• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TAPIOKA DARI LIMA VARIETAS UBI KAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TAPIOKA DARI LIMA VARIETAS UBI KAYU"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

43

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TAPIOKA DARI

LIMA VARIETAS UBI KAYU

(Physicohemical Characterisation of Tapioca from Five Cassava Varieties)

ABSTRACT

The physicochemical properties of tapiocas from five varieties of Manihot utilisima Crantz (Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka and Adira-4) from Lampung were evaluated. Average size of tapioca granules ranged from 12.82 to 16.66 µm. Small granules were mainly found in tapioca of Adira-4 and Thailand. The content of amylose, fat and ash tapioca tapioca Thailand were higher than the others. All tapioca samples showed a typical A-type diffraction pattern, indicating that variety had no effect on it. However, the starch crystallinity was affected. Swelling power and solubility of Thailand tapioca were higher when compared with other tapiocas. Paste viscosity of tapioca Thailand was also more stable during heating. Faroka tapioca had gel hardness and adhesiveness higher than Thailand tapioca.

Keywords: physicochemical properties, pasting, texture, crystalinity

PENDAHULUAN

Perbedaan varietas ubi kayu menyebabkan variasi pada karakteristik fisiko-kimia tapioka (Defloor et al., 1998; Sriroth et al., 1999; Abera dan Rakshit, 2003; Charles et al., 2004; Padonou et al., 2005; dan Nuwamanya et al., 2010). Selain varietas, faktor musim tanam dan umur panen dilaporkan juga mempengaruhi karakteristik fisikokimia tapioka (Defloor et al., 1998; dan Sriroth et al., 1999).

Karakteristik fisikokimia pati HMT sangat beragam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis (sumber) pati (Gunaratne dan Hoover, 2002; Lim et

al., 2001; Lorenz dan Kulp, 1982), kadar amilosa (Collado dan Corke, 1999;

Hoover dan Manuel, 1996) dan tipe kristalisasi pati (Gunaratne dan Hoover, 2002). Pada pati beras, perbedaan kadar amilosa pati native berpengaruh pada karakteristik fisikokimia pati HMT yang dihasilkan (Anderson dan Guraya, 2006; Khunae et al., 2007; dan Zavareze et al., 2010). Proses HMT pati gandum dan kentang dengan atau tanpa penghilangan lemak akan menghasilkan pati HMT dengan karakteristik fisikokimia yang berbeda (Lorenz dan Kulp, 1983). Karakterisasi dan studi komparatif sifat fisikokimia pati antar dan dalam suatu

(2)

44

varietas karena itu perlu dilakukan untuk memprediksi kesamaan dan perbedaan perilakunya ketika di aplikasikan dalam suatu produk pangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisikokimia tapioka dari lima varietas ubi kayu yang berbeda (thailand, kasetsar, pucuk biru, faroka dan adira 4) yang ditanam di daerah Lampung untuk memperoleh data

base karakteristik fisikokimia tapioka dari lima varietas ubi kayu yang diteliti;

mengetahui pengaruh perbedaan varietas terhadap parameter yang dianalisis dan korelasi antar parameter yang dianalisis untuk mengetahui kesamaan dan atau perbedaan karakteristik fisikokimia dari varietas yang berbeda sekaligus sebagai informasi awal karakteristik tapioka yang akan digunakan dalam proses HMT.

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

Bahan utama penelitian ini adalah tapioka dari lima varietas ubi kayu (thailand, kasetsar, pucuk biru, faroka dan adira 4). Ubi kayu diperoleh dari Medco Energi Lampung dengan umur panen 15 bulan. Ekstraksi pati dilakukan di industri kecil tapioka di daerah Kedung Halang Bogor. Bahan-bahan lainnya adalah akuades dan bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis kimia. Peralatan yang digunakan mencakup peralatan proses untuk produksi tapioka dan peralatan analisis seperti mikroskop polarisasi, particle size analyzer (Coulter LS 100), difraktometer sinar-X, rapid visco analyzer (RVA) dan texture analyzer.

Ekstraksi Tapioka

Umbi dikupas, dicuci bersih dan diparut. Ekstraksi pati dilakukan dengan mengepress umbi yang telah diparut. Pengepressan dilakukan secara manual di dalam air mengalir. Air berisi ekstrak pati dialirkan secara kontinyu ke wadah penampungan. Pengepressan dilakukan sampai air yang digunakan tidak lagi berwarna keruh, mengindikasikan sebagian besar pati telah terekstrak. Air berisi ekstrak pati didiamkan di dalam wadah penampung selama sekitar tiga jam atau sampai permukaan endapan pati yang tadinya kesat berubah menjadi licin. Air lalu dibuang dan endapan dikeringkan di dalam oven pengering pada suhu 60oC.

(3)

45

Tapioka lalu digiling dan disaring pada ayakan 100 mesh, selanjutnya dikemas dan disimpan pada suhu beku (-30 ± 5oC).

Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tapioka

Analisis yang dilakukan adalah analisis proksimat, kadar pati dan amilosa, bentuk dan ukuran granula pati, tipe kristalit dan tingkat kristalinitas, karakteristik pasting (suhu pasting, viskositas puncak, viskositas akhir, viskositas breakdown dan viskositas balik) dan karakteristik gel.

a. Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan mencakup analisis kadar air (SNI 01-2891-1992), abu (923.03 AOAC 1998), protein (960.52 AOAC 1998) dan lemak (SNI 01-2891-1992). Metode analisis proksimat secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Kadar pati

Kadar pati sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode Dubois

et al. (1956). Metode analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

c. Kadar amilosa

Analisis amilosa tapioka dilakukan dengan menggunakan metode Juliano (1971) berdasarkan kemampuan amilosa membentuk kompleks amilosa-iodin berwarna biru yang ditentukan secara spektrofotometri. Metode analisis dapat dilihat pada Lampiran 3.

d. Morfologi pati – mikroskop polarisasi

Bentuk granula pati dilakukan dengan modifikasi Becker et al. (2001) menggunakan polarized light microscope (Olympus Optical Co.Ltd, Japan) yang dilengkapi dengan kamera. Suspensi pati dibuat dengan mencampurkan 1 gram pati dengan 15 ml air. Preparat dilihat pada perbesaran 1000 kali.

e. Ukuran pati – particle size analyzer (Coulter LS 100)

Ukuran granula pati diamati dengan particle size analyzer (Coulter LS 100) menggunakan small volume module (SVM). Suspensi sampel (konsentrasi 8 –

(4)

46

12%) dimasukkan ke dalam wadah sampel. Hamburan sinar dalam corak-corak tertentu yang diberikan oleh sampel ketika dikenai sinar laser selanjutnya dideteksi dan diukur oleh detektor foto kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik.

f. Struktur kristal dan kristalinitas pati (Kawabata et al., 1994)

Struktur kristal dan kristalinitas diamati dari difraktogram sinar-X menggunakan difraktometer sinar-X (X-ray diffractometer, XRD 7000 Maxima dari Shimadzu). Sejumlah kecil sampel diletakkan dalam wadah sampel kemudian dimasukkan dalam alat difraktometer sinar X. Radiasi monokromatik yang digunakan adalah Cu dengan panjang gelombang 1,54060 Ǻ yang dihasilkan dari difraktometer X-ray pada 40 kV dan 30 mA. Daerah scanning difraksi pada sudut 2 theta adalah 4–36o dengan step interval 0.02o dan kecepatan scan 2o/menit. Struktur dilihat dari puncak yang dihasilkan. Kristalinitas (%) dinyatakan sebagai persentase rasio dari daerah difraksi puncak dengan difraksi total.

