• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN. kesatuan tiga daerah yaitu Sipirok, Baringin-Bunga Bondar dan Parau Sorat yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN. kesatuan tiga daerah yaitu Sipirok, Baringin-Bunga Bondar dan Parau Sorat yang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Terbentuknya Kampung/ Desa

Siregar (1977:111) menuliskan bahwa daerah Sipirok dahulu terdiri dari kesatuan tiga daerah yaitu Sipirok, Baringin-Bunga Bondar dan Parau Sorat yang akhirnya menjadi suatu kecamatan dengan ibukota kecamatan Sipirok. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah yang terdiri dari wilayah perkebunan dan sawah. Menurut sejarah atau keterangan-keterangan dari orang-orang tua, kalau hendak mendirikan suatu huta/ kampung pada waktu dahulu ialah dengan berangkatnya suatu kelompok yang terdiri dari tiga unsur yang dikenal pada orang Batak Angkola-Sipirok ialah:

1. Suhut Marhamaranggi

2. Anakboru, yaitu pihak pemberian boru 3. Mora, yaitu pihak pengambilan boru

Sesampainya mereka ke tempat yang dituju untuk mendirikan kampung tersebut, mereka menanam tiga macam tanaman yang merupakan lambang suatu huta atau desa. Adapun tanaman yang dimaksud ialah:

1. Pohon Beringin, yang dalam Bahasa Daerah disebut namanya haruaya tambang baringin.

2. Pohon Bambu, yang disebut dalam Bahasa Daerahnya bulu hait madungdung. 3. Sirih, yang disebut burangir na naharpean na marjungjungkon hayu jalakan.

(2)

Apabila ketiga jenis tanaman ini tumbuh dengan baik merupakan suatu pertanda bahwa tempat itu dapat dijadikan huta, seandainya tidak mau tumbuh maka tempat itu ditinggalkan.

Sesudah itu mereka mulai menetapkan dimana tempat untuk pendirian rumah nanti dan dimana tempat yang akan dijadikan persawahan, perladangan dan perkebunan. Dengan bekerja keras mereka membuat lahan persawahan, perkebunan kopi dan berusaha untuk menanam tanaman yang dapat memberikan mereka makanan.

Setelah tersebar ke seluruh kampung bahwa daerah tersebut memiliki lahan yang baik untuk dijadikan mata pencaharian, maka banyaklah orang-orang datang mengunjungi dan menetap di kampung tersebut. Semakin lama akhirnya semakin bertambah jumlah orang yang menetap sehingga mulailah terbentuk suatu komunitas dengan adat. Adat yang mereka bentuk adalah adat yang sebelumnya dipakai oleh kelompok sipungka huta (yang membentuk kampung) ketika masih berada di kampung awal.

Setiap orang yang datang ke kampung itu diberikan tanah untuk membangun rumah, tanah untuk bersawah, tanah untuk berkebun yang disebut “Salipi na tatar” dan tidak boleh dijual jikalau mereka pindah atau meninggalkan kampung supaya bisa diberikan kepada yang lain apabila mereka menetap.

Maka saat ini ada unsur-unsur penting dalam kampung/ huta yang terdiri dari: 1. Yang membuka kampung, yaitu Suhut Na Marhamaranggi

2. Anakboru, yaitu Suhut Na Marhamaranggi 3. Mora ni Suhut Na Marhamaranggi

(3)

Mereka juga membentuk peradaton, sehingga terbentuklah Lembaga Adat di kampung dengan fungsionaris adatnya. Tetapi supaya fungsionaris ini berkekuatan haruslah lebih dahulu bonabulu itu diresmikan menurut adat penuh agar kampung itu berstatus bonabulu.

Apabila kampung tersebut sudah berstatus bonabulu maka peradatan yang ada dihuta itu sudah dapat berdiri sendiri artinya telah dapat melaksanakan pekerjaan adat yang penuh. Oleh sebab itu harus ada sitiop gagang sitiop adat dohot uhum9

1. Harajaon. Harajaon ini yang berasal dari sipungka huta itu.

, maka terbentuklah yang bernama fungsionaris adat.

Adapun yang termasuk fungsionaris adat di kampung itu ialah:

2. Hatobangon. Ini adalah perwakilan-perwakilan dari parripe yang ada di kampung dengan persyaratan mereka ini harus sanggup mengisi ampang yang memiliki ukuran isi yang isinya kira-kira 32 canting beras pada saat ada kerja adat di kampung apakah itu sukacita ataupun dukacita.

Sehubungan dengan fungsionaris adat yang disebut di atas, maka terbentuklah Raja Bonabulu yaitu Harajaon, ada Anakboru Bonabulu, yaitu anakboru yang ikut mendirikan huta/kampung, Mora Bonabulu yaitu mora yang ikut mendirikan huta/kampung tersebut.

Raja itulah yang dapat mengetahui segala sesuatu tentang hal adat dan uhum (hukum) di kampung tersebut, tetapi untuk melaksanakannya maka hal itu diserahkan kepada Orangkaya, pelaksanaan adat itulah yang disebut ugari.

9

Yang dimaksud disini adalah tokoh/orang yang memegang teguh adat dan hukum adat (fungsionaris adat).

(4)

2.2 Typology Desa Bunga Bondar

Bunga Bondar terletak pada areal seluas 542 ha dengan perbatasan : - Sebelah Utara dengan Bunga Bondar Sepuluh ( Aek Pinagar) - Sebelah Barat dengan Desa Sumpean

- Sebelah Timur dengan pegunungan Sumatera Utara - Sebelah Selatan dengan Desa pangkal Dolok ( Aek Garut) - Sebelah Barat Daya dengan Desa Hasang Marsada ( Aek Siguti)

Secara garis besar keadaan alam desa Bunga Bondar adalah luas perumahan: 15 ha, sawah setengah teknis: 80 ha, sawah sederhana: 180 ha, perkebunan: 50 ha, danau/rawa: 2,7 ha dan lain-lain: 204,3 ha.10

10

Sumber: Kantor Lurah Bunga Bondar Tahun 2010.

Desa Bunga Bondar berada di sebelah timur dari kecamatan Sipirok. Desa ini merupakan dataran tinggi yang masih berada di bawah pegunungan Bukit Barisan yang berada di sebelah timur desa Bunga Bondar. Sebelah barat desa ini merupakan daerah sawah dan beberapa lahan untuk berkebun. Karena berada di bawah pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa aliran sungai kecil yang akhirnya bermuara menuju Danau Marsabut yang terdapat di sebelah timur.

Wilayah Angkola di Kotamadya Tapanuli Selatan terdiri dari tiga bagian yaitu: Angkola Julu (Angkola Hulu), Angkola Jae (Angkola Hilir), dan Angkola Dolok (Angkola Pegunungan), Padang Bolak dan Mandailing (Siregar 1977:113).

(5)

2.3 Komposisi Penduduk Desa Bunga Bondar

Penduduk asli desa Bunga Bondar adalah masyarakat suku Angkola yang sering disebut Angkola-Sipirok. Penduduknya berjumlah 1.242 jiwa dan mayoritas beragama Islam. Warga yang tinggal di desa ini mayoritas bermarga Siregar, hal ini disebabkan karena desa Bunga Bondar didirikan oleh marga Siregar dan orang yang menjadi raja adalah yang bermarga Siregar. Hal ini mengakibatkan bahwa marga Siregar dihormati masyarakat oleh karena keturunan raja. Meskipun suku Angkola telah tersebar di seluruh wilayah di Sumatera Utara namun warga Angkola yang berasal dari Bunga Bondar tetap menjaga norma-norma adat yang diajarkan kepada mereka. Dan hal ini juga terlihat dari kepedulian masyarakat Bunga Bondar kepada warganya begitu juga kepada warga yang berasal dari suku atau daerah lain. Keharmonisan masyarakat mengakibatkan budaya Angkola- Sipirok tetap terjaga.

2.3.1 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang jumlah dan komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin:

Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Umur Jenis kelamin Jumlah

Pria Wanita 0-4 46 47 93 5-9 44 43 87 10-14 45 47 92 15-19 55 57 112 20-24 62 64 126 25-29 54 58 112 30-34 40 41 81 35-39 38 40 78

(6)

40-44 36 35 71

45-49 35 32 67

50-ke atas 179 144 323

Jumlah 634 608 1242

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

Dari data di atas yang paling banyak mendiami wilayah Bunga Bondar ditinjau dari umur dan jenis kelamin adalah penduduk dengan usia 50 tahun keatas dengan jumlah 323 jiwa. Dari pemantauan penulis kemungkinan yang menyebabkan hal ini adalah karena banyak penduduk Bunga Bondar yang merantau dan berpindah tempat ke daerah Sipirok, Padangsidimuan, dan bahkan di luar kota dan pulau.

2.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan

Dilihat dari segi pendidikan, penduduk Bunga Bondar hanya mengikuti pendidikan formil. Sementara pendidikan non formil seperti pendidikan keterampilan khusus tidak didirikan oleh pemerintah setempat.

Meskipun dari segi pendidikan masyarakat Bunga Bondar belum mendapatkan fasilitas yang memadai seperti di daerah kecamatan Sipirok, namun mereka tetap bergiat untuk mengikuti pengajaran dan penduduk Bunga Bondar tetap menomor satukan pendidikan kepada anak-anak mereka. Hal ini terlihat dengan jarak sekolah yang berada di daerah Sipirok dan juga di desa yang lain tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar dan bersekolah. Jenjang perguruan tinggi adalah impian setiap orang tua terhadap anak-anak mereka. Hal ini menyebabkan tidak sedikit yang melanjut ke perguruan tinggi dan merantau untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang memadai dan tidak sedikit pula para pejabat negeri yang berasal dari

(7)

daerah Bunga Bondar seperti Raja Inal Siregar, Dr. Bajora dan bebebapa pejabat lainnya (wawancara dengan Bpk. Mangaraja Tunggal).

Table berikut akan menunjukkan komposisi pendidikan formil desa Bunga Bondar:

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan

Jenis pendidikan Jumlah jiwa

Belum sekolah 127 jiwa

Belum tamat SD 148 jiwa

Tamat SD 148 jiwa

Tamat SLTP 337 jiwa

Tamat SMU 435 jiwa

Tamat Akademi 26 jiwa

Tamat Perguruan Tinggi 21 jiwa

Buta aksara 10-55 thn -

Jumlah 1242 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

2.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Agama

Mayoritas penduduk Bunga Bondar adalah pemeluk agama Islam. Sebelum masuknya agama ke desa ini, dahulu mereka mengabut kepercayaan pele begu (menyembah roh-roh nenek moyang). Dan ketika masuknya penyebar agama Islam dan Kristen maka mereka mulai memeluk agama tersebut dan penduduk tersebut lebih dominan kepada ajaran agama Islam.

Perbedaan agama di desa ini tidaklah menjadi penghalang kekerabatan mereka. Masyarakat Bunga Bondar sendiri adalah masyarakat yang memiliki hubungan darah meskipun dalam kepercayaan mereka memilih agama yang mereka yakini. Oleh karena itu kehidupan beragama juga sangatlah erat, perbedaan agama tersebut dijadikan

(8)

menjadi keunikan dan keberagaman mereka. Kedekatan kekerabatan ini dapat dilihat dengan terlibatnya seluruh warga pada saat upacara adat nagodang sekalipun yang mengadakan pernikahan adalah yang berbeda agama dengan agama mereka. Masyarakat Bunga Bondar mengatakan hal ini dengan istilah “mudar do na mangkatai” artinya, mereka masih dalam satu garis keturunan dan tidak dapat membeda-bedakan hanya karena agama.

Berdasarkan komposisi agama, jumlah penduduk Bunga Bondar dapat dilihat melalui table berikut:

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Agama

Agama Jumlah Penduduk

Islam 810 jiwa

Kristen Protestan 432 jiwa

Jumlah 1242 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa

Masyarakat Bunga Bondar dominan bekerja sebagai petani dan pekerja kebun. Hampir 80% masyarakat Bunga Bondar memperoleh penghasilan berdasarkan hasil panen padi yang sudah ditanam selama 6 bulan. Selain itu mereka juga bertanam coklat, menjual kayu bakar. Setiap hari mereka akan mempersiapkan diri terlebih dahulu baik sarapan pagi, memberangkatkan anak-anak mereka ke sekolah dan mulai ke sawah sambil membawa bekal makan siang karena pada sore menjelang magrib mereka berhenti bekerja. Dan pekerjaan itu mereka kerjakan setiap hari dan setelah mereka panen maka mereka dapat mengerjakan pekerjaan lain nisalnya mengadakan horja atau pesta karena disaat itulah waktu yang paling tepat untuk mereka kerjakan.

(9)

Mata pencarian lain yang terdapat di desa ini adalah adanya orang yang berjualan kopi, sebagai guru, pegawai negeri, tukang kayu, tukang jahit, dan angkutan. Jikalau diperhatikan, kehidupan masyarakat Bunga Bondar tidak terpengaruh dengan berkembangnya beberapa daerah dengan memasukkan kemajuan yang ada di perkotaan seperti hal yang berhubungan dengan teknologi. Hal ini memang diterima oleh masyarakat Bunga Bondar namun mereka tidak begitu memusatkan perhatian pada kehidupan yang modern. Hal ini dikarenakan mereka dapat hidup rukun satu dengan yang lain dalam satu kelurahan dan mereka lebih menekankan anak-anak mereka untuk lebih mengutamakan kehidupan yang beragama dan beradat agar tidak terpengaruh kepada perkembangan dunia meskipun sesungguhnya mereka tetap memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka untuk mengikuti perkembangan tersebut demi perkembangan pendidikan mereka.

Berikut akan dipaparkan tabel mata pencarian masyarakat Bunga Bondar dilihat dari faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan desa:

2.4.1 Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian pertanian:

Tabel 4. Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Petani pemilik tanah 145 jiwa

Petani penggarap tanah 29 jiwa

Peternakan 3 jiwa

(10)

Dengan melihat tabel di atas dapat di ketahui bahwa dari 1.242 jiwa yang terdapat di desa Bunga Bondar terdapat 81, 9% jiwa penduduk yang bermata pencarian sebagai petani. Namun jika diperhatikan berdasarkan tabel tidak semua memiliki lahan sendiri, masih ada yang mengusahakan dengan menggarap tanah. Sementara dilihat dari usaha beternak, hanya sekitar 1,6% dan ini tidak mendominasi di desa Bunga Bondar.

2.4.2 Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan:

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian perdagangan:

Tabel 5. Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan:

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Toko 2 jiwa

Warung kopi 7 jiwa

Jumlah 9 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

Berdasarkan data yang tertera di atas terdapat 9 jiwa yang memiliki usaha berdagang dan jika dilihat dengan persentase, hanya sekitar 0,72% dari jumlah keseluruhan penduduk Bunga Bondar. Kondisi jarak yang tidak begitu jauh dari kecamatan Sipirok dan memadainya angkutan kota mengakibatkan tidak banyak penduduk Bunga Bondar yang menekuni usaha berdagang ini.

Penulis mengamati bahwa penduduk Bunga Bondar sudah mempersiapkan bahan pokok makanan seperti cabe, bawang dan bahan rempah-rempah yang akan

(11)

mereka pergunakan selama seminggu. Setiap seminggu sekali pada hari Selasa subuh diadakan pasar (poken) yang khusus menjual bahan-bahan pokok lauk pauk, sayur mayor dan beberapa keperluan rumah tangga yang senantiasa dibutuhkan. Untuk beras mereka tidak lagi membelinya karena mereka sendiri adalah petani.

Penduduk Bunga Bondar juga memanfaatkan tanah yang ada disekitar rumah mereka dengan menanam bahan pokok makanan seperti cabe, daun bawang, sayur. Hal inilah yang membuat mereka lebih sehat karena mengkonsumsi makanan hasil tanaman sendiri dan jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia.

Apabila mereka kekurangan persediaan, mereka dapat berbelanja ke Sipirok dan hanya memakan waktu selama 30 menit dengan angkutan kota dan sekitar 15-20 menit dengan mengendarai sepeda motor.

2.4.3 Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/ kerajinan

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian dalam industri :

Tabel 6. Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/ kerajinan

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Kerajinan tangan -

Industri kecil 1

Pandai besi -

Jumlah 1 Jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

Jikalau dilihat berdasarkan tabel di atas hanya 1 jiwa yang mempunyai usaha dalam industri kecil. Kemungkinan hal ini dikarenakan kurangnya penyuluhan yang

(12)

datang ke desa ini untuk mengajarkan dan membantu masyarakat untuk membuka usaha baru. Dari data yang diperoleh oleh penulis, beberapa penyuluhan yang sering dibuka di daerah ini adalah penyuluhan terhadap bercocok tanam dan pemberian pupuk. Namun pada tahun 2010, perencanaan yang mereka adakan adalah bagian perhubungan dan gotong royong untuk prasarana produksi.

2.4.4 Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa

Dengan melihat tabel di bawah ini akan terlihat jelas persentase penduduk yang bermata pencarian dalam bidang jasa seperti pegawai swasta yang berjumlah sekitar 42, 6% dan guru dengan persentase 31, 2 % dari jumlah keseluruhan penduduk yang bermata pencarian jasa. Namun dengan melihat keseluruhan jumlah penduduk Bunga Bondar maka penduduk dalam bidang jasa hanya berjumlah 4, 9%.

Sebagai daerah kelurahan seharusnya terdapat dokter di desa ini. Namun hal ini belum diperhatikan oleh kepala kelurahan karena penduduk yang juga tidak pernah mengeluh akan keberadaan dokter. Hal ini juga didukung dengan jarak Rumah Sakit Katolik yang berada di desa Hasang yang berjarak sekitar 1 km dari Bunga Bondar dan ditempuh hanya sekitar 10-15 menit dengan kenderaan umum. Sementara di desa Bunga Bondar sendiri hanya tersedia Puskesmas dan dilayani oleh bidan dan tidak setiap hari dapat melayani karena bidan yang melayani juga tidak semua berasal dari Bunga Bondar tetapi datang dari daerah Sipirok yang memiliki jadwal ke desa ini. Namun hanya 3 orang bidan yang merupakan penduduk Bunga Bondar.

(13)

Berikut akan dipaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian dalam jasa:

Tabel 7. Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Dokter - jiwa

Bidan 3 jiwa

Mantri - jiwa

Guru 19 jiwa

Pegawai Negeri 21 jiwa

Pegawai Swasta 26 jiwa

Dukun bayi 1 jiwa

Tukang cukur/ tukang pangkas 1 jiwa

Tukang jahit 1 jiwa

Tukang kayu 4 jiwa

Pensiunan 23 jiwa

Tukang batu 5 jiwa

Angkutan 7 jiwa

Jumlah 61 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

2.5 Bahasa

Masyarakat Bunga Bondar umumnya mempergunakan bahasa Angkola-Sipirok. Bahasa ini tidak hanya digunakan oleh warga asli Bunga Bondar saja namun juga sudah digunakan oleh warga pendatang.

Bahasa Angkola-Sipirok memiliki sedikit perbedaan dengan bahasa Angkola yang sering didengar di kota Padangsidempuan atau diseluruh wilayah Tapanuli Selatan. Selain dari bahasa, cara berbicara masyarakat Bunga Bondar juga berbeda. Misalnya tante dalam bahasa Angkola di kota Padangsidempuan disebut etek. Namun jika di wilayah Bunga Bondar ini disebut dengan bujing .

(14)

Bahasa Angkola dituliskan dalam Surat Tulak-tulak yang dibaca dengan ejaan latin yaitu A, HA, MA, NA, RA, TA, BA, WA, SA, NYA, I, YA, JA, LA, PA, DA, NGA, KA, GA, U, CA sebagai konsonan ina ni surat dan vokal E, I, U, O, dan U yang disebut juga sebagai Anak ni surat. Untuk menandakan bunyi vokal pada Surat Tulak-tulak maka disisipkan simbol sebagai penanda bunyi vokal antara lain:

1. Lingkaran kecil (hauluan atau haluaan) dengan simbol (○) dipakai untuk bunyi i, Contoh: mi =

α

2. Tanda lebih besar (haboritan atau haboruan) dengan simbol (>) dipakai untuk bunyi u,

Contoh: mu =

α

3. Tanda silang (hasialan atau sikora) dengan simbol (x) dipakai untuk bunyi o, Contoh: mo =

α

x

4. Tanda penghubung sebelah kiri atas (hatadingan atau hatalingan) dengan simbol (-) dipakai untuk bunyi e,

Contoh: me = ‾

α

5. Tanda penghubung sebelah kanan atas (hamisaran atau paninggil) dengan simbol (-) dipakai untuk bunyi ng,

Contoh: mang =

α

6. Tanda garis miring ke kanan (pangolat) dengan simbol (\) dipakai untuk menghilangkan atau mamatikan bunyi a,

(15)

Bahasa yang dipakai masyarakat Angkola-Sipirok pada kegiatan sehari-hari berbeda dengan bahasa yang dipakai dalam upacara-upacara adat dikarenakan dalam upacara- upacara banyak hal yang diumpamakan dan merupakan perlambangan yang memiliki arti tersendiri. Demikian juga hal ini dikemukakan oleh Matondang11

1. Bahasa sehari-hari

, mengatakan bahwa ada empat ragam bahasa etnik Angkola yakni :

2. Bahasa pantun

3. Bahasa ratapan (andung) 4. Bahasa adat

2.6 Transportasi

Jalan menuju Bunga Bondar sudah sangat baik dikarenakan jalan besar bukan merupakan jalan yang dipakai untuk jalan lintas Sumatera yang dilewati oleh berbagai angkutan umum. Transportasi di daerah ini sudah dapat dikatakan cukup baik. Angkutan yang tersedia adalah : sepeda motor, angkutan umum kota, dan juga mobil pengangkutan barang ke kota. Desa Bunga Bondar tidak lagi seperti desa yang susah untuk dikunjungi dikarenakan ada tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti Danau Marsabut di daerah Bunga Bondar Sappulu (X) dan melewati desa Bunga Bondar. Meskipun desa Bunga Bondar hanya memiliki daerah sekitar 502 ha, namun dari segi tatanan desa, dan jalanan serta transportasi sudah dapat dikatakan baik sehingga bagi

11

Lihat www.mandailing.com, artikel Saiful Anwar tentang Teks dan Analisis Wacana Lisan Upacara Perkawinan Angkola_Mandailing, 2001.

(16)

pendatang atau para wisatawan yang hendak berkunjung tidak mengalami kendala dalam fasilitas kenderaan.

2.7 Sistem Kekerabatan Masyarakat Angkola-Sipirok

Pada masyarakat Angkola-Sipirok ada disebut falsapah Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dalihan dahulu diawali dari batu kemudian dibuat lagi dari besi dengan tiga kaki yang biasa dibuat untuk tungku (tataring). Dahulu tungku ini ditancapkan pada lantai agar tidak goyang dan dan diatasnya dibuat kayu sebanyak empat dan inilah yang disebut dengan bondul. Bondul inilah yang akan menjaga dalihan yang berada di atas tungku agar tidak jatuh. Sehingga hal ini disebut falsapah bagi masyrakat Angkola-Sipirok dengan Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dan dalam ketetapannya dikatakan:

1. Manat sangape jamot markahanggi 2. Elek marboru

3. Hormat Marmora

Sedangkan Bondul Na Opat, yaitu: Hahutaon yang digambarkan pada Hatobangon-Harajaon Bonabulu. Dalam istilah Angkola-Sipirok, nasi dapat masak dengan lauknya di dalam periuk jika dimasak di atas tungku, artinya Dalihan Na Tolu adalah adat tetapi tidak boleh keluar dari aturan di daerah, oleh karena itu harus melibatkan Bondul Na Opat (Hatobangon- Harajaon) di dalam kerja adat. Falsapah Dalihan Na Tolu inilah yang menentukan tutur sapa masyarakat Angkola-Sipirok. Dalihan Na Tolu terdiri dari kahanggi, anak boru dan mora.

(17)

a. Mora

Mora artinya pengambilan perempuan untuk menjadi istri. Perempuan inilah yang akan menghasilkan keturunan supaya marga ayahnya tidak hilang dari garis keturunan berikutnya.

Menurut orangtua dahulu, mora dalam keluarga adalah pemula/pangkal dan mora itu adalah dari Pencipta, jiwanya memberi berkat dan juga pemberi wibawa kepada anakborunya. Apabila ada pertentangan di dalam keluarga maka mora akan menjadi pihak yang mendamaikan tidak memihak sebelah sehingga ada peribahasa yang mengatakan “Katian na so ra miling, batuan na so ra teleng“ yang berarti sebagai neraca beban dan anak timbangan tidak berat sebelah. Anakboru sangat percaya kepada moranya karena mora harus berdiri dengan kebenaran, bahkan dikatakan mora mau bertindak rugi demi kesenangan anakboru. Karena mora dikatakan juru damai bagi anakboru, maka lahirlah suatu umpama:

Lelan ni Malombu Siliming ni Raniate

Horas, mardame-dame anakboru Anso sumonang ate-ate

Artinya seekor ikan yang bernama Lelan yang berasal dari Malombu dan ikan yang bernama Siliming yang berasal dari Raniate, diharapkan selamat dan damailah Anakboru agar mora tetap gembira dan senang.

Penuturan dalam mora:

1. Nenek laki-laki dan yang perempuan dari pihak ibu kita disebut Ompung. 2. Kakak, abang, adik dari ibu kita disebut Tulang.

(18)

3. Istri dari tulang kita disebut Nantulang.

4. Anak laki-laki dari tulang kita disebut Tunggane

5. Anak perempuan dari tulang kita atau pariban kita disebut Anggi 6. Istri dari tunggane kita disebut Ompung

7. Anak lelaki dari tunggane kita disebut Tulang

8. Anak perempuan dari tunggane kita disebut Parumaen atau Maen 9. Tulang dari ibu kita= mora ni mora disebut Ompung

10. Anak laki-laki dari nenek ibu kita disebut Tulang.

b. Kahanggi

Kahanggi artinya teman semarga. Kahanggi terlihat keakrabannya dalam satahi (semufakat), saparadaton (teman seadat), sapanganan (sepenganan), sapangupaan(sepenerima berkah), salaksak sasingkoru saanak saboru (anak dari yang satu dan anak yang satu lagi dalam pengertian luas sama-sama anaknya), sajop ni roha (satu kegembiraan), salungun (satu kerinduan), samalu sabile (dihina satu berarti semua yang dihina).

Penuturan dalam kahanggi :

1. Bapak ibu dari bapak kita disebut Ompung 2. Ayah kandung dari ayah kita disebut Amang 3. Ibu kandung kita disebut Inang

4. Anak laki-laki yang tertua dari kita disebut Angkang 5. Anak laki-laki yang termuda dari kita disebut Anggi

(19)

7. Anak perempuan dari ayah kita disebut Ito

8. Anak perempuan namboru dari ayah kita disebut Ito 9. Abang dari ayah kita disebut Amantua

10. Adik laki-laki dari ayah kita disebut Uda 11. Istri dari amantua kita disebut Nantua 12. Istri dari uda kita disebut Nanguda

13. Anak laki atau anak perempuan dari kita disebut Amang-Inang 14. Cucu dari ayah kita terhadap nenek kita disebut Nini dan Nono 15. Cucu kita terhadap nenek kita disebut Ondok-Ondok

Dalam ikatan markahanggi diharapkan terjalin hubungan yang erat karena dimana dan kapan saja mereka tetaplah satu keluarga. Seperti peribahasa dalam masyarakat Angkola-Sipirok: “Tampulon aek do na marhamaranggi, sigaton lalai do na Marmora” artinya, sifat air yang dihempang tidak akan menyatu karena ada penghempangnya tetapi kalau sudah ditarik maka mereka akan menjadi satu. Dan inilah yang menjadi nasehat orangtua yang sudah pertama sekali diamalkan untuk menjauhkan selisih markahanggi. Perselisihan ini sering muncul dikarenakan harta warisan dari ompung dan orang tua. Dan untuk menjaga agar perselisihan ini tidak terjadi maka dibuatlah sebuah umpama yang berisi:

Habang na Ambaroba Tu bona ni sanduduk Nada ra au marbada Nada ra au pangulut

(20)

Artinya tidak mau ceroboh dan tidak mau berkelahi dalam hal harta warisan dari nenek.

c. Anak Boru

Anak boru artinya kelompok yang diberi gadis untuk menjadi istri dan menantu. Sementara yang mengambil anak gadis ini disebut bere dibagian mora dan bere yang akan membantu mora. Meskipun boru (anak perempuan) tersebut sudah menikah dan memiliki keluarga yang baru, rasa sayang tidak akan berhenti bahkan semakin bertambah dalam doa supaya memiliki keturunan dan dapat diperhitungkan bagi masyarakat. Kedudukan boru (anak perempuan) tidak jauh berbeda dengan anak laki-laki.

Penuturan dalam Anak boru :

1. Kakak ataupun adik perempuan dari ayah disebut Namboru 2. Suami dari namboru kita disebut Amangboru

3. Anak lelaki dari amangboru kita disebut Lae

4. Anak perempuan dari amangboru kita disebut Ompung 5. Anak dari lae kita disebut Bere

6. Mantu dari amangboru kita disebut Ito

7. Tutur ibu kita terhadap amangboru kita disebut Ompung 8. Yang mengambil bere kita disebut Bere Huladongan

Sistem kekerabatan pada masyarakat Angkola adalah patrilineal (garis keturunan ayah). Dan berdasarkan garis patrilineal inilah keturunan dibentuk kelompok-kelompok marga. Matondang mengatakan bahwa marga yang termasuk ke

(21)

dalam etnis Angkola-Sipirok adalah Siregar, Harahap. Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulae, Rambe, dan Pane.

2.8 Kesenian

Masyarakat Sipirok mempunyai kesenian tradisonal yang pada dasarnya dipergunakn untuk upacara adat. Kesenian tradisional tersebut terdiri atas:

a. Seni musik

b. Seni suara / musik vokal c. Seni rupa/ukir

d. Seni sastra

2.8.1 Seni Musik

Seni musik tradisional masyarakat Sipirok dikenal dengan nama gondang. Musik gondang dimainkan oleh pemain musik yang disebut dengan pargondang. Masyarakat Sipirok sering menyebutkan musik dengan kata gondang karena musik yang ditampilkan dalam upacara adat adalah gondang.

Godang merupakan suatu ensambel yang terdiri dari:

- Dua buah gendang bermuka dua (double headed drum) yang masing-masing dinamakan gondang inang (gendang induk) atau gondang siayakon dan gondang pangayak (gendang anak).

- Dua buah gong yang masing-masing dinamakan ogung jantan (gong jantan) dan ogung betina (gong betina). Ukuran gong betina lebih besar daripada gong jantan.

(22)

- Satu buah doal (gong kecil)

- Sepasang tali sasayat (simbal kecil) - Satu suling bambu

Gbr 1. Gondang dua Gbr 2. Ogung

Gbr 3. Doal Gbr 4. Ogung dan doal

(23)

Gondang dimainkan pada saat pesta besar atau horja godang. Para pemain gondang haruslah diminta terlebih dahulu untuk memainkannya barulah mereka memainkan gondang setelah dilakukan upacara adat atau sering disebut dengan panaek gondang. Maksudnya adalah agar bunyi gondang yang dimainkan sesuai dengan aturan adat yang telah ditetapkan.

Gondang yang mengiringi tor-tor memiliki repertoar yang masing-masing disesuaikan dengan tor-tor yang diiringinya. Misalnya gondang suhut dengan lagu yang bernama gondang suhut dipergunakan untuk mengiringi suhut ketika melakukan tarian adat (manortor).

Pada masa sekarang musik gondang tidak lagi hanya dimainkan dalam upacara adat, tetapi dapat jug dimainklan di luar upacara adat. Misalnya dalam kegiatan kesenian dan ketika menyambut kedatangn tamu-tamu terhormat.

2.8.2 Seni Suara

Seni suara tradisional berupa musik vokal atau nyanyian yang hingga sekarang sangat poluper dalam masyarakat Siprok ada dua macam yaitu nyanyian tradisional yang disebut onang-onang dan sitogol Keduanya bisa dinyanyikan oleh pria. Sitogol biasanya dinyanyikan oleh pemuda.

Seperti yang sudah dituliskan oleh penulis sebelumnya, onang-onang merupakan nyanyian yang dinyanyikan secara spontan dan biasanya dinyanyikan pada upacara adat. Penyanyinya disebut dengan paronang-onang dan dinyanykan dengan diiringi oleh pargondang.

(24)

Sitogol merupakan ende atau nyanyian tradisional yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sipirok dan hingga kini masih sangat populer. Berbeda dari onang-onang, sitogol lebih merupakan nyanyian hiburan yang berlaku dalam kehidupan muda-mudi. Oleh karena itu sitogol yang biasa dinyanyikan oleh pemuda tidak begitu terkait dengan kegiatan adat. Pangaduan (1998:276) mengatakan, nyanyian sitogol hanya khusus dinyanyikan oleh muda-mudi pada masa yang lalu. Misalnya pada upacara pamit yang dahulu dilakukan oleh muda-mudi pada waktu memberangkatkan pengantin dan akan meninggalkan desanya. Bahkan biasanya muda-mudi akan menunggu pasangan pengantin itu dari luar batas desa. Dan ketika pengantin melintasi batas desa dinyanyikanlah sitogol oleh pemuda sebagai pengiring kepergian pangantin tersebut.

Lirik atau teks sitogol cenderung berisi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan muda-mudi, seperti hal-hal yang berkaitan dengan cinta, rasa rindu, duka cita, perpisahan dan lain-lain. Liriknya kadang-kadang diambil dari pantun yang poluler dalam kehidupan muda-mudi.

Nyanyian sitogol biasanya dinyanyikan dengan memainkan suling bambu atau puput padi yang dinamakan ole-ole. Ole-ole bisa dimainkan oleh orang yang menyanyikan sitogol dan bisa pula dimainkan oleh orang lain. Dan sesuai dengan aturan tradisi (adat), sitogol (yang berisi lirik yang romantik) hanya boleh dinyanyikan di luar desa.

Selain onang-onang dan sitogol ada lagi nyanyian yang dulu sering dinyanyikan di Sipirok yaitu bue-bue atau yang disebut marbue-bue bagi yang melakukannya. Bue-bue adalah nyanyian menidurkan anak yang dilakukan oleh

(25)

seorang ibu atau kakak. Pada masa sekrang nyanyian ini sudah jarang dinyanyikan. Bue-bue juga dapat dikategorikan sebagai nyanyian nina bobok.

2.8.3 Seni Tari

Dalam kehidupan masyarakat Sipirok terdapat suatu tarian yang disebut tor-tor. Sebagai tarian adat, tor-tor pada dasarnya hanya ditarikan dalam konteks adat. Tor-tor dapat ditarikan oleh siapa saja karena tidak ada penari khusus untuk menarikannya. Setiap orang yang hadir dalam pesta adat dapat manortor dan diharapkan dapat mengambil bagian di dalamnya karena tidak ada keahlian khusus yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak menari.

Tor-tor diiringi oleh gondang dan onang-onang. Seperti seni musik (gondang), tor-tor juga dilakukan sesuai dengan aturan adat. Artinya, tidak sembarang waktu untuk manortor. Misalnya, dalam upacara perkawinan, tor-tor boleh dilakukan setelah selesai menyampaikan pidato adat dalam suatu upacara yang disebut maralok-alok. Parlaungan (1998: 278) mengatakan bahwa ketika menarikan tor-tor, tidak dapat dilakukan dengan berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan terkecuali tor-tor naposo nauli bulung.

Tor-tor atau tarian adat yang terdapat pada masyarakat Sipirok diberi nama sesuai dengan status adat atau status sosial orang-orang atau tokoh yang menarikannya dalam konteks adat. Oleh karena itu ada tor-tor yang dinamakan sebagai berikut :

1. Tor-tor Suhut Sihabolonan (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok suhut ) 2. Tor-tor Kahanggi (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok kahanggi) 3. Tor- tor Anak boru (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok anak boru)

(26)

4. Tor-tor Mora (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok mora)

5. Tor-tor Hatobangon (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok hatobangon)

6. Tor-tor Harajaon (tor-tor yang ditarikan oleh golongan harjaon atau tokoh-tokoh adat)

7. Tor-tor Panusunan Bulung (tor-tor yang ditariakn oleh tokoh raja panusunan bulung)

8. Tor-tor Namura Pule (tor-tor yang ditarikan oleh pengantin)

9. Tor-tor Naposo nauli Bulung (tor-tor yang ditarikan oleh muda-mudi)

2.8.4 Seni sastra

Seni sastra yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sipirok adalah seni sastra berupa sastra lisan yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang berupa prosa berupa cerita-cerita rakyat yang dinamakan turi-turian. Dan sastra lisan yang berbentuk puisi berisi berupa pantun yang dinamakan ende-ende.

Selain cerita rakyat yang berbentuk pantun terdapat pula sastra lisan berbentuk perumpamaan yang disebut umpama dan peribahasa yang disebut hata tambisan (Parlaungan 1998: 279).

2.8.5 Seni Rupa

Seni rupa yang terdapat pada masyarakat Angkola adalah seni ukir yang disebut dengan gorga. Gorga dapat dilihat pada rumah adat yang disebut bagas godang atau sopo godang. Ukiran (ornamen) ini berupa hewan kalajengking yang tertera pada bidang segitiga yang terletak di bawah ujung atap bagian depan dari bangunan adat

(27)

sopo godang melambangkan kekuatan dan keperkasaan untuk menjaga keamanan, ketentraman, dan kedamaian serta kesejahteraan masyarakat dan pemimpinannya. Ornamen berupa kadal yang tertera pada bidang tersebut melambangkan kemakmuran dan kesuburan (Lubis 1998: 281).

Gambar

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang jumlah dan komposisi  penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin:
Table berikut akan menunjukkan komposisi pendidikan formil desa Bunga  Bondar:
Tabel 3.  Komposisi Penduduk Menurut Agama
Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang  bermata pencarian pertanian:
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penulis akan membuat sebuah pembangkit listrik yang bersifat mengubah gerakan menjadi tenaga listrik, seperti kincir air tetapi akan memakai gaya gravitasi sebagai

Sesuai dengan manf aat penggunaan met ode bercerit a bagi anak TK yang t elah dikemukakan, kegiat an bercerit a merupakan salah sat u cara yang dit empuh guru unt uk

Seperti pembuatan situs Pusat Informasi Zaien Education Centre dimana berisikan informasi tentang Lembaga Pendidikan Zaien Education Centre mulai dari pertama berdiri sampai

Dengan menggunakan aplikasi ini, pengguna diharapkan dapat mengakses kamus Inggris â Indonesia yang selalu ter-update karena pengelolaan database kosakata yang dilakukan secara

menulis Al- Qur’an siswa di SDIT Nurul Fikri ini dilakukan dengan.. menggunakan buku panduan metode Wafa mulai dari menebali

Penelitian ini juga akan menjadi masukan bagi pembinaan dan pengembangan guru-guru yoga lokal Bali dalam pembangunan pariwisata spiritual di Bali yang berbasis

Langkah-langkah yang tepat untuk menyidipkan video dalam power point adalah... klik menu file – klik sound from file- pilih menu movie

Jawaban ini dapat dilihat di bacaan paragraf pertama kalimat kelima yaitu ?Begitu juga dengan kebiasaan membaca, janganlah posisinya terlalu dekat, hal ini dapat membuat mata