu dipengaruhi oleh motivasi dan atos kerja, Keterampilan dan kualitas tenaga kerja, pengupahan dan jaminan sosial.

Berdasarkan kajian di atas, makalah ini ingin mengkaji bagaimana pengaruh manajemen, dalam hal ini gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan terhadap produktivitas tenaga kerja, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seperti yang dilontarkan oleh Simanjuntak (1983) bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini adalah rendahnya produktivitas kerja. Sehubungan dengan hal tersebut yang akan dikaji dalam makalah ini adalah “Gaya kepemimpinan yang bagaimanakah yang mendukung tingkat produktivitas kerja yang tinggi"?.

PENGERTIAN KEPEMIMPINAN

Adalah suatu kenyataan kehidupan organisasional bahwa pimpinan memainkan peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pimpinan membutuhkan orang lain, yaitu bawahan untuk melaksanakan secara langsung tugas-tugas, di samping memerlukan sarana dan prasarana lainnya. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang kondusif di dalam kehidupan organisasional.

Agar tidak terjadi ambiquity, ada baiknya diberi batasan tentang kepemimpinan. Bordil (dalam Sugandha, 1981) mendefenisikan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang terorganisasikan dalam usaha-usaha menentukan tujuan dan mencapainya.

Bennis (dalam Kartono, 1982) memberi batasan kepemimpinan sebagai “… the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner" (proses yang digunakan seorang pejabat menggerakkan bawahannya untuk berlaku sesuai dengan cara yang diharapkan).

Dari defenisi di atas dapat dinyatakan bahwa kepemimplnan adalah merupakan proses mempengaruhi atau menggerakkan bawahan (followers) agar mau melaksanakan apa yang diinginkan atau diharapkan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena pentingnya peranan kepemimpinan di dalam kehidupan organisasional, ada pakar yang menyebut bahwa "Leadership is getting things done by the others".

(2)

Seorang pemimpin di dalam melaksanakan kepemimpinan haruslah memiliki kriteria-kriteria yang diharapkan, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki kriteria-kriteria yang lebih dari pada bawahannya misalnya jujur, adil, bertanggung jawab, loyal, energik, dan beberapa kriteria-kriteria lainnya. Kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang kompleks, oleh karena berhadapan dengan kondisi-kondisi ekonomi, nilai-nilai sosial dan pertimbangan politis.

GAYA KEPEMIMPINAN

Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan (followers) agar mau melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan yang dihaapkan agar tercapai tujuan yang telah dltentukan sebelumnya.

Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard.

1. Gaya Kepemimpinan Kontinum

Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan warren Schmidt. Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:

1). Bidang pengaruh pimpinan

2). Bidang pengaruh kebebasan bawahan.

Pada bidang pertama pemimpin lebih menggunakan otoritasnya, sedangkan pada bidang ke dua lebih menekankan gaya demokratis.

2. Gaya Managerial Grid

Robert R Blake dan Jane S mouton mengidentifikasikan gaya kepemimpinan yang diterapkan di dalam manajemen yang disebut dengan gaya managerial grid.

Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers).

Dalam managerial grid, ada empat gaya yang ekstrim dan ada satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim tersebut, seperti gambar di bawah ini.

Pada grid 1.1. manajer sedikit sekali memikirkan produksi yang harus dicapai. sedangkan juga sedikit perhatian terhadap orang-orang (followers) di dalam organisasinya. Dalam grid ini manajer hanya berfungsi sebagai perantara menyampaikan informasi dari atasan kepada bawahannya.

Dalam grid 9.9. manajer mempunyai perhatian yang tinggi terhadap produksi yang akan dicapai juga terhadap orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer seperti ini dapat dikatakan sebagai "manajer tim" yang riel (The real team manajer) karena ia mampu menyatukan antara kebutuhan-kebutuhan produksi dan kebutuhan orang-orang secara individu.

Grid 1.9 manajer memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang-orang dalam organisasi, tetapi perhatian terhadap produksi adalah rendah. Manajer seperti ini disebut sebagai "pemimpin club". Gaya seperti ini lebih mengutamakan bagaimana menyenangkan hati bawahannya agar bawahannya dapat bekerja rileks, santai, bersahabat, tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha untuk mencapai produktlvitas.

