• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL PENELITIAN HIBAH DOSEN JUNIOR PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROPOSAL PENELITIAN HIBAH DOSEN JUNIOR PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN

PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN

Dibiayai Oleh Dana DIPA Lembaga Penelitian Universitas Lampung

Tahun Anggaran 2015

Dengan Nomor Kontrak : ________________________________________

Tanggal _______________________________________________________

Oleh

KETUA

: DEPRI LIBER SONATA, S.H., M.H.

(198010162008011001)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN

1. Judul

: Pengaturan Ketentuan Hukum Perdata Atas

Kewajiban Pemberian Informed Consent Oleh

Tenaga Kebidanan

2. Bidang Penelitian

: Ilmu Hukum

3. Ketua Tim Pengusul

a. Nama Lengkap

: Depri Liber Sonata, S.H., M.H.

b. Jenis Kelamin

: Laki-Laki

c. NIP

: 198010162008011001

d. Disiplin Ilmu

: Hukum Keperdataan

e. Pangkat/Gol

: III B

f. Jabatan

: Asisten Ahli

g. Fakultas/Jurusan

: Hukum/Hukum Perdata

h. Alamat kantor

: Fakultas Hukum Universitas Lampung Jurusan

Keperdataan Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1

Gedung Meneng Bandarlampung

i. Telp/Hp/E-mail

: 0812-79553539

Email: depriliber@gmail.com

4. Lokasi Kegiatan

: Bandar Lampung.

Bandar Lampung, 23 Maret 2015

Mengetahui

Ketua Bagian Hukum Perdata,

Ketua Tim Pengusul,

Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum.

Depri Liber Sonata, S.H., M.H.

NIP. 195805271984031001

NIP. 198010162008011001

Mengesahkan,

Dekan FH Unila,

Ketua LPPM Unila

Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.

Dr. Eng. Admi Syarif

(3)

ABSTRAK

PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN

PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN

Oleh :

Depri Liber Sonata, S.H., M.H.

Sampai saat ini peraturan informed consent kebidanan maupun

keperawatan belum diatur dalam peraturan secara tertulis, yang ada baru informed

consent dalam tindakan medik atau kedokteran yaitu sebagaimana yang diatur

dalam Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008. Sedangkan menurut ketentuan

Pasal 22 ayat (1) huruf (d), bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam

melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk meminta persetujuan terhadap

tindakan yang akan dilakukan. Ketentuan Pasal 22 tersebut di atas tidak lain

adalah sebagai proteksi dari pasien sebagai subyek serta mencegah terjadinya

penipuan ataupun paksaan. Selain itu, prinsip informed consent adalah sebagai

suatu “proses” bukan hanya sekedar meminta tanda tangan pasien pada formulir

yang telah disediakan. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan kelanjutan

atau pengukuhan apa yang sebenarnya telah disepakati sebelumnya antara pasien

dan tenaga. Sehingga bentuk informed concent yang memberikan perlindungan

hukum kepada tenaga kebidanan menjadi menarik untuk dilakukan kajian

(4)

A.

JUDUL PENELITIAN

PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN

PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN

==========================================================

BIDANG ILMU: Ilmu Hukum

B.

Latar Belakang

Tenaga Kebidanan adalah Tenaga Kesehatan yang merupakan bagian dari

Tenaga Keperawatan, sebagian diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bidan adalah

salah satu tenaga kesehatan yang ada pada garis depan dalam pelayanan

kesehatan, terutama yang ditujukan kepada ibu dan anak, kesehatan reproduksi

perempuan, dan keluarga berencana.

Tugas utama bidan menurut Pasal 9, 10, dan 11 Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan

Penyelenggaraan Praktik Bidan, yaitu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

seorang ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa

nifas, masa menyusui dan masa antara kedua kehamilan. Ibu mendapatkan

pelayanan konseling pada masa prahamil, pelayanan antenatal pada kehamilan

normal pelayanan persalinan nomal. Bidan dalam memberikan pelayanan kepada

ibu antara lain berwenang untuk melakukan episiotomy, melakukan penjahitan

luka jalan lahir tingkat I dan tingkat II, melakukan penanganan kegawat daruratan,

dilanjutkan dengan perujukan.

(5)

Selanjutnya untuk pelayanan kesehatan anak yang diberikan oleh bidan antara lain

yaitu diberikan kepada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.

Dalam pelayanan kesehatan anak, bidan berwenang untuk (a) melakukan asuhan

bayi baru lahir normal; (b) penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera

merujuk; (c) penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; (d)

pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah.

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya terutama

untuk pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana,

berwenang untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi

perempuan dan keluarga berencana, termuat dalam Pasal 12 PerMenkes Nomor

1464/MENKES/PER/2010.

Selain kewenangan yang termuat dalam pasal 9, 10, 11 dan 12 bidan

dalam menjalankan program pemerintah, berwenang melakukan pelayanan

kesehatan antara lain yaitu pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi

dalam rahim, memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan

antenatal terintregasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan

di bawah supervise dokter, penangan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman

yang ditetapkan, melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan

penyuluhan terhadap infeksi menular seksual (IMS) termaksud pemberian

kondom, dan penyakit lainnya.

