• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3. Kehidupan Ekonomi Penduduk

4.3.1. Pekerjaan

Bidang pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian warga pemukiman kumuh ini dibedakan menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan. Bidang-bidang pekerjaan tersebut sangat bervariasi seperti berjualan di pajak pagi Pulo Brayan, penarik becak dayung atau beca bermotor, tukang tambal ban motor, buruh bangunan, tukang bangunan, supir, penjahit, karyawan toko, pemulung dan ada yang hanya bekerja secara serabutan (mocok-mocok). Bidang-bidang pekerjaan tersebut termasuk sebagai sektor informal yang merupakan ciri kaum miskin di daerah perkotaan termasuk warga pemukiman kumuh, sebagaimana dikemukakan oleh Suparlan (2007) bahwa penghuni pemukiman kumuh secara sosial ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam.

Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga maka seluruh anggota keluarga yaitu suami, isteri dan anak-anak dilibatkan dalam mencari nafkah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Moser

dalam Simarmata (2009), bahwa masyarakat miskin dalam Universitas Sumatera Utara

mempertahankan kelangsungan hidupnya mengembangkan strategi adaptasi pengelolaan aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga. Suami sebagai penanggung jawab utama dalam mencari nafkah memiliki pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan. Misalnya jika pekerjaan utamanya adalah penarik becak maka sebagai pekerjaan tambahan yang dilakukannya adalah pemulung, tukang bangunan atau buruh bangunan.

Oleh karena penghasilan suami dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan sering tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga maka sebagian besar dari kaum ibu/isteri warga pemukiman kumuh ini harus bekerja untuk menambah penghasilan suami. Bidang-bidang pekerjaan kaum ibu/isteri ini adalah sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci/setrika, pemulung atau membuka warung kecil di rumahnya yang menjual

makanan ringan, es, bakso, mie dan lain-lain.

. Anak-anak yang sudah tidak bersekolah lagi juga telah dilibatkan dalam mencari nafkah untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga. Kemiskinan yang dialami menyebabkan mereka hanya bisa menamatkan pendidikannya pada tingkat SD atau SMP. Mereka bekerja sebagai penarik becak, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, tukang cuci/setrika atau menjadi pemulung. Pada keluarga yang bermatapencaharian sebagai pemulung maka anak-anak yang

62

masih bersekolah juga telah dilibatkan untuk membantu orang tuanya. Anak-anak ini diberi tugas untuk memilah-milah barang-barang bekas (botot) yang telah dikumpulkan orang tua mereka.

Bagi kaum ibu yang telah menjadi janda maka penanggungjawab utama dalam mencari nafkah berada pada si ibu, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci/setrika, pemulung atau membuka warung kecil di rumahnya. Si ibu akan dibantu anak-anaknya yang telah mampu bekerja untuk mencari nafkah. Mereka umumnya bekerja sebagai karyawan toko, buruh bangunan, penarik becak atau menjadi pemulung.

4.3.2. Pendapatan dan Pengeluaran

Bidang pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian hidup warga pemukiman kumuh ini merupakan sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Sumardi (1982) mengemukakan bahwa sektor informal dicirikan oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya kurang berpendidikan, tidak punya ketrampilan. Tingkat pendidikan yang rendah yakni hanya tamat SD dan SMP dan tidak adanya ketrampilan yang memadai mengakibatkan mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk bekerja di luar sektor informal tersebut. Rata-

rata pendapatan keluarga adalah antara Rp. 900.000 – Rp. 1.500.000

yang diperoleh dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, baik oleh suami, isteri dan anak-anak maupun anggota keluarga lainnya yang ikut di dalam suatu keluarga. Jika seluruh anggota keluarga yaitu suami, isteri, anak-anak maupun anggota keluarga lainnya bekerja untuk mencari nafkah, maka mereka akan memperoleh penghasilan yang lebih besar dibandingkan kalau hanya suami, hanya isteri atau hanya anak-anak saja yang bekerja.

Pengeluaran dalam setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pengeluaran untuk pangan (beras dan lauk pauk) dan pengeluaran untuk non pangan (pakaian, pendidikan, transportasi, kesehatan dan lain-lain). Pengeluaran terbesar dalam setiap keluarga adalah untuk memenuhi

kebutuhan pangan yaitu antara Rp. 750.000 – Rp. 1.200.000. Jadi persentase terbesar pengeluaran setiap rumah tangga adalah

untuk makanan yakni antara 80% - 83% dari pendapatan. Kemudian sisanya digunakan untuk transportasi, kesehatan pendidikan, listrik, ibadah/STM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa warga pemukiman kumuh ini merupakan keluarga miskin, sebagimana dikemukakan oleh Papanek (1986) bahwa golongan berpenghasilan rendah (miskin) membelanjakan 85% pendapatannya untuk membeli makanan. Sedangkan data dari BPS (2010) memperlihatkan bahwa bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yakni sebesar 73,5%.

64

Para informan umumnya berpendapat bahwa penghasilan yang mereka peroleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi diupayakan agar bisa “dicukup-cukupkan”. Hal ini menunjukkan sikap pasrah (nrimo) mereka dalam menerima kenyataan yang harus dihadapinya. Ukuran yang digunakan warga masyarakat dalam menilai kecukupan pendapatan yang diperoleh adalah asal sudah dapat memenuhi kebutuhan makan anggota keluarga terutama anak-anak. Mereka juga tidak terlalu mempersoalkan frekuensi makan yang dapat dikatakan cukup, kalau ada akan makan tiga kali sehari tetapi kalau sedang tidak mempunyai uang maka satu kalipun makan dalam sehari juga dianggap cukup.

Prioritas pengeluaran mereka adalah untuk membeli beras untuk keperluan makan. Mereka umumnya membeli beras untuk konsumsi satu hari, sangat jarang mereka dapat membeli beras untuk keperluan satu minggu apalagi menyediakan stok untuk keperluan sebulan. Pengeluaran berikutnya setelah makanan adalah untuk keperluan perumahan, listrik, sandang, kesehatan, pendidikan, ibadah/STM. Bagi keluarga yang telah memiliki rumah sendiri maka urutan prioritas pengeluaran ini adalah makanan, listrik, sandang, kesehatan, pendidikan, tranportasi dan ibadah/STM. Sedangkan bagi keluarga yang masih menyewa rumah maka urutan prioritas pengeluaran ini adalah makanan, sewa rumah, listrik, sandang, kesehatan, pendidikan dan ibadah/STM.

Pendapatan warga masyarakat yang kecil sebagai warga miskin menyebabkan jenis kebutuhan yang idealnya dianggap penting, dalam kenyataannya menjadi tidak penting bagi mereka untuk mengkonsumsinya. Kesehatan adalah jenis kebutuhan yang idealnya dianggap penting tetapi jika menderita sakit ringan maka mereka akan berusaha untuk tidak berobat ke dokter atau ke puskesmas dengan biaya yang paling murah sekalipun. Mereka hanya membeli obat yang sudah umum di jual di warung atau meminum jamu. Oleh sebab itulah warga masyarakat merasa sangat terbantu dengan adanya berbagai program bantuan kesehatan yang diberikan pemerintah seperti jamkesmas, walaupun belum semua warga pemukiman kumuh ini dapat menikmati program bantuan tersebut.

Warga pemukiman kumuh ini juga mengetahui bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang penting, tetapi karena kecilnya pendapatan yang diperoleh setiap bulannya menyebabkan mereka tidak dapat menyisihkannya untuk keperluan pendidikan anak-anaknya. Salah seorang informan yaitu Porman Sitorus (38 tahun) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

“Anakku yang paling besar sekarang sudah kelas 5 SD dan kami sekolahkan dia di negeri supaya tidak banyak pengeluaran untuk biaya pendidikannnya. Kalau sekolah di swasta, nggak sangguplah. Aku heran melihat keadaan di negara kita ini, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”.

66

Mereka harus merelakan pendidikan anak-anaknya yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke SMP atau SMA. Anak-anak yang putus sekolah ini justeru menjadi penting untuk bekerja agar dapat membantu ekonomi keluarga. Ada beberapa informan yang mengatakan bahwa “anak orang kecil, toh jadi orang kecil juga”. Jawaban ini seakan menggambarkan kepasrahan mereka terhadap ketidakmampuan dalam memperoleh pendidikan tersebut.

Sunuharyo dalam Sumardi (1982) mengemukakan bahwa salah satu ciri dari penduduk miskin tersebut adalah kondisi kesehatan yang menyedihkan dan tidak mampu mendapatkan pendidikan formal/non formal. Dengan demikian karena mereka miskin maka tidak mampu meningkatkan produktifitasnya dan karena produktifitasnya rendah maka mereka tetap miskin. Akibatnya adalah mereka tetap terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal tersebut. Hidup dalam lingkaran setan kemiskinan tersebut mengakibatkan munculnya ciri-ciri kebudayaan kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam Suparlan (1984) yaitu apatisme, curiga, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang kesemuanya

disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4.3.3. Kepemilikan Rumah dan Peralatan Rumah Tangga

Rumah yang ditempati warga pemukiman kumuh ini ada yang statusnya sudah merupakan milik sendiri dan ada pula yang masih Universitas Sumatera Utara

dalam status menyewa milik orang lain. Ada beberapa cara kepemilikan terhadap rumah yang sudah merupakan milik sendiri yaitu :

1) merupakan warisan dari orang tua : penghuni yang menempati rumah tersebut pada saat sekarang ini merupakan generasi kedua, sedangkan yang membangun rumah tersebut adalah orang tua mereka.

2) membeli dari pemilik sebelumnya : penghuni yang menempati rumah tersebut pada saat sekarang ini bukan sebagai pihak yang membangun rumah tersebut tetapi membelinya dari pemilik sebelumnya.

3) membangun sendiri : penghuni yang menempati rumah tersebut pada saat sekarang ini membangun sendiri rumah tersebut setelah mendapat izin dari pihak PJKA untuk menggunakan lahan tersebut.

Sebagian dari warga pemukiman kumuh tersebut ada yang masih

menyewa rumah yang mereka tempati karena belum sanggup untuk memiliki rumah sendiri. Mereka mau menyewa rumah di kawasan

pemukiman kumuh tersebut karena harga sewa rumah yang relatif

masih murah sesuai dengan kesanggupan ekonomi mereka. Rata-rata harga sewa rumah di kawasan ini adalah antara

Rp. 150.000 - Rp. 250.000 per bulan.

68

Warga pemukiman kumuh ini memilih bertempat tinggal di kawasan tersebut karena letaknya yang dekat dengan tempat mereka melakukan aktivitas ekonomi seperti berjualan di pajak pagi pasar Pulo Brayan, sebagai karyawan toko di kawasan pertokoan Pulo Brayan atau sebagai penarik becak dayung atau beca bermotor yang sebagian besar penumpang yang menggunakan jasa mereka adalah warga sekitar yang mau berbelanja ke pajak Pulo Brayan. Bagi warga yang masih berstatus sebagai penyewa rumah maka harga sewa rumah yang murah merupakan alasan mereka untuk bermukim di kawasan tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan Nurmaidah di Kelurahan Tegal Sari II Kecamatan Medan Denai memperlihatkan bahwa faktor sosial ekonomi (pekerjaan, pendapatan dan pendidikan) sangat berpengaruh signifikan dengan alasan memilih tinggal dilokasi penelitian tersebut (Nurmaidah, 2010). Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso dalam Kurniasih (2007) yang mengemukakan bahwa pandangan masyarakat berpenghasilan rendah (miskin) dalam memilih rumah tempat tinggal adalah dekat dengan tempat kerja, kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting dan tidak mempersoalkan hak penguasaan atas tanah dan bangunan tersebut.

Kondisi rumah-rumah yang terdapat di kawasan pemukiman kumuh ini sangat memprihatinkan. Sebagian rumah tersebut yang

dindingnya terbuat dari papan/tripleks atau tepas telah berlubang pada

beberapa bagian karena dimakan rayap. Demikian pula halnya dengan atap rumah yang walaupun telah terbuat dari seng tetapi kondisinya karatan dan berlubang-lubang pada beberapa bagian sehingga saat musim penghujan cukup menyengsarakan mereka, seperti terlihat pada gambar berikut ini :

Gambar 4.12. Kondisi Atap Rumah Penduduk

Lantai rumah mereka umumnya telah menggunakan semen tetapi kondisinya juga memprihatinkan karena telah berlubang pada beberapa bagian lantai tersebut. Upaya-upaya untuk melakukan perbaikan pada kerusakan-kerusakan yang ada pada rumah mereka hampir tidak pernah dapat mereka lakukan karena kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. “Jangankan untuk memperbaiki

70

rumah, penghasilan kami untuk memenuhi keperluan makan sehari-hari saja tidak mencukupi”, adalah merupakan keluhan yang lazim mereka lontarkan jika kepada mereka dipertanyakan perihal upaya

memperbaiki kondisi rumah tempat tinggalnya.

Kondisi rumah dan lingkungan sebagaimana digambarkan pada uraian di atas mengkibatkan sebagian besar warga pemukiman kumuh ini merasa tidak puas untuk bertempat tinggal di kawasan tersebut.

Mereka dengan terpaksa harus menerima kenyataan tersebut karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah yang lebih

layak. Faktor kedekatan tempat tinggal dengan sumber mata pencaharian hidup mereka merupakan alasan lain yang membuat bersabar untuk tetap bertempat tinggal di kawasan pemukiman kumuh tersebut. Hal yang selalu membuat mereka merasa khawatir dengan rumah dan lingkungan tempat tinggal mereka adalah banjir yang terjadi di saat musim penghujan, takut jika suatu saat kereta api terbalik atau jika suatu saat PJKA menggusur mereka dari kawasan tersebut. Walaupun demikian warga pemukiman kumuh ini juga masih punya impian jika suatu saat kelak mereka dapat memiliki rumah yang lebih layak seperti rumah perumnas atau rumah susun yang pernah mereka lihat dalam tayangan televisi. Hampir setiap rumah tidak memiliki perabotan rumah tangga dengan kondisi yang baik. Jikalau di dalam suatu rumah terdapat kursi tamu tetapi kondisinya kelihatan sudah tua dan terbuat dari bahan yang kurang

berkualitas.

4.3.4. Kepemilikan Alat-alat Transportasi dan Elektronik

Jenis alat-alat elektronik yang umumnya dimiliki setiap rumah tangga adalah televisi (TV). Hal ini mencerminkan bahwa TV sudah merupakan barang elektronik kebutuhan setiap keluarga sebagai sarana hiburan dan informasi yang tergolong murah untuk

keluarga. Media hiburan lainnya yang dimiliki sebagian keluarga adalah radio/tape. Alat-alat elektronik lainnya yang dimiliki beberapa

keluarga adalah kipas angin yang sangat mereka butuhkan mengingat rumah mereka yang berdempetan sehingga ventilasi untuk sirkulasi udara sangat sedikit. Umumnya alat-alat elektronik ini sudah tua dan merek yang tidak terlalu terkenal. Mereka mendapatkannya dengan membeli berupa barang-barang bekas (second) sehingga harganya cukup terjangkau oleh kemampuan ekonomi mereka sebagai masyarakat miskin.

Demikian pula halnya dengan alat-alat transportasi yang dimiliki warga seperti sepeda/sepeda motor dengan kondisi yang juga sudah tua dan tidak terawat dengan baik. Beberapa keluarga juga memiliki beca barang dan beca bermotor karena berkaitan dengan jenis mata pencahariannya seperti penarik becak, pemulung atau berjualan di pajak pagi Pulo Brayan, seperti terlihat pada gambar berikut ini :

72

Gambar 4.13. Beca Dayung/Bermotor Sebagai Alat Transportasi dan

Untuk Mencari Nafkah

4.4. Kehidupan Sosial Budaya Penduduk 4.4.1. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dapat dicapai para orang tua yang merupakan warga dari pemukiman kumuh ini umumnya sangat rendah yakni hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) dan ada sebagian lagi tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebagian besar mereka merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah pedesaan maupun kota kecil di sekitar Provinsi Sumatera Utara maupun dari daerah lainnya. Kesulitan ekonomi yang mereka alami di daerah asal mengakibatkan mereka tidak dapat mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan keterampilan yang memadai untuk bekerja di sektor formal di daerah perkotaan. Akibatnya adalah

rendahnya penghasilan yang dimiliki setiap keluarga sehingga menempatkan mereka sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (miskin). Hasil penelitian yang dilakukan Edy Hermanto di Kecamatan Medan Belawan memperlihatkan bahwa mereka yang tinggal di kawasan kumuh ini rata-rata pendidikannya tamatan SD/sedarajat yang menyebabkan mereka sulit mencari pekerjaan. Akibat dari tidak ada pekerjaan tetap mereka tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok termasuk kebutuhan tempat tinggal (Hermanto, 2011).

Rendahnya pendapatan dalam setiap keluarga mengakibatkan anak-anak mereka juga tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah menamatkan SD maupun SMP. Anak-anak yang tidak dapat melanjukan pendidikan ini akhirnya harus ikut serta bekerja atau membantu orang tuanya mencari nafkah. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan salah seorang informan yakni Elida Sihombing (21 tahun) sebagai berikut :

“Aku hanya tamat SD dan tidak dapat melanjut ke SMP karena orang tua tidak mempunyai biaya. Di kota ini mana bisa kita memiliki pekerjaan tetap, mau kerja di pabrik aja kita mesti punya ijazah SMA. Jadi mau nggak mau aku hanya bisa jadi pemulung membantu orang tua, yang penting bisa makan. Lagian kami sudah biasa hidup seperti ini, mau gimana lagi hidup harus dijalani”

Pendidikan yang rendah ini juga berdampak pada kesulitan yang mereka alami untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik selain

74

pada sektor informal. Selain itu juga pendidikan yang rendah mengakibatkan mereka tidak memiliki keterampilan yang dapat digunakan menambah penghasilan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunuharyo dalam Sumardi (1982) yang mengemukakan bahwa salah satu ciri miskin adalah tidak mampu mendapatkan pendidikan formal/non formal. Dengan demikian antara pendidikan, pekerjaan dan penghasilan merupakan lingkaran setan yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tersosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4.4.2. Organisasi Sosial

Warga pemukiman kumuh ini terdiri dari beberapa suku bangsa yaitu Aceh, Minangkabau, Melayu, Batak (Toba, Simalungun, Mandailing, Karo), Nias dan Aceh. Suku bangsa yang paling dominan dari segi jumlah adalah Suku Bangsa Batak Toba, tetapi walaupun demikian kebudayaan Batak Toba tidak mendominasi kehidupan sosial warga pemukiman kumuh ini. Sebagian besar dari mereka telah bertempat tinggal di wilayah ini antara 5 – 25 tahun dan bahkan ada sebagian yang telah di atas 25 tahun. Mereka umumnya merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan seperti Langkat, Deli Serdang, Binjai, Simalungun, Siantar, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah. Bahkan beberapa diantaranya berasal dari luar Provinsi Sumatera Utara seperti Cirebon, Aceh, Padang dan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur.

Warga yang telah lama bertempat tinggal di wilayah pemukiman kumuh ini dan sudah memiliki rumah sendiri meskipun didirikan di atas tanah milik PJKA telah memiliki kartu keluarga dan KTP. Sehingga mereka merupakan penduduk tetap yang telah tercatat sebagai warga Kelurahan Pulo Brayan Kota. Sedangkan bagi warga yang masih menyewa rumah umumnya mereka belum memiliki kartu keluarga dan KTP dari Kelurahan Pulo Brayan Kota, sehingga mereka dianggap sebagai penduduk pendatang di pemukiman kumuh tersebut.

Pada awalnya kaum urban ini diajak oleh keluarga/kerabat atau diajak oleh salah seorang teman dan adapula karena kemauan sendiri untuk bertempat tinggal di wilayah tersebut. Alasan - alasan yang mendasari mereka memilih untuk bertempat tinggal di wilayah tersebut agar lebih mudah mencari nafkah atau karena harga sewa rumah lebih murah dibandingkan dengan daerah lain. Besaran jumlah anggota keluarga dalam setiap rumah tangga adalah antara 1 – 6

orang. Pada beberapa keluarga terdapat juga jumlah anggota anggota keluarganya lebih dari 6 orang. Selain pasangan suami isteri

beserta anak-anaknya maka di dalam suatu rumah tangga kadang-kadang juga terdapat anggota kerabat lainnya seperti

saudara sepupu, keponakan, orang tua atau juga mertua.

Warga pemukiman kumuh ini juga memiliki organisasi sosial kemasyarakatan atas dasar suku bangsa dan agama yang dianut. Memang belum ada organisasi sosial yang mereka dirikan yang

76

menaungi keanggotaannya dari berbagai suku bangsa dan agama yang berbeda. Alasan warga untuk menjadi anggota organisasi sosial kemasyarakatan tersebut adalah agar dapat saling tolong menolong, dapat bersosialisasi sesama anggota dan ada pula untuk alasan-alasan kegiatan keagamaan seperti perwiritan bagi yang beragama Islam dan kegiatan “kebaktian bersama” bagi yang beragama Kristen. Kegiatan yang biasa mereka lakukan dalam organisasi sosial kemasyarakatan tersebut adalah saling bantu membantu antar anggota baik dalam suasana suka maupun duka. Kegiatan saling membantu dalam suasana suka maupun duka ini juga dapat juga terjadi antara sesama warga walaupun mereka bukan anggota dari organisasi sosial kemasyarakatan yang sama.

4.4.3. Interaksi Sosial Budaya

Warga pemukiman kumuh ini terdiri dari berbagai suku bangsa sehingga kehidupan sosial mereka sehari-hari juga dipengaruhi oleh latar belakang kesukubangsaan tersebut, misalnya dalam berkomunikasi antar suku bangsa yang sama masih menggunakan bahasa daerah asalnya. Jika interaksi sosial ini sudah melibatkan antar suku bangsa yang berbeda maka mereka akan menggunakan

bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Walaupun demikian hubungan sosial antar warga berlangsung dengan baik karena tidak

pernah terjadi konflik sosial antar suku bangsa yang berbeda.

Kegiatan yang paling sering dilakukan warga sehabis bekerja mencari nafkah adalah beristirahat di rumah. Sambil beristirahat adakalanya mereka mendengarkan lagu-lagu dari daerah asalnya melalui radio tape sebagai pengobat rindu akan kampung halamannya. Mereka sering juga menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama tetangga, tanpa mempersoalkan suku bangsa yang berbeda di antara mereka. Hal yang menjadi pemandangan yang lazim jika pada sore hari terlihat para warga tersebut duduk-duduk bergerombol di atas

bantalan rel kereta api sambil mengobrol sesama mereka.

Dokumen terkait