Grid 9.1. adalah manajer yang menggunakan gaya kepemimpinan yang otokratis (autrocratic task managers), karena manejer seperti ini lebih menekankan produksi yang

(3)

harus dicapai organisasinya, baik melalui efisiensi atau efektivitas pelaksanaan kerja, tetapi tidak mempunyai atau sedikit mempuyai perhatian terhadap bawahan.

Grid yang memiliki perhatian yang medium baik terhadap produksi yang akan dicapai maupun terhadap orang-orang adalah gris 5.5. Grid ini berusaha menyeimbangkan produksi yang akan dicapai dengan perhatian terhadap orang-orang, dalam arti tidak terlalu menyolok. Manajer seperti ini tidak terlalu menciptakan target produksi yang akan dicapai, tetapi juga tidak mempunyai perhatian yang tidak terlalu menyolok kepada orang-orang. 3. Tiga Dimensi dari Reddin

William J Reddin, seorang Professor dan konsultan dari Kanada mengetengahkan tiga dimensi gaya kepemimpinan dengan efektivitas dalam modalnya. Selain itu dia juga menekankan pada dua hal yang mendasar yaitu hubungan pemimpin dengan tugas dan hubungan kerja. Gaya kepemimpinan dari Reddin ini tidak terpengaruh kepada lingkungan sakitarnya.

Menurut Reddin, ada jenis gaya yang barus diperhatikan yaitu gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif.

Gaya yang efektif terdiri atas empat jenis, yaitu :

1). Eksekutif. Gaya ini mempunyai perhatian yang banyak terhadap tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja. Manajer seperti ini berfungsi sebagai motivator yang baik dan mau menetapkan produktivitas yang tinggi.

2).Pencinta Pengembangan (Developer). Pada gaya ini lebih mempunyai perhatian yang penuh terhadap hubungan kerja, sedangkan perhatian terhadap tugas-tugas pekerjaan adalah minim.

3).Otokratis yang baik. Gaya kepemimpinan ini menekankan perhatian yang maksimum terhadap pekerjaan (tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja yang minimum sekali, tetapi tetap berusaha agar menjaga perasaan bawahannya.

Gaya yang tidak efektif adalah sebagai berikut : 1). Pencinta Kompromi (Compromiser).

Gaya Kompromi ini menitikberatkan perhatian kepada tugas dan hubungan kerja berdasarkan situasi yang kompromi.

2). Missionari

Manajer seperti ini menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan, dalam arti memberikan perhatian yang besar dan maksimum pada orang-orang dan hubungan kerja tetapi sedikit perhatian terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai.

3). Otokrat

Pemimpin tipe seperti ini memberikan perhatian yang banyak terhadap tugas dan sedikit perhatian terhadap hubungan kerja dengan perilaku yang tidak sesuai.

4). Lari dari tugas (Deserter)

Manajer yang memiliki gaya kepemipinan seperti ini sama sekali tidak memberikan perhatian, baik kepada tugas maupun hubung kerja.

4. Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpin situasional mencoba mengkombinasikan proses kepemimpinan dengan situasi dan kondisi yang ada. Gaya ini diketengahkan oleh Hersey dan Blancard yang amat menarik untuk dipelajari.

Menurut gaya kepemimpinan situasional, ada tiga hal yang saling berhubungan yaitu:

a) Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan. b) Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan.

c) Tingkat kematangan dan kesiapan para pengikut yang di tunjukkan dalam melaksanakan tugas kasus, fungsi atau tujuan tertentu.

Pada dasarnya, konsepsi gaya kepemimpinan situasional menekankan kepada perilaku pimpinan dengan bawahan (followers) saja, yang dihubungkan dengan tingkat kematangan dan kesiapan bawahannya. Kematangan (maturity) dalam hal ini diartikan sebagai kemauan dan kemampuan dari bawahan (followers) untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilaku sendiri.

Menurut Hersey dan Blancard penemunya (1979) ada empat jenis tingkat kematangan bawahan (followers) yaitu :

a. Orang yang tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin (M1). b. Orang yang tidak mampu tetapi mau (M2).

c. Orang yang mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin (M3). d. Orang yang mampu dan mau atau yakin (M4).

Untuk tingkat kematangan (maturity) orang yang mampu dan tidak mau (MI), gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Instruksi (G1)", karena pada tingkat kematangan seperti ini sangat mengharapkan adanya pengarahan yang jelas disertai pengawasan yang ketat. Pada gaya ini terdapat komunikasi arah (one way communications).

Bawahan yang berada pada tingkat kematangan tidak mampu akan tetapi mau (yakin) (M2), maka gaya kepemimpinan yang lebih sesuai adalah gaya “Konsultasi (G2)”, karena orang/bawahan yang tergolong seperti ini masih perlu pengarahan dan juga mamberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias.

(4)

Gaya kepemimpinan “Partisipasi” adalah gaya yang sesuai untuk tingkat kematangan Mampu akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab (M3)/tugas, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.

Selanjutnya, untuk tingkat kematangan yang mampu dan mau/yakin (M4), maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Delegasi", karena orang/bawahan seperti ini adalah mampu melaksanakan tugas dan mau/yakin. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, Kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

PRODUKTIVITAS KERJA

Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya (ILO, 1979). Greenberg yang dikutip oleh Sinungan (1985) mengartikan produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ravianto (1995) yaitu produktivitas adalah pendekatan muti disiplin yang secara efektif merumuskan tujuan dan pelaksanaan (operasional) dengan menggunakan sumber daya secara efisien namun tetap menjaga kualitas.

Dari penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa produktivitas adalah sikap mental yang menganggap hari ini barus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara-cara kerja kemarin, dan cara-cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-cara kerja hari ini, demikian seterusnya. Ravianto (1995) membagi produktivitas menjadi produktivitas tenaga kerja, produktivitas modal, produktivitas organisasi, produktivitas penjualan, produktivitas produksi, dan produktivitas produk.

Dengan mengacu pada pengertian produktivitas yang dikemukakan para ahli di atas, maka rumusan produktivitas kerja diajukan oleh Simanjuntak (1985) sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu. Karyawan dinyatakan memiliki produktivitas kerja apabila dapat menghasilkan kerja lebih dari hasil kerja yang telah dicapai sebelumnya. Sebaliknya karyawan yang memiliki produktivitas yang rendah apabila hasil kerja yang diperolehnya menurun, atau lebih kecil atau sedikit dari hasil kerja yang telah dicapai sebelumnya. Hasil kerja karyawan tersebut diukur dengan mengadakan observasi yang didalamnya mencakup aspek kuantitas dan kualitas.

Dewan Produktivitas Nasional (dalam Ravianto, 1995) memberi batasan produktivitas kerja sebagai kemampuan seseorang tenaga kerja atau sekelompok orang untuk menghasilkan barang atau jasa.

Sinungan (1987) mendefenisikan produktivitas kerja mencakup sikap mental patriotik yang memandang hari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri bahwa kehidupan hari ini adalah lebih baik dari hasil kerja kemarin dan hari esok adalah lebih baik dari hari ini.

Hasil penelitian Beri (dalam Kusriyanto, 1986) mengungkapkan ada empat faktor penelitian terhadap produktivitas kerja yakni pelaksanaan kerja relatif baik, sikap kerja, tingkat keahlian, disiplin kerja.

Produktivitas kerja karyawan tidak akan terlepas dari rangkaian berbagai faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor yang terdapat pada diri manusia. Faktor yang terdapat dalam diri manusia adalah keinginan tenaga kerja tersebut untuk meningkatkan kreativitas kerjanya, sedangkan faktor yang terdapat di luar diri tenaga kerja adalah menyangkut situasional baik berupa fisik maupun sosial. Faktor situasional umumnya berada dalam kendali organisasi.

GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA

Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan/pegawai. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas kerja.

Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya Kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional.

Dari beberapa gaya yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan situasionallah yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan saat ini. Hal ini didasarkan asumsi bahwa dengan gaya ini, setiap

(5)

bawahan/followers tidak dapat digeneralisasikan gaya yang akan diterapkan, akan tetapi sangat tergantung kepada tingkat kematangan setiap bawahan yang secara alamiah berbeda.

Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan/bawahan sangat diperlukan penelitian/kejelian yang mendalam dari seorang pemimpin dalam melihat tingkat kematangan setiap bawahan/karyawannya. Hal ini diperlukan dalam rangka penerapan gaya kepemimpinan apa yang harus diterapkan oleh pemimpin tersebut.