g. Kapasitas pembengkakan (swelling power) dan solubilitas (Wang et al., 2010)

Suspensi pati (2% W/V) dipanaskan di dalam penangas air suhu 90 °C selama 30 menit. Sampel pati lalu disentrifuse pada kecepatan 1509×g selama 15 menit, selanjutnya supernatan dikeluarkan dan sedimen ditimbang. Alikuot dari supernatan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat konstan. Kapasitas pembengkakan (SP, g/g bk) dan solubilitas (S, %) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

h. Karakteristik pasting (RVA standar 2)

Pengukuran karakteristik pasting dilakukan menggunakan Rapid Visco

Analyzer (RVA) tipe RVA-S4 dengan profil analisis standar 2. Sebanyak 3.5

(5)

47

wadah sampel. Wadah berisi sampel selama 1 menit pertama diputar pada kecepatan 160 RPM dan suhu 50oC. Selanjutnya, sampai menit ke 8.5, suhu pemanasan dinaikkan dari 50oC menjadi 95oC. Suhu dijaga konstan pada 95oC selama 5 menit (sampai menit ke 13.5). Setelah pemanasan konstan, suhu diturunkan menjadi 50oC (pada menit ke 21) dan dipertahankan pada suhu 50oC selama 2 menit (sampai menit ke 23).

Dari kurva RVA akan diperoleh nilai dari suhu awal pasting (TP), suhu viskositas maksimum (T maks), viskositas puncak VP), viskositas panas dan viskositas akhir (Gambar 4.1). Nilai viskositas breakdown (VBD) dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas balik (setback viscosity, VB) adalah nilai dari viskositas akhir dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas breakdown relatif (VBD-R) adalah persen rasio dari viskositas breakdown dengan viskositas puncak sementara viskositas balik relatif (VB-R) merupakan persen rasio dari viskositas balik dengan viskositas panas.

(6)

48

i. Karakteristik gel – analisis profil tekstur (modifikasi dari Mishra dan Rai, 2006)

Gel disiapkan dari suspensi pati dengan perbandingan pati : air sebesar 10 : 50 dan dipanaskan dalam penangas air pada suhu 85 ± 1oC selama 15 menit. Pasta lalu dituang ke dalam wadah sampel (diameter x tinggi = 3,0 cm x 1,5 cm) dan di dinginkan pada suhu ruang. Wadah berisi sampel lalu ditutup dan di simpan di dalam refrigerator (kisaran suhu sekitar 10 - 15°C) selama 16 jam. Pengujian dilakukan dengan texture analyzer (TA-XT2) yang diprogram untuk menekan gel silinder. Kurva deformasi diperoleh dari dua kali penekanan dengan probe silinder 75 mm (P/75) dan beban 25 kg. Setting alat yang digunakan adalah: kecepatan pretest, test dan post-test berturut-turut 5.0, 2.5 dan 10.0 mm.s

-1

; trigger type: auto, 5 g; waktu 5 detik; jarak 5,0 mm. Karakteristik yang dianalisis adalah kekerasan (hardness), kelengketan (adhesiveness), kepaduan (cohesiveness) dan elastisitas (springiness).

Profil tekstur ditampilkan pada Gambar 4.2. Kekerasan (kg) diukur dari gaya pada puncak (H1) kurva pertama; kelengketan diukur dari nilai luas area negatif (A3), kepaduan diukur dari rasio antara luas area kurva 2 terhadap kurva 1 (A2/A1) dan elastisitas diukur dari D2/D1.

(7)

49

Analisis Statistik

Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh varietas ubi kayu terhadap sifat fisikokimia tapioka pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan disain rancangan acak lengkap dengan bantuan software SPSS 13.00. Kekuatan hubungan parameter fisikokimia dilihat dari analisis korelasi dengan bantuan

software SPSS 13.00 metode Pearson pada tingkat kepercayaan 95%. Output

yang dihasilkan berupa nilai P (p-value) dan koefisien korelasi (r). Dua parameter menunjukkan hubungan korelasi jika nilai P-nya <5%. Kekuatan korelasi dinyatakan dengan koefisien korelasi pearson (Pearson Correlation) yang berkisar antara -1 hingga +1. Korelasi menguat jika nilai mendekati ±1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan baku ubi kayu yang digunakan berasal dari lima varietas yaitu varietas Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka dan Adira-4 (Gambar 4.3). Semua umbi dipanen pada umur 15 bulan, melebihi umur panen optimalnya. Umur panen dan karakteristik umbi dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Bentuk dan Ukuran Granula

Secara umum, granula tapioka berbentuk bulat. Sebagian diantaranya memiliki salah satu sisi terpotong, dan sebagian kecil dijumpai berbentuk oval (Gambar 4.4). Tidak terlihat perbedaan bentuk granula tapioka dari varietas yang berbeda. Granula juga menunjukkan persilangan birefringence, mengindikasikan bahwa granula masih dalam bentuk mentah (native). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Sriroth et al. (1999), Gunaratne dan Hoover (2002) serta Mishra dan Rai (2006).

Granula tapioka dari lima varietas relatif seragam, dengan ukuran rata-rata berkisar antara 12,82 – 16,66 µm (Tabel 4.2). Nilai ini mirip dengan yang dilaporkan oleh beberapa penelitian terdahulu yaitu rata-rata 15,0 µm (Mishra dan Rai, 2006) dan 8 – 22 µm (Sriroth et al., 1999). Ukuran granula tapioka lebih kecil dari pati kentang (14,3 – 53,6 µm, rata-rata 30,5 µm) dan sedikit lebih besar dari pati jagung (3,6 – 14,3 µm, rata-rata 12,2 µm) (Mishra dan Rai, 2006).

(8)

50

Gambar 4.3 Bahan baku ubi kayu yang digunakan Tabel 4.1 Karakteristik bahan baku ubi kayu yang digunakan

Varietas Kisaran umur panen optimal (bulan)

Warna daging umbi Bentuk umbi Rendeman (%)*

Thailand 8 – 10 Kekuningan Bulat 19,6

Kasetsar 10 – 12 Putih Lonjong 25,2

Pucuk biru 10 – 12 Putih Lonjong 28,9

Faroka 10 – 12 Putih Panjang 23,8

Adira 4 12 – 15 Putih Panjang 23,9

*% dari berat pati lolos ayakan 100 mesh terhadap berat umbi kupas

Gambar 4.4 Penampakan granula tapioka (pengamatan pada pembesaran 1000X, a: Thailand; b: Kasetsar, c: Pucuk biru, d: Faroka, e: Adira 4)

(9)

51

Adejumo et al. (2011) mengelompokkan granula pati dalam empat kelom-pok ukuran: besar (> 25 µm), sedang (10 – 25 µm), kecil (5 – 10 µm) dan sangat kecil (< 5 µm). Distribusi ukuran granula (Gambar 4.5) dan pengelompokan ukur-an grukur-anula (Tabel 4.2) menunjukkukur-an bahwa grukur-anula tapioka dari lima varietas se-bagian besar masuk dalam kategori ukuran sedang. Jika dibandingkan antar 5 va-rietas, maka tapioka Adira 4 relatif lebih banyak memiliki granula berukuran kecil, Kasetsar lebih banyak memiliki granula berukuran sedang sementara 3 tapioka lainnya memiliki distribusi ukuran yang relatif mirip.