Kewajiban bidan tertuang didalam Pasal 18 Permenkes Republik

Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010, yaitu :

(6)

a. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang

dibutuhkan;

b. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;

c. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan pelayanan lainnya secara sistematis;

Dalam menjalankan praktik atau kerjanya, bidan mempunyai hak-hak

antara lain:

a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang

sesuai dengan standar;

b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau

keluarganya.

Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter

dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya. Hal tersebut

termuat dalam Pasal 14 PerMenkes Nomor 1464/MENKES/PER/2010.

Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) menentukan bidan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan:

“Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan

oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 pada Peraturan

Pemerintah tersebut sehingga mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau

kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa bidan sebelum

melakukan tindakannya, harus meminta persetujuan dari pasien terhadap tindakan

yang akan dilakukannya untuk menghindari adanya tuduhan kelalaian, dalam

(7)

istilah kebidanan hal ini disebut Informed Consent. Pada dasarnya informed

consent merupakan faham yang agak baru dalam praktik kebidanan, namun dalam

waktu singkat telah memperoleh kedudukan yang cukup vital.

1

Dalam konteks ini

lebih tepat kalau informed consent-nya adalah informed consent kebidanan,

karena informasi yang diberikan berkisar dalam ruang lingkup praktik kebidanan

bukan lingkup medis. Informed consent kebidanan tentunya mempunyai ciri dan

karakter tersendiri mengingat yang di hadapi adalah para ibu yang hendak

melakukan persalinan dan bayi serta anak yang telah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan.

2

Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk memeriksa dan

memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik dengan

pasien dan keluarga pasien. Bidan perlu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan

yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya. Dalam

konteks ini, harus terbangun komunikasi yang efektif. Komunikasi dalam

pelayanan kesehatan pada prinsipnya menjadi aspek yang paling sentral. Sebagai

akibat adanya komunikasi yang kurang baik, sering berakibat pada gugatan

malpraktik.

3

Sampai saat ini peraturan informed consent kebidanan maupun

keperawatan belum diatur dalam peraturan secara tertulis, yang ada baru informed

1

Tom Beauchamp dan James Childress. 2001, Principles of Bio Medical Ethics, New York, Oxfort University Press, Edisi ke-5, hlm: 77-78

2

Kasmawati, 2013, Pemberian Informed Consent oleh Tenaga Kebidanan, Laporan Penelitian Universitas Lampung 2013, hlm:4

3

Charles Sharpe, 1999, Nursing Malpratice Liability and Risk Management, An Imprint of Greenwood Publishing Group Inc, USA, hlm: 42

(8)

consent dalam tindakan medik atau kedokteran yaitu sebagaimana yang diatur

dalam Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008. Sedangkan menurut ketentuan

Pasal 22 ayat (1) huruf (d), bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam

melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk meminta persetujuan terhadap

tindakan yang akan dilakukan. Ketentuan Pasal 22 tersebut di atas tidak lain

adalah sebagai proteksi dari pasien sebagai subyek serta mencegah terjadinya

penipuan ataupun paksaan. Selain itu, prinsip informed consent adalah sebagai

suatu “proses” bukan hanya sekedar meminta tanda tangan pasien pada formulir

yang telah disediakan. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan kelanjutan

atau pengukuhan apa yang sebenarnya telah disepakati sebelumnya antara pasien

dan tenaga kesehatan.

4

Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan

berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional

menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata

informed consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam

KUHPerdata BW Pasal 1320 memuat empat syarat sahnya suatu perjanjian,

yaitu:

5

1.

Adanya kesepakatan kedua belah pihak (consensus).

Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian

setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.

2.

Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

4

Kasmawati dkk, Op.Cit, hlm:4

5

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm:228

(9)

Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah

dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat,

menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki, dan 19 tahun

bagi wanita. Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah

19

tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita. Acuan hukum yang kita pakai

adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.

3.

Adanya suatu hal tertentu (objek).

Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau

barang yang cukup jelas.

4.

Ada suatu sebab yang halal (causa).

Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab

yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan

Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya

adalah:

1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud )

2. Tidak berupaya menekan ( Force ).

3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).

6

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk meneliti

tentang Informed Consent tenaga kebidanan. Oleh karena itu Penulis ingin

6

http://hakikibutterfly.blogspot.com/2012/05/informed-consent-dalam-pelayanan.html diunduh pada tanggal 21 Mei 2013, pukul 17.05

(10)

menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Pengaturan Ketentuan

Hukum Perdata Atas Kewajiban Pemberian Informed Consent Oleh Tenaga

Kebidanan”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini

terdapat beberapa masalah yang dirumuskan. Beberapa masalah tersebut adalah :

1.

Hal-hal apa saja yang diinformasikan dan disetujui dalam Informed

Consent oleh bidan dan pasien?

2.

Bagaimana bentuk Informed Consent yang diberikan oleh bidan terhadap

pasien?

3.

Bagaimana akibat hukum pemberian Informed Consent oleh bidan kepada

pasien?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini terdiri dari lingkup pembahasan dan lingkup bidang

ilmu keperdataan. Lingkup pembahasan penelitian ini adalah aspek hukum

informed consent oleh tenaga kebidanan. Sedangkan lingkup bidang ilmu dalam

penelitian ini adalah hukum keperdataan khususnya tentang perjanjian pemberian

informed consent oleh tenaga Kebidanan yang diatur berdasarkan KUHPerdata.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

(11)

Berdasarkan permasalahan dan pokok bahasan diatas, maka tujuan dari penelitian

ini adalah untuk:

1.

Mengetahui dan memahami hal-hal apa saja yang diinformasikan dan disetujui

dalam Informed Consent oleh bidan kepada pasien.

2.

Mengetahui dan memahami bentuk Informed Consent yang diberikan oleh

bidan terhadap pasien.

3.

Mengetahui dan memahami akibat hukum pemberian Informed Consent oleh

bidan terhadap pasien.

2.

Kegunaan Penulisan

Kegunaan Penelitian dapat dibedakan ke dalam dua segi, yaitu kegunaan teoritis

dan kegunaan praktis.

a.

Kegunaan Teoritis

Sebagai bahan untuk memperluas cakrawala pengetahuan tentang suatu perikatan

tanggung jawab atas pemberian informed consent yang dilakukan oleh tenaga

kebidanan. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan pengembangan

ilmu hukum kesehatan.

b.

Kegunaan Praktis

Beberapa kegunaan praktis antara lain:

1)

Sebagai sumber informasi dan bacaan bagi pihak yang berkepentingan.

2)

Sebagai bahan rujukan mengenai aspek hukum persetujuan tindakan medik

kebidanan.

(12)

C.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Informed Consent

1. Pengertian Informed Consent

Consent berasal dari bahasa latin consentio yang artinya persetujuan, izin,

menyetujui, memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan

sesuatu

.

Informed consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah

mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti

persetujuan atau memberi izin. Berikut para ahli mengemukakan pendapatnya

mengenai pengertian informed consent, yaitu:

a.

Endang Kusuma

Astuti, mengemukakan informed consent pada dasarnya

merupakan kontruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan, baik

oleh pasien maupun tenaga kesehatan setelah masing-masing menyatakan

kehendaknya sehingga masing-masing telah menyatakan informasi secara

bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai

persetujuan atas informasi.

b.

Guwandi, mengatakan bahwa informed consent sendiri dalam dokumen medis

sering diterjemahkan dengan “persetujuan tindakan medis” atau “persetujuan

tindakan kedokteran”, namun dalam beberapa literatur ada yang

menterjemahkan sebagai “persetujuan sesudah penjelasan”.

c.

Hanafiah, mengemukakan bahwa informed artinya telah diberitahukan/telah

disampaikan atau telah diinformasikan, sedangkan consent artinya persetujuan

yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Secara istilah

(13)

informed consent, dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan pasien

kepada tenaga kesehatan setelah pasien menerima penjelasan.

d.

Komalawati, mengemukakan pendapatnya tentang informed consent, yaitu

informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib diri

sendiri bagi pasien berdasarkan informasi yang diberikan.

7

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang dimaksud dengan Persetujuan

Tindakan Medis (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien

atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai

tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.

Berdasarkan uraian di atas, secara konkrit yang dimaksud dengan informed

consent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang

akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap dirinya sendiri, setelah pasien

mendapatkan informasi medis untuk menolong dirinya serta segala risiko yang

mungkin terjadi. Dengan adanya informed consent pasien dengan bebas dan tanpa

dipaksa menyetujui suatu tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan

setelah adanya informasi yang cukup tentang arti sebuah tindakan, risiko yang

terkandung di dalamnya, manfaat yang bisa diharapkan dan berbagai alternatif

yang tersedia.

8

2. Pengaturan Informed Consent

7

Anny Isfandyarie, 2011, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka, Jakarta,hlm:127

8

(14)

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur informed consent di

Indonesia sebagai landasan hukum bagi pelayanan medis, yaitu:

9

1.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45,

yaitu:

“Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada

prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan

medis adalah pasien yang bersangkutan atau keluarga terdekatnya.

2.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menjelaskan dalam Pasal 8 bahwa:

“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya

termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya

dari tenaga kesehatan.”

Didalam pasal 56 menerangkan bahwa pasien berhak “menerima atau

menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan

kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan

tersebut secara lengkap.”

3.

Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit menerangkan dalam Pasal

32, bahwa :

“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh informasi mengenai tata tertib

dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit, memperoleh informasi tentang

hak dan kewajiban pasien, memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur,

dan tanpa diskriminasi, memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan

9

(15)

yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang

dideritanya, mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara

tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, resiko tindakan

dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang

dilakukan.”

4.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan dalam Pasal 22 menjelaskan bahwa :

“ Setiap tenaga kesehatan harus menghormati hak pasien, memberikan

informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan,

meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.”

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Medis, menjelaskan bahwa:

“Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan yang dapat diberikan secara tertulis maupun lisan,

pasien harus mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan

yang akan kedokteran dilakukan.”

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin

dan Praktik Penyelenggaraan Praktik Kebidanan dalam Pasal 18 ayat (1),

menyebutkan bahwa:

“Bidan berkewajiban untuk meminta persetujuan atas segala tindakan yang

akan dilakukan.”

Peraturan yang termuat di atas adalah peraturan perundang-undangan yang

memuat tentang informed consent, dimana secara garis besar peraturan yang

(16)

diatur adalah tentang informed consent kedokteran, karena belum adanya

peraturan khusus yang mengatur informed consent mengenai tenaga kesehatan

lainnya. Yang menjadi salah satu pedoman pengaturan pemberian informed

consent tenaga kebidanan adalah Permenkes Nomor 1464/MENKES/PER/2010.

Berdasarkan uraian pengaturan perundang-undangan informed consent di atas,

dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap

pasien semua tenaga kesehatan diharuskan memberikan penjelasan terlebih dahulu

terhadap pasien atau keluarga pasien. Pasien juga berhak menerima atau menolak

segala tindakan yang akan dilakukan untuknya.

Ide dasar sebuah informed consent dalam pelayanan kesehatan, adalah bahwa

tenaga kesehatan mempunyai pengetahuan dan keahlian, sedangkan pasien yang

membutuhkan pelayanan adalah orang awam dan pada umumnya tidak mengerti

tentang seluk-beluk pengobatan dan pemeriksaan kesehatan. Pasien dan

keluarganya harus memperoleh informasi, akan tetapi pasien sendiri harus

memberikan persetujuan sebelum tindakan medis dilakukan. Pelayanan kesehatan

mutlak diperlukan adanya persetujuan dari pasien (informed consent). Oleh karena

itu, tidak dibenarkan dalam pelayanan kesehatan tanpa disertai informed consent,

kecuali dalam keadaan darurat informed consent tentunya dapat ditinggalkan.

Informed consent erat hubungannya dengan prinsip otonomi yang merupakan

bagian dari hak asasi manusia

10

. Dimana pasien memiliki hak, hak itu menentukan

apakah dia setuju melakukan suatu tindakan medik atau tidak. Tenaga kesehatan

10

(17)

harus menghormati hak otonomi pasien yaitu menghormati apa yang menjadi

pilihan pasiennya.

Menurut Culver And Gert ada 4 (empat) komponen yang harus di pahami pada

suatu persetujuan :

11

1)

Sukarela (Voluntariness)

Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat adalah dasar sukarela

tanpa ada unsur paksaan di dasari informasi dan kompetensi. Sehingga

pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsur informasi yang di berikan

sejelas-jelas nya.

2)

Informasi (Information)

Jika pasien tidak tahu sulit untuk dapat mendeskripsikan keputusan.

3)

Kompetensi (Competence)

Dalam konteks consent competensi bermakna suatu pemahaman bahwa

seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu membuat keputusan

dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.

4)

Keputusan (Decision)

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, di mana merupakan

persetujuan tanpa refleksi, pembuatan keputusan merupakan tahap terakhir

proses pemberian persetujuan.

3. Bentuk-Bentuk Informed Consent

Bentuk informed consent dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

12

11

http://endahdian.wordpress.com/2009/12/21/dilema-etik-moral-pelayanan-kebidanan/, diunduh pada tanggal 21 Mei 2013, pukul 20.00

(18)

1.

Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya tenaga

kesehatan dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang

diberikan atau dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan

bidan memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa

memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada di tempat, maka tenaga

kesehatan (bidan) dapat melakukan tindakan medik terbaik menurutnya.

2.

Expressed Consent (dinyatakan)

Pengertian dari expressed consent yaitu dapat dinyatakan secara lisan maupun

tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasif dan mengandung risiko, bidan

sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis. Pasien dinyatakan memiliki

kapasitas untuk memberi consent apabila:

1)

Pasien mampu memahami keputusan medis berdasarkan berbagai informasi

yang ia peroleh,

2)

Persetujuan dibuat tanpa tekanan,

3)

Sebelum memberi consent, pasien harus diberikan informasi yang memadai

(informed choice)

Dalam praktiknya, consent dapat diberikan oleh pasien secara langsung atau oleh

keluarga atau pihak yang mewakili pasien dalam keadaan darurat. Dalam praktik

kebidanan, pasien seringkali dalam keadaan tidak (kompeten untuk mengambil

keputusan karena rasa sakit atau penggunaan obat saat persalinan). Oleh karena

itu, sangat penting untuk membuat birth plan (rencana persalinan), namun rencana

12

(19)

itu masih dapat berubah sesuai dengan keinginan atau kondisi pasien. Komalawati

mengungkapkan bahwa informed consent dari pasien dapat dilakukan, antara lain:

1.

Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis;

2.

Dengan bahasa yang sempurna secara lisan;

3.

Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak kawan;

4.

Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan;

5.

Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak

lawan.

13

Berdasarkan urain diatas, informed consent terdiri atas 2 (dua) bentuk yaitu

dengan cara dinyatakan secara langsung maupun dengan tertulis. Tetapi sejalan

dengan perkembangan zaman, bentuk informed consent yang sering digunakan

adalah secara expressed consent (dinyatakan atau tertulis). Hal inilah yang

menjadi dasar sebagai penegasan dan memudahkan dalam kaitan dengan

pembuktian kelak bahwa pasien telah memberi izin lisan biasanya untuk tindak

medis yang rutin misalnya, penyuntikan atau untuk menghindari hal-hal yang

tidak diinginkan setelah melakukan tindakan medis.

4. Manfaat Informed Consent

Manfaat informed consent adalah sebagai berikut:

14

1)

Membantu kelancaran tindakan medis. Melalui informed consent, secara tidak

langsung terjalin kerjasama antara tenaga kesehatan dan pasien, sehingga

13

Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik: Persetujuan Dalam Hubungan Dokter Dengan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm: 111

14

http://hakikibutterfly.blogspot.com/2012/05/informed-consent-dalam-pelayanan.html, diunduh pada tanggal 22 Mei 2013, pukul 21.16

(20)

memperlancar tindakan yang akan dilakukan. Keadaan ini dapat meningkatkan

efisiensi waktu dalam upaya tindakan kedaruratan.

2)

Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tindakan

tenaga kesehatan yang tepat dan segera, akan menurunkan risiko terjadinya

efek samping dan komplikasi.

3)

Mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit, karena tenaga

kesehatan tersebut memiliki pemahaman yang cukup terhadap tindakan yang

dilakukan.

4)

Meningkatkan mutu pelayanan. Peningkatan mutu ditunjang oleh tindakan

yang lancar, efek samping dan komplikasi yang minim, dan proses pemulihan

yang cepat.

5)

Melindungi tenaga kesehatan dari kemungkinan tuntutan hukum. Jika

tindakan medis menimbulkan masalah, tenaga kesehatan memiliki bukti

tertulis tentang persetujuan pasien.

Oleh karena itu, pemberian informed consent sangat dianjurkan digunakan oleh

tenaga kesehatan jika akan melakukan tindakan medis. Berdasarkan manfaat

informed consent diatas, pemberian informed consent dapat membantu kelancaran

tindakan medis yang terjalin antara tenaga kesehatan dan pasiennya untuk

menghindari tenaga kesehatan dari tuntutan hukum jika tindakan medis yang

dilakukan menimbulkan masalah atau resiko berkelanjutan.

(21)

1. Sejarah dan Tenaga Kebidanan

Sejarah kebidanan telah berkembang lama, bahkan sejak peradaban manusia itu

ada. Perkembangan kebidanan telah berjalan melalui proses yang panjang.

Perkembangan kebidanan dimulai ketika Belanda menjajah Indonesia.

Orang-orang Belanda pada masa itu mendirikan rumah sakit yang memiliki fasilitas

kebidanan. Namun, perkembangan kebidanan pada era ini cenderung tersumbat

karena masyarakat masih mengembangkan kepercayaan dan kebiasaan lama,

khususnya tradisi menggunakan jasa dukun paraji (dukun bayi). Kendala lainnya

adalah kurangnya kesadaran para pemuda dan pemudi dan pasangan usia subur

tentang makna kebidanan. Sementara itu pemerintah tidak berusaha mendorong

masyarakatnya untuk maju. Pada masa kedudukan Jepang di Indonesia, kebidanan

dapat dikatakan berkembang cukup baik, walaupun perawatan menjadi merosot

sehubungan dengan kekurangan perawat ahli, alat-alat, serta obat-obatan. Pada era

ini, banyak wanita yang bersalin di rumah sakit, baik karena kesadaran maupun

karena keadaan yang memaksa.

Pendidikan kebidanan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan

Belanda atas inisiatif Dr. W. Bosh yang menjadi kepala Bagian Kesehatan

Pemerintahan Belanda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sekolah bidan

pertama didirikan pada tahun 1852 di Batavia, sekolah ini ditutup pada tahun

1875 karena rendahnya apresiasi wanita bersalin terhadap pertolongan bidan.

15

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan kebidanan maju cukup pesat. Ini

15

Sudarwan Danim & Darwis, Metode Penelitian Kebidanan: Prosedur,Kebijakan,dan Etik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,2002.hlm:20

(22)

disebabkan telah muncul kesadaran masyarakat Indonesia tentang makna

kebidanan. Keadaan memaksa dan mengharuskan pula perkembangan ilmu

kebidanan karena kekurangan tenaga-tenaga asing yang ahli dan biasa memegang

peranan dalam bidang itu.

Saat ini bangsa Indonesia telah menyadari pentingnya layanan kebidanan.

Masyarakat telah makin menyadari pentingnya pendidikan kesehatan dengan

dasar prinsip ilmiah. Kemauan masyarakat menggunakan jasa rumah sakit atau

tenaga yang berpendidikan makin besar, termasuk tenaga terdidik di bidang

kebidanan. Bersamaan dengan itu orientasi kerja pemerintah pun berubah, segala

sesuatu dikemas berdasarkan kepentingan masyarakat, termasuk pembangunan di

bidang kesehatan yang menyentuh seluruh lapisan dan kebutuhan bagi

masyarakat.

2. Konsep Kebidanan

Saat ini bidan dipandang sebagai sebuah profesi yang keberadaannya telah diakui

baik secara nasional maupun internasional, dan praktisinya tersebar diseluruh

dunia. Bidan dalam bahasa Inggris disebut dengan midwife. Menurut Klinkert,

sebutan bidan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu widwan. Widwan berarti cakap

“membidan”, mereka yang memberikan semacam sedekah bagi seorang penolong

persalinan sampai bayi berusia 40 hari. Dr. E.A.Moeloek mengemukakan bahwa

bidan merupakan profesi dan tenaga lini terdepan dalam pelayanan kesehatan

(23)

reproduksi yang sangat diperlukan dalam wahana kesejahteraan ibu dan anak di

komunitas maupun dalam wahana politik.

16

Profesi bidan terus berkembang dan semakin diakui oleh kalangan masyarakat,

khususnya oleh para pengguna jasa bidan. Bidan secara Internasional juga telah

diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM) pada tahun 1972 dan

International Federation of Gynaecologist and Obstetritian tahun 1973. Bidan

adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan kebidanan, dan

karenanya memenuhi kualifikasi untuk diregistrasi dan/atau lisensi secara legal

melakukan praktik kebidanan.

17

Seorang bidan harus mampu memberi saran

kepada wanita sejak hamil sampai melahirkan, serta perawatan bayi dan

anak-anak. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dalam

Pasal 1, yang dimaksud dengan bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari

pendidikan bidan yang telah terigistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan bidan adalah seorang wanita

yang telah lulus dari pendidikan bidan yang kewenangannya melakukan tugas

yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dimana bidan memberikan pelayanan

kesehatan kepada ibu dan anak serta reproduksi wanita sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

16

Sudarwan Danim & Darwis, Op.Cit, hlm: 16

17

(24)

Bidan mempunyai tugas penting dalam memberikan bimbingan, asuhan, dan

penyuluhan kepada ibu hamil mengenai persalinan, nifas, dan menolong

persalinan dengan tanggung jawabnya sendiri serta memberi asuhan kepada bayi

yang baru lahir. Dalam perjalanan itu, kebutuhan dan tuntutan terhadap perlunya

penyempurnaan layanan semakin terasa penting. Asuhan kebidanan ini merupakan

tindakan pencegahan, deteksi kondisi abnormal ibu dan anak, usaha mendapatkan

bantuan medik, dan melaksanakan tindakan kedaruratan ketika tidak ada tenaga

medis.

Di samping itu, bidan mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling,

tidak hanya untuk pasiennya tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat. Tugas

kebidanan ini meliputi pendidikan antenatal, persiapan menjadi orang tua, dan

meluas kebidang tertentu dari ginekologi, keluarga berencana (KB), sampai

asuhan terhadap anak. Bidan dapat melakukan praktik dirumah sakit, klinik,

unit-unit kesehatan, lingkungan pemukiman, dan unit-unit pelayanan lainnya.

3. Pengaturan Tenaga Kebidanan

Bidan merupakan salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban umat

manusia. Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang mengabdikan diri

dalam suatu bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan di bidang kesehatan

untuk melakukan suatu upaya kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, bidan

termasuk dalam tenaga keperawatan.

(25)

Bidan muncul sebagai perempuan dalam mendampingi dan menolong ibu

melahirkan. Peran dan posisi bidan di masyarakat sangat dihargai dan dihormati

karena tugasnya yang sangat mulia.

18

Bidan dapat menjalankan praktik mandiri

dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap bidan yang bekerja di

fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) dan

bagi bidan yang menjalani praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Praktik

Bidan (SIPB). Untuk memiliki SIKB dan SIPB, bidan harus mengajukan

permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bertugas memberikan pelayanan

kepada ibu dan anak serta kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana. Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu, bidan memberikan

pelayanan konseling pada msa pra hamil, pelayanan persalinan normal, pelayanan

ibu nifas normal, pelayanan ibu menyusui. Bidan juga berwenang melakukan

penyuluhan dan konseling, penjahitan luka jalan lahir, penanganan kegawat

daruratan, bimbingan pada kelompok ibu hamil. Bidan yang menjalankan praktik

di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan di

luar kewenangannya. Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan

bidan praktik mandiri tertentu untuk melaksanakan program Pemerintah dan

berhak atas pelatihan dan pembinaan dari pemerintah.

Dalam memberikan pelayanan kepada anak, bidan berwenang melakukan asuhan

bayi baru lahir normal, penanganan kegawat daruratan, pemberian imunisasi rutin

18

Tutu A. Suseno, Masruroh.H, Etika Profesi Kebidanan, Citra Pustaka, Yogyakarta,2010, hlm:33

(26)

sesuai program pemerintah, pemberian konseling dan penyuluhan anak. Dalam

pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, bidan memberikan penyuluhan dan

konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Bidan dalam

menjalankan praktik mandiri harus memenuhi berbagai persyaratan yaitu bidan

harus memiliki tempat praktik, ruangan praktik, dan peralatan untuk tindakan

asuhan kebidanan, serta pelayanan yang menunjang pelayanan kesehatan bayi,

anak balita dan prasekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan yang sehat,

menyediakan maksimal 2 (dua) tempat tidur persalinan, dan memliki sarana serta

peralatan dan obat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melakukan

tugasnya, bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan

pelayanan yang diberikan ke Puskesmas wilayah tempatnya melakukan praktik,

kecuali bagi bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

Penjelasan yang termuat di atas merupakan uraian dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan

Penyelenggaraan Praktik Bidan. Dijelaskan dalam PerMenKes Nomor

1464/MENKES/PER/2010 bahwa yang dimaksud dengan bidan adalah seorang

perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah terigistrasi sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Hak dan Kewajiban Tenaga Kebidanan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pada

Pasal 9, 10, 11, 12, 13, 18, dan 20 bahwa seorang bidan berkewajiban :

(27)

1.

menyelenggarakan suatu upaya kesehatan dan memberikan pelayanan

kesehatan kepada ibu dan anak serta pelayanan kesehatan reproduksi

perempuan.

2.

Bidan wajib memberikan pelayanan kesehatan pada ibu pada masa pra hamil,

kehamilan, masa nifas, masa menyusui, dan masa antara kedua kehamilan.

3.

Bidan dalam memberikan pelayanan berwenang untuk episiotomi, penjahitan

luka jalan lahir tingkat I dan II, penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan

dengan perujukan, pemberian tablet Fe pada ibu hamil, pemberian Vitamin A,

bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi ASI ekslusif, pemberian

uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum, penyuluhan

dan konseling, bimbingan pada kelompok ibu hamil, pemberian surat

keterangan kematian, pemberian surat keterangan cuti bersalin.

4.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada anak, bidan berwenang untuk

memberi pelayanan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra

sekolah.

5.

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud

pada

ayat

(1)

yang

menyatakan

bidan

berwenang

untuk

melakukan asuhan bayi baru

lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu

dini, injeksi vitamin K

1,

perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hr), perawatan tali

pusat, penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk,

penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan rujukan, pemberian

(28)

imunisasi rutin sesuai program pemerintah, pemantauan tumbuh kembang

bayi, anak balita dan anak pra-sekolah, pemberian surat keterangan kelahiran

dan pemberian surat kematian

6.

Bidan juga berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan reproduksi

perempuan dan keluarga berencana serta memberikan alat kontrasepsi oral

dan kondom.

7.

Bidan yang menjalankan program pemerintah berwenang melakukan

pelayanan kesehatan meliputi

pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat

kotrasepsi dalam rahim,dan alat kontrasepsi bawah kulit dan asuhan antenatal

terintergasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan

dibawah supervisi dokter, penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai

pedoman yang ditetapkan, melakukan pembinaan peran serta masyarakat di

bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, penyeha

tan lingkungan pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak

prasekolah, dan anak sekolah, melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas,

melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap

Infeksi Menular Seksual ( IMS ) termasuk pemberian kondom

dan

penyakit lainnya, pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotoprika, Zat

Adiktif

lainnya

(NAPZA)

melalui

informasi

dan

edukasi,

pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.

8.

Bidan juga berkewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan

informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan,

merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan

(29)

tepat waktu, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan, menyimpan

rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara

sistematis, mematuhi standar, dan melakukan pencatatan dan pelaporan

penyelenggaraan praktik kebidanan. Bidan senantiasa meningkatkan mutu

pelayanan profesi dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidan tugasnya,

bidan dalam menjalankan praktik kebidanan harus membantu program

pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

9.

Bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan

yang diberikan.

Bidan mempunyai hak dalam menjalankan praktik atau kerjanya berdasarkan

PerMenKes Nomor 1464/MENKES/PER/2010 Pasal 19, antara lain:

1.

Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik atau kerja

sepanjang sesuai standar.

2.

Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien atau keluarganya.

3.

Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar.

4.

Menerima imbalan jasa profesi.

Berdasarkan uraian di atas bahwa kewajiban bidan terhadap pasiennya adalah

menghormati dan memberi informasi. Menghormati berarti pasien dianggap

sebagai subyek hukum dalam pelayanan kesehatan. Dengan kata lain pasien harus

diakui hak pribadinya sebagai seorang manusia yang mempunyai masalah dalam

(30)

kesehatannya atau kondisi tubuhnya. Pemberian informasi oleh bidan juga

merupakan hak dasar dari pasien dan tanpa dimintakan oleh pasien atau

keluarganya bidan harus memberikan sejumlah informasi mengenai tindakan yang

akan dilakukan. Dengan demikian dalam melakukan tindakan, bidan terlebih

dahulu harus mengadakan komunikasi dengan pasien atau keluarganya.

Komunikasi adalah kata kunci dalam setiap pelayanan kesehatan.

D.

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.

19

1.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah

Normatif-Empiris. Penelitian Hukum Normatif-Empiris adalah penelitian hukum

mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi,

undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum

tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

20

2.

Tipe Penelitian

19

Sarjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers. Jakarta. 1990. hlm:1

20

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004,hlm:134

(31)

Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

mengambarkan secara rinci, jelas dan sistematis mengenai mekanisme tanggung

jawab pemberian Informed Consent oleh tenaga kebidanan.

3.

Pendekatan Masalah

Pendekatan Masalah pada penelitian ini adalah pendekatan normatif-terapan.

Dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a.

Mengidentifikasi pokok bahasan, subpokok bahasan berdasarkan rumusan

masalah;

b.

Atas dasar setiap subpokok bahasan yang sudah teridentifikasi tersebut,

diinventarisasi pula ketentuan-ketentuan hukum normatif yang menjadi tolak

ukur terapan.

c.

Implementasi tolak ukur terapan tersebut pada peristiwa hukum pemberian

saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah.

d.

Hasil Implementasi, yaitu kesesuaian pemberian saran dan pertimbangan

terhadap kebijakan pemerintah terhadap Peraturan Perundang-undangan

mengenai Tenaga Kesehatan khususnya Tenaga Kebidanan dalam

memberikan Informed Consent.

4.

Data dan Sumber Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.

21

Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas

21

(32)

skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam

penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penellitian ini dibedakan

menjadi dua, yaitu:

a.

Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara langsung

dengan Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Bandar Lampung dan beberapa

orang bidan yang melakukan praktik mandiri tentang pemberian Informed

Consent oleh Tenaga Kebidanan.

b.

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

bahan-bahan hukum, jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan ini

terdiri dari:

1)

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat, terdapat dalam peraturan perundang-undangan.:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

b) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

c) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

d) Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit

e) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

f) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Medis.

g) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/ MenKes/ PER/ 2010 tentang Izin

dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

(33)

2)

Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

baku primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan

hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan

dengan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

3)

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi,

petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, antara lain berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Media Massa,

Artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan

masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

5. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan

menggunakan dua cara sebagai berikut:

a.

Studi Kepustakaan (Liberary Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulisan

dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,

mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan

perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang ada

hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b.

Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan secara lisan. Wawancara ditujukan kepada Ketua Ikatan Bidan

(34)

Indonesia (IBI) Bandar Lampung dan beberapa orang bidan yang melakukan

praktik mandiri.

6. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya

diolah dengan mengunakan metode;

a.

Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat

kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

b.

Klasifikasi data, yaitu proses pengelompokan data sesuai dengan bidang

pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisa data.

c.

Sistematis data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap

pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

7. Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang

artinya hasil penelitian ini di deskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian

kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpresatsikan dan

ditarik kesimpulan mengenai Tanggung Jawab Pemberian Informed Consent oleh

Tenaga Kebidanan.

(35)
(36)

Amri, Amril, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta, Widya Medika

Beauchamp, Tom, James Childress, 2001, Principles of Bio Medical Ethics, New

York, Oxfort University Press, Edisi ke-5

Danim, Sudarwan, Darwis, 2002, Metode Penelitian Kebidanan Prosedur, Kebijakan

& Etik, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC

Isfandyarie Anny, 2011, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I,

Jakarta, Prestasi Pustaka

Komalawati, Veronica, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi

Terapeutik: Persetujuan Dalam Hubungan Dokter Dengan Pasien, Suatu

Tinjauan Yuridis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra

Aditya Bakti

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra

Aditya Bakti

Sharpe, Charles, 1999, Nursing Malpraktik Liability and Risk Management, USA,

An Imprint of Greenwood Publishing Group Inc

Soekanto, Sarjono, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Rajawali Pers

(37)

Suseno, Tutu A, Masruroh H, 2010, Etika Profesi Kebidanan, Yogyakarta, Citra

Pustaka

Wellman, Carl, 2005, Medical Law and Moral Right, Netherlands, Springer

Dordrecht

b.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

290/MENKES/PER/III/2008

tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

c. Jurnal Penelitian

Kasmawati, 2013, Pemberian Informed Consent oleh Tenaga Kebidanan, Laporan

Penelitian Universitas Lampung 2013

(38)

http://endahdian.wordpress.com/2009/12/21/dilema-etik-moral-pelayanan-kebidanan/

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah kunjungan wisatawan pada bulan Juni adalah sebanyak 76 orang pada awal operasi Nusantara diving center resort, bulan Juli sebanyak 84 orang, bulan Agustus jumlah

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sulit berkembang dikarenakan kompetensi pemilik usaha yang masih kurang dalam mengelola usaha, biasanya mereka berjalan apa

Mahasiswa calon guru matematika harus disiapkan agar mampu merencanakan dan mengimplementasikan perencanaan pembelajaran matematika kepada siswa dengan baik

• Teori-teori komunikasi interpesonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional

Arah hubungan (r) adalah positif, semakin tinggi luas penutupan kayu apu pada limbah cair tahu maka semakin tinggi pula penurunan nitrat pada limbah cair tahu. 28.Tabel

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang “Gambaran pengetahuan Wanita Usia Subur tentang deteksi dini kanker serviks dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA ) di

Jika yang Anda tangani ini adalah pasien prioritas tinggi, maka tahap persiapan, melonggarkan pakaian, memeriksa perban dan bidai, menenangkan pasien, bahkan pemeriksaan vital

(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan untuk kegiatan penangkaran jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi di TAHURA sebagaimana