• Tidak ada hasil yang ditemukan

26 Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984), pemasalahan yang

2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan

Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984), pemasalahan yang terdapat di pemukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada pemukiman tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya budaya kemelaratan seperti apatisme, serba curiga, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang kesemuanya disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan

Pengertian kemiskinan dapat dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kemiskinan adalah suatu kondisi yang di dalamnya hidup manusia tidak layak sebagai manusia sedangkan secara kuantitatif kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba kekurangan atau tidak berharta benda (Mardimin, 2000). Pengertian yang banyak digunakan untuk memahami kemiskinan adalah secara kuantitatif sehingga kriteria dan garis kemiskinan ditentukan secara ekonomis yaitu suatu keadaan serba kekurangan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya yang paling dasar sekalipun. Kebutuhan dasar minimal atau kebutuhan pokok meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan (Soembodo, 2013). Beberapa kriteria lainnya yang digunakan dalam mengukur dan menentukan kemiskinan adalah konsumsi beras per kapita per tahun, kebutuhan gizi per orang per hari, konsumsi kalori per hari/bulan, dan lain-lain.

Tingkat kesejahteraan suatu keluarga dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk membeli makanan dibandingkan dengan pengeluaran

untuk non makanan. Papanek (1986) mengemukakan bahwa golongan berpenghasilan rendah membelanjakan 85% pendapatannya untuk membeli makanan. Sedangkan data dari BPS (2010) memperlihatkan bahwa bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan (73,5%), sedangkan untuk perumahan (8,43%), transportasi 2,48%), pendidikan (2,4%) dan listrik (3,3%). Jadi dengan kata lain bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan (Lubis, 2010). Hal ini sejalan dengan teori Ernest Engel yang menemukakan bahwa proporsi dari penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan naiknya pendapatan (Sumardi, 1982).

Ada beberapa istilah kategoritatif yang digunakan dalam membicarakan kemiskinan, yaitu :

a. kemiskinan absolut adalah seseorang dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya untuk memelihara fisiknya agar

dapat bekerja penuh dan efisien.

b. kemiskinan relatif adalah jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain.

c. kemiskinan stuktural adalah menunjuk kepada seseorang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang karena tidak menguntungkan

28

d. kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena kultur masyarakatnya

e. kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena seseorang atau sekelompok orang tinggal di daerah yang kurang menguntungkan

Ada banyak faktor yang membuat seseorang atau sekelompok orang mengalami kemiskinan. Wiryotenoyo dalam Mardimin (2000) mengemukakan bahwa kemiskinan terjadi karena: a) orang tinggal di suatu daerah yang alamnya sangat miskin, b) karena orang menempuh gaya hidup yang membawa pada kemiskinan, c) karena orang menganut kepercayaan yang menganggap kekayaan sebagai salah satu sumber dosa, d) karena ketidakadilan baik individual maupun kolektif ataupun struktural. Soetrisno dalam Susiana (2000) mengemukakan ada dua aliran pemikiran dalam melihat substansi kemiskinan, yaitu :

a. Agrarian populism, yang melihat bahwa orang miskin dapat membangun diri sendiri jika pemerintah memberi kebebasan pada kelompok itu

untuk mengatur diri sendiri.

b. Aliran Budaya, yang melihat bahwa orang menjadi miskin karena tidak memiliki ethos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan tingkat pendidikannya rendah.

Ahli lain yang mengemukakan pandangannnya mengenai penyebab kemiskinan adalah Robert Chambers, yang dikenal dengan konsep

deprivation trap (jebakan kekurangan) yaitu : a) kemiskinan itu sendiri;

b) kelemahan fisik; c) keterasingan; d) kerentanan; e) ketidakberdayaan (Susiana, 2000).

Emil Salim (1980) mengemukakan bahwa penduduk miskin tidak memiliki : a) mutu tenaga kerja yang tinggi, b) jumlah modal yang memadai, c) luas tanah dan sumber alam yang cukup, d) keterampilan dan keahlian yang cukup tinggi, e) kondisi fisik/jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik, f) rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan. Ciri lain dari penduduk miskin ini dikemukakan oleh Sunuharyo dalam Sumardi (1982) yaitu : a) kekurangan nilai gizi makanan jauh di bawah normal/bukan kurang makan; b) hidup yang morat marit; c) kondisi kesehatan yang menyedihkan; d) pakaian selalu kumal tidak teratur; e) tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan (sempit, pengap dan kotor); f) keadaan anak-anak yang tak terurus/dibiarkan bergelandangan memenuhi kebutuhan masing-masing; g) tidak mampu mendapatkan pendidikan formal/non formal (ketiadaan biaya dan lemah kecerdasan). Jadi kaum miskin tidak memiliki asset produksi dan kemampuan meningkatkan produktifitas dan sebaliknya asset produksi serta kemampuan untuk meningkatkan produktifitas tidak mereka miliki karena mereka miskin. Dengan demikian kaum miskin terjerat dalam

lingkaran setan kemiskinan tanpa ujung pangkal.

Hidup dalam lingkaran setan kemiskinan itu menimbulkan sikap hidup serba pasrah terhadap kemiskinan itu. Mereka sudah terbiasa hidup dalam lingkungan serba miskin, sehingga hal ini kemudian menumbuhkan sistem

30

nilai yang memperlanjut (perpetuste) sikap hidup kemiskinan ini. Lewis dalam Suparlan (1984) mengemukakan bahwa para antropolog memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya tersendiri. Dengan demikian kemiskinan mempunyai kaitan dengan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan penganut Teori Marginal yang dipelopori oleh Oscar Lewis. Teori Marginal berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya “kebudayaan kemiskinan” (culture of poverty) yang tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu (Alfian, 2012).

Pola kelakuan dan sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah suatu cara yang paling tepat untuk dapat melangsungkan kehidupan yang serba kekurangan tersebut. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan model-model adaptasi mereka dalam menghadapi kemiskinan. Karena dari cara hidup para migran di perkotaan inilah telah lahir pola adaptasi, nilai-nilai yang diyakini, respons dalam tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang khas penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya disebut dengan

kebudayaan kemiskinan (Astika, 2010).

Dalam beberapa literatur tentang kemiskinan terdapat pendapat yang meyakini adanya “budaya kemiskinan”, yaitu rakyat miskin tetap miskin

karena lahir dalam lingkungan kemiskinan yang sulit untuk dipecahkan. Budaya ini memungkinkan golongan miskin bertahan di bawah paksaan tetapi pada saat yang sama kemiskinan itu menjadi kekal (Erwin, 2012). Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Bagi mereka berbagai cara harus dilakukan, segala bantuan yang dapat diwujudkan, meminta bantuan kepada keluarga, kepada teman tak segan-segan mereka lakukan. Rasa gengsi atau malu harus dapat dihilangkan untuk sementara waktu. Segala jenis pekerjaan yang mereka anggap mungkin akan segera mereka lakukan (Erwin, 2012). Cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan yang diwariskan dari generasi orang tua kepada generasi anak-anak melalui proses sosialisasi sehingga kebudayaan kemiskinan itu tetap lestari.

Adaptasi merupakan sifat dasar yang dimiliki manusia sebagai akibat adanya kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adaptasi adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial terhadap norma, proses perubahan maupun suatu kondisi yang diciptakan (Wahyudi, 2007). Langkah-langkah atau cara yang diambil individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri atau memperkuat daya tahannya terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi. Marzali dalam Marrung (2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi adalah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi

32

menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi dan ekologis di tempat dimana mereka hidup. Jadi strategi adaptasi merupakan kemampuan individu mengembangkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan hidupnya. Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa masyarakat miskin memiliki dan mengembangkan strategi tertentu untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga apa yang dalam pandangan pihak luar merupakan tindakan irrasional dalam kenyataannya merupakan satu-satunya pemecahan dari himpitan kesulitan sosial

ekonomi. Masyarakat miskin di perkotaan tetap dapat survive walaupun

berulang-ulang mendapat tekanan dari kemiskinan. Hal ini disebabkan kemampuan mereka mengembangkan mekanisme survival yang paling rasional dan paling mungkin dilakukan. Soembodo (2013) mengemukakan mekanisme survival yang dikembangkan masyarakat miskin tersebut antara lain adalah :

a. memperkecil atau memperluas lingkaran anggota keluarganya agar dapat memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomi yang berubah

b. menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka sehingga pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima kendati bayarannya rendah.

c. bekerja lebih banyak walaupun dengan lebih sedikit pemasukan, melakukan berbagai langkah penghematan, mencoba mengembangkan

perilaku subsistensi atau melakukan diversifikasi usaha

d. berutang pada sanak saudara, teman atau tetangga sebagai hal yang lazim dan paling populer. Mekanisme gali lubang tutup lubang bagi penduduk miskin adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena memang hanya dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk

melangsungkan kehidupannya.

Kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai aset yang dimilikinya merupakan bagian dari strategi adaptasi masyarakat miskin untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mosser dalam Simarmata (2009) mengemukakan berbagai pengelolaan aset sebagai strategi adaptasi yaitu :

a. Aset tenaga kerja : misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga

b. Aset modal manusia : misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas seseorang atau bekerja atau ketrampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

c. Aset produktif : misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan lainnya.

34

d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga : misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi

tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman”

e. Aset modal sosial : misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.

Kapasitas manusia dalam beradaptasi terlihat dari usahanya untuk megelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Edi Suharso dalam Simarmata (2009) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam mengatasi

tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi :

a. Strategi Aktif : yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya).

b. Strategi Pasif : yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya). c. Strategi Jaringan Pengamanan : misalnya menjalin relasi, baik secara

informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya).

Selanjutnya Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam mengatasi tekanan non ekonomi dapat dikelompokkan menjadi : Universitas Sumatera Utara

a. Strategi Aktif : yaitu melakukan berbagai kegiatan untuk melakukan

dukungan emosional (misalnya lebih giat dalam beribadah, mencari

nasihat orang lain)

b. Strategi Pasif : yaitu berusaha menghindari resiko yang diakibatkan oleh goncangan non ekonomi (misalnya mengurangi biaya sosial, kesehatan, pendidikan dan pasrah pada keadaan)

c. Strategi Jaringan : yaitu menjalin relasi untuk memperoleh bantuan baik secara informal maupun formal dari pihak lain (misalnya teman, tetangga, sanak keluarga).

Dokumen terkait