Tabel 4.2 Persentase distribusi ukuran granula tapioka dari lima varietas ubi kayu

Tapioka Diameter rata-rata (µm) Distribusi ukuran (%) Sangat kecil (< 5 µm) Kecil (5-10 µm) Sedang (10-25 µm) Besar (> 25 µm) Thailand 14,12 10,92 13,87 73,34 1,86 Kasetsar 16,66 5,13 9,57 85,28 1,00 Pucuk biru 14,98 10,50 11,39 76,24 1,88 Faroka 14,69 10,27 12,38 76,01 1,35 Adira-4 12,82 9,80 19,76 70,44 0,00

Gambar 4.5 Distribusi ukuran granula tapioka Komposisi Kimia Tapioka

Komposisi kimia tapioka bervariasi antar varietas, dimana varietas Thailand memiliki komposisi kimia yang relatif berbeda dari empat varietas yang lain (Tabel 4.3). Sebagai pembanding, juga ditampilkan komposisi kimia tapioka dari beberapa sitasi (Tabel 4.3). Perbedaan komposisi kimia ini disebabkan oleh banyak faktor dan sifatnya kompleks. Pada varietas yang sama, perbedaan dapat

(10)

52

Tabel 4.3 Komposisi kimia tapioka dari lima varietas ubi kayu (data dalam g/100 g bk, kecuali untuk kadar air dalam g/100 g bb) dan dari beberapa sitasi

Komponen Tapioka (data penelitian)* et al., 2009 Nwokocha Sriroth et al., 1999 Nuwamanya et al., 2010 Rakshit, 2003 Abera dan Mishra dan Rai, 2006

a

Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4 Tapioka Jagung Kentang

Air 14,22d ± 0,02 12,24a ± 0,01 15,69e ± 0,01 13,18b ± 0,09 13,63c ± 0,07 - - - - Abu 0,19d ± 0,000 0,12a ± 0,001 0,15c ± 0,000 0,14b ± 0,000 0,11a ± 0,001 0,34 ± 0,07 0,08 – 0,15a -b 0,08 – 0,10 0,20 ± 0,05 0,36 ± 0,06 0,19 ± 0,02 Lemak 0,76e ± 0,00 0,33a ± 0,00 0,53c ± 0,01 0,51b ± 0,00 0,56d ± 0,01 - 0 – 0,01 0,12 – 0,38 0,06 – 0,12 0,51 ± 0,08 1,22 ± 0,16 0,32 ± 0,07 Protein 0,13b ± 0,000 0,15c ± 0,001 0,10a ± 0,000 0,10a ± 0,000 0,10a ± 0,000 0,59 ± 0,06 0,15 – 0,30a 0,28 – 0,52 0,25 – 0,30 0,051 ± 0,07 1,21 ± 0,15 0,61 ± 0,06 Pati 83,55a ± 0,16 82,62a ± 1,32 80,16a ± 1,09 79,78a ± 1,23 81,19a ± 1,77 - - - - Amilosa 33,13c ± 0,16 31,81b ± 0,04 30,88a ± 0,25 30,92a ± 0,12 31,13a ± 0,12 34,30 ± 0,04 19,5– 24,1a 19,0 – 20,0 - 16,27 ± 0,32, 25,60 ± 1,17 24,95 ± 0,68 Amilopektin 50,42a ± 0,51 50,80a ± 1,28 49,28a ± 0,85 48,85a ± 1,35 50,06a ± 1,66 - - - - - - - *h f y j y y α < , 5 ; a)

(11)

53

disebabkan oleh lingkungan tempat tumbuh (tanah, iklim), umur panen dan penanganan pasca panen (Sriroth et al., 1999; Abera dan Rakshit, 2003; Moorthy, 2002; Zaidul et al., 2007; Wang et al., 2009).

Seperti dilaporkan dalam beberapa sitasi, kandungan komponen minor di dalam tapioka lebih rendah dibandingkan dengan pati serealia, seperti jagung (Tabel 4.3). Pati dengan kandungan komponen lain (abu, lemak, protein) yang rendah lebih disukai karena keberadaan komponen lain dapat mengganggu sifat-sifat pasting dari pati (Copelan et al., 2009).

Pola Difraksi Sinar X

Pati umbi-umbian umumnya menunjukkan kristal tipe B. Walaupun meru-pakan pati umbi tapioka telah dilaporkan menunjukkan kristal tipe A, B dan C (Moorthy, 2002). Penelitian Atichokudomchai et al. (2000) pada maizena menun-jukkan, pergeseran tipe kristalinitas bisa terjadi dengan perubahan kadar amilosa pati. Pati dengan amilosa rendah cenderung memiliki lapisan semikristalit yang lebih teratur dan membentuk kristal tipe A.

Tapioka yang diamati memiliki kristal tipe A dengan empat puncak utama pada f 2Ɵ 5, 6 -15,2; 17,1-17,2; 17,8-18,1 dan 23,18-23,2 (Gambar 4.6). Puncak pada jarak 4,9 – 5,0 Å memiliki intensitas tertinggi kecuali pada tapioka dari varietas Thailand yang intensitas tertingginya ditunjukkan oleh puncak pada jarak 5,2 Å. Kristalinitas tipe A pada tapioka juga dilaporkan oleh Franco et al. (2002), Gunaratne dan Hoover (2002), Jyothi et al. (2010) dan Charoenkul et al. (2011).

Kristalinitas tapioka berkisar antara 25,96–27,60%. Tapioka Adira memiliki kristalinitas tertinggi (Tabel 4.4). Kristalinitas tampaknya tidak berhubungan dengan intensitas dari empat puncak utama. Empat puncak utama tapioka dari varietas Thailand dan Kasetsar yang berbeda kadar kristalinitasnya memiliki intensitas lebih rendah dari tiga jenis pati yang lain.

Tapioka Thailand dengan kandungan amilosa yang tinggi, memiliki kristali-nitas terendah. Peningkatan derajat kristalikristali-nitas tapioka dengan menurunnya kadar amilosa telah dilaporkan pada tapioka (Atichokudomchai et al., 2000), maizena (Cheetham dan Tao, 1998) dan pati beras (Zavareze et al., 2010). Pada penelitian

(12)

54

Gambar 4.6 Pola difraksi sinar X tapioka dari lima varietas ubi kayu Tabel 4.4 Kristalinitas dan intensitas puncak utama tapioka lima varietas ubi kayu

Tipe

kristal

Kristalinitas relatif (%) Jarak - A (Intensitas – CPS*) Thailand A 25,96 5,9 (64) 5,2 (108) 4,9 (104) 3,8 (90) Kasetsar A 27,35 5,8 (65) 5,2 (106) 5,0 (107) 3,8 (90) Pucuk biru A 27,18 5,8 (70) 5,2 (106) 4,9 (109) 3,8 (91) Faroka A 26,76 5,8 (67) 5,2 (103) 5,0 (113) 3,8 (92) Adira 4 A 27,60 5,8 (70) 5,2 (107) 4,9 (113) 3,8 (91) *CPS = Counts per second

(13)

55

ini, walau tidak signifikan terlihat kecenderungan penurunan kristalinitas dengan naiknya kadar amilosa. Selain itu, keberadaan komponen minor diduga mengganggu pembentukan struktur doubel heliks. Dijumpai korelasi negatif antara kristalinitas dan kadar abu, serta kecenderungan penurunan kristalinitas dengan meningkatnya kadar lemak (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Korelasi antara kristalinitas dengan komposisi kimia tapioka

Abu Lemak Protein Amilosa Amilopektin

Kristali-nitas

Pearson Corr -0,951* -0,730 -0,091 -0,730 0,000 Sig. (1-tailed) 0,006 0,081 0,442 0,080 0,500

*. Ko l f α , 5 -arah)

Pengaruh lemak pada kristalinitas dilaporkan secara berbeda. Vasanthan dan Hoover (1992) disitasi oleh Hoover et al. (1994) menyatakan bahwa penghilangan lemak meningkatkan kristalinitas relatif pati kentang dan lentil, tetapi tidak mengubah kristalinitas relatif pati gandum, jagung dan tapioka. Sebaliknya, Lorenz (1983) dalam Hoover et al. (1994) mengatakan bahwa penghilangan lemak dari pati kentang dan gandum akan menurunkan kristalinitas relatif.

