• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENULIS BERBASIS NILAI-NILAI KARAKTER ISLAM UNTUK MTs

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENULIS BERBASIS NILAI-NILAI KARAKTER ISLAM UNTUK MTs"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 1 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENULIS BERBASIS

NILAI-NILAI KARAKTER ISLAM UNTUK MTs Oleh

Mujiyono Edi Suyanto Siti Samhati

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

e-mail: mujiono_2001@yahoo.com

085279984000 Abstract

This study aims to produce teaching writing materials based on Islamic values character to grade VIII students of MTs Hasanuddin, Bandar Lampung in the first semester.This study uses a model of Research and Development Research (RDR) with three main stages. The results of testing the effectiveness of the product in MTs Hasanudin Bandar Lampung showed enhanching the quality of learning outcomes, the quality of learning, and the cultivation of Islamic values character. The comparison of the average pretest and posttest scores showed obvious improvement, index gain analysis showed medium gain category, and through T-test with SPSS 7.0 resulted in a significant difference.The findings of this study are useful for teachers, students and MTs Hasanuddin as a material consideration in the preparation of the next curriculum.

Keywords: islamic values character, teaching materials, writing. Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk bahan ajar menulis berbasis nilai-nilai karakter Islam untuk MTs Hasanuddin Bandarlampung Kelas VIII Semester Ganjil. Penelitian ini menggunakan model Research and Development Research (RDR) dengan tiga tahapan utama. Hasil uji efektivitas produk di MTs Hasanuddin Bandarlampung menunjukkan peningkatkan kualitas hasil belajar, kualitas pembelajaran, dan penanaman nilai-nilai karakter Islam. Perbandingan rata-rata skor pretest dan posttest tampak nyata menunjukkan peningkatan, analisis indeks gain menunjukkan kategori sedang, dan melalui T-Test dengan SPSS 7.0 menghasilkan perbedaan yang signifikan. Temuan dalam penelitian ini berguna bagi guru, siswa, dan MTs Hasanuddin sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kurikulum selanjutnya.

(2)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 2 PENDAHULUAN

Kurikulum Tingkat Satuan Pendi-dikan

(KTSP) memberikan keleluasaan di

masing-masing satuan pendidikan atau sekolah untuk mengembangkan kurikum sesuai sesuai dengan kondisi lingkungan, karakteristik siswa, dan sekolah/madrasah. Guru, sebagai pemegang peranan penting dalam pembelajaran, diberikan keleluasaan bukan saja untuk memilah dan memilih, tetapi juga merancang dan menentukan sendiri bahan ajar yang sesuai dengan kultur tempat ia mengajar.

Kurikukum MTs Hasanuddin dikembangkan sesuai dengan karakteristik madrasah pada umumnya, yaitu adanya penanaman nilai-nilai karakter akhlak mulia dalam ajaran Islam. Pembelajaran pada setiap mata pelajaran mempunyai potensi untuk memberikan penanaman

pemahaman siswa dalam

mengembangakan nilai-nilai karakter. Buku-buku bahasa Indonesia dan buku umum lainnya yang ada di perpus-takaan MTs Hasanuddin Bandarlampung selama ini, meskipun telah memenuhi sejumlah kriteria kelayakan buku ajar, yaitu kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika, akan tetapi materinya masih belum secara memadai mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada umumnya dan nilaia-nilai karakter Islam khususnya. Apabila guru-guru pada pelajaran umum di MTs Hasanuddin, khususnya guru bahasa Indonesia sekedar mengikuti atau melaksanakan pembelajaran dengan berpatokan pada kegiatan-kegiatan pembelajaran pada buku-buku tersebut, pengintegrasian nilai-nilai karakter belum berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia berupa buku ajar berbasis nilai-nilai karakter Islam perlu sekali dilakukan untuk mendukung KTSP MTs Hasanuddin Bandarlampung.

Rendahnya kemampuan menulis disebabkan siswa merasa kesulitan untuk

menulis. Adapun, faktor penyebabnya antara lain, rendahnya motivasi siswa pada pembelajaran menulis, terutama menulis laporan. Rendahnya motivasi ini disebabkan oleh penggunaan bahan ajar yang kurang menarik dan kontekstual. Selain itu, pemilihan pendekan pembelajaran yang kurang tepat sehingga siswa tidak diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri dan melakukan observasi secara langsung terhadap suatu objek sebagai sumber pengamatan. Oleh sebab itu, perlu adanya bahan ajar menulis berbasis nilai-nilai karakter Islam yang disesuaikan dengan pendekatan kontekstual untuk siswa MTs Hasanuddin Bandarlampung.

Berdasarkan uraian di atas, pengembangan bahan ajar menulis berbasis nilai-nilai Islam sangat diperlukan untuk mendukung tercapainya tujuan kurikulum MTs Hasanuddin Bandarlampung. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengembangkan bahan ajar Bahasa Indonesia khususnya aspeks menulis untuk MTs Hasanuddin Bandarlampung dengan mengitegrasikan nilai-nilai Islam dengan judul “Pengembangan Bahan Ajar Menulis Berbasis Nilai-nilai Islam untuk MTs Hasanuddin Bandarlampung Kelas VIII Semester I”.

Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terpe-rinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Depdiknas 2006: 4).

Depdiknas (2008:145--149) memberikan pengertian beberapa definisi bahan ajar sebagai berikut.

a. Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/ instruk-tur

(3)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 3 untuk perencanaan dan penelaahan

implementasi pembelajaran.

b. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.

c. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. d. Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memung-kinkan siswa untuk belajar.

Bahan ajar berbeda dengan buku teks. Dalam hal ini, Depdiknas (2008: 151) memberikan definisi bahwa bahan ajar merupakan bahan atau materi pembe-lajaran yang disusun secara sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam KBM, sedangkan buku teks merupakan sumber informasi yang disusun dengan struktur dan urutan berdasar bidang ilmu tertentu.

Fungsi bahan ajar setidaknya dapat ditinjau dari pembelajar, pebelajar, dan evaluasi. Fungsi ini mengacu pada pendapat Sulistyowati (2009) berikut ini. Penggunaan bahan ajar berfungsi sebagai (1) pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupa-kan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa, (2) pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembela-jaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/ di-kuasainya, dan (3) alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.

Departemen Pendidikan Nasional (2008: 145-162) memberikan cakupan bahan ajar, meliputi (1) judul, (2) materi pembelajaran, (3) standar kompetensi, (4) kompetensi dasar, (5) indikator, (6) petunjuk belajar, (7) tujuan yang dicapai, (8) informasi pendukung, (9) latihan, (10) petunjuk kerja, dan (11) penilaian”.

