• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba, keterusan hingga menyebabkan ketergantungan yang berpotensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. coba-coba, keterusan hingga menyebabkan ketergantungan yang berpotensi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Membahas penyebab yang mengganggu kesehatan jiwa tidak hanya karena

faktor sosial seperti pola asuh, lingkungan, pergaulan dan trauma. Terdapat faktor lain terkait obat, yaitu penyalahgunaan NAPZA yang tidak hanya menimbulkan kesenangan sementara dan ketergantungan namun juga menyebabkan gangguan pada kejiwaan seseorang.

Bentuk penyalahgunaan NAPZA dimulai dengan perilaku sepele, berawal dari coba-coba, keterusan hingga menyebabkan ketergantungan yang berpotensi mengalami gangguan kejiwaan seperti perilaku impulsiv dan nekat . Penyalahgunaan seperti Amfetamin dan ekstasi sendiri telah menjadi tren di kalangan remaja. Munculnya halusinasi, serangan panik, dan beberapa gejala kejiwaan lainnya merupakan efek samping dan dampak negatif dari penggunaan zat ini. Amfetamin dan turunannya merupakan stimulan kuat pada sistem syaraf pusat sehingga dapat menimbulkan ketergantungan. Saat ini, penggunaan Amfetamin atau yang dikenal dengan nama sabu-sabu telah sangat mendunia dengan label barang ilegal.

Menurut definisi farmakologi, mekanisme kerja golongan zat ini bekerja pada sistem syaraf sehingga secara otomatis akan mempengaruhi faktor kejiwaan seseorang. Dampak dari penggunaan sebenarnya tidak selalu negatif, dalam dunia farmasi penggunaan golongan narkotika dan psikotropika sangat dibutuhkan oleh beberapa pasien terkait dengan penyakit seperti epilepsi, insomnia, alzheimer dan lainnya. Dampak negatif yang dimaksud dalam hal ini adalah penyalahgunaan dengan dosis berlebihan yang tidak sekedar memberikan efek nyaman, tenang dan

(2)

ketergantungan namun juga menimbulkan efek seperti mudah mengantuk, lelah, cemas, depresi, bahkan yang paling ekstrim yaitu keinginan untuk bunuh diri dan tindakan kriminal lainnya (http://www.lintasgayo.com/ diakses pada tanggal 11 Januari 2017 pukul 15.00 WIB).

Istilah narkoba sesuai dengan surat edaran Badan Narkotika Nasional (BNN) No SE/03/IV/2002 merupakan akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan dalam tubuh baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya, dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Penyalahgunaan pemakaian narkoba menempati urutan ke 20 dunia sebagai penyebab terganggunya kesehatan dan menempati urutan ke 10 di negara-negara berkembang. Secara global, narkoba jenis ganja paling banyak digunakan. Prevalensi penyalahgunaan ganja berkisar 2,9 dan 4,3% per tahun dari penduduk yang berumur 15-64 tahun. Kemudian penyalahgunaan kokain berkisar 15-19,3 % per tahun di dunia (Tanjung, 2013).

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sendiri sudah berlangsung sangat lama dan dari tahun ke tahun prevalensinya terus meningkat. Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2008) disimpulkan bahwa angka prevalensi nasional (penyalahgunaan narkoba) tahun 2008 adalah 1,99 % dari penduduk Indonesia (3,6 juta orang). Pada tahun 2011 prevalensi tersebut diproyeksikan naik menjadi 2,21% atau setara dengan 3,8-4,2 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia usia 10 sampai dengan 60 tahun sebagai penyalahguna narkotika dan pada tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi 2,8 % atau setara dengan 5,1- 5,6 juta orang.

(3)

Data yang diperoleh Therapeutic Communities Indonesia (2009) diperkirakan ada sekitar empat juta pecandu terjerat NAPZA. Pada tahun 2011 data dari UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) diperkirakan bahwa antara 167 juta sampai 315 juta atau 3,6% sampai dengan 6,9% penduduk dunia usia 15-64 tahun menggunakan narkotika minimal sekali dalam setahun. Hal ini tentu menjadi perhatian kita semua sebab hal tersebut dapat menghancurkan masa depan suatu bangsa. Upaya upaya terus dilakukan untuk mengatasi masalah ketergantungan NAPZA baik fisik, mental dan lingkungan sosial.

Berdasarkan hasil survey nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba di Indonesia tahun 2011, diketahui bahwa penyalahgunaan narkoba oleh laki-laki empat kali lebih lebih banyak dibandingkan perempuan atau ada 1 dari 28 orang laki-laki yang menjadi penyalahguna narkoba, sedangkan perempuan sekitar 1 dari 120 orang. Para penyalahguna narkoba kebanyakan berada di kelompok umur 20-29 tahun. Pola yang terjadi pada kelompok laki-laki dan perempuan relatif sama. Diperkirakan ada satu dari 14 laki-laki dan satu dari 57 perempuan menjadi penyalahguna narkoba di kelompok umur 20-29 tahun. Dengan semakin bertambahnya umur, maka risiko menjadi penyalahguna narkoba menjadi semakin kecil. Hal ini mungkin karena pada kelompok umur diatas 30 tahun mayoritas sudah berkeluarga sehingga semakin besar tanggung jawabnya terhadap keluarganya dan bagi mereka yang penyalahguna keinginan kuat ingin sembuh dari ketergantungan narkoba sangat besar (BNN, 2012).

Meningkatnya populasi penyalahguna narkotika membuat pemerintah perlu mengambil langkah yang tepat untuk menurunkan jumlah penyalahguna dan menyelamatkan penyalahguna narkotika. Upaya tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengamanatkan pencegahan, perlindungan, dan penyelamatan bangsa Indonesia dari

(4)

penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, pada Pasal 54 disebutkan bahwa “korban penyalahguna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi”.

Berdasarkan laporan Direktorat Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan pada tahun 2010 tercatat sebanyak 6.854 pasien kunjungan rawat jalan di rumah sakit karena gangguan mental dan perilaku yang disebabkan penggunaan opioida. Dari jumlah tersebut, 4,89% pasien di antaranya merupakan kasus baru. Sementara itu, dari sumber yang sama, pada tahun 2010 tercatat pula sebanyak 434 pasien rawat inap di rumah sakit karena gangguan mental dan perilaku yang disebabkan penggunaan alkohol. Dari jumlah tersebut, 32 pasien di antaranya meninggal dunia. Sedangkan laporan dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), pasien rawat inap mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dalam 5 tahun terakhir.

Di wilayah Sumatera Utara sendiri dari 2.051 pasien yang ditangani di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Muhammad Ildrem Daerah Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2015, 98,1 persen di antaranya mengalami psikotik (berubah akal), narkoba 0,9 persen dan gangguan mental organik 0,2 persen. Sementara pada 2014, rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara itu melayani 2.070 pasien dengan diagnosa psikotik (berubah akal) 96,9 persen, narkoba 2 persen dan gangguan mental organik 0,1 persen (http://www.medanbisnisdaily.com/news/ diakses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 13.30 WIB).

Penyalahgunaan pemakaian narkoba memang sangat berakibat fatal bagi pemakainya. Salah satu masalah gangguan jiwa yang sering muncul dari penggunaan narkoba ini adalah timbulnya halusinasi. Efek halusinasi ini lah yang menyebabkan kelompok masyarakat terutama remaja ingin menggunakan narkoba

(5)

walau tidak menderita apa-apa. Menurut (Hawari, 2008:3) cara yang digunakan untuk menyembuhkan seseorang yang mengalami ketergantungan NAPZA adalah dengan menjalani perawatan di rumah sakit. Cara yang digunakan biasanya dengan blok total, artinya pasien ketika menjalani perawatan dirumah sakit tidak boleh lagi menggunakan NAPZA, tidak boleh di besuk oleh teman, namun harus ditunggu oleh keluarga selama menjalani perawatan.

Pentingnya keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa dapat dipandang melalui berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982, dalam Keliat, 1999:1). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu mengadopsi perilaku tertentu. Semua itu merupakan persiapan individu untuk berperan dimasyarakat. Kedua, jika keluarga dipandang sebagai satu sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem. Ketiga, berbagai pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien seumur hidup tetapi hanya fasilitas yang membantu klien dan keluarga mengembangkan kemampuan dalam mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah, dan mempertahankan keadaan adaptif. Dari ketiga pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa keluarga sangat penting dalam proses pemulihan gangguan jiwa.

Secara umum keluarga dasarnya memiliki tugas tugas yang seharusnya dilaksanakan terkait pemeliharaan kesehatan anggotanya. Tugas tugas tersebut diantaranya mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan. Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan

(6)

dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian keluarga. Apabila menyadari adanya perubahan keluarga, perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahannya. Pada kenyataannya, banyak klien di rumah sakit jiwa yang jarang dikunjungi oleh keluarga, akibatnya banyak keluarga yang tidak mengikuti proses perawatan klien, dan kesan yang ada keluarga hanyalah pengantar klien sewaktu dibawa ke rumah sakit. Dipihak lain, tim kesehatan jiwa di rumah sakit merasa bertanggung jawab terhadap upaya penyembuhan klien dan jarang melibatkan keluarga. Setelah sembuh, pihak rumah sakit memulangkan klien ke lingkungan keluarga dan umumnya beberapa hari, minggu, atau bulan di rumah, klien kembali di rawat dengan alasan perilaku klien yang tidak dapat diterima oleh keluarga. Melalui hasil pengkajian ditemukan keluhan klien selama dirumah yaitu tidak diperkenankan keluar rumah, dan gerak gerik klien diawasi dengan sikap curiga.

Dari uraian diatas maka dapat diyakini bahwa keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit, persiapan pulang dan perawatan dirumah, agar adaptasi pasien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas peran serta keluarga yang memadai akan membantu proses perawatan dan pemulihan kesehatan klien sehingga status kesehatan klien meningkat (Keliat, 1999: 2-3).

Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 144 ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini menunjukkan perhatian akan pentingnya

(7)

upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat termasuk kesehatan jiwa keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan, pengenalan dini, serta perawatan pasien gangguan jiwa, termasuk memberikan dukungan emosional dan motivasi untuk kesetiaan terhadap terapi. Oleh sebab itu pemberdayaan keluarga dalam upaya-upaya kesehatan jiwa di atas sangat diperlukan yang dapat memberikan pengetahuan mengenai cara pemberdayaan keluarga melalui kegiatan pemberian informasi dan psikoedukasi tentang masalah kesehatan jiwa, perawatan pasien gangguan jiwa, dukungan psikologis kepada keluarga, serta jejaring untuk meningkatkan kemandirian keluarga pasien gangguan jiwa.

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber masalah bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005). Berdasarkan penelitian dari NHMA (National Mental Health Assosiation, 2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.

Beban yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa sangat besar. Dampak sosial berupa penolakan, pengucilan, dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus

(8)

ditanggung keluarga maupun masyarakat. Menurut Hawari (2003) salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga. Penilaian masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat dari dilanggarnya larangan, guna–guna, santet, kutukan dan sejenisnya berdasarkan kepercayaan supranatural. Dampak dari kepercayaan mayarakat dan keluarga, upaya pengobatan pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke dukun atau paranormal. Kondisi ini diperberat dengan sikap keluarga yang cenderung memperlakukan pasien dengan disembunyikan, diisolasi, dikucilkan bahkan sampai ada yang dipasung.

Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kesembuhan klien yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi keluarga yang terapeutik dan mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan memperpanjang kekambuhan. Angka kekambuhan pada klien tanpa terapi keluarga sebesar 25 - 50% sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5 - 10% (Keliat, 2006). Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh keluarga pasien yaitu: menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous), tidak ada nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat dan menarik diri. Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stres (Yosep, 2007).

Keluarga sebagai ”perawat utama” dari klien memerlukan treatment untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam merawat klien. Edukasi keluarga yang lebih dikenal dengan istilah family psycoeducation adalah terapi yang

(9)

digunakan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam merawat anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya (Goldenberg dan Goldengerg, 2004). Pendapat lain menjelaskan bahwa psikoedukasi keluarga adalah pemberian pendidikan kepada seseorang yang mendukung treatment dan rehabilitasi. Hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan edukasi keluarga dalam penanganan gangguan jiwa seperti dilakukan Keliat dkk, (2011) di Jakarta menemukan bahwa keluarga yang mendapat edukasi tentang Community Mental Health Nursing (CMHN) mampu meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa.

Penelitian Jayanti (2012) di RS Grhasia Yogyakarta menyimpulkan bahwa persepsi keluarga tentang stigma gangguan jiwa dengan penerimaan keluarga pasien gangguan jiwa di unit rawat jalan kategori baik sebesar 89,5%. Semakin baik persepsi tentang gangguan jiwa maka penerimaan keluarga yang diperoleh semakin tinggi, dapat diartikan pula semakin baik persepsi tentang gangguan jiwa dengan penerimaan keluarga pasien gangguan jiwa yang dicapai maka tingkat keeratan hubungannya dikategorikan baik. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden keluarga memenuhi fungsi keluarganya yaitu fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi dan perawatan kesehatan dimana fungsi tersebut terpenuhi dengan baik oleh keluarga pada pasien gangguan jiwa, selain itu keluarga dapat mengendalikan faktor yang mempengaruhi persepsinya dengan baik seperti pengorganisasian, stereotif, selektif, karakteristik pribadi, situasional, emosi dan kebutuhan tertentu sehingga keluarga tidak mendapatkan hambatan dalam penerimaan pasien gangguan jiwa di lingkungan keluarga.

(10)

Penelitian Nasir dan Abdul (2011) mengatakan keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada pasien. Demikian juga Veidebeck (2008) juga mengatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sumber bantuan pertama bagi pasien gangguan jiwa. Penelitian Syamsuri (2011) mengatakan sebagian besar keluarga pasien dapat menerima keberadaan pasien sebagai seseorang yang sakit dan membutuhkan perawatan khusus sama seperti pasien penyakit lain, namun penerimaan keluarga terhadap pasien dianggap masih kurang, karena perilaku pasien yang susah diatur dan terkadang membuat jengkel pihak keluarga seperti marah-marah dan mengamuk sehingga pihak keluarga cenderung menghindar.

Menurut Machira (2012) pada beberapa negara dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang mencukupi terdapat klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal yang sudah merupakan bagian dari sistem kesehatan mental. Namun demikian, di Indonesia dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang terbatas dan tersebar tidak merata, belum ada klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal. Perawatan penderita gangguan psikotik fase awal sebagian besar ditanggung oleh keluarga.

Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (2012) memperkirakan 90% penderitaan gangguan jiwa tidak berobat ke psikiater. Diperkirakan 28 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa ringan hingga berat. Tiga belas juta diantaranya gangguan depresi. Khusus di kota besar 1 dari 5 penduduknya diperkirakan mengalami gangguan jiwa. Jika masing-masing penderita punya empat orang kerabat saja, maka lebih 100.000.000 penduduk terkena dampak gangguan jiwa langsung atau tidak. Bila melihat perkiraan data di atas maka ini memprihatinkan sekali karena hanya 10% saja yang mendapatkan penanganan medis.

(11)

Nurdiana dkk, (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh pasien di rumah sehingga akan menurunkan angka kekambuhan. Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh Dinosetro (2008) menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan.

Beberapa penelitian terkait yang dimuat dalam jurnal internasional antara lain penelitian Wong et al (2013) dalam Journal of Traumatic Stress Disorders &

Treatment menyimpulkan bahwa peserta yang telah melihat video

psychoeducational, memiliki pengetahuan yang lebih besar tentang gejala gangguan jiwa dan keyakinan lebih positif tentang perawatan kesehatan mental dibandingkan kondisi perawatan lain. Peserta pada kelompok intervensi psikoedukasi lebih mungkin untuk mengenali gejala-gejala masalah kesehatan mental dibanding kelompok kontrol. Penelitian Ghadirian et al (2009) tentang family psychoeducation menyimpulkan bahwa intervensi psychoeducational keluarga relatif meningkatkan pengetahuan tentang penyakit gangguan mood pasien, serta tingkat adaptasi dalam keluarga juga meningkat. Keluarga juga mendapat keuntungan dari diskusi dan bertukar informasi tentang strategi penanganan yang berguna serta merasa jauh lebih baik setelah informasi tentang penyakit. gejala, kepatuhan minum obat dan fungsi global pada pasien tidak menunjukkan signifikan perbedaan dalam tindak lanjut.

(12)

Penelitian Batista et al (2011) tentang efficacy of psychoeducation in bipolar patients menyimpulkan bahwa psikoedukasi signifikan meningkatkan perawatan klinis, kepatuhan pengobatan, dan fungsi psikososial pasien. Hal ini juga mengurangi jumlah pasien yang kambuh. Jumlah dan panjang rawat inap per pasien juga lebih rendah pada pasien yang menerima psikoedukasi. Studi menunjukkan hasil positif dalam mengurangi tingkat kambuh dan meningkatkan jangka panjang kepatuhan pengobatan. Selain itu, intervensi psikoedukasi meningkatkan pengetahuan tentang penyakit untuk mengurangi penderitaan mereka dan meningkatkan fungsi sosial secara keseluruhan.

Menurut Commission on the Family Dolan dkk, (2006) bahwa dukungan keluarga dapat memperkuat setiap individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai relevansi dalam masyarakat yang berada dalam lingkungan yang penuh dengan tekanan.

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan sarana pelayanan kesehatan jiwa dan fisik bagi masyarakat yang terletak di Jalan Tali Air No. 21 Medan, Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat USU bernama Dies Wiro Tarigan pada September 2013 ditemukan jumlah pasien sebanyak 510 orang dengan tingkat kekambuhan sebanyak 72 orang (Profil Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2012). Faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya kekambuhan pasien adalah kurangnya dukungan dari keluarga dalam proses pengobatan pasien. Oleh karena itu perlu diupayakan pemberdayaan keluarga melalui program psikoedukasi untuk dapat berperan secara optimal.

(13)

Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara sendiri pemberdayaan keluarga melalui psikoedukasi mulai dilakukan sejak tahun 2012, yang ditangani oleh salah seorang psikiater dan seorang dokter spesialis kejiwaan di rumah sakit tersebut. Psikoedukasi mulai diberlakukan karena melihat kurangnya pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa, juga kurangnya kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan kepada pasien gangguan jiwa di rumah, yang menyebabkan angka kekambuhan pasien meningkat. Sehingga target utama dari program psikoedukasi yang dilakukan oleh Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera utara, ialah keluarga dari pasien gangguan jiwa yang sedang melakukan rawat jalan.

Dalam penanganan masalah gangguan jiwa dapat diketahui bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap kesembuhan pasien. Maka perlu adanya psikoedukasi keluarga untuk membantu keluarga dalam mengenal penyakit gangguan jiwa dan penyebabnya, sehingga penerimaan keluarga terhadap penyakit yang diderita pasien gangguan jiwa akan lebih positif. Tidak hanya memberikan pengetahuan mengenai penyakit gangguan jiwa, psikoedukasi juga diharapkan mampu meningkatkan keterampilan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa di rumah. Dengan cara keperawatan yang tepat, keluarga secara strategis dapat menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidup pasien gangguan jiwa, serta pasien dapat beradaptasi kembali dengan masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Mengacu pada uraian di atas, maka dapat diasumsikan bahwa program psikoedukasi bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga pasien gangguan jiwa dapat mempengaruhi keberfungsian sosial diri pasien gangguan jiwa sendiri. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh

(14)

Akibat Ketergantungan Narkoba di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting karena langkah ini akan menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah pada hakikatnya merupakan perumusan pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian (Soehartono, 2008 : 23). Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah penelitian dapat dirumuskan, yaitu “Bagaimana pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai referensi dalam rangka:

1. Untuk menambah wawasan, pengalaman dan pemahaman mengenai psikoedukasi keluarga terhadap pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba.

(15)

2. Untuk mengetahui model penanganan pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba menggunakan model pendidikan keluarga (family psichoeducation).

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang hal-hal pokok berupa kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Tak lupa shalawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul Representasi

c) untuk huruf e) hanya dapat beroperasi dengan pengaturan shift dengan kapasitas maksimal 50% (lima puluh persen) staf untuk setiap shift hanya di

Rumah Sakit sebagai institusi tempat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan tujuan penyembuhan penyakit serta terhindar dari kematian dan kecacatan, dalam

Merawat tali pusat adalah kegiatan yang merawat tali pusat dengan benar untuk mencegah infeksi pada tali pusat bayi baru lahir sampai tali pusatnya lepas..   Cara

Skripsi ini penulis persembahkan kepada hamba Allah yang mulia dunia akhirat berupa keluarga, terutama kepada kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan

Hal ini sejalan dengan pendapat Chaer (1995:158) yang menjelaskan bahwa dalam masyarakat tutur yang multilingual sering menyebabkan adanya interferensi

Puji Syukur Kehadirat Tuh an Yang Maha Esa atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan sehingga penulis dap at menyelesaikan skripsi yang berjudul

Pada kesempatan ini akan dilaporkan suatu kasus fraktur mandibula akibat tindakan operasi pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah yang dilakukan oleh seorang