Kapasitas Pembengkakan (Swelling Power, SP) dan Solubilitas

Pemanasan dalam air berlebih menyebabkan ikatan dalam granula melemah, sehingga air masuk dan terjadi pembengkakan granula sementara amilosa yang memiliki berat molekul (BM) rendah akan larut ke dalam air. Perbedaan karakteristik kapasitas pembengkakan (SP) dan solubilitas mengindikasikan perbedaan gaya pengikatan dari granula pati (Nwokocha et al., 2009). Interaksi yang kuat akan mengurangi jumlah gugus OH bebas yang tersedia untuk hidrasi, dan mengurangi masuknya air ke dalam interior granula sehingga menurunkan SP dan solubilitas (Chung et al., 2010).

Sriroth et al. (1999) menemukan bahwa trend hubungan SP tapioka dengan umur panen ubi tidak sama antar varietas, sehingga diduga bahwa SP dipengaruhi oleh faktor lain seperti ukuran granula, struktur dan komposisi pati. Menurut Singh et al. (2003), intensitas SP dan solubilitas pati tergantung pada suhu, perbedaan kadar amilosa dan lemak, keberadaan fosfat, kristalinitas, interaksi

(14)

56

antara daerah amorfous dan kristalin pati yang dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin dan karakteristik molekuler pati.

Kapasitas pembengkakan dan solubilitas granula tapioka dari lima varietas ubi kayu pada pemanasan di suhu 90°C selama 30 menit ditampilkan pada Tabel 4.6. Tapioka Thailand memiliki SP yang secara signifikan lebih tinggi dari tapioka lainnya, mengindikasikan bahwa pengaturan intra granularnya tidak sebaik varietas yang lain. Penyebabnya diduga karena kristalinitas tapioka Thailand yang lebih rendah. Daerah amorfis yang lebih tinggi menyebabkan air lebih mudah masuk ke dalam granula dan kristalinitas yang lebih rendah menyebabkan kekuatan ikatan intra granular menjadi lebih rendah sehingga pembengkakan pati meningkat. Selain kristalinitas, struktur amilopektin terutama proporsi dari rantai cabang am lo j ol D ≥ 37 juga berpengaruh pada kemampuan pembengkakan pati. Peningkatan amilopektin D ≥ 37 o l y karena akan membentuk doubel heliks. Peningkatan kekuatan struktur kristalin tersebut akan menghambat pembengkakan granula (Chung 2010).

Tabel 4.6 Kapasitas pembengkakan dan solubilitas tapioka dari lima varietas

Tapioka Kapasitas pembengkakan (g/g bk) Solubilitas (%)

Thailand 15,01 ± 0,024c 10,90 ± 0,703b Kasetsar 10,35 ± 0,667a 5,30 ± 0,870a Pucuk biru 10,12 ± 0,446a 4,89 ± 0,360a Faroka 10,92 ± 0,328a 6,03 ± 0,119a Adira 4 13,03 ± 0,275b 13,15 ± 0,914b K : h f y olo y j y α < , 5

Pada pati sereal (gandum dan barley), peningkatan kandungan amilosa dan lemak menyebabkan penurunan SP dan solubilitas. Penurunan SP disebabkan oleh pembentukan kompleks amilosa-lemak yang memperkuat integritas struktur granula (Tester dan Morrison, 1990 dikutip oleh Charles et al., 2005). Tetapi, penelitian Charles et al. (2005) menunjukkan terjadinya peningkatan SP dan solubilitas tapioka dengan meningkatnya kadar amilosa. Peningkatan solubilitas secara non linier dengan meningkatnya kadar amilosa, juga dilaporkan pada pati kacang hijau (Abdel-Rahman et al., 2008).

(15)

57

Tapioka dengan amilosa yang lebih tinggi (Thailand) menunjukkan SP dan solubilitas yang relatif lebih tinggi. Kurangnya pembentukan kompleks lemak-amilosa karena kadar lemak yang rendah menyebabkan peningkatan lemak-amilosa akan meningkatkan SP dan solubilitas (Charles et al., 2005). Pada empat tapioka yang lain, kadar amilosa dan kristalinitas relatif sama sehingga perbedan SP dan solubilitas dari 4 varietas tersebut diduga karena perbedaan panjang rantai amilosa dan amilopektin. Pati dengan panjang rantai yang lebih pendek dilaporkan lebih mudah larut selama pemanasan sehingga meningkatkan nilai solubilitas.

SP berkorelasi positif dengan lemak dan kecenderungan hubungan yang positif dengan amilosa (Tabel 4.7). Vasanthan dan Hoover (1992) serta Hoover dan Vasanthan (1992) yang disitasi oleh Hoover et al. (1994) menunjukkan penurunan SP pati gandum, jagung, oat, lentil dan kentang, jika kandungan lemaknya dihilangkan, sementara solubilitasnya bisa meningkat (pati gandum, jagung, oat) atau menurun (pati kentang, tapioka dan lentil). Menurut Morrison et

al. (1993) di dalam Tester dan Karkalas (1996), peningkatan amilosa dan lemak

bebas dalam granula pati akan meningkatkan SP. Sebaliknya, peningkatan amilosa dan lemak akan menurunkan SP jika amilosa dan lemak ada dalam bentuk terikat (kompleks).

Tabel 4.7 Korelasi antara SP dan solubilitas dengan karakter fisikokimia tapioka

Para-meter

SP Kadar dari

Krista-linitas

Uk. granula Abu Lemak Protein Amilosa

Amilo-pektin SP Pearson Corr 1 0,581 0,844* 0,007 0,737 0,377 -0,594 -0,639 Sig.(1-tailed) 0,152 0,036 0,495 0,078 0,266 0,145 0,123 Solubi-litas Pearson Corr 0,848* 0,106 0,610 -0,180 0,353 0,326 -0,099 -0,840* Sig.(1-tailed) 0,035 0,432 0,137 0,386 0,280 0,296 0,437 0,037 *. Ko l f α 0,05 (1-arah); **. Ko l f α , 1-arah)

Solubilitas berkorelasi negatif dengan ukuran granula dan berkorelasi positif dengan SP (Tabel 4.7). Peningkatan ukuran granula diduga akan memperlambat lisisnya amilosa, sehingga menyebabkan solubilitas turun. Peningkatan SP mempermudah amilosa untuk lisis sehingga akan terjadi peningkatan solubilitas dengan naiknya SP.

(16)

58

Karakteristik Pasting

Gelatinisasi adalah fase transisi granula pati dari bentuk teratur menjadi tidak beraturan, yang terjadi selama pemanasan di dalam air berlebih. Proses transisi melibatkan hilangnya kristalinitas dan birefringence serta hidrasi pati (Hermansson dan Svegmark, 1996). Pasting adalah fenomena yang terjadi mengikuti proses gelatinisasi (Xie et al., 2006), menunjukkan perilaku viskositas selama proses pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan terkontrol (Singh

et al., 2003). Profil pasta merupakan salah satu cara untuk memprediksi sifat

fungsional pati dan pengembangan aplikasinya di dalam produk secara optimal (Chen, 2003).

Tapioka memiliki karakteristik pasting tipe A, dicirikan dengan puncak pasta yang tinggi dan diikuti dengan pengenceran yang cepat selama pemanasan (Gambar 4.7). Pati dengan karakteristik pasting tipe A cenderung tidak tahan proses pemanasan dan pengadukan, sehingga kurang aplikatif untuk diterapkan pada produk yang diolah menggunakan panas dan pengadukan.

Dari karakteristik pasting pada Tabel 4.8 diketahui bahwa perbedaan cukup menyolok ditunjukkan oleh tapioka Thailand yang memiliki viskositas breakdown relatif (VBD-R) yang lebih rendah, viskositas akhir lebih tinggi, viskositas balik relatif (VB-R) yang lebih rendah dan suhu pasting lebih rendah dari empat varietas lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tapioka Thailand lebih stabil selama pemanasan, memiliki sifat pengentalan yang lebih baik dengan kecende-rungan retrogradasi dan pembentukan gel yang lebih rendah.

Suhu pasting adalah suhu pada saat awal terjadinya peningkatan viskositas pasta secara tiba-tiba selama proses gelatinisasi, dan terkait dengan imbibisi air dan pembengkakan granula. Pati Thailand dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah serta kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi memiliki suhu pasting terendah. Suhu pasting berkorelasi positif dengan tingkat kristalinitas pati dan berkorelasi negatif dengan kadar abu, lemak dan amilosa (Tabel 4.9). Menurut Singh et al. (2003), daerah amorfous yang ikatan hidrogennya relatif lemah menjadi daerah pertama yang ditembus air. Pati dengan kristalinitas rendah memiliki daerah amorfous yang lebih tinggi sehingga lebih mudah mengalami

(17)

59

(18)

60

Tabel 4.8 Karakteristik pasting tapioka dari lima varietas ubi kayu menggunakan RVA

V. Puncak (Cp) V. Panas (Cp) V. Akhir (Cp) VBD-R (%) VB-R (%) T pasting (°C) T puncak (°C) Thailand 6335,0 ± 25,46b 2161 ± 67,88b 2978,5 ± 143,54b 65,9 ± 0,99a 37,8 ± 2,31a 67,3 ± 0,00a 79.2 ± 0,00ab Kasetsar 6244,0 ± 171,12b 1568 ± 36,77a 2623,5 ± 31,82a 74,9 ± 0,14c 67,3 ± 1,90b 71,1 ± 0,28b 79.4 ± 0,25b Pucuk biru 6115,5 ± 53,03ab 1683 ± 25,46a 2683,0 ± 8,49a 72,5 ± 0,64b 59,4 ± 2,91b 70,5 ± 0,04b 78.6 ± 0,30ab Faroka 6744,0 ± 0,00c 1676 ± 0,00a 2778,0 ± 0,00ab 75,1 ± 0,00c 65,8 ± 0,00b 70,5 ± 0,00b 78.4 ± 0,00a Adira 4 5895,5 ± 17,68a 1595 ± 22,63a 2603,5 ± 7,78a 72,9 ± 0,35bc 63,3 ± 2,80b 71,1 ± 0,28b 79.0 ± 0,30ab Keterangan: VBD-R = viskositas balik relatif (= 100xVBD/V.puncak); VB-R = viskositas balik relatif (=100xVB/V.panas)

(19)

61

pasting. Peningkatan komponen abu diduga meningkatkan muatan ionik sejenis yang saling tolak-menolak, meningkatkan jarak antar polimer pati dan mempermudah masuknya air sehingga pasting berlangsung pada suhu yang lebih rendah. Sementara itu, peningkatan lemak dalam jumlah yang kecil maupun peningkatan jumlah amilosa tetapi tidak berupa kompleks amilosa-lemak juga akan menurunkan kristalinitas. Akibatnya, peningkatan lemak dan amilosa di dalam tapioka akan menyebabkan turunnya suhu pasting.

Suhu puncak merupakan suhu saat tercapainya viskositas pasta maksimum (Batey, 2007). Kelima tapioka memiliki suhu puncak yang relatif mirip, dan dijumpai adanya korelasi positif antara suhu puncak dengan kadar protein dan kadar amilopektin (Tabel 4.9). Ikatan double heliks amilopektin yang lebih susah dipenetrasi oleh air, menyebabkan terjadinya peningkatan suhu puncak dengan meningkatnya kadar amilopektin. Keberadaan protein yang mengembang selama pemanasan dan berkontribusi pada peningkatan viskositas dapat menyebabkan suhu puncak menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.

Tabel 4.9 Korelasi antara parameter pasting dengan karakter fisikokimia tapioka

T pasting T puncak VP VBD-R VB-R Kadar abu Pearson Corr -0,952** -0,031 0,351 -0,850* -0,911* Sig. (1-tailed) 0,006 0,48 0,281 0,034 0,016 Kadar lemak Pearson Corr -0,844* -0,051 0,005 -0,885* -0,885* Sig. (1-tailed) 0,036 0,467 0,497 0,023 0,023 Kadar protein Pearson Corr -0,109 0,818* 0,049 -0,038 -0,043 Sig. (1-tailed) 0,431 0,045 0,469 0,476 0,473 Kadar amilosa Pearson Corr -0,846* 0,694 0,051 -0,817* -0,823* Sig. (1-tailed) 0,035 0,097 0,468 0,046 0,043 K. amilo-pektin Pearson Corr -0,208 1,000** -0,446 -0,329 -0,263 Sig. (1-tailed) 0,368 0 0,226 0,294 0,334 Kristali-nitas Pearson Corr 0,940** -0,021 -0,548 0,76 0,838* Sig. (1-tailed) 0,009 0,487 0,17 0,068 0,038 Ukuran granula Pearson Corr 0,204 0,214 0,324 0,369 0,307 Sig. (1-tailed) 0,371 0,365 0,298 0,271 0,308 SP Pearson Corr -0,77 0,394 -0,14 -0,843* -0,808* Sig. (1-tailed) 0,064 0,256 0,411 0,036 0,049 Solubi-litas Pearson Corr -0,325 0,334 -0,453 -0,512 -0,425 Sig. (1-tailed) 0,297 0,292 0,222 0,189 0,238

Keterangan: VBD-R = viskositas balik relatif; VB-R = viskositas balik relatif

*. Ko l f α , 5 - h ; **. Ko l f α , -arah)

Viskositas puncak tertinggi ditunjukkan oleh tapioka faroka, terendah oleh tapioka adira 4 sementara tiga tapioka lainnya memiliki viskositas puncak yang

(20)

62

mirip. Nilai ini merefleksikan kemampuan granula untuk mengikat air dan mempertahankan pembengkakan selama pemanasan. Viskositas puncak terjadi ketika jumlah pati yang membengkak seimbang dengan jumlah pati yang rusak (lisis). Tidak ditemukan korelasi antara viskositas puncak dengan beberapa parameter kimia pati (Tabel 4.9). Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah kadar dan rasio amilosa/amilopektin, berat molekul, konformasi molekuler dan derajat polimerisasi amilosa dan amilopektin serta jumlah percabangan amilopektin maupun keberadaan komponen minor, juga ukuran granula (Mélo et

al., 2003).

Perbedaan nilai viskositas puncak dan viskositas panas dari masing-masing pati menyebabkan parameter viskositas breakdown dan viskositas balik tidak bisa digunakan untuk membandingkan kerentanan terhadap panas dan kecenderungan retrogradasi antar sampel. Agar bisa dilakukan pembandingan antar sampel, maka viskositas breakdown dinyatakan dalam bentuk % relatif terhadap viskositas puncak (VBD-R) dan viskositas balik dinyatakan dalam bentuk % relatif terhadap viskositas panas (VB-R).

VBD-R merupakan indikator dari kerentanan granula terhadap pemanasan, sementara VB-R mengindikasikan potensi pembentukan gel dan kecenderungan retrogradasi. Tapioka Thailand lebih tahan terhadap proses pemanasan dibandingkan dengan empat tapioka yang lain, ditunjukkan oleh VBD-R yang lebih rendah. VB-R tapioka Thailand secara signifikan juga lebih rendah dari tapioka yang lain, mengindikasikan bahwa gel dari tapioka thailand memiliki kekerasan yang lebih rendah. Nilai VB-R mengindikasikan potensi pembentukan gel dan kecenderungan retrogradasi. Pati dengan kecenderungan retrogradasi rendah mengindikasikan kemampuan untuk mempertahankan tekstur selama penyimpanan (Tran et al., 2001 disitasi oleh Copeland et al., 2009). Peningkatan viskositas balik selama pendinginan mengindikasikan kecenderungan berbagai komponen di dalam pasta panas (granula yang membengkak dalam bentuk utuh/fragmen, dispersi koloid ataupun molekul-molekul terlarut) untuk berhubungan atau mengalami retrogradasi (Adebowale et al., 2009).

Nilai VBD-R dan VB-R berkorelasi negatif dengan SP, komponen minor (abu, lemak), amilosa dan tingkat kristalinitas (Tabel 4.9). Menurut Hermansson

(21)

63

dan Svegmark (1996), granula dengan SP yang tinggi akan mengikat sebagian besar air bebas dan menghambat interaksi antar amilosa, dan/atau menghambat lisis amilosa keluar dari granula sehingga viskositas dapat dipertahankan selama pemanasan (VBD-R rendah). Pada saat pendinginan, karena amilosa yang tersedia untuk proses retrogradasi menjadi lebih sedikit maka kecenderungan retrogradasi menjadi lebih rendah (VB-R rendah). Keberadaan komponen minor, amilosa dan kondisi kristalinitas pati terkait dengan peningkatan pengikatan air yang diduga berpengaruh terhadap peningkatan SP dan atau ukuran granula. Karakteristik Tekstur

Analisis profil tekstur (texture profile analysis, TPA) merupakan teknik pengukuran objektif yang mensimulasikan proses pengunyahan oleh manusia dan dilakukan untuk mengamati karakteristik tekstur. Kekerasan, kepaduan, kelengketan dan elastisitas adalah empat parameter yang bisa dilihat dari analisis TPA. Menurut Rosenthal (1999), kekerasan terkait dengan gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu produk pangan di antara geraham. Nilai kepaduan merefleksikan kekuatan dari ikatan-ikatan internal di dalam suatu produk sementara kelengketan merujuk pada kerja yang dibutuhkan untuk menarik produk menjauh dari suatu permukaan. Elastisitas menunjukkan seberapa besar suatu produk kembali ke ukuran awalnya ketika kompresi yang diberikan kepadanya dihilangkan.

Kurva analisis profil tekstur ditampilkan pada Gambar 4.8. Gel tapioka yang berasal dari lima varietas ubi kayu ini memiliki perbedaan karakteristik kekerasan dan kelengketan sementara karakteristik kepaduan dan elastisitas relatif mirip (Tabel 4.10). Varietas Thailand memiliki nilai kekerasan dan kelengketan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Faroka. Menurut Mishra dan Rai (2006), variasi dari tekstur gel dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik pati, serta keberadaan dari komponen minor termasuk diantaranya lemak, protein, dan sebagainya sehingga dihasilkan gel dengan sifat-sifat yang bervariasi.

Kekerasan gel pati terkait dengan proses retrogradasi pati yang terjadi selama proses pendinginan dan penyimpanan pasca proses pemanasan (gelatinisasi). Pasta pati bisa dianggap sebagai sistim dua fase dimana granula

(22)

64

Gambar 4.8 Kurva profil tekstur gel tapioka dari lima varietas ubi kayu (keterangan gambar: Thailand : ungu; Kasetsar : hijau; Pucuk biru : merah; Faroka: biru; Adira : hitam)

(23)

65

yang membengkak merupakan fase terdispersi dan amilosa yang lisis sebagai fase pendispersi. Jika jumlah fase pendispersi tinggi, maka proses agregasi selama pendinginan akan menghasilkan gel yang kuat (Hermansson dan Svegmark, 1996). Pada proses agregasi, molekul amilosa bebas membentuk ikatan hidrogen tidak saja dengan sesama amilosa tetapi juga dengan percabangan amilopektin yang menjulur dari granula yang membengkak, sehingga amilopektin juga berperan dalam pembentukan kekerasan gel walaupun dengan intensitas kekuatan yang lebih rendah (Collado dan Corke, 1999).

Tabel 4.10 Nilai analisis tekstur tapioka dari lima varietas ubi kayu

Kekerasan (g) Kepaduan Kelengketan (g.s) Elastisitas Thailand 162,48 ± 2,86a 0,66 ± 0,00a 19,66 ± 11,53a 0,97 ± 0,01a Kasetsar 227,74 ± 24,69ab 0,68 ± 0,00a 66,73 ± 15,48b 0,89 ± 0,04a Pucuk biru 226,20 ± 3,53ab 0,66 ± 0,02a 42,42 ± 1,36ab 0,94 ± 0,00a Faroka 254,15 ± 35,96b 0,69 ± 0,00a 65,97 ± 8,86b 0,91 ± 0,03a Adira 4 196,43 ± 9,87ab 0,67 ± 0,00a 51,57 ± 2,95ab 0,91 ± 0,01a *huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Menurut Collado dan Corke (1999), peningkatan lisis amilosa (solubilitas) dan penurunan SP pati akan menyebabkan peningkatan kekerasan gel yang dihasilkan. Berbeda dari penjelasan Collado dan Corke (1999), penelitian ini menunjukkan bahwa tapioka dengan tingkat kekerasan gel yang tinggi memiliki SP rendah dan solubilitas rendah. Analisis korelasi (Tabel 4.11) menunjukkan adanya korelasi negatif antara kekerasan gel dengan kapasitas pembengkakan (SP) pati. Menurut Hermansson dan Svegmark (1996), granula dengan SP yang tinggi akan mengikat sebagian besar air bebas dan menghambat interaksi antar amilosa, dan/atau menghambat lisis amilosa keluar dari granula. Hal ini menjelaskan mengapa SP yang tinggi tidak diikuti oleh peningkatan kekerasan gel.

Keberadaan komponen lain seperti polisakarida non pati, protein, dan lemak bisa mempengaruhi tekstur gel karena secara fisik menghambat pembentukan ikatan hidrogen antar amilosa atau berinteraksi dengan molekul-molekul amilosa sehingga mereduksi interaksi amilosa-amilosa (Charoenkul et al., 2011). Kekerasan cenderung turun dengan meningkatnya kadar amilosa (Tabel 4.11). Kelengketan gel tapioka berkorelasi negatif dengan kadar abu dan lemak, sementara elastisitas berkorelasi positif dengan kadar abu dan lemak.

(24)

66

Tabel 4.11 Korelasi antara parameter tekstur dengan karakter fisikokimia tapioka Kekerasan Kepaduan Kelengketan Elastisitas

Kekerasan Pearson Corr 1 0,775 0,848* -0,634

Sig. (1-tailed) 0,062 0,035 0,126

Kepaduan Pearson Corr 0,775 1 0,935** -0,856*

Sig. (1-tailed) 0,062 0,010 0,032

Kelengketan Pearson Corr 0,848* 0,935** 1 -0,943**

Sig. (1-tailed) 0,035 0,010 0,008

Elastisitas Pearson Corr -0,634 -0,856* -0,943** 1

Sig. (1-tailed) 0,126 0,032 0,008

Kadar abu Pearson Corr -0,531 -0,625 -0,824* 0,918*

Sig. (1-tailed) 0,179 0,130 0,043 0,014 Kadar lemak Pearson Corr -0,739 -0,719 -0,885* 0,881* Sig. (1-tailed) 0,077 0,086 0,023 0,024 Kadar protein Pearson Corr -0,149 0,191 0,131 -0,281 Sig. (1-tailed) 0,406 0,379 0,417 0,324 Kadar amilosa Pearson Corr -0,781 -0,469 -0,666 0,531 Sig. (1-tailed) 0,059 0,213 0,110 0,178 Kadar amilopektin Pearson Corr -0,594 -0,204 -0,201 -0,086 Sig. (1-tailed) 0,145 0,371 0,373 0,445

Kristalinitas Pearson Corr 0,450 0,386 0,664 -0,759

Sig. (1-tailed) 0,223 0,261 0,111 0,068 Ukuran granula Pearson Corr 0,474 0,370 0,415 -0,339 Sig. (1-tailed) 0,210 0,270 0,244 0,288 SP Pearson Corr -0,896* -0,544 -0,742 0,586 Sig. (1-tailed) 0,020 0,172 0,075 0,150

Solubilitas Pearson Corr -0,753 -0,373 -0,457 0,235

Sig. (1-tailed) 0,071 0,268 0,220 0,352

VP Pearson Corr 0,455 0,496 0,235 0,012

Sig. (1-tailed) 0,221 0,197 0,352 0,492

T Pasting Pearson Corr 0,722 0,632 0,858* -0,858*

Sig. (1-tailed) 0,084 0,126 0,032 0,031

T puncak Pearson Corr -0,604 -0,207 -0,212 -0,073

Sig. (1-tailed) 0,140 0,369 0,366 0,453 VBD-R Pearson Corr 0,896* 0,833* 0,968** -0,887* Sig. (1-tailed) 0,020 0,040 0,003 0,022 VB-R Pearson Corr 0,832* 0,789 0,951** -0,908* Sig. (1-tailed) 0,040 0,056 0,006 0,016 *. Ko l f α , 5 - h ; **. Ko l f α , -arah)

Jika dihubungkan dengan karakteristik pasting, terlihat bahwa parameter VBD-R dan VB-R berkorelasi dengan parameter tekstur yang diamati (Tabel 4.11) sehingga parameter VBD-R dan VB-R dapat digunakan sebagai alat untuk menduga karakteristik tekstur gel pati. Secara umum, peningkatan VBD-R dan VB-R pasta tapioka mengindikasikan terbentuknya gel dengan tekstur yang keras, kohesif, lengket dan kurang elastis. Pati yang strukturnya relatif rentan terhadap

(25)

67

panas (VBD-R tinggi) akan mengalami penurunan viskositas secara drastis yang berarti bahwa lisis amilosa (penyebab turunnya viskositas panas) relatif lebih be-sar daripada pati yang lebih tahan panas, sementara pati dengan viskositas balik relatif yang lebih besar menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang lebih ting-gi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan kekerasan, kepaduan dan ke-lengketan serta menurunkan elastisitas gel.

SIMPULAN

Ukuran granula, komposisi kimia, kristalinitas, kapasitas pembengkakan, solubilitas, karakteristik pasting dan tekstur gel tapioka bervariasi antar varietas ubi kayu yang digunakan. Secara umum, granula tapioka berukuran sedang de-ngan diameter rata-rata berkisar antara 12,82 – 16,66 µm. Granula berukuran ke-cil terutama dijumpai pada tapioka Adira-4 dan Thailand. Tapioka Thailand me-miliki kadar amilosa, lemak dan abu yang lebih tinggi dengan kapasitas pembeng-kakan dan solubilitas yang lebih tinggi dibandingkan empat tapioka lainnya (Ka-setsar, Pucuk biru, Faroka, Adira-4). Selain itu, tapioka Thailand juga menunjuk-kan stabilitas pasta yang lebih baik selama pemanasan. Kekerasan dan kelengket-an gel tapioka Thailkelengket-and lebih rendah dari tapioka Faroka. Penelitikelengket-an ini menun-jukkan bahwa perbedaan varietas ubi kayu dapat menyebabkan perbedaan pada karakteristik fisikokimia tapioka yang dihasilkan. Sebagai bahan baku untuk pem-buatan tapioka HMT, maka variasi sifat fisikokimia tapioka ini akan mempenga-ruhi karakteristik sifat fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1998. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C.

Abdel-Rahman ESA, El-Fishawy FA, El-Geddawy MA, Kurz T, El-Rify MN. 2008. Isolation and physico-chemical characterization of mung bean starches. International Journal of Food Engineering 4(1): Art.1

Abera S, Rakshit SK. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips.

Starch/Stärke 55:287–296

Adebowale KO, Henle T, Schwarzenbolz U, Doert T. 2009. Modification and properties of African yam bean (Sphenostylis stenocarpa Hochst Ex. A.

(26)

68

Rich) harms starch I: heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocolloids 23:1947–1957

Adejumo AL, Aderibigbe AF, Layokun SK. 2011. Cassava starch: production, physicochemical properties and hydrolysation – a review. Advances in

Food and Energy Security 2:8–17

Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and Pasting Properties of Rice Starch Heat-Moisture Treated at the Melting Temperature (Tm). Starch/Stärke 54: 401–409

Anderson AK, Guraya HS. 2006. Effects of microwave heat-moisture treatment on properties of waxy and non-waxy rice starches. Food Chemistry 97(2):318–323

Atichokudomchai N, Shobsngob S, Varavinita S. 2000. Morphological properties of acid-modified tapioca starch. Starch/Stärke 52:283–289 Batey IL. 2007. Interpretation of RVA curves. Di dalam The RVA Handbook.

Crosbie GB dan Ross AS. AACC International

Becker A, Hill SE, Mitchell JR. 2001. Relevance of amylose-lipid complexes to the behaviour of thermally processed starches. Starch/Stärke 53:121–130 Charles, AL, Chang Y-H, Ko W-C, Sriroth K, Huang T-C. 2004. Some physical

and chemical properties of starch isolates of cassava genotypes.

Starch/Stärke 56 413-418

Charles AL, Chang YH, Ko WC, Sriroth K, Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and amylose content on the gelling properties of five cultivars of cassava starches. J Agric Food Chem 53(7):2717–25.

Charoenkul N, Uttapap D, Pathipanawat W, Takeda Y. 2011. Physicochemical characteristics of starches and flours from cassava varieties having different cooked root textures. LWT - Food Science and Technology 44:1774–1781

Cheetham NWH, Tao L. 1998. Variation in crystalline type with amylose content in maize starch granules: an X-ray powder diffraction study.

Carbohydrate Polymers 36:277–284

Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. Ph.D. Thesis Wageningen University. Chung H-J, Liu Q, Hoover R. 2010. Effect of single and dual hydrothermal

treatments on the crystalline structure, thermal properties, and nutritional fractions of pea, lentil, and navy bean starches. Food Research International 43:501–508

Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 (3) p. 339-346

Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang MC. 2009. Form and functionality of starch. Food Hydrocolloids 23:1527-1534

(27)

69

Defloor I, Dehing I dan Delcour JA. 1998. Physico-chemical properties of cassava starch. Starch/Stärke 50 (2-3) 58-64

Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA dan Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substance. Analytical

Chemistry 28:350–356

Franco CML, Cabral RAF, Tavares DQ. 2002. Structural and physicochemical characteristics of lintnerized native and sour cassava starches.

Starch/Stärke 54:469-475.

Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat–moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate

Polymers 49(4): 425-437

Hermansson A-M, Svegmark K. 1996. Developments in the understanding of starch functionality – review. Trends in Food Science & Technology 7:345–353

Hoover R, Vasanthan T, Senanayake NJ, Martin AM. 1994. The effects of defatting and heat-moisture treatment on the retrogradation of starch gels from wheat, oat, potato, and lentil. Carbohydrate Research

261(1): 13-24

Hoover R, Manuel H. 1996. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starches. Food Research

International 29(8):731-750

Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylose. Cereal Science

Today 16:334-338

Jyothi AN, Sajeev MS, Sreekumar JN. 2010. Hydrothermal modifications of tropical tuber starches. 1. Effect of heat-moisture treatment on the physicochemical, rheological and gelatinization characteristics.

Starch/Stärke 62:28–40

Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic Observation and X-Ray Diffractiometry of heat/moisture-treated strach granules. Starch/Stärke 46 (12) 463-469 Khunae P, Tran T, Sirivongpaisal P. 2007. Effect of heat-moisture treatment on

structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. Starch/Stärke 59: 593-599.

Lim S-T, Chang E-H, Chung H-J. 2001. Thermal transition characteristics of heat–moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46 (2): 107-115

Lorenz K, Kulp K. 1982. Physico-chemical properties of defatted heat-moistured treated starches. Starch/Stärke 4:123–129

Mélo EA, Stamford TLM, Silva MPC, Krieger N, Stamford NP. 2003. Functional properties of yam bean (Pachyrhizus erosus) starch - short communication. Bioresource Technology 89:103–106

(28)

70

Mishra S, Rai T. 2006. Morphology and functional properties of corn, potato and tapioca starches. Food hydrocolloids 20(5): 557-566

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Petunjuk Laboratorium Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor

Moorthy SN. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches: a review. Starch/Stärke 54:559–592

Nuwamanya E, Baguma Y, Emmambux N, Taylor J, Patrick R. 2010. Physicochemical and functional characteristics of cassava starch in Ugandan varieties and their progenies. J. of Plant Breeding and Crop

Science 2 (1):001-011

Nwokocha LM, Aviara NA, Senan C, Williams PA. 2009. A comparative study of some properties of cassava (Manihot esculenta, Crantz) and cocoyam (Colocasia esculenta, Linn) starches. Carbohydrate Polymers 76:362–367 Rosenthal AJ. 1999. Relation between instrumental and sensory measures of food texture. Di dalam Food Texture - Measurement and Perception. Rosenthal AJ (ed). A Chapman and Hall Food Science Book

Singh N, Singh J, Kaur L, Sodhi NS, Gill BS. 2003. Morphological, thermal and rheological properties of starches from different botanical sources - review. Food Chemistry 81:21 9–231

SNI. 1992. Cara uji makanan dan minuman. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta

Sriroth K, Santisopasri V, Petchalanuwat C, Kurotjanawong K, Piyachomkwan K, Oates CG. 1999. Cassava starch granule structure – function properties: influence of time and conditions at harvest on four cultivars of cassava starch. Carbohydrate Polymers 38:161–170

Tester RF, Karkalas J. 1996. Swelling and gelatinization of oat starches. Carbohydrates. 73 (2):271–277)

Wang L, Xie B, Shi J, Xue S, Deng Q, Wei Y, Tian B. 2010. Physicochemical properties and structure of starches from Chinese rice cultivars. Food Hydrocolloids 24 (Issues 2-3): 208-216

Xie F, Liu H, Chen P, Xue T, Chen L, Yu L, Corrigan P. 2006. Starch gelatinization under shearless and shear conditions. International Journal

of Food Engineering 2(5):Art.6

Zaidul ISM, Yamauchi H, Takigawa S, Matsuura-Endo C, Suzuki T, Noda T. 2007. Correlation between the compositional and pasting properties of various potato starches. Food Chemistry 105:164–172

Zavareze ER, Storck CR, Castro LAS, Schirmer MA, Dias ARG. 2010. Effect of heat-moisture treatment on rice starch of varying amylose content. Food

Gambar

Gambar 4.1  Kurva RVA dan perhitungan parameter pasta
Gambar 2.  Kurva analisis profil tekstur.
Gambar 4.3  Bahan baku ubi kayu yang digunakan
Tabel 4.2  Persentase distribusi ukuran granula tapioka dari lima varietas ubi kayu  Tapioka  Diameter  rata-rata  (µm)  Distribusi ukuran (%) Sangat kecil   (&lt; 5 µm)  Kecil          (5-10 µm)  Sedang     (10-25 µm)  Besar           (&gt; 25 µm)  Thaila
+7

Referensi

Dokumen terkait

41526.pdf Diklal, instruktur tenaga pengajar pemberi Diktat, lamanya waktu yang digunakan untuk mengikuti DikJat oleh seorang peserta, materi atau bahan yang digunakan pada saat

Untuk memudahkan proses Perusahaan tersebut menggunakan aplikasi yang akan dibangun untuk dapat dengan mudah melihat atau mengecek ada berapa stok yang ada pada

Upaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usaha atau ikhtiar yang dilakukan oleh pemerintah Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie dalam mengatasi peredaran narkoba di

1. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah dalam mengingkatkan perhatian, memberi dukungan dan membantu organisasi sosial yang membantu pemerintah dalam mencerdaskan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar glukosa darah puasa pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Angkatan 2011 dengan Indeks Massa Tubuh

Dengan adanya aplikasi multimedia interaktif ini diharapkan akan dapat menambah minat belajar siswa dan aplikasi ini pun dibuat sebagai media belajar siswa menggunakan

Memberikan kemudahan untuk orang tua khususnya di indonesia untuk memberikan lagu- lagu yang sesuai dengan umur anak-anak mereka serta dapat menyanyikan dan memainkannya

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa metode sirkuit dan metode konvensional yang diberikan pada siswa SMK Teknologi Riau memberikan pengaruh yang berbeda, dimana