• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

A. Landasan Teori

1. Kecerdasan Spiritual

Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya, juga memungkinkan bergulat dengan ihwal baik dan jahat, membayangkan yang belum terjadi serta mengangkat dari kerendahan. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain.

Kecerdasan spiritual yaitu perasaan instuisi yang dalam terhadap keterhubungan dengan dunia luas di dalam hidup manusia (Eckersley, 2000; Trihandini, 2005). Agustian (2006) mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kemampuan memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik serta berprinsip hanya karena Allah.

(2)

Kecerdasan spiritual dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh. Kecerdasan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk dapat melakukan transedensi diri (Berman 2005; Trihandini, 2005). Macormick (1994; Trihandini, 2005) dalam penelitiannya membedakan kecerdasan spiritual dengan religiusitas di dalam lingkungan kerja. Religiusitas lebih ditujukan pada hubungannya dengan Tuhan sedangkan kecerdasan spiritual lebih terfokus pada suatu hubungan yang dalam dan terikat antara manusia dengan sekitarnya secara luas.

Asih (2004) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. Kecerdasan spiritual dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi mungkin menjalankan agamanya tidak secara picik, ekslusif, fanatik atau prasangka. Kecerdasan spiritual juga memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Seorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, bertanggungjawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan bisa memberi inspirasi kepada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk memberi makna yang lebih bernilai, luas

(3)

dan kaya terhadap perilaku atau jalan kehidupan seseorang. Zohar dan Marsyal (2001) memberikan delapan dimensi untuk menguji sejauh mana kualitas kecerdasan spiritual seseorang. Barometer kepribadian yang dipakai meliputi:

a. Kapasitas diri untuk bersikap fleksibel, seperti aktif dan adaptif secara spontan.

b. Memiliki tingkat kesadaran (self-awareness) yang tinggi.

c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (suffering).

d. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.

e. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu (unnecessary harm).

f. Memiliki cara pandang yang holistik, dengan melihat kecenderungan untuk melihat keterkaitan di antara segala sesuatu yang berbeda.

g. Memiliki kecenderungan nyata untuk bertanya: ”Mengapa” (”why”) atau ”Bagaimana jika” (”what if?”) dan cenderung untuk mencari jawaban-jawaban yang fundamental (prinsip dan mendasar).

h. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai ”field-independent” (”bidang mandiri”), yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Sukidi (2002) menjelaskan tentang nilai-nilai kecerdasan spiritual berdasarkan dimensi-dimensi kecerdasan spiritual Zohar dan Marsyal, yang banyak dibutuhkan dalam dunia bisnis, yaitu:

(4)

a. Mutlak jujur

Kata kunci pertama untuk sukses di dunia bisnis adalah mutlak jujur, yaitu berkata benar dan konsisten akan kebenaran. Ini merupakan hukum spiritual dalam dunia usaha.

b. Keterbukaan

Keterbukaan merupakan sebuah hukum alam di dunia bisnis, maka logikanya apabila seseorang bersikap fair atau terbuka maka ia telah berpartisipasi di jalan menuju dunia yang baik.

c. Pengetahuan diri

Pengetahuan diri menjadi elemen utama dan sangat dibutuhkan dalam kesuksesan sebuah usaha karena dunia usaha sangat memperhatikan dalam lingkungan belajar yang baik.

d. Fokus pada kontribusi

Dalam dunia usaha terdapat hukum yang lebih mengutamakan memberi daripada menerima. Hal ini penting berhadapan dengan kecenderungan manusia untuk menuntut hak ketimbang memenuhi kewajiban. Untuk itulah orang harus pandai membangun kesadaran diri untuk lebih terfokuas pada kontribusi.

e. Spiritual non dogmatis

Komponen ini merupakan nilai kecerdasan spiritual dimana di dalamnya terdapat kemampuan untuk bersikap fleksibel, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, serta kemampuan untuk menghadapi dan

(5)

memanfaatkan penderitaan, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai.

2. Pendidikan Keperawatan

Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Grossmann (1999), pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Hasil Lokakarya Keperawatan tahun 1983, telah dirumuskan dan disusun dasar-dasar pengembangan Pendidikan Tinggi Keperawatan. Sebagai realisasinya disusun kurikulum program pendidikan D-III Keperawatan dan dilanjutkan dengan penyusunan kurikulum pendidikan Sarjana (S1) Keperawatan.

Pendidikan keperawatan di Indonesia mengacu kepada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencakup:

a. Pendidikan Vokasional; yaitu jenis pendidikan diploma sesuai dengan jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.

(6)

b. Pendidikan Akademik; yaitu pendidikan tinggi program sarjana dan pasca sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu

c. Pendidikan Profesi; yaitu pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

d. Sedangkan jenjang pendidikan keperawatan mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor.

Jenjang Pendidikan Tinggi Keperawatan Indonesia dan sebutan Gelar: a. Pendidikan jenjang Diploma Tiga keperawatan lulusannya mendapat

sebutan Ahli Madya Keperawatan (Amd.Kep).

b. Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (Sarjana+Profesi), lulusannya mendapat sebutan Ners (Nurse), sebutan gelarnya (Ns).

c. Pendidikan jenjang Magister Keperawatan, lulusannya mendapat gelar (M.Kep).

d. Pendidikan jenjang Spesialis Keperawatan, terdiri dari:

1) Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, lulusannya (Sp.KMB). 2) Spesialis Keperawatan Maternitas, Lulusannya (Sp.Kep.Mat). 3) Spesialis Keperawatan Komunitas, Lulusannya (Sp.Kep.Kom). 4) Spesialis Keperawatan Anak, Lulusannya (Sp.Kep.Anak). 5) Spesialis Keperawatan Jiwa, Lulusannya (Sp.Kep.Jiwa). e. Pendidikan jenjang Doktor Keperawatan, Lulusannya (Dr.Kep).

(7)

3. Kualitas Pelayanan Keperawatan

Roger (1995) mendefinisikan kualitas sebagai kecocokan penggunaan barang atau jasa yang sesuai atau memenuhi kebutuhan pelanggan. Menurut Crosby (Nasution, 2004) kualitas adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan, bila suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan dengan meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Menurut Tangkilisan (2005) kualitas jasa adalah persepsi pelanggan mengenai superioritas jasa yang merupakan akumulasi kepuasan pelanggan bagi banyak pelanggan atas banyak pengalaman.

Ivancevich, Skinner dan Crosby (dalam Ratminto dan Atik, 2005) memberikan definisi pelayanan yaitu produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan. Pengertian tentang pelayanan publik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Kualitas pelayanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan keperawatan. Menurut Kozier (Kusnanto, 2004), ilmu keperawatan memfokuskan pada fenomena khusus dengan menggunakan cara khusus dalam memberi landasan teoritik dari fenomena keperawatan yang teridentifikasi. Perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat

(8)

terhadap hal–hal yang dilakukannya dalam praktek keperawatan. Praktek keperawatan harus berlandaskan prinsip ilmiah dan kemanusiaan serta berilmu pengetahuan dan terampil melaksanakan pelayanan keperawatan dan bersedia dievaluasi. Inilah ciri–ciri yang menunjukan profesionalisme perawat yang sangat vital bagi pelaksanaan fungsi keperawatan mandiri, ketergantungan dan kolaboratif.

Lokakarya Nasional tentang Keperawatan di Jakarta pada bulan Januari 1983, telah menyepakati pengertian keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditunjukkan pada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup proses kehidupan manusia (Kusnanto, 2004).

Kualitas pelayanan dalam sektor publik menurut Logothetis (dalam Warella, 1997) yaitu pemenuhan terhadap kebutuhan dan harapan pelanggan atau klien serta kemudian memperbaikinya secara berkesinambungan. Mengacu pada lima dimensi pelayanan dari Parasuraman, et. al. (Tjiptono, 2005), maka pelayanan keperawatan yang berkualitas dilihat dari lima dimensi sebagai berikut:

a. Tangibles, yaitu fasilitas yang meliputi fasilitas fisik, sarana dan prasarana, safety, serta penampilan pegawai.

b. Reliability, yaitu kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan pasien.

(9)

c. Responsiveness, yaitu keinginan para perawat untuk membantu pasien dalam memberikan pelayanan keperawatan dengan tanggap.

d. Assurance, yaitu jaminan dari perawat untuk memberikan rasa nyaman dan membebaskan dari segala resiko atau keragu–raguan kepada pasien dalam masalah kesehatan, yang meliputi pengetahuan, kemampuan dan sifat-sifat dapat dipercaya yang dimiliki para perawat.

e. Empathy, yaitu perhatian pribadi dari para perawat untuk memahami kebutuhan para pelanggan.

Kualitas pelayanan pegawai dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melekat pada diri pegawai. Menurut Azwar (2002) Kualitas pelayanan sebagai sebuah hasil dan unjuk kerja, yang merupakan bagian dan dimensi konatif dalam struktun sikap manusia, sangat berhubungan dengan nilai-nilai yang dianut, yang merupakan bagian dan dimensi kognitif dan afektif dalam struktur sikap.

(10)

B. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori

Sumber: Diadopsi dari Sukidi (2002), Sunardi (2012) dan Tjiptono (2005) Tingkat Pendidikan Keperawatan Kecerdasan Spiritual Kualitas Pelayanan Keperawatan 1. Mutlak jujur 2. Keterbukaan

3. Fokus pada kontribusi 4. Spiritual non dogmatis

1. DIII 2. SI/Ns 3. M.Kep 4. Sp.KMB, Sp.Kep.Mat, Sp.Kep.Kom, Sp.Kep.Anak, Sp.Kep.Jiwa 5. Dr.Kep 1. Tangibles 2. Reliability 3. Responsiveness 4. Assurance 5. Empathy Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Dimensi kognitif 2. Dimensi afektif 3. Struktur sikap

(11)

C. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan antara kecerdasan spiritual dan tingkat pendidikan dengan kualitas pelayanan keperawatan pada pasien di IRNA I RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Tingkat Pendidikan Keperawatan Kecerdasan Spiritual Kualitas Pelayanan Keperawatan Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan tambahan pelet yang dikombinasi dengan ampas tahu, dedak, daun singkong, dan daun kangkung menunjukkan bahwa jenis pakan tersebut masih dapat dikonsumsi oleh

Pengamatan Penghambatan Proliferasi Pengamatan penghambatan proliferasi sel HeLa juga dilakukan dengan metode MTT, tetapi digunakan sampel pada konsentrasi yang tidak mematikan

- Pasal 14 angka 3 tentang Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa “Majelis dipilih dalam rapat dewan Kehormatan cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk

Telah dilakukan penelitian Simulasi Atom Hidrogen berdasarkan teori klasik berbasis JAVA dengan menggunakan IDE Eclipse yang bertujuan mengetahui dan memvisualisasikan Model

Penggerek polong Polong Menggerek polong (terdapat kotoran pada polong) KACANG HIJAU Lamprosema indicata (Lepidoptera: Pyralidae) Ulat penggulung daun. Daun

dengan Entitas Anak. Deposito mudharabah dinyatakan sebesar nilai nominal sesuai dengan perjanjian antara pemegang deposito mudharabah dengan Entitas Anak. Dana syirkah

Berdasarkan analisis logistik kelas laten terhadap data hasil survey TIMSS tahun 2007, prestasi matematika siswa SLTP kelas 8 di Indonesia berdasarkan kemampuannya dalam bidang

cair maupun yang tidak direndam asap cair menunjukkan nilai yang sesuai dengan standar SNI < 20%, sehingga dapat dinyatakan bahwa kadar air ikan lele tersebut telah