Menurut Gaya kepemimpinan situasional, ada empat kategori tingkat kematangan bawahan yaitu M1 yang ditandai dengan bawahan/karyawan yang tergolong pada kemampuan yang kurang/tidak mampu dan tidak mau. Dalam meningkatkan produktivitas kerjanya, bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan M1, maka gaya yang sesuai/cocok diterapkan adalah gaya G1 yaitu gaya "Instruksi (G1)", karena bawahan seperti ini masih sangat memerlukan pengarahan dan dukungan, masih perlu bimbingan dari atasan tentang bagaimana, kapan dan dimana mereka dapat melaksakanya tanggung jawab/tugasnya.

Sedangkan lntuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan M2, yaitu bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Konsultasi (G2)", karena bawahan seperti ini masih penagarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung. Dalam hal ini pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.

Selanjutnya, bawahan yang tergolong pada M3 yaitu bawahan yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Partisipasi (G3)", karena bawahan seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan.

Gaya "Delegasi (G4) adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang memiliki tingkat kematangan M4 yaitu bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas/tangung jawabnya.

Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan/pegawai merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan meningkat.

Dengan demikian sebenarnya, apa yang ditawarkan oleh para ahli tentang berbagai gaya kepemimpinan seperti demokratis, otokratis, partisipatif dan sebagainya adalah kurang cocok diterapkan sama untuk setiap bawahan, misalnya untuk tingkat kematangan yang sudah relatif tinggi tidak sesuai diterapkan gaya otokratis dan sebagainya. Jadi dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja pegawai/bawahan perlu penerapan gaya kepemimpinan yang situasional, Karena menurut gaya ini tidak ada satu gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan secara umum kepada setiap orang, akan tetapi sangat tergantung pada tingkat kematangan bawahannya.

KESIMPULAN

Kepemimpinan adalah suatu proses dimana pimpinan/pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya/orang lain, agar bawahan/orang lain tersebut mau melakukan apa yang diinginkan oleh pimpinan/pemimpin tersebut.

Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan pimpinan/pemimpin dalam mempengaruhi bawahan/orang lain, agar tercapai apa yang diinginkannya.

Produktivitas kerja adalah hasil kerja yang nyata diperoleh oleh tenaga kerja yang didasari sikap mental yang patriotik yang menganggap bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara kerja kemarin, dan cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-cara kerja hari ini.

Untuk meningkatkan Produktivitas kerja, gaya kepemimpinan situasional adalah gaya yang paling sesuai diterapkan seorang pemimpin/pimpinan saat ini, mengingat bahwa penerapan gaya ini disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan/pengikut. Hal ini didasari asumsi bahwa setiap bawahan/orang lain akan memiliki tingkat kematangan yang berbeda satu sama lain.

(6)

REFERENSI

Batu Bara, Cosmas. 1989. Kebijaksanaan peningkatan produktivitas nasional. Makalah. Yogyakarta.

International Labour Office. 1982. Penelitian kerja dan produktivitas. Jakarta. penerbit Erlangga.

Kartono, Kartini. 1982. Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta. Rajawali Press.

Kusriyanto, Bambang. 1986. Meningkatkan produktivitas karyawan. Jakarta. PT Binaman Pressindo.

Ravianto, J. 1995. Motivation and Awareness. Makalah. Jakarta.

Sinungan, Muchdarsyah. 1987. Produktivitas apa dan bagaimana. Jakarta. PT Bina Aksara. Simanjuntak, Payaman. 1985. Produktivitas kerja, Pengertian dan ruang lingkupnya.

Prisma. Jakarta. LP3ES.

Suganda, Dann. 1981. Kepemimpinan di dalam Organisasi dan manajemen. Bandung. CV Sinar Baru.

Terry, George. 1983. Principle of management. Terjemahan. Jakarta. Penerbit Alumni. Thoha, Miftah. 1986. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta. Penerbit Rajawali.

Referensi

Dokumen terkait

peneliti menyimpulkan bahwa ketika lansia melakukan gerakan Latihan gerak sendi lutut secara bertahap maka akan berdampak pada penurunan nyeri sendi dikarenakan

Iran sendiri telah berulang kali menyatakan bahwa program nuklirnya bertujuan damai dan menolak tuduhan negara-negara Barat yang menyatakan

Siti Suryani, 5, Jumakir. ,fianto,

[r]

[r]

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk pertunjukan Kesenian Dames Group Laras Budaya di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, serta

[r]

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah bahan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi