• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Kondisi Fisik Pemukiman Kumuh

Pemukiman kumuh di Kelurahan Pulo Brayan Kota menyebar dibeberapa lingkungan yang berada di sepanjang bantaran rel kereta api, salah satu di antaranya adalah lingkungan XXIV. Rumah-rumah di pemukiman kumuh ini dibangun di atas tanah milik PJKA yang mengijinkan penduduk membangun tempat tinggal mereka dengan status hak pakai. Warga dapat menggunakan tanah tersebut secara gratis dan hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun. PJKA sebenarnya mempersyaratkan agar bangunan yang didirikan penduduk berjarak minimal 8 m dari rel kereta api, tetapi rumah-rumah kumuh yang dibangun sejajar dengan rel kereta api ini hanya berjarak sekitar 3 – 4 m dari rel kereta api sehingga sangat rentan terhadap kecelakaan yang dapat terjadi setiap saat. Deretan rumah penduduk yang jaraknya sangat dekat dengan rel kereta api ini dapat dilihat pada gambar berikut ini

54

Salah satu indikasi rumah sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per kapita minimal 10 m2 (BPS Kota Medan, 2012). Ukuran rata-rata rumah di pemukiman kumuh ini adalah 4 x 3 m dan 5 x 4 m atau sama dengan luas 12 m2 dan 20 m2. Besaran jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalam setiap rumah adalah antara 1 – 6 orang, sehingga rata-rata luas lantai per kapita adalah antara 2 m2 – 3,3 m2. Jumlah ini sangat jauh lebih kecil dari persyaratan rumah sehat yang ditetapkan oleh WHO. Nurmaidah (2010) mengemukakan bahwa luas lantai per kapita di kota kurang dari 4 m2, sehingga merupakan pemukiman kumuh yang tidak layak huni karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat tinggal.

Sebagian besar dari rumah tersebut tidak memiliki pembagian ruang dengan fungsi yang berbeda. Mereka setiap hari melakukan berbagai kegiatan seperti memasak, tidur, menerima tamu, istirahat dan kegiatan-kegiatan keluarga lainnya di ruangan yang sama. Hanya sebagian dari rumah-rumah tersebut yang memiliki 1 kamar tidur sedangkan sebagian lagi tidak memiliki kamar tidur sama sekali.

Bahan dinding bangunan terbuat dari tepas, papan/tripleks dan

sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Bahan atap rumah terbuat dari seng yang sebagian besar

telah berkarat dan ada juga yang masih terbuat dari rumbia. Sebagian besar lantai rumah telah menggunakan semen kasar tetapi masih terdapat juga rumah yang berlantai tanah. Kondisi fisik rumah penduduk dapat dilihat

pada gambar berikut ini :

Gambar 4.7. Kondisi Fisik Rumah Penduduk

Kondisi bahan bangunan seperti ini merupakan ciri-ciri umum dari rumah yang terdapat di kawasan pemukiman kumuh. Hal yang sama juga ditemukan oleh Kurniasih (2007) di kawasan Petukangan Jakarta Utara yaitu dinding bangunannya terbuat dari seng, papan, triplek, dan sebagian dari tembok, lantai terbuat dari plesteran semen dan atap bangunan menggunakan genting dan seng.

Sebagian besar rumah-rumah kumuh ini telah menggunakan penerangan listrik dari PLN dengan pencahayaan seadanya karena mereka harus mengirit pengeluaran untuk pembayaran rekening listrik. Hampir semua penghuni pemukiman kumuh ini menggunakan air sumur galian sebagai sumber air minum dan untuk keperluan MCK, seperti terlihat pada Universitas Sumatera Utara

56

pada gambar berikut ini :

Gambar 4.8. Sumur Galian untuk Keperluan MCK

Kamar mandi menyatu dengan WC yang terletak di bagian samping atau belakang rumah dengan dinding yang terbuat dari bahan-bahan yang sederhana seperti tepas, tenda plastik atau kombinasi keduanya. WC yang digunakan tanpa septic tank (model cemplung) dan limbah dari WC dan kamar mandi ini disalurkan ke parit yang terletak di belakang barisan rumah di pemukiman kumuh ini, sehingga tidak memenuhi syarat hunian yang sehat karena jaraknya sangat dekat dengan sumur galian, seperti terlihat pada gambar berikut ini :

Gambar 4.9. Saluran Pembuangan Air Limbah dari Rumah Penduduk

Setiap rumah di pemukiman kumuh ini tidak mempunyai tempat pembuangan sampah yang permanen, sehingga sampah hanya dibuang

secara sembarangan di depan rumah atau di sekitar lingkungan pemukiman kumuh ini. Pemusnahan sampah umumnya dilakukan dengan cara membakar sampah tersebut jika sudah kering, tetapi sebagian besar sampah yang tidak terbakar akan berserakan di halaman rumah warga. seperti terlihat pada gambar berikut ini :

58

Gambar 4.10. Tempat Pembuangan Sampah

Penelitian yang dilakukan Julia Ivana di kawasan kumuh di Kecamatan Percut Sei Tuan juga menemukan hal yang sama. Ivana mengemukakan bahwa tingkat kekumuhan kawasan Percut Sei Tuan dilihat dari segi kondisi fisik lingkungan sangat tinggi (tidak layak) karena sebanyak 68 % menggunakan air yang bersumber dari sungai untuk mandi dan mencuci. Demikian juga tempat pembuangan sampah dilakukan disembarang tempat, penampungan dan tempat pembuangan tinja yang digunakan sebagian besar rumah responden adalah ke sungai. Kondisi fisik lingkungan yang tidak memadai ini menyebabkan kawasan tersebut kumuh (Ivana, 2006).

Lantai rumah di pemukiman kumuh ini lebih rendah dari bantaran rel kereta api yang ada di depannya, sehingga pada musim penghujan maka Universitas Sumatera Utara

genangan air akan masuk ke dalam rumah warga. Jika banjir telah surut

maka genangan air yang masih tersisa di halaman rumah penduduk akan merendam sampah-sampah yang berserakan ini, seperti terlihat pada gambar

berikut ini :

Gambar 4.11. Genangan Air Di Depan Rumah Penduduk

Keadaan ini akan menimbulkan aroma yang tidak sedap dan sekaligus membahayakan kesehatan penduduk yang rentan terhadap penyakit seperti gatal - gatal, diare, flu dan lain-lain. Sunuharyo dalam Sumardi (1982),

60

mengemukakan bahwa ciri-ciri dari penduduk miskin tersebut antara lain adalah kondisi kesehatan yang menyedihkan dan tempat tinggal yang jauh

dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan (sempit, pengap dan kotor).

Dokumen terkait