KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN
MEDAN BARAT KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
WASTON MALAU
127024015/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA
PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI
KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN
MEDAN BARAT KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister Studi Pembangunan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
WASTON MALAU
127024015/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan
Nama Mahasiswa : Waston Malau
Nomor Pokok : 127024015
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si )
Ketua Anggota
( Drs. Agus Suriadi, M.Si )
Ketua Program Studi Dekan
( Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA ) ( Prof. Dr. Badaruddin, M.Si )
Tanggal Lulus : 28 Maret 2014
Telah diuji pada
Tanggal 28 Maret 2014
__________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si
Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si 2. Dr. Muryanto Amin, M.Si 3. Husni Thamrin, S.Sos, MSP 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA
PERNYATAAN
ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI
KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 28 Maret 2014
Penulis
Waston Malau
ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI
KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi lapangan dengan menggunakan observasi dan interview. Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota merupakan pemukiman kumuh yang ditandai oleh ciri-ciri antara lain rumah yang dibangun secara berdempetan dan tidak teratur. Dinding rumah terbuat dari tepas, papan/tripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Atap rumah terbuat dari seng dan rumbia. Lantai rumah telah menggunakan semen kasar dan ada yang berlantai tanah. Lingkungan pemukiman terlihat jorok, kurangnya fasilitas penerangan, air bersih dan MCK. Warga pemukiman kumuh ini merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan. Mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Akibatnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan anak-anak mereka sangat rendah yaitu hanya tamat SD dan SMP, sehingga kelak mereka hanya dapat bekerja di sektor informal. Kehidupan ekonomi yang miskin menyebabkan warga pemukiman kumuh ini terpaksa harus bersikap pasrah untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Dengan demikian kemiskinan tetap tersosialisasikan dari generasi orang tua kepada anak-anak mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini mengembangkan berbagai strategi adaptasi. Strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi meliputi upaya mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, meminjam uang atau mengutang di warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi adaptasi dalam kehidupan sosial budaya meliputi keikutsertaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, tetap memelihara hubungan yang baik dengan lingkungan kerabat. Adanya sikap pasrah, kemiskinan yang tersosialisasikan dan upaya mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup merupakan ciri dari “kebudayaan kemiskinan” yang dimiliki warga pemukiman kumuh tersebut.
Kata kunci : pemukiman kumuh, kehidupan ekonomi dan sosial budaya, strategi adaptasi dan kebudayaan kemiskinan
i
DISTRICT WEST MEDAN, MEDAN CITY
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the economic and socio-cultural life as well as the adaptation strategies in social, cultural and economic life of the population in slum areas (slum area) in Pulo Brayan City District, West Medan, Medan city. The instruments for collecting data are observation sheet and interview as the qualitative data and using the document and field study. XXIV environment Pulo Brayan City district is characterized by traits that include house which is built huddled and irregular. The wall is made of the tepas, board/plywood and a little bit parts are made of half-bricks without plaster and half board / plywood. The roofs are made of corrugated iron and thatch. The floor of the house has been using the rough cement and dirt floors. The environment looks dirty, lack of facilities of lighting, water and sanitation. The slum residents are the urban people which are coming from various areas around Medan city. They work in the informal sector with low income, so they live in the poor economy. Consequently, the level of education of the parents and their children is very low that are only graduated from elementary and junior high school, so that they can only work in the informal sector. The life of the poor economy caused the slum residents are forced to live in the slums area. Thus the poverty will be socialized from the parents’ generations to their children’s generation In order to survive the life, the slum residents develop some adaptation strategies. The adaptation strategies in the economic life include some efforts such as search for the second job or increase the office hours, borrow money or borrow in the stall, reduce the quantity and quality of food, save or reduce outcome. The adaptation strategies in the social and cultural life include the participation in social organizations, and maintain a good relationship with the environment relatives. The existence of resignation, the socialized poverty and efforts to develop the adaptation strategies for survival are a hallmark of the "culture of poverty" that the residents of the slum have.
Keywords: slums area, economic and socio-cultural life, adaptation strategies and culture of poverty
ii
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembanding.
4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing 5. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing
yang telah banyak memberikan arahan, motivasi dan ide-ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
6. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si dan Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP, selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.
7. Seluruh Dosen dan staf di Program Magister Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu baik di bidang Akademik maupun administratif. 8. Seluruh rekan – rekan seperjuangan angkatan XXV, atas dukungan dan
kerjasamanya, mudah – mudahan kita semua akan sukses, amin.
9. Seluruh informan yang telah banyak memberikan bantuan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Waston Malau
Tempat/ Tgl. Lahir : Balige, 18 Januari 1960
Alamat : Jl. Abadi No. 65 Tj. Rejo Medan Agama : Kristen Protestan
Status : Kawin
II. Keluarga :
Isteri : Dra. Herlina Marpaung
Anak : 1. Sesdi Floria Malau, S.Pd/Oslanto Siagian 2. Afriliando Malau, S.Kom
3. Winda Febrianti Malau, SE Cucu : Alvindo Valentino Siagian
III. Pendidikan :
SD Fajar Binjai, tahun 1965 - 1971 SMP Negeri 3 Binjai, tahun 1972 - 1974 SMA Negeri 1 Binjai, tahun 1975 - 1977 IKIP Negeri Medan, tahun 1978 - 1984
Magister Studi Pembangunan FISIP USU Medan, tahun 2012 - 2014
IV. Pekerjaan :
CPNS IKIP Medan, tahun 1985
Dosen Prodi Antropologi UNIMED (IKIP) , 1986 - sekarang
Medan, 28 Maret 2014
Penulis
Waston Malau
iv
4.4. Kehidupan Sosial Budaya Penduduk ……… 72
4.4.1. Pendidikan ……… 72
4.4.2. Organisasi Sosial ……… 74
4.4.3. Interaksi Sosial Budaya ……… 76
4.5. Strategi Adaptasi dalam Mengatasi Kemiskinan…… 78
4.5.1. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Ekonomi 79
4.5.2. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Sosial Budaya ……….. 85
4.6. Analisis Teoritis Tentang Pemukiman Kumuh …… 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 91
5.1. Kesimpulan ……….. 91
5.2. Saran ……… 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
vi
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
4.1. Lingkungan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk ………….. 44
4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ………. 47
4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup… 50
4.4. Sarana Pendidikan ……… 51
4.5. Sarana Kesehatan ………. 52
4.6. Matriks Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Serta
Strategi Adaptasi Mengatasi Kemiskinan ………. …….. 88
vii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran ……… 37 4.1. Nama Kelurahan dan Luas Wilayah (Ha) ………... 43
4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ……. 45
4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ………. 46
4.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ………….. . 48
4.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 49
4.6. Jarak Rumah Penduduk dengan Rel Kereta Api …….. .. 53
4.7. Kondisi Fisik Rumah Penduduk ………. .. 55
4.8. Sumur Galian untuk Keperluan MCK ………. 56
4.9. Saluran Pembuangan Air Limbah dari Rumah Penduduk 57
4.10 Tempat Pembuangan Sampah ………. 58
4.11. Genangan Air di Depan Rumah Penduduk ……… 59
4.12. Kondisi Atap Rumah Penduduk ……….. 69
4.13. Beca Dayung/Bermotor Sebagai Alat Transportasi dan
Untuk Mencari Nafkah ………. 72
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Daftar Informan ………. 97
2. Pedoman Wawancara ………... 100
3. Pedoman Observasi ……… 102
4. Peta Wilayah Kecamatan Medan Barat ………. 103
5. Peta Wilayah Kelurahan Pulo Brayan Kota …………... 104
ix
KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi lapangan dengan menggunakan observasi dan interview. Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota merupakan pemukiman kumuh yang ditandai oleh ciri-ciri antara lain rumah yang dibangun secara berdempetan dan tidak teratur. Dinding rumah terbuat dari tepas, papan/tripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Atap rumah terbuat dari seng dan rumbia. Lantai rumah telah menggunakan semen kasar dan ada yang berlantai tanah. Lingkungan pemukiman terlihat jorok, kurangnya fasilitas penerangan, air bersih dan MCK. Warga pemukiman kumuh ini merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan. Mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Akibatnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan anak-anak mereka sangat rendah yaitu hanya tamat SD dan SMP, sehingga kelak mereka hanya dapat bekerja di sektor informal. Kehidupan ekonomi yang miskin menyebabkan warga pemukiman kumuh ini terpaksa harus bersikap pasrah untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Dengan demikian kemiskinan tetap tersosialisasikan dari generasi orang tua kepada anak-anak mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini mengembangkan berbagai strategi adaptasi. Strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi meliputi upaya mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, meminjam uang atau mengutang di warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi adaptasi dalam kehidupan sosial budaya meliputi keikutsertaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, tetap memelihara hubungan yang baik dengan lingkungan kerabat. Adanya sikap pasrah, kemiskinan yang tersosialisasikan dan upaya mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup merupakan ciri dari “kebudayaan kemiskinan” yang dimiliki warga pemukiman kumuh tersebut.
Kata kunci : pemukiman kumuh, kehidupan ekonomi dan sosial budaya, strategi adaptasi dan kebudayaan kemiskinan
i
THE ANALYSIS OF ECONOMIC AND SOCIO-CULTURAL LIFE OF POPULATION IN SLUM AREA IN THE PULO BRAYAN CITY
DISTRICT WEST MEDAN, MEDAN CITY
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the economic and socio-cultural life as well as the adaptation strategies in social, cultural and economic life of the population in slum areas (slum area) in Pulo Brayan City District, West Medan, Medan city. The instruments for collecting data are observation sheet and interview as the qualitative data and using the document and field study. XXIV environment Pulo Brayan City district is characterized by traits that include house which is built huddled and irregular. The wall is made of the tepas, board/plywood and a little bit parts are made of half-bricks without plaster and half board / plywood. The roofs are made of corrugated iron and thatch. The floor of the house has been using the rough cement and dirt floors. The environment looks dirty, lack of facilities of lighting, water and sanitation. The slum residents are the urban people which are coming from various areas around Medan city. They work in the informal sector with low income, so they live in the poor economy. Consequently, the level of education of the parents and their children is very low that are only graduated from elementary and junior high school, so that they can only work in the informal sector. The life of the poor economy caused the slum residents are forced to live in the slums area. Thus the poverty will be socialized from the parents’ generations to their children’s generation In order to survive the life, the slum residents develop some adaptation strategies. The adaptation strategies in the economic life include some efforts such as search for the second job or increase the office hours, borrow money or borrow in the stall, reduce the quantity and quality of food, save or reduce outcome. The adaptation strategies in the social and cultural life include the participation in social organizations, and maintain a good relationship with the environment relatives. The existence of resignation, the socialized poverty and efforts to develop the adaptation strategies for survival are a hallmark of the "culture of poverty" that the residents of the slum have.
Keywords: slums area, economic and socio-cultural life, adaptation strategies and culture of poverty
ii
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami
laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor
alami yaitu kelahiran dan terutama juga pengaruh dari perpindahan
penduduk yang sangat pesat dari desa ke kota (urbanisasi). Laju
pertumbuhan penduduk yang pesat ini tentu akan membawa beragam
permasalahan di daerah perkotaan seperti kemacetan dan kesemrawutan
kota, kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, munculnya pemukiman
kumuh atau daerah slum (slum area) terutama pada lahan-lahan kosong
seperti jalur hijau disepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api,
taman-taman kota maupun di bawah jalan layang.
Pemukiman kumuh (daerah slum) adalah daerah yang sifatnya kumuh
tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini
merupakan pemukiman liar karena dibangun di atas tanah milik negara atau
tanah milik orang lain. Ciri-ciri daerah slum ini adalah banyak dihuni oleh
pengangguran, tingkat kejahatan / kriminalitas tinggi, demoralisasi tinggi,
emosi warga tidak stabil, miskin dan berpenghasilan rendah, daya beli
rendah, kotor, jorok, tidak sehat dan tidak beraturan, warganya adalah kaum
1
2
migran yang bermigrasi dari desa ke kota, fasilitas publik sangat tidak
memadai,kebanyakan warga slum bekerja sebagai pekerja kasar dan
serabutan, bangunan rumah kebanyakan gubuk-gubuk dan rumah semi
permanen
Keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator
gagalnya pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan
perumahan dan tata kota yang berkelanjutan. Selain menimbulkan
keruwetan tata ruang kota maka padatnya permukiman kumuh di sepanjang
bantaran sungai, bantaran rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah
jembatan maupun jalan layang ini juga berdampak bagi lingkungan hidup,
kesehatan dan standar hidup warga perkotaan, serta rawan menimbulkan
tindak kejahatan. Konflik juga tak terhindarkan ketika pemerintah daerah
berusaha mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul,
sementara keberadaan permukiman kumuh justeru dianggap sebagai solusi
bagi warga miskin yang hidup di perkotaan. Sosialisasi yang dilakukan
pemerintah pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan
sangat minim sehingga sering kali menimbulkan penolakan warga,
bahkan tak jarang mereka sampai bertindak anarkhis demi membela tempat
tinggal “miliknya”. Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan
permukiman kumuh harus mendapat skala prioritas dalam penanganannya.
