• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.5. Strategi Adaptasi dalam Mengatasi Kemiskinan

4.5. Strategi Adaptasi dalam Mengatasi Kemiskinan

Penghasilan yang diperoleh warga pemukiman kumuh ini dari kegiatan mencari nafkah tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka karena dipengaruhi oleh harga-harga yang selalu naik, kebutuhan yang harus dipenuhi sangat beraneka ragam dan penghasilan mereka yang tidak selalu pasti di sektor informal tersebut. Oleh sebab itu berbagai strategi adaptasi harus mereka kembangkan agar dapat bertahan hidup dalam mengatasi kemiskinan yang mereka alami. Strategi adaptasi merupakan langkah atau cara yang diambil individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri atau memperkuat daya tahannya terhadap lingkungan atau kondisi yang dialaminya. Strategi adaptasi melalui pola-pola kelakuan dan sikap yang ditunjukkan warga miskin tersebut merupakan bagian dari kebudayaan kemiskinan warga pemukiman kumuh tersebut. Berbagai strategi adaptasi yang dikembangkan warga pemukiman kumuh ini adalah :

4.5.1. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Ekonomi

Strategi adaptasi warga pemukiman kumuh dalam kehidupan ekonomi, antara lain adalah :

1) Mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja

Bidang – bidang pekerjaan yang menjadi sumber mata

pencaharian hidup warga pemukiman kumuh ini adalah berjualan di pajak pagi Pulo Brayan, penarik becak dayung atau beca

bermotor, tukang tambal ban motor, buruh bangunan, tukang bangunan, supir, penjahit, karyawan toko, pemulung dan lain-lain. Mereka memperoleh pekerjaan tersebut dengan mencarinya sendiri, melalui informasi dari teman atau dari kerabat. Seluruh anggota keluarga terlibat dalam kegiatan mencari nafkah, walaupun demikian tetap juga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak.

Agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini harus mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja agar memperoleh tambahan penghasilan. Misalnya seorang ayah dalam sebuah keluarga yang memiliki pekerjaan utama sebagai penarik becak, juga melakukan pekerjaan sampingan sebagai tukang bangunan atau buruh bangunan atau menambah jam kerjanya dalam mencari penumpang. Jika memiliki keterampilan dalam bidang listrik atau memperbaiki alat-alat

80

elektronik, akan menggunakan keterampilannya tersebut kalau ada warga lain yang membutuhkan jasanya. Mereka umumnya memilih untuk mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja karena merasa malu kalau harus meminjam uang kepada tetangga atau kerabatnya. Demikian pula halnya dengan seorang ibu di dalam sebuah keluarga akan mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang cuci/setrika, menjadi pemulung atau membuka warung kecil di rumahnya. Salah seorang informan yaitu Agustina Hutapea (34 tahun) mengemukakan sebagai berikut :

“sehari-harinya aku memang jualan makanan ringan (jajanan) di rumah, tapi aku juga sambil kerja jadi tukang cuci di rumah majikanku yang rumahnya dekat dari sini. Aku nyuci hanya sampai jam 10 atau 11 saja, sesudah aku pulang ke rumah barulah aku jualan. Aku harus membantu suamiku cari makan karena kerjanya cuma buruh bangunan, biar kami bisa punya uang”.

Mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja sebagai bagian dari strategi adaptasi dalam mempertahankan

kelangsungan hidup merupakan gejala yang umum di kalangan masyarakat miskin. Penelitian Wahyudi memperlihatkan bahwa

kerja sampingan untuk menambah penghasilan misalnya kaum bapak menjadi makelar tanah, rumah atau barang-barang elektronik, membuka warung kopi atau warung rokok, bertukang atau menambah jam kerja dengan lembur. Sedangkan kaum ibu menerima pesanan makanan, membuka kedai sederhana atau

warung kecil, menjajakan pakaian atau perabot rumah tangga dari

rumah ke rumah, mengambil jahitan atau bordir pakaian, menawarkan jasa pijat, mencuci/setrika atau membersihkan rumah (Wahyudi, 2007).

Soembodo (2013) mengemukakan bahwa masyarakat miskin dapat survive karena mengembangkan mekanisme survival yaitu menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka sehingga pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima kendati bayarannya rendah. Strategi adaptasi seperti menerima pekerjaan yang dapat merendahkan martabat bagi pihak lain mungkin dianggap sebagai tindakan yang irrasional, tetapi bagi masyarakat miskin tindakan tersebut merupakan pemecahan dari himpitan kesulitan ekonomi yang mereka alami.

2) Meminjam uang atau mengutang di warung

Warga pemukiman kumuh ini tidak seluruhnya dapat menambah penghasilannya dengan mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, karena keterbatasan keterampilan yang dimilikinya atau karena pekerjaan utamanya tidak memungkinkan tersedianya peluang menambah jam kerja seperti buruh/tukang bangunan, karyawan toko, dan lain-lain. Oleh sebab itu untuk mengatasi kesulitan keuangan yang dialaminya maka mereka harus

82

meminjam uang kepada tetangga/kerabat atau mengutang ke warung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penghasilan yang pas-pasan atau bahkan cenderung tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup, menyebabkan sangat mustahil bagi warga pemukiman kumuh ini dapat memiliki tabungan dalam bentuk uang maupun barang-barang berharga seperti emas. Tabungan dapat dimanfaatkan jika ada kebutuhan yang sifatnya mendadak, tetapi karena tidak memiliki tabungan maka meminjam uang (mengutang) merupakan jalan keluar yang terpaksa harus dilakukan. Oleh sebab itu mekanisme “gali lubang tutup lubang” merupakan jalan keluar yang biasa dilakukan warga pemukiman kumuh ini agar dapat melangsungkan kehidupannya. Jika mereka harus meminjam uang maka biasanya mereka akan meminjamnya kepada tetangga atau kepada kerabat/keluarga. Adakalanya mereka juga harus mengutang di warung jika tidak memiliki uang untuk membeli beras atau berbagai kebutuhan sehari-hari lainnya. Salah seorang informan yaitu Nani (50 tahun) mengemukakan sebagai berikut :

“kalau aku lagi kehabisan uang biasanya aku pinjam dulu sama tetangga atau mengutang dulu ke warung untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Tetapi kalau jumlah yang mau dipinjam itu besar barulah kupinjam sama keluargaku yang rumahnya juga dekat dari sini”

Aksesibilitas warga pemukiman kumuh ini untuk mendapatkan pinjaman dari bank, hampir tidak pernah mereka dapatkan karena tidak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan agunan atas pinjaman tersebut. Dengan demikian kemiskinan yang dialami warga pemukiman kumuh ini juga disebabkan oleh adanya kemiskinan struktural yang dialami warga miskin di daerah perkotaan. Soemardjan dalam Alfian (1980) mengemukakan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Sebagian dari warga pemukiman kumuh ini ada juga yang meminjam kepada rentenir walaupun harus membayar bunga yang tinggi, sehingga hal ini sering menjadi salah satu faktor penyebab sulitnya mereka keluar dari kemiskinan yang dialami. Edi Suharso dalam Simarmata (2009) mengemukakan bahwa masyarakat miskin mengembangkan strategi jaring pengaman dalam mengatasi tekanan ekonomi seperti menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya).

84 3) Mengurangi kuantitas atau kualitas makanan

Adakalanya mereka harus mengurangi kuantitas makanan dalam keluarga seperti mengurangi frekuensi makan seluruh anggota keluarga dari 3 kali menjadi dua kali atau hanya satu kali dalam sehari. Sebagian ada pula hanya mengurangi frekuensi makan ini hanya pada orang-orang dewasa saja sementara anak anak yang masih kecil tetap diberi makan 3 kali sehari. Jika harus mengurangi kualitas makanan maka mereka membeli makanan yang rendah kualitasnya misalnya membeli beras yang biasanya dengan harga Rp 7.000 – Rp. 8.000 per kilogramnya menjadi beras dengan harga Rp. 4.000 – Rp. 5.000 per kilogramnya. Ada juga warga yang mensiasatinya dengan menanak beras hingga menjadi bubur agar bisa dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga.

4) Mengehemat atau mengurangi pengeluaran

Warga pemukiman kumuh juga harus berupaya untuk menghemat pengeluaran terutama untuk jenis-jenis pengeluaran yang dianggap tidak terlalu penting, misalnya mengurangi bahkan meniadakan uang jajan anak. Kaum ibu juga mengupayakan membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari dengan berbelanja di pajak Pulo Brayan, karena harganya jauh lebih murah dibandingkan jika mereka membelinya di warung. Mereka juga menghindari untuk membeli “makanan jadi” karena harganya jauh

Warga juga berusaha menghemat konsumsi listrik misalnya dengan menggunakan secukupnya lampu penerangan di dalam rumah, tidak menggunakan mesin pompa air untuk menarik air dari sumur galian tetapi menggunakan timba yang ditarik dengan tali, dan lain-lain. Salah seorang informan yaitu N. br Nainggolan (46 tahun) mengemukakan sebagai berikut :

“di rumah ini kami tidak pakai sanyo tapi pakai timba aja, nanti kalau pakai sanyo jadi banyak kali kami bayar listrik. Juga kalau menimba air dari sumur kan macam olah raga juga kita, jadi badan kita juga selalu sehat”.

Mereka juga lebih sering membeli pakaian bekas yang banyak tersedia di pasar Pulo Brayan daripada membeli pakaian baru.

4.5.2. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Sosial Budaya

Warga pemukiman kumuh ini memiliki organisasi sosial kemasyarakatan atas dasar suku bangsa dan agama yang dianut. Memang belum ada organisasi sosial yang mereka dirikan yang

keanggotaannya terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama berbeda Alasan warga untuk menjadi anggota organisasi sosial

kemasyarakatan tersebut adalah agar dapat saling tolong menolong, dapat bersosialisasi sesama anggota dan ada pula untuk alasan-alasan kegiatan keagamaan seperti perwiritan bagi yang beragama Islam dan kegiatan “kebaktian bersama” bagi yang beragama Kristen.

86 Kegiatan yang biasa mereka lakukan dalam organisasi sosial kemasyarakatan tersebut adalah saling bantu membantu antar anggota, baik dalam suasana suka maupun duka. Kegiatan saling membantu dalam suasana suka maupun duka ini dapat juga terjadi antara sesama warga, walaupun mereka bukan anggota dari organisasi sosial kemasyarakatan yang sama. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin diikuti oleh warga sekitar untuk menjalin silaturahmi serta membicarakan berbagai masalah. Dalam kegiatan seperti ini juga sering ada warga yang berbagi kisah tentang kesulitan yang dialami, biasanya akan banyak warga lain yang berusaha membantu menawarkan solusi.

Warga pemukiman kumuh ini mengemukakan bahwa mereka selalu bersedia saling bantu membantu dengan sesama warga tanpa melihat suku bangsa maupun agamanya. Hal ini sering terlihat di dalam pesta perkawinan maupun peristiwa kematian maka para tetangga akan datang menghadirinya tanpa mempersoalkan suku bangsa maupun agama yang dianut tuan rumah. Selain kepada tetangga, mereka juga akan meminta pertolongan kepada kerabat atau

keluarga dekatnya .jika menghadapi masalah. Banyak warga pemukiman kumuh ini yang mempunyai kerabat/keluarga yang

juga berdiam di sekitar Kelurahan Pulo Brayan Kota. Salah satu alasan mereka bertempat tinggal di kawasan pemukiman kumuh ini adalah agar bisa lebih dekat dengan kerabat atau keluarganya. Bahkan

sebagian diantara mereka bertempat tinggal di kawasan ini adalah karena ajakan dari keluarga atau kerabatnya yang sudah lebih dahulu bertempat tinggal di Kelurahan Pulo Brayan Kota.

Bagi penduduk miskin seperti warga pemukiman kumuh ini maka keberadaan tetangga dan keluarga/kerabat sebagai kelompok dengan kohesi sosial yang kuat, berfungsi sebagai garansi sosial atau jaring pengaman untuk mendukung kelangsungan kehidupan mereka terutama ketika menghadapi masalah. Mereka cukup aktif dalam menjalin hubungan dan bergaul dengan tetangga dan keluarga atau kerabat, agar dapat diterima menjadi bagian dari kelompok sosialnya dan bisa mengandalkan hubungan yang telah terjalin jika sewaktu-waktu mengalami kesulitan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyudi (2007) yang mengemukakan bahwa strategi adaptasi masyarakat miskin dalam mengatasi tekanan non ekonomi adalah mengembangkan strategi aktif dan strategi jaringan. Strategi aktif adalah melakukan berbagai kegiatan untuk melakukan dukungan emosional (misalnya lebih giat dalam beribadah, mencari nasihat orang lain). Strategi jaringan adalah menjalin relasi untuk memperoleh bantuan baik secara informal maupun formal dari pihak lain (misalnya teman, tetangga, sanak keluarga).

Kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi warga pemukiman kumuh dalam mengatasi kemiskinan dapat dilihat pada matriks berikut ini :

88

Tabel 4.6. Matriks kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi

adaptasi mengatasi kemiskinan

KEKUATAN KELEMAHAN

1. Keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam mencari nafkah 2. Kemauan untuk bekerja keras 3. Kepedulian terhadap sesama warga

4. Saling membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi 5. Sikap saling mempercayai antar sesama warga

6. Membangun jaringan sosial dengan tetangga dan kerabat 7. Melakukan penghematan dengan mengurangi pengeluaran

1. Penghasilan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup 2. Ketidakpastian penghasilan pada sektor informal

3. Tidak memiliki tabungan 4. Tidak ada aksebilitas pada lembaga perbankan

5. Rendahnya pendidikan dan ketrampilan warga

6. Rendahnya tingkat kesehatan 7. Munculnya budaya kemiskinan

PELUANG ANCAMAN

1. Tersedia beragam pekerjaan terutama pada sektor informal 2. Tempat tinggal yang relatif dekat dengan Pasar Pulo Brayan sebagai pusat aktivitas ekonomi 3. Sarana pendidikan dari TK sampai SMA tersedia untuk meningkatkan pendidikan warga

1. Harga-harga barang kebutuhan yang selalu naik

2. Kebutuhan yang semakin beranekaragam

3. Meminjam uang pada rentenir dengan bunga yang tinggi 4. Sikap pasrah menerima nasib 5. Penggusuran pemukiman oleh pihak PJKA

6. Jarak rumah dengan rel kereta api yang hanya ± 4 m mengancam keselamatan warga

Dokumen terkait