Mbulu (2004: 88) menyatakan bahwa penyusunan bahan ajar harus memuat (1) teori, istilah, persamaan, (2) contoh soal dan contoh praktik, (3) tugas-tugas latihan, pertanyaan, dan soal-soal latihan, (4) jawaban dan penyelesaian tugas-tugas itu, (5) penjelasan mengenai sasaran belajar, contoh ujian, (6) petunjuk tentang bahan yang dianggap diketahui, (7) sumber pustaka, dan (8) petunjuk belajar. Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa komponen bahan ajar terdiri atas “(1) petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru), (2) kompetensi yang akan dicapai, (3) content atau isi materi pembelajaran, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, (6) petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja, (7) evaluasi, dan (8) respon atau balikan terhadap hasil evaluasi. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa komponen bahan ajar terdiri atas (1) identitas mata pelajaran, meliputi judul, materi, kompetensi, indikator, tujuan (2) petunjuk belajar, meli-puti petunjuk untuk siswa dan guru, (3) isi materi pembelajaran, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, lembar kerja, (6) penilaian, (7) respon/balikan/ refleksi.

Pemilihan materi ajar, dalam hal ini wacana, harus memperhatikan landasan konseptual dan oprasional. Berikut adalah kreteria wacana yang terpilih.

1) Sesuai dengan tujuan

pembelajaran, yaitu apabila wacana sesuai dengan tujuan pembelajaran, wacana itu berarti sesuai dengan SK dan KD, sesuai dengan tujuan Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, sesuai juga dengan Tujuan Pendidkan Nasional.

2) Relevan dengan kebutuhan siswa, yaitu relevas dengan kebutuhan siswa baik sekarang maupun pada masa yang akan datang setelah mereka hidup di masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendekatan life skill.

a. Kontekstual, yaitu materi atau wacana yang kontekstual adalah wacana

(4)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 4 yang dekat dengan lingkungan siswa.

Wacana yang dipilih harus wacana yang berpijak pada kehidupan siswa,

b. Sesuai dengan tingkat siswa, yaitu materi yang dipilih harus sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, usia siswa, psikologi siswa, dan tingkat sosial siswa. Hal ini tentu saja sesuai dengan tingkat kesulitan materi ajar.

c. Menarik, yaitu materi ajar herus mampu menarik minat siswa karena memang disukai oleh siswa. Materi yang menarik didasari oleh kebutuhan siswa, kehidupan siswa, dan bahasa yang sederhana.

d. Praktis, yaitu memiliki kemudahan dan ketepatan ketika digunakan dalam proses pembelajaran. Materi ajar jangan sampai jadi penghalang untuk pencapaian

tujuan pembelajaran. Jangan

menggunakan materi ajar semen-tara media ajarnya sulit didapat.

e. Menantang, yaitu materi ajar yang diberikan dalam pembelajaran harus menjadikan masyarakat belajar, dalam hal ini siswa dan guru, penasaran untuk belajar lebih dalam dan luas.

f. Kaya aksi, yaitu materi ajar harus mampu mendorong dan memberi ruang kepada siswa untuk menunjukkan atau mengaplikasikan kemahiran berbahasa. (Depdiknas, 2008).

Dengan merujuk UNESCO,

Depdiknas (2007) merumuskan syarat bahan ajar yang baik. Syarat-syarat bahan ajar atau buku teks yang berkualitas diuraikan melalui kutipan berikut. Syarat-syarat bahan ajar atau buku teks yang berkualitas adalah (1) bahan ajar memiliki peran penting untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan berkualitas tinggi, (2) bahan ajar merupakan produk dari proses yang lebih besar dari pengembangan kurikulum, (3) isi bahan ajar memasukkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, mengintegrasikan proses pedagogis yang mengajarkan secara damai terhadap penyelesaian konflik, kesetaraan

gender, nondiskriminasi, praktik-praktik dan sikap-sikap lain yang selaras dengan kebu-tuhan untuk belajar hidup bersama, (4) bahan ajar memfasilitasi pembelajaran untuk mendapatkan hasil-hasil spesifik yang dapat diukur dengan memperhatikan berbagai perspektif, gaya pembelajaran, dan modalitas berbeda (pengetahuan, keterampilan, dan sikap), (5) memperhitungkan level konseptual, lingkungan linguistik, latar belakang dan kebutuhan pebelajar di dalam membentuk isi dan mendesain model pembelajaran, (6) bahan ajar memfasilitasi pembelajaran yang dapat mendorong partisipasi dan pengalaman secara merata dan setara oleh semua pebelajar yang terlibat dalam proses pembelajaran, dan (7) bahan ajar dapat dijangkau dari sisi biaya, memiliki daya tahan lama, dan dapat diakses oleh semua pebelajar.

Pengembangan materi ajar bahasa dan sastra Indonesia merupakan salah satu kegiatan implementasi kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendi-dikan Nasional). Kurikulum merupakan salah satu elemen penting dalam pembelajaran. Namun sehebat apapun kurikulum, kalau gurunya tidak

mampu mengembangkan dan

menjabarkan kurikulum tersebut, pengajaran tidak akan berhasil. Jadi cukup penting penjabaran kurikulum dilakukan oleh guru. Dalam rangka implementasi kurikulum, guru berperan penting sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum. Sebab, tidak akan bermanfaat kurikulum kalau tidak diimplementasikan di dalam kelas.

Salah satu implementasi kurikulum adalah pengembangan materi ajar. Sesuai dengan pengertian di atas

(5)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 5 kurikulum merupakan seperangkat

rencana dan penga-turan mengenai isi dan bahan pembelajaran. Materi ajar dalam kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat dalam Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006. Dalam standar isi terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK dan KD). SK dan

KD merupakan pondasi untuk

mengembangkan bahan ajar atau materi ajar. SK dan KD merupakan batasan bahan ajar yang dijadikan sebagai bahan kajian bagi siswa belajar. SK dan KD yang sifatnya masih umum harus dikembangkan menjadi bahan ajar yang sesuai dengan indikator yang sudah kita tentukan. Hal ini dilakukan melalui tahapan pemetaan, analisis SK dan KD, pembuatan silabus dan RPP.

Menulis berarti menyampaikan pikiran, perasaan, atau pertimbangan melalui tulisan. Alatnya adalah bahasa yang terdiri atas kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Pikiran yang disampaikan kepada orang lain harus dinya-takan dengan kata yang mendukung makna secara tepat dan sesuai dengan apa yang ingin dinyatakan. Kata-kata itu harus disusun secara teratur dalam klausa dan kalimat agar orang dapat menangkap apa yang ingin disampaikan itu. Makin teratur bahasa yang digunakan, makin mudah orang menangkap pikiran yang disalurkan melalui bahasa itu. Oleh karena itu, keterampilan menulis di sekolah sangatlah penting.

Menurut Akhadiah dkk (1998: 1– 3) menulis adalah suatu aktivitas bahasa yang menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Tulisan itu sendiri atas rangkaian huruf yang bermakna dengan segala kelengkapan lambang tulisan seperti ejaan dan pungtuasi. Sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal (bahasa), menulis juga dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan tulisan sebagai mediumnya.

Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Adapun tulisan merupakan sebuah sistem

komunikasi antarmanusia yang

menggunakan simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya. Di dalam komunikasi tertulis terdapat empat unsur yang terlibat. Keempat unsur itu adalah (1) penulis sebagai penyampai pesan, (2) pesan atu isi tulisan, (3) saluran atau medium tulisan, dan (4) pembaca sebagai penerima pesan. Menulis pada hakikatnya adalah suatu proses berpikir yang teratur, sehingga apa yang ditulis mudah dipahami pembaca. Sebuah tulisan dikatakan baik apabila memiliki ciri-ciri, antara lain bermakna, jelas, bulat dan utuh, ekonomis, dan memenuhi kaidah gramatika.

Kemampuan menulis adalah kemampuan seseorang untuk menuangkan buah pikiran, ide, gagasan, dengan mempergunakan rangkaian bahasa tulis yang baik dan benar. Kemampuan menulis seseorang akan menjadi baik apabila dia juga memiliki: (a) kemampuan untuk menemukan masalah yang akan ditulis, (b) kepekaan terhadap kondisi pembaca, (c) kemampuan menyusun perencanaan penelitian, (d) kemampuan menggunakan bahasa indonesia, (e) kemampuan memuali menulis, dan (f) kemampuan memeriksa karangan sendiri. Kemampuan tersebut akan berkembang apabila ditunjang dengan kegaiatan membaca dan kekayaan kosakata yang dimilikinya. Suatu tulisan pada dasarnya terdiri atas dua hal. Pertama, isi suatu tulisan menyampaikan sesuatu yang inggin diungkapkan penulisnya. Kedua, bentuk yang merupakan unsur mekanik karangan seperti ejaan, pungtuasi, kata, kalimat, dan alenia (Akhadiah, 1997: 13).

Graves (dalam Akhadiah dkk., 1998: 1–4) berkaitan dengan manfaat menulis mengemukakan bahwa: (1) menulis menyumbang kecerdasan, (2) menulis mengembangkan daya inisiatif dan

(6)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 6 kreativitas, (3) menulis menumbuhkan

keberanian, dan (4) menulis mendorong kemauan dan kemampuan mengumpul-kan informasi.

a. Menulis mengasah kecerdasan Menulis adalah suatu aktivitas yang kompleks. Kompleksitas menulis terletak

pada tuntutan kemampuan

mengharmonikan berbagai aspek. Aspek-aspek itu meli-puti (1) pengetahuan tentang topik yang akan dituliskan, (2) penuangan pengetahuan itu ke dalam racikan bahasa yang jernih, yang disesuaikan dengan corak wacana dan kemampuan pembacanya, dan (3) penyajiannya selaras dengan konvensi atau aturan penulisan. Untuk sampai pada kesang-gupan seperti itu, seseorang perlu memiliki kekayaan dan keluwesan peng-ungkapan, kemampuan mengendalikan emosi, serat menata dan mengem-bangkan daya nalarnya dalam berbagai level berfikir, dari tingkat mengingat sampai evaluasi.

b. Menulis mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas

Dalam menulis, seseorang mesti menyiapkan dan mensuplai sendiri segala sesuatunya. Segala sesuatu itu adalah (1) unsur mekanik tulisan yang benar seperti pungtuasi, ejaan, diksi, pengalimatan, dan pewacanaan, (2) bahasa topik, dan (3) pertanyaan dan jawaban yang harus diajukan dan dipuaskannya sendiri. Agar hasilnya enak dibaca, maka apa yang dituliskan harus ditata dengan runtut, jelas dan menarik.

c. Menulis menumbuhkan keberanian Ketika menulis, seorang penulis harus berani menampilkan kediriannya, ter-masuk pemikiran, perasaan, dan gayanya, serta menawarkannya kepada publik. Konsekuensinya, dia harus siap dan mau melihat dengan jernih penilaian dan tanggapan apa pun dari pembacanya, baik yang bersifat positif ataupun negatif. d. Menulis mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.

Seseorang menulis karena mempunyai ide, gagasan, pendapat, atau sesuatu hal yang menurutnya perlu disampaikan dan diketahui orang lain. Tetapi, apa yang disampaikannya itu tidak selalu dimilikinya saat itu. Padahal, tak akan dapat menyampaikan banyak hal dengan memuaskan tanpa memiliki wawas-an atau pengetahuan yang memadai tentang apa yang akan dituliskannya. Kecuali, kalau memang apa yang disampaikannya hanya sekedarnya.

Keterampiln menulis adalah hasil dari keterampilan mendengar, berbicara, membaca. Menurut Pirera dan Tasai (1995:27) mengemukakan prinsip prinsip menulis adalah: (1) menulis tidak da-pat dipisahkan dari membaca. Pada jenjang pendidikan dasar pembelajaran menulis dan membaca terjadi secara serempak, (2)

pembelajaran menulis adalah

pembelajaran disiplin berpikir dan disiplin berbahasa, (3) pembe-lajaran menulis adalah pembelajaran tata tulis atau ejaan dan tanda baca bahasa Indonesia, dan (4) pembelajaran menulis berlangsung secara berjenjang bermula dari menyalin sampai dengan menulis ilmiah.

Berdasarkan perinsip-prinsip pembelajaran menulis tersebut, maka alternatif pembelajaran menulis adalah sebagai berikut: (1) menyalin, (2) menyadur, (3) membuat ikhtisar, (4) menulis laporan, (5) menyusun pertanyaan angket dan wawancara, (6) membuat catatan, (7) menulis notulen, (8) menulis hasil seminar, pidato, dan laporan, (9) menulis surat yang berupa: ucapan selamat, undangan, pribadi, dinas, perjanjian, kuasa, dagang, pengaduan, perintah, pembaca, memo, dan kawat (telegram), (10) menulis poster dan iklan, (11) menulis berita, (12) melanjutkan tulisan, (13) mengubah, memperbaiki, dan menyempurnakan , (14) mengisi formulir yang terdiri dari: wesel dan cek, (15) menulis kuitansi, (16) menulis riwayat hidup, (17) menulis lamaran kerja, (18)

(7)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 7 menulis memorandum, (19) menulis

proposal/usul penelitian, (20) menulis rancangan kegiatan, (21) menulis pidato/sambutan, (22) menulis naskah, (23) menyusun formulir, (24) membentuk bagan, denah, grafik, dan tabel, dan (25) menulis karya ilmiah.

Pengetahuan tentang aspek-aspek penting dalam menulis perlu dikuasai pula oleh siswa. Sebab dengan penguasaan itu siswa dapat mengetahui kekurangan dan kesalahan suatu karangan. Badudu (1992: 17) mengemukakan yang perlu diper-hatikan dalam menulis, yaitu (1) menggunakan kata dalam kalimat secara tepat makna, (2) menggunakan kata dengan bentuk yang tepat, (3) menggunakan kata dalam distribusi yang tepat, (4) merangkaikan kata dalam frasa secara tepat, (5) menyusun klausa atau kalimat dengan susunan yang tepat, (6) merangkaikan kalimat dalam kesatuan yang lebih besar (paragraf) secara tepat dan baik, (7) menyusun wacana dari paragraf-paragraf dengan baik, (8) membuat karangan (wacana) dengan corak tertentu, deskripsi, narasi, eksposisi, persuasi, argumentasi, (9) membuat surat (macam-macam surat), (10) menyadur tulisan (puisi menjadi prosa), (11) membuat laporan (penelitian, pengalaman, dan sesuatu yang disaksikan), (12) mengalihkan kalimat (aktif menjadi pasif dan sebaliknya, kalimat langsung menjadi kalimat tak langsung), (13) mengubah wacana (wacana percakapan menjadi wacana cerita atau sebaliknya).

Pelajaran menulis atau mengarang menurut Moeljono (1976: 89) dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (1) menulis surat, (2) menulis cerita non fiksi, (3) menulis cerita fiksi, (4) menulis lukisan keadaan, (5) menulis berita aktual, (6) mengarang puisi, (7) menulis esai, dan (8) menulis naskah drama.

Salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran keterampilan menulis yang tepat adalah pendekatan kontekstual.

Pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang sering disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran berbasis kompetensi yang dapat digunakan untuk mengefektifkan dan menyukseskan implementasi kurikulum. Dalam implementasinya, tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru, tetapi hal itu merupa-kan tanggung jawab bersama antara kepala sekolah, pengawas sekolah, bahkan komite sekolah. Dalam Kurikulum Bahasa Indonesia diharapkan siswa dapat berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan secara lancar dan akurat sesuai dengan konteks sosialnya. Bahasa terjadi dan hidup dalam konteks yang dapat berupa apa saja yang mempengaruhi, menentukan, dan terkait dengan pilihan-pilihan bahasa seseorang ketika menciptakan dan menafsirkan teks.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia terdapat empat keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ber-bahasa tersebut penyusunan bahan ajar didasarkan pada Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Dalam KTSP tersebut, siswa diharapkan dapat

menerapkan pengetahuan dan

keterampilan berbahasa, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Siswa belajar untuk meme-cahkan masalah yang mereka hadapi dengan berbahasa secara aktif, menghu-bungkan apa yang diperoleh di kelas dengan dunia nyata.

Konsep CTL dalam pembelajaran bahasa Indonesia menekankan kreativitas siswa, pembelajaran di dalam kelas bernuansa kontekstual, dan guru lebih banyak terlibat dalam strategi daripada memberikan informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama dengan siswanya untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Guru harus dapat mengatasi rasa bosan pada diri siswa dan

(8)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 8 membangkitkan kembali motivasi belajar

mereka. Media dapat juga dijadikan sebagai alat agar siswa lebih mengerti atau memahami materi yang disampaikan, meningkatkan aktivitas, dan mengundang interaksi siswa dalam pembelajaran.

Kegiatan pembelajaran menulis di dalam kelas dilaksanakan untuk pencapaian sasaran pembelajaran itu sendiri. Kegiatan ini dibagi atas: classical

activities, pair work, group activities.

Semua jenis kegiatan ini dilaksanakan, baik untuk pengenalan materi baru maupun untuk latihan menulis laporan. Untuk memulai pembelajaran dengan jenis classical activities, guru memberikan tugas kepada siswa menemukan pokok pikiran dalam suatu karangan, menyusun sebuah paragraf, dan sebagainya. Pada kegiatan pair work dan group activities, siswa bekerja berpasangan atau berkelompok untuk mendiskusikan topik masalah yang akan dilaporkan. Pada classroom activities, siswa diberi latihan menulis. Latihan menulis laporan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar mereka mampu menerapkan keterampilan menulis laporan dalam konteks nyata. Latihan-latihan itu terdiri atas pelaksanaan observasi, mencari bahan rujukan di media masa maupun elektronik, dan sebaginya. Dengan demikian, diharapkan siswa dapat melakukan kegiatan interaksi dan komunikasi dalam proses pembelajaran yang melibatkan empat keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Adapaun pelaksanaan pembela-jaran menulis berbasis kontekstual sebagai berikut.

Pembelajaran menulis berbasis pendekatan kontekstual memungkinkan siswa untuk menguatkan dan menerapkan keterampilan yang mereka peroleh dari berbagai mata pelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Siswa dilatih untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam suatu situasi. Bila

CTL diterapkan dengan benar, diharapkan siswa akan terlatih untuk dapat menghubungkan apa yang diperoleh di kelas dengan kehidupan nyata yang dialami yang ada di lingkungannya. Tugas guru sebagai fasilitator memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa sehingga pembelajaran keterampilan menulis berbasis kontekstual dapat diterapkan dengan benar agar siswa dapat belajar lebih efektif. Dalam hal ini tugas guru adalah membantu mencapai tujuan pembelajaran.

Dalam proses pembelajaran dengan pendektan CTL, siswa dilatih membangun sendiri pengetahuan mereka dalam keterlibatan aktif dalam proses belajar meng-ajar. Pada pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia, terdapat tujuh komponen CTL yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar, yaitu: (1) konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat bela-jar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).

Pembelajaran menulis berbasis kontekstual memiliki berbagai keunggulan di antaranya: (1) siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis terhadap materi pramenulis laporan dan menulis laporan, (2) siswa penuh dengan aktivitas dan antusias untuk menemukan tema, (3) siswa berani mengajukan pertanyaan dan informasi atau hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, (4) siswa terlatih untuk belajar ’sharing ideas’ saling berbagi pengetahuan dan berkomunikasi, (5) siswa dapat memberikan contoh melaku-kan pengamatan terhadap suatu objek di lingkungan sekolah secara giat, serius, dan antusias untuk memperoleh data seoptimal mungkin, (6) refleksi yang dilakukan, baik selama pembelajaran berlangsung maupun dalam setiap akhir pembelajaran berlangsung, (7) penilaian

(9)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 9 menekankan pada proses dan hasil

pembelajaran, seperti: presentasi atau penampilan siswa selama: berdiskusi,

melakukan observasi,

mendemonstrasikan, dan hasil menulis laporan; selain itu, setiap siswa melakukan penilaian terhadap laporan yang yang ditulis oleh temannya

Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah

1. Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran.

2. Pendidikan karakter juga

diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik.

3. Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).

Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung

bersentuhan dengan aktivitas

pembelajaran sehari-hari adalah pengintegrasian pendidikan karakter

dalam proses pembelajaran.

Pengintegrasian pendidikan karakter melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu model yang banyak diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pendidik karakter (character educator). Semua mata pelajaran juga disasumsikan memiliki misi dalam membentuk karakter mulia para peserta didik (Mulyasa, 2011:

59). Di samping model ini, ada juga model lain dalam pendidikan karakter di sekolah, seperti model subject matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri, yakni menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajatan tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri mengenai standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, silabus, RPP, bahan ajar, strategi pembelajaran, dan penilaiannya di sekolah. Model ini tidaklah gampang dan akan menambah beban peserta didik yang sudah diberi sekian banyak mata pelajaran. Karena itulah, model integrasi pendidikan karakter dalam mata pelajar-an dinilai lebih efektif dan efisien dibanding dengan model subject matter. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilak-sanakan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan diuraikan lebih detail berikut ini.

Karakter identik dengan akhlak. Dalam perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Ibarat bangunan, karakter/akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang benar. Seorang Muslim yang memiliki aqidah atau iman yang benar pasti akan terwujud pada sikap dan perilaku sehari-hari yang didasari oleh imannya. Sebagai contoh,orang yang memiliki iman yang benar kepada Allah ia akan selalu mengikuti seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-larangan-Nya. Dengan demikian, ia akan selalu berbuat yang baik dan menjauhi hal-hal yang dilarang (buruk). Iman kepada yang lain (malaikat, kitab, dan seterusnya) akan

(10)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 10 menjadikan sikap dan perilakunya terarah

dan terkendali, sehingga akan mewujudkan akhlak atau karakter mulia. Hal yang sama juga terjadi dalam hal pelaksanaan syariah. Semua ketentuan syariah Islam bermuara pada terwujudnya akhlak atau karakter mulia. Seorang yang melaksanakan shalat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya, pastilah akan memba-wanya untuk selalu berbuat yang benar dan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini dipertegas Allah dalam al-Quran (QS. Al-Ankabut [29]: 45).

Telah dituliskan sebelumnya, bahwa secara umum nilai-nilai karakter atau akhlak Islam dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia (al-akhlaq mahmudah/karimah) dan akhlak tercela (akhlaq al-madzmumah/qabihah). Akhlak mulia adalah yang harus kita terap-kan dalam kehidupan sehari-hari, sedang akhlak tercela adalah akhlak yang harus kita jauhi jangan sampai kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dilihat dari ruang lingkupnya akhlak Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluq (selain Allah). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati.

Akhlak Terhadap Allah Swt, meliputi taqwa, takut, memohon, cinta, berzikir, bersyukur, ikhlas, bertawakal, bertaubat, dan berprasangka baik.

Akhlak terhadap sesama manusia, meliputi akhlak terhadap Rasulullah Saw dan diri sendiri. Akhlak terhadap Rasulullah meliputi, melaksanakan ajarannya dan mencitainya. Akhlak terhadap diri seiri meliputi memelihara kesucian lahir batin, disiplin, memelihara kerapihan, bersikap tenang, menambah

ilmu pengetahuan, membina disiplin, dan lain-lain.

Akhlak dalam lingkungan keluarga. Akhlak terhadap keluarga meliputi berbakti kepada kedua orang tua, bergaul dengan ma’ruf, saling mendoakan, bertutur kata lemah lembut, dan membina hubungan baik dengan tetangga atau orang lain.

Setelah selesai membina hubungan dengan tetangga, tentu saja kita bisa memperluas pembinaan akhlak kita dengan orang-orang yang lebih umum dalam kapasitas kita masing-masing. Dalam pergaulan kita di masyarakat bisa saja kita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan mereka, entah sebagai anggota biasa maupun sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, kita perlu menghiasi dengan akhlak yang mulia. Karena itu, pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti berikut: beriman dan bertakwa, berilmu pengetahuan agar urusan ditangani secara professional tidak salah urus (HR. al-Bukhari), memiliki keberanian dan kejujuran, lapang dada, penyantun (QS. Ali ‘Imran (3): 159), serta tekun dan sabar. Dari bekal sikap inilah pemimpin akan dapat melaksanakan tugas

dengan cara mahmudah, yakni

memelihara amanah, adil (QS. al-Nisa’ (4): 58), melayani dan melindungi rakyat, seperti sabda Nabi: “Sebaik-baik pemimpin adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian” (HR. Muslim), bertanggung jawab, membelajarkan rakyat, sabda Nabi: “Hubunganku dengan kalian seperti bapak dengan anak di mana aku mengajari” (HR. Ibnu Majah). Sedangkan kewajiban rakyat adalah patuh (QS. al-Nisa’ (4): 59), memberi nashehat jika ada tanda-tanda penyimpangan, sabda Nabi: “Jihad yang paling mulia adalah perkataan yang benar kepada penguasa yang zhalim” (HR. Abu Daud).

(11)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 11 Lingkungan yang dimaksud adalah segala

sesuatu yang berada di sekitar manusia, yakni binatang, tumbuhan, dan benda mati. Akhlak yang dikembang-kan adalah cerminan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi, yakni untuk menjaga agar setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan fungsi ciptaan-Nya. Dalam al-Quran Surat al-An’am (6): 38 dijelaskan bahwa binatang melata dan burung-burung adalah seperti manusia yang menurut Qurtubi tidak boleh dianiaya (Shihab, 1998: 270). Baik di masa perang apalagi ketika damai akhlak Islam menganjurkan agar tidak ada pengrusakan binatang dan tumbuhan kecuali terpaksa, tetapi sesuai dengan sunnatullah dari tujuan dan fungsi pencip-taan (QS. al-Hasyr (59): 5).

METODE PENGEMBANGAN

Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research Development Research (Borg & Gall, 2003) yang lebih dikenal dengan singkatan RDR. Dari sepuluh tahap model pengembangan dari Borg and Gall, tahap terakhir, yaitu diseminasi/penyebarluasan tidak dilakukan dalam penelitian ini karena berkaitan dengan penerbitan produk dan implementasi produk di lapangan dalam skala luas.

Dalam model RDR terdapat tiga kegiatan, yakni penelitian pendahuluan, pengem-bangan bahan ajar, dan pelaksanaan kegiatan uji efektivitas. Kegiatan uji efek-tivitas produk merupakan hal penting dalam penelitian pengembangan karena tujuan penelitian pengembangan adalah menguji efektivitas produk yang telah berhasil dikembangkan dalam proses pembelajaran secara nyata di lapangan. Penggunaan model RDR sesuai dengan tujuan penelitian ini, yakni mengem-bangkan bahan ajar sekaligus

menguji efektivitas produk

pengembangan.

Prosedur pengembangan produk diwujudkan dalam bentuk tahapan-tahapan. Prosedur pengembangan dalam penelitian ini adalah prosedur dalam model RDR. Dari prosedur dalam model

RDR ini diperoleh prosedur

pengembangan sebagai berikut: (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan produk, dan (3) uji efektivitas produk. Uraian setiap prosedur pengembangan produk sebagai berikut.

Data, Instrumen, Subjek, dan Analisis Data Penelitian

Data penelitian ini dipilah menjadi dua, yakni data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa data deskriptif dan data reflektif. Data deskriptif berupa komentar, kritik, saran, koreksi, dan penilaian yang diberikan oleh praktisi dan ahli/pakar terhadap produk. Data deskriptif juga berupa ujaran (lisan dan tulis) dari guru, siswa, perilaku guru dan siswa, dan sikap guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Data reflektif berupa komentar dan interpretasi atau tafsiran atas data deskriptif tersebut oleh peneliti. Di sisi lain, data kuantitatif adalah skor tes awal dan tes akhir kemampuan menulis siswa yang diperoleh dari pelaksanaan uji efektivitas produk.

Sumber data penelitian ini adalah praktisi (teman sejawat), ahli/pakar, siswa, dan proses pembelajaran aspek menulis.

(12)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 12 Data dari teman sejawat dan ahli berupa

komentar, kritik, saran, koreksi, dan penilaian terhadap produk bahan ajar menulis berbasis nilai-nilai karakter Islam. Data dari siswa berupa ujaran (lisan dan tulis), perilaku, sikap siswa dalam proses pembelajaran, dan skor pretest dan postest. Data dari proses pembelajaran dengan bahan ajar menulis berbasis nilai-nilai Islam (uji efektivitas) berupa pola interaksi dan sikap siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan materi, partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, keterlibatan siswa dalam penilaian dan refleksi pembelajaran.

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Dalam melak-sanakan tugas peneliti dibantu dengan instrumen berupa (a) panduan observasi, (b) panduan wawancara, dan (c) angket. Panduan observasi digunakan untuk melakukan observasi terhadap proses pembelajaran yang dijalankan oleh guru bersama siswa. Panduan wawancara dimanfaatkan untuk mendapatkan tanggapan secara lisan dari guru dan siswa setelah pelaksanaan pembelajaran. Terakhir, angket dimanfaatkan untuk penilaian bahan ajar, pembelajaran, dan produk pengembangan oleh siswa dan ahli/pakar.

Subjek dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan tiga tahap pokok penelitian, yaitu subjek penelitian pada tahap studi pendahuluan, tahap pengembangan model, dan tahap implementasi. Secara lebih jelas, subjek penelitian ini dapat kita cermati pada table berikut ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memiliki data hasil tes awal dan tes akhir siswa kelas X SMA Negeri 1 Waylima dengan kelas X1 sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas X2 sebagai kelas kontrol. 1. Nilai Kemampuan Awal Menulis Paragraf Argumentasi Kelas Eksperimen

Nilai kemampuan awal menulis paragraf argumentasi kelas eksperimen, dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Hasil Tes Awal Siswa Kelas Eksperimen.

No Kelas Interval F % 1 20 – 29 2 6,25 2 30 – 39 2 6,25 3 40 – 49 7 21,88 4 50 – 59 8 25 5 60 – 69 5 15,63 6 70 - 80 8 25 Jumlah 32 100 Rata-rata 53,91 Standar Deviasi 15,54

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa frekuensi terbanyak terdapat pada kelas interval 50–59 dan 70-80 dengan jumlah frekuensi masing-masing 8 siswa (25%),

(13)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 13 frekuensi terkecil pada kelas interval 20–

29 dan 30–39 dengan frekuensi masing-masing 2 siswa (6,25%). Nilai rata-rata sebesar 53,91 dengan standar deviasi 15,54.

2. Nilai Kemampuan Akhir Menulis Paragraf Argumentasi Kelas Eksperimen

Nilai kemampuan akhir menulis paragraf argumentasi kelas eksperimen, dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Hasil Tes Akhir Siswa dari Kelas Eksperimen

No Kelas Interval F % 1 50 – 57 5 15,63 2 58 – 65 5 15,63 3 66 – 73 8 25 4 74 – 81 7 21,88 5 82 – 89 3 9,38 6 90 – 95 4 12,5 Jumlah 32 100 Rata-rata 71,41 Standar Deviasi 13,33

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi terbanyak terdapat pada kelas interval 66–73 dengan jumlah frekuensi 8 siswa (25%), frekuensi terkecil pada kelas interval 82–89 dengan frekuensi 3 siswa (9,38%), dan nilai rata-rata sebesar 71,41 dengan standar deviasi sebesar 13,33.

3. Nilai Kemampuan Awal Menulis Paragraf Argumentasi Kelas Kontrol Nilai kemampuan awal menulis paragraf argumentasi kelas kontrol, data dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Hasil Tes Siswa dari Kelas Kontrol

No Kelas Interval F % 1 20 – 29 2 6,25 2 30 – 39 2 6,25 3 40 – 49 6 18,75 4 50 – 59 8 25 5 60 – 69 6 18,75 6 70 - 80 8 25 Jumlah 32 100 Rata-rata 55,31 Standar Deviasi 15,24

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa frekuensi terbanyak terdapat pada kelas interval 50–59 dan 70-80 dengan jumlah frekuensi masing-masing sebanyak 8 siswa (25%), frekuensi terkecil pada kelas interval 20–29 dan 30–39 dengan frekuensi masing-masing sebanyak 2 siswa (6,25%), dan nilai rata-rata sebesar 55,31 dengan standar deviasi sebesar 15,24.

4. Nilai Kemampuan Akhir Menulis Paragraf Argumentasi Kelas Kontrol

Nilai kemampuan akhir menulis paragraf argumentasi kelas kontrol, data dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Hasil Tes Siswa dari Kelas Kontrol

No Kelas Interval F % 1 40 – 47 4 12,5 2 48 – 55 7 21,88 3 56 – 63 4 12,5 4 64 – 71 6 18,75 5 72 – 79 4 12, 5 6 80 – 85 7 21,88 Jumlah 32 100 Rata-rata 64,22 Standar Deviasi 13,80

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa frekuensi terbanyak terdapat pada kelas interval 48–55 dan 80-85n dengan jumlah frekuensi masing-masing 7 (21,88%), frekuensi terkecil pada kelas interval 40– 47, 56–63 dan 72–79 dengan frekuensi masing-masing 4 (12,5%), dan nilai

(14)

rata-Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 14 rata sebesar 64,22 dengan standar deviasi

13,80.

5. Pengujian Hipotesis

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan menulis paragraf argumentatif siswa dengan menggunakan model Inkuiri dan model konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri I Waylima”. Untuk menjawab hipotesis pertama, dapat diketahui melalui uji-t terhadap hasil pembelajaran pada kelas eksperinen dan kelas kontrol. Hasil uji statistik tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 5. Hasil Uji Statistik Perbedaan Hasil Belajar Siswa di Kelas Eksperimen dan di Kelas Kontrol

Data t-hitung t-tabel df Sig (2-tailed) Kelas

eksp-kontrol

2,899 2,040 31 0,007

Hasil analisis statistik menunjukkan nilai Sig.0,007 < 0,05 dan nilai t hitung > t tabel atau 2,899 > 2. Dari kedua uji analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan menulis paragraf argumentatif siswa dengan menggunakan model Inkuiri dan model konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri I Waylima.

6. Hasil Pengujian Hipotesis Kedua Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah “Model pembelajaran manakah yang lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa menulis paragraf argumentatif”. Untuk menjawab hipotesis ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Perbedaan Rata-rata Hasil Belajar Siswa di Kelas Eksperimen dan di Kelas Kontrol Data Rata- rata N S.deviasi Eksperimen 71,41 32 13,33 Kontrol 64,22 32 13,80

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui kemampuan siswa dalam menulis paragraf argumentasi di kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata sebesar 72,188 dan kelas kontrol memiliki nilai rata-rata sebesar 64,219. Dengan demikian, nilairata-rata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Selain itu, untuk melihat manakah model pembelajaran yang lebih efektif dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 7. Perbandingan Nilai Eksperimen dan Kelas Kontrol

Kelas Jenis Kategori Nilai Jml % Eks. Pre-test Tinggi ≥65 10 31,2 Rendah ≤65 22 68,7 Kon. Tinggi ≥65 12 37,5 Rendah ≤65 20 62,5 Eks. Pos-test Tinggi ≥65 26 81,2 Rendah ≤65 6 18,7 Kon. Tinggi ≥65 17 53,1 Rendah ≤65 15 46,8 Berdasarkan tabel di atas, dapat dibandingkan nilai tes awal dan tes akhir menulis paragraf yang didapat oleh kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada saat tes awal (pretest), dapat dilihat bahwa nilai siswa di kelas eksperimen yang mencapai KKM berjumlah 10 siswa dan setelah diberikan pembelajaran inkuiri kemudian diberi tes akhir (postes) siswa mencapai KKM menjadi 26 siswa sehingga terdapat peningkatan sebanyak 16 siswa. Pada kelas kontrol, ketika diberi tes awal (pretest) siswa yang mencapai KKM berjumlah 12 siswa dan setelah

diberikan model pembelajaran

(15)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 15 (postest) siswa yang mencapai KKM naik

menjadi 17 siswa sehingga terdapat peningkatan 5 siswa. Dengan demikian, dapat dikatakan peningkatan pencapaian KKM di kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol (26 > 5).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan argumentasi penggunaan model pembelajaran inkuiri lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.

B. Pembahasan

1. Perbedaan Kemampuan Menulis Paragraf Argumentasi Kelas X SMA Negeri 1 Waylima antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Perbedaan kemampuan menulis paragraf argumentasi kelas X SMA Negeri 1 Waylima antara kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran inkuiri dan kelas kontrol yang mengunakan model konvensional diketahui dengan rumus uji-t. Hasil uji-t diperoleh nilai sig lebih kecil dari 0,05 (Sig.0,007 < 0,05) dan nilai hitung lebih besar dari t-tabel (2,899 > 2,040 ). Berdasarkan hasil uji-t tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara

kemampuan menulis paragraf

argumentatif di SMA Negeri 1 Waylima kelas eksperimen yang menggunakan model inkuiri dan kelas kontrol yang menggunakan model konvensional. Hal yang membedakan antara karangan paragraf argumentasi kelas eksperimen dan kelas kontrol terletak pada isi karangan. Hal ini terjadi karena kelas eksperimen menggunakan model inkuiri yang di dalam proses pembelajarannya membimbing siswa untuk berpikir kritis dalam mencari informasi-informasi atau data-data. Informasi-informasi tersebut kemudian mereka gunakan untuk mengembangkan ide-ide dalam menulis

paragraf argumentasi. Aspek bahasa, struktur kalimat, penggunaan ejaan dan tanda baca antara paragraf argumentasi kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan. Hal ini disebabkan kedua kelas tersebut menggunakan pendekatan proses dalam menulis paragraf argumentasi.

Pembelajaran menulis dengan model inkuiri memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. Guru hanya membimbing siswa agar dapat menemukan jawaban-jawaban terhadap hipotesis yang telah disusun sampai akhirnya siswa mampu menyusun

kerangka karangan dan

mengembangkannya menjadi karangan argumentatif. Dengan demikian, siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran dengan mencari berbagai informasi dan melibatkan pengalaman-pengalamannya dalam menulis paragraf argumentasi tersebut.

Berbeda dengan pembelajaran menulis

dengan menggunakan model

konvensional. Siswa cenderung pasif dalam kegiatan pembelajaran di kelas sehingga pembelajaran bersifat monoton. Siswa hanya mengandalkan guru sebagai pemberi informasi berbagai teori tentang menulis paragraf argumentasi. Ketika siswa ditugaskan menulis, mereka masih banyak yang mengalami kesulitan

terutama dalam mengembangkan

karangannya. Secara teori mereka paham terhadap langkah-langkah menulis argumentasi, namun mereka mengalami kesulitan ketika mempraktikkannya.

2. Keefektifan Model

Pembelajaran di Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Tingkat keefektifan pembelajaran menulis argumentasi di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran inkuiri dan di kelas kontrol yang menggunakan model konvensional dapat dilihat dari nilai rata-rata di kedua kelas tersebut.

(16)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 16 Berdasarkan penilaian di kedua kelas

tersebut, diperoleh nilai rata-rata di kelas eksperimen sebesar 72,18 dan nilai rata-rata di kelas kontrol sebesar 64,21. Dengan demikian nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibanding di kelas kontrol (72,188 > 64,219). Perbandingan nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol juga terlihat pencapaian KKM dikedua kelas tersebut setelah diberi perlakuan. Perbandingan tersebut dapat dilihat dalam gambar histogram dibawah ini.

Gambar 1.Histogram Perbandingan Pencapaian KKM Kelas Eksperimen dan Kontrol

Berdasarkan gambar di atas, dapat dikatakan bahwa pada kelas eksperimen siswa yang mencapai KKM sebanyak 26 siswa atau 81,2% dan yang belum mencapai KKM sebanyak 6 siswa atau 18,7%. Pada kelas kontrol siswa yang mencapai KKM sebanyak 17 siswa atau 53,1% dan yang belum mencapai KKM sebanyak 15 siswa atau 46,8%.

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan argumentatif penggunaan model pembelajaran inkuiri lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.

Dengan demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang mengungkapkan

bahwa pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa (Sanjaya, 2006:196).

Berdasarkan keterangan tersebut, pembelajaran inkuiri dilakukan untuk mengeploitasi kemampuan siswa itu sendiri sehingga siswa menguasai suatu pelajaran dengan baik. Dengan demikian, yang dipentingkan dalam pembelajaran inkuiri adalah proses belajarnya.

Untuk menciptakan kondisi belajar seperti di atas, peranan guru adalah sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan bergairah untuk berpikir, sebagai fasilitator Yang menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan, sebagai pengarah yang memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa. Agar lebih jelas tentang jalannya pembelajaran menulis dengan model inkuiri akan peneliti jelaskan pada bagian selanjutnya.

Penerapan model inkuiri dalam menulis paragraph argumentasi di kelas X SMA Negeri 1 Waylima tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar yang menyebabkan hasil pembelajaran dalam penelitian ini belum begitu maksimal. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika kegiatan pembelajaran berlangsung, yaitu (1) ada beberapa siswa yang merasa kesulitan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran karena siswa kurang memiliki kemauan untuk berpikir; (2) terdapat beberapa siswa yang sulit diatur sehingga mengganggu siswa lain; (3) kurangnya waktu yang digunakan dalam belajar karena pembelajaran yang berpusat

(17)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 17 pada siswa memang membutuhkan waktu

yang relatif panjang.

Berdasarkan masalah-masalah yang muncul dalam pembelajaran inkuiri tersebut, peneliti berpendapat bahwa pembelajaran ini membutuhkan persiapan yang matang dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing siswa menemukan jawaban-jawaban atas permasalahan yang akan dipecahkan. Guru juga harus bisa memanfaatkan

waktu seefisien mungkin dan

mengkondisikan kelas dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu, pembelajaran inkuiri membutuhkan waktu dalam penerapannya agar siswa terbiasa dengan situasi pembelajaran inkuiri.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah pembelajaran tidak hanya diperlukan penguasaan konsep yang baik, tetapi diperlukan model pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan kritis. Model pembelajaran inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif dan kritis. Gulo (dalam Trianto, 2007:137) menyatakan bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk

pengembangan emosional dan

keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pengolahan dan analisis data serta pembahasan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan (1) terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan menulis argumentasi antara siswa kelas X SMA Negeri 1 Waylima yang diajar menggunakan model model inkuiri dan siswa yang diajar menggunakan model

konvensional. Perbedaan kemampuan menulis paragraf argumentasi tersebut ditunjukkan oleh hasil uji-t yaitu diperoleh nilai sig lebih kecil dari 0,05 (Sig.0,007 < 0,05) dan nilai hitung lebih besar dari t-tabel (2,899 > 2,040 ). (2) Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan argumentatif, penggunaan model pembelajaran inkuiri lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai rata-rata kelas eksperimen yang lebih tinggi dibanding di kelas kontrol (72,188 > 64,219) dan pencapaian KKM di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol (81,2% > 53,1%).

Berdasarkan pembahasan dan simpulan, penulis mengajukan saran (1) hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model inkuiri efektif meningkatkan kemampuan menulis paragraf argumentasi siswa sehingga guru dapat menjadikan model ini sebagai alternatif untuk mengatasi rendahnya kemampuan menulis siswa. (2) Guru hendaknya memberikan perhatian yang lebih terhadap ketrampilan menulis siswa karena keterampilan menulis merupakan dasar bagi penguasaan keterampilan berbahasa lainnya. (3) Penggunaan suatu model dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran, dalam memilih model pembelajaran sebaiknya guru menyesuaikannya dengan materi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. (4) Guru hendaknya dapat menciptakan suasana yang akrab dengan siswa saat pembelajaraan berlangsung sehingga tercipta suasana interaksi yang baik dan komunikatif antara guru dan siswa. (5) Penulis menyarankan kepada peneliti lain agar membuat kajian yang lebih dalam tentang penenelitian yang berhubungan dengan penggunaan model pada suatu pembelajaran.

(18)

Jurnal J-Simbol (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juni 2014

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 18 Abidin, Yunus. 2012. Pembelajaran

Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Refika Aditama

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Keraf, Gorys. 2010. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sanjaya, Wina. 2010. Strategi

Pembelajaran Berorientasi Standar

Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Semi, M. Atar. 2007. Keterampilan Menulis. Bandung: Angkasa.

Setiyadi, Bambang. 2006. Metode Penelitian untuk Pengajaran Bahasa

asing: Pendekatan Kuantitatif dan

Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tarigan, Henri Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Djago. 2008. Membina

Keterampilan Menulis Paragraf.

Bandung: Angkasa

Trianto. Model-Model Pembelajaran

Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.

Gambar

Tabel  1. Distribusi  Frekuensi  Hasil  Tes  Awal Siswa Kelas Eksperimen.
Tabel  2. Distribusi  Frekuensi  Hasil  Tes  Akhir Siswa dari Kelas Eksperimen

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini terdiri atas 4 variasi konsentrasi filtrat bakteri endofit kitinolitik (0 ml, 0,5 ml, 1 ml dan 1,5 ml) dan 3 variasi jenis

Kontrol yang digunakan adalah kloramfenikol (kontrol positif) dan DMSO 10% (kontrol negatif). Hasil : Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji

Jika tingkat pendapatan responden tinggi dengan pola gaya hidup juga terbilang boros maka perilaku berutang dari responden juga tidak akan berpengaruh atau

Arti dari register itu adalah pemberitahuan dan perintah dari Sintel pada PPKA bahwa tingkapan sepur tunggal dengan semboyan 5 untuk kereta Prameks yang akan masuk

Jenis dinding rumah penduduk di sekitar TPAS Kelurahan Batu Layang berhubungan dengan gas metana, 83,3% rumah dengan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat memiliki kadar metana

Di dalam dunia hiburan, khususnya dalam sebuah acara kuis diperlukan suatu alat yang dapat membantu seorang juri untuk menentukan siapa atau kelompok apa yang lebih dulu

Metode penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model Curt Lewin yang terdiri dari dua siklus dengan empat tahapan yaitu , 1) Perencanaan, 2)

Kadir Abdul, Belajar Database Menggunakan MySQL , 2008 , Yogyakarta: Andi.. Diakses Selasa, 15