PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN
PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN
Dibiayai Oleh Dana DIPA Lembaga Penelitian Universitas Lampung
Tahun Anggaran 2015
Dengan Nomor Kontrak : ________________________________________
Tanggal _______________________________________________________
Oleh
KETUA
: DEPRI LIBER SONATA, S.H., M.H.
(198010162008011001)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
1. Judul
: Pengaturan Ketentuan Hukum Perdata Atas
Kewajiban Pemberian Informed Consent Oleh
Tenaga Kebidanan
2. Bidang Penelitian
: Ilmu Hukum
3. Ketua Tim Pengusul
a. Nama Lengkap
: Depri Liber Sonata, S.H., M.H.
b. Jenis Kelamin
: Laki-Laki
c. NIP
: 198010162008011001
d. Disiplin Ilmu
: Hukum Keperdataan
e. Pangkat/Gol
: III B
f. Jabatan
: Asisten Ahli
g. Fakultas/Jurusan
: Hukum/Hukum Perdata
h. Alamat kantor
: Fakultas Hukum Universitas Lampung Jurusan
Keperdataan Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1
Gedung Meneng Bandarlampung
i. Telp/Hp/E-mail
: 0812-79553539
Email: depriliber@gmail.com
4. Lokasi Kegiatan
: Bandar Lampung.
Bandar Lampung, 23 Maret 2015
Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Perdata,
Ketua Tim Pengusul,
Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum.
Depri Liber Sonata, S.H., M.H.
NIP. 195805271984031001
NIP. 198010162008011001
Mengesahkan,
Dekan FH Unila,
Ketua LPPM Unila
Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.
Dr. Eng. Admi Syarif
ABSTRAK
PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN
PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN
Oleh :
Depri Liber Sonata, S.H., M.H.
Sampai saat ini peraturan informed consent kebidanan maupun
keperawatan belum diatur dalam peraturan secara tertulis, yang ada baru informed
consent dalam tindakan medik atau kedokteran yaitu sebagaimana yang diatur
dalam Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008. Sedangkan menurut ketentuan
Pasal 22 ayat (1) huruf (d), bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk meminta persetujuan terhadap
tindakan yang akan dilakukan. Ketentuan Pasal 22 tersebut di atas tidak lain
adalah sebagai proteksi dari pasien sebagai subyek serta mencegah terjadinya
penipuan ataupun paksaan. Selain itu, prinsip informed consent adalah sebagai
suatu “proses” bukan hanya sekedar meminta tanda tangan pasien pada formulir
yang telah disediakan. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan kelanjutan
atau pengukuhan apa yang sebenarnya telah disepakati sebelumnya antara pasien
dan tenaga. Sehingga bentuk informed concent yang memberikan perlindungan
hukum kepada tenaga kebidanan menjadi menarik untuk dilakukan kajian
A.
JUDUL PENELITIAN
PENGATURAN KETENTUAN HUKUM PERDATA ATAS KEWAJIBAN
PEMBERIAN INFORMED CONSENT OLEH TENAGA KEBIDANAN
==========================================================
BIDANG ILMU: Ilmu Hukum
B.
Latar Belakang
Tenaga Kebidanan adalah Tenaga Kesehatan yang merupakan bagian dari
Tenaga Keperawatan, sebagian diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bidan adalah
salah satu tenaga kesehatan yang ada pada garis depan dalam pelayanan
kesehatan, terutama yang ditujukan kepada ibu dan anak, kesehatan reproduksi
perempuan, dan keluarga berencana.
Tugas utama bidan menurut Pasal 9, 10, dan 11 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan, yaitu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
seorang ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa
nifas, masa menyusui dan masa antara kedua kehamilan. Ibu mendapatkan
pelayanan konseling pada masa prahamil, pelayanan antenatal pada kehamilan
normal pelayanan persalinan nomal. Bidan dalam memberikan pelayanan kepada
ibu antara lain berwenang untuk melakukan episiotomy, melakukan penjahitan
luka jalan lahir tingkat I dan tingkat II, melakukan penanganan kegawat daruratan,
dilanjutkan dengan perujukan.
Selanjutnya untuk pelayanan kesehatan anak yang diberikan oleh bidan antara lain
yaitu diberikan kepada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
Dalam pelayanan kesehatan anak, bidan berwenang untuk (a) melakukan asuhan
bayi baru lahir normal; (b) penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera
merujuk; (c) penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; (d)
pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah.
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya terutama
untuk pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana,
berwenang untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana, termuat dalam Pasal 12 PerMenkes Nomor
1464/MENKES/PER/2010.
Selain kewenangan yang termuat dalam pasal 9, 10, 11 dan 12 bidan
dalam menjalankan program pemerintah, berwenang melakukan pelayanan
kesehatan antara lain yaitu pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi
dalam rahim, memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan
antenatal terintregasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan
di bawah supervise dokter, penangan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman
yang ditetapkan, melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan
penyuluhan terhadap infeksi menular seksual (IMS) termaksud pemberian
kondom, dan penyakit lainnya.
Kewajiban bidan tertuang didalam Pasal 18 Permenkes Republik
Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010, yaitu :
a. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan;
b. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
c. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan pelayanan lainnya secara sistematis;
Dalam menjalankan praktik atau kerjanya, bidan mempunyai hak-hak
antara lain:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang
sesuai dengan standar;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau
keluarganya.
Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter
dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya. Hal tersebut
termuat dalam Pasal 14 PerMenkes Nomor 1464/MENKES/PER/2010.
Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) menentukan bidan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan:
“Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 pada Peraturan
Pemerintah tersebut sehingga mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau
kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa bidan sebelum
melakukan tindakannya, harus meminta persetujuan dari pasien terhadap tindakan
yang akan dilakukannya untuk menghindari adanya tuduhan kelalaian, dalam
istilah kebidanan hal ini disebut Informed Consent. Pada dasarnya informed
consent merupakan faham yang agak baru dalam praktik kebidanan, namun dalam
waktu singkat telah memperoleh kedudukan yang cukup vital.
1Dalam konteks ini
lebih tepat kalau informed consent-nya adalah informed consent kebidanan,
karena informasi yang diberikan berkisar dalam ruang lingkup praktik kebidanan
bukan lingkup medis. Informed consent kebidanan tentunya mempunyai ciri dan
karakter tersendiri mengingat yang di hadapi adalah para ibu yang hendak
melakukan persalinan dan bayi serta anak yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
2Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk memeriksa dan
memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik dengan
pasien dan keluarga pasien. Bidan perlu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya. Dalam
konteks ini, harus terbangun komunikasi yang efektif. Komunikasi dalam
pelayanan kesehatan pada prinsipnya menjadi aspek yang paling sentral. Sebagai
akibat adanya komunikasi yang kurang baik, sering berakibat pada gugatan
malpraktik.
3Sampai saat ini peraturan informed consent kebidanan maupun
keperawatan belum diatur dalam peraturan secara tertulis, yang ada baru informed
1
Tom Beauchamp dan James Childress. 2001, Principles of Bio Medical Ethics, New York, Oxfort University Press, Edisi ke-5, hlm: 77-78
2
Kasmawati, 2013, Pemberian Informed Consent oleh Tenaga Kebidanan, Laporan Penelitian Universitas Lampung 2013, hlm:4
3
Charles Sharpe, 1999, Nursing Malpratice Liability and Risk Management, An Imprint of Greenwood Publishing Group Inc, USA, hlm: 42
consent dalam tindakan medik atau kedokteran yaitu sebagaimana yang diatur
dalam Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008. Sedangkan menurut ketentuan
Pasal 22 ayat (1) huruf (d), bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk meminta persetujuan terhadap
tindakan yang akan dilakukan. Ketentuan Pasal 22 tersebut di atas tidak lain
adalah sebagai proteksi dari pasien sebagai subyek serta mencegah terjadinya
penipuan ataupun paksaan. Selain itu, prinsip informed consent adalah sebagai
suatu “proses” bukan hanya sekedar meminta tanda tangan pasien pada formulir
yang telah disediakan. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan kelanjutan
atau pengukuhan apa yang sebenarnya telah disepakati sebelumnya antara pasien
dan tenaga kesehatan.
4Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan
berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional
menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata
informed consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam
KUHPerdata BW Pasal 1320 memuat empat syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu:
51.
Adanya kesepakatan kedua belah pihak (consensus).
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian
setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.
Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).
4
Kasmawati dkk, Op.Cit, hlm:4
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm:228
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat,
menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki, dan 19 tahun
bagi wanita. Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah
19
tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita. Acuan hukum yang kita pakai
adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.
Adanya suatu hal tertentu (objek).
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau
barang yang cukup jelas.
4.
Ada suatu sebab yang halal (causa).
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab
yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan
Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya
adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud )
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
6Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk meneliti
tentang Informed Consent tenaga kebidanan. Oleh karena itu Penulis ingin
6
http://hakikibutterfly.blogspot.com/2012/05/informed-consent-dalam-pelayanan.html diunduh pada tanggal 21 Mei 2013, pukul 17.05
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Pengaturan Ketentuan
Hukum Perdata Atas Kewajiban Pemberian Informed Consent Oleh Tenaga
Kebidanan”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini
terdapat beberapa masalah yang dirumuskan. Beberapa masalah tersebut adalah :
1.
Hal-hal apa saja yang diinformasikan dan disetujui dalam Informed
Consent oleh bidan dan pasien?
2.
Bagaimana bentuk Informed Consent yang diberikan oleh bidan terhadap
pasien?
3.
Bagaimana akibat hukum pemberian Informed Consent oleh bidan kepada
pasien?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini terdiri dari lingkup pembahasan dan lingkup bidang
ilmu keperdataan. Lingkup pembahasan penelitian ini adalah aspek hukum
informed consent oleh tenaga kebidanan. Sedangkan lingkup bidang ilmu dalam
penelitian ini adalah hukum keperdataan khususnya tentang perjanjian pemberian
informed consent oleh tenaga Kebidanan yang diatur berdasarkan KUHPerdata.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan pokok bahasan diatas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk:
1.
Mengetahui dan memahami hal-hal apa saja yang diinformasikan dan disetujui
dalam Informed Consent oleh bidan kepada pasien.
2.
Mengetahui dan memahami bentuk Informed Consent yang diberikan oleh
bidan terhadap pasien.
3.
Mengetahui dan memahami akibat hukum pemberian Informed Consent oleh
bidan terhadap pasien.
2.
Kegunaan Penulisan
Kegunaan Penelitian dapat dibedakan ke dalam dua segi, yaitu kegunaan teoritis
dan kegunaan praktis.
a.
Kegunaan Teoritis
Sebagai bahan untuk memperluas cakrawala pengetahuan tentang suatu perikatan
tanggung jawab atas pemberian informed consent yang dilakukan oleh tenaga
kebidanan. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan pengembangan
ilmu hukum kesehatan.
b.
Kegunaan Praktis
Beberapa kegunaan praktis antara lain:
1)
Sebagai sumber informasi dan bacaan bagi pihak yang berkepentingan.
2)
Sebagai bahan rujukan mengenai aspek hukum persetujuan tindakan medik
kebidanan.
C.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Informed Consent
1. Pengertian Informed Consent
Consent berasal dari bahasa latin consentio yang artinya persetujuan, izin,
menyetujui, memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan
sesuatu
.
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Berikut para ahli mengemukakan pendapatnya
mengenai pengertian informed consent, yaitu:
a.
Endang Kusuma
Astuti, mengemukakan informed consent pada dasarnya
merupakan kontruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan, baik
oleh pasien maupun tenaga kesehatan setelah masing-masing menyatakan
kehendaknya sehingga masing-masing telah menyatakan informasi secara
bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai
persetujuan atas informasi.
b.
Guwandi, mengatakan bahwa informed consent sendiri dalam dokumen medis
sering diterjemahkan dengan “persetujuan tindakan medis” atau “persetujuan
tindakan kedokteran”, namun dalam beberapa literatur ada yang
menterjemahkan sebagai “persetujuan sesudah penjelasan”.
c.
Hanafiah, mengemukakan bahwa informed artinya telah diberitahukan/telah
disampaikan atau telah diinformasikan, sedangkan consent artinya persetujuan
yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Secara istilah
informed consent, dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan pasien
kepada tenaga kesehatan setelah pasien menerima penjelasan.
d.
Komalawati, mengemukakan pendapatnya tentang informed consent, yaitu
informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib diri
sendiri bagi pasien berdasarkan informasi yang diberikan.
7Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang dimaksud dengan Persetujuan
Tindakan Medis (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
Berdasarkan uraian di atas, secara konkrit yang dimaksud dengan informed
consent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap dirinya sendiri, setelah pasien
mendapatkan informasi medis untuk menolong dirinya serta segala risiko yang
mungkin terjadi. Dengan adanya informed consent pasien dengan bebas dan tanpa
dipaksa menyetujui suatu tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan
setelah adanya informasi yang cukup tentang arti sebuah tindakan, risiko yang
terkandung di dalamnya, manfaat yang bisa diharapkan dan berbagai alternatif
yang tersedia.
82. Pengaturan Informed Consent
7
Anny Isfandyarie, 2011, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka, Jakarta,hlm:127
8
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur informed consent di
Indonesia sebagai landasan hukum bagi pelayanan medis, yaitu:
91.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45,
yaitu:
“Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada
prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan
medis adalah pasien yang bersangkutan atau keluarga terdekatnya.
2.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menjelaskan dalam Pasal 8 bahwa:
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya
dari tenaga kesehatan.”
Didalam pasal 56 menerangkan bahwa pasien berhak “menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.”
3.
Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit menerangkan dalam Pasal
32, bahwa :
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh informasi mengenai tata tertib
dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit, memperoleh informasi tentang
hak dan kewajiban pasien, memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur,
dan tanpa diskriminasi, memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan
9
yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang
dideritanya, mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, resiko tindakan
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.”
4.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan dalam Pasal 22 menjelaskan bahwa :
“ Setiap tenaga kesehatan harus menghormati hak pasien, memberikan
informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan,
meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.”
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, menjelaskan bahwa:
“Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan yang dapat diberikan secara tertulis maupun lisan,
pasien harus mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
yang akan kedokteran dilakukan.”
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin
dan Praktik Penyelenggaraan Praktik Kebidanan dalam Pasal 18 ayat (1),
menyebutkan bahwa:
“Bidan berkewajiban untuk meminta persetujuan atas segala tindakan yang
akan dilakukan.”
Peraturan yang termuat di atas adalah peraturan perundang-undangan yang
memuat tentang informed consent, dimana secara garis besar peraturan yang
diatur adalah tentang informed consent kedokteran, karena belum adanya
peraturan khusus yang mengatur informed consent mengenai tenaga kesehatan
lainnya. Yang menjadi salah satu pedoman pengaturan pemberian informed
consent tenaga kebidanan adalah Permenkes Nomor 1464/MENKES/PER/2010.
Berdasarkan uraian pengaturan perundang-undangan informed consent di atas,
dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap
pasien semua tenaga kesehatan diharuskan memberikan penjelasan terlebih dahulu
terhadap pasien atau keluarga pasien. Pasien juga berhak menerima atau menolak
segala tindakan yang akan dilakukan untuknya.
Ide dasar sebuah informed consent dalam pelayanan kesehatan, adalah bahwa
tenaga kesehatan mempunyai pengetahuan dan keahlian, sedangkan pasien yang
membutuhkan pelayanan adalah orang awam dan pada umumnya tidak mengerti
tentang seluk-beluk pengobatan dan pemeriksaan kesehatan. Pasien dan
keluarganya harus memperoleh informasi, akan tetapi pasien sendiri harus
memberikan persetujuan sebelum tindakan medis dilakukan. Pelayanan kesehatan
mutlak diperlukan adanya persetujuan dari pasien (informed consent). Oleh karena
itu, tidak dibenarkan dalam pelayanan kesehatan tanpa disertai informed consent,
kecuali dalam keadaan darurat informed consent tentunya dapat ditinggalkan.
Informed consent erat hubungannya dengan prinsip otonomi yang merupakan
bagian dari hak asasi manusia
10. Dimana pasien memiliki hak, hak itu menentukan
apakah dia setuju melakukan suatu tindakan medik atau tidak. Tenaga kesehatan
10
harus menghormati hak otonomi pasien yaitu menghormati apa yang menjadi
pilihan pasiennya.
Menurut Culver And Gert ada 4 (empat) komponen yang harus di pahami pada
suatu persetujuan :
111)
Sukarela (Voluntariness)
Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat adalah dasar sukarela
tanpa ada unsur paksaan di dasari informasi dan kompetensi. Sehingga
pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsur informasi yang di berikan
sejelas-jelas nya.
2)
Informasi (Information)
Jika pasien tidak tahu sulit untuk dapat mendeskripsikan keputusan.
3)
Kompetensi (Competence)
Dalam konteks consent competensi bermakna suatu pemahaman bahwa
seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu membuat keputusan
dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.
4)
Keputusan (Decision)
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, di mana merupakan
persetujuan tanpa refleksi, pembuatan keputusan merupakan tahap terakhir
proses pemberian persetujuan.
3. Bentuk-Bentuk Informed Consent
Bentuk informed consent dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1211
http://endahdian.wordpress.com/2009/12/21/dilema-etik-moral-pelayanan-kebidanan/, diunduh pada tanggal 21 Mei 2013, pukul 20.00
1.
Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya tenaga
kesehatan dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan atau dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
bidan memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada di tempat, maka tenaga
kesehatan (bidan) dapat melakukan tindakan medik terbaik menurutnya.
2.
Expressed Consent (dinyatakan)
Pengertian dari expressed consent yaitu dapat dinyatakan secara lisan maupun
tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasif dan mengandung risiko, bidan
sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis. Pasien dinyatakan memiliki
kapasitas untuk memberi consent apabila:
1)
Pasien mampu memahami keputusan medis berdasarkan berbagai informasi
yang ia peroleh,
2)
Persetujuan dibuat tanpa tekanan,
3)
Sebelum memberi consent, pasien harus diberikan informasi yang memadai
(informed choice)
Dalam praktiknya, consent dapat diberikan oleh pasien secara langsung atau oleh
keluarga atau pihak yang mewakili pasien dalam keadaan darurat. Dalam praktik
kebidanan, pasien seringkali dalam keadaan tidak (kompeten untuk mengambil
keputusan karena rasa sakit atau penggunaan obat saat persalinan). Oleh karena
itu, sangat penting untuk membuat birth plan (rencana persalinan), namun rencana
12
itu masih dapat berubah sesuai dengan keinginan atau kondisi pasien. Komalawati
mengungkapkan bahwa informed consent dari pasien dapat dilakukan, antara lain:
1.
Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis;
2.
Dengan bahasa yang sempurna secara lisan;
3.
Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak kawan;
4.
Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan;
5.
Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak
lawan.
13Berdasarkan urain diatas, informed consent terdiri atas 2 (dua) bentuk yaitu
dengan cara dinyatakan secara langsung maupun dengan tertulis. Tetapi sejalan
dengan perkembangan zaman, bentuk informed consent yang sering digunakan
adalah secara expressed consent (dinyatakan atau tertulis). Hal inilah yang
menjadi dasar sebagai penegasan dan memudahkan dalam kaitan dengan
pembuktian kelak bahwa pasien telah memberi izin lisan biasanya untuk tindak
medis yang rutin misalnya, penyuntikan atau untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan setelah melakukan tindakan medis.
4. Manfaat Informed Consent
Manfaat informed consent adalah sebagai berikut:
141)
Membantu kelancaran tindakan medis. Melalui informed consent, secara tidak
langsung terjalin kerjasama antara tenaga kesehatan dan pasien, sehingga
13
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik: Persetujuan Dalam Hubungan Dokter Dengan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm: 111
14
http://hakikibutterfly.blogspot.com/2012/05/informed-consent-dalam-pelayanan.html, diunduh pada tanggal 22 Mei 2013, pukul 21.16
memperlancar tindakan yang akan dilakukan. Keadaan ini dapat meningkatkan
efisiensi waktu dalam upaya tindakan kedaruratan.
2)
Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tindakan
tenaga kesehatan yang tepat dan segera, akan menurunkan risiko terjadinya
efek samping dan komplikasi.
3)
Mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit, karena tenaga
kesehatan tersebut memiliki pemahaman yang cukup terhadap tindakan yang
dilakukan.
4)
Meningkatkan mutu pelayanan. Peningkatan mutu ditunjang oleh tindakan
yang lancar, efek samping dan komplikasi yang minim, dan proses pemulihan
yang cepat.
5)
Melindungi tenaga kesehatan dari kemungkinan tuntutan hukum. Jika
tindakan medis menimbulkan masalah, tenaga kesehatan memiliki bukti
tertulis tentang persetujuan pasien.
Oleh karena itu, pemberian informed consent sangat dianjurkan digunakan oleh
tenaga kesehatan jika akan melakukan tindakan medis. Berdasarkan manfaat
informed consent diatas, pemberian informed consent dapat membantu kelancaran
tindakan medis yang terjalin antara tenaga kesehatan dan pasiennya untuk
menghindari tenaga kesehatan dari tuntutan hukum jika tindakan medis yang
dilakukan menimbulkan masalah atau resiko berkelanjutan.
1. Sejarah dan Tenaga Kebidanan
Sejarah kebidanan telah berkembang lama, bahkan sejak peradaban manusia itu
ada. Perkembangan kebidanan telah berjalan melalui proses yang panjang.
Perkembangan kebidanan dimulai ketika Belanda menjajah Indonesia.
Orang-orang Belanda pada masa itu mendirikan rumah sakit yang memiliki fasilitas
kebidanan. Namun, perkembangan kebidanan pada era ini cenderung tersumbat
karena masyarakat masih mengembangkan kepercayaan dan kebiasaan lama,
khususnya tradisi menggunakan jasa dukun paraji (dukun bayi). Kendala lainnya
adalah kurangnya kesadaran para pemuda dan pemudi dan pasangan usia subur
tentang makna kebidanan. Sementara itu pemerintah tidak berusaha mendorong
masyarakatnya untuk maju. Pada masa kedudukan Jepang di Indonesia, kebidanan
dapat dikatakan berkembang cukup baik, walaupun perawatan menjadi merosot
sehubungan dengan kekurangan perawat ahli, alat-alat, serta obat-obatan. Pada era
ini, banyak wanita yang bersalin di rumah sakit, baik karena kesadaran maupun
karena keadaan yang memaksa.
Pendidikan kebidanan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan
Belanda atas inisiatif Dr. W. Bosh yang menjadi kepala Bagian Kesehatan
Pemerintahan Belanda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sekolah bidan
pertama didirikan pada tahun 1852 di Batavia, sekolah ini ditutup pada tahun
1875 karena rendahnya apresiasi wanita bersalin terhadap pertolongan bidan.
15Setelah Indonesia merdeka, perkembangan kebidanan maju cukup pesat. Ini
15
Sudarwan Danim & Darwis, Metode Penelitian Kebidanan: Prosedur,Kebijakan,dan Etik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,2002.hlm:20
disebabkan telah muncul kesadaran masyarakat Indonesia tentang makna
kebidanan. Keadaan memaksa dan mengharuskan pula perkembangan ilmu
kebidanan karena kekurangan tenaga-tenaga asing yang ahli dan biasa memegang
peranan dalam bidang itu.
Saat ini bangsa Indonesia telah menyadari pentingnya layanan kebidanan.
Masyarakat telah makin menyadari pentingnya pendidikan kesehatan dengan
dasar prinsip ilmiah. Kemauan masyarakat menggunakan jasa rumah sakit atau
tenaga yang berpendidikan makin besar, termasuk tenaga terdidik di bidang
kebidanan. Bersamaan dengan itu orientasi kerja pemerintah pun berubah, segala
sesuatu dikemas berdasarkan kepentingan masyarakat, termasuk pembangunan di
bidang kesehatan yang menyentuh seluruh lapisan dan kebutuhan bagi
masyarakat.
2. Konsep Kebidanan
Saat ini bidan dipandang sebagai sebuah profesi yang keberadaannya telah diakui
baik secara nasional maupun internasional, dan praktisinya tersebar diseluruh
dunia. Bidan dalam bahasa Inggris disebut dengan midwife. Menurut Klinkert,
sebutan bidan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu widwan. Widwan berarti cakap
“membidan”, mereka yang memberikan semacam sedekah bagi seorang penolong
persalinan sampai bayi berusia 40 hari. Dr. E.A.Moeloek mengemukakan bahwa
bidan merupakan profesi dan tenaga lini terdepan dalam pelayanan kesehatan
reproduksi yang sangat diperlukan dalam wahana kesejahteraan ibu dan anak di
komunitas maupun dalam wahana politik.
16Profesi bidan terus berkembang dan semakin diakui oleh kalangan masyarakat,
khususnya oleh para pengguna jasa bidan. Bidan secara Internasional juga telah
diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM) pada tahun 1972 dan
International Federation of Gynaecologist and Obstetritian tahun 1973. Bidan
adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan kebidanan, dan
karenanya memenuhi kualifikasi untuk diregistrasi dan/atau lisensi secara legal
melakukan praktik kebidanan.
17Seorang bidan harus mampu memberi saran
kepada wanita sejak hamil sampai melahirkan, serta perawatan bayi dan
anak-anak. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dalam
Pasal 1, yang dimaksud dengan bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari
pendidikan bidan yang telah terigistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan bidan adalah seorang wanita
yang telah lulus dari pendidikan bidan yang kewenangannya melakukan tugas
yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dimana bidan memberikan pelayanan
kesehatan kepada ibu dan anak serta reproduksi wanita sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
16
Sudarwan Danim & Darwis, Op.Cit, hlm: 16
17
Bidan mempunyai tugas penting dalam memberikan bimbingan, asuhan, dan
penyuluhan kepada ibu hamil mengenai persalinan, nifas, dan menolong
persalinan dengan tanggung jawabnya sendiri serta memberi asuhan kepada bayi
yang baru lahir. Dalam perjalanan itu, kebutuhan dan tuntutan terhadap perlunya
penyempurnaan layanan semakin terasa penting. Asuhan kebidanan ini merupakan
tindakan pencegahan, deteksi kondisi abnormal ibu dan anak, usaha mendapatkan
bantuan medik, dan melaksanakan tindakan kedaruratan ketika tidak ada tenaga
medis.
Di samping itu, bidan mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling,
tidak hanya untuk pasiennya tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat. Tugas
kebidanan ini meliputi pendidikan antenatal, persiapan menjadi orang tua, dan
meluas kebidang tertentu dari ginekologi, keluarga berencana (KB), sampai
asuhan terhadap anak. Bidan dapat melakukan praktik dirumah sakit, klinik,
unit-unit kesehatan, lingkungan pemukiman, dan unit-unit pelayanan lainnya.
3. Pengaturan Tenaga Kebidanan
Bidan merupakan salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban umat
manusia. Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang mengabdikan diri
dalam suatu bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan di bidang kesehatan
untuk melakukan suatu upaya kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, bidan
termasuk dalam tenaga keperawatan.
Bidan muncul sebagai perempuan dalam mendampingi dan menolong ibu
melahirkan. Peran dan posisi bidan di masyarakat sangat dihargai dan dihormati
karena tugasnya yang sangat mulia.
18Bidan dapat menjalankan praktik mandiri
dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap bidan yang bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) dan
bagi bidan yang menjalani praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Praktik
Bidan (SIPB). Untuk memiliki SIKB dan SIPB, bidan harus mengajukan
permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
Bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bertugas memberikan pelayanan
kepada ibu dan anak serta kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana. Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu, bidan memberikan
pelayanan konseling pada msa pra hamil, pelayanan persalinan normal, pelayanan
ibu nifas normal, pelayanan ibu menyusui. Bidan juga berwenang melakukan
penyuluhan dan konseling, penjahitan luka jalan lahir, penanganan kegawat
daruratan, bimbingan pada kelompok ibu hamil. Bidan yang menjalankan praktik
di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan di
luar kewenangannya. Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan
bidan praktik mandiri tertentu untuk melaksanakan program Pemerintah dan
berhak atas pelatihan dan pembinaan dari pemerintah.
Dalam memberikan pelayanan kepada anak, bidan berwenang melakukan asuhan
bayi baru lahir normal, penanganan kegawat daruratan, pemberian imunisasi rutin
18
Tutu A. Suseno, Masruroh.H, Etika Profesi Kebidanan, Citra Pustaka, Yogyakarta,2010, hlm:33
sesuai program pemerintah, pemberian konseling dan penyuluhan anak. Dalam
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, bidan memberikan penyuluhan dan
konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Bidan dalam
menjalankan praktik mandiri harus memenuhi berbagai persyaratan yaitu bidan
harus memiliki tempat praktik, ruangan praktik, dan peralatan untuk tindakan
asuhan kebidanan, serta pelayanan yang menunjang pelayanan kesehatan bayi,
anak balita dan prasekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan yang sehat,
menyediakan maksimal 2 (dua) tempat tidur persalinan, dan memliki sarana serta
peralatan dan obat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melakukan
tugasnya, bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan
pelayanan yang diberikan ke Puskesmas wilayah tempatnya melakukan praktik,
kecuali bagi bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Penjelasan yang termuat di atas merupakan uraian dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan. Dijelaskan dalam PerMenKes Nomor
1464/MENKES/PER/2010 bahwa yang dimaksud dengan bidan adalah seorang
perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah terigistrasi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Hak dan Kewajiban Tenaga Kebidanan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pada
Pasal 9, 10, 11, 12, 13, 18, dan 20 bahwa seorang bidan berkewajiban :
1.
menyelenggarakan suatu upaya kesehatan dan memberikan pelayanan
kesehatan kepada ibu dan anak serta pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan.
2.
Bidan wajib memberikan pelayanan kesehatan pada ibu pada masa pra hamil,
kehamilan, masa nifas, masa menyusui, dan masa antara kedua kehamilan.
3.
Bidan dalam memberikan pelayanan berwenang untuk episiotomi, penjahitan
luka jalan lahir tingkat I dan II, penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan
dengan perujukan, pemberian tablet Fe pada ibu hamil, pemberian Vitamin A,
bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi ASI ekslusif, pemberian
uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum, penyuluhan
dan konseling, bimbingan pada kelompok ibu hamil, pemberian surat
keterangan kematian, pemberian surat keterangan cuti bersalin.
4.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada anak, bidan berwenang untuk
memberi pelayanan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra
sekolah.
5.
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
yang
menyatakan
bidan
berwenang
untuk
melakukan asuhan bayi baru
lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu
dini, injeksi vitamin K
1,
perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hr), perawatan tali
pusat, penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk,
penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan rujukan, pemberian
imunisasi rutin sesuai program pemerintah, pemantauan tumbuh kembang
bayi, anak balita dan anak pra-sekolah, pemberian surat keterangan kelahiran
dan pemberian surat kematian
6.
Bidan juga berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana serta memberikan alat kontrasepsi oral
dan kondom.
7.
Bidan yang menjalankan program pemerintah berwenang melakukan
pelayanan kesehatan meliputi
pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat
kotrasepsi dalam rahim,dan alat kontrasepsi bawah kulit dan asuhan antenatal
terintergasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan
dibawah supervisi dokter, penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai
pedoman yang ditetapkan, melakukan pembinaan peran serta masyarakat di
bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, penyeha
tan lingkungan pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak
prasekolah, dan anak sekolah, melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas,
melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual ( IMS ) termasuk pemberian kondom
dan
penyakit lainnya, pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotoprika, Zat
Adiktif
lainnya
(NAPZA)
melalui
informasi
dan
edukasi,
pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.
8.
Bidan juga berkewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan
informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan,
merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan
tepat waktu, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan, menyimpan
rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara
sistematis, mematuhi standar, dan melakukan pencatatan dan pelaporan
penyelenggaraan praktik kebidanan. Bidan senantiasa meningkatkan mutu
pelayanan profesi dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidan tugasnya,
bidan dalam menjalankan praktik kebidanan harus membantu program
pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
9.
Bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan
yang diberikan.
Bidan mempunyai hak dalam menjalankan praktik atau kerjanya berdasarkan
PerMenKes Nomor 1464/MENKES/PER/2010 Pasal 19, antara lain:
1.
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik atau kerja
sepanjang sesuai standar.
2.
Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien atau keluarganya.
3.
Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar.
4.
Menerima imbalan jasa profesi.
Berdasarkan uraian di atas bahwa kewajiban bidan terhadap pasiennya adalah
menghormati dan memberi informasi. Menghormati berarti pasien dianggap
sebagai subyek hukum dalam pelayanan kesehatan. Dengan kata lain pasien harus
diakui hak pribadinya sebagai seorang manusia yang mempunyai masalah dalam
kesehatannya atau kondisi tubuhnya. Pemberian informasi oleh bidan juga
merupakan hak dasar dari pasien dan tanpa dimintakan oleh pasien atau
keluarganya bidan harus memberikan sejumlah informasi mengenai tindakan yang
akan dilakukan. Dengan demikian dalam melakukan tindakan, bidan terlebih
dahulu harus mengadakan komunikasi dengan pasien atau keluarganya.
Komunikasi adalah kata kunci dalam setiap pelayanan kesehatan.
D.
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.
191.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
Normatif-Empiris. Penelitian Hukum Normatif-Empiris adalah penelitian hukum
mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi,
undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat.
202.
Tipe Penelitian
19
Sarjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers. Jakarta. 1990. hlm:1
20
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004,hlm:134
Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mengambarkan secara rinci, jelas dan sistematis mengenai mekanisme tanggung
jawab pemberian Informed Consent oleh tenaga kebidanan.
3.
Pendekatan Masalah
Pendekatan Masalah pada penelitian ini adalah pendekatan normatif-terapan.
Dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a.
Mengidentifikasi pokok bahasan, subpokok bahasan berdasarkan rumusan
masalah;
b.
Atas dasar setiap subpokok bahasan yang sudah teridentifikasi tersebut,
diinventarisasi pula ketentuan-ketentuan hukum normatif yang menjadi tolak
ukur terapan.
c.
Implementasi tolak ukur terapan tersebut pada peristiwa hukum pemberian
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah.
d.
Hasil Implementasi, yaitu kesesuaian pemberian saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintah terhadap Peraturan Perundang-undangan
mengenai Tenaga Kesehatan khususnya Tenaga Kebidanan dalam
memberikan Informed Consent.
4.
Data dan Sumber Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.
21Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas
21