• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merahnya Anggaran Hijau ANALISIS EFEKTIFITAS DAN RELEVANSI ANGGARAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Merahnya Anggaran Hijau ANALISIS EFEKTIFITAS DAN RELEVANSI ANGGARAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Merah

nya Anggaran

Hijau

ANALISIS EFEKTIFITAS DAN RELEVANSI ANGGARAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Analisis Efektifitas dan Relevansi Anggaran Konservasi Alam di Kementerian Lingkungan Hidup

(2)

MERAH

NYA ANGGARAN

HIJAU

Analisis Efektifitas Dan Relevansi Anggaran Konservasi Alam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun Anggaran 2014 – 2015

Tim Penulis : Roy Salam Sri Nilawati Ratnasari Muhammad Djauhari Editor : Adnan Topan Husodo

Darwanto Lay out : ………..

Laporan penelitian ini dibuat atas dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Hasil riset sepenuhnya merupakan tanggung jawab Indonesia Budget Center (IBC) dan tidak mencerminkan pandangan dari USAID ataupun pemerintah Amerika Serikat. Indonesia Budget Center merupakan mitra dari USAID/ Program Representasi; sebuah proyek demokrasi dan tata kelola yang baik (good governance) berdurasi lima tahun dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). ProRep bertujuan untuk menghubungkan warga, akademisi, dan pembuat kebijakan demi terwujudnya keterwakilan efektif dan kebijakan publik yang pro-rakyat.

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GRAFIK DAN TABEL ... iii

BAGIAN I PENDAHULUAN ... 1

A. Dasar Pemikiran 1

B. Konservasi SDA dan Ekosistem 2

C. Kebijakan Konservasi Hutan di Indonesia 4

D. Arti Penting Penelitian 6

E. Penganggaran Berbasis Kinerja 7

F. Metodologi dan Ruang Lingkup Penelitian 9

1) Sumber Informasi 10

2) Tehnik Pengumpulan Data 11

BAGIAN II EFEKTIFITAS DAN RELEVANSI ANGGARAN PERLINDUNGAN HUTAN

DAN KONSERVASI ALAM (PHKA) ... 12

A. Tugas Pokok dan Fungsi Dirjen PHKA 12

B. Program dan Sasaran Pembangunan Konservasi Alam 13 C. Temuan-temuan Efektifitas dan Relevansi Anggaran PHKA 18 1) Temuan-temuan Efektifitas dan Efisiensi Anggaran PHKA Tahun 2014 18 a. Tingkat Serapan Anggaran PHKA Tahun 2014 19 b. Capaian Kinerja Sasaran Pembangunan Konservasi Alam Tahun 2014 23 c. Penurunan Efektifitas Kinerja Tahun 2014 24 d. Penurunan Tingkat Efisiensi Penggunaan Anggaran Tahun 2014 26 e. Inkonsistensi Pencapaian Target Renstra 2010-2014 26 2) Temuan dan Analisis Relevansi Anggaran Konservasi Sumber Daya Alam

dan Ekosistem Tahun 2015 28

a. Konsistensi penyusunan target Bidang PHKA dengan RKP 29 b. Relevansi Anggaran Dengan Tugas Dan Fungsi Ditjen PHKA Tahun 2015 32 c. Relevansi Anggaran Kegiatan PHKA Dalam Mencapai Sasaran

Strategis Program 36

BAGIAN III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 38

A. Kesimpulan 38

B. Rekomendasi 39

DAFTAR PUSTAKA ... 41

DAFTAR ISI

(3)

DAFTAR GRAFIK DAN TABEL

Grafik 1. Target RPJMN 2015-2019 untuk Anggaran Kementrian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan 17

Grafik 2. Tren Alokasi Anggaran Ditjen PHKA Tahun 2010-2015 33

Tabel 1. Sasaran Dan Indikator Kinerja Program Konservasi Keanekaragaman Hayati

dan Perlindungan Hutan Menurut Renstra Kemenhut Tahun 2010-2014 14

Tabel 2. Perkembangan Serapan Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2010-2014 19

Tabel 3. Pagu dan Realisasi Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2014

Berdasarkan Jenis Belanja 20

Tabel 4. Pagu dan Realisasi Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2014

dan Realisasi Tahun 2013 Menurut Enam Kegiatan Utama 20

Tabel 5. Perkembangan Capaian Indikator Kinerja Sasaran Program Pengelolaan

Hutan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Tahun 2013-2014 24

Tabel 6. Perbandingan Capaian Kinerja Ditjen PHKA Terhadap Target Renstra

2010-2014 27

Tabel 7. Target Sasaran Kegiatan Berdasarkan Rencana Kerja PHKA dan RKP 2015 30

Tabel 8. Komposisi Anggaran Ditjen PHKA Tahun 2015 Berdasarkan Jenis Belanja 34

Tabel 9. Komposisi Sumber Dana Untuk Kegitan Teknis Bidang PHKA Tahun 2015 36

Tabel 10 Komposisi Anggaran Ditjen PHKA Tahun 2015 Menurut Delapan Kegiatan

Prioritas 37

Pengelolaan anggaran pada sector konservasi khususnya dan di Kementrian Lingkugan Hidup dan Kehutanan pada umumnyya, belum menggunakan pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budget). Salah satu hal yang paing penting dalam mendukung pendekatan ini adalah adanya Standar Biaya Keluaran yang harus menjadi patokan di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian yang belum dimiliki. Akibatnya sangat berpengaruh terhadap fungsi-fungsi di Ditjen yang tidak bisa berjalan dengan baik. Prinsip money follow function, tidak dapat berjalan. Apalagi di internal Kementrian ini masih dalam tahap konsolidasi antar Ditjen yang belum selesai pasca merger. Ini merupakan salah satu temuan riset yang dilakukan oleh Indonesia Budget Center bersama dengan RMI dan KpSHK.

Riset ini merupakan riset yang bersifat evaluatif terhadap pengelolaan anggaran pada sektor Konservasi SDA dan Ekosistem pada Dirjen KSDAE Kementrian LH dan Kehutanan, dikaitkan dengan efktifitas pengelolaan keuangannya, proses penganggarannya dan pemetaan permasalahan pada pengelolaannya melaui pendekatan “Penganggaran Berbasis Kinerja/ Performance Based Budget”. Kegiatan riset ini dilakukan pada pengelolaan anggaran di Taman Nasional di bawah naungan Dirjen KSDAE Kementrian LH dan Kehutanan dengan mengambil isu yang berkaitan dengan : program pencegahan kebakaran; program penyelesaian konflik; dan program pemberdayaan masyarakat.

Riset ini berharap memberikan kontribusi yang positif terhadap pemerintah untuk serius melakukan pembenahan sistem penganggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat terdampak, dengan menekankan prinsip-prinsip Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas, serta pengukuran kinerja yang jelas.

IBC ingin memberikan khazanah informasi baru terkait penganggaran di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berbasis riset, yang temuan-temuannya bisa dipertanggungjawabkan agar bisa digunakan sebagai bahan kajian, bahan diskusi, bahan advokasi, bahan untuk acuan perubahan anggaran yang lebih baik oleh berbagai pihak terkait.

Terima kasih kami berikan kepada semua pihak yang telah membantu selama proses riset anggaran dilakukan, baik bantuan informasi data/dokumen, gagasan/ide, waktu, erta bantuan financial untuk mendukung secara teknis pelaksanaan riset. Terima kasih secara khusus kami berikan kepada tim peneliti, editor, dan para kontributor sehingga riset ini dapat selesai. Jakarta, Desember 2015

Indonesia Budget Center

(4)

B A G I A N I

PENDAHULUAN

A.

Dasar Pemikiran

Kebijakan politik anggaran yang tepat, pro pada pengendalian dan konservasi sumber daya alam diperlukan dalam rangka mencapai sasaran dan target pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainability development). Kelanjutan program dan pendanaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dalam Perpres Nomor 2 tahun 2015 mengenai RPJMN 2015-2019, Pemerintah menargetkan alokasi anggaran untuk sektor sumber daya kehutanan dan lingkungan hidup pada APBN yang cukup tinggi sampai tahun 2019 mencapai Rp29,53 triliun atau meningkat 343% atau senilai Rp22,87 triliun dibanding alokasi anggaran tahun 2015 sebesar Rp6,67 triliun.

Untuk memenuhi target RPJMN tersebut, maka Presiden dan DPR harus mengalokasikan tambahan anggaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setiap tahunnya sebesar 86% atau senilai Rp5,72 triliun / tahun [lihat gambar grafik 1]

Grafik 1. Target RPJMN 2015-2019 untuk Anggaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kebijakan politik anggaran Presiden Jokowi ini terkesan bombastis dan sulit terwujud, mengingat anggaran Kementerian Kehutanan selama 2 (dua) periode pemerintahan SBY sebelumnya (10 tahun) hanya meningkat sekitar 7% dan 23% untuk setiap 5 tahun. Dengan kebijakan presiden baru yang merencanakan kenaikan anggaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan langkah baik dalam mengupayakan terpenuhinya target pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Untuk itu, langkah pemerintah perlu didukung semua pihak untuk mengawal kebijakan ini agar benar-benar dapat diwujudkan dalam kebijakan APBN pada 4 tahun mendatang (APBN 2016 sampai

dengan APBN 2019).