Penghuni pemukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang
yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib
atau ingin mendapatkan kesuksesan, karena tidak mendapatkan peluang atau
tanpa adanya keahlian yang memadai dan jenjang pendidikan yang
cukup, sehingga akhirnya memasuki sektor informal yang terdapat di
kawasan perkotaan. Mereka merupakan kaum termiskin di kota yang
bekerja sebagai kuli pelabuhan, tukang becak, buruh kasar, tukang gali, kuli
bangunan, menyemir sepatu, memungut barang-barang bekas (pemulung),
menyapu jalan dan lain-lain. Ada kecenderungan untuk melakukan
pekerjaan yang paling rendah upahnya. Akibatnya mereka berada dalam
kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki penghasilan
yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi di
kota. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran
menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga,
tiadanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan dan terbatasnya
jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan bagi adanya
partisipasi yang efektif dalam sistem ekonomi yang lebih luas.
1.2. Rumusan Masalah
Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia juga memiliki
masalah dalam penataan pemukiman penduduk. yaitu banyaknya
pemukiman kumuh yang menghiasi Kota Medan. Kawasan permukiman
kumuh di Kota Medan saat ini diperkirakan mencapai 22,5% dari luas
wilayah Kota Medan yang terdiri dari 88.166 unit rumah atau 13,62% dari
jumlah rumah yang ada di Kota Medan. Kawasan permukiman kumuh
tersebut tersebar di 145 titik lokasi, dimana pada umumnya berada pada
bantaran sungai dan rel KA terutama di pusat kota (Pemko Medan, 2012).
4
Pemukiman kumuh tersebut menyebar di Kelurahan Tegal Sari Mandala I
dan II, Kelurahan Binjai Medan Denai, Kelurahan Bahari Medan
Belawan, Kelurahan Medan Barat, Kelurahan Aur Medan Maimoon,
Kampung Madras Kecamatan Medan Petisah (Waspada on line, 2011).
Jumlah penduduk Medan pada akhir tahun 2011 adalah 2.117.224
jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,94% (BPS Kota Medan,
2012). Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan sejak tahun 2005 telah
menunjukkan kecenderungan menurun, tetapi walaupun demikian Kota
Medan tercatat sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
yakni 7.987 jiwa/km2 (Pemko Medan, 2013). Kota Medan pada saat ini
sedang mengalami masa transisi demografi. yaitu menurunnya tingkat
kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), tetapi disisi lain
meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses
urbanisasi, termasuk arus ulang alik atau commuters (Pemko Medan, 2012).
Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara telah berkembang
menjadi pusat perekonomian daerah dan regional yang penting dan utama di
Pulau Sumatera. Pertumbuhan ekonomi kota sebesar 7,69% per tahun
menyebabkan warga desa semakin hari semakin terhisap oleh magnet
ekonomi Kota Medan (Daulay, 2012). Migrasi ini terjadi karena terjadinya
surplus jumlah sumber daya manusia yang terdapat di pedesaan dan adanya
peluang kerja di perkotaan. Pada beberapa masyarakat pedesaan di dunia
terdapat pandangan bahwa migrasi ke perkotaan adalah cara untuk
(Erwin, 2012). Derasnya arus migrasi ke Kota Medan menimbulkan
sejumlah persoalan, antara lain adalah masih tingginya persentase jumlah
warga miskin di Medan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS Kota
Medan, persentase jumlah warga miskin pada tahun 2010 adalah 10,05%.
Hal ini disebabkan pertumbuhan dan pembangunan wilayah tidak mampu
mengatasi terjadinya kesenjangan pendapatan antara masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) dengan yang berpenghasilan tinggi.
Masyarakat berpenghasilan rendah sangat sulit memperoleh rumah yang
layak huni dan terjangkau, sehingga salah satu masalah terbesar penataan
Kota Medan adalah penataan pemukiman padat (Daulay, 2012).
Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan
sekaligus juga melambangkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Bagi
orang-orang yang berpenghasilan besar, mereka dapat membangun rumah
bertingkat yang besar dan nyaman, memiliki halaman luas dan asri
dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap serta memadai. Tetapi
orang-orang miskin hanya mampu memiliki rumah yang bersifat
sementara dan sangat jelek baik struktur maupun infrastruktur yang ada.
Rumah-rumah dibangun seadanya saja sekedar bisa berlindung dari panas
dan hujan maupun dinginnya udara dimalam hari, karena lahan yang
ditempati bukan milik sendiri tetapi diperoleh secara illegal. Penghuni
pemukiman kumuh ini harus puas tinggal di rumah petak atau gubuk reyot
yang saling berhimpitan, dikelilingi saluran air mampet dan sampah di
sepanjang jalan setapak dan lorong – lorong sempit, dengan ruangan kecil
6
berperabot seadanya, serta tanpa adanya akses air bersih maupun listrik
yang memadai.
Warga perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa
tinggal di pemukiman kumuh ini sembari mencoba mengubah nasibnya.
Meskipun mereka sebenarnya tidak senang harus tinggal di pemukiman
kumuh, tetapi keadaan ekonomi dan desakan kebutuhan membuat mereka
“nekat” bertahan. Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984),
kemiskinan mempunyai kaitan dengan kebudayaan sehinga pola-pola
kelakuan dan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah suatu
cara yang paling tepat untuk dapat tetap melangsungkan kehidupan yang
serba kekurangan tersebut. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu
adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum
miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme
Adaptasi merupakan penyesuaian, daya tahan atau kemampuan
merespon individu, kelompok atau masyarakat terhadap lingkungan atau
sesuatu kondisi baru yang dialaminya. Langkah-langkah atau cara yang
diambil individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri atau
memperkuat daya tahannya terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi.
Marzali dalam Marrung (2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi
adalah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka
miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan-pilihan tindakan
ekologis di tempat dimana mereka hidup. Kemampuan individu dalam
beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya, sehingga makin
besar kemampuan adaptasi individu maka makin besar pula kemungkinan
kelangsungan hidupnya.
Salah satu dari pemukiman kumuh yang ada di Kota Medan terdapat
di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat. Pemukiman
kumuh ini berada di bantaran rel kereta api yang menghubungkan pusat
Kota Medan dengan pelabuhan laut Belawan, yang seharusnya tempat ini
merupakan daerah ruang terbuka hijau. Rumah-rumah penduduk didirikan
secara tidak beraturan di sisi kiri kanan sejajar dengan rel kereta api tanpa
adanya pembatas atau penghalang. Hal ini tentu tidak aman bagi penduduk
yang berlalu lalang disana karena setiap saat dapat terjadi kecelakaan.
Selain tidak nyaman dan berbahaya maka suara bising dari kereta api
yang berulang-ulang melintas dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pendengaran pada penduduk. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan
misalnya siapakah yang menjadi penghuni pemukiman kumuh tersebut,
bagaimana kehidupan ekonomi dan sosial budaya mereka, mengapa mereka
cenderung bertahan untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut,
bagaimana strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya
mereka untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah
pemukiman kumuh tersebut. Penelitian lapangan yang akan dilakukan di
pemukiman kumuh ini diharapkan dapat memberikan jawaban-jawaban
terhadap sejumlah pertanyaan yang telah dikemukakan tersebut.
8
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka pertanyaan
penelitian (research question) dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
a. Bagaimanakah kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di
daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan
Medan Barat Kota Medan?
b. Bagaimana strategi adaptasi penduduk dalam kehidupan ekonomi dan
sosial budaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah
slum tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya
penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota
Kecamatan Medan Barat Kota Medan
b. Untuk menganalisis strategi adaptasi penduduk dalam kehidupan
ekonomi dan sosial budaya untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya di daerah slum tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis :
1. Menambah khasanah pengetahuan tentang daerah slum (slum area)
2. Sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian-penelitian
sebelumnya tentang daerah slum (slum area)
3 Sebagai tambahan informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya
yang dilakukan terhadap daerah slum (slum area)
b. Manfaat Praktis :
1. Sebagai bahan masukan bagi para perencana dan pengambil keputusan
dalam rangka membuat berbagai kebijakan yang berkaitan dengan
penataan daerah slum (slum area)
2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam rangka
menyusun berbagai program penataan lingkungan perkotaan
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Urbanisasi dan Perkembangan Kota
Salah satu masalah yang dihadapi kota-kota di negara-negara
berkembang adalah bertambahnya penduduk kota dengan sangat pesat,
sebagai akibat dari kelahiran dan terutama oleh arus perpindahan penduduk
secara besar-besaran dari desa ke kota (urbanisasi). Todaro dalam Manning
(1985) memperkirakan bahwa pada tahun 1950 sekitar 38% penduduk kota
tinggal di negara sedang berkembang dan pada tahun 1975 sekitar 750 juta
penduduk negara sedang berkembang berada di kota dan pada tahun 2000
diperkirakan akan meningkat lebih dari 2½ kali. Sinulingga (1999)
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penduduk perkotaan dunia akan
menjadi 50% dan Asia akan menerima bagian sebesar 52%. Di Indonesia,
persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun 2000 dan
diproyeksikan mencapai 68%, sedangkan di Provinsi Sumatera Utara
persentase penduduk kota terus meningkat yakni pada tahun 2000 sebesar
42,4%, pada tahun 2010 sebesar 50,1% dan diproyeksikan pada tahun 2025
mencapai 63,5% (Lubis, 2010).
Urbanisasi dapat diartikan tingkat kekotaan atau persentase jumlah
penduduk yang tinggal di kota dibanding dengan jumlah penduduk
10
seluruhnya dan juga berarti suatu proses menuju bentuk perkotaan
(Sinulingga, 1999; Kusumawijaya, 2006). Jadi terdapat dua pengertian yang
terkandung dalam istilah urbanisasi yaitu : pertama, menunjuk pada suatu
proses terbentuknya ciri-ciri kota yang kompleks karena terjadinya
perpindahan penduduk atau migrasi dari suatu daerah yang bersifat
homogen (desa atau kota kecil) menuju daerah yang bersifat heterogen
(kota). Kedua, menunjuk pada perkembangan suatu daerah yang semula
bersifat homogen berubah menjadi suatu kawasan yang bersifat heterogen.
Dengan demikian, urbanisasi dapat diartikan sebagai berubahnya suatu
masyarakat pada kawasan tertentu dari sifat homogen menjadi
heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat dari
kawasan itu sendiri maupun karena proses migrasi dari daerah lain
(Hariyono, 2007). Meskipun secara konseptual kedua pengertian urbanisasi
tersebut dapat dibedakan tetapi dalam analisis sering dicampuradukkan dan
pengertian urbanisasi yang paling sering digunakan adalah sebagai akibat
dari terjadinya migrasi.
Grunfeld dalam Daldjoeni (2003) mengemukakan ada dua jenis
urbanisasi atau pengkotaan yaitu pengkotaan fisik dan pengkotaan mental.
Pengkotaan fisik berarti perkembangan kota dalam arti luas areal, jumlah
dan kepadatan penduduknya, pembangunan gedung-gedung (arah horisontal
atau vertikal), variasi tata guna lahannya yang non agraris. Sedangkan
pengkotaan mental berarti perkembangan orientasi nilai-nilai dan kebisaan
hidup meniru apa yang terdapat di kota-kota besar. Selanjutnya De Bruijne
12
dalam Daldjoeni (2003) mengemukakan ada tujuh defenisi dari urbanisasi,
yaitu :
1. Pertumbuhan persentase penduduk yang bertempat tinggal di
perkotaanbaik secara mondial, nasional maupun regional
2. Berpindahnya penduduk ke kota-kota dari pedesaan
3. Bertambahnya penduduk bermatapencaharian non agraris di pedesaan
4. Tumbuhnya suatu pemukiman menjadi kota
5. Mekarnya atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu kota di
kawasan sekelilingnya
6. Meluasnya pengaruh suasana ekonomi kota ke pedesaan
7. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis dan kultural kota ke
pedesaan; ringkasnya, meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kekotaan
ke kawasan luarnya.
Berpindahnya penduduk meninggalkan desa atau kota kecil menuju
kota yang lebih besar karena adanya sesuatu yang lebih menarik dan lebih
menguntungkan untuk tinggal di kota besar dibandingkan dengan desa atau
kota kecil daerah asalnya. Faktor-faktor penarik yang ada di kota besar ini
disebut “faktor penarik” (pull factor), sedangkan faktor-faktor yang ada di
desa atau kota kecil yang mendorong penduduk meninggalkan daerah
asalnya disebut “faktor pendorong” (push factor).
Terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota karena penduduk yang
pindah itu ingin mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupannya.
Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang
penghasilan yang lebih baik yang diperoleh di kota dibandingkan dengan
yang diterima di daerah pedesaan (Sinulingga, 1999; Adisasmita, 2010).
Kota-kota besar menjadi tempat berkembangnya industri dengan sektor
ekonomi tersier yang kuat dan daya beli masyarakat yang kuat
menyebabkan derasnya arus urbanisasi menuju daerah perkotaan.
Industri membutuhkan beraneka ragam tenaga kerja, mulai dari tenaga kerja
berpendidikan dan terampil sampai dengan tenaga kerja kasar. Penghasilan
yang lebih mudah diperoleh melalui partisipasi di sektor industri dan sektor
ekonomi tersier di kota, menyebabkan di pedesaan meluap pula hasrat
penduduknya untuk memperbaiki nasib di kota, karena disanalah masih ada
harapan (Daldjoeni, 2003).
Para pendatang baru itu umumnya tidak memiliki pendidikan dan
keterampilan yang dibutuhkan dunia industri, namun mereka merasakan
bahwa kesempatan hidup, mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi
akan lebih besar kemungkinannya diperoleh di kota jika dibandingkan kalau
mereka tetap tinggal di desa. Tantu dalam Sumardi (1982) berdasarkan studi
yang dilakukannya terhadap penduduk pendatang di Jakarta mengemukakan
bahwa bila dilihat dari segi pendapatan yang diperolehnya sebagai tenaga
kerja, maka ada kecenderungan penghasilannya lebih baik dibandingkan
dengan pendapatannya ketika berada di desa asalnya. Oleh sebab itu, kaum
14
urban ini biasanya sudah siap untuk melakukan pekerjaan kasar apapun
asalkan dapat mengubah kehidupannya (Auslan, 1986; Adisasmita, 2010).
Pemerintah juga berusaha meningkatkan industri dengan teknologi
modern dan investasi dari negara maju untuk mencapai kemajuan ekonomi.
Karena pertimbangan efisiensi maka lokasi industri ditempatkan di
kota-kota besar. Industri yang berkembang adalah komoditi ekspor dan lokasi
kota yang dekat dengan pelabuhan menyebabkan industri tetap
terkonsentrasi di sekitar kota-kota besar dan tidak menyebar ke daerah
pedalaman sehingga kota tidak berfungsi sebagai pusat pengembangan
wilayah. (Sinulingga, 1999).
Reverstain dalam Sinulingga (1999), menyatakan bahwa daya tarik
dari tempat tujuan adalah berkaitan dengan kesempatan ekonomi. Kegiatan
ekonomi yang utama di pedesaan adalah pertanian, sehingga faktor tanah
menjadi sangat penting. Angka kelahiran yang tinggi (akibat perbaikan
sanitasi) telah membuat pertumbuhan penduduk desa yang cukup tinggi,
sedangkan jumlah lahan pertanian tetap. Program pertanian belum
ditingkatkan sehingga belum produktif dan distribusi lahan yang umumnya
tidak merata, mengakibatkan kehidupan ekonomi pedesaan makin buruk.
Kondisi yang tidak menguntungkan ini sering juga diperburuk oleh keadaan
musim yang tidak menguntungkan. Selain motif ekonomi juga terdapat
motif sosial seperti melanjutkan studi, mengikuti keluarga dll (Adisasmita,
2010; Soetomo, 2013).
pedesaan pindah ke kota adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan dan
gangguan keamanan. Pertambahan penduduk, lahan yang tetap dan
teknologi pertanian yang belum produktif mengakibatkan perekonomian
desa menjadi menurun dan di lain pihak di kota tampaknya lebih tersedia
lapangan kerja yang cukup sehingga mendorong migrasi desa ke kota.
(Sinulingga, 1999).Faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Charles
Whynne-Hammond dalam Daldjoeni (2003) adalah :
1. Kemajuan di bidang pertanian
2. Industrialisasi
3. Potensi pasaran
4. Peningkatan kegiatan pelayanan
5. Kemajuan transportasi
6. Tarikan sosial dan kultural
7. Kemajuan pendidikan
8. Pertumbuhan penduduk alami
Urbanisasi di negara berkembang di Asia terutama pada negara-negara
bekas jajahan termasuk Indonesia berbeda dengan negara maju yaitu
pertumbuhan penduduk kota yang tidak sejalan dengan pertumbuhan
ekonominya. (Sinulingga, 1999). Akibat dari urbanisasi adalah
meningkatnya jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan ini
merupakan masalah krusial yang dihadapi hampir semua kota di Indonesia.
16
tinggal di pemukiman liar dan kumuh, serta terbatasnya akses penduduk ini
pada pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi (Soegijoko,
2005). Kota sebagai sumber perubahan akan mengubah masyarakat
mulai dari lapisan terbawah hingga yang teratas. Di kota perubahan
menjadi masalah gengsi, sehingga orang berlomba untuk berubah dan
mencapai lapisan sosial yang tertinggi. Selain perubahan sosial, kota
menawarkan perubahan di bidang ekonomi, politik dan pendidikan.
(Daldjoeni, 2003).
Kaum migran dari desa ini tidak memiliki tingkat pendidikan dan
keahlian yang dibutuhkan sektor industri dan sektor modern lainnya yang
ada di kota kota besar sehingga mereka mencari pekerjaan apa saja yang
dapat memberikan penghasilan. Industri di kota umumnya menggunakan
tehnologi tinggi sehingga membutuhkan sedikit tenaga kerja dan harus yang
memiliki ketrampilan tertentu. Oleh sebab itu banyak para migran tersebut
yang tidak memperoleh pekerjaan sehingga menimbulkan persoalan serius
yaitu pengangguran dan setengah pengangguran. Sobirin dalam Koestoer
(2001) mengemukakan bahwa bertambahnya kaum migran yang keahlian
dan ketrampilannya relatif terbatas, pertambahan penduduk alamiah kota
disatu sisi, dan sementara kesempatan kerja yang tersedia makin terbatas,
cenderung mengakibatkan degradasi tingkat ekonomi penduduk kota, yang
ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin dan
pengangguran kota.
Urbanisasi yang terjadi di Indonesia mendorong timbulnya sektor
informal (ekonomi informal) di kota. Sektor informal ini dianggap
mengganggu pemandangan dan ketertiban kota, sebaliknya sektor informal
yang ada di kota mampu menghidupi kaum urban meskipun dalam kondisi
kehidupan yang pas-pasan. Keberadaan sektor informal ini menjadi daya
tarik pula bagi orang desa untuk tinggal di kota. Sektor informal dicirikan
oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan
sejumlah tenaga kerja yang umumnya kurang berpendidikan, tidak
punya keterampilan (Sumardi, 1982). Pendapat yang sama tentang
pengertian sektor informal ini dikemukakan oleh Soetomo (2013) yaitu
kegiatan ekonomi yang berada dalam status tidak resmi dalam suatu aturan
yang mewakili golongan kurang mampu. Selanjutnya Sarosa dalam
Soegijoko (2005) mengemukakan bahwa ekonomi informal perkotaan
mempengaruhi wujud dan kehidupan kota tidak dapat dipungkiri lagi. Bagi
mereka yang tinggal di kota-kota besar, keberadaan dan pengaruh ekonomi
informal dapat dirasakan dan dilihat secara kasat mata. Dengan demikian,
urbanisasi mendorong munculnya sektor informal dan sektor informal akan
mendorong terjadinya urbanisasi sehingga akhirnya keduanya menjadi
lingkaran setan yang tidak ada putusnya (Hariyono, 2007 ).
Pesatnya pertumbuhan penduduk kota sebagai dampak dari urbanisasi
ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan rumah sebagai tempat
bermukim. Tetapi karena sebagian besar mereka dari golongan miskin
sehingga tidak mampu mendiami perumahan yang layak. Sebagian
18
diantaranya mencari tempat untuk menumpang di rumah keluarganya
sehingga suatu rumah dihuni oleh beberapa keluarga. Soebroto dalam
Budihardjo (1992) mengemukakan bahwa melihat taraf penghasilan mereka,
kemungkinan besar mereka tinggal di daerah pemukiman sempit,
berdesak-desakan dan berdiri di atas status tanah yang tidak jelas, tidak memenuhi
syarat kesehatan dan bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Jadi
bagi mereka yang tidak mendapat tumpangan dan tidak mampu menyewa
rumah, akan membangun rumah darurat secara liar pada tanah negara
yang kosong atau pada jalur hijau sepanjang bantaran sungai, sepanjang
bantaran rel kereta api, kolong jembatan maupun tempat lainnya yang
seharusnya dibiarkan tanpa bangunan untuk kelestarian kota secara
keseluruhan (Sinulingga, 1999).
Pemukiman kumuh dan papa tersebut selain dipandang merusak
keindahan kota juga menjadi pusat pengangguran dan sumber penyakit,
kejahatan, pelacuran serta borok sosial lainnya. Keadaan runyam ini sudah
semestinya tak mampu memberi kesempatan bagi proses transformasi pada
para migran yang berasal dari pedesaan ke dalam tata kehidupan urban yang
dapat berlangsung secara wajar (Daldjoeni, 2003).
Banyak penyimpangan yang terjadi di pemukiman kumuh misalnya
para pedagang yang tidak memiliki izin perdagangan yang sah,
perusahaan industri kecil yang tidak memperhatikan peraturan
keselamatan dan kesehatan lingkungan dan tidak membayar upah minimum
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan. Adakalanya sarana pelayanan
umum seperti listrik dan air secara sengaja tidak dimasukkan ke daerah
pemukiman kumuh.
Masalah urbanisasi seringkali diikuti masalah sosio kultural serta
masalah perkotaan lainnya. Para migran dari desa ini pada mulanya sering
mengalami berbagai perasaan dan prilaku tertentu, misalnya terjadinya
gejala cultural shock yaitu jiwanya yang terguncang karena pebedaan kultur yang dibawanya dari desa dengan kultur dari masyarakat kota yang baru
dikenalnya. Gejala ini dapat kita lihat misalnya ketika mereka menyeberang
jalan dengan perasaan yang waswas dan cemas sehingga menyeberang
jalan dengan cara maju mundur. Kaum urban ini juga mengalami gejala
cultural lag yaitu perbedaan tingkat kemajuan unsur-unsur kebudayaan
yang dimiliki, misalnya tingkat pengetahuan dengan tehnologi. Akibatnya
kaum migran ini tidak memiliki nilai yang dapat mendukung bagi
kehidupan kota yang beradab, sehingga mudah muncul tindak kekerasan,
perilaku semau gue. Misalnya berkenderaan dan menyeberang jalan dengan
cara melawan arus lalu lintas, merusak pagar pemisah jalan, menyeberang
jalan tidak melalui jembatan penyeberangan, membangun tempat berjualan
tanpa memperhatikan aspek lingkungan seperti menggunakan halte bis
sebagai tempat berjualan (Hariyono, 2007).
Ada tanggapan yang negatif dan yang positif terhadap urbanisasi.
Tanggapan yang negatif melihat segalanya dari segi munculnya unsur-unsur
marginal seperti pedagang kaki lima, gubuk liar, kaum gelandangan,
kejahatan anak-anak, pelanggaran hukum dan hak azasi manusia, kemacetan
20
lalu lintas, pengangguran, narkotika dan sebagainya. Adapun tanggapan
yang positif, melihat kota sebagai tempat pusat modal, keahlian, daya
kreasi, dan segala fasilitas yang mutlak bagi pembangunan (Daldjoeni,
2003; Kusumawijaya, 2006; Adisasmita, 2010).
2.2. Pemukiman Kumuh (Daerah Slum)
Pemukiman sering disamakan dengan perumahan, padahal keduanya
memiliki arti yang berbeda walaupun pada hakikatnya saling melengkapi.
Pemukiman memberi makna tentang pemukim atau kumpulan
pemukim beserta sikap dan prilakunya di dalam lingkungan, sehingga
pemukiman menitikberatkan pada manusia dan bukan pada sesuatu yang
bersifat fisik atau benda mati. Sedangkan perumahan memberikan makna
tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungan, jadi menitikberatkan pada aspek fisik atau benda mati (Mulia,
2008).
Kumuh merupakan pandangan masyarakat kelas atas (kaya) terhadap
sikap dan tingkah laku yang rendah dari masyarakat kelas bawah (miskin).
Kurniasih (2007) mengemukakan bahwa kumuh dapat dipahami sebagai
sebab dan sebagai akibat. Kumuh sebagai sebab adalah kemunduran atau
kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (2) segi masyarakat /
sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan
lalulintas, sampah. Sebagai akibat, kumuh adalah perkembangan dari gejala-
gejala antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu
padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku
menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi.
Pemukiman kumuh adalah gambaran yang diberikan terhadap
pemukiman orang-orang miskin di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini
ditandai dengan gejala-gejala yaitu kondisi perumahan yang buruk karena
tidak sesuai dengan persyaratan bangunan dan rumah yang sehat, penduduk
yang terlalu padat, fasilitas yang kurang memadai seperti sarana air bersih,
listrik, jalan, sanitasi, ruang terbuka dan fasilitas sosial lainnya. Suparlan
(2007) mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh sebagai berikut :
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang
hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang
jelas, yaitu terwujud sebagai :
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara dan karena itu
22
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah Rukun
Tetangga atau sebuah Rukun Warga
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai Rukun
Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah
Kelurahan dan bukan hunian liar
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu pula asal muasalnya. Dalam masyarakat kumuh
juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja
di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informal.
Selanjutnya Sinulingga (1999) mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Luas dan ukuran bangunan yang sempit dengan kondisi rata-rata yang
tidak memenuhi standar kesehatan maupun standar kehidupan sosial
yang layak
2. Kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan sehingga rentan dan
rawan terhadap bahaya kebakaran
3. Kurangnya suplai terhadap kebutuhan air bersih
4. Jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara baik serta dengan
kapasitas yang terbatas
5. Drainase yang sangat buruk
6. Jalan lingkungan yang buruk dan tidak memadai
7. Ketersediaan sarana MCK yang sangat terbatas.
Lingkungan pemukiman kumuh terlihat jorok karena warganya belum
memiliki kesadaran untuk hidup bersih dan sehat. Rumah dibangun secara
berdempetan dan tidak teratur, banyak warganya yang membuang sampah
secara sembarangan sehingga aliran air tidak lancar. Akibatnya adalah
sering muncul permasalahan di kawasan permukiman kumuh
seperti bahaya kebakaran, banjir, masalah kesehatan dan lingkungan. Nurmaidah (2010) mengemukakan bahwa pemukiman kumuh ini tidak
layak huni karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat tinggal, dengan
kriteria antara lain :
a. Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang
dari 10 m2.
b. Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.
c. Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.
d. Jenis lantai tanah
e. Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK).
Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang tidak layak
huni, warga dari pemukiman kumuh umumnya terkonsentrasi pada berbagai
24 jenis pekerjaan di sektor informal seperti penjual makanan dan minuman
(baik yang diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual
rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka berjualan secara berkeliling
atau menggunakan “lapak” sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan
lainnya yang banyak dilakukan adalah sebagai pemulung, kuli bangunan
dan pekerjaan kasar lainnya. Terkonsentrasinya mereka pada sektor
informal ini adalah karena mudah dimasuki dan tidak memerlukan
ketrampilan serta pendidikan yang tinggi. Sektor informal menyediakan
berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang
terdidik untuk kebutuhan pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa
mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal (Lubis, 2010).
Mata pencaharian warga pemukiman kumuh yang umumnya di sektor
informal ini mengakibatkan tingkat kemampuan ekonominya rendah,
tetapi perkembangan pemukiman kumuh ini di daerah perkotaan sangat
pesat. Nurmaidah (2010), mengemukakan faktor yang mendorong
perkembangan pemukiman kumuh di daerah perkotaan adalah :
a. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi baik berasal dari pertumbuhan
alamiah maupun terjadi akibat arus urbanisasi.
b. Mahalnya pembangunan rumah di kota ditunjang dengan keterbatasan lahan.
c. Rendahnya kemampuan penduduk untuk tinggal di kawasan pemukiman
layak huni karena keterbatasan kondisi ekonomi.
d. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat terutama masyarakat ekonomi kelas bawah.
Selain faktor-faktor ekonomi maka perkembangan pemukiman kumuh
ini juga dipengaruhi pandangan warga miskin di perkotaan dalam memilih
rumah tempat tinggal. Santoso dalam Kurniasih (2007) mengemukakan
bahwa pandangan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memilih rumah
adalah:
1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk
mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal
2. Kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih
bisa menyelenggarakan kehidupan mereka.
3. Hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan khususnya hak milik tidak
penting. Yang penting bagi mereka adalah mereka tidak diusir atau
digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah
fasilitas.
Pemukiman kumuh sering juga disebut pemukiman liar karena
dibangun secara tidak resmi (liar) pada lahan kosong di kota yang
merupakan milik pemerintah maupun swasta, yang didiami oleh orang
yang miskin karena tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan
tetap. Menurut Srinivas, istilah pemukiman liar sesungguhnya dimulai sejak
masa pembangunan diprakarsai negara Barat (Lubis, 2010). Sebutan
pemukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan
kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan
perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang pemukim liar adalah
yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah atau sebuah bangunan tanpa
kekuatan hukum (Auslan, 1986).
26 Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984), pemasalahan yang
terdapat di pemukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada pemukiman
tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan
munculnya budaya kemelaratan seperti apatisme, serba curiga, putus asa,
ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang
kesemuanya disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan
Pengertian kemiskinan dapat dilihat secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif, kemiskinan adalah suatu kondisi yang di dalamnya hidup
manusia tidak layak sebagai manusia sedangkan secara kuantitatif
kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba kekurangan
atau tidak berharta benda (Mardimin, 2000). Pengertian yang banyak
digunakan untuk memahami kemiskinan adalah secara kuantitatif sehingga
kriteria dan garis kemiskinan ditentukan secara ekonomis yaitu suatu
keadaan serba kekurangan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya
yang paling dasar sekalipun. Kebutuhan dasar minimal atau kebutuhan
pokok meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan (Soembodo, 2013). Beberapa kriteria
lainnya yang digunakan dalam mengukur dan menentukan kemiskinan
adalah konsumsi beras per kapita per tahun, kebutuhan gizi per orang per
hari, konsumsi kalori per hari/bulan, dan lain-lain.
Tingkat kesejahteraan suatu keluarga dapat dilihat dari besarnya
pengeluaran untuk membeli makanan dibandingkan dengan pengeluaran
untuk non makanan. Papanek (1986) mengemukakan bahwa golongan
berpenghasilan rendah membelanjakan 85% pendapatannya untuk membeli
makanan. Sedangkan data dari BPS (2010) memperlihatkan bahwa bagi
masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga
terbesar adalah untuk makanan (73,5%), sedangkan untuk perumahan
(8,43%), transportasi 2,48%), pendidikan (2,4%) dan listrik (3,3%). Jadi
dengan kata lain bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila
persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan
persentase pengeluaran untuk non makanan (Lubis, 2010). Hal ini sejalan
dengan teori Ernest Engel yang menemukakan bahwa proporsi dari
penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan
naiknya pendapatan (Sumardi, 1982).
Ada beberapa istilah kategoritatif yang digunakan dalam
membicarakan kemiskinan, yaitu :
a. kemiskinan absolut adalah seseorang dikatakan miskin jika tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya untuk memelihara fisiknya agar
dapat bekerja penuh dan efisien.
b. kemiskinan relatif adalah jika kondisi seseorang atau sekelompok orang
dibandingkan dengan kondisi orang lain.
c. kemiskinan stuktural adalah menunjuk kepada seseorang atau
sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur
masyarakatnya yang timpang karena tidak menguntungkan
28
d. kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena kultur
masyarakatnya
e. kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena seseorang atau
sekelompok orang tinggal di daerah yang kurang menguntungkan
Ada banyak faktor yang membuat seseorang atau sekelompok orang
mengalami kemiskinan. Wiryotenoyo dalam Mardimin (2000)
mengemukakan bahwa kemiskinan terjadi karena: a) orang tinggal di suatu
daerah yang alamnya sangat miskin, b) karena orang menempuh gaya hidup
yang membawa pada kemiskinan, c) karena orang menganut kepercayaan
yang menganggap kekayaan sebagai salah satu sumber dosa, d)
karena ketidakadilan baik individual maupun kolektif ataupun struktural.
Soetrisno dalam Susiana (2000) mengemukakan ada dua aliran pemikiran
dalam melihat substansi kemiskinan, yaitu :
a. Agrarian populism, yang melihat bahwa orang miskin dapat membangun
diri sendiri jika pemerintah memberi kebebasan pada kelompok itu
untuk mengatur diri sendiri.
b. Aliran Budaya, yang melihat bahwa orang menjadi miskin karena
tidak memiliki ethos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta
dan tingkat pendidikannya rendah.
Ahli lain yang mengemukakan pandangannnya mengenai penyebab
kemiskinan adalah Robert Chambers, yang dikenal dengan konsep
deprivation trap (jebakan kekurangan) yaitu : a) kemiskinan itu sendiri;
b) kelemahan fisik; c) keterasingan; d) kerentanan; e) ketidakberdayaan
(Susiana, 2000).
Emil Salim (1980) mengemukakan bahwa penduduk miskin tidak
memiliki : a) mutu tenaga kerja yang tinggi, b) jumlah modal yang
memadai, c) luas tanah dan sumber alam yang cukup, d) keterampilan
dan keahlian yang cukup tinggi, e) kondisi fisik/jasmaniah dan rohaniah
yang cukup baik, f) rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan
kemajuan. Ciri lain dari penduduk miskin ini dikemukakan oleh Sunuharyo
dalam Sumardi (1982) yaitu : a) kekurangan nilai gizi makanan jauh di
bawah normal/bukan kurang makan; b) hidup yang morat marit; c) kondisi
kesehatan yang menyedihkan; d) pakaian selalu kumal tidak teratur; e)
tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan
(sempit, pengap dan kotor); f) keadaan anak-anak yang tak terurus/dibiarkan
bergelandangan memenuhi kebutuhan masing-masing; g) tidak mampu
mendapatkan pendidikan formal/non formal (ketiadaan biaya dan lemah
kecerdasan). Jadi kaum miskin tidak memiliki asset produksi dan
kemampuan meningkatkan produktifitas dan sebaliknya asset produksi
serta kemampuan untuk meningkatkan produktifitas tidak mereka
miliki karena mereka miskin. Dengan demikian kaum miskin terjerat dalam
lingkaran setan kemiskinan tanpa ujung pangkal.
Hidup dalam lingkaran setan kemiskinan itu menimbulkan sikap hidup
serba pasrah terhadap kemiskinan itu. Mereka sudah terbiasa hidup dalam
lingkungan serba miskin, sehingga hal ini kemudian menumbuhkan sistem
30
nilai yang memperlanjut (perpetuste) sikap hidup kemiskinan ini. Lewis
dalam Suparlan (1984) mengemukakan bahwa para antropolog memahami
kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai sub kebudayaan dengan struktur dan
hakikatnya tersendiri. Dengan demikian kemiskinan mempunyai kaitan
dengan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan penganut Teori
Marginal yang dipelopori oleh Oscar Lewis. Teori Marginal berasumsi
bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya “kebudayaan
kemiskinan” (culture of poverty) yang tersosialisasi di kalangan masyarakat
atau komunitas tertentu (Alfian, 2012).
Pola kelakuan dan sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah
suatu cara yang paling tepat untuk dapat melangsungkan kehidupan yang
serba kekurangan tersebut. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada
dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi
kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi
oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk
menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan
model-model adaptasi mereka dalam menghadapi kemiskinan. Karena dari cara
hidup para migran di perkotaan inilah telah lahir pola adaptasi, nilai-nilai
yang diyakini, respons dalam tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang
khas penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya disebut dengan
kebudayaan kemiskinan (Astika, 2010).
Dalam beberapa literatur tentang kemiskinan terdapat pendapat yang
meyakini adanya “budaya kemiskinan”, yaitu rakyat miskin tetap miskin
karena lahir dalam lingkungan kemiskinan yang sulit untuk dipecahkan.
Budaya ini memungkinkan golongan miskin bertahan di bawah paksaan
tetapi pada saat yang sama kemiskinan itu menjadi kekal (Erwin, 2012).
Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan
sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal
mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan
berciri kapitalisme. Bagi mereka berbagai cara harus dilakukan, segala
bantuan yang dapat diwujudkan, meminta bantuan kepada keluarga, kepada
teman tak segan-segan mereka lakukan. Rasa gengsi atau malu harus dapat
dihilangkan untuk sementara waktu. Segala jenis pekerjaan yang mereka
anggap mungkin akan segera mereka lakukan (Erwin, 2012). Cara hidup
inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan
yang diwariskan dari generasi orang tua kepada generasi anak-anak
melalui proses sosialisasi sehingga kebudayaan kemiskinan itu tetap lestari.
Adaptasi merupakan sifat dasar yang dimiliki manusia sebagai akibat
adanya kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adaptasi
adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial
terhadap norma, proses perubahan maupun suatu kondisi yang diciptakan
(Wahyudi, 2007). Langkah-langkah atau cara yang diambil individu atau
masyarakat dalam menyesuaikan diri atau memperkuat daya tahannya
terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi. Marzali dalam Marrung
(2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi adalah perilaku manusia
dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi
32
menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna
sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi dan ekologis di
tempat dimana mereka hidup. Jadi strategi adaptasi merupakan
kemampuan individu mengembangkan seperangkat cara untuk mengatasi
berbagai permasalahan hidupnya. Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa
masyarakat miskin memiliki dan mengembangkan strategi tertentu untuk
dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga apa yang dalam
pandangan pihak luar merupakan tindakan irrasional dalam kenyataannya
merupakan satu-satunya pemecahan dari himpitan kesulitan sosial
ekonomi.
Masyarakat miskin di perkotaan tetap dapat survive walaupun
berulang-ulang mendapat tekanan dari kemiskinan. Hal ini disebabkan
kemampuan mereka mengembangkan mekanisme survival yang paling
rasional dan paling mungkin dilakukan. Soembodo (2013) mengemukakan
mekanisme survival yang dikembangkan masyarakat miskin tersebut antara
lain adalah :
a. memperkecil atau memperluas lingkaran anggota keluarganya agar dapat
memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi
sosial-ekonomi yang berubah
b. menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka sehingga
pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima
kendati bayarannya rendah.
c. bekerja lebih banyak walaupun dengan lebih sedikit pemasukan,
melakukan berbagai langkah penghematan, mencoba mengembangkan
perilaku subsistensi atau melakukan diversifikasi usaha
d. berutang pada sanak saudara, teman atau tetangga sebagai hal yang lazim
dan paling populer. Mekanisme gali lubang tutup lubang bagi penduduk
miskin adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena memang hanya
dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk
melangsungkan kehidupannya.
Kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai aset
yang dimilikinya merupakan bagian dari strategi adaptasi masyarakat
miskin untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mosser dalam
Simarmata (2009) mengemukakan berbagai pengelolaan aset sebagai
strategi adaptasi yaitu :
a. Aset tenaga kerja : misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak
dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga
b. Aset modal manusia : misalnya memanfaatkan status kesehatan yang
dapat menentukan kapasitas seseorang atau bekerja atau ketrampilan dan
pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap
tenaga yang dikeluarkannya.
c. Aset produktif : misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman
untuk keperluan lainnya.
34
d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga : misalnya memanfaatkan jaringan
dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi
tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman”
e. Aset modal sosial : misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial
lokal, arisan dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian
keluarga.
Kapasitas manusia dalam beradaptasi terlihat dari usahanya untuk
megelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Edi Suharso dalam
Simarmata (2009) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam mengatasi
tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi :
a. Strategi Aktif : yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi
keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang
jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar
dan sebagainya).
b. Strategi Pasif : yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya
pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).
c. Strategi Jaringan Pengamanan : misalnya menjalin relasi, baik secara
informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan
kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke
warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke
rentenir atau bank, dan sebagainya).
Selanjutnya Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam