• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN

MEDAN BARAT KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

WASTON MALAU

127024015/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

(2)

ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA

PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN

MEDAN BARAT KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister Studi Pembangunan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

WASTON MALAU

127024015/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

(3)

Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan

Nama Mahasiswa : Waston Malau

Nomor Pokok : 127024015

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si )

Ketua Anggota

( Drs. Agus Suriadi, M.Si )

Ketua Program Studi Dekan

( Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA ) ( Prof. Dr. Badaruddin, M.Si )

Tanggal Lulus : 28 Maret 2014

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 Maret 2014

__________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si

Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si 2. Dr. Muryanto Amin, M.Si 3. Husni Thamrin, S.Sos, MSP 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

(5)

PERNYATAAN

ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 28 Maret 2014

Penulis

Waston Malau

(6)

ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi lapangan dengan menggunakan observasi dan interview. Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota merupakan pemukiman kumuh yang ditandai oleh ciri-ciri antara lain rumah yang dibangun secara berdempetan dan tidak teratur. Dinding rumah terbuat dari tepas, papan/tripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Atap rumah terbuat dari seng dan rumbia. Lantai rumah telah menggunakan semen kasar dan ada yang berlantai tanah. Lingkungan pemukiman terlihat jorok, kurangnya fasilitas penerangan, air bersih dan MCK. Warga pemukiman kumuh ini merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan. Mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Akibatnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan anak-anak mereka sangat rendah yaitu hanya tamat SD dan SMP, sehingga kelak mereka hanya dapat bekerja di sektor informal. Kehidupan ekonomi yang miskin menyebabkan warga pemukiman kumuh ini terpaksa harus bersikap pasrah untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Dengan demikian kemiskinan tetap tersosialisasikan dari generasi orang tua kepada anak-anak mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini mengembangkan berbagai strategi adaptasi. Strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi meliputi upaya mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, meminjam uang atau mengutang di warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi adaptasi dalam kehidupan sosial budaya meliputi keikutsertaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, tetap memelihara hubungan yang baik dengan lingkungan kerabat. Adanya sikap pasrah, kemiskinan yang tersosialisasikan dan upaya mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup merupakan ciri dari “kebudayaan kemiskinan” yang dimiliki warga pemukiman kumuh tersebut.

Kata kunci : pemukiman kumuh, kehidupan ekonomi dan sosial budaya, strategi adaptasi dan kebudayaan kemiskinan

i

(7)

DISTRICT WEST MEDAN, MEDAN CITY

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the economic and socio-cultural life as well as the adaptation strategies in social, cultural and economic life of the population in slum areas (slum area) in Pulo Brayan City District, West Medan, Medan city. The instruments for collecting data are observation sheet and interview as the qualitative data and using the document and field study. XXIV environment Pulo Brayan City district is characterized by traits that include house which is built huddled and irregular. The wall is made of the tepas, board/plywood and a little bit parts are made of half-bricks without plaster and half board / plywood. The roofs are made of corrugated iron and thatch. The floor of the house has been using the rough cement and dirt floors. The environment looks dirty, lack of facilities of lighting, water and sanitation. The slum residents are the urban people which are coming from various areas around Medan city. They work in the informal sector with low income, so they live in the poor economy. Consequently, the level of education of the parents and their children is very low that are only graduated from elementary and junior high school, so that they can only work in the informal sector. The life of the poor economy caused the slum residents are forced to live in the slums area. Thus the poverty will be socialized from the parents’ generations to their children’s generation In order to survive the life, the slum residents develop some adaptation strategies. The adaptation strategies in the economic life include some efforts such as search for the second job or increase the office hours, borrow money or borrow in the stall, reduce the quantity and quality of food, save or reduce outcome. The adaptation strategies in the social and cultural life include the participation in social organizations, and maintain a good relationship with the environment relatives. The existence of resignation, the socialized poverty and efforts to develop the adaptation strategies for survival are a hallmark of the "culture of poverty" that the residents of the slum have.

Keywords: slums area, economic and socio-cultural life, adaptation strategies and culture of poverty

ii

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembanding.

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing 5. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing

yang telah banyak memberikan arahan, motivasi dan ide-ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si dan Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP, selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

7. Seluruh Dosen dan staf di Program Magister Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu baik di bidang Akademik maupun administratif. 8. Seluruh rekan – rekan seperjuangan angkatan XXV, atas dukungan dan

kerjasamanya, mudah – mudahan kita semua akan sukses, amin.

9. Seluruh informan yang telah banyak memberikan bantuan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

(9)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Waston Malau

Tempat/ Tgl. Lahir : Balige, 18 Januari 1960

Alamat : Jl. Abadi No. 65 Tj. Rejo Medan Agama : Kristen Protestan

Status : Kawin

II. Keluarga :

Isteri : Dra. Herlina Marpaung

Anak : 1. Sesdi Floria Malau, S.Pd/Oslanto Siagian 2. Afriliando Malau, S.Kom

3. Winda Febrianti Malau, SE Cucu : Alvindo Valentino Siagian

III. Pendidikan :

SD Fajar Binjai, tahun 1965 - 1971 SMP Negeri 3 Binjai, tahun 1972 - 1974 SMA Negeri 1 Binjai, tahun 1975 - 1977 IKIP Negeri Medan, tahun 1978 - 1984

Magister Studi Pembangunan FISIP USU Medan, tahun 2012 - 2014

IV. Pekerjaan :

CPNS IKIP Medan, tahun 1985

Dosen Prodi Antropologi UNIMED (IKIP) , 1986 - sekarang

Medan, 28 Maret 2014

Penulis

Waston Malau

iv

(10)
(11)

4.4. Kehidupan Sosial Budaya Penduduk ……… 72

4.4.1. Pendidikan ……… 72

4.4.2. Organisasi Sosial ……… 74

4.4.3. Interaksi Sosial Budaya ……… 76

4.5. Strategi Adaptasi dalam Mengatasi Kemiskinan…… 78

4.5.1. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Ekonomi 79

4.5.2. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Sosial Budaya ……….. 85

4.6. Analisis Teoritis Tentang Pemukiman Kumuh …… 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 91

5.1. Kesimpulan ……….. 91

5.2. Saran ……… 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

vi

(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

4.1. Lingkungan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk ………….. 44

4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ………. 47

4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup… 50

4.4. Sarana Pendidikan ……… 51

4.5. Sarana Kesehatan ………. 52

4.6. Matriks Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Serta

Strategi Adaptasi Mengatasi Kemiskinan ………. …….. 88

vii

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran ……… 37 4.1. Nama Kelurahan dan Luas Wilayah (Ha) ………... 43

4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ……. 45

4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ………. 46

4.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ………….. . 48

4.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 49

4.6. Jarak Rumah Penduduk dengan Rel Kereta Api …….. .. 53

4.7. Kondisi Fisik Rumah Penduduk ………. .. 55

4.8. Sumur Galian untuk Keperluan MCK ………. 56

4.9. Saluran Pembuangan Air Limbah dari Rumah Penduduk 57

4.10 Tempat Pembuangan Sampah ………. 58

4.11. Genangan Air di Depan Rumah Penduduk ……… 59

4.12. Kondisi Atap Rumah Penduduk ……….. 69

4.13. Beca Dayung/Bermotor Sebagai Alat Transportasi dan

Untuk Mencari Nafkah ………. 72

viii

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Daftar Informan ………. 97

2. Pedoman Wawancara ………... 100

3. Pedoman Observasi ……… 102

4. Peta Wilayah Kecamatan Medan Barat ………. 103

5. Peta Wilayah Kelurahan Pulo Brayan Kota …………... 104

ix

(15)

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi lapangan dengan menggunakan observasi dan interview. Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota merupakan pemukiman kumuh yang ditandai oleh ciri-ciri antara lain rumah yang dibangun secara berdempetan dan tidak teratur. Dinding rumah terbuat dari tepas, papan/tripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Atap rumah terbuat dari seng dan rumbia. Lantai rumah telah menggunakan semen kasar dan ada yang berlantai tanah. Lingkungan pemukiman terlihat jorok, kurangnya fasilitas penerangan, air bersih dan MCK. Warga pemukiman kumuh ini merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan. Mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Akibatnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan anak-anak mereka sangat rendah yaitu hanya tamat SD dan SMP, sehingga kelak mereka hanya dapat bekerja di sektor informal. Kehidupan ekonomi yang miskin menyebabkan warga pemukiman kumuh ini terpaksa harus bersikap pasrah untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Dengan demikian kemiskinan tetap tersosialisasikan dari generasi orang tua kepada anak-anak mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini mengembangkan berbagai strategi adaptasi. Strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi meliputi upaya mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, meminjam uang atau mengutang di warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi adaptasi dalam kehidupan sosial budaya meliputi keikutsertaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, tetap memelihara hubungan yang baik dengan lingkungan kerabat. Adanya sikap pasrah, kemiskinan yang tersosialisasikan dan upaya mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup merupakan ciri dari “kebudayaan kemiskinan” yang dimiliki warga pemukiman kumuh tersebut.

Kata kunci : pemukiman kumuh, kehidupan ekonomi dan sosial budaya, strategi adaptasi dan kebudayaan kemiskinan

i

(16)

THE ANALYSIS OF ECONOMIC AND SOCIO-CULTURAL LIFE OF POPULATION IN SLUM AREA IN THE PULO BRAYAN CITY

DISTRICT WEST MEDAN, MEDAN CITY

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the economic and socio-cultural life as well as the adaptation strategies in social, cultural and economic life of the population in slum areas (slum area) in Pulo Brayan City District, West Medan, Medan city. The instruments for collecting data are observation sheet and interview as the qualitative data and using the document and field study. XXIV environment Pulo Brayan City district is characterized by traits that include house which is built huddled and irregular. The wall is made of the tepas, board/plywood and a little bit parts are made of half-bricks without plaster and half board / plywood. The roofs are made of corrugated iron and thatch. The floor of the house has been using the rough cement and dirt floors. The environment looks dirty, lack of facilities of lighting, water and sanitation. The slum residents are the urban people which are coming from various areas around Medan city. They work in the informal sector with low income, so they live in the poor economy. Consequently, the level of education of the parents and their children is very low that are only graduated from elementary and junior high school, so that they can only work in the informal sector. The life of the poor economy caused the slum residents are forced to live in the slums area. Thus the poverty will be socialized from the parents’ generations to their children’s generation In order to survive the life, the slum residents develop some adaptation strategies. The adaptation strategies in the economic life include some efforts such as search for the second job or increase the office hours, borrow money or borrow in the stall, reduce the quantity and quality of food, save or reduce outcome. The adaptation strategies in the social and cultural life include the participation in social organizations, and maintain a good relationship with the environment relatives. The existence of resignation, the socialized poverty and efforts to develop the adaptation strategies for survival are a hallmark of the "culture of poverty" that the residents of the slum have.

Keywords: slums area, economic and socio-cultural life, adaptation strategies and culture of poverty

ii

(17)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami

laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

alami yaitu kelahiran dan terutama juga pengaruh dari perpindahan

penduduk yang sangat pesat dari desa ke kota (urbanisasi). Laju

pertumbuhan penduduk yang pesat ini tentu akan membawa beragam

permasalahan di daerah perkotaan seperti kemacetan dan kesemrawutan

kota, kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, munculnya pemukiman

kumuh atau daerah slum (slum area) terutama pada lahan-lahan kosong

seperti jalur hijau disepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api,

taman-taman kota maupun di bawah jalan layang.

Pemukiman kumuh (daerah slum) adalah daerah yang sifatnya kumuh

tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini

merupakan pemukiman liar karena dibangun di atas tanah milik negara atau

tanah milik orang lain. Ciri-ciri daerah slum ini adalah banyak dihuni oleh

pengangguran, tingkat kejahatan / kriminalitas tinggi, demoralisasi tinggi,

emosi warga tidak stabil, miskin dan berpenghasilan rendah, daya beli

rendah, kotor, jorok, tidak sehat dan tidak beraturan, warganya adalah kaum

1

(18)

2

migran yang bermigrasi dari desa ke kota, fasilitas publik sangat tidak

memadai,kebanyakan warga slum bekerja sebagai pekerja kasar dan

serabutan, bangunan rumah kebanyakan gubuk-gubuk dan rumah semi

permanen

Keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator

gagalnya pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan

perumahan dan tata kota yang berkelanjutan. Selain menimbulkan

keruwetan tata ruang kota maka padatnya permukiman kumuh di sepanjang

bantaran sungai, bantaran rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah

jembatan maupun jalan layang ini juga berdampak bagi lingkungan hidup,

kesehatan dan standar hidup warga perkotaan, serta rawan menimbulkan

tindak kejahatan. Konflik juga tak terhindarkan ketika pemerintah daerah

berusaha mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul,

sementara keberadaan permukiman kumuh justeru dianggap sebagai solusi

bagi warga miskin yang hidup di perkotaan. Sosialisasi yang dilakukan

pemerintah pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan

sangat minim sehingga sering kali menimbulkan penolakan warga,

bahkan tak jarang mereka sampai bertindak anarkhis demi membela tempat

tinggal “miliknya”. Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan

permukiman kumuh harus mendapat skala prioritas dalam penanganannya.

Penghuni pemukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang

yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib

atau ingin mendapatkan kesuksesan, karena tidak mendapatkan peluang atau

(19)

tanpa adanya keahlian yang memadai dan jenjang pendidikan yang

cukup, sehingga akhirnya memasuki sektor informal yang terdapat di

kawasan perkotaan. Mereka merupakan kaum termiskin di kota yang

bekerja sebagai kuli pelabuhan, tukang becak, buruh kasar, tukang gali, kuli

bangunan, menyemir sepatu, memungut barang-barang bekas (pemulung),

menyapu jalan dan lain-lain. Ada kecenderungan untuk melakukan

pekerjaan yang paling rendah upahnya. Akibatnya mereka berada dalam

kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki penghasilan

yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi di

kota. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran

menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga,

tiadanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan dan terbatasnya

jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan bagi adanya

partisipasi yang efektif dalam sistem ekonomi yang lebih luas.

1.2. Rumusan Masalah

Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia juga memiliki

masalah dalam penataan pemukiman penduduk. yaitu banyaknya

pemukiman kumuh yang menghiasi Kota Medan. Kawasan permukiman

kumuh di Kota Medan saat ini diperkirakan mencapai 22,5% dari luas

wilayah Kota Medan yang terdiri dari 88.166 unit rumah atau 13,62% dari

jumlah rumah yang ada di Kota Medan. Kawasan permukiman kumuh

tersebut tersebar di 145 titik lokasi, dimana pada umumnya berada pada

bantaran sungai dan rel KA terutama di pusat kota (Pemko Medan, 2012).

(20)

4

Pemukiman kumuh tersebut menyebar di Kelurahan Tegal Sari Mandala I

dan II, Kelurahan Binjai Medan Denai, Kelurahan Bahari Medan

Belawan, Kelurahan Medan Barat, Kelurahan Aur Medan Maimoon,

Kampung Madras Kecamatan Medan Petisah (Waspada on line, 2011).

Jumlah penduduk Medan pada akhir tahun 2011 adalah 2.117.224

jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,94% (BPS Kota Medan,

2012). Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan sejak tahun 2005 telah

menunjukkan kecenderungan menurun, tetapi walaupun demikian Kota

Medan tercatat sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi

yakni 7.987 jiwa/km2 (Pemko Medan, 2013). Kota Medan pada saat ini

sedang mengalami masa transisi demografi. yaitu menurunnya tingkat

kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), tetapi disisi lain

meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses

urbanisasi, termasuk arus ulang alik atau commuters (Pemko Medan, 2012).

Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara telah berkembang

menjadi pusat perekonomian daerah dan regional yang penting dan utama di

Pulau Sumatera. Pertumbuhan ekonomi kota sebesar 7,69% per tahun

menyebabkan warga desa semakin hari semakin terhisap oleh magnet

ekonomi Kota Medan (Daulay, 2012). Migrasi ini terjadi karena terjadinya

surplus jumlah sumber daya manusia yang terdapat di pedesaan dan adanya

peluang kerja di perkotaan. Pada beberapa masyarakat pedesaan di dunia

terdapat pandangan bahwa migrasi ke perkotaan adalah cara untuk

(21)

(Erwin, 2012). Derasnya arus migrasi ke Kota Medan menimbulkan

sejumlah persoalan, antara lain adalah masih tingginya persentase jumlah

warga miskin di Medan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS Kota

Medan, persentase jumlah warga miskin pada tahun 2010 adalah 10,05%.

Hal ini disebabkan pertumbuhan dan pembangunan wilayah tidak mampu

mengatasi terjadinya kesenjangan pendapatan antara masyarakat

berpenghasilan rendah (MBR) dengan yang berpenghasilan tinggi.

Masyarakat berpenghasilan rendah sangat sulit memperoleh rumah yang

layak huni dan terjangkau, sehingga salah satu masalah terbesar penataan

Kota Medan adalah penataan pemukiman padat (Daulay, 2012).

Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan

sekaligus juga melambangkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Bagi

orang-orang yang berpenghasilan besar, mereka dapat membangun rumah

bertingkat yang besar dan nyaman, memiliki halaman luas dan asri

dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap serta memadai. Tetapi

orang-orang miskin hanya mampu memiliki rumah yang bersifat

sementara dan sangat jelek baik struktur maupun infrastruktur yang ada.

Rumah-rumah dibangun seadanya saja sekedar bisa berlindung dari panas

dan hujan maupun dinginnya udara dimalam hari, karena lahan yang

ditempati bukan milik sendiri tetapi diperoleh secara illegal. Penghuni

pemukiman kumuh ini harus puas tinggal di rumah petak atau gubuk reyot

yang saling berhimpitan, dikelilingi saluran air mampet dan sampah di

sepanjang jalan setapak dan lorong – lorong sempit, dengan ruangan kecil

(22)

6

berperabot seadanya, serta tanpa adanya akses air bersih maupun listrik

yang memadai.

Warga perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa

tinggal di pemukiman kumuh ini sembari mencoba mengubah nasibnya.

Meskipun mereka sebenarnya tidak senang harus tinggal di pemukiman

kumuh, tetapi keadaan ekonomi dan desakan kebutuhan membuat mereka

“nekat” bertahan. Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984),

kemiskinan mempunyai kaitan dengan kebudayaan sehinga pola-pola

kelakuan dan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah suatu

cara yang paling tepat untuk dapat tetap melangsungkan kehidupan yang

serba kekurangan tersebut. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu

adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum

miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang

berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme

Adaptasi merupakan penyesuaian, daya tahan atau kemampuan

merespon individu, kelompok atau masyarakat terhadap lingkungan atau

sesuatu kondisi baru yang dialaminya. Langkah-langkah atau cara yang

diambil individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri atau

memperkuat daya tahannya terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi.

Marzali dalam Marrung (2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi

adalah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka

miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan-pilihan tindakan

(23)

ekologis di tempat dimana mereka hidup. Kemampuan individu dalam

beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya, sehingga makin

besar kemampuan adaptasi individu maka makin besar pula kemungkinan

kelangsungan hidupnya.

Salah satu dari pemukiman kumuh yang ada di Kota Medan terdapat

di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat. Pemukiman

kumuh ini berada di bantaran rel kereta api yang menghubungkan pusat

Kota Medan dengan pelabuhan laut Belawan, yang seharusnya tempat ini

merupakan daerah ruang terbuka hijau. Rumah-rumah penduduk didirikan

secara tidak beraturan di sisi kiri kanan sejajar dengan rel kereta api tanpa

adanya pembatas atau penghalang. Hal ini tentu tidak aman bagi penduduk

yang berlalu lalang disana karena setiap saat dapat terjadi kecelakaan.

Selain tidak nyaman dan berbahaya maka suara bising dari kereta api

yang berulang-ulang melintas dapat menyebabkan terjadinya gangguan

pendengaran pada penduduk. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan

misalnya siapakah yang menjadi penghuni pemukiman kumuh tersebut,

bagaimana kehidupan ekonomi dan sosial budaya mereka, mengapa mereka

cenderung bertahan untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut,

bagaimana strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya

mereka untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah

pemukiman kumuh tersebut. Penelitian lapangan yang akan dilakukan di

pemukiman kumuh ini diharapkan dapat memberikan jawaban-jawaban

terhadap sejumlah pertanyaan yang telah dikemukakan tersebut.

(24)

8

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka pertanyaan

penelitian (research question) dalam penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut :

a. Bagaimanakah kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di

daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan

Medan Barat Kota Medan?

b. Bagaimana strategi adaptasi penduduk dalam kehidupan ekonomi dan

sosial budaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah

slum tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya

penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota

Kecamatan Medan Barat Kota Medan

b. Untuk menganalisis strategi adaptasi penduduk dalam kehidupan

ekonomi dan sosial budaya untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya di daerah slum tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

(25)

a. Manfaat Akademis :

1. Menambah khasanah pengetahuan tentang daerah slum (slum area)

2. Sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian-penelitian

sebelumnya tentang daerah slum (slum area)

3 Sebagai tambahan informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya

yang dilakukan terhadap daerah slum (slum area)

b. Manfaat Praktis :

1. Sebagai bahan masukan bagi para perencana dan pengambil keputusan

dalam rangka membuat berbagai kebijakan yang berkaitan dengan

penataan daerah slum (slum area)

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam rangka

menyusun berbagai program penataan lingkungan perkotaan

(26)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Urbanisasi dan Perkembangan Kota

Salah satu masalah yang dihadapi kota-kota di negara-negara

berkembang adalah bertambahnya penduduk kota dengan sangat pesat,

sebagai akibat dari kelahiran dan terutama oleh arus perpindahan penduduk

secara besar-besaran dari desa ke kota (urbanisasi). Todaro dalam Manning

(1985) memperkirakan bahwa pada tahun 1950 sekitar 38% penduduk kota

tinggal di negara sedang berkembang dan pada tahun 1975 sekitar 750 juta

penduduk negara sedang berkembang berada di kota dan pada tahun 2000

diperkirakan akan meningkat lebih dari 2½ kali. Sinulingga (1999)

memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penduduk perkotaan dunia akan

menjadi 50% dan Asia akan menerima bagian sebesar 52%. Di Indonesia,

persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun 2000 dan

diproyeksikan mencapai 68%, sedangkan di Provinsi Sumatera Utara

persentase penduduk kota terus meningkat yakni pada tahun 2000 sebesar

42,4%, pada tahun 2010 sebesar 50,1% dan diproyeksikan pada tahun 2025

mencapai 63,5% (Lubis, 2010).

Urbanisasi dapat diartikan tingkat kekotaan atau persentase jumlah

penduduk yang tinggal di kota dibanding dengan jumlah penduduk

10

(27)

seluruhnya dan juga berarti suatu proses menuju bentuk perkotaan

(Sinulingga, 1999; Kusumawijaya, 2006). Jadi terdapat dua pengertian yang

terkandung dalam istilah urbanisasi yaitu : pertama, menunjuk pada suatu

proses terbentuknya ciri-ciri kota yang kompleks karena terjadinya

perpindahan penduduk atau migrasi dari suatu daerah yang bersifat

homogen (desa atau kota kecil) menuju daerah yang bersifat heterogen

(kota). Kedua, menunjuk pada perkembangan suatu daerah yang semula

bersifat homogen berubah menjadi suatu kawasan yang bersifat heterogen.

Dengan demikian, urbanisasi dapat diartikan sebagai berubahnya suatu

masyarakat pada kawasan tertentu dari sifat homogen menjadi

heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat dari

kawasan itu sendiri maupun karena proses migrasi dari daerah lain

(Hariyono, 2007). Meskipun secara konseptual kedua pengertian urbanisasi

tersebut dapat dibedakan tetapi dalam analisis sering dicampuradukkan dan

pengertian urbanisasi yang paling sering digunakan adalah sebagai akibat

dari terjadinya migrasi.

Grunfeld dalam Daldjoeni (2003) mengemukakan ada dua jenis

urbanisasi atau pengkotaan yaitu pengkotaan fisik dan pengkotaan mental.

Pengkotaan fisik berarti perkembangan kota dalam arti luas areal, jumlah

dan kepadatan penduduknya, pembangunan gedung-gedung (arah horisontal

atau vertikal), variasi tata guna lahannya yang non agraris. Sedangkan

pengkotaan mental berarti perkembangan orientasi nilai-nilai dan kebisaan

hidup meniru apa yang terdapat di kota-kota besar. Selanjutnya De Bruijne

(28)

12

dalam Daldjoeni (2003) mengemukakan ada tujuh defenisi dari urbanisasi,

yaitu :

1. Pertumbuhan persentase penduduk yang bertempat tinggal di

perkotaanbaik secara mondial, nasional maupun regional

2. Berpindahnya penduduk ke kota-kota dari pedesaan

3. Bertambahnya penduduk bermatapencaharian non agraris di pedesaan

4. Tumbuhnya suatu pemukiman menjadi kota

5. Mekarnya atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu kota di

kawasan sekelilingnya

6. Meluasnya pengaruh suasana ekonomi kota ke pedesaan

7. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis dan kultural kota ke

pedesaan; ringkasnya, meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kekotaan

ke kawasan luarnya.

Berpindahnya penduduk meninggalkan desa atau kota kecil menuju

kota yang lebih besar karena adanya sesuatu yang lebih menarik dan lebih

menguntungkan untuk tinggal di kota besar dibandingkan dengan desa atau

kota kecil daerah asalnya. Faktor-faktor penarik yang ada di kota besar ini

disebut “faktor penarik” (pull factor), sedangkan faktor-faktor yang ada di

desa atau kota kecil yang mendorong penduduk meninggalkan daerah

asalnya disebut “faktor pendorong” (push factor).

(29)

Terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota karena penduduk yang

pindah itu ingin mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupannya.

Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang

penghasilan yang lebih baik yang diperoleh di kota dibandingkan dengan

yang diterima di daerah pedesaan (Sinulingga, 1999; Adisasmita, 2010).

Kota-kota besar menjadi tempat berkembangnya industri dengan sektor

ekonomi tersier yang kuat dan daya beli masyarakat yang kuat

menyebabkan derasnya arus urbanisasi menuju daerah perkotaan.

Industri membutuhkan beraneka ragam tenaga kerja, mulai dari tenaga kerja

berpendidikan dan terampil sampai dengan tenaga kerja kasar. Penghasilan

yang lebih mudah diperoleh melalui partisipasi di sektor industri dan sektor

ekonomi tersier di kota, menyebabkan di pedesaan meluap pula hasrat

penduduknya untuk memperbaiki nasib di kota, karena disanalah masih ada

harapan (Daldjoeni, 2003).

Para pendatang baru itu umumnya tidak memiliki pendidikan dan

keterampilan yang dibutuhkan dunia industri, namun mereka merasakan

bahwa kesempatan hidup, mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi

akan lebih besar kemungkinannya diperoleh di kota jika dibandingkan kalau

mereka tetap tinggal di desa. Tantu dalam Sumardi (1982) berdasarkan studi

yang dilakukannya terhadap penduduk pendatang di Jakarta mengemukakan

bahwa bila dilihat dari segi pendapatan yang diperolehnya sebagai tenaga

kerja, maka ada kecenderungan penghasilannya lebih baik dibandingkan

dengan pendapatannya ketika berada di desa asalnya. Oleh sebab itu, kaum

(30)

14

urban ini biasanya sudah siap untuk melakukan pekerjaan kasar apapun

asalkan dapat mengubah kehidupannya (Auslan, 1986; Adisasmita, 2010).

Pemerintah juga berusaha meningkatkan industri dengan teknologi

modern dan investasi dari negara maju untuk mencapai kemajuan ekonomi.

Karena pertimbangan efisiensi maka lokasi industri ditempatkan di

kota-kota besar. Industri yang berkembang adalah komoditi ekspor dan lokasi

kota yang dekat dengan pelabuhan menyebabkan industri tetap

terkonsentrasi di sekitar kota-kota besar dan tidak menyebar ke daerah

pedalaman sehingga kota tidak berfungsi sebagai pusat pengembangan

wilayah. (Sinulingga, 1999).

Reverstain dalam Sinulingga (1999), menyatakan bahwa daya tarik

dari tempat tujuan adalah berkaitan dengan kesempatan ekonomi. Kegiatan

ekonomi yang utama di pedesaan adalah pertanian, sehingga faktor tanah

menjadi sangat penting. Angka kelahiran yang tinggi (akibat perbaikan

sanitasi) telah membuat pertumbuhan penduduk desa yang cukup tinggi,

sedangkan jumlah lahan pertanian tetap. Program pertanian belum

ditingkatkan sehingga belum produktif dan distribusi lahan yang umumnya

tidak merata, mengakibatkan kehidupan ekonomi pedesaan makin buruk.

Kondisi yang tidak menguntungkan ini sering juga diperburuk oleh keadaan

musim yang tidak menguntungkan. Selain motif ekonomi juga terdapat

motif sosial seperti melanjutkan studi, mengikuti keluarga dll (Adisasmita,

2010; Soetomo, 2013).

(31)

pedesaan pindah ke kota adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan dan

gangguan keamanan. Pertambahan penduduk, lahan yang tetap dan

teknologi pertanian yang belum produktif mengakibatkan perekonomian

desa menjadi menurun dan di lain pihak di kota tampaknya lebih tersedia

lapangan kerja yang cukup sehingga mendorong migrasi desa ke kota.

(Sinulingga, 1999).Faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Charles

Whynne-Hammond dalam Daldjoeni (2003) adalah :

1. Kemajuan di bidang pertanian

2. Industrialisasi

3. Potensi pasaran

4. Peningkatan kegiatan pelayanan

5. Kemajuan transportasi

6. Tarikan sosial dan kultural

7. Kemajuan pendidikan

8. Pertumbuhan penduduk alami

Urbanisasi di negara berkembang di Asia terutama pada negara-negara

bekas jajahan termasuk Indonesia berbeda dengan negara maju yaitu

pertumbuhan penduduk kota yang tidak sejalan dengan pertumbuhan

ekonominya. (Sinulingga, 1999). Akibat dari urbanisasi adalah

meningkatnya jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan ini

merupakan masalah krusial yang dihadapi hampir semua kota di Indonesia.

(32)

16

tinggal di pemukiman liar dan kumuh, serta terbatasnya akses penduduk ini

pada pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi (Soegijoko,

2005). Kota sebagai sumber perubahan akan mengubah masyarakat

mulai dari lapisan terbawah hingga yang teratas. Di kota perubahan

menjadi masalah gengsi, sehingga orang berlomba untuk berubah dan

mencapai lapisan sosial yang tertinggi. Selain perubahan sosial, kota

menawarkan perubahan di bidang ekonomi, politik dan pendidikan.

(Daldjoeni, 2003).

Kaum migran dari desa ini tidak memiliki tingkat pendidikan dan

keahlian yang dibutuhkan sektor industri dan sektor modern lainnya yang

ada di kota kota besar sehingga mereka mencari pekerjaan apa saja yang

dapat memberikan penghasilan. Industri di kota umumnya menggunakan

tehnologi tinggi sehingga membutuhkan sedikit tenaga kerja dan harus yang

memiliki ketrampilan tertentu. Oleh sebab itu banyak para migran tersebut

yang tidak memperoleh pekerjaan sehingga menimbulkan persoalan serius

yaitu pengangguran dan setengah pengangguran. Sobirin dalam Koestoer

(2001) mengemukakan bahwa bertambahnya kaum migran yang keahlian

dan ketrampilannya relatif terbatas, pertambahan penduduk alamiah kota

disatu sisi, dan sementara kesempatan kerja yang tersedia makin terbatas,

cenderung mengakibatkan degradasi tingkat ekonomi penduduk kota, yang

ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin dan

pengangguran kota.

(33)

Urbanisasi yang terjadi di Indonesia mendorong timbulnya sektor

informal (ekonomi informal) di kota. Sektor informal ini dianggap

mengganggu pemandangan dan ketertiban kota, sebaliknya sektor informal

yang ada di kota mampu menghidupi kaum urban meskipun dalam kondisi

kehidupan yang pas-pasan. Keberadaan sektor informal ini menjadi daya

tarik pula bagi orang desa untuk tinggal di kota. Sektor informal dicirikan

oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan

sejumlah tenaga kerja yang umumnya kurang berpendidikan, tidak

punya keterampilan (Sumardi, 1982). Pendapat yang sama tentang

pengertian sektor informal ini dikemukakan oleh Soetomo (2013) yaitu

kegiatan ekonomi yang berada dalam status tidak resmi dalam suatu aturan

yang mewakili golongan kurang mampu. Selanjutnya Sarosa dalam

Soegijoko (2005) mengemukakan bahwa ekonomi informal perkotaan

mempengaruhi wujud dan kehidupan kota tidak dapat dipungkiri lagi. Bagi

mereka yang tinggal di kota-kota besar, keberadaan dan pengaruh ekonomi

informal dapat dirasakan dan dilihat secara kasat mata. Dengan demikian,

urbanisasi mendorong munculnya sektor informal dan sektor informal akan

mendorong terjadinya urbanisasi sehingga akhirnya keduanya menjadi

lingkaran setan yang tidak ada putusnya (Hariyono, 2007 ).

Pesatnya pertumbuhan penduduk kota sebagai dampak dari urbanisasi

ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan rumah sebagai tempat

bermukim. Tetapi karena sebagian besar mereka dari golongan miskin

sehingga tidak mampu mendiami perumahan yang layak. Sebagian

(34)

18

diantaranya mencari tempat untuk menumpang di rumah keluarganya

sehingga suatu rumah dihuni oleh beberapa keluarga. Soebroto dalam

Budihardjo (1992) mengemukakan bahwa melihat taraf penghasilan mereka,

kemungkinan besar mereka tinggal di daerah pemukiman sempit,

berdesak-desakan dan berdiri di atas status tanah yang tidak jelas, tidak memenuhi

syarat kesehatan dan bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Jadi

bagi mereka yang tidak mendapat tumpangan dan tidak mampu menyewa

rumah, akan membangun rumah darurat secara liar pada tanah negara

yang kosong atau pada jalur hijau sepanjang bantaran sungai, sepanjang

bantaran rel kereta api, kolong jembatan maupun tempat lainnya yang

seharusnya dibiarkan tanpa bangunan untuk kelestarian kota secara

keseluruhan (Sinulingga, 1999).

Pemukiman kumuh dan papa tersebut selain dipandang merusak

keindahan kota juga menjadi pusat pengangguran dan sumber penyakit,

kejahatan, pelacuran serta borok sosial lainnya. Keadaan runyam ini sudah

semestinya tak mampu memberi kesempatan bagi proses transformasi pada

para migran yang berasal dari pedesaan ke dalam tata kehidupan urban yang

dapat berlangsung secara wajar (Daldjoeni, 2003).

Banyak penyimpangan yang terjadi di pemukiman kumuh misalnya

para pedagang yang tidak memiliki izin perdagangan yang sah,

perusahaan industri kecil yang tidak memperhatikan peraturan

keselamatan dan kesehatan lingkungan dan tidak membayar upah minimum

sebagaimana ditetapkan dalam peraturan. Adakalanya sarana pelayanan

(35)

umum seperti listrik dan air secara sengaja tidak dimasukkan ke daerah

pemukiman kumuh.

Masalah urbanisasi seringkali diikuti masalah sosio kultural serta

masalah perkotaan lainnya. Para migran dari desa ini pada mulanya sering

mengalami berbagai perasaan dan prilaku tertentu, misalnya terjadinya

gejala cultural shock yaitu jiwanya yang terguncang karena pebedaan kultur yang dibawanya dari desa dengan kultur dari masyarakat kota yang baru

dikenalnya. Gejala ini dapat kita lihat misalnya ketika mereka menyeberang

jalan dengan perasaan yang waswas dan cemas sehingga menyeberang

jalan dengan cara maju mundur. Kaum urban ini juga mengalami gejala

cultural lag yaitu perbedaan tingkat kemajuan unsur-unsur kebudayaan

yang dimiliki, misalnya tingkat pengetahuan dengan tehnologi. Akibatnya

kaum migran ini tidak memiliki nilai yang dapat mendukung bagi

kehidupan kota yang beradab, sehingga mudah muncul tindak kekerasan,

perilaku semau gue. Misalnya berkenderaan dan menyeberang jalan dengan

cara melawan arus lalu lintas, merusak pagar pemisah jalan, menyeberang

jalan tidak melalui jembatan penyeberangan, membangun tempat berjualan

tanpa memperhatikan aspek lingkungan seperti menggunakan halte bis

sebagai tempat berjualan (Hariyono, 2007).

Ada tanggapan yang negatif dan yang positif terhadap urbanisasi.

Tanggapan yang negatif melihat segalanya dari segi munculnya unsur-unsur

marginal seperti pedagang kaki lima, gubuk liar, kaum gelandangan,

kejahatan anak-anak, pelanggaran hukum dan hak azasi manusia, kemacetan

(36)

20

lalu lintas, pengangguran, narkotika dan sebagainya. Adapun tanggapan

yang positif, melihat kota sebagai tempat pusat modal, keahlian, daya

kreasi, dan segala fasilitas yang mutlak bagi pembangunan (Daldjoeni,

2003; Kusumawijaya, 2006; Adisasmita, 2010).

2.2. Pemukiman Kumuh (Daerah Slum)

Pemukiman sering disamakan dengan perumahan, padahal keduanya

memiliki arti yang berbeda walaupun pada hakikatnya saling melengkapi.

Pemukiman memberi makna tentang pemukim atau kumpulan

pemukim beserta sikap dan prilakunya di dalam lingkungan, sehingga

pemukiman menitikberatkan pada manusia dan bukan pada sesuatu yang

bersifat fisik atau benda mati. Sedangkan perumahan memberikan makna

tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana

lingkungan, jadi menitikberatkan pada aspek fisik atau benda mati (Mulia,

2008).

Kumuh merupakan pandangan masyarakat kelas atas (kaya) terhadap

sikap dan tingkah laku yang rendah dari masyarakat kelas bawah (miskin).

Kurniasih (2007) mengemukakan bahwa kumuh dapat dipahami sebagai

sebab dan sebagai akibat. Kumuh sebagai sebab adalah kemunduran atau

kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang

ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (2) segi masyarakat /

sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan

lalulintas, sampah. Sebagai akibat, kumuh adalah perkembangan dari gejala-

(37)

gejala antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu

padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku

menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi.

Pemukiman kumuh adalah gambaran yang diberikan terhadap

pemukiman orang-orang miskin di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini

ditandai dengan gejala-gejala yaitu kondisi perumahan yang buruk karena

tidak sesuai dengan persyaratan bangunan dan rumah yang sehat, penduduk

yang terlalu padat, fasilitas yang kurang memadai seperti sarana air bersih,

listrik, jalan, sanitasi, ruang terbuka dan fasilitas sosial lainnya. Suparlan

(2007) mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya

mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam

penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga

mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan

ekonomi penghuninya.

4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang

hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang

jelas, yaitu terwujud sebagai :

a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara dan karena itu

(38)

22

b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah Rukun

Tetangga atau sebuah Rukun Warga

c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai Rukun

Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah

Kelurahan dan bukan hunian liar

5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial ekonomi tidak homogen,

warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang

beranekaragam, begitu pula asal muasalnya. Dalam masyarakat kumuh

juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan

ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja

di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor

informal.

Selanjutnya Sinulingga (1999) mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Luas dan ukuran bangunan yang sempit dengan kondisi rata-rata yang

tidak memenuhi standar kesehatan maupun standar kehidupan sosial

yang layak

2. Kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan sehingga rentan dan

rawan terhadap bahaya kebakaran

3. Kurangnya suplai terhadap kebutuhan air bersih

(39)

4. Jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara baik serta dengan

kapasitas yang terbatas

5. Drainase yang sangat buruk

6. Jalan lingkungan yang buruk dan tidak memadai

7. Ketersediaan sarana MCK yang sangat terbatas.

Lingkungan pemukiman kumuh terlihat jorok karena warganya belum

memiliki kesadaran untuk hidup bersih dan sehat. Rumah dibangun secara

berdempetan dan tidak teratur, banyak warganya yang membuang sampah

secara sembarangan sehingga aliran air tidak lancar. Akibatnya adalah

sering muncul permasalahan di kawasan permukiman kumuh

seperti bahaya kebakaran, banjir, masalah kesehatan dan lingkungan. Nurmaidah (2010) mengemukakan bahwa pemukiman kumuh ini tidak

layak huni karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat tinggal, dengan

kriteria antara lain :

a. Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang

dari 10 m2.

b. Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.

c. Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.

d. Jenis lantai tanah

e. Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK).

Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang tidak layak

huni, warga dari pemukiman kumuh umumnya terkonsentrasi pada berbagai

(40)

24 jenis pekerjaan di sektor informal seperti penjual makanan dan minuman

(baik yang diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual

rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka berjualan secara berkeliling

atau menggunakan “lapak” sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan

lainnya yang banyak dilakukan adalah sebagai pemulung, kuli bangunan

dan pekerjaan kasar lainnya. Terkonsentrasinya mereka pada sektor

informal ini adalah karena mudah dimasuki dan tidak memerlukan

ketrampilan serta pendidikan yang tinggi. Sektor informal menyediakan

berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang

terdidik untuk kebutuhan pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa

mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal (Lubis, 2010).

Mata pencaharian warga pemukiman kumuh yang umumnya di sektor

informal ini mengakibatkan tingkat kemampuan ekonominya rendah,

tetapi perkembangan pemukiman kumuh ini di daerah perkotaan sangat

pesat. Nurmaidah (2010), mengemukakan faktor yang mendorong

perkembangan pemukiman kumuh di daerah perkotaan adalah :

a. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi baik berasal dari pertumbuhan

alamiah maupun terjadi akibat arus urbanisasi.

b. Mahalnya pembangunan rumah di kota ditunjang dengan keterbatasan lahan.

c. Rendahnya kemampuan penduduk untuk tinggal di kawasan pemukiman

layak huni karena keterbatasan kondisi ekonomi.

d. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup

masyarakat terutama masyarakat ekonomi kelas bawah.

(41)

Selain faktor-faktor ekonomi maka perkembangan pemukiman kumuh

ini juga dipengaruhi pandangan warga miskin di perkotaan dalam memilih

rumah tempat tinggal. Santoso dalam Kurniasih (2007) mengemukakan

bahwa pandangan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memilih rumah

adalah:

1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk

mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal

2. Kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih

bisa menyelenggarakan kehidupan mereka.

3. Hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan khususnya hak milik tidak

penting. Yang penting bagi mereka adalah mereka tidak diusir atau

digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah

fasilitas.

Pemukiman kumuh sering juga disebut pemukiman liar karena

dibangun secara tidak resmi (liar) pada lahan kosong di kota yang

merupakan milik pemerintah maupun swasta, yang didiami oleh orang

yang miskin karena tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan

tetap. Menurut Srinivas, istilah pemukiman liar sesungguhnya dimulai sejak

masa pembangunan diprakarsai negara Barat (Lubis, 2010). Sebutan

pemukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan

kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan

perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang pemukim liar adalah

yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah atau sebuah bangunan tanpa

kekuatan hukum (Auslan, 1986).

(42)

26 Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984), pemasalahan yang

terdapat di pemukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada pemukiman

tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan

munculnya budaya kemelaratan seperti apatisme, serba curiga, putus asa,

ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang

kesemuanya disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan

Pengertian kemiskinan dapat dilihat secara kualitatif dan kuantitatif.

Secara kualitatif, kemiskinan adalah suatu kondisi yang di dalamnya hidup

manusia tidak layak sebagai manusia sedangkan secara kuantitatif

kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba kekurangan

atau tidak berharta benda (Mardimin, 2000). Pengertian yang banyak

digunakan untuk memahami kemiskinan adalah secara kuantitatif sehingga

kriteria dan garis kemiskinan ditentukan secara ekonomis yaitu suatu

keadaan serba kekurangan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya

yang paling dasar sekalipun. Kebutuhan dasar minimal atau kebutuhan

pokok meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan (Soembodo, 2013). Beberapa kriteria

lainnya yang digunakan dalam mengukur dan menentukan kemiskinan

adalah konsumsi beras per kapita per tahun, kebutuhan gizi per orang per

hari, konsumsi kalori per hari/bulan, dan lain-lain.

Tingkat kesejahteraan suatu keluarga dapat dilihat dari besarnya

pengeluaran untuk membeli makanan dibandingkan dengan pengeluaran

(43)

untuk non makanan. Papanek (1986) mengemukakan bahwa golongan

berpenghasilan rendah membelanjakan 85% pendapatannya untuk membeli

makanan. Sedangkan data dari BPS (2010) memperlihatkan bahwa bagi

masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga

terbesar adalah untuk makanan (73,5%), sedangkan untuk perumahan

(8,43%), transportasi 2,48%), pendidikan (2,4%) dan listrik (3,3%). Jadi

dengan kata lain bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila

persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan

persentase pengeluaran untuk non makanan (Lubis, 2010). Hal ini sejalan

dengan teori Ernest Engel yang menemukakan bahwa proporsi dari

penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan

naiknya pendapatan (Sumardi, 1982).

Ada beberapa istilah kategoritatif yang digunakan dalam

membicarakan kemiskinan, yaitu :

a. kemiskinan absolut adalah seseorang dikatakan miskin jika tidak

mampu memenuhi kebutuhan hidupnya untuk memelihara fisiknya agar

dapat bekerja penuh dan efisien.

b. kemiskinan relatif adalah jika kondisi seseorang atau sekelompok orang

dibandingkan dengan kondisi orang lain.

c. kemiskinan stuktural adalah menunjuk kepada seseorang atau

sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur

masyarakatnya yang timpang karena tidak menguntungkan

(44)

28

d. kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena kultur

masyarakatnya

e. kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena seseorang atau

sekelompok orang tinggal di daerah yang kurang menguntungkan

Ada banyak faktor yang membuat seseorang atau sekelompok orang

mengalami kemiskinan. Wiryotenoyo dalam Mardimin (2000)

mengemukakan bahwa kemiskinan terjadi karena: a) orang tinggal di suatu

daerah yang alamnya sangat miskin, b) karena orang menempuh gaya hidup

yang membawa pada kemiskinan, c) karena orang menganut kepercayaan

yang menganggap kekayaan sebagai salah satu sumber dosa, d)

karena ketidakadilan baik individual maupun kolektif ataupun struktural.

Soetrisno dalam Susiana (2000) mengemukakan ada dua aliran pemikiran

dalam melihat substansi kemiskinan, yaitu :

a. Agrarian populism, yang melihat bahwa orang miskin dapat membangun

diri sendiri jika pemerintah memberi kebebasan pada kelompok itu

untuk mengatur diri sendiri.

b. Aliran Budaya, yang melihat bahwa orang menjadi miskin karena

tidak memiliki ethos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta

dan tingkat pendidikannya rendah.

Ahli lain yang mengemukakan pandangannnya mengenai penyebab

kemiskinan adalah Robert Chambers, yang dikenal dengan konsep

deprivation trap (jebakan kekurangan) yaitu : a) kemiskinan itu sendiri;

(45)

b) kelemahan fisik; c) keterasingan; d) kerentanan; e) ketidakberdayaan

(Susiana, 2000).

Emil Salim (1980) mengemukakan bahwa penduduk miskin tidak

memiliki : a) mutu tenaga kerja yang tinggi, b) jumlah modal yang

memadai, c) luas tanah dan sumber alam yang cukup, d) keterampilan

dan keahlian yang cukup tinggi, e) kondisi fisik/jasmaniah dan rohaniah

yang cukup baik, f) rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan

kemajuan. Ciri lain dari penduduk miskin ini dikemukakan oleh Sunuharyo

dalam Sumardi (1982) yaitu : a) kekurangan nilai gizi makanan jauh di

bawah normal/bukan kurang makan; b) hidup yang morat marit; c) kondisi

kesehatan yang menyedihkan; d) pakaian selalu kumal tidak teratur; e)

tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan

(sempit, pengap dan kotor); f) keadaan anak-anak yang tak terurus/dibiarkan

bergelandangan memenuhi kebutuhan masing-masing; g) tidak mampu

mendapatkan pendidikan formal/non formal (ketiadaan biaya dan lemah

kecerdasan). Jadi kaum miskin tidak memiliki asset produksi dan

kemampuan meningkatkan produktifitas dan sebaliknya asset produksi

serta kemampuan untuk meningkatkan produktifitas tidak mereka

miliki karena mereka miskin. Dengan demikian kaum miskin terjerat dalam

lingkaran setan kemiskinan tanpa ujung pangkal.

Hidup dalam lingkaran setan kemiskinan itu menimbulkan sikap hidup

serba pasrah terhadap kemiskinan itu. Mereka sudah terbiasa hidup dalam

lingkungan serba miskin, sehingga hal ini kemudian menumbuhkan sistem

(46)

30

nilai yang memperlanjut (perpetuste) sikap hidup kemiskinan ini. Lewis

dalam Suparlan (1984) mengemukakan bahwa para antropolog memahami

kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai sub kebudayaan dengan struktur dan

hakikatnya tersendiri. Dengan demikian kemiskinan mempunyai kaitan

dengan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan penganut Teori

Marginal yang dipelopori oleh Oscar Lewis. Teori Marginal berasumsi

bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya “kebudayaan

kemiskinan” (culture of poverty) yang tersosialisasi di kalangan masyarakat

atau komunitas tertentu (Alfian, 2012).

Pola kelakuan dan sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah

suatu cara yang paling tepat untuk dapat melangsungkan kehidupan yang

serba kekurangan tersebut. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada

dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi

kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi

oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk

menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan

model-model adaptasi mereka dalam menghadapi kemiskinan. Karena dari cara

hidup para migran di perkotaan inilah telah lahir pola adaptasi, nilai-nilai

yang diyakini, respons dalam tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang

khas penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya disebut dengan

kebudayaan kemiskinan (Astika, 2010).

Dalam beberapa literatur tentang kemiskinan terdapat pendapat yang

meyakini adanya “budaya kemiskinan”, yaitu rakyat miskin tetap miskin

(47)

karena lahir dalam lingkungan kemiskinan yang sulit untuk dipecahkan.

Budaya ini memungkinkan golongan miskin bertahan di bawah paksaan

tetapi pada saat yang sama kemiskinan itu menjadi kekal (Erwin, 2012).

Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan

sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal

mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan

berciri kapitalisme. Bagi mereka berbagai cara harus dilakukan, segala

bantuan yang dapat diwujudkan, meminta bantuan kepada keluarga, kepada

teman tak segan-segan mereka lakukan. Rasa gengsi atau malu harus dapat

dihilangkan untuk sementara waktu. Segala jenis pekerjaan yang mereka

anggap mungkin akan segera mereka lakukan (Erwin, 2012). Cara hidup

inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan

yang diwariskan dari generasi orang tua kepada generasi anak-anak

melalui proses sosialisasi sehingga kebudayaan kemiskinan itu tetap lestari.

Adaptasi merupakan sifat dasar yang dimiliki manusia sebagai akibat

adanya kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adaptasi

adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial

terhadap norma, proses perubahan maupun suatu kondisi yang diciptakan

(Wahyudi, 2007). Langkah-langkah atau cara yang diambil individu atau

masyarakat dalam menyesuaikan diri atau memperkuat daya tahannya

terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi. Marzali dalam Marrung

(2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi adalah perilaku manusia

dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi

(48)

32

menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna

sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi dan ekologis di

tempat dimana mereka hidup. Jadi strategi adaptasi merupakan

kemampuan individu mengembangkan seperangkat cara untuk mengatasi

berbagai permasalahan hidupnya. Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa

masyarakat miskin memiliki dan mengembangkan strategi tertentu untuk

dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga apa yang dalam

pandangan pihak luar merupakan tindakan irrasional dalam kenyataannya

merupakan satu-satunya pemecahan dari himpitan kesulitan sosial

ekonomi.

Masyarakat miskin di perkotaan tetap dapat survive walaupun

berulang-ulang mendapat tekanan dari kemiskinan. Hal ini disebabkan

kemampuan mereka mengembangkan mekanisme survival yang paling

rasional dan paling mungkin dilakukan. Soembodo (2013) mengemukakan

mekanisme survival yang dikembangkan masyarakat miskin tersebut antara

lain adalah :

a. memperkecil atau memperluas lingkaran anggota keluarganya agar dapat

memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi

sosial-ekonomi yang berubah

b. menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka sehingga

pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima

kendati bayarannya rendah.

(49)

c. bekerja lebih banyak walaupun dengan lebih sedikit pemasukan,

melakukan berbagai langkah penghematan, mencoba mengembangkan

perilaku subsistensi atau melakukan diversifikasi usaha

d. berutang pada sanak saudara, teman atau tetangga sebagai hal yang lazim

dan paling populer. Mekanisme gali lubang tutup lubang bagi penduduk

miskin adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena memang hanya

dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk

melangsungkan kehidupannya.

Kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai aset

yang dimilikinya merupakan bagian dari strategi adaptasi masyarakat

miskin untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mosser dalam

Simarmata (2009) mengemukakan berbagai pengelolaan aset sebagai

strategi adaptasi yaitu :

a. Aset tenaga kerja : misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak

dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga

b. Aset modal manusia : misalnya memanfaatkan status kesehatan yang

dapat menentukan kapasitas seseorang atau bekerja atau ketrampilan dan

pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap

tenaga yang dikeluarkannya.

c. Aset produktif : misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman

untuk keperluan lainnya.

(50)

34

d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga : misalnya memanfaatkan jaringan

dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi

tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman”

e. Aset modal sosial : misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial

lokal, arisan dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian

keluarga.

Kapasitas manusia dalam beradaptasi terlihat dari usahanya untuk

megelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Edi Suharso dalam

Simarmata (2009) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam mengatasi

tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi :

a. Strategi Aktif : yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi

keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang

jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar

dan sebagainya).

b. Strategi Pasif : yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya

pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

c. Strategi Jaringan Pengamanan : misalnya menjalin relasi, baik secara

informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan

kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke

warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke

rentenir atau bank, dan sebagainya).

Selanjutnya Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam

Gambar

Tabel 4.1. Lingkungan, luas wilayah dan jumlah penduduk
Gambar di atas memperlihatkan bahwa berdasarkan jenis kelamin
Gambar di atas memperlihatkan karakteristik demografis Kelurahan
Gambar di atas memperlihatkan bahwa bagian terbesar penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode Case Based Reasoning (CBR) yang diimplementasikan pada Sistem Pendukung Keputusan Konseling Siswa dapat memberikan solusi untuk masalah perilaku siswa,

Simpulan, TIVA propofol TCI memberikan waktu induksi yang lebih singkat dan perubahan tekanan darah yang lebih kecil bila dibandingkan dengan TIVA MCI, namun tidak

Menurut prinsip Pareto ini sebenarnya setiap manusia sebenarnya hidup dalam sebuah perbandingan 80/20. Konsep ini bisa juga tidak tepat seratus persen benar, namun berdasarkan

--Buku catatan rekapitulasi yankes Poskesdes Buku catatan rekapitulasi yankes Poskesdes --Buku catatan kegiatan pertemuan Poskesdes Buku catatan kegiatan pertemuan Poskesdes

(e) Mendapat sekurang-kurangnya lulus Gred E dan mempunyai Sijil Bahasa Arab dari institusi pendidikan yang diiktiraf; (untuk permohonan melalui Pusat Kembangan Pendidikan UKM

Sehingga maksud dari penelitian ini akan mengkaji lebih dalam terkait dengan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal masyarakat dalam mengurangi dampak risiko bencana longsor

Dengan penyempurnaan yang ada, buku ini diharapkan semakin berdaya guna dalam membantu peningkatan kemampuan mahasiswa dan pengguna lainnya bidang MIPA serta bidang-bidang lain yang

1- Hal ini akan berlaku setelah anda telah menukarkan format bahasa, dan skrin Maktabah Syamila tidak berfungsi untuk pencarian, ikut langkah di bawah