Peningkatan alokasi anggaran saja tidak cukup untuk menjamin tercapainya program-program pengendalian dan konservasi sumber daya alam pada sektor konservasi sumber daya alam dan kehutanan. Namun perlu dibarengi dengan upaya pembenahan tata kelola anggaran yang lebih baik sehingga anggaran yang tersedia dapat digunakan secara optimal. Sejalan dengan konsep efisiensi alokasi (allocative efficiency) dalam penganggaran di sektor publik¸terobosan mutakhir dalam reformasi sistem keuangan negara saat ini adalah penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja (performances based budgeting) dalam penyusunan APBN. Sistem penganggaran berbasis kinerja (PBK) ini telah menjadi pijakan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) pada seluruh Kementerian/Lembaga Negara dan perangkat kerja di daerah setiap tahunnya1. Berhasil tidaknya penerapan

kebijakan PBK dalam penyusunan anggaran di sektor kehutanan dan lingkungan hidup, tidak hanya menjadi peran pemerintah semata tetapi butuh dukungan dan peran aktif pihak lain terutama dalam menjaga prioritasi anggaran yang diusulkan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam APBN untuk mencapai sasaran yang ditargetkan.

B.

Konservasi SDA dan Ekosistem

Fenomena kerusakan alam saat ini dengan mudah dapat dipantau baik melalui media cetak, elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap alam adalah seperti penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan. Sedangkan kerusakan alam yang terjadi di daerah pesisir juga bisa diakibatkan oleh masyarakat yang berada di wilayah pesisir maupun sekitarnya. Contoh kerusakan yang diakibatkan adalah seperti membuang limbah domestik.

Sumber daya alam sebagai sumber daya milik bersama memiliki manfaat ekologis yakni (1) nilai guna langsung; (2) nilai guna tidak langsung; (3) nilai guna pilihan; dan (4) nilai guna nonkonsumtif (Wiratno et. al, 2004). Nilai guna langsung, meliputi komoditas pangan yang dihasilkan kawasan, produk-produk hutan atau laut dan manfaat rekreasi. Nilai guna tidak langsung, meliputi manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologis yang secara terus menerus memberikan perannya kepada masyarakat maupun ekosistem. Nilai guna pilihan, meliputi manfaat sumberdaya alam yang tersimpan atau dipertahankan bagi kepentingan masa depan, misalnya sumber daya hutan yang menyimpan plasma nutfah atau sumber genetik. Nilai guna nonkonsumtif, meliputi nilai keberadaan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat kepada kawasan konservasi atas manfaat spiritual, estetika dan kultural; serta nilai warisan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap suatu sumber daya tertentu agar tetap utuh dan bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Apabila terjadi kerusakan lingkungan yang parah, diduga sumberdaya milik bersama ini akan kehilangan nilai guna-nilai guna seperti yang diuraikan sebelumnya. Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat mengakibatkan habitat alami menjadi rusak.

Menurut Primack (1998), di banyak wilayah kepulauan atau tempat-tempat yang banyak penduduknya, hampir semua habitat alami telah rusak. 47 negara dari 57 negara tropik di Afrika dan Asia telah kehilangan 50% atau lebih habitat hutan tropiknya. Bahkan di Asia, 65% habitat hutan tropiknya telah musnah. Pada laporan “WWF Living Forests Report: Saving Forests at Risk” yang dirilis pada 28 April 2015, menyebutkan bahwa 80 persen dari hutan

1 Modul Kerangka Pemikiran Reformasi Perencanaan Dan Penganggaran, Bappenas. 2009

(5)

alam akan hilang antara tahun 2010 hingga 2030. Laporan ini mengidentifikasi 11 bidang deforestasi hutan dimana kehilangan atau kerusakan diproyeksikan di masa itu, termasuk 3 tempat di Indonesia2.

Berdasarkan uraian di atas, ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang dikandung alam adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Kerusakan hutan yang semakin parah menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan di sekitarnya. Misalnya seperti yang disebutkan dalam situs WWF Indonesia bahwa contoh nyata yang sering terjadi akibat pencemaran hutan ini adalah konflik ruang antara satwa liar dan manusia. Begitu juga dengan kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir yang menyebabkan punahnya habitat alami di wilayah tersebut. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem tersebut yaitu dengan cara melakukan konservasi.

Betapa pentingnya alam untuk dijaga dan dipelihara. Wilayah pesisir dalam Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Keragaman hayati yang dikandung laut seperti terumbu karang, seagrasses (tumbuhan yang ada dalam laut), hutan mangrove, seaweed (rumput laut), dan lainnya merupakan kekayaan yang harus dijaga kelestariannya.

Konservasi alam ini juga mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Maksudnya adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi yang ada saat ini dan kebutuhan generasi yang mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan ini harus dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi dari lingkungan hidup. Lingkup pembangunan berkelanjutan ini sendiri dijelaskan bahwa meliputi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial yang diterapkan secara seimbang serasi selaras dengan alam. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3, yaitu bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.

Purba ed. (2002: 18-20) mengemukakan lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan yakni dengan menggunakan prinsip (1) keadilan antar generasi; (2) keadilan dalam satu generasi; (3) pencegahan dini; (4) perlindungan keanekaragaman hayati; dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif. Kelima prinsip ini, mengandung arti bahwa pembangunan harus memberikan jaminan supaya serasi, selaras dan seimbang dengan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, daya dukung lingkungan yang ada di wilayah pelestarian alam seharusnya tetap terpelihara dan terjaga baik sehingga dapat dimanfaatkan secara terprogram secara lestari bagi kesejahteraan generasi mendatang.

Kerusakan alam yang terjadi dapat mengancam fungsi lingkungan hidup. Selanjutnya, secara otomatis fungsi lingkungan hidup akan mengancam kelestarian ekosistem sumber daya alam hayati. Konservasi alam sebagaimana telah diuraikan sebelumnya adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya alam dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kehutanan, 2013: 3).

Dalam konservasi ada aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kondisi lingkungan, ekonomi,

2 http://www.wwf.or.id/en/news_facts/press_release/?38822/WWF-LIVING-FORESTS-REPORT-Saving-Forests-at-Risk

dan sosial. Lingkungan yang dimaksud mencakup tumbuhan dan hewan harus sesuai dengan habitatnya sehingga dapat tumbuh optimal. Ekonomi yang dimaksud bahwa untuk melakukan konservasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Konservasi harus memperhitungkan faktor biaya penanaman, biaya perawatan, dan biaya pengamanan. Faktor sosial yang dimaksud adalah bahwa dalam konservasi selayaknya melibatkan masyarakat. Karena dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan dipelihara, dijaga dan dirawat sesuai dengan kearifan budayanya.

Manfaat konservasi mencakup manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat konservasi wilayah alam tidak hanya bersifat terukur (tangible), tetapi ada juga yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur mencakup manfaat kegunaan baik untuk dikonsumsi maupun tidak. Sedangkan manfaat tidak terukur lebih tertuju pada manfaat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.

Konservasi alam yang berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan stategi yang tepat. Strategi pemanfaatan yang lestari antara lain merumuskan kebijakan konservasi alam yang berkelanjutan, membuat mekanisme koordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan alam dan mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatannya. Strategi perlindungan, meliputi menetapkan wilayah pelestarian yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen), dan menetapkan zonasi perlindungan. Strategi pelestarian antara lain menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian, membangun sarana dan prasarana pelestarian untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati yang dikandung oleh alam baik di hutan maupun di lautan. Untuk melaksanakan strategi konservasi alam yang berkelanjutan, harus didukung komitmen dari stakeholder pada isu konservasi alam diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip ekosentrisme.

C.

Kebijakan Konservasi Hutan di Indonesia

Kebijakan konservasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah konservasi sejak zaman penjajahan Belanda. Pada 18 Maret 1916 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Undang-undang Monumen Alam/Cagar Alam dengan Lembaran Negara No.278 sebagai dasar Gubernur Jenderal untuk menunjuk dan menetapkan kawasan3. Ketika itu pemerintah

Belanda mengarahkan untuk upaya perlindungan spesies melalui kawasan cagar alam dan suaka alam atau suaka margasatwa, misalnya cagar alam di Bengkulu untuk melindungi Rafflesia arnoldi (bunga bangkai) dan cagar alam Leuser 400.000 ha yang ditetapkan sejak 1934.

Pada akhir tahun 1970an Indonesia mengembangkan hak pengusahaan hutan, mulai diperkenalkan pendekatan pengelolaan konservasi berbasis ekositem dan flagship species (spesies kunci). Era ini merupakan titik awal Indonesia memulai perluasan penunjukkan, penetapan, dan pengelolaan kawasan konservasi. Pada tahun 1978 Indonesia meratifikasi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) melalui Keppres No.43 Tahun 1978. Membutuhkan waktu 12 tahun, Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan perundang-undangan pelaksana atas proses ratifikasi CITES yakni UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan pelaksananya antara lain PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pengawetan, PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan

(6)

Satwa Liar4.

Pada tahun 1980an muncul konsep Taman Nasional. Ketika itu pengelolaan Taman Nasional masih menggunakan paradigma fortrees conservation yang diadopsi dari pengelolaan Taman Nasional Yellowstone Amerika Serikat, yang menekankan pada pendekatan pengamanan (security approach) dengan bertumpu pada pemerintah mengutamakan pengelolaan dan kepentingan konservasi di atas kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan Taman Nasional. Memasuki tahun 1990an, pengelolaan Taman Nasional bergeser pada paradigma new conservation yang memadukan antara kepentingan konservasi dan pembangunan masyarakat lokal khususnya yang berada di sekitar Taman Nasional. Hal ini sejalan dengan ratifikasi Convention of Biological Diversity (Konvensi Konservasi Keanekaragaman Hayati) melalui UU No.5 Tahun 1994. Pada Pasal 8 Konvensi ini menyebutkan bahwa setiap Negara yang meratifikasi diwajibkan untuk menetapkan sistem kawasan yang dilindungi (protected area system). Selain itu Negara harus mengakui/menghormati, melestarikan, dan memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan dari masyarakat asli dan masyarakat setempat yang relevan dengan upaya konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari juga meningkatkan peran serta para pihak.

Pendekatan new conservation mulai diterapkan beberapa Taman Nasional di Indonesia. Dalam implementasinya melalui proyek yang dikembangkan oleh lembaga konservasi internasional seperti WWF, CI, TNC dengan pendanaan dari lembaga keuangan internasional seperti ADB, Bank Dunia dan USAID. Gagasan tentang kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional muncul melalui paradigma new conservation ini. Untuk mengatasi keterbatasan dalam pengelolaan Taman Nasional seperti keterbatasan SDM, sarana prasarana dan pendanaan maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu Permenhut No.P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Namun implementasi kemitraan ataupun kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional ini masih mengalami banyak tantangan seperti hambatan birokrasi, pembagian peran dan prosedur yang tidak jelas.

Tantangan lainnya bersumber dari ketidakkonsistenan dalam istilah kawasan konservasi. Terdapat perbedaan dalatm definisi kawasan konservasi dalam berbagai peraturan di Indonesia. Pada UU No.5 Tahun 1990 tidak menyebutkan istilah kawasan konservasi tetapi menggunakan istilah KSA (Kawasan Suaka Alam) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam). Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung juga tidak menggunakan istilah kawasan konservasi tapi kawasan lindung. SK Dirjen Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam (PHKA) No.129 Tahun 1996, istilah kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan sebagai KSA, KPA, taman buru dan hutan lindung. Sedangkan dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak digunakan istilah kawasan konservasi namun hutan konservasi dan fungsi lindung terpisah dari fungsi konservasi, jadi hutan lindung tidak termasuk dalam hutan konservasi.

Dasar Kebijakan Deifinisi kawasan konservasi

UU No.5 Tahun 1990 Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Keppres No.32 Tahun 1990 Kawasan lindung

SK Dirjen PHKA No.129 Tahun 1996 KSA, KPA, taman buru dan hutan lindung UU No.41 Tahun 1999 hutan konservasi (di luar hutan lindung)

4 Lihat buku “Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan” (Santosa, A.(ed), 2008)

D.

Arti Penting Penelitian

Perlindungan dan konservasi sumber daya alam erat kaitannya dengan upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup. Lemahnya perlindungan dan konservasi sumber daya alam berkontribusi besar terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup yang mengancam aktivitas dan kelangsungan hidup manusia serta keberadaan sumberdaya hayati di dalamnya. Berbagai masalah sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari lemahnya perlindungan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup ini, antara lain: munculnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat meningkatnya laju degradasi hutan dari berbagai aktivitas eksploitasi kawasan hutan yang tidak terkendali dan illegal logging.

Tingkat kerusakan sumber daya alam di Indonesia khususnya kerusakan hutan sudah menggelisahkan. Riset ahli geografi Belinda Margono dari University of Maryland, menunjukkan bahwa selama kurun waktu 12 tahun (2000-2012), luas tutupan hutan di Indonesia berkurang 15,79 juta hektar, dimana 6,02 juta hektar atau sekitar 38 persen adalah hutan primer.

Rusaknya lingkungan juga menimbulkan masalah pencemaran yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu, kawasan hutan yang tidak terkelola dengan baik membawa kerugian besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional dari pemanfaatan sumber daya alam dan meningkatkan kemiskinan akibat merosotnya perekonomian masyarakat.

Dari berbagai permasalahan di atas terus memunculkan kegelisahan akan ancaman kelangsungan pembangunan bangsa dewasa ini yang masih bertumpu pada keberadaan kekayaan alam dan sumber daya hayati. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan pengelolaan sumber daya alam diharapkan menyusun berbagai agenda dan langkah terobosan terhadap perlindungan dan konservasi sumber daya alam bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup. Untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti sediakala tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, sehingga membutuhkan upaya-upaya strategis dan sikap politik anggaran pemerintah yang konsisten dalam memenuhi target pembangunan yang dicanangkan setiap tahunnya. Pemenuhan pendanaan bagi perlindungan dan konservasi sumberdaya alam sangatlah penting dan menjadi keharusan untuk dipenuhi melalui anggaran pemerintah. Namun tantangannya adalah anggaran bagi perlindungan dan konservasi sumberdaya alam tersedia dalam jumah yang cukup pada APBN. Disamping itu, memastikan anggaran tersebut dikelola dengan pendekatan berbasis kinerja untuk meningkatkan efektifitas alokasi (allocative Efficiency) dan diperoleh hasil yang sesuai dengan target capaian yang diharapkan.

E.

Penganggaran Berbasis kinerja

Istilah penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dalam keuangan negara Republik Indonesia diamanatkan pada pasal 14 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai5.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga sebagaimana diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomo 60 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/ Lembaga, menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu : (1) anggaran terpadu (unified budget); (2) kerangka pengeluaran jangka

(7)

menengah/KPJM (medium term expenditure framework); dan (3) penganggaran berbasis kinerja/PBK (performance based budget).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan tersebut fokus pada PBK. Kedua pendekatan lainnya mendukung penerapan PBK. Pendekatan anggaran terpadu merupakan prasyarat penerapan PBK sedangkan pendekatan KPJM merupakan jaminan kontinuitas penyediaan anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga lima tahun. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja, yang terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indicator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran (budget entity).

Konsep PBK bertujuan agar program-program pembangunan yang disusun dapat mengarah pada terwujudnya sasaran yang telah ditetapkan, dicapainya hasil yang optimal dari setiap investasi yang dilakukan guna meningkatkan kualitas pelayanan publik, tercapainya efisiensi serta peningkatan produktifitas di dalam pengelolaan sumber daya dan peningkatan kualitas produk serta jasa untuk mewujudkan kesinambungan pembangunan dan kemandirian nasional serta mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Prinsip yang harus dipatuhi pada PBK adalah6 :

1. Output and outcome oriented (alokasi anggaran berorientasi pada Kinerja)

Alokasi anggaran disusun dalam dokumen rencana kerja dan anggaran dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang efisien. Dalam hal ini program dan kegiatan harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan dalam rencana.

2. Let the manager manges (fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas)

Prinsip ini menggambarkan keleluasan manager unit kerja dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai keluaran sesuai rencana. Keleluasan tersebut meliputi penentuan cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasilnya pada saat pelaksanaan kegiatan, yang memungkinkan berbeda dengan rencana kegiatan. Cara dan tahapan kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat perencanaan merupakan dasar dalam pelaksanaan kegiatan.

Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara seorang manager unit kerja bertanggung jawab atas penggunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan (outcome).

3. Money follow function, function follow by structure

Prinsip ini menggambarkan bahwa pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi unit kerja sesuai maksud pediriannya. Selanjutnya prinsip tersebut dikaitkan dengan prinsip function followed by structure yaitu suatu prinsip yang menggambarkan bahwa struktur organisasi yang dibentuk sesuai dengan fungsi yang diemban. Tugas dan fungsi organisasi dibagi habis dalam unit-unit kerja yang ada dalam struktur organisasi dimaksud, sehingga dapat dipastikan tidak terjadi duplikasi tugas dan fungsi.

6 Riawan Tjandra, “Hukum Keuangan Negara”, Kompas Gramedia, Jakarta : 2014. hal. 69

Penerapan prinsip ini berkaitan erat dengan kinerja yang menjadi tolok ukut efektifitas pengalokasian anggaran dengan berdasarkan argumentasi : efisiensi alokasi anggaran dapat dicapai, karena dapat dihindari overlapping tugas, fungsi dan kegiatan; dan pencapaian output dan outcomes dapat dilakukan secara optimal, karena kegiatan yang diusulkan masing-masing unit kerja benar-benar merupakan pelaksanaan dari tugas dan fungsinya. Penerapan PBK diharapkan dapat : menunjukkan keterkaitan antara pendanaan dan prestasi kerja yang akan dicapai (directly linkages between performance and budget); meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan (operational efficiency); dan meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran (more flexibility and accountability).

Ada 3 komponen penting dalam PBK yaitu :

1) Indikator Kinerja, merupakan alat ukut untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan. Ada dua indicator yang dimaksud yaitu Indikator Kinerja Utama Program (IKU Program) untuk menilai kinerja program, Indikator Kinerja Kegiatan (IK Kegiatan) untuk menilai kinerja kegiatan, dan Indikator Keluaran untuk menilai kinerja sub kegiatan.

2) Standar Biaya, digunakan merupakan standar biaya masukan pada awal tahap

perencanaan berbasis kinerja dan nantinya menjadi standar biaya keluaran. Pengertian ini diterjemahkan berupa Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK). SBU digunakan untuk lintas kementrian Negara/lembaga dan/atau lintas wilayah, sedangkan SBK digunakan oleh kementrian Negara/lembaga tertentu dan/atau wilayah tertentu. PBK menggunakan standar biata sebagai alat untuk menilai efisiensi pada penganggaran yang ouput base.

3) Evaluasi Kinerja, merupakan proses penilain dan pengungkapan masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi efisiensi dan efektifitas dari suatu program/kegiatan. Cara pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil terhadap target (dari sisi efektifitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan sumber daya (dilihat dari sisi efisiensi). Hasil evaluasi kinerja merupakan feed back bagi suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya.

F.

Metodologi dan Ruang Lingkup Penelitian

Riset ini bersifat review dan evaluatif terhadap efektifitas dan efisiensi serta relevansi program dan anggaran konservasi alam pada Dirjen PHKA (saat ini berubah nama Dirjen KSDAE) di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pembahasan efektifitas akan mengulas terkait gambaran tingkat pencapaian kegiatan berdasarkan tujuan yang ditetapkan dan pembahasan efisiensi mengulas pada sisi tingkat pemanfaatan anggaran (input), apakah telah sesuai dengan sasaran output yang dihasilkan. Fokus review memakai data dan informasi mengenai realisasi anggaran dan capaian kinerja sasaran program Ditjen PHKA di tahun 2014. Parameter yang dilihat adalah tingkat serapan anggaran dan tingkat capaian indikator kinerja sasaran program tahun 2014 serta konsistensi capaian indikator kinerja dengan target Renstra 2010-2014. Metode penilaian prestasi kerja juga dilihat dari perbandingan dengan capaian indikator kinerja sasaran program dan anggaran tahun 2013.

(8)

Sedangkan review terhadap relevansi anggaran adalah melihat keterkaitan antara program/ kegiatan konservasi alam pada Ditjen KSDAE tahun 2015 dengan agenda nawacita yang diusung oleh Pemerintahan Jokowi-JK di bidang pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan. Relevansi anggaran juga melihat keterkaitan alokasi anggaran dengan pencapaian indikator-indikator target sasaran program pembangunan konservasi hutan dan ekosistem yang termuat dalam perencanaan bidang Ditjen KSDAE tahun 2015 dan target dalam dokumen RPJMN 2015-2019 dan dokumen RKP Tahun 2015 sebagai acuan pembangunan di tahun tersebut. Pembatasan lingkup data dan informasi didasari atas pertimbangan kemudahan akses data dan dalam konteks informasi yang faktual, riset ini difokuskan pada anggaran Dirjen PHKA/KSDAE tahun 2014-2015.

Riset ini menggunakan metode kualitatif-evaluatif dengan penggunaan instrumen wawancara dan kerangka analisis yang sesuai dengan pertanyaan riset yang ada. Dalam riset melakukan studi pustaka dan kebijakan, wawancara dan diskusi terfokus.

1) Sumber Informasi

2) Sesuai dengan permasalahan dan fokus penelitian yang hendak dikaji, sumber data dalam riset ini dipilih secara purpossive atas dasar pada subyek yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Narasumber yang berhasil digali informasinya adalah :

1. Staff di Ditjen KSDAE KLHK Direktorat Kawasan Konservasi. Informan pernah bekerja di Taman Nasional selama 2 tahun dan di BKSDA selama 3 tahun.

2. Staff Ahli Komisi IV DPR RI sejak periode 2009-2014 dan saat ini masih dipercaya sebagai Staff Ahli Komisi IV DPR RI.

3. Pegawai GN PSDA.

4. Staf PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam) yang sedang studi program Master (S2) di IPB jurusan Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Tesis yang disusunnya mengenai penggunaan data spasial (peta) untuk menggambarkan konflik tata guna lahan di kawasan Halimun Salak.

5. Direktorat Penyiapan Perhutanan Sosial pada Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Informan pernah menjabat sebagai Kepala Balai Taman Nasional selama 20 tahun.

6. Konsultan dan Peneliti Lingkungan dan Kehuatanan di Kemitraan.

7. Staff Bagian Perencanaan dan Evaluasi di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

8. Staff di Bagian Evaluasi dan Pelaporan Dirjen KSDAE Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

9. Anggota Komisi IV DPR RI periode 2014-2019. Bekerja di Kementrian Kehutanan selama 36 tahun dan menjabat Direktur pada Dirjen PHKA (saat ini KSDAE) Kementrian Kehutanan selama 10 tahun.

10. Mantan Anggota DPR RI Komisi IV. Saat ini menjabat sebagai Dirut Perhutani. 11. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Dokumen yang berkaitan dengan permasalahan dan fokus riset. Dokumen yang berhasil dikumpulkan adalah :

1. RPJMN Tahun 2010-2014 2. RPJMN Tahun 2015-2019

3. RKP Tahun 2014 4. RKP Tahun 2015

5. APBN Tahun Anggaran 2014 6. APBN Tahun Anggaran 2015

7. DIPA Dirjen PHKA Tahun Anggaran 2014 8. DIPA Dirjen KSDAE Tahun Anggaran 2015 9. LAKIP Dirjen PHKA Tahun Anggaran 2014 3) Tehnik pengumpulan data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam riset ini melaui :

a) Wawancara yang mendalam (in-depth interview), yaitu terknik yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan tersetruktur yang dilakukan secara lentur dan longgar dan dimaksudkan untuk mencari informasi yang mendalam atas focus penelitian.

b) Focus Group Discussion (FGD), dalam diskusi terfokus ini sebagai bentuk klarifikasi atas informasi yang diperoleh sebelumnya. Kegiatan ini juga sebagai upaya untuk mendapatkan informasi tambahan, saran dan masukan dari beberapa peserta yang beserta dari stake holder terkait focus penelitian ini. Peserta FGD diprioritaskan bagi mereka yang sebelumnya diminta informasi dalam wawancara dan memahami persoalan.

(9)

B A G I A N I I

EFEKTIFITAS DAN RELEVANSI

ANGGARAN PERLINDUNGAN HUTAN DAN

KONSERVASI ALAM

A.

Tugas Pokok dan Fungsi Ditjen PHKA

Sebelum Kementerian Lingkungan Hidup digabung (merger) dengan Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) merupakan unit organisasi Eselon I pada Kementerian Kehutanan yang memiliki mandat untuk melaksanakan upaya-upaya perlindungan hutan dan konservasi alam termasuk Taman Nasional di Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, Dirjen PHKA mengemban tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Dirjen PHKA menyelenggarakan lima fungsi, yaitu: a) perumusan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; b) pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; c) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; d) pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; dan e) pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Sesuai struktur organisasi Ditjen PHKA, terdapat enam satuan kerja (Satker)7 setingkat Eselon

II di Pusat yang bertanggung jawab dalam merencanakan dan merumuskan kebijakan serta melaksanakan kebijakan perlindungan hutan dan konservasi alam, termasuk memberikan bimbingan teknis dan evaluasi kinerja unit kerja di bawahnya, yaitu: a) Sekretariat Jenderal (Setjen); b) Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan (PPH); c) Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH); d) Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL); e) Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH); f) Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi (PJLKK).

Selain itu, terdapat dua satker Ditjen PHKA setingkat daerah yang berfungsi sebagai unit pelaksana teknis/UPT kegiatan perlindungan hutan dan konservasi alam di tingkat lapangan, yaitu: Balai Taman Nasional (TN) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Balai Taman fungsinya mendukung dan menyelenggarakan kegiatan perlindungan hutan dan konservasi alam di dalam kawasan konservasi Taman Nasional. Sedangkan Balai KSDA fungsinya melaksanakan kegiatan perlindungan hutan dan konservasi di luar kawasan Taman Nasional, seperti kawasan: Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Buru dan Hutan Lindung. Saat ini jumlah Balai Taman Nasional sebanyak 51 UPT dan Balai KSDA sebanyak 27 UPT.

B.

Program dan Sasaran Pembangunan Konservasi Alam

Berdasarkan Tupoksinya, Ditjen PHKA melaksanakan program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan sebagaimana telah digariskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.51/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 Jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.15/Menhut-II/2013

7 Satuan Kerja adalah kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang yang merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.

tentang Perubahan Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Program tersebut bertujuan untuk mewujudkan kemandirian pengelolaan kawasan konservasi, kelestarian keanekaragaman hayati, terjaminnya hak-hak Negara atas kawasan dan hasil hutan serta peningkatan penerimaan Negara dan masyarakat dari kegiatan konservasi sumber daya alam.

Sasaran (outcome) dari pelaksanaan program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan adalah biodiversity dan ekosistemnya berperan signifikan sebagai penyangga ketahanan ekologis dan penggerak ekonomi riil serta pengungkit martabat bangsa dalam pergaulan global. Terdapat enam indikator kinerja utama (IKU) yang menjadi ukuran pencapaian sasaran pembangunan bidang PHKA selama lima tahun dalam periode 2010-2014 sebagai berikut:

1. Konflik dan tekanan terhadap kawasan Taman Nasional dan kawasan konservasi lainnya (Cagar Alam (CA), Suaka Marga Satwa (SM), Taman Buru (TB) dan Hutan Lindung (HL) menurun sebanyak 5 persen;

2. Populasi spesies prioritas utama yang terancam punah meningkat sebesar 3 persen dari kondisi populasi tahun 2008 sesuai kondisi biologis dan kesediaan habitat;

3. Kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan tumbuhan dan satwa liar/TSL illegal, penambangan illegal dan kebakaran hutan) pada tahun berjalan dapat diselesaikan minimal 75 persen;

4. Hotspot (titik api) di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi berkurang 20 persen setiap tahun dari rerata 2005-2009; dan

5. Meningkatnya pengusahaan pariwisata alam sebesar 60 persen dibandingkan tahun 2008.

6. Terbangunnya sistem pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) pada Taman Nasional sebanyak 12 unit.

Lebih rinci sasaran dan indikator program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 1. Sasaran dan Indikator Kinerja Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan Menurut Renstra Kemenhut Tahun 2010-2014

No Sasaran

Indikator Kinerja Target Renstra 2010-2014

Target Tahun

2010 2011 2012 2013 2014

1 Presentase penurunan konflik dan tekanan pada kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya (CA, SM dan TB) dan HL

25.000 ha

(5%) 5.000 ha(1%) 5.000 ha(1%) 5.000 ha(1%) 5.000 ha(1%) 5.000 ha(1%)

Persentase peningkatan populasi species terancam punah dari kondisi tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat

(10)

Dalam rangka pelaksanaan Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan selama lima tahun (2010-2014), telah ditetapkan sebanyak enam kegiatan dengan penanggung jawab masing – masing satker pada Eselon II di Pusat, dan dua kegiatan untuk satker di tingkat UPT/Balai yang mendukung pencapaian indikator kinerja kegiatan Eselon II di Pusat. Adapun enam kegiatan di bawah tanggung jawab satker Pusat dan indikator kinerja kegiatan (IKK) pencapaian keluaran (output) masing-masing kegiatannya, sebagai berikut: 1. Kegiatan Pengembangan Konservasi Kawasan, Ekosistem Esensial dan Pembinaan Hutan

Lindung. Kegiatan di bawah tanggung jawab Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL), dengan tujuh IKK yang telah ditetapkan :

a. Konflik dan tekanan terhadap kawasan Taman Nasional dan kawasan konservasi lainnya (CA, SM dan TB) dan HL menurun sebanyak 5 persen.

b. Pengelolaan ekosistem esensial sebagai penyangga kehidupan meningkat sebesar 10 persen.

c. Penanganan perambahan kawasan hutan pada 12 provinsi prioritas (Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah).

d. Restorasi ekosistem kawasan konservasi sebanyak 4 lokasi.

e. Peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi melalui pengelolaan berbasis resort di 50 Taman Nasional.

f. Peningkatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem gambut pada 8 Provinsi. g. Peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi tertentu

meningkat menjadi minimal Rp800.000,00 per bulan per kepala keluarga (atau sebesar 30%) melalui upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.

2. Kegiatan Pengembangan Konservasi Spesies dan Genetik. Kegiatan ini di bawah tanggung jawab Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH). Adapun empat IKK yang ditargetkan :

h. Populasi spesies prioritas utama yang terancam punah meningkat sebesar 3 persen dari kondisi tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat.

i. Penangkaran dan pemanfaatan jenis keanekaragaman hayati secara lestari meningkat

5 persen.

j. Kerjasama internasional dan konvensi di bidang konservasi keanekaragaman hayati sebanyak satu paket per tahun.

k. Penyelenggaraan perjanjian kerjasama melalui skema Debt For Nature Swap (DNS) untuk konservasi spesies terancam punah, sebanyak dua aktifitas/perjanjian.

3. Kegiatan Penyidikan dan Perlindungan Hutan. Penanggungjawab kegiatan ini adalah Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan (PPH), dengan empat IKK :

a. Kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) illegal, penambangan illegal dan kebakaran) penanganannya terselesaikan sebanyak 75 persen.

b. Tunggakan perkara (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL illegal, penambangan illegal dan kebakaran) terselesaikan sebanyak 25 persen per tahun. c. Kasus hukum perambahan kawasan konservasi terselesaikan sebanyak 20 persen. d. Peningkatan kapasitas penanganan kasus kejahatan kebakaran hutan di 10 Provinsi. 4. Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan. Merupakan tanggung jawab Direktorat

Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH), dengan tiga IKK:

a. Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi berkurang 20 persen setiap tahun dari rerata 2005-2009.

b. Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50 persen dalam 5 tahun dibanding kondisi rerata 2005-2009.

c. Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha pengurangan resiko, mitigasi dan penanganan bahaya kebakaran hutan di 30 DAOPS (10 Propinsi).

5. Kegiatan Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, dengan penanggung jawab Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi (PJLKK). Terdapat lima IKK yang ditargetkan :

a. Pengusahaan pariwisata alam meningkat 60 persen dibandingkan tahun 2008 b. Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan air baru sebanyak 25 unit

c. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di bidang pengusahaan pariwisata alam meningkat 100 persen dibandingkan tahun 2008.

d. Pelaksanaan demonstration activity REDD di dua kawasan konservasi (hutan gambut). e. Kader konservasi (KK), Kelompok Swadaya Masyarakat/Kelompok Profesi (KSM/KP)

yang dapat diberdayakan meningkat 10 persen dari tahun 2009.

6. Kegiatan Dukungan Manajemen dan Tugas Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, berada di bawah tanggung jawab Sekretariat Jenderal. Ada enam IKK yang ditargetkan :

a. Kapasitas kelembagaan UPT PHKA yang berkualifikasi lengkap meningkat dari 9 unit pelaksana teknis (UPT) menjadi 77 UPT.

b. Pembentukan 6 UPT baru Direktorat Jenderal PHKA di Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Maluku Utara.

c. Kerjasama dan kemitraan bidang konservasi sumber daya alam hutan dan eksosistemnya dengan sumber dana bersifat hibah, non komersial, asistensi teknik dan program penghapusan hutang melalui DNS meningkat setiap tahunnya minimal 2 dokumen per tahun.

d. Tersedianya peraturan perundangan bidang konservasi sumberdaya alam hutan dan ekosistemnya yang bersifat komprehensif dalam mendukung dinamika lapangan sebanyak 3 dokumen per tahun.

e. Tersedianya dokumen program dan anggaran serta laporan evaluasi dan keuangan pada 6 satker pusat dan 77 satker UPT serta 33 Dinas Provinsi sebanyak 580 dokumen. 2 Presentase penyelesaian

kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL illegal, penambangan illegal dan kebakaran) sebesar 50% dibanding tahun 2009

75% 15% 30% 45% 60% 75%

3 Persentase penurunan hotspot sebesar 20% setiap tahun di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi dari retara 2005-2009 (58.890 titik api)

20% 20% 36% 48,8% 59,2% 67,2%

4 Pengusahaan pariwisata alam meningkat dibanding tahun 2008

60%

(15 Unit) 3 6 9 12 15

5 Jumlah satker yang dipersiapkan dalam pembentukan satker Penetapan Kinerja -BLU

(11)

f. Terbangunnya sistem pengelolaan BLU pada taman nasional sebanyak 12 unit.

Sedangkan dua kegiatan di tingkat lapangan yang sifatnya mendukung keberhasilan pencapaian indikator kinerja dari enam kegiatan di Pusat yang menjadi tanggungjawab masing-masing UPT/Balai adalah :

1. Kegiatan Kegiatan Pengembangan dan Pengelolaan Taman Nasional, di bawah tanggung jawab UPT/Balai Taman Nasional (TN). Terdapat dua belas target IKK UPT TN sebagai berikut:

a. Konflik dan tekanan terhadap kawasan taman nasional menurun sebanyak 5 persen. b. Peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi melalui pengelolaan berbasis

resort di 50 TN

c. Kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL ilegal, penambangan illegal dan kebakaran) penangannya terselesaikan minimal sebanyak 75 persen.

d. Tunggakan perkara (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL ilegal, penambangan ilegal dan kebakaran) terselesaikan sebanyak 25 persen per tahun e. Kasus hukum perambahan kawasan konservasi terselesaikan sebanyak 20 persen. f. Populasi spesies prioritas utama yang terancam punah meningkat sebesar 3 persen

dari kondisi tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat.

g. Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi berkurang 20 persen setiap tahun dari rerata 2005-2009.

h. Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50 persen dalam 5 tahun dibanding kondisi rerata 2005-2009.

i. Pengusahaan Pariwisata alam meningkat sebesar 60 persen dibandingkan tahun 2008 j. PNBP di bidang pengusahaan pariwisata alam meningkat 100 persen dibandingkan

tahun 2008

k. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan wisata alam di sekitar Taman Nasional pada 50 TN.

l. Tersedianya dokumen program dan anggaran serta laporan evaluasi dan keuangan di 50 TN.

2. Kegiatan Pengembangan dan Pengelolaan Konservasi Sumber Daya Alam. Kegiatan di bawah tanggung jawab UPT/Balai KSDA, dengan dua belas target IKK yang ditetapkan: a. Konflik dan tekanan terhadap kawasan CA, SM, TB dan HL menurun sebanyak 5 persen. b. Pengelolaan ekosistem esensial sebagai penyangga kehidupan meningkat 10 persen. c. Kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL ilegal, penambangan illegal dan kebakaran) penangannya terselesaikan minimal sebanyak 75 persen.

d. Tunggakan perkara (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL ilegal, penambangan ilegal dan kebakaran) terselesaikan sebanyak 25 persen per tahun. e. Kasus hukum perambahan kawasan konservasi terselesaikan sebanyak 20 persen. f. Populasi spesies prioritas utama yang terancam punah meningkat sebesar 3 persen

dari kondisi tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat

g. Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi berkurang 20 persen setiap tahun dari rerata 2005-2009

h. Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50 persen dalam 5 tahun dibanding kondisi rerata 2005-2009.

i. Pengusahaan Pariwisata alam meningkat sebesar 60 persen dibandingkan tahun 2008

j. PNBP dibidang pengusahaan pariwisata alam meningkat 100 persen dibandingkan tahun 2008

k. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan wisata alam di sekitar kawasan konservasi pada 29 Provinsi.

l. Tersedianya dokumen program dan anggaran serta laporan evaluasi dan keuangan pada 29 Provinsi.

C.

Temuan Efektifitas Anggaran PHKA Tahun 2014 dan

Relevansi Tahun 2015

1) Temuan-temuan Efektifitas dan Efisiensi Anggaran PHKA Tahun 2014

Pada bagian ini akan mengulas efektifitas dan efisiensi capaian pelaksanaan program pengelolaan hutan konservasi dan keanekaragaman hayati pada tahun 2014. Beberapa parameter yang dinilai adalah tingkat serapan anggaran dan tingkat capaian indikator kinerja sasaran program tahun 2014 serta konsistensi capaian indikator kinerja dengan target Renstra 2010-2014. Penilaian prestasi kerja juga dilihat dari perbandingan dengan capaian indikator kinerja sasaran program dan anggaran tahun 2013.

Berdasarkan data realisasi kinerja sasaran pembangunan konservasi pada Ditjen PHKA, ditemukan beberapa hal menyangkut tingkat efisiensi anggaran dan efektifitas pelaksanaan program pengelolaan hutan konservasi dan keanekaragaman hayati tahun 2014, sebagai berikut:

a. Tingkat Serapan Anggaran PHKA Tahun 2014

Ditjen PHKA pada tahun 2014 memperoleh pagu anggaran sebesar Rp 1,21 triliun, terjadi penurunan sebesar 27,40 persen dibandingkan tahun 2013. Hal ini berbeda dengan kondisi pada empat tahun sebelumnya (periode 2010-2013), dimana jumlah pagunya cenderung mengalami peningkatan. Namun dilihat dari sisi serapan anggaran, tahun 2014 menunjukkan kinerja yang baik jika dibandingkan dengan target minimal serapan anggaran yang ditetapkan Kementerian Kehutanan sebesar 90 %. Rincian pagu dan realisasi anggaran Dirjen PHKA 2010-2014 dapat di lihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2. Perkembangan Serapan Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2010-2014

Tahun Pagu Anggaran (Rp) Naik/Turun (%) Realisasi

Nilai (Rp) % 2010 1,209,211,873,000 977,123,163,027 80,81 2011 1,284,702,318,000 6.24 1,022,533,057,529 79,59 2012 1,461,723,126,000 13.78 1,276,820,152,364 87,35 2013 1,679,517,845,000 14.90 1,512,033,328,897 90,03 2014 1,219,299,503,000 (27.40) 1,138,710,002,370 93,39

Sumber: LAKIP PHKA 2014

Tabel di atas menunjukkan bahwa serapan anggaran Dirjen PHKA tahun 2014 adalah sebesar Rp. 1,13 Triliun atau mencapai 93,39 persen terhadap total pagu anggarannya. Sedangkan realisasi tahun 2013 adalah sebesar Rp. 1,51 Triliun atau mencapai 90,03 persen terhadap pagunya. Potret diatas menggambarkan tingkat serapan anggaran tahun 2014 lebih baik dengan nilai persentase lebih tinggi 3,36 persen dibandingkan tahun 2013.

(12)

Semakin sedikit sisa anggaran semakin mengurangi potensi dana yang menganggur atau tidak terpakai. Kondisi ini juga menandakan pengawasan di jajaran Dirjen PHKA berjalan cukup baik dalam memastikan terlaksananya kegiatan. Rincian serapan anggaran Dirjen PHKA menurut jenis belanja tahun 2014 sebagai berikut:

Tabel 3. Pagu dan Realisasi Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2014 Berdasarkan Jenis Belanja

No Jenis Belanja Pagu Anggaran 2014 (Rp) Realisasi 2014

Nilai (Rp) %

1 Belanja Pegawai 461.564.475.000 441.419.690.555 95,64 2 Belanja Barang dan Jasa 632.036.666.000 579.537.752.630 91,69 3 Belanja Modal 125.698.362.000 117.752.559.185 93,68 Jumlah 1.219.299.503.000 1.138.710.002.370 93,39

Sumber: LAKIP PHKA 2014

Berdasarkan jenis belanjanya, serapan belanja paling tinggi di tahun 2014 adalah belanja pegawai sebesar 95,64 persen, kemudian disusul belanja modal sebesar 93,98 persen dan belanja barang dan jasa sebesar 91,69 persen. Umumnya biaya langsung kegiatan konservasi di lapangan berasal dari pos belanja barang dan jasa. Rendahya tingkat serapan belanja barang jasa ini dapat berpengaruh terhadap tercapainya target sasaran kegiatan. Adapun pagu dan realisasi anggaran Dirjen PHKA berdasarkan enam kegiatan utama sebagai berikut:

Tabel 4. Pagu dan Realisasi Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2014 dan Realisasi Tahun 2013 Menurut Enam Kegiatan Utama

No Uraian Program Pagu Anggaran 2014

Realisasi 2014

Realisasi 2013 (%) Nilai (Rp) %

1 Pengembangan Kawasan Konservasi, Ekosistem Esensial, dan Pembinaan

Hutan Lindung 103.091.048.000 97.453.970.143 94,53 85,65 2 Pengembangan Konservasi Spesies dan Genetik 54.890.752.000 48.644.895.648 88,62 86,55 3 Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan 65.480.935.000 59.110.190.176 90,27 95,69 4 Pengendalian Kebakaran Hutan 101.343.944.000 108.304.190.050 106,87 89,24 5 Penyidikan dan Pengamanan Hutan 121.374.275.000 102.463.955.118 84,42 89,71

6 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya

Dirjen PHKA 773.118.549.000 722.732.801.235 93,48 90,65 Jumlah 1.219.299.503.000 1.138.710.002.370 93,39 90,03

Sumber: LAKIP PHKA 2013-2014

Walaupun serapan anggarannya terlihat cukup baik, namun terdapat dua kegiatan yang

lebih rendah tingkat serapan anggarannya dibandingkan tahun 2013, yaitu kegiatan Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan serta kegiatan Penyidikan dan Pengamanan Hutan dengan prosentase penurunan masing-masing kegiatan sebesar minus 5,42 persen dan minus 5,29 persen. Selain itu, terdapat pula satu kegiatan yang penyerapan anggarannya melampaui dari yang dianggarkan, yaitu Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan mencapai 106,87 persen. Kelebihan realisasi ini disebabkan oleh adanya penganggaran transaksi non kas dari bantuan hibah yang baru diakui setelah ada perjanjian pemberian hibah di tahun anggaran berjalan.

Terdapat beberapa kondisi umum yang mempengaruhi tingkat serapan anggaran ditingkat Dirjen PHKA tahun 20138, diantaranya:

a. Adanya keterbatasan SDM pejabat pengadaan barang dan proses lelang yang terlambat sehingga membuat anggaran untuk pengadaan barang/jasa tidak terserap optimal. b. Belum terbitnya petunjuk operasional (Juknis) dari Kementerian Kehutanan terkait

kegiatan pemeliharaan seperti Radio Komunikasi (SKRT) tidak dapat dilaksanakan. Hal ini juga disebabkan lemahnya koordinasi di internal dalam penyusunan Juknis.

c. Perencanaan anggaran beberapa belanja barang seperti belanja jasa, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas dan paket meeting tidak optimal karena pagu anggaran yang terlalu besar terutama pada Satker Pusat. Perencanaan pagu belanja barang tersebut belum disusun sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan organisasi.

d. Adanya perencanaan anggaran dan teknis pelaksanaan dilapangan yang kurang optimal sehingga serapan beberapa belanja pegawai yang tidak mencapai target pagunya, seperti belanja honorarium, belanja lembur, belanja tunjangan khusus dan pegawai transit. Hal ini terlihat dari rendahnya serapan belanja pegawai sebesar 94,56 persen dan terlihat juga dari serapan belanja kegiatan Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Dirjen PHKA hanya sebesar 90,65 persen dari pagunya. Lemahnya penganggaran dan teknis pelaksanaan kegiatan menjadi hambatan dalam serapan anggarannya.

e. Rendahnya kapasitas SDM petugas Tipihut (Polhut dan PPNS) dan kurangnya koordinasi dengan lembaga terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK sehingga kegiatan-kegiatan operasi gabungan Pamhut terkait penanganan kasus Tipihut tidak bisa dilaksanakan. Hal ini terlihat dari realisasi belanja kegiatan Penyidikan dan Pengamanan Hutan hanya sebesar 89,71 persen. Tidak adanya prioritas lokasi untuk operasi gabungan Pamhut merupakan salah satu kendala pelaksanaan operasi gabungan tersebut.

Sedangkan kondisi umum baik internal dan eksternal yang mempengaruhi tingkat serapan anggaran Dirjen PHKA tahun 2014, sebagai berikut:

a. Terjadi revisi pagu anggaran Dirjen PHKA hingga lima kali revisi dalam bulan Juli sampai dengan bulan November. Adanya revisi anggaran dengan waktu yang sangat mepet tersebut membuat pelaksanaan program menjadi terhambat karena perlu dilakukan penyesuaian kembali terhadap perencanaan yang ditetapkan sebelumnya.

b. Pembiayaan beberapa kegiatan pembangunan konservasi pada Dirjen PHKA mengandalkan dana PNBP. Sementara pencairan dana PNBP sangat bergantung pada Surat Edaran (SE) Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan tentang Batas Maksimum Pencairan Dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran PNBP Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan di Lingkungan Kementerian Kehutanan, dimana sulit diprediksi waktu pencairan dan besaran dananya. Bahkan waktu pencairannya sangat terbatas mendekati masa akhir anggaran sehingga membuat penyerapannya tidak optimal. Pada tahun 2014, terdapat sepuluh kali SE pencairan dana yaitu pada pada bulan April, Mei, Juni (2 kali), Agustus (2 kali), Oktober, November (2 kali) dan Desember.

(13)

c. Belum optimalnya perencanaan kegiatan operasi gabungan penanganan tindak pidana kehutanan sehingga sebagian kegiatan belum terlaksana. Hal ini membuat anggaran kegiatan Penyidikan dan Pengamanan Hutan terlihat kurang terserap bahkan lebih rendah 5,29% dibandingkan tingkat serapan tahun sebelumnya.

d. Adanya kebijakan Presiden melalui Menteri Keuangan kepada seluruh K/L menjelang akhir tahun anggaran untuk melakukan efisiensi/penghematan anggaran K/L terhadap belanja perjalanan dinas dan rapat di hotel. Sehingga kegiatan yang telah dianggarkan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan9.

Masalah lain terkait daya serap anggaran yang tidak maksimal disebabkan oleh perencanaan anggaran yang tidak sesuai kebutuhan, penyusunan biaya per kegiatan belum menggunakan Pedoman Standar Harga Pokok Kegiatan (PSHPK) tetapi dari hasil wawancara dan informasi yang digali didapati masih bersifat gelondongan dan cenderung copy paste dari kegiatan sebelumnya. Atau dengan kata lain bukan berdasarkan kebutuhan riil dilapangan.

Meskipun tingkat penyerapan anggaran pada Dirjen PHKA dinilai cukup baik, namun dari temuan beberapa kondisi diatas yang menghambat optimalisasi penyerapan anggaran menunjukkan perlunya upaya yang lebih serius di jajaran unit kerja Dirjen PHKA untuk meningkatkan tata kelola yang baik dari sisi perencanaan dan penganggaran maupun teknis pelaksanaan kegiatan sehingga berdampak upaya penyerapan anggaran yang semakin baik. Penyerapan anggaran yang semakin baik, diharapkan berkorelasi terhadap pencapaian indikator dan target kinerja dari sasaran program dan kegiatan pembangunan konservasi hutan dan ekosistem yang direncanakan.

b. Capaian Kinerja Sasaran Pembangunan Konservasi Alam Tahun 2014.

Secara umum kinerja sasaran program pengelolaan hutan konservasi dan keanekaragaman hayati belum mencapai hasil yang diharapkan. Dari enam output program yang ditetapkan sebagai indikator kinerja utama Ditjen PHKA tahun 2014, hanya tiga indikator yang berhasil melampaui targetnya, yaitu: Peningkatan populasi species prioritas utama (14 spesies) yang terancam punah, Penyelesaian kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL, dan kebakaran hutan) hingga P21; dan Peningkatan jumlah pengusahaan pariwisata alam.

Keberhasilan ini didukung oleh beberapa faktor yakni:

1. Bertambahnya kemampuan Ditjen PHKA melakukan optimalisasi alokasi anggaran yang tersedia untuk kegiatan Pengembangan Konservasi Spesies dan Genetik, Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Penyidikan dan Pengamanan Hutan. Walaupun ketiga kegiatan tersebut tingkat serapan anggarannya ditahun 2014 lebih rendah dibandingkan tiga kegiatan prioritas lainnya, namun mampu menghasilkan capaian output melebihi dari yang ditargetkan. Hal ini terkonfirmasi dari capaian ditahun 2014 terhadap beberapa indikator kegiatan sebagai berikut:

a) Terlaksananya kegiatan pengembangan konservasi spesies dan genetik yang menghasilkan tambahan jumlah unit penangkar sebanyak 3 unit, jumlah izin edar pemanfaatan tumbuhan satwa liar (TSL) bertambah sebanyak 14 izin, dan jumlah unit lembaga konservasi bertambah sebanyak 1 unit.

b) Terlaksananya kegiatan penyidikan dan pengamanan hutan yang hasilnya meliputi: penyidikan kasus-kasus baru tindak pidana kehutanan yang terselesaikan hingga P21 sebanyak 72 kasus dari 79 kasus yang ada selama tahun 2014 dimana didominasi oleh kasus-kasus perambahan kawasan konservasi, illegal logging dan TSL, serta tunggakan kasus tipihut tahun 2009-2013 yang diselesaikan hingga P21 sebanyak 86

9 Sumber LAKIP PHKA 2014

kasus dari total kasus sebanyak 339 kasus.

c) Terlaksananya kegiatan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dikawasan konservasi alam dengan hasil yang dicapai diantaranya: 1) bertambahnya jumlah izin pengusahaan pariwisata alam (IPPA) yang diterbitkan oleh Dirjen PHKA dan Kepala UPT sebanyak 39 unit dari target 3 unit, terdiri dari Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) sebanyak 36 izin dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) sebanyak 3 izin yang dikelolan yang dikelola oleh perusahaan/koperasi dan perorangan. Persyaratan penerbitan izin IUPJWA yang relative mudah oleh kepala UPT sehingga penambahan izin IUPJWA ditahun 2014 cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya; 2) bertambahnya jumlah Izin dan MoU yang diterbitkan terkait usaha pemanfaatan jasa lingkungan air baru dikawasan konservasi yang mencapai 85 unit dari 5 unit yang ditargetkan; 3) bertambahnya jumlah kader konservasi (KK), kelompok pecinta alam (KPA), kelompok swadaya masyarakat/ kelompok profesi (KSM/KP) yang rekrut sebagai mitra PHKA dalam menjaga dan melestarikan kawasan konservasi sebanyak 601 orang dari jumlah tahun 2013; 4) Adanya kenaikan jumlah penerimaan PNBP di bidang pariwisata alam sebesar 86 persen dari penerimaan PNBP tahun 2013, meliputi: Pungutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (PIPPA), Pungutan Masuk Obyek Wisata Alam (MOWA)/Karcis Masuk, Iuran Hasil Usaha Pengusahaan Pariwisata Alam (IHUPA), dan Pungutan Hasil Usaha Jasa Wisata Alam. Keberhasilan ini ditopang oleh meningkatnya peran UPT dalam mengembangkan potensi wisata alam diwilayah kerjanya, meningkatnya kegiatan promosi dan pemasaran wisata alam dikawasan konservasi baik tingkat daerah, nasional dan international serta dampak implementasi reformasi birokrasi melalui penyederhanaan proses perijinan pengusahaan pariwisata alam dan diterapkannya Peraturan Pemerintah Nomor: 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mengatur jenis pungutan yang baru yaitu Pungutan Hasil Usaha Jasa Wisata Alam. 2. Meningkatnya jumlah sumber daya manusia yang terlatih yang didukung dengan

peralatan dengan jumlah yang memadai.

3. Adanya koordinasi yang intens dengan UPT dilapangan dalam mengembangkan dan mensinergikan kerja-kerja ditingkat lapangan.

4. Mengaktifkan review Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam rangka mendorong peningkatan pencapaian kinerja melalui rapat-rapat triwulanan dilingkup Ditjen PHKA. Hal ini menindaklanjuti rekomendasi hasil evaluasi oleh Tim Inspektorat Jenderal terhadap permasalahan system akuntabilitas kinerja dilingkungan Ditjen PHKA.

Rincian perkembangan capaian indikator kinerja program pengelolaan hutan konservasi dan keanekaragaman hayati tahun 2013-2014 dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 5. Perkembangan Capaian Indikator Kinerja Sasaran Program Pengelolaan Hutan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Tahun 2013-2014

No

Sasaran

Indikator Kinerja Capaian Tahun 2014 Capaian 2013 (%) Target Realisasi %

1

Penurunan Konflik dan tekanan pada kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya (CA, SM dan TB) dan HL

1%

(14)

2 Peningkatan populasi species terancam punah dari kondisi tahun

2008 sesuai ketersediaan habitat 3% 54,81% 150 150

3

Penyelesaian kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL illegal, penambangan illegal dan kebakaran) 75% (dari 79 kasus, 59 kasus selesai P21) 91,14% (dari 79 kasus, 72 kasus selesai P21) 121,52 115,3

4 Penurunan hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi

67,2% (19.316

titik) (30.439 titik)48,31% 71,89 115,03

5 Peningkatan pengusahaan pariwisata alam dibanding tahun 2008

60%

(15 Unit) (80 Unit)320% 150 150

6 Terbangunnya persiapan sistem pengelolaan BLU di UPT PHKA 3 UPT 0 0 100 Rata-Rata Tingkat Capaian (%) 93.54 113.25

Diolah dari LAKIP PHKA 2013 dan 2014

*) Terdapat perbedaan tingkat capaian kinerja tahun 2013 dan 2014. Namun agar dapat menggambarkan capaian kinerja yang sesungguhnya dari Ditjen PHKA, formula yang digunakan untuk pengukuran nilai capaian indikator kinerja dibatasi maksimal sebesar 150%.

c. Penurunan Tingkat Efektifitas Kinerja Tahun 2014

Upaya perbaikan penyusunan rencana kerja dan anggaran dilingkup Dirjen PHKA dilakukan dengan cara mengevaluasi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam perencanaan anggaran ditahun 2013, diantaranya: terdapat ketidaksesuaian antara output dengan komponen input dalam rangka mencapai output, kurangnya output yang mengakomodir kegiatan teknis dan alokasi anggaran pada setiap output belum mencerminkan kegiatan yang sesungguhnya. Upaya perbaikan penyusunan anggaran tahun 2014 antara lain mengupayakan keterkaitan antara indicator kinerja dengan struktur input RKA yang ada berdasarkan hasil review tahun-tahun sebelumnya, penyeragaman nomenklatur input data RKA K/L per kegiatan per output mulai dari sub output sampai komponennya, mengakomodir tambahan komponen baru untuk komponen kegiatan yang belum ada nomenklaturnya, serta melakukan pencermatan kesesuaian penempatan input data RKA K/L dalam pengusulan perencanaan anggaran Eselon II Pusat selaku penanggung jawab kegiatan10.

Dari upaya-upaya perbaikan tersebut belum dijalankan secara efektif dan optimal. Capaian sasaran pembangunan yang ditetapkan di tahun berjalan tidak mencapai hasil yang diharapkan bahkan terjadi penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Bila dilihat dari rata-rata tingkat capaian kinerja sasaran program tahun 2014, mengalami penurunan sebesar 19,71 persen dibandingkan dengan capaian tahun 2013. Penurunan kinerja tahun 2014 ini disebabkan oleh tiga faktor: upaya penanganan konflik dan tekanan terhadap kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya (CA, SM, TB) dan HL tidak mencapai target yang diharapkan; upaya penurunan hotspot (titik api) kebakaran hutan di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi dan penguatan kapasitas kelembagaan PHKA melalui pembentukan Badan Layanan Umum di UPT mengalami penurunan kinerja dibandingkan tahun 2013, masing-masing sebesar 43,14 persen dan 100 persen (tidak terlaksana).

Penurunan kinerja tersebut secara keseluruhan berdampak buruk pada efektifitas

10 Dikutip dari Lampiran Peraturan Dirjen PHKA No: P.5/IV-SET/2013 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Kerja dan

capaian kinerjanya. Hasil pengukuran ratio efektifitas capaian kinerja 2014 yang dilakukan Ditjen PHKA dengan membandingkan persentase capaian kinerja tahun 2014 terhadap tahun capaian kinerja tahun 2013. Ratio efektifitas menggunakan formula, jika ratio yang dihasilkan >1, maka menunjukkan efektifitas menurun. Sebaliknya, jika ratio yang dihasilkan <1, maka menunjukkan efektivitas meningkat. Hasil pengukuran menunjukkan, ratio efektifitas capaian kinerja sasaran tahun 2014 adalah sebesar 0,83 persen. Dengan kata lain, efektifitas kinerja tahun 2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013. Beberapa faktor yang menyebabkan sasaran pembangunan tidak tercapai, disebabkan oleh:

1) Kasus-kasus tindak pidana kehutanan (Tipihut) di lapangan muncul tiba-tiba dan tidak diprediksi sebelumnya sehingga menjadi kendala dalam pencapaian target kinerja setiap tahunnya. Selain itu, proses penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Kehutanan (Tipihut) sangat kompleks dan membutuhkan upaya yang efektif dan manusiawi serta memerlukan kerjasama para pihak.

2) Adanya kemunculan fenomena El Nino ditahun 2014 mengakibatkan musim kemarau lebih kering dibanding tahun sebelumnya sehingga meningkatkan ancaman terjadinya kebakaran hutan serta lahan.

3) Tiga calon satker BLU yang diajukan tidak memenuhi rancangan persyaratan teknis terhadap nilai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebagaimana yang dipersyaratkan sebesar Rp. 15 Milyar per tahun.

d. Penurunan Tingkat Efisiensi Penggunaan Anggaran Tahun 2014

Pada tahun 2014, persentase serapan anggaran Ditjen PHKA mencapai 93,39 persen terhadap total pagunya. Dari penggunaan anggaran tersebut, diperoleh capaian kinerjanya secara keseluruhan dengan persentase sebesar 93,54 persen. Kaitannya dengan efisiensi penggunaan anggaran pembangunan konservasi alam pada Ditjen PHKA, menunjukkan kinerja yang relative cukup baik. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran ratio efisiensi kinerja yang dilakukan oleh Ditjen PHKA dengan membandingkan persentase capaian kinerja tahun 2014 dengan persentase realisasi anggaran ditahun 2014. Pendekatan ratio yang digunakan, apabila ratio yang dihasilkan ≥1 maka pelaksanaan pencapaian kinerja termasuk kategori efisien. Sebaliknya, apabila ratio yang dihasilkan <1 maka pelaksanaan pencapaian kinerja kurang efisien. Hasilnya pengukuran menunjukkan bahwa ratio efisiensi capaian kinerja tahun 2014 adalah sebesar 1,002 atau dengan kata lain, penggunaan anggaran program pengelolaan hutan konservasi dan keanekaragaman hayati tahun 2014 secara keseluruhan tergolong efisien.

Walaupun penggunaan anggaran tahun 2014 masih tergolong efisien, namun jika dibandingkan dengan ratio capaian efisiensi kinerja pada tahun-tahun sebelumnya, pencapaian ratio dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2012, ratio efisiensi kinerjanya adalah sebesar 1,519 dan ratio tahun 2013 sebesar 1,258. Kecenderungan penurunan efisensi ini perlu mendapat perhatian serius pemerintah khususnya dijajaran Ditjen PHKA untuk melakukan pembenahan yang lebih serius terkait perbaikan pengelolaan anggarannya.

e. Inkonsistensi Pencapaian Target Renstra 2010-2014

Anggaran merupakan pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan. Penilaian didasarkan pada konsistensi pemerintah merealisasikan target-target kinerja ditetapkan sebelumnya dalam berbagai dokumen rencana pembangunan dengan capaian kinerja yang dihasilkan.

Dalam pembangunan konservasi alam, konsistensi dilihat dari persentase capaian kinerja Ditjen PHKA selama periode 2010-2014 yang dihitung secara kumulatif, dibandingkan

Gambar

Grafik 1.  Target RPJMN 2015-2019 untuk Anggaran Kementrian Lingkungan
Grafik 1.  Target RPJMN 2015-2019 untuk Anggaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tabel 1.  Sasaran dan Indikator Kinerja Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan  Hutan Menurut Renstra Kemenhut Tahun 2010-2014
Tabel 2. Perkembangan Serapan Anggaran Dirjen PHKA Tahun 2010-2014
+6

Referensi

Dokumen terkait

Informasi yang ingin diperoleh mellalui wawancara bebas ini adalah terutama untuk dapat mengungkapkan lebih jelas tumbuh-kembang wilayah, termasuk karena bencana yang terjadi;

Mata kuliah ini membahas dasar-dasar sistem informasi berbasis komputer, menggunakan teknologi informasi untuk keunggulan bersaing dan ikut serta dalam perdagangan

manajemen koperasi berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh manajemen (Historical Cost) dibandingkan dengan kinerja manajemen setelah penerapan akuntansi

Penggunaan metode perlu dukungan Fasilitas. Fasilitas yang dipilih harus sesuaidengan karakteristik metode mengajar yang akan dipergunakan. Ada metode mengajar tertentu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi di Kabupaten Bondowoso, elastisitas permintaan daging sapi di

Variabel produksi tomat pada bulan sebelumnya, harga tomat pada bulan sebelumnya, produksi kobis pada bulan sebelumnya, harga kobis pada bulan sebelumnya, harga pupuk

Garis Anggaran (Budget Line) B. Garis Anggaran Garis anggaran adalah garis yang menunjukkan jumlah barang yang dapat dibeli dengan sejumlah pendapatan atau anggaran tertentu,

Terpenting, dapat disimpulkan – dari perspektif integrasi ilmu – bahwa para ilmuwan tersebut mengintegrasikan ilmu